BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan - TUTURAN DIREKTIF GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS VII SMP NEGERI 3 KEDUNGREJA KABUPATEN CILACAP TAHUN 2017 - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Untuk membedakan penelitian berj

  udul “Tuturan Direktif Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII SMP Negeri 3 Kedungreja Kabupaten Cilacap Tahun 2017” dengan penelitian yang sebelumnya, maka penulis meninjau penelitian mahasiswa pendidikan bahasa Indonesia, FKIP Universitas Sebelas Maret (2014) dan Skripsi dari penelitian mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (2012). Pertama, penelitian yang ditulis sebelumnya menganalisis percakapan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan kajian pragmatik.

  Kedua, penelitian tentang tindak tutur direktif dalam wacana kelas (kajian mikroetnografi terhadap bahasa guru).

1. Skripsi berjudul Kajian Pragmatik Percakapan Guru dan Siswa dalam

  Pembelajaran Bahasa Indonesia, oleh: Muhammad Rohmadi, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Sebelas Maret, Tahun 2014

  Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan (1) tindak tutur yang digunakan dalam percakapan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia; dan (2) maksud yang terkandung di balik percakapan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak dan catat. Teknik analisis dilakukan dengan teknik mengalir. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) guru dan siswa menggunakan tindak tutur lokusi,

  7 ilokusi, dan perlokusi dalam pembelajaran; (2) maksud-maksud yang terkandung di balik tuturan guru dan siswa, antara lain: untuk menyuruh, memotivasi, mengklarifikasi, menguatkan, menghibur, dan menyimpulkan. Dengan demikian, percakapan guru dan siswa menggunakan tindak tutur langsung dan tidak langsung dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

  Perbedaan penelitan dilakukan dengan penelitian sebelumnya terletak pada data. Data yang digunakan peneliti berupa tuturan guru bahasa Indonesia kelas

  VII SMP Negeri 3 Kedungreja kabupaten Cilacap. Data yang digunakan peneliti sebelumnya berupa kalimat dalam percakapan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Persamaan penelitian dilakukan dengan penelitian sebelumnya terletak pada metode dalam mengumpulkan data, yaitu metode simak dan catat.

2. Skripsi berjudul Tindak Tutur Direktif dalam Wacana Kelas (Kajian

  Mikroetnografi Terhadap Bahasa Guru), oleh: Dian Etikasari, Mahasiswa Program Studi pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Tahun 2012

  Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan jenis, fungsi, dan konteks tindak tutur direktif dalam wacana kelas. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian mikroetnografi. Dari hasil penelitian ditemukan jenis dan fungsi tindak tutur direktif dalam wacana kelas meliputi: suruhan, memerintah, meminta, ajakan, desakan, larangan, menyarankan, dan bujukan sedangkan tindak tutur direktif ditemukan pada konteks pembelajaran pada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.

  Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya terletak pada data dan sumber data. Penelitian sebelumnya menggunakan data penelitian berupa wacana kelas (kajian mikroetnografi terhadap bahasa guru). Data yang digunakan dalam peneliti ini berupa tuturan guru bahasa Indonesia kelas VII SMP Negeri 3 Kedungreja kabupaten Cilacap. Sumber data yang digunakan peneliti guru bahasa Indonesia Kelas VII SMP Negeri 3 Kedungreja kabupaten Cilacap. Kemudian sumber data pada penelitian sebelumnya bahasa guru. Persamaannya terletak pada pendekatannya, yaitu deskriptif kualitatif.

B. Tuturan Direktif 1. Pengertian Tuturan Direktif

  Menurut Wijana (1996: 10), tuturan yaitu sehubungan dengan bermacam- macam maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan, sebuah tuturan. Sejalan dengan pendapat Sperber & Wilson 1989 (dalam Wijana, 1996: 10) sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, tuturan merupakan suatu maksud yang dituturkan, diucapkan, dan diujarkan. Jadi, tuturan dapat dikatakan sebagai suatu maksud yang mungkin dikomunikasikan atau diucapkan oleh seorang penutur. Sebuah tuturan dapat digunakan untuk menginformasikan atau menyampaikan berbagai maksud oleh penuturnya. Setiap tuturan yang diucapkan oleh seorang penutur tentunya memiliki maksud yang terkandung di dalam tuturannya. Seperti halnya ketika penutur (guru) meminta lawan tutur (siswa) agar lebih serius dalam pembelajaran. Tuturan tersebut merupakan jenis tuturan direktif, karena konteks dalam tuturannya dimaksudkan untuk mempengaruhi siswa agar melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh guru.

  Menurut Ibrahim (1993: 27) direktif (directives) mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Searle (Tarigan,

  2009: 43) direktif yaitu, tindak tutur yang dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimak. Misalnya: memesan,

  

memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan,

menasihatkan, dan menyuruh . Semua ini seringkali termasuk ke dalam kategori

  kompetitif. Terdiri atas sesuatu kategori ilokusi di mana kesopansantunan yang negatif menjadi penting. Sebaliknya, beberapa direktif (seperti undangan) pada hakikatnya dianggap sopan. Sejalan dengan Yule (2006: 93) direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, direktif adalah tuturan yang dipakai oleh penutur untuk menimbulkan beberapa efek melalui tindakan sang penyimak.

2. Jenis Direktif

  Mengutip pendapat Gurnawan (2002: 184) dari jurnal Rohmadi (2014), pragmatik selain untuk menyampaikan amanat, tugas, dan kebutuhan penutur, tujuan komunikasi adalah menjaga atau memelihara hubungan sosial penutur dengan pendengar. Misalnya tindak tutur yang dilakukan guru untuk menarik perhatian atau mempengaruhi bahkan meyakinkan siswa agar belajar dengan sungguh-sungguh dan melakukan sesuatu yang diinginkan guru. Tuturan tersebut merupakan satu jenis tuturan direktif karena konteks tuturannya didasarkan pada maksud dan keinginan penuturnya yang bertujuan untuk mempengaruhi lawan tutur. Penutur dalam hal ini yaitu guru dan siswa sebagai lawan tutur, tuturan yang dituturkan guru dapat berupa kalimat tanya, perintah, ajakan, permintaan, dan larangan. Ibrahim (1993: 28-33) membagi tindak tutur direktif menjadi enam jenis, sebagai berikut.

a) Requestives

  Requestives , yaitu mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra

  tutur melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur (atau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengekspresikan keinginan atau harapan penutur) sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak (Ibrahim, 1993: 29). Mengutip pendapat Rahardi (2010: 106) dari skripsi Etikasari (2012), tuturan yang menyatakan ajakan biasanya ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan mari. Misalnya seorang penutur (guru) mengekspresikan keinginan atau harapan, sehingga mitra tutur (siswa) menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan untuk bertindak. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur direktif requestives yaitu tuturan meminta, mengemis, memohon, menekan, mendoa, mengajak, mendorong. Berikut ini contoh tindak tutur requestives.

  (5) Ayo bermain bola. (6) Tolong ambilkan kakak buku cerita di atas meja.

  Kalimat (5) dan (6) merupakan jenis tindak tutur requestives. Kalimat (5) merupakan contoh kalimat mengajak. Tuturan mengajak pada kalimat (5) ditandai dengan adanya kata ayo yang bermaksud mengajak. Tuturan tersebut apabila diucapkan seseorang kepada temannya, yaitu bermaksud untuk mengajak bermain bola. Pada kalimat (6) merupakan contoh kalimat meminta. Tindak meminta pada tuturan tersebut ditandai dengan adanya kata tolong yang berarti menyatakan tindakan meminta. Apabila tuturan tersebut dismpaikan oleh seseorang kakak kepada adiknya, artinya ia meminta kepada adiknya untuk mengambilkan buku.

  b) Questions Questions , merupakan questions (pertanyaan) request (permohonan) dalam

  kasus yang khusus, khusus dalam pengertian apa yang dimohon adalah bahwa mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu (Ibrahim, 1993: 30).

  Misalnya tuturan bertanya, menyelidiki, dan mengintrogasi. Pada tuturan bertanya penutur meminta suatu informasi yang dibutuhkan kepada mitra tuturnya. Selain itu, dapat dikatakan bahwa penutur menyatakan sesuatu kepada mitra tutur. Jadi, diharapkan dalam tuturan ini mitra tutur memberikan tanggapan yang berupa jawaban dari pernyataan penutur. Adapun contoh tindak tutur questions sebagai berikut.

  (7) Kenapa Dika tidak berangkat sekolah? Kalimat tersebut merupakan jenis tindak tutur questions bertanya. Kalimat

  (7) merupakan percakapan guru dan siswanya. Tuturan bertanya pada kalimat (7) ditandai dengan kata kenapa. Kata kenapa digunakan untuk menanyakan sebab.

  Dalam hal ini adalah menanyakan sebab mengenai ketidakhadiran Dika di sekolah, dengan demikian tentunya akan diperoleh jawaban dari mitra tutur atas pertanyaan yang diucapkan oleh penutur.

  c) Requirements

  Requirements , yaitu perintah maksud yang diekspresikan penutur adalah

  bahwa mitra tutur menyikapi ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Dalam tuturan ini penutur seperti menyuruh dengan mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak (Ibrahim, 1993: 31). Maksudnya ialah penutur memerintahkan kepada mitra tutur untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh penutur. Tuturan yang termasuk tuturan requirements diantaranya tuturan memerintah, menghendaki, mengkomando, mendikte, mengarahkan, mengintruksikan, mengatur, dan menyaratkan. Adapun contoh tindak tutur requirements sebagai berikut.

  (8) Jagalah adikmu baik-baik! Kalimat (8) merupakan contoh tindak tutur requirements memerintah.

  Tindak memerintah pada kalimat (8) ditandai dengan kata jagalah. Kata jagalah memiliki makna perintah. Kalimat tersebut dituturkan oleh seorang ibu kepada anak pertamanya, ia bermaksud memerintah sang kakak untuk menjaga adiknya.

d) Prohibitives Prohibitives, seperti melarang (forbidding) atau membatasi (proscribing).

  Pada dasarnya adalah requirements (perintah/suruhan) supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu (Ibrahim, 1993: 32). Tuturan melarang atau membatasi yang pada dasarya adalah supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu. Misalnya, melarang orang lain untuk tidak merokok atau melarang orang lain agar tidak membuang sampah sembarangan. Tuturan larangan biasanya ditandai dengan penggunaan kata atau ungkapan yang bermakna melarang. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi (2010: 109) yang dikutip dari skripsi Etikasari (2012), menyatakan bahwa larangan dalam bahasa Indonesia, biasanya ditandai dengan penanda kata jangan. Adapun contoh tindak tutur prohibitives sebagai berikut.

  (9) Dilarang membuang sampah sembarangan. Kalimat (9) merupakan contoh tindak tutur prohibitives melarang.

  Tuturaan tersebut disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tuturan melarang pada kalimat tersebut ditandai dengan kata dilarang. Tuturan melarang dilakukan oleh penutur agar mitra tutur tidak membuang sampah sembarangan. Seperti yang kita ketahui bahwa membuang sampah sembarangan adalah perbuatan yang tidak baik.

e) Permissives

  Permissives , yaitu mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud

  penutur sehingga, mitra tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu (Ibrahim, 1993: 32). Misalnya tuturan menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugrahi, mengabulkan, membiarkan, mengizinkan, melepaskan, memaafkan, dan memperkenalkan. Artinya tuturan permissives ialah tuturan yang memperbolehkan, menyetujui, atau mengizinkan mitra tutur untuk mengekspresikan suatu tindakan berdasarkan tuturan atau kehendak dari penutur. Contoh tindak tutur permissives (membolehkan) sebagai berikut.

  (10) Saya perbolehkan kamu menggambar di buku ini.

  Tuturan (10) merupakan contoh jenis tuturan memperbolehkan. Tuturan tersebut disampaikan secara langsung oleh penutur kepada mitra tutur. Bila tuturan tersebut disampaikan oleh seseorang kepada temannya yang akan menggambar, maka maksud dari tuturan tersebut yaitu membolehkan temannya untuk menggambar pada buku milik penutur.

f) Advisories

  Advisories , kepercayaan mitra tutur bahwa apa yang diekspresikan penutur

  bukanlah keinginan mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu tetapi, kepercayaan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal baik, dan tindakan itu merupakan kepentingan mitra tutur. Penutur juga mengekspresikan maksud bahwa mitra tutur mengambil kepercayaan tentang ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak (Ibrahim, 1993: 33). Artinya kepercayaan mitra tutur bahwa apa yang diekspresikan penutur merupakan hal baik untuk kepentingan mitra tutur.

  Misalnya tuturan menasihatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, dan mendorong. Contoh tuturan direktif advisories sebagai berikut.

  (11) Harus belajar sungguh-sungguh, agar mendapat nilai yang memuaskan. Tuturan (11) merupakan contoh jenis tindak tutur advisories. Kalimat tersebut disampaikan oleh seorang guru kepada siswa ketika menjelang UAS.

  Pada tuturan tersebut, penutur bermaksud menasihati siswanya supaya belajar dengan sungguh-sungguh. Jika belajar dengan sungguh-sungguh maka, nilai yang didapatkan akan bagus dan memuaskan.

3. Aspek Situasi Tutur

  Lech 1983 (dalam Wijana, 1996: 10) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut yaitu: (a) penutur dan lawan tutur, (b) konteks tuturan, (c) tujuan tuturan, (d) Tujuan sebagai bentuk tindak atau aktivitas, dan tuturan sebagai bentuk tindak verbal.

  a. Penutur dan Lawan Tutur

  Sebagaimana dikemukakan oleh Lech 1983 (dalam Wijana, 1996: 10-11) konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencangkup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tarigan (2009: 32), dalam setiap situasi ujaran harus ada pihak pembicara (penulis) dan pihak penyimak (pembaca). Keterangan ini mengandung implikasi bahwa pragmatik tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi mencangkup bahasa tulis. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam setiap situasi ujaran harus mencangkup pihak pembicara (penulis) dan penyimak (pembaca), karena pragmatik tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi juga mencangkup bahasa tulis.

  b. Konteks Tuturan

  Lech 1983 (dalam Wijana: 1996: 11), menyatakan dalam pragmatik konteks itu hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground ) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Tarigan (2009:

  knowledge

  33) menyebutkan bahwa, kata konteks dapat diartikan dengan berbagai cara, misalnya kita memasukkan aspek-aspek yang sesuai atau relevan mengenai latar fisik dan sosial suatu ucapan. Astuti, dkk (2017: 435) pelaksanaan maupun penafsiran mengenai kesantunan berbahasa sangat dipengaruhi faktor konteks. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, konteks merupakan sebuah latar belakang atau latar sosial yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur. Misalnya kita memasukan aspek-aspek yang sesuai atau relevan mengenai latar fisik dan sosial suatu ucapan. Jadi, konteks di sini diartikan sebagai setiap latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui oleh penutur dan lawan tutur serta menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur. Konteks yang diamati dalam penelitian ini adalah konteks berbahasa dalam lingkup Sekolah Menengah Pertama (SMP).

c. Tujuan Tuturan

  Tarigan (2009: 33) menyebutkan setiap situasi ujaran atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu, dengan kata lain, kedua belah pihak yaitu penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Lech 1983 (dalam Wijana: 1996: 11), berpendapat bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, setiap bentuk tuturan yang dituturkan atau diucapkan oleh seorang penutur tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal ini, kedua belah pihak yaitu penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang sama.

  d. Tujuan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas

  Lech (Wijana, 1996: 12) pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Tarigan (2009: 33), pragmatik menggarap bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa.

  Singkatnya, ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujar. Melalui pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, pragmatik berhubungann dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Setiap tuturan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujar.

  e. Tuturan sebagai Bentuk Tindak Verbal

  Tarigan (2009: 33) pengertian lain dari kata ucapan yang dapat dipakai dalam pragmatik, yaitu mengacu pada produk suatu tindak verbal, bukan hanya pada tindak verbal itu sendiri. Lech (Wijana, 1996: 12) tuturan yang digunakan dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan tindak verbal. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu

  

panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini

  dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu. Dikutip dari jurnal Astuti, dkk (2017: 434), di dalam hubungan antara guru dengan siswa, pola komunikasi terjadi pada saat proses pembelajaran (situasi formal), baik di dalam maupun di luar proses pembelajaran (nonformal). Hubungan tersebut tidak hanya sebagai bentuk komunikasi untuk menyampaikan gagasan, tetapi juga dipengaruhi oleh latar budaya dari penutur, dengan kata lain, interaksi verbal tersebut tidak hanya sekadar percakapan biasa.

C. Pembelajaran Bahasa 1. Pengertian Pembelajaran Bahasa

  Pembelajaran bahasa adalah tindakan pengajar melaksanakan rencana mengajar bahasa Indonesia. Artinya, usaha pengajar dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran bahasa Indonesia, seperti tujuan, bahan, metode dan alat, serta evalusai agar dapat mempengaruhi para peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dapat pula dikemukakan bahwa strategi pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu pola keterampilan pembelajaaran yang dipilih pengajar untuk melaksanakan program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia. Program tersebut dirancang dapat menciptakan situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik melakukan aktivitas mental dan intelektual secara optimal untuk mencapai tujuan keterampilan berbahasa Indonesia yang terdiri atas keterampilan menyimak, keterampilan berbahasa, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 9).

2. Komponen Pembelajaran

  Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Usman, 2007: 4). Proses di sini merupakan interaksi antara semua komponen yang terdapat dalam kegiatan belajar mengajar. Komponen atau unsur tersebut saling berhubungan dalam sebuah ikatan untuk mencapai suatu tujuan. Proses pembelajaran di kelas terdiri dari komponen guru, siswa, dan materi. Guru sebagai informan atau pemberi informasi, sedangkan siswa sebagai penerima informasi dan materi pembelajaran sebagai topiknya. Sejalan dengan pendapat Ali (2010: 4) bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori utama, yaitu: (a) guru sebagai pengajar memiliki tugas merencanakan pembelajaran yang menarik dan inovatif, (b) Isi atau materi pelajaran adalah komponen yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan (c) siswa adalah objek yang digunakan untuk menentukan strategi pembelajaran.

a. Guru

  Setiap guru memiliki pola mengajar sendiri-sendiri. Pola mengajar ini tercermin dalam tingkah laku pada waktu melaksanakan pengajaran (Ali, 2010: 5). Menurut Paters (dalam Sudjana, 2010: 15) guru sebagai pengajar lebih menekanan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran.

  Dalam tugas ini guru dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, disamping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan. Conners (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 39) mengidentifikasikan tugas mengajar guru menjadi tiga tahap yang bersifat suksestif. Tahap tersebut (1) tahap sebelum pengajaran, (2) tahap pengajaran, dan (3) tahap sesudah pengajaran. Menurut Dehghayedi (2016: 268) guru harus memiliki berbagai jenis pengetahuan dan keterampilan untuk membangun dan memelihara lingkungan pengajaran yang efektif yang memungkinkan mereka mencapai tujuan tersebut. Jadi berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru sebagai pengajar harus memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar dalam merancang atau melaksanakan sebuah pembelajaran.

b. Isi atau Materi Pelajaran

  Materi pelajaran merupakan isi pengajaran yang dibawakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sulit dibayangkan, bila seorang guru mengajar tanpa menguasai materi pelajaran. Bahkan, lebih dari itu agar dapat mencapai hasil yang lebih baik guru perlu menguasai bukan hanya materi tertentu yang merupakan bagian dari suatu mata pelajaran (subject matter) saja, tetapi penguasaan yang lebih luas terhadap materi itu sendiri dapat menuntun hasil yang lebih baik (Ali, 2010: 7). Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2009: 24) komponen ini merupakan salah satu masukan yang harus dipertimbangkan dalam memilih strategi pembelajaran. Materi pelajaran dapat dibedakan menjadi materi formal dan materi informal. Materi formal adalah isi pelajaran yang terdapat dalam buku teks resmi di sekolah, sedangkan materi informal ialah bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah yang bersangkutan. Bahan- bahan yang bersifat informal ini dibutuhkan agar pengajaran lebih relevan dan aktual.

c. Siswa

  Setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian. Kecakapan yang dimiliki masing-masing siswa itu meliputi kecakapan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan seperti bakat kecerdasan, maupun kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar (Ali, 2010: 5).

  Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2009: 24) hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat adalah peserta didik. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar belakang dari masing-masing peserta didik, seperti lingkungan sosial, lingkungan budaya, gaya belajar, keadaan ekonomi, dan tingkat kecerdasan. Makin tinggi kemajemukan masyarakat, makin besar pula perbedaan atau variasi ini dalam kelas.

3. Keterampilan Guru dalam Proses Belajar Mengajar

  Ali (2010: 7) mengatakan bahwa dalam melaksanakan proses belajar mengajar, guru dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan dasar dalam menyelenggarakan pengajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh guru dalam pembelajaran dapat memberikan pengaruh yang baik untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu, sebagai berikut.

  a. Keterampilan Memberi Penguatan

  Memberikan penguatan diartikan sebagai tingkah laku guru dalam merespon secara positif suatu tingkah laku tertentu siswa yang memungkinkan tingkah laku tersebut timbul kembali. Tujuan dari keterampilan memberikan penguatan yaitu meningkatkan perhatian siswa, melancarkan atau memudahkan proses belajar mengajar, membangkitkan dan mempertahankan motivasi, mengontrol atau mengubah sikap yang mengganggu ke arah tingkah laku belajar yang produktif, mengembangkan dan mengatur diri sendiri dalam belajar, dan mengarahkan pada cara pikir yang baik atau divergen dan inisiatif pribadi.

  Komponen dalam memberi penguatan meliputi; (a) penguatan verbal berupa kata- kata atau kalimat yang diucapkan guru, (b) penguatan gestural dalam jenis mimik, gerakan wajah atau anggota badan yang dapat memberikan kesan terhadap siswa, (c) penguatan dalam cara mendekati siswa untuk menyatakan perhatian guru terhadap pekerjaan, tingkah laku, atau penampilan siswa, (d) penguatan dengan menyatakan penghargaan kepada siswa dengan menepuk pundak siswa, menjabat tangan siswa, atau mengangkat tangan siswa, (e) penguatan dengan memberikan kegiatan yang menyenangkan (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 58).

  b. Keterampilan Bertanya

  Bertanya merupakan ucapan verbal yang meminta respon dari seorang yang dikenai. Respon yang diberikan dapat berupa pengetahuan dapat pula berupa hasil pertimbangan. Jadi, bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berpikir. Tujuan dari kemampuan bertanya ialah merangsang kemampuan berpikir siswa, membantu siswa dalam belajar, mengarahkan siswa pada tingkat interaksi belajar yang mandiri, meningkatkan kemampuan berpikir tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi, dan membantu siswa dalam mencapai tujuan pelajaran yang dirumuskan. Komponen yang termasuk ke dalam dasar bertanya meliputi, (a) pengungkapan pertanyaan secara jelas dan singkat, (b) pemberian acuan, (c) pemusatan ke arah jawaban yang diminta, (d) pemindahan giliran menjawab, (e) penyebaran pertanyaan, (f) pemberian waktu berpikir, dan (g) pemberian tuntunan (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 62).

c. Keterampilan Menggunakan Variasi

  Menggunakan variasi diartikan sebagai perbuatan guru dalam konteks proses belajar mengajar yang bertujuan mengatasi kebosansan siswa, sehingga dalam proses belajaranya siswa senantiasa menunjukkan ketekunan, keantusiasan, serta berperan secara aktif (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 64). Tujuan dari keterampilan menggunakan variasi ialah membentuk sikap positif terhadap guru dan sekolah, mendorong aktivitas belajar dengan cara melibatkan siswa dengan berbagai kegiatan atau pengalaman belajar yang menarik dan berguna dalam berbagai tingkat kognitif (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 64).

  Menurut Moedjiono dan Hasibuan (2008: 66) komponen keterampilan guru dalam menggunakan variasi diantaranya adalah, sebagai berikut: 1) Variasi gaya mengajar, penggunaan variasi suara, pemusatan perhatian, kesenyapan, mengadakan kontak pandang, gerakan badan dan mimik, dan perubahan posisi guru dalam kelas. 2) Variasi penggunaan media dan bahan-bahan pengajaran, media dan bahan pengajaran yang dapat di dengar, media dan bahan pengajaran yang dapat di lihat, media dan bahan pengajaran yang dapat disentuh, diraba, atau dimanipulasi.

  d. Keterampilan Menjelaskan

  Memberikan penjelasan merupakan salah satu aspek yang penting dalam perbuatan guru. Menjelaskan berarti menyajikan informasi lisan yang diorganisasikan secara sistematis dengan tujuan menunjukkan hubungan. Penekanan memberikan penjelasan adalah proses penalaran siswa, dan bukan indoktrinisasi. Prinsip dari keterampilan menjelaskan ialah penjelasan dapat diberikan di awal, di tengah, atau di akhir jam pertemuan, tergantung pada keperluan, penjelasan dapat diselingi tanya jawab, penjelasan harus relevan dengan tujuan pelajaran, penjelasan dapat diberikan jika ada pertanyaan dari siswa atau direncanakan oleh guru, dan materi penjelasan harus bermakna bagi siswa. komponen keterampilan menjelaskan meliputi: (a) kejelasan tujuan bahasa, dan proses penjelasan merupakan kunci dalam memberikan penjelasan, (b) penggunaan contoh dan ilustrasi, (c) pemberian penekanan dengan cara mengadakan variasi dalam gaya mengajar (variasi dalam suara, mimik) dan struktur sajian (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 70-71).

  e. Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran

  Membuka pelajaran diartikan sebagai perbuaatan guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat kepada apa yang akan dipelajari. Menutup pelajaran adalah kegiatan guru untuk mengakhiri kegiatan inti pelajaran. Maksudnya adalah memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, mengetahui tingkat pencapaian siswa, dan tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar. Tujuan dari keterampilan membuka dan menutup pelajaran ialah menimbulkan perhatian dan motivasi siswa terhadap tugas-tugas yang akan dihadapi, memungkinkan siswa mengetahui batas-batas tugasnya yang akan dikerjakan, dan memungkinkan siswa dapat mengetahui tingkat keberhasilan dalam pelajaran (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 73).

  Komponen keterampilan guru dalam membuka dan menutup pembelajaran diantaranya yaitu, (a) komponen membuka pelajaran; menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, dan memberi acuan, (b) komponen menutup pelajaran; meninjau kembali dengan cara merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, mengevaluasi dengan berbagai jenis evaluasi, misal mengekspresikan pendapat siswa sendiri, dan memberikan soal tertulis (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 74).

  f. Keterampilan Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan

  Menurut Moedjiono dan Hasibuan (2008: 77), mengajar kelompok kecil dan perorangan diartikan sebagai perbuatan guru dalam konteks belajar mengajar yang hanya melayani 3-8 siswa untuk kelompok kecil, dan hanya seorang untuk perorangan. Pada dasarnya jenis pengajaran ini dapar dikerjakan dengan membagi kelas dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan merupakan keterampilan yang cukup kompleks dan memerlukan penguasaan keterampilan-keterampilan sebelumnya, yakni keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan dan membimbing diskusi kelompok kecil.

  g. Keterampilan Mengelola Kelas

  Moedjiono dan Hasibuan (2008: 82), berpendapat bahwa keterampilan mengelola kelas merupakan keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikan ke kondisi yang optimal jika terjadi gangguan, baik dengan cara mendisiplinkan ataupun melakukan kegiatan remidial. Tugas guru di dalam kelas sebagaian besar adalah membelajarkan siswa dengan menyediakan kondisi belajar yang optimal. Kondisi belajar yang optimal dapat dicapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikan dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pelajaran.

  Dalam Moedjiono dan Hasibuan (2008: 83) komponen keterampilan mengelola kelas dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1) Keterampilan yang berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal, meliputi: menunjukkan sikap tanggap, membagi perhatian, memusatkan perhatian kelompok, memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas, menegur, dan memberi penguatan. 2) Keterampilan yang berkaitan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal, meliputi: modifikasi tingkah laku, pengelolaan kelompok, menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.

h. Keterampilan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil

  Diskusi kelompok kecil adalah suatu proses yang teratur dengan melibatkan sekelompok siswa dalam berinteraksi tatap muka yang optimal dangan tujuan berbagi informasi atau pengalaman, mengambil keputusan atau memecahkan suatu masalah. Keunggulan diskusi kelompok ialah anggota sering dimotivasi oleh kehadiran anggota kelompok yang lain, anggota kelompok yang pemalu akan bebas mengemukakan pikirannya dalam kelompok kecil, dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik, dan keputusan kelompok bersifat mengikat, sebab mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Diskusi kelompok juga mempunyai kelemahan seperti memerlukan waktu yang relatif banyak dibandingkan dengan pengambilan keputusan secara individual, dapat memboroskan waktu terutama bila terjadi hal-hal yang bersifat negatif, dan anggota yang pemalu, rendah diri, pendiam, sering tidak mendapatkan kesempatan dalam mengemukakan idenya, sehingga mungkin dapat menyebabkan frustasi (Moedjiono dan Hasibuan, 2008: 88-89).

D. Peta Konsep/Kerangka Pikir

  Berdasarkan uraian landasan teori di atas maka, dapat dibuat peta konsep sebagai berikut: