Variasi DNA Kloroplas Shorea spp (Shorea acuminata Dyer, Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer) Berdasarkan Penanda Mikrosatelit

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea spp (Shorea acuminata
Dyer, Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer)
BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

ZULFAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

VARIASI DNA KLOROPLAS Shorea spp (Shorea acuminata
Dyer, Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer)
BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

ZULFAHMI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRACT
ZULFAHMI. Chloroplast DNA Variation in Shorea spp (Shorea acuminata Dyer,
Shorea leprosula Miq and Shorea parvifolia Dyer) Based on Microsatellite
Marker. Under supervision of ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR and
ULFAH JUNIARTI SIREGAR
Shorea acuminata, Shorea leprosula, and Shorea parvifolia are members of the
Diptecarpaceae family. They are ecologically and commercially important in the
Southeast Asia region. In this present study, we used chloroplast microsatellites
(cpSSR) to study the variation within and among Shorea species populations and
the distribution of chloroplast DNA haplotypes of Shorea species. Based on
chloroplast microsatellite analysis, the following diagnostic haplotypes were
detected; namely haplotype A, C, and D for S. leprosula, S. parvifolia, and S.
acuminata, respectively. In general, haplotype variation of cpSSR was low in this
studies. The highest within population variation of cpSSR was observed in S.

acuminata. The highest genetic differentiation was detected in S. parvifolia (Gst =
0.58) followed by S. acuminata (Gst = 0.31) and S. leprosula (Gst = 0.14). The
haplotypes distribute evenly among different populations and between islands,
and do not correspond with geographical separation among populations and
islands. Some haplotypes from one species were shared by other species,
indicating the possibility of gene flow via interspecific hybridization, that
occurred currently and/or in the past. Introgressive hybridization probably
occurred among Shorea species due to co-existance in the forest stands and
overlapping flowering times.
Key word : Dipterocarpaceae, Shorea, Chloroplast microsattelit, Genetic variation, hybridization

ABSTRAK

ZULFAHMI. Variasi DNA Kloroplas Shorea spp (Shorea acuminata Dyer,
Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer) Berdasarkan Penanda
Mikrosatelit. Di bawah Bimbingan ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR dan
ULFAH JUNIARTI SIREGAR
Shorea acuminata, Shorea leprosula, dan Shorea parvifolia adalah anggota famili
Dipterocarpaceae, yang secara ekologis dan ekonomis sangat penting di daerah
Asia Tenggara. Dalam studi ini, digunakan kloroplas mikrosatelit (cpSSR) untuk

mengetahui variasi genetika di dalam dan antar populasi jenis Shorea dan
mengamati distribusi haplo tipe DNA kloroplas dari ketiga jenis tersebut. Hasil
menunjukkan bahwa terdapat beberapa haplotipe diagnostik yang dideteksi,
berturut-turut adalah haplotipe A, C, dan D untuk S. leprosula, S. parvifolia, dan
S. acuminata. Variasi cpSSR di dalam populasi tertinggi diamati pada S.
acuminata. Secara umum, variasi haplotype cpSSR adalah rendah dalam studi ini.
Diferensiasi genetik tertinggi dideteksi pada S. parvifolia (Gst = 0.58) diikuti oleh
S. acuminata (Gst = 0.31) dan S. leprosula (Gst = 0.14). Semua haplotipe
menyebar merata pada populasi yang ada di setiap pulau, sehingga tidak
ditemukan asosiasi antara distribusi haplotipe dengan pemisahan secara geografis.
Beberapa haplotipe dari satu jenis ternyata juga ditemukan pada jenis lain,
mengindikasikan kemungkinan adanya aliran gen melalui interspesifik hibridisasi
yang terjadi sekarang dan/atau pada waktu lampau. Introgresif hibridisasi
mungkin terjadi di antara jenis Shorea karena mereka tumbuh alami pada areal
yang sama dalam hutan dan waktu pembungaan mereka yang tumpang tindih.
Kata kunci: Dipterocarpaceae, Shorea, Kloroplas mikrosatelit, Variasi Genetika, hibridisasi

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Variasi DNA Kloroplas Shorea

spp (Shorea acuminata, Dyer, Shorea leprosula, Miq dan Shorea parvifolia,
Dyer) Berdasarkan Penanda Mikrosatelit adalah karya saya sendiri di bawah
Bimbingan Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.For.Sc dan Dr. Ir. Ulfah
Juniarti Siregar, M.Agr belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, April 2006

Zulfahmi
NIM E051030211

 Hak cipta milik Zulfahmi, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagianya

Judul Tesis


: Variasi DNA Kloroplas Shorea spp (Shorea acuminata
Dyer, Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer)
Berdasarkan Penanda Mikrosatelit.

Nama

: Zulfahmi

NIM

: E051030211

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z Siregar, M.For.Sc
Ketua

Dr. Ir. Ulfah J Siregar, M.Agr

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc

Tanggal Ujian : 14 Pebruari 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Lulus: 12 April 2006

PRAKATA

Puji dan syuk ur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian adalah Variasi Genetik DNA Kloroplas dengan judul Tesis adalah
Variasi DNA Kloroplas Shorea spp (Shorea acuminata, Dyer, Shorea leprosula,
Miq dan Shorea parvifolia, Dyer) Berdasarkan Penanda Mikrosatelit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada: Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar,
M. For. Sc dan Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M. Agr selaku dosen pembimbing,
Prof. Dr. Reiner Finkeldey yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian di Institut Genetika Hutan dan Pemuliaan Pohon Hutan
Universitas Goettingen Jerman, Dr. Oliver Gailing, Dr. Ludger Leinemann, Dr.
Barbara Vornam, Prof. Dr. Martin Ziehe, Dr. Elizabeth Gillet yang telah
membimbing penulis selama melakukan penelitian di Universitas Goettingen
Jerman. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DFG (Deutsche
Forschungsgemeinschaft)

dan

AUNP

(Asean-EU

University


Network

Programme) melalui proyek Genetic Variation of Shorea spp in Indonesian dan
Conservation and Sustainable Utilization of Plant Genetic Resources in SE-Asia
yang telah mendanai penelitian serta kepada Pemerintah Provinsi Riau atas
Beasiswa yang diberikan penulis dala m menempuh pendidikan Magister di IPBBogor.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Paman,
abang, dan adik-adikku tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih
sayang dan pengorbanan serta istri tercinta (Rosmaina, S.P) atas semangat dan
pengertian yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yanti
Rachmayanti dan Ms. Olga Artes yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
Akhirnya penulis mengucapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2006

Zulfahmi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pulau Tengah, Kampar-Riau pada tanggal 11

Nopember 1979 sebagai anak kedua dari pasangan Mahyudin dan Nurbayanis.
Pada tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 02 AirtirisKampar jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan pada tahun yang sama diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan
lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Magister
(S2) Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dengan
Beasiswa dari Pemerintah Provinsi Riau dan lulus pada tahun 2006.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
Latar Belakang ..........................................................................................
Tujuan Penelitian.......................................................................................
Hipotesis ...................................................................................................
Manfaat Penelitian.....................................................................................

1

3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 4
Shorea acuminata Dyer, S. leprosula Miq, dan S. parvifolia Dyer ......... 4
Karakteristik DNA kloroplas dan Penggunaannya ................................... 6
Penanda Mikrosatelit ................................................................................ 7
Penelitian Tentang Variasi Genetika Jenis Shorea spp .............................11
BAHAN DAN METODE ....................................................................................13
Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................13
Alat dan Bahan Penelitian.........................................................................13
Metode Penelitian......................................................................................13
Koleksi Sampel .............................................................................13
Ekstraksi DNA dan PCR-cpSSR (Kloroplas Mikrosatelit)..........15
Genescan dan Genotyping Hasil PCR...........................................16
Analisis Data .............................................................................................17
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................19
Haplotipe cpSSR.......................................................................................19
Variasi Haplotipe.......................................................................................21

Variasi Genetik di Dalam dan Antar Populasi ..........................................23
Pembagian Haplotipe Antar Jenis .............................................................29
Implikasi Terhadap Konservasi Genetika Shorea spp di Indonesia..........33
SIMPULAN ..........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................35

DAFTAR TABEL

i

Halaman
1 Nilai keragaman genetik beberapa jenis Shorea menggunakan penanda
isozim, RAPD, mikrosatelit dan AFLP .............................................................12
2 Koleksi sampel berdasarkan populasi dan jumlah individu per populasi .........15
3 Sekuen DNA pasangan primer yang digunakan untuk amplifikasi cpSSR ......17
4 Definisi haplo tipe dan ukuran fragmen cpSSR.................................................20
5 Perbedaan S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia berdasarkan tipe
mutasi ................................................................................................................21
6 Frekuensi haplotipe S. acuiminata, S. leprosula dan S. parvifolia pada setiap
populasi .............................................................................................................22
7 Nilai keragaman genetika di dalam dan antar populasi pada S. acuminata,
S. leprosula dan S. parvifolia ............................................................................23
8 Analisis keragaman molekuler (AMOVA) .......................................................24

DAFTAR GAMBAR

ii

Halaman
1

Distribusi Dipterocarpaceae di Indonesia. Jumlah total jenis dalam setiap
pulau menurut Ashton (1982). ....................................................................... 4

2

Diagram model slippage strand mispairing (SSM) pada mutasi
mikrosatelit (Eisen 1999) ............................................................................... 9

3

Bagan alur penelitian ......................................................................................14

4

Lokasi pengambilan sampel di lapangan ........................................................14

5

Lima primer yang berhasil diamplifikasi dengan PCR ...................................19

6

Hasil Genescan primer ccmp3 dan ccmp6 yang menunjukkan pola
polimorfisme ...................................................................................................20

7

Distribusi geografis dan frekuensi haplotipe Shorea spp (S. acuminata,
S. leprosula dan S. parvifolia) .........................................................................26

8

Dendogram UPGMA S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia
berdasarkan jarak genetik a Nei (1972)............................................................28

9

Dendogram UPGMA S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia
berdasarkan jarak genetika Gregorious dan Roberds (1986) ..........................28

10 Waktu pembungaan pada beberapa jenis Shorea seksi Mutica famili
Dipterocarpaceae di semenanjung Malaysia (Ashton 1988)...........................31
11 Mekanisme penangkapan kloroplas (chloroplast capture) pada
Eucalyptus spp (Jackson et al. 1999) ..............................................................32

DAFTAR LAMPIRAN

iii

Halaman
1 Hasil Genescan S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia menggunakan
dua primer yaitu ccmp3 dan ccmp6...................................................................42

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman jenis
dipterokarp yang tinggi. Di sisi lain, laju deforestrasi hutan alam Indonesia adalah
tinggi, diperkirakan mencapai 2.6 sampai 2.8 juta hektar per tahun (Kompas
2005), sehingga

merupakan ancaman serius terhadap keberadaan jenis

dipterokarp. Daerah-daerah di Sumatra dan Kalimantan yang di dominasi oleh
jenis dipterokarp telah banyak mengalami kerusakan akibat penebangan illegal,
kebakaran hutan, konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, dan lain- lain
sehingga perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius.
Penebangan hutan memberikan dampak negatif terhadap struktur genetik
pohon hutan. Murawski et al. (1996) telah melaporkan adanya peningkatan derajat
selfing pada Shorea megistophylla setelah dilakukan penebangan pada hutan
dipterokarp di Sri Lanka, sedangkan Obayashi et al. (2002) melaporkan bahwa
terjadinya penurunan rata-rata outcrossing pada Shorea curtisii pada hutan bekas
tebangan di Semananjung Malaysia.
Dalam studi ini, tiga jenis Shorea yaitu Shorea leprosula, Shorea
parvifolia dan Shorea acuminata akan diteliti. Ketiga jenis Shorea tersebut dipilih
karena beberapa alasan, pertama ketiga jenis tersebut termasuk ke dalam
kelompok meranti merah yang bernilai ekonomis tinggi dan penting secara
ekologis. Kedua, mereka menyebar luas di Indonesia, yaitu di Sumatra dan
Kalimantan. Ketiga, S. leprosula dan S. parvifolia merupakan jenis dipterokarp
yang cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan jenis dipterokarp lainnya. Ratarata riap diameter per tahun S. leprosula dan S. parvifolia masing- masing adalah
2.10 cm dan 1.87 cm (Suparna & Purnomo 2004) dan tinggi pohon S. leprosula
dan S. parvifolia pada umur dua tahun berturut-turut adalah 4.64 m dan 4.58 m
(Soekotjo & Wardhana 2005), sehingga jenis ini dapat dikembangkan untuk
pembangunan hutan tanaman meranti di Sumatra dan Kalimantan. Keempat
struktur genetika populasi Shorea spp di Indonesia belum banyak diteliti. Sampai
saat ini informasi keragaman genetika Shorea spp masih sangat terbatas, antara
lain telah diteliti oleh Sudarmonowati et al. (1998) menggunakan penanda

isoenzim, Rimbawanto & Isoda (2000) dengan penanda mikrosatelit, dan Indrioko
(2005) dengan penanda PCR-RFLP dan mikrosatelit sehingga masih diperlukan
lagi penelitian yang lebih banyak, untuk mendapatkan informasi keragaman
genetika yang lebih detail.
Penggunaan metode penanda genetika dalam bidang kehutanan di
Indonesia umumnya masih diarahkan untuk mendukung kegiatan konservasi
sumber daya genetika dan pemuliaan pohon dari jenis-jenis unggulan, sedangkan
untuk tujuan lain seperti melacak asal-usul kayu belum pernah dilakukan. Di era
ekolabel, kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (sustainable
forest management, SFM) merupakan produk yang sangat diinginkan oleh
konsumen. Sertifikasi lacak balak (chain of custody) merupakan salah satu
kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke
tempat penimbunan sampai ke konsumen akhir. Sertifikasi lacak balak menuntut
metode monitoring aliran kayu yang dapat diandalkan, sehingga kasus-kasus yang
meragukan dapat dipecahkan. Penggunaan penanda molekuler seperti DNA
merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan dan diterapkan di masa
datang untuk sertifikasi lacak balak atau tujuan lain.
Salah satu tujuan konservasi sumber daya genetika adalah mencegah
kepunahan suatu jenis. Untuk menyusun strategi konservasi sumber daya genetika
diperlukan informasi tentang sejarah kehidupan (evolusi) tanaman dan
pengetahuan tentang genetika populasi yang mengukur tingkat variabilitas
genetika pada tingkat jenis dan populasi. Oleh karena itu, perlu diketahui
variabilitas DNA kloroplas, mitokondria dan nuklear tanaman tersebut. Analisis
polimorfisme genom yang diturunkan secara uniparental mungkin sangat berguna
untuk mengumpulkan informasi tentang sejarah evolusi jenis dan populasi.
Dalam studi ini, DNA kloroplas dianalisis dengan menggunakan penanda
mikrosatelit. DNA kloroplas dipilih sebagai penanda karena diturunkan secara
uniparental (umumnya secara maternal pada kebanyakan Angiosperm), tidak
mengalami rekombinasi, ukuran genomnya yang kecil dan strukturnya memiliki
banyak informasi tentang evolusi (Birky 1995; Provan et al. 2001). Sedangkan
alasan menggunakan penanda mikrosatelit disebabkan oleh penanda ini memiliki
variabilitas yang tinggi dalam mendeteksi polimorfisme pada DNA kloroplas

2

dibandingkan dengan penanda lainnya seperti isoenzim, RAPD dan RFLP (Powell
et al. 1995a; 1995b).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui distribusi haplotipe DNA kloroplas S. acuminata, S. leprosula dan
S. parvifolia
2. Menduga keragaman genetika DNA kloroplas di dalam dan antar populasi
pada S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia.

Hipotesis
Hipotesis yang diuj i dalam penelitian ini adalah:
1. Masing- masing jenis Shorea memiliki haplotipe spesifik sebagai pembeda
antar jenis.
2. Variasi DNA kloroplas pada S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia
adalah rendah.
3. Adanya perbedaan DNA kloroplas yang spesifik antar populasi pada S.
acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia.

Manfaat Penelitian
Inventarisasi keragaman genetika pohon Shorea diperlukan sebagai
informasi dasar untuk kegiatan konservasi sumber daya genetika, dan kegiatan
perbaikan genetika pohon Shorea di masa datang. Di samping itu, data penelitian
ini mungkin dapat digunakan sebagai penanda diagnostik DNA molekuler jenis
Shorea yang diteliti untuk menunjang kegiatan sertifikasi produk hutan lestari.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Shorea acuminata Dyer, S. leprosula Miq, dan S. parvifolia Dyer
Famili Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili yang bernilai
ekonomis tinggi dan penting secara ekologis di Asia Tenggara. Distribusi alami
dipterokarp di Indonesia me nurut Ashton (1982) seperti terlihat pada Gambar 1.
Di Kalimantan (termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam) ditemukan sembilan
genus

(Anisoptera,

Cotylelobium,

Dipterocarpus,

Dryobalanops,

Hopea,

Parashorea, Shorea, Vatica, dan Upuna) yang terdiri atas 267 jenis, Sumatra
dengan delapan genus (Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops,
Hopea, Parashorea, Shorea, dan Vatica) terdiri atas 106 jenis, Jawa dan Nusa
Tenggara dengan lima genus (Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Anisoptera, dan
Vatica) terdiri atas 10 jenis, Sulawesi dengan empat genus (Shorea, Hopea,
Anisoptera, dan Vatica) terdiri atas 7 jenis, Maluku dengan empat genus (Shorea,
Hopea, Anisoptera, dan Vatica) terdiri atas 6 jenis dan Irian (termasuk Papua New
Guinea) dengan tiga genus (Hopea, Anisoptera, and Vatica) terdiri atas 15 jenis.

267

106

7

6
15

10
3

Skala 1: 1.000.000
Gambar 1 Distribusi Dipterocarpaceae di Indonesia. Jumlah total jenis dalam
setiap pulau menurut Ashton (1982).

Berdasarkan sifat kayunya, Alrasjid et al. (1991) dan Newman et al.
(1999) mengelompokkan meranti ke dalam empat kelompok, yaitu meranti merah,
meranti putih, meranti kuning dan meranti balau. Kayu meranti termasuk ke
dalam jenis kayu daun lebar yang ringan, tingkat keawetan yang rendah, dan sifat
pengerjaannya relatif yang mudah. Kayu meranti banyak dipergunakan sebagai
kayu pertukangan, kayu lapis, papan pertikel, peti pengepak, meubel, alat musik,
bahan bangunan rumah dan perkapalan (Newman et al. 1999; Alrasjid et al. 1991)
Shorea adalah pohon dengan ketinggian mencapai 60 m dan diameter
batang bisa mencapai 180 cm. Menurut Alrasjid et al. (1991), pohon ini umumnya
menduduki lapisan tajuk teratas (stratum A) tetapi ada pula yang menduduki
lapisan tajuk stratum B. Sebagian besar jenis Shorea tergolong jenis toleran dan
semi toleran, sangat sedikit diantara mereka yang tergolong jenis intoleran. Pohon
Shorea tumbuh di tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning
dengan tipe iklim A dan B, curah hujan diatas 2000 mm per tahun, basah dan
kelembaban tinggi serta pada ketinggian mencapai 1750 m dari permukaan laut
(Ashton 1982).
Alrasjid et al. (1991) menyatakan bahwa species Shorea memiliki malai
bunga yang tumbuh pada ujung ranting atau ketiak daun, tiap daun memiliki dua
helai daun penumpu, lima belas atau lebih benang sari dengan bakal buah bersel
tiga masing- masing berisi dua bakal biji. Buah Shorea berbentuk bulat telur
sampai hampir bulat, berukuran beberapa milimeter dengan panjang mencapai 6
cm dan berbiji satu. Shorea mulai berbunga pada umur enam tahun atau lebih,
musim berbuah sekitar bulan Oktober sampai April tergantung pada keadaan
cuaca yang memerlukan musim panas tertentu sehingga kebanyakan dari jenis ini
tidak berbuah setiap tahun.
Shorea acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia adalah anggota dari
genus Shorea seksi Mutica dalam famili Dipterocarpaceae. Di Indonesia mereka
dikenal berturut-turut sebagai: “meranti bunga, meranti tembaga dan meranti
sarang punai” yang termasuk ke dalam kelompok kayu meranti merah. Jenis ini
secara ekologis dan ekonomis penting di daerah Asia Tenggara. Distribusi mereka
meliputi Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra sampai ke Kalimantan
dengan pengecualian S. acuminata tidak ditemukan di Thailand (Ashton 1982).

5

S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia adalah jenis diploid (2n = 14)
(Ashton 1982; Kajita et al. 1998), dan sistem reproduksi mereka adalah
outcrossing dengan polinator utama adalah thrips dan kumbang yang dapat
bermigrasi pada jarak yang tidak terlalu jauh (Bawa 1998). Lee et al. (2000a)
telah melaporkan bahwa rata-rata nilai outcrossing S. leprosula pada hutan alam
adalah 0.84. Beberapa faktor yang mempengaruhi outcrossing adalah waktu
pembungaan, kerapatan atau jumlah pohon yang berbunga serta jumlah dan jenis
polinator (Lee et al. 2000a; Bawa 1998).
Ciri diagnostik secara morfologis untuk membedakan ketiga species
tersebut (pada tanaman dewasa) adalah S. acuminata mempunyai daun dengan 7
sampai 10 pasang pertulangan sekunder (nerves), S. leprosula mempunyai 12
sampai 15 pasang pertulangan sekunder dan dibagian bawah daun ada domatia
yang berwana krem, dan S. pavifolia mempunyai 9 sampai 13 pasang pertulangan
sekunder, dan dibagian bawah daun ada petiole dan twigs yang berwarna coklat
muda (Ashton 1982; Newman et al. 1999). Dalam studi filogenetika yang telah
dilakukan oleh Indrioko (2005) menggunakan penanda PCR-RFLP berdasarkan
cpDNA dengan 23 kombinasi primer dan enzim restriksi, ketiga jenis Shorea ini
dapat dibedakan berdasarkan pola restriksi yang dihasilkan sebagai berikut:
rbcL/Alu I (1 1 0 0 1 0 0 1) untuk S. parvifolia dan trnLF/Hinf I untuk S. leprosula
(4 0 1 1 0) dan S. acuminata (2 0 1 1 0).

Karakteristik DNA kloroplas dan penggunaannya.
Informasi genetika pada tanaman tinggi tersebar pada tiga genom yaitu
nuklear, kloroplas dan mitokondria. Gen dalam genom kloroplas dan mitokondria
diketahui sebagai gen sitoplasmik dan gen organel. Ketiga genom DNA
pewarisannya berbeda, DNA nuklear selalu diturunkan secara biparental, DNA
kloroplas dalam banyak Angiospermae diturunkan secara maternal (tidak selalu)
dan secara paternal dalam Gymnospermae (Hamrick dan Nason 2000) tetapi ada
bukti yang menyatakan bahwa DNA kloroplas diturunkan secara biparental dalam
satu sampai tiga genus (Birky 1995) dan ada juga yang diturunkan secara paternal
dalam beberapa jenis. Dalam kayu daun jarum (conifer) umumnya diturunkan
secara paternal (Murray et al. 2000). Sedangkan DNA mitokondria diturunkan

6

secara maternal tetapi dalam beberapa kelompok Gymnospermae seperti
(Araucariaceae, Cupreassaceae, Taxodiaceae) diturunkan secara paternal (Birky
1995), dan diturunkan secara biparental juga telah diamati pada jenis Pinaceae
dan Taxaceae.
DNA kloroplas berbentuk sirkular, berukuran kecil sekitar 120 sampai 160
kilo pasang basa. Genom kloroplas dibagi ke dalam dua daerah, pertama daerah
large single copy (LSC), dan kedua adalah daerah small single copy (SSC) yang
dipisahkan oleh inverted repeat (IR) (Grivet et al. 2001). Panjang daerah LSC
diperkirakan sekitar 89200 bp pada Quercus robur dan 86686 bp dalam tembakau
(Grivet et al. 2001). DNA kloroplas menga ndung rRNA, tRNA dan sekitar 50
sampai 100 gen yang mengkodekan enzim untuk fotosintesis.
Karakteristik DNA kloroplas adalah sebagai berikut: i) genom berukuran
kecil dan secara struktur stabil, ii) Genom lebih konservatif dengan rata-rata
subsitusi nukleotida yang rendah, iii) Genom tidak mengalami rekombinasi dan
diturunkan secara uniparental (Clegg et al. 1994; Provan et al. 2001). DNA
kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetika pada beberapa tanaman, seperti
studi filogenetika pada Dipterocarpaceae (Indrioko 2005; Kamiya et al. 2005;
Dayandan et al. 1999; Kajita et al. 1999), studi ekologi dan sejarah evolusi
tanaman (Heuertz et al. 2004; Vendramin et al. 1998) dan studi populasi genetika
(Deguilloux et al. 2004a; Petit et al. 2002; Lian et al. 2003). Baru-baru ini DNA
kloroplas telah digunakan sebagai alat untuk identifikasi asal geografis kayu,
seperti yang telah dilakukan pada kayu Oak (Quercus patria (Matt.) Liebl) dan
Quercus robur (Deguilloux et al. 2002; 2003; 2004b) dan red ceder (Thuja
plicata) (White et al. 2000).

Penanda mikrosatelit
Mikrosatelit adalah sekuen DNA yang berulang dimana satu motif
mengandung satu sampai enam pasang basa yang diulang secara tandem dalam
sejumlah waktu (Navascues & Emerson 2005). Jika ulangan tersebut cukup
panjang dan tidak terpotong-potong (uninterrupted), mereka sangat baik
digunakan sebagai penanda genetik karena tingkat polimorfisme mereka yang
tinggi (Hancock 1999; Powell et al. 1996). Dalam literatur, mereka sering disebut

7

sebagai simple sequence repeats (SSRs), short tandem repeat (STR), variable
number tandem repeat (VNTR) dan simple sequence length polymorphism
(SSLP). Banyaknya istilah ini, cenderung membingungkan terutama ketika
melakukan stud i literatur, tetapi istilah mikrosatelit sekarang telah menjadi umum
untuk menggambarkan motif DNA pendek yang berulang (Hancock 1999).
Mikrosatelit

mempunyai

karakteristik

sebagai

berikut:

tingkat

polimorfisme yang tinggi, kodominan, dan diwariskan mengikuti hukum mendel
(Powell et al. 1996; Hancock 1999). Bila satu primer yang spesifik telah didisain,
lokus SSR dapat diamplifikasi dari sedikit sampel DNA dengan PCR (Ujino et al.
1998). Mikrosatelit telah diaplikasikan untuk: i) Identifikasi forensik (Balding
1999), bertujuan untuk mengkaitkan sampel darah, sperma, jaringan rambut atau
daging dari kasus kriminal, ii) Diagnosis dan identifikasi penyakit, seperti deteksi
kanker (Moxon et al. 1999), iii) Studi populasi genetika, untuk mengamati variasi
dan membuat kesimpulan tentang struktur populasi, ha nyutan genetik (genetic
drift), dan genetic bottlenecks, iv) Konservasi biologi, untuk mengamati
perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi yang
berbeda serta untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk.
Rata-rata mutasi mikrosatelit lebih tinggi (10-6 sampai 10-2 kejadian per
lokus per generasi) dibandingkan dengan rata-rata mutasi pada gen yang
mengkodekan loci (Li et al. 2002). Mutasi menghasilkan perubahan dalam jumlah
unit ulangan dan itu diamati sebagai variasi panjang mikrosatelit. Ada dua jenis
mekanisme yang terlibat untuk menerangkan tingginya rata-rata mutasi
mikrosatelit. Pertama, rekombinasi diantara kromosom DNA homolog melalui
unequal crossing over (UCO) atau dengan konversi gen yang menghasilkan
ketidaksempurnaan susunan dan menyebabkan adanya peningkatan ulangan dalam
mikrosatelit. Kedua, slippage strand mispairing (SSM) yang terjadi selama
replikasi DNA seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Peristiwa ini dimulai
dengan slipnya DNA polimerase selama replikasi yang menyebabkan template
dan untai DNA yang baru menjadi tidak sejajar sementara waktu, ketika replikasi
dilanjutkan, untaian DNA harus disejajarkan kembali dan mutasi akan dihasilkan
jika penjajaran ini tidak sempurna. Hilang atau majunya ulangan mikrosatelit

8

dapat keluar dari loops DNA ganda. (Schloetterer dan Tautz, 1992; Schloetterer
1998; Eisen 1999).
Dari dua jenis mekanisme mutasi yang disebutkan diatas, banyak peneliti
menyatakan bahwa SSM selama replikasi DNA adalah penyebab utama
ketidakstabilan

mikrosatelit

(Eisen 1999).

Rata-rata

mutasi

mikrosatelit

dipengaruhi oleh sifat mikrosatelit, seperti: jumlah ulangan, motif ulangan sekuen,
panjang unit ulangan, sekuen flanking, dan interuption dalam mikrosatelit, ratarata transkripsi dan rata-rata rekombinasi (Schloetterer 2000), GC content, suhu,
metilasi dan siklus sel (Eisen 1999), posisi kromosom, seks dan genotipe (Li et al.
2002).

Gambar 2 Diagram model slippage strand mispairing (SSM) pada mutasi
mikrosatelit (Eisen 1999)
Slippage strand mispairing (SSM) selama replikasi DNA dapat dikoreksi
oleh exonucleolytic

proofreading

dan

mismatch

repair.

Exonucleolytic

proofreading adalah proses pengujian untaian DNA yang salah, ya ng dibuat oleh
DNA polimerase selama sintesis DNA. Jika kesalahan ditemukan, exonuclease
akan mendegradasi DNA tersebut dan kemudian akan mereplikasi kembali

9

untaian DNA yang baru, dengan back-up DNA polimerase. Kesalahan yang
dibuat oleh DNA polimerase tidak akan menjadi mutasi semuanya, sebab
kesalahan itu akan diperbaiki (dihapus) oleh proofreading. Exonucleolytic
proofreading mendeteksi kesalahan dengan memonitor DNA yang telah
direplikasi, apakah membentuk struktur DNA double helik yang normal dengan
untaian templatenya. Struktur DNA yang tidak normal akan merangsang (trigger)
aktivitas exonuclease. Proofreading dipengaruhi oleh GC content dan sekuen
DNA.
Mismatch repair berperan dalam mengenali dan memperbaiki kembali
basa yang muncul karena salah dalam penggabungan. Mismatch repairs
memainkan peranan kunci dalam meregulasi kestabilan mikrosatelit, perbedaan
dalam perbaikan loops oleh mismatch repairs menyebabkan banyaknya variasi
mikrosatelit di dalam dan diantara species (Eisen 1999).
Ada beberapa permasalahan dalam menggunakan penanda mikrosatelit.
Permasalahan ini dapat dikelompokkan ke dalam problem praktik dan problem
data. Problem praktik meliputi: i) Pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak
jenis primer yang telah didisain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman. Primerprimer itu perlu diskrining dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis
tanaman tertentu tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik
yang berbeda satu sama lain. ii) Slippage selama proses amplifikasi,
termopolimerase dapat slip sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam
ukurannya. iii) Ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran produk
sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi ale l mungkin juga disebabkan
oleh Taq polimerase yang menambah nukleotida adenosin sampai ujung 3’ produk
amplifikasi. Ginot et al. (1996) menyatakan untuk mengatasi permasalahan ini
adalah dengan menambah polimerase pfu selama atau setelah proses PCR, atau
dengan menggunakan polimerase DNA T4 setelah PCR.
Homoplasi adalah salah satu problem data. Homoplasi didefinisikan ketika
dua alel sama dalam keadaan, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi
mungkin menyebabkan problem dalam analisis studi genetika populasi, dimana
dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika,
ukuran neighbourhood, metode penetapan dan analisis filogenetika (Estoup et al.

10

2002). Homoplasi dalam mikrosatelit kloroplas dianggap sebagai sebuah
pembatas utama, ketika digunakan sebagai penanda genetika (Provan et al. 2001).
Para peneliti secara umum telah menganggap bahwa tingkat homoplasi cukup
rendah pada mikrosatelit menggunakan DNA kloroplas (Cuenca et al. 2003).

Penelitian Tentang Variasi Genetika Jenis Shorea dan Manfaatnya
Keragaman genetika adalah perlengkapan yang penting bagi pohon hutan
untuk dapat bertahan dalam waktu lama. Tanpa keragaman genetika, pohon hutan
sulit beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga mereka dapat punah,
oleh karena itu keragaman ini sangat penting untuk dipelihara.
Finkeldey (1998) menyatakan bahwa evolusi adalah perubahan struktur
genetika populasi, paling sedikit terjadi pada satu gen lokus. Proses evolusi akan
mengakibatkan terjadinya keragaman genetika pada organisme tidak terkecuali
pada pohon hutan. Proses evolusi tersebut meliputi: mutasi (mutation), migrasi
(migration), hanyutan genetika (genetic drift), seleksi (selection) dan sistem
perkawinan (mating system) (Finkeldey 1998; Ayala 1976).
Penanda genetik a telah menjadi alat yang penting untuk mengamati
keragaman genetika tanaman. Isozim dan penanda DNA molekuler telah
digunakan untuk mengamati keragaman genetika species Shorea. Nilai
heterozigositas beberapa species Shorea menggunakan penanda isozim, RAPD,
mikrosatelit dan AFLP dapat dilihat pada Tabel 1. Informasi keragaman genetika
pohon hutan sangat diperlukan oleh para konservasionis untuk konservasi
genetika sumber daya pohon, dan pemulia (breeder) sebagai dasar untuk
pemuliaan pohon (Finkeldey 1998). Individu- individu yang mempunyai
keragaman genetika yang tinggi dalam populasi dapat dimanfaatkan untuk tujuan
pemuliaan. Pemuliaan bertujuan untuk mendapatkan individu unggul, bernilai
ekonomis tinggi, tahan terhadap cekaman dan perubahan lingkungan serta
memberikan hasil yang sangat baik.

11

Tabel 1 Nilai keragaman genetika beberapa jenis Shorea menggunakan penanda
isozim, RAPD, mikrosatelit dan AFLP.
Jenis

Penanda

He

Sumber

S. leprosula

Isozim

0.410

Lee et al. (2000b)

S. robusta

Isozim

0.143

Suoheimo et al. (1999)

S. cardofolia

Isozim

0.651

Stacy et al. (2001)

S. parvifolia

Isozim

0.223

Sudarmonowati et al. (1998)

S. leprosula

RAPD

0.686

Isoda et al. (2001)

S. leprosula

RAPD

0.270

Prihatini et al. (2001)

S. parvifolia

mikrosatelit

0.780

Lee et al. (2004)

S. ovalis

mikrosatelit

0.640

Ng et al. (2004)

S. curtisii

mikrosatelit

0.640

Ujino et al. (1998)

S. curtisii

mikrosatelit

0.790

Obayashi et al. (2002)

S. leprosula

mikrosatelit

0.748

Lee et al. (2004)

S. leprosula

mikrosatelit

0.700

Ng et al. (2004)

S. leprosula

mikrosatelit

0.800

Nagamitsu et al. (2001)

S. leprosula

mikrosatelit

0.710

Rimbawanto & Isoda (2001)

S. leprosula

AFLP

0.161

Siregar et al. (2005)

S. parvifolia

AFLP

0.205

Siregar et al. (2005)

12

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dan Institut Genetika Hutan dan Pemuliaan
Pohon Hutan Universitas Goettingen - Jerman dari Juni sampai Oktober 2005.

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin PCR PTC-200
Peltier Thermal Cycler MJ Research, peralatan elektroporesis, lampu UV
transiluminator, pH meter, sent rifius, pipet mikro, dan tabung mikro, sedangkan
bahan yang digunakan adalah daun Shorea spp, nitrogen cair, Dneasy Plant 96 Kit
untuk isolasi DNA dari Qiagen, HotStarTaq Master Mix Kit Qiagen, primer
ccmp1 sampai ccmp10 (Weising dan Gardener 1999), peralatan elektroporesis,
sentripugasi, DNA MWM XIV (100-1500 bp), air destilasi, agarose, larutan TAE
1X, dan etidium bromida.

Metode Penelitian
Koleksi Sampel
Diagram alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Tiga jenis Shorea
seksi Mutica (Shorea acuminata, Shorea leprosula dan Shorea parvifolia)
diinvestigasi dalam studi ini. Jaringan daun (daun muda atau setengah tua) dari
anakan atau tiang atau pohon ketiga jenis Shorea diambil dari hutan alam di
Sumatra dan Kalimantan serta satu lokasi dari hutan tanaman di pulau Jawa.
Lokasi koleksi sampel dapat dilihat pada Gambar 4, dan jumlah individu yang
diambil per populasi disajikan pada Tabel 2. Jarak lapang antar individu yang
dikoleksi sekitar 150 m. Sampel dari lapangan disimpan dalam kantong plastik
yang berisi silika gel dengan perbandingan daun terhadap silika gel adalah 1: 5
sehingga daun menjadi kering dan tidak terserang jamur kemudian disimpan
dalam freezer pada temperatur -60o C sampai ekstraksi DNA dilakukan.

Sampel (Daun Meranti)

Isolasi DNA

Uji DNA

Tidak

Ya

PCR dan elektroporesis

Genescan dan Genotyping

Analisis Data

Gambar 3 Bagan Alur Penelitian

Borneo

Sumatra

Sumalindo
Berau
Pasir Mayang
Batu
Ampar

TNBT

Asialog

Java

S ari Bumi Kusuma.

Tering

Nanjak Makmur
Haurbentes

Skala 1:300 km
Gambar 4 Lokasi penga mbilan sampel di lapangan.

14

Tabel 2 Koleksi sampel berdasarkan populasi dan jumlah individu per populasi.
Jenis
Shorea acuminata

Shorea leprosula

Shorea parvifolia

Nama populasi*
Berau
Pasir Mayang
TNBT
Nanjak Makmur
Haurbentes
Tering
Sumalindo
Sari Bumi Kusuma
Pasir Mayang
TNBT
Asialog
Nanjak Makmur
Batu ampar
Sumalindo
Sari Bumi Kusuma
Pasir Mayang
TNBT
Asialog
Nanjak Makmur
19

Kode populasi
ACU-BR
ACU-PM
ACU-TNBT
ACU-NM
LEP-HB
LEP-TR
LEP-SM
LEP-SBK
LEP-PM
LEP-TNBT
LEP-AS
LEP-NM
PAR-BA
PAR-SM
PAR-SBK
PAR-PM
PAR-TNBT
PAR-AS
PAR-NM

N
7
6
7
7
6
6
5
5
5
6
2
5
5
6
7
5
6
10
7
113

Asal
Kalimantan
Sumatra
Sumatra
Sumatra
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Sumatra
Sumatra
Sumatra
Sumatra
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Sumatra
Sumatra
Sumatra
Sumatra

Total
Keterangan :
N : Jumlah individu
* : perkiraan geografis (lintang dan bujur) setiap populasi:
1. Hutan alam TNBT
01o 05' - 02o 06'S dan 103o 15' - 103o 33'E
2. Hutan alam Asialog
02o 02' - 02o 22'S dan 103o 15' - 103o 33'E
3. Hutan alam Pasir Mayang
00o 08' - 03o 09'S dan 101o 19' - 103o 20'E
4. Hutan alam Nanjak Makmur
10o 22S
dan 101o 40'E
o
o
5. Arboretum Haurbentes
06 54' - 07 54'S dan 106o 41' - 107o 42'E
6. Hutan alam Sari Bumi Kusuma 01o 59' - 00o 36'S dan 111o 19' - 114o 42'E
7. Hutan alam Sumalindo
00o 55' - 00o 56'N dan 115o 19 - 116o 36'E
8. Hutan alam Berau
02o 05' - 02o 36'S dan 116o 49' - 117o 24'E
9. Hutan alam Batu ampar
00o 45' - 00o 50'N dan 116o 48' - 117o 00'E
10. Hutan alam Tering
00o 00' - 00o 10'N dan 115o 22' - 116o 38'E
Ekstraksi DNA dan PCR-cpSSR (Kloroplas Mikrosatelit)
Daun kering berukuran 2 x 1 cm diambil untuk diekstraksi DNA totalnya
dengan menggunakan Dneasy 96 Plant DNA isolation Kit (Cat. No. 69181;
Qiagen, Hilden). Metode ekstraksi dilakukan sesuai dengan instruksi perusahaan.
Kualitas DNA hasil isolasi dielektroporesis dengan konsentrasi agarose 0.8%
(w/v). Elektroporesis dilakukan menggunakan 1X larutan bufferTris-acetate
(TAE) selama 30 sampai 80 menit pada tegangan 100 sampai 150 V. Kualitas

15

DNA diuji dengan membandingkan dengan DNA standar (Lambda DNA Marker,
Cat. No 745782; Roche Mannheim) dan DNA standar Molecular Weight Standard
XIV (100 bps ladder) (Cat. No. 1721933; Roche Mannheim).
Sepuluh primer universal yang dinamakan consensus chloroplast
microsatellite primer (ccmp) ccmp1 - ccmp10 (Weising & Gardener 1999) diuji
untuk analisis DNA kloroplas. Sekuen DNA masing- masing primer dapat dilihat
pada Table 3. Sebelum dilakukan amplifikasi, primer forward terlebih dahulu
dilabel dengan pewarna fluorescence (Metabion) yaitu: 6-FAM/Biru (untuk
ccmp2, ccmp4, ccmp6 dan ccmp9), HEX/Hijau (untuk ccmp1, ccmp3, ccmp7 dan
ccmp10) dan NED/Kuning (ccmp5 dan ccmp8)
Prosedur PCR mengikuti Indrioko (2005), yaitu denaturasi awal selama 15
menit pada suhu 95o C, diikuti 39 siklus : denaturasi selama 1 menit pada suhu
94o C, annealing selama 1 menit pada suhu 50o C, extension selama 1 menit pada
suhu 72o C dan final extension selama 10 menit pada suhu 72o C. Volume reaksi
PCR adalah 15 µl, terdiri atas: 2.0 µl DNA template (5-10 ng), 1.8 µl primer
forward (5 pmol/µl) dan primer reverse (5 pmol/µl), 1.9 µl air bebas RNAse, dan
7.5 µl HotStarTaq Master Mix Kit (Qiagen, Hilden). Hasil PCR dielektroporesis
pada gel agarose dengan konsentrasi 2.0% (w/v), setelah itu gel agarose direndam
dalam 1.0% (v/v) larutan etidium bromida selama 20 menit pada temperatur
ruangan, pola pita diamati dibawah lampu UV transiluminator dalam ruang gelap
dan didokumentasikan dengan menggunakan kamera digital.

Genescan dan Genotyping Hasil PCR
Hasil amplifikasi dipisahkan dengan elektroporesis kapiler menggunakan
Sekuenser ABI PRISM 3100 (Applied Biosystems) dengan polymer 3100 POP-4
TM

(Applied Biosystem) dan standar GS500 ROX TM (Applied Biosystem). Alel-

alel dianalisis menggunakan Genescan versi 3.7 (Applied Biosystem) dan
genotyping mengunakan Genotyper versi 3.7 NT (Applied Biosystem).
Bahan-bahan untuk Genescan (96 probes) terdiri atas: 1152 µl HiDi
Formamide (Applied Biosystem) dan 1.5 µl standar GS 500 ROX

TM

(Applied

Biosystems). Campuran tersebut didistribusikan secara merata ke dalam tube (12
µl setiap sampel), setelah itu 2 µl DNA hasil amplifikasi ditambahkan ke dalam

16

setiap tube. Sampel kemudian didenaturasi selama 2 menit pada 90o C dan
disimpan dalam es sekitar 5 menit sampai analisis Genescan dilakukan.

Tabel 3 Sekuen DNA pasangan primer yang diuji untuk amplifikasi cpSSR
Lokus

Lokasi

Sekuen primer forward dan reverse (5'-3')

cpSSR
ccmp1 trnK intron

Ulangan
dalam
Tembakau
(T)10

CAGGTAAACTTCTCAACGGA
CCGAAGTCAAAAGAGCGATT
ccmp2 5' to trnS
GATCCCGGACGTAATCCTG
(A)11
ATCGTACCGAGGGGTTCGAAT
ccmp3 trnG intron
CAGGTAAACTTCTCAACGGA
(T)11
CCGAAGTCAAAAGAGCGATT
ccmp4 atpF intron
AATGCTGAATCGA(CT)GACCTA
(T)13
CCAAAATATT(GCT)GGAGGACTCT
ccmp5 3'to rps2
TGTTCCAATATCTTCTTGTCATTT
(C)7 (T)10
AGGTTCCATCGGAACAATTAT
(T)5 C(A)11
ccmp6 ORF 77-ORF
CGATGCATATGTAGAAAGCC
(T)5 C(T)17
82 intergenic
CATTACGTGCGACTATCTCC
ccmp7 atpB-rbcL
CAACATATACCACTGTCAAG
(A)13
intergenic
ACATCATTATTGTATACTCTTTC
ccmp8 rpl20-rps12
TTGGCTACTCTAACCTTCCC
(T)6 C(T)14
intergenic
TTCTTTCTTATTTCGCAGDGAA
ccmp9 ORF 74b-psbB GGATTTGTACATATAGGACA
(T)11
intergenic
CTCAACTCTAAGAAATACTTG
ccmp10 rpl2 - rps 19
TTTTTTTTTAGTGAACGTGTCA
(T)14
intergenic
TTC GTC G(AGT)C GTA GTA AAT AG
Sumber : Weising & Gardner (1999)

Analisis Data
Haplotipe cpSSR disimpulkan sebagai kombinasi dari ukuran individu alel
yang ditemukan pada setiap lokus cpSSR yang dianalisis. Ukuran fragmen
individu alel dalam pasang basa ditunjukkan oleh puncak gelombang tertinggi dari
hasil genotyping. Pada sampel yang ditemukan fragmen cpSSR dikodekan dengan
1 dan sampel yang tidak ditemukan fragmen cpSSR dikodekan dengan 0 untuk
keperluan analisis dengan program.
Frekuensi haplotipe dan struktur genetika antar pulau dan antar populasi
dalam pulau dihitung dengan menggunakan analisis keragaman molekuler

17

(AMOVA) menurut (Excoffier et al. 1992). Semua analisis tersebut dilakukan
dengan menggunakan program ARLEQUIN versi 2.0 (Schneider et al. 2000).
Pengukuran struktur genetika di dalam populasi (Hs) dan antar populasi (Gst) juga
dihitung dengan menggunakan program POPGEN 32 (Yeh et al. 1999). Analisis
diferensiasi populasi (δ) pada ketiga jenis Shorea juga dihitung dengan
menggunakan program GSED versi 1.1k (Gillet 2005), dan analisis dendogram
UPGMA berdasarkan jarak genetika Nei (1972) dan Gregorious & Roberds
(1986) dilakukan dengan program NTSYSpc 2.01b (Rohlf et al. 1999).

18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Haplotipe Mikrosatelit Kloroplas
Penelitian pendahuluan dilakukan menggunakan dua sampel per populasi
dan sepuluh primer mikrosatelit kloroplas (cpSSR), yaitu ccmp1 sampai ccmp10
(Weising & Gardener 1999). Dari sepuluh primer yang diuji, lima primer (ccmp4,
ccmp5, ccmp7, ccmp8 dan ccmp9) tidak menghasilkan amplifikasi. Lima primer
(ccmp1, ccmp2, ccmp3, ccmp6 dan ccmp10) berhasil mengamplifikasi semua
sampel, seperti terlihat pada Gambar 5.

[a]

[b]

[d]

[c]

[e]

Gambar 5 Lima primer yang berhasil diamplifikasi dengan PCR.
Keterangan : a) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp1.
b) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp2.
c) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp3.
d) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp6.
e) Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer ccmp10.

Dari lima primer yang berhasil diamplifikasi dengan PCR, tiga primer
(ccmp1, ccmp2 dan ccmp10) menunjukkan pola monomorfik dengan ukuran
fragmen berturut-turut adalah 113, 150 dan 101 bp. Pada primer ccmp3 dan ccmp6
menunjukkan pola polimorfik, seperti terlihat pada Gambar 6. Hasil amplifikasi
ccmp3 memberikan 4 tipe ukuran panjang fragmen (100, 101, 102 dan 104 bp)
dan hasil ccmp6 memberikan 2 tipe ukuran panjang fragmen (97 dan 98 bp),
dengan demikian didapatkan jumlah total 6 haplotipe seperti terlihat pada Table 4.
104

102

101

[a]
100

98

[b]

97

Gambar 6 Hasil GeneScan primer ccmp3 dan ccmp6 yang menunjukkan pola
polimorfisme.
Keterangan :
a) Polimorfisme yang terdeteksi pada primer ccmp3, yaitu
104 bp, 102 bp, 101 bp dan 100 bp.
b) Polimorfisme yang terdeteksi pada primer ccmp6, yaitu
98 bp dan 97 bp.
Tabel 4 Definisi haplotipe dan ukuran fragmen cpSSR
Haplotipe
A
B
C
D
E
F

Ukuran amplifikasi fragmen cpSSR (bp)
ccmp3
ccmp6
101
97
101
98
100
98
102
97
104
97
100
97

20

Variasi Haplotipe
Berdasarkan hasil genescan DNA kloroplas diperoleh haplotipe umum
masing- masing jenis Shorea yaitu haplotipe D untuk S. acuminata, haplotipe A
untuk S. leprosula dan haplotipe C untuk S. parvifolia. Detail hasil genescan
untuk S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ketiga jenis Shorea tersebut hanya dibedakan oleh 1-2 pasang basa seperti terlihat
pada Tabel 5. Berdasarkan hasil studi ini, ada dua tipe mutasi yang menyebabkan
perbedaan diantara mereka yaitu delesi dan insersi.
Tabel 5 Perbedaan antara S. acuminata, S. leprosula dan S. parvifolia berdasarkan
tipe mutasi
Jenis
S. acuminata vs S. leprosula
S. acuminata vs S. parvifolia
S. leprosula vs S. parvifolia

Perbedaan

Tipe mutasi

1 bp pada ccmp3 (102-101)
2 bp pada ccmp3 (102-100)
1 bp pada ccmp6 (97-98)
1 bp pada ccmp3 (101-100)
1 bp pada ccmp6 (97-98)

Delesi
Delesi
Insersi
Delesi
Insersi

Terjadinya delesi dan insersi basa pada ketiga jenis Shorea tersebut
kemungkinan karena adanya seleksi alam melalui fluktuasi lingkungan yang
ekstrim pada waktu lampau dan/atau waktu sekarang. Waktu terjadinya mutasi
tersebut secara tepat sulit ditentukan, tetapi berdasarkan sifat DNA kloroplas yang
konservatif dan kecepatan mutasi yang rendah yaitu 3.2 x 10-5 dan 7.9 x 10-5
(Provan et al. 1999) boleh jadi peristiwa mutasi terjadi pada masa lampau. Gen
yang mengalami mutasi satu basa dapat mengakibatkan perubahan asam amino
yang dihasilkan sehingga berdampak pada perubahan fenotipe tanaman di
lapangan.
Detail frekuensi haplotipe DNA kloroplas masing- masing jenis Shorea
ditunjukkan pada Tabel 6. Variasi haplotipe dalam studi ini tergolong rendah,
dimana Shorea acuminata memiliki variasi haplotipe yang lebih tinggi
dibandingkan dengan S. leprosula dan S. parvifolia. S. acuminata memiliki enam
haplotipe (A, B, C, D, E dan F), S. leprosula tiga haplotipe (A, C dan F) dan S.
parvifolia juga tiga haplotipe (C, D dan F). Hasil studi genetika populasi oleh
Indrioko (2005) yang menggunakan penanda PCR-RFLP dan mikrosatelit

21

berdasarkan DNA kloroplas, pada S. leprosula ditemukan hanya satu haplotipe,
sedangkan pada S. parvifolia ditemukan tiga haplotipe. Variasi haplotipe DNA
kloroplas yang rendah juga diamati pada jenis Oak (Petit et al. 2002); Tolmiea
menziensis (Soltis et al. 1989); dan Lupinus texensis (Banks & Birky 1985). Petit
et al. (2002) meneliti 12214 individu dari 2614 populasi hanya menemukan 32
haplotipe, sedangkan variasi DNA kloroplas yang cukup tinggi diamati pada
common ash (Fraxinus excelsior L.) (Heuertz et al. 2001) dan Pinus pinaster
(Vendramin et al. 1998).
Tabel 6 Frekuensi haplotipe S. acuiminata, S. leprosula dan S. parvifolia pada
setiap populasi
Jenis

N

ACU-BR
ACU-TNBT
ACU-PM
ACU-NM
LEP-HB
LEP-TNBT
LEP-PM
LEP-NM
LEP-AS
LEP-TR
LEP-SBK
LEP-SM
PAR-BA
PAR-AS
PAR-PM
PAR-TNBT
PAR-NM
PAR-SBK
PAR-SM

7
7
6
7
6
6
5
5
2
6
5
5
5
10
5
6
5
7
6

A
0.714
0.143
0.000
0.000
1.000
1.000
0.800
1.000
1.000
0.833
1.000
0.800
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000

B
0.143
0.143
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000

Haplotipe
C
D
0.143 0.000
0.143 0.286
0.000 0.833
0.143 0.857
0.000 0.000
0.000 0.000
0.200 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
0.000 0.000
1.000 0.000
1.000 0.000
1.000 0.000
1.000 0.000
1.000 0.000
0.286 0.143
1.000 0.000

E
0.000
0.286
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000

F
0.000
0.000
0.167
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.167
0.000
0.200
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.571
0.000

Keterangan :
1
2

: Jenis Shorea (ACU = S. acuminata, LEP = S. leprosula, PAR = S. parvifolia).
: