STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN MENONTON WAYANG DENGAN SIKAP ARIF MASYARARAT KARANGJATI WONOSEGORO BOYOLALI TAHUN 2005 - Test Repository

  S T A I N S alatiga P erpu stakaan iiniHiiiiiin

  06TD1009638.01 SKRIPSI STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN M ENONTON W AYANG DENGAN SIKAP ARIF M ASYARARAT KARANGJATI W ONOSEGO RO BOYOLALI TAHUN 2005 Oleh:

  Its

  30 ]

  SEKOLAH TINGGI AGAM A ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

  

SKRIPSI

STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN M ENONTON

W AYANG DENGAN SIKAP ARIF M ASYARARAT

KARANGJATI W ONOSEGORO BOYOLALI

TAHUN 2005

  Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Saijana Pendidikan Islam dalam Ilmu Tarbiyah STAIN Salatiga

  Oleh:

  

P A I M I N

  NIM: 114 03 013

  

SEKOLAH TINGGI AGAM A ISLAM NEGERI

SALATIGA

2006

DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

  • JL Stadion No. 03 Salatiga 323433,323706 Kode Pos 57021

PERSETUJUAN PEMBIMBING

  Lamp. : 2 (dua) eksemplar Salatiga, 24 Februari 2006

  H a l : N askah Skripsi

  a. n. Paimin Kepada Yth. Ketua STAIN di -

  Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bersama ini kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa :

  N am a PAIMIN NIM

  114 03 013

  Jurusan Tarbiyah / Ekstensi Program Studi Pendidikan Agama Islam

  STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN

  J u d u 1

  MENONTON WAYANG DENGAN SIKAP ARIF MASYARAKAT KARANGJATI WONO-

SEGORO BOYOLALI

Untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi.

  Demikian untuk menjadikan periksa.

  Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  Drs. H. M. Zulfa, NIP. 150 177 821

  

PENGESAHAN SKRIPSI

  Judul : STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN MENONTON WAYANG DENGAN SIKAP ARIF MASYARAKAT KARANGJATI, WONOSEGORO, BOYOLALI TAHUN 2005

  : PAIMIN Nama NIM : 114 03 013

  : Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Studi

  Salatiga, 8 Maret 2006 Dewan Penguji Drs. M asykur Minan, M. Ag. Drs. Kastolani, M. Ag.

  

NIP. 150 182 685 NIP. 150 267 026

  PERSEMBAHAN

  Karya Ilmiah ini penulis persembahkan:

  1. Kedua orang tuaku yang telah mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang;

  2. Istriku yang tercinta yang setia mendampingi dalam suka dan duka menggapai cita-cita;

  3. Kedua anakku sebagai buah cinta kasih dan dambaan hari esok;

  4. Almamater tercinta.

  

MOTTO

1. %e6erfiasiCan ditentukan 6udan oCeh 6esamya otal

  ^ seseorang meCaindan oCeh 6esamya cara 6eifikir.

  IjJji _/==-^-r: ^->l Oi-^1 J-* J-*

  XatadanCab : “jAdakah sama orang-orang yang mengetafiui dengan orang-orang yang tida £ menge^fiui”. Sesunggudnya orang-orang yang berakathdkyang dapat menerima petajaran

  (Az Zumar: 9)

  

VI

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, penguasa semesta alam, berkat limpahan rahmat kasih sayang-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul : ”STUDI KORELASI ANTARA KEGEMARAN MENONTON WAYANG DENGAN SIKAP ARIF MASYARAKAT KARANGJATI WONOSEGORO BOYOLALI TAHUN 2005”. Demikian juga tidak lupa semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada kekasih pilihan Allah SWT, Muhammad SAW.

  Penulis menyadari bahwa di dalam menyelesaikan Skripsi ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis minta maaf dan mengharapkan kritikan serta saran yang membangun untuk menyempumakannya. Tak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

  1. Bapak Drs. Badwan, M. Ag., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

  2. Bapak Drs. H. M. Zulfa, M. Ag., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

  3. Ayah dan ibu yang telah dengan sabar memberikan dorongan baik moral maupun spiritual.

  4. Istri tercinta serta anak-anakku tersayang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis selama ini.

  5. Rekan-rekan seperjuangan.

  Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka semua dan semoga Skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amiin.

  Boyolali, Maret 2006 Penulis

  Vll

  

DAFTARISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

   LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat tidak dapat lepas dari kebudayaan. Hal ini terkait bahwa

  selain kebudayaan merupakan ekspresi dari masyarakat itu sendiri juga memiliki fungsi.

  Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang haras dihadapi masyarakat dan anggota masyarakat, seperti kekuatan Islam di mana mereka yang tinggal, maupun kekuatan lain, tidak selalu baik. Manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik material maupun spiritual, maka kebutuhan tersebut sebagian besar dipenuhi kebudayaan.*

  1 Dalam realitasnya, kebudayaan tersebut mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain-lain kemampuan- kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.2 Karena luasnya kebudayaan tersebut, masyarakat yang terdiri atas beragam manusia yang berbeda dalam suatu lingkungan tidak dapat lepas dari kebudayaan tersebut.

  Dalam kehidupan bersama sebagai wujud manusia sosial, masyarakat memiliki tatanan sosial. Banyak hal yang menjadi kesepakatan bersama yang haras dianut oleh anggota masyarakatnya agar terjalin kehidupan yang harmonis. Apalagi menyimak bahwa manusia dalam kehidupan ini membutuhkan segi material dan spiritual.

1 Soejono Sukanto, Pengcmtar Sosiologi, Jakarta : Rajawali Press, 1986, hal. 171 - 172

  2 Segi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun lainnya yang berwujud materi. Segi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan hukum, serta yang meghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan tingkah lakunya terhadap kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika3

  Dalam realitasnya, kebudayaan dapat pula menjadi media dalam penyampaian pesan, amanat, ataupun tata nilai, maupun pendidikan, artinya, hasil kebudayaan seperti sistem religi, atau seni, dalam beragam bentuk dan jenisnya tidak semata-mata dihasilkan namun di dalamnya terdapat sejumlah tuntunan yang dapat dijadikan sebagai cermin dari perilaku manusia.

  Terkait dengan hal tersebut, Habib Mustafa dan Sanapiah Faisal sangat tertarik dengan pemyataan filosof Hillel tentang ucapannya sebagai contoh karya seni dan filosof bahwa : If I’m not for my self, who will be for me?

  If I’m only for my self, then what am I for? (jika saya bukan untuk diriku, mengharap siapa lagi) (jika saya hanya untuk diriku, lalu untuk apa aku ini)

  Itu sekedar contoh karya seni dan filsafat, yang didalamnya terkandung pesan- pesan dan hukum untuk keluasan pandangan manusia selaku makhluk berbudaya.4 karya seni seperti sastra di atas, termasuk juga wayang yang dapat ditemui pada masyarakat Jawa, atau geguritan di Jawa Tengah banyak mengandung nilai-nila kehidupan teladan bagi yang membaca, mendengar ataupun menonton apabila dipentaskan. Secara tegas Sujamto menegaskan berkenaan dengan wayang bahwa.

3 Ibid., hal. 168 4 Habib Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, Surabaya : Usaha Nasional, hal. 172.

  3 Wayang bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan, dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian Dalang bagi masyarakat, negara dan bangsa serta umat manusia pad umumnya. Oleh karena itu, melihat pertunjukan atau sekedar mendengarkan hasil rekaman wayang, tidak pemah membosankan meskipun cerita atau lakonnya hanya itu-itu saja5

  Tidak mengherankan apabila keberadaan wayang tetap dipertahankan baik sebagai hasil seni maupun sebagai media informasi, hiburan maupun tuntunan bagi masyarakat. Terkait dengan tuntunan, dalam pementasannya dalang dengan keterampilannya tidak hanya menampilkan lakon-lakon semata, namun memberi arahan, gambaran, pesan, saran, nasehat, atau tuntunan tentang kebaikan hidup yang harus dimiliki oleh masyarakat, baik masyarakat individu, sosial, maupun makhluk berbudaya.

  Pada prinsipnya, setiap lakon dalam pementasan Dalang akan menyajikan gambaran kehidupan manusia yang disimbolkan dengan menggunakan pelaku-pelaku maupun kisah (lakon). Gambaran tersebut tidak lepas dari hal-hal yang dialami oleh manusia dalam alam nyata. tentang baik buruk, kebenaran, dan kemungkaran, rakyat penguasa, hidup dan mati, maupun berbagai perilaku manusia menghadapi dirinya, masyarakat, lengkapnya, tugas, peran, dan kewajiban hingga berkenaan dengan msalah ketuhanan, maupun pandangan hidup manusia Pada Ki Narto Sabdo, pandangan hidup sudah begitu kokoh, sehigga setiap kali menyaksikan dan menghayati sajiannya, selalu diajak untuk lebih meyakini tentang kemahakuasaan Tuhan (yang oleh Ki Narto Sabdo disebut kang akaryo jagad saisine). Kita juga akan diajak untuk lebih semakin yakin bahwa hukum Tuhan, yakni hukum kemestian atau takdir pasti akan berlalu,

5 Sujanto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Prize, 1992, hal. 26 - 27

  4

  dan secara kebetulan atau ndilalah dalam bahasa Jawanya, ia akan ketemu dengan hukum ngunduh wohing panggawe.6 Sebagai pengatur lakon, dalang dengan berbagai kemampuan yang dimiliki dengan dilandasi pandangan hidup, pola pikir, pengalaman, pengetahuan tentang kehidupan maupun agamanya mengajak kepada para penonton untuk dapat menghayati kehidupan ini. Perlambang dalam lakon, bentuk wayang dengan segala sifat pelakunya, bahkan tetembangan (geguritan) yang dibawakan baik sendiri, dengan sinden, atau bahkan sindenya, mengungkapkan tentang hakekat hidup dan kehidupan serta berbagai permasalahan yang ada. Mengambil intisari, makna,, maupun meniru dari para tokoh-tokoh yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan.

  Kondisi tersebut diharapkan dalam kehidupan semakin arif dalam menghadapi dan memerankan diri dalam kehidupan ini. Dalam hal ini , "Kearifan sebagai suatu hal yang berkenaan dengan cerdik, pandai, bijaksana, berilmu",7 merupakan suatu gambaran seseorang yang dapat berlaku bijaksana, namun cerdik, pandai dan berilmu sebagai kelengkapannya. Dengan memahami, menghayati, mengerti terhadap isi, makna, dan pesan- pesan yang dikemukakan dalang, masyarakat penonton selanjutnya dapat dijadikan sebagai teladan dan cermin diri. Penonton dimungkinkan memiliki persepsi yang positif terhadap pementasan wayang tersebut. Pada akhimya penonton dapat memiliki sikap yang arif, bijaksana, dan memiliki pedoman hidup yang kuat.

  6 Ibid., hal. 3 0 - 3 1

  

7 Poerwadarminta, Jakarta :Balai Pustaka, 1996, hal. 56

Kamus Umum Bahasa Indonesia,

  5 Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai rujukan, bahwa masyarakat dan hidup selalu mengalami perubahan, terutama ke arah positif. Dalam masyarakat yang berubah seperti kita paling tidak memiliki beberapa ciri. Fenomena dan hakekat transisi (yang mengalami perubahan) memiliki sinkritisme, stabilitas yang berlebihan, haus kekuasaan, pola berpikir siklus manipulatif, feodalisme, penuh simbol, tidak rasional dan inovatif, nostalgis mengutamakan kebijaksanaan, dari pada kewajiban, relatif terhadap nilai-nilai, menerobos, bermental calo, ABS, senang upacara, damba bintang dan jasa, narsis, pathemalis, oportunities, berpegang pada mitos (wayang)....

  Dengan melihat kondisi di atas, khususnya menyangkut masalah mitos (wayang), dapat kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat, sehingga penonton tidak hanya sekedar melihat dan mendengar pementasannya namun dengan wayang sebagai tontonan sekaligus tuntunan mengarah pada pembentukan perilaku yang normatif, baik, dan arif bijaksana.

  Masyarakat Karangjati Wonosegoro yang masuk pada wilayah Kabupaten Boyolali sebagai bagian dari masyarakat Jawa juga merupakan masyarakat yang cenderung menggemari pertunjukan wayang, terutama wayang kulit. Banyak kegiatan masyarakat seperti hajatan, perkawinan, khitanan, dekah desa (bersih desa), peringatan hari besar nasional seperti ulang tahun kemerdekaan RI diisi dengan pementasan wayang kulit. Dari kehadiran mereka menonton pertunjukan tersebut, selain mereka dapat hiburan, tentu masyarakat juga dapat mengambil pesan, perlambang, tuntunan, dan nilai-nilai yang ada dalam pertunjukan tersebut. Pada akhimya 8

8 Munadan Soelaiman, , Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998,

  

Dinamika Masyarakat Transisi

hal. 14-15

  6

  diharapkan timbulnya sikap yang arif dalam menghadapi kehidupan baik sebagai makhluk individu, sosial, dan makhluk Allah.

  Berkenaan dengan itu, dipandang perlu untuk mengetahui ada atau tidak, “Korelasi kegemaran menonton Wayang dengan sikap arif masyarakat

  Karangjati Wonosegoro’'1

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di sebelumnya, permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

  1. Apakah masyarakat Karangjati Wonosegoro termasuk penggemar pertunjukan wayang, khususnya wayang kulit.

  2. Apakah masyarakat Karangjati Wonosegoro memiliki sikap arif.

  3. Apakah ada hubungan antara kegemaran antara kegemaran menonton wayang kulit dengan sikap arif?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah :

  1. Mengetahui sejauh mana masyarakat Karangjati Wonosegoro gemar terhadap pertunjukan wayang kulit.

  2. Mengetahui sejauh mana sikap arif yang dimiliki masyarakat Karangjati Wonosegoro.

  3. Mengetahui keterkaitan antara kegemaran masyarakat Karangjati Wonosegoro dengan sikap arif.

  7 D. Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini selesai, diharapkan memiliki manfaat diantaranya:

  1. Bagi Masyarakat

  a. Agar dapat dijadikan bahan masukan bagi para penggemar pertunjukan wayang khususnya masyarakat Karangjati Wonosegoro dalam hal-hal yang ada hubungannya dengan pewayangan;

  b. Agar dapat dijadiakn sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat khususnya di Karangjati Wonosegoro dalam memilih tontonan terutama tontonan wayang kulit.

  2. Bagi Para Dalang

  a. Agar dapat dijadikan bahan masukan bagi para dalang dalam pementasan wayang kulit khususnya dalam memberikan nilai-nilai pendidikan bagi penontonnya.

  b. Agar dapat dijadikan sebagai motivasi bagi para dalang untuk mempelajari masyarakat dan penggemamya sehingga mampu memberikan tontonan dan tuntunan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

  Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut Muhammad Ali.

  8 Metode deskriptif penelitian deskriptif digunakan untuk berupaya memecahkan atau mencari jawaban permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang. Dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi dan analisis/pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu deskripsi situsasi.9

  Penelitian dengan metode deskriptif hanya dapat di ketahui manakala hasil-hasil penelitian dideskripsikan, digambarkan, atau diungkapkan sesuai fakta yang ada. Penelitian dengan metode tersebut dapat memberikan informasi yang sesuai dengan hasil yang sesungguhnya dalam penelitian.

2. Populasi dan Sampel

  a. Populasi

  Berkenaan dengan populasi, Muhammad Ali menjelaskan bahwa, “keseluruhan objek penelitian sebagaimana diuraikan di aas dinamakan populasi”.10 Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Karangjati Wonosegoro yang berjumlah 468 orang, terdiri atas 112 KK yang berada dalam wilayah 9 RT dan 4 RW.

  b. Sampel

  Karena berbagai keterbatasan, keseluruhan populasi tersebut tidak mungkin diteliti oleh karenanya hanya difokuskan pada sampel.

  Oleh Sutrisna Hadi, “Sampel adalah sebagian individu yang akan diselidiki”11 terkait hal tersebut, populasinya diambil hanya 15% dari

  9 Muhammad Ali, Op. Cit., him. 120

  10 Muhammad Ali, Bandung: Angkasa, Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategic

  1987, hal. 54

  11 Sutrisna Hadi, M etodologi Research , Yogyakarta: Fak Psikologi UGM, 1982. hal. 70

  9 populasi yang berjumlah 72,9 kemudian dibulatkan menjadi 73 orang orang. Pengambilan sampel tersebut berdasarkan pendapat Suharsimi Arikunto, Bahwa.

  Apabila subjek kurang dari 100. lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya sebagai penelitian populasi. Selanjutnya, jika subjek besar dapat diambil antara 10 - 15 % atau lebih, semakin banyak semakin baik.12

3. Teknik Pengambilan Data

  Untuk mendapatkan data yang sesuai, teknik yang digunakan sebagai berikut:

  a. Angket atau Questioner

  Angket merupakan sejumlah pertanyaan yang harus diisi oleh responden untuk memeperoleh data sesuai dengan yang diharapkan.

  Teknik ini digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kegemaran responden (masyarakat desa Karangjati, Wonosegoro) dalam menonton pertunjukan wayang dan sikap arif yang dimilikinya.

  b. Observasi

  Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik yang dilakukan hadir ke obyek penelitian. Teknik tersebut digunakan untuk mengetahui kondisi masyarakat yang dijadikan obyek penelitian. Dalam hal ini, observasi dipergunakan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang hal-hal yang

12 Suharsimi Arikunto, Prosednr Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1987 : 115

  10

  berkenaan dengan masyarakat Karangjati Wonosegoro yang merupakan responden dalam penelitian ini. Dengan observasi peneliti dapat secara langsung mengetahui kondisi yang sesungguhnya dari obyek penelitian yang dilakukan.

c. Dokumentasi

  Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mempermudah memperoleh data yang telah ada tentang masyarakat Karangjati Wonosegoro yang telah terdokumentasi, seperti jumlah penduduk, kondisi sosial ekonomi, pekerjaan serta beberapa hal lain yang dipandang perlu.

4. Analisis Data

a. Analisis Pertama

  Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kegemaran menonton wayang kulit dan sikap arif para responden.

  Teknik ini menggunakan rumus: P = persentasi

  F = Frekuensi N = Jumlah Responden 1

  3

13 Suharsimi Arikunto, Op, Cit., hal. 186

  11

b. Analisis Lanjutan

  Analisis ini dipergunakan untuk mengetahui tingkat korelasi dengan menggunakan rumus Product Moment, sebagai berikut: Lxy - (Ex)(£y)

  % = Koefisien korelasi x dengan y Ex = Jumlah total skor variabel x Ey = Jumlah total skor variabel y

  Ex2 = Jumlah total skor variabel x yang sudah dikuadratkan Ey2 = Jumlah total skor variabel y yang sudah dikuadratkan N = Jumlah responden 14

  Gambaran secara umum dari keseluruhan skripsi yang akan disusun sebagai berikut:

  Bab I, merupakan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II, pada bab ini berupa landasan teori tentang wayang dan sikap arif. Dari judul tersebut diuraikan menjadi masalah wayang, terutama wayang kulit dan sikap arif. Pada wayang kulit akan diuraikan tentang definisi wayang kulit, nilai-nilai wayang kulit, jenis wayang kulit, dan manfaat wayang bagi

  S ta tistik ll , Yogyakarta. Fak. Psikologi UGM, 1996. hal. 25

  r*y

F. Sistematika Penulisan

14 Sutrisna Hadi,

  12 masyarakat. Pada sikap arif diuraikan tentang definisi sikap arif, faktor-faktor yang mempengaruhi kearifan. Sikap-sikap arif dalam pewayangan dan transformasi nilai-nilai luhur dalam berkehidupan dari lakon pewayangan.

  Bab III, Diuraikan tentang laporan hasil penelitian yang berkenaan dengan kegemaran menonton wayang kulit bagi masyarakat serta sikap kearifan. Pada laporan hasil dikemukakan juga hasil pembahasan untuk mengetahui tingkat korelasi antara kegemaran menonton wayang dan sikap arif.

  Bab IV, berisi Laporan Hasil Analisis yang berkenaan dengan kegemaran menonton wayang kulit bagi masyarakat serta sikap kearifan. Pada laporan hasil dikemukakan juga hasil pembahasan untuk mengetahui tingkat korelasi antara kegemaran menonton wayang dan sikap arif.

  Bab V, berupa Penutup dan berisi Kesimpulan dan Saran. Akhir skripsi ini juga dikemukakan tentang Daftar Pustaka dan Lampiran.

  13 BAB n

LANDASAN TEORI

A. Sekilas Tentang Wayang

1. Definisi W ayang

  Berbagai pandangan menjelaskan tentang wayang. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dijelaskan, “gambaran atau tiruan orang dan sebagainya yang dibuat dari kayu, kulit, dan sebagainya untuk mempertunjukkan suatu lakon.”1 Dalam penjelasan lain dikemukakan, “wayang berasal dari bahasa China, yaitu woyah bahasa Hokiyah, woying bahasa Mandarin atau woyah bahasa Katon.” 2 Dalam bahasa Jawa Kromo terdapat kata “ringgit” yang diduga se arti dengan Ying Hi dalam bahasa

  China, “kata Ying Hi adalah nama pertunjukan wayang dengan permainan bayangan di China.” 3 Melihat uraian di atas, ada hal yang menjadi petunjuk bahwa wayang atau ringgit memiliki arti yang telah meluas sebagai suatu toinan atau gambaran dari sesuatu seperti orang, benda-benda, hewan dan lajnnya, yang ''•i. dibentuk dari berbagai macam seperti kulit, kayu, bahkan dari manusia yang dipergunakan untuk suatu pertunjukan yang menggunakan lahan tertentu.

  Wayang ada dalam masyarakat sebagai perwujudan dari adanya keingipan untuk mengekspresikan kehendak masyarakat tentang kehidupan sehingga

  1 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Jakarta . Balai Pustaka, !996, hal. 150.

  2 Sutrisno, Sekilas Duma Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : Aski, 1972 hal. 2. wayang tersebut menggambarkan tentang hidup dan kehidupan yang dilalui manusia beserta alam dan isinya.

2. Jenis-Jenis W ayang

  Dalam kenyataannya, wayang yang ada dalam masyarakat di Indonesia sangat beragam jenisnya. Menurut Marwanto dan Budhi

  12. Wayang Purwa (Bali)

  22. Wayang Topeng (Jawa)4

  21. Wayang Orang

  20. Wayang Pakuan (Sunda)

  19. Wayang Gobek Menak (Jawa)

  18. Wayang Gobek (Sunda)

  17. Wayang Banjar (Kalimantan)

  16. Wayang Betawi (Bali)

  15. Wayang Sosok

  14. Wayang Cupak (Bali)

  13. Wayang Gambuh (Bali)

  11. Wayang Ramayana (Bali)

  Moehanto, macam dan jenis wayang diantaranya adalah : Dari jenis-jenis wayang tersebut adalah semuanya masih ada baik wujud maupun pertunjukannya. Namun dari sejak munculnya mengalami pasang surut, sehingga yang dapat kita saksikan hanya saat ini adalah wayang purwa (Jawa) atau wayang kulit serta wayang golek (Sunda).

  10. Wayang Jawa

  9. Wayang Jemblung (Jawa)

  8. Wayang Dobel

  7. Wayang Bebur

  6. Wayang Klitik

  5. Wayang Wahyu

  4. Wayang Menak

  3. Wayang Gedog

  2. Wayang Madya

  1. Wayang Purwo

  Khusus untuk wayang golek, selain masih ada keberadaannya pun banyak mengalami perubahan dan perkembangan terutama dari ragam motif dan pertunjukannya. Untuk menarik perhatian masyarakat dan sekalian sebagai wujud pelestarian budaya, wayang kulit dalam melakonkan suatu lakop dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi kontekstual (sesuai den gap keadaan di lingkungan) wayang dan pertunjukannya.

4 Marwanto dan Budhi Moehanto, Apresiasi Wayang , Surakarta : Cendrawasih, 2000, hal. 3

  15

3.W ayang Kulit dalam Budaya Jawa

  Wayang, khususnya wayang kulit merupakan hasil budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Hal ini terkait bahwa wayang kulit menjadi penanda, ciri dan karakteristik dari budaya masyarakat Jawa. Tidak salah bila Nicholas J. krom dalam bukunya H indoe Javans he Gesehiedenis memaparkan, bahwa:

  Ada beberapa unsur karakteristik pada peradaban Melayu, terutama peradaban Jawa yang sudah ada sebelum kedatangan orang Hindu di Jawa, diantaranya (1) sistem vigasi (2) proses pembuatan kain (3) gamelan, dan (4) pertunjukan wayang kulit. 5

  Sebagai bagian dari karakteristik budaya Jawa, wayang dapat mencerminkan tentang tata kehidupan masyarakatnya. Seni ukir, unsur- unsur pagelaran seperti pelaku (Dalang, Niyaga, Pesinden), perlengkapan (gamelan dan lainnya) maupun pakeliran termasuk suluk, merupakan perwujudan ekspresi dari hal-hal yang ada dalam masyarakat Jawa. Dalam pementasan, wayang kulit khususnya sangat berkaitan erat dengan adat, kebiasaan, maupun ritual-ritual yang menjadi kepercayaan masyarakat Jawa.

  Adat pemikahan, khitanan, bersih desa, mempunyai hari-hari yang dipandang bersejarah, maupun dalam suatu ritual tertentu, pertunjukan wayang digelar.

  16

  Memperhatikan model-model rumah Jawa asli, terdapat berbagai rumah yang di dalamnya terdapat bagian tertentu yang berkaitan dengan pertunjukan wayang. Dalam hal ini Sujamta menyatakan: Kalau kita memperhatikan susunan rumah tradisional Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan yang disebut emper, pendhapo, omah mburi, gandok, senthong, dan bagian yang disebut pringgitan, yaitu bagian yang menghubungkan pendhapa dengan omah mburi. Mengapa

  bagian itu disebut pringgitan? Mungkin sekarang sudah tidak pemah memikirkannya. Pringgitan adalah tempat untuk mempengelarkan ringgit. Kata ringgit ini adalah bentuk halus (kromo) dari kata wayang.6 Ini menandakan bahwa wayang (wayang kulit) tidak dapat lepas dari masyarakat Jawa. Bentuk rumah tradisional di atas meskipun sebagian yang berupa pringgitan tidak semua sebagai tempat untuk pementasan wayang. Namun sebagai pertanda bahwa secara umum masyarakat mengenal dan menjadikan sebagai perlambang bahwa wayang menempati di hati masyarakat Jawa. Bahkan pertunjukan wayang oleh sebagian masyarakat Jawa dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan hajat atau ritual tertentu dalam kaitannya dengan “penyembahan” terhadap alam atau yang menguasai alam. Ruwatan untuk menghilangkan kesialan hidup

  (sukerto) dengan upacara tertentu, Dekah Desa untuk meminta keselamatan desa beserta masyarakat dan segala harta bendanya, semuanya diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit. Ada pula kepercayaan di masyarakat bahwa lakon-lakon dalam pertunjukan wayang kulit tidak semuanya berani ditampilkan karena dianggap memiliki kekuatan tertentu yang dapat membuat petaka apabila dipandang tidak “ketat” laku batinnya, baik sang

  6 hal. 18.

  17

  dalang maupun yang memiliki hajat, seperti dalam lakon perang Baratha Yudha (Perang Bronto Yudo).

  Dengan gambaran di atas dapat memberi pemahaman tentang bagaimana wayang terkait dalam budaya Jawa baik berkenaan dengan masalah seni, sosial, bahkan filosofi hidup (pandangan hidup) yang hampir- hampir menyatu dan sulit dipisahkan kehidupannya.

4. Unsur-Unsur Pertunjukan W ayang

  Sebagai sebuah pertunjukan, wayang kulit akan dapat ditampilkan manakala ada unsur-unsur penunjangnya. Secara garis besar, ada dua bagian yaitu:

  a. Unsur Pelaku dan Peralatan 1) Pelaku

  a) Dalang

  b) Niyaga (pangrawait atau penabuh gamelan)

  c) Pesinden (swarawati atau penyanyi) 2) Perlengkapan/peralatan

  a) Wayang kulit

  b) Kelir (layar dari katun)

  c) Blencong (lampu)

  d) Debog (batang pisang)

  e) Cempala (pemukul kotak)

  f) Kepyak atau keprak

  g) Kotak (kotak kayu)

  b. Unsur Pertunjukan Pementasan 1) Yangdilihat

  Sabetan (gerak wayang) 2) Yangdidengar

  a) Janturan

  b) Catur (ginem, pocapan)

  c) Carios atau kondo

  d) Suluk

  e) Tembang

  f) Dhodokan

  g) Kepyak atau Keprakan

  18

  h) Gending i) Gerongan (oleh Wiraswara) j) Sindhen (oleh Pesinden) 7 8

  Keseluruhan unsur tersebut akan menjadi sebuah bentuk pagelaran atau pementasan wayang yang baik manakala ada harmonisasi antara keseluruhan, terutama dari unsur bunyi, sedangkan dari gerak wayang, keterampilan dalang dalam menghidupkan suasana dan dalam dialog disertai “aksi” sesuatu dengan lakonnya. Meskipun masing-masing pelaku dan pelaksana pertunjukan wayang seperti dalang, sinden dan niyaga (penabuh gamelan) harus memiliki keterampilan sendiri-sendiri, dalang sebagai pengendali dari keseluruhan pertunjukan memegang peranan penting

  Dalam sebuah pagelaran wayang, keseluruhan pelaku sebagai bagian dari unsur pertunjukan wayang seperti dalang, niyaga dan pesinden menyatu dalam lakon yang dipentaskan. Masing-masing mengambil peran sesuai porsinya untuk mewujudkan suatu kesatuan yang utuh. Apa yang diekspresikan dalang, niyaga harus mampu mengimbangi, bahkan sinden pun tidak hanya melantunkan tetembangan tetapi harus mampu berdialog memerankan tokoh-tokoh tertentu dalam lakon tersebut. Disini lah kreativitas dalang sangat menentukan keberhasilan-keberhasilan pementasan, termasuk juga masalah sanggit. Dalam hal ini, dijelaskan: Sanggit adalah kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untuk membentuk atau mengarahkan opini penonton terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut oleh dalang.

  7 Marwanto dan Budhi Moehanto, O p.C it, hal 4.

  8 Sujamto, hal. 38.

  Op.Cit.,

  19 Kemampuan dalam pagelaran wayang menjadi sangat penting

  dimiliki oleh masing pelaku karena harmonisasi pertunjukan akan tampak manakala masing-masing sesuai peran dan porsinya dapat diandalkan.

  Dalang sebagai komando dan pengendali dapat mengatur sedemikian rupa suatu lakon dengan bekeija sama secara kompak dengan pelaku pagelaran (niyogo dan pesinden) sehingga tujuan pagelaran tercapai.

5. Nilai-Nilai dalam Pagelaran W ayang

  Pada dasamya wayang khususnya, wayang kulit tidak lepas dari unsur seni. Seni yang terkait dalam wayang tersebut cukup banyak. Sujanto memaparkan bahwa unsur-unsur seni dalam pewayangan tersebut sebagai berikut: a. Seni Widya : filsafat dan pendidikan

  b. Seni Drama : pentas dan karawitan

  c. Seni Gotro : pahat dan lukisan : sanggit dan kesustraan

  d. SeniRipto

  e. Seni Cipta : konsepsi dan ciptaan baru.9 Sebagai orang Jawa yang memandang bahwa segala fenomena alam memiliki nilai. Seni sebagai bagian dari potensi diri yang diwujudkan dalam hasil cipta, tidak lepas dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, termasuk nilai filosofis dan pendidikan, seni itu sendiri tidak lepas dari kondisi masyarakatnya, maka seni bukan untuk seni namun terkait dengan kehidupan. Sesuai dengan hal di atas, Soejono Soekanto menjelaskan :

9 Ibid., hal. 18.

  20 Kesenian yang dapat berwujud seni suara, seni musik, seni tari, seni lukis

  dan lain sebagainya. Bertujuan untuk mengatur hubungan antar manusia tetapi juga untuk mewujudkan perasaan-perasaan seseorang. Dengan begitu fungsi kebudayaan adalah sangat besar bagi manusia yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah dari pada segenap perasaan manusia. 1

  Wayang sebagai bagian dari seni dan seni bagian dari budaya, dalam penciptaannya tidak banya dalam wujud fisiknya saja. Wayang tersebut dipentaskan dengan membawakan lakon-lakon yang sudah ada baik carangan atau sempalan maupun lakon baku. Dalam pementasan, wayang tidak hanya sebagai tontonan, namun di dalamnya juga mengandung tuntunan.

  Wayang bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, negara, bangsa serta umat manusia pada umumnya. Oleh karena itu, melihat pertunjukan wayang atau sekedar mendengarkan kaset rekaman wayang, tidak pemah membosankan meskipun ceritanya atau lakonnya hanya itu-itu saja. 1 11 1

  2 Lebih jauh human dan menjelaskan bahwa dalam kehidupan pewayangan mengembangkan konsep-konsep, diantaranya konsep isi, konsep pewayangan mempunyai “roso” (rasa hajatan), “watak” (temperamen) dan ‘isi’ atau ‘karep’ (kehendak/tujuan). Dari konsep- konsep tersebut kemudian diteijemahkan oleh dalang dalam pementasan.

  Selanjutnya dalang dengan segala kemampuannya menyampaikan makna hidup dan kehidupan untuk melakukan koreksi, kritik, saran, ajakan, atau himbauan. Disini langsung atau tidak, penonton akan memperoleh informasi 10 Seojono Soekanto, Pengantar Sosiologi , Jakarta : Ekspress, 1988, hal. 177.

  11 Humardani, Dasar-dasar Pengembangcm Seni Tradisi, Surakarta : PKJT, 1973, hal. 12.

  12 Sujamto, Op.Cit., hal. 26-27.

  21 ajaran, atau ajakan dengan memperbandingkan karakter-karakter dari para tokoh pewayangan. Selanjutnya, para penonton dapat memahami isi lakon dengan berbagai karaktemya dalam wujud kehidupan nyata.

  Lakon-lakon yang dipentaskan ada yang memerlukan penerjemahan namun ada pula nilai-nilai filosofi kehidupan maupun nilai pendidikannya yang dapat diserap secara langsung. Suatu contoh yang dapat disimak dari lakon pementasan wayang kulit, salah satunya adalah peperangan Kamo dengan Aijuna. Kedua tokoh-tokoh tersebut sama-sama memiliki keunggulan dan kesaktian serta mempertahankan prinsip dan kehormatan.

  Peperangan keduanya menggunakan kereta. Aijuna didampingi saisnya Krisna, sedangkan Kama didampingi saisnya raja Salya. Pada waktu Kama akan melepaskan senjata Kunta Driwasa kepada Aijuna, hati Salya merasa was-was dan khawatir kalau Arjuna kena senjata tersebut tertentu akan mati.

  Maka Salya mempercepat jalan kereta pada saat akan dilepaskan busur panah sehingga tidak tepat mengenai sasarannya.

  Gambaran tersebut menjelaskan bahwa raja Salya yang berbudi luhur dan terhormat, temyata dalam melaksanakan tugasnya sebagai sais kereta Kama di medan perang bertindak curang dan tidak jujur. Kondisi tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa orang yang dianggap terhormat, bijaksana, temyata memiliki kekurangan dan dapat saja melakukan suatu kesalahan, tidak dapat memisahkan kepentingan pribadi, umum atau bangsa dan negara. Berkenaan dengan itu, Ki Narta Sabdo menyampaikan pesan bahwa:

  22 Manusia dalam hidupnya haras dapat memilah-milah perbuatan antara kepentingan pribadi dan umum. Dua tugas itu yang lebih utama adalah tugas negara dan masyarakat keselurahan. Hal ini terangkap pada tokoh Kama, ia tidak tergoyahkan atas bujukan Atjuna maupun Krisna untuk bersatu dengan Pandawa. Kama dapat menempatkan diri antara “pribadi” dan “pekerti”

  (kepentingan pribadi dan perbuatannya). Ya sadar Kurawa akan kalah namun wajib untuk memihaknya karena ia dibesarkan dan diberi kedudukan di Astina. Ya memegang prinsip hidup “Nuhoni Darmaning Satrio” (menempati tugas seorang kesatria).13

  Pertunjukan wayang bukan semata-mata sebuah pementasan, gebyaran, dan tontonan. Ada yang dapat diambil hikmahnya dari pertunjukan wayang tersebut. Sebagai suatu media atau sarana, wayang dapat diarahkan ke mana haras ditujukan. Nilai-nilai esensial dalam pertunjukan wayang dapat disosialisasikan kepada para penonton. Beberapa diantaranya yang dapat saya sebutkan adalah bahwa pertunjukan wayang haras dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan masyarakat. Dalang yang baik adalah dalam arti yang sebenar-benamya bagi masyarakat. Dengan menonton wayang, masyarakat menjadi lebih terdidik, lebih maju dan lebih terbuka untuk menerima ide-ide kemajuan.

  Pertunjukan wayang haras dapat pula mengadakan purifikasi (pembinaan) dan meningkatkan kualitas cipta, rasa, dan karsa masyarakat sehingga dapat mendorong terwujudnya masyarakat yang tentram dan damai, tebih saking cecengilan, adoh soko laku dudu (jauh dari kecenderangan negatif). Pertunjukan wayang yang baik haras dapat menggugah semangat amar ma’raf nahi mungkar atau semangat untuk ikut “mamayu havuning bawono.” 14

  Dengan begitu, nilai-nilai dalam pertunjukan dapat diserap oleh para penonton dari berbagai aspek. Sikap-sikap sosial, moral, maupun keagamaan dapat diambil dari keselurahan pertunjukan sehingga masyarakat

  (penonton) semakin memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman, menjadi orang baik, sabar, toleransi, tanggung jawab, atau arif

  13 Sutamo, Surakarta, Cendrawasih, 1995, hal. 81-82.

  Wayang Kulit Jawa,

  14 Sujamto, ., hal. 86 Op.Cit

  23 dan bijaksana. Sikap arif dapat diambil, diterima, dan dijadikan bagian dari gambaran, model, ataupun contoh-contoh oleh masyarakat.

B. Sikap Arif

1. Definisi Sikap Arif

  Sikap arif terdiri “Sikap” dan “A rif’. Salah satu pengertian sikap adalah “perbuatan dan sebagainya yang berdasar pendirian (pendapat atau keyakinan) ” 15 Sikap merupakan tindakan yang diambil berdasarkan hasil keputusan terhadap sesuatu setelah mempertimbangkan hal-hal yang dipahami, diyakini, atau dipertimbangkan. Sikap dapat pula merupakan terjemahan dari “attitude'\ Dalam hal ini Gerungan menjelaskan: Pengertian attitude itu dapat kita teijemahkan dengan kata sikap terhadap obyek tertentu, yang merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi itu. Jadi attitude, itu lebih tepat ditetjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal. attitude itu senantiasa terarahkan terhadap suatu hal, suatu obyek, tidak ada attitude tanpa obyek. 16

  Dengan gambaran tersebut, sikap atau attitude merupakan pandangan atau kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu obyek. Obyek attitude tersebut “mungkin berupa benda-benda, orang-orang, juga terhadap peristiwa-peristiwa, pemandangan-pemandangan, lembaga-lembaga terhadap norma-norma, nilai-nilai, dan lain-lain hal.” 17 sebagai suatu tindakan, sikap dapat bersifat terns menerus (permanen) yang kemudian

15 Poerwadarminta, hal. 994

  O p .C it 16 Gerungan, Psikologi Sosial , Jakarta, Eresco, 1983, hal. 151.

  24 disebut kepribadian namun ada pula yang tidak terus menerus. Semuanya bergantung pada situasi, kondisi, keyakinan, motivasi, dan tujuan dalam sikap. Gregory G. Young MD. Menjelaskan bahwa: Kepribadian tidak ada hubungannya dengan sikap berpura-pura dan melagak yang diperoleh dalam pendidikan keluwesan dan kursus-kursus perbaikan diri atau dari melihat atau menjiplak gaya dan gerak bintang-bintang ^op televisi. Hal itu merupakan mode dan keisengan yang datang dan pergi.

  Dalam kaitan sebelumnya, sikap menunjukkan pada tindakan, perilaku yang dapat terus menerus keadaannya atau berubah-ubah, yang dapat dinyatakan dalam aksi (perbuatan) dan berupa pendapat.

  Selanjutnya, kata “A rif’ yang artinya “1. tahu, mengetahui, 2. cerdik pandai bijaksana, berilmu, 3. orang yang tahu (pandai-pandai). 1

  8

  19 Pengertian “A rif’ tersebut yang lebih terarah pada pembahasan adalah bijaksana.

  Sedangkan “bijaksana” memiliki arti “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya, tajam pikirannya, pandai dan ingat- ingat.”20 Artinya, Arif merupakan suatu keadaan seseorang yang selalu menggunakan hati nurani, akal budi, pengalaman dan pengetahuannya sehingga keputusannya tidak bersifat emosional, tidak egois, dan terarah pada keadaan yang tidak menguntungkan diri sendiri.

  Berdasarkan uraian di atas, sikap arif merupakan suatu tindakan atau perilaku yang dinyatakan dalam bentuk perbuatan atau pandangan (pendapat) yang didasari suatu keadaan yang bijaksana karena selalu

  18 Gregory G. Y oung M D., Kepribadian Aitda dan Bagaimana Menghayatinya , Jakarta : GunungM ulia, 1984, hal. 2.

  19 Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 57.

  20 Ibid., hal. 17.

  25 menggunakan akal budi, hati nurani serta pengalaman dan pengetahuannya.

  Sikap Arif sebagai tindakan yang positif tentu bukan berulang-ulang ketika menghadapi suatu obyek baik berupa benda, peristiwa, ataupun nilai-nilai maupun kegiatan tertentu.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap Arif

  Sikap, termasuk sikap arif sebagai bagian dari kondisi seseorang tidak dibawa sejak lahir namun terbentuk oleh lingkungan, pengalaman, dan kebiasaan, termasuk pengetahuan yang dimilikinya. Sikap tidaklah berdiri sendiri, artinya ada relasi (hubungan) dengan obyek yang disikapi sehingga berhubungan pula dengan motif-motif tertentu sesuai dengan tingkatan kebutuhan dan pemahamannya. Gerungan menjelaskan bahwa: Manusia itu tidak dilahirkan dengan sikap pemandangannya ataupun sikap perasaannya tertentu melainkan attitude - attitude tersebut dibentuk sepanjang perkembangannya. Peranan attitude di dalam kehidupan manusia adalah peranan besar, .. apabila sudah dibentuk pada diri manusia maka

  attitude-attitude itu akan turut menentukan cara tingkah lakunya terhadap