Diagnosis jenis Shorea parvifolia Dyer dan Shorea leprosula Miq. berdasarkan random amplified polymorphic DNA(RAPD)

(1)

DIAGNOSIS JENIS

Shorea parvifolia

Dyer DAN

Shorea leprosula

Miq

BERDASARKAN

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

Mukhamad Ari Hidayanto

E14201052

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

DIAGNOSIS JENIS

Shorea parvifolia

Dyer DAN

Shorea leprosula

Miq

BERDASARKAN

RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA

(RAPD)

Mukhamad Ari Hidayanto

Karya Ilmiah

Sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Diagnosis Jenis S. parvifolia Dyer dan S. leprosula Miq Berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Nama Mahasiswa : Mukhamad Ari Hidayanto Nomor Pokok : E14201052

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z.Siregar, M.For.Sc NIP. 131878498

Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S NIP. 131430779


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam juga penulis haturkan kepada Nabi Muhamad SAW yang senatiasa memberi suri tauladan yang baik sehingga membimbing penulis untuk tetap sabar dan tegar di jalan Islam.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Diagnosis Jenis Shorea parvifolia Dyer dan Shorea leprosula Miq Berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)” diharapkan dapat membuka wacana keilmuan dalam bidang kehutanan, khususnya dalam diagnosis jenis tanaman. Selama ini diagnosis jenis masih banyak terjadi kesalahan, padahal diagnosis jenis adalah bagain awal dari pengenalan tumbuhan. Kesalahan dari awal akan berdampak panjang bagi pembelajaran berikutnya, sehingga dengan skripsi ini penulis berharap dapat mereduksi kesalahan-kesalahan yang seharusnya bisa dihindari, agar tidak terjadi kesalaan yang berakibat fatal.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2006


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada Kesempatan ini, penulis dengan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua kami, Bapak Sungeb dan Ibu Toyibah serta ketiga Kakakku yang senatiasa mendoakan dan memberikan perhatian yang lebih kepada kami.

2. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku Dosen pembimbing atas kesabaran dan keikhlasan memfasilitasi dalam penelitian, dan mengarahkan dalam penulisan skripsi.

3. Tatang Tiryana, S.Hut, M.S atas arahan dan konsultasi statistik yang diberikan.

4. Dr. Ir Agus Hikmat, M.Sc dan Dr. Ir. Wayan Hermawan, M.Sc selaku dosen penguji, terima kasih atas masukan-masukan dan sarannya.

5. Tedi Yunanto, S.Hut selaku teman seperjuangan dalam penelitian, penyusunan draf sampai selesainya skripsi ini.

6. Mas Zulfahmi, S.Hut yang selalu memberikan masukan ide, penjelasan mengenai ilmu dasar genetik.

7. Efi Rustining Tyas dan Dyiah Ayu Pandan Wangi yang telah rela merelakan waktunya untuk mengurus konsumsi dalam keperluan seminar dan sidang.

8. Rekan dan Rekanita Budi Daya Hutan angkatan 38 yang selalu mendukung dalam setiap langkah dengan kebersamaan dan kekompakan. 9. Rekan dan Rekanita Budi Daya Hutan angkatan 39 dan 40 yang

menginspirasikan penulis untuk segera selesai.

10.Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung dan tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Alloh SWT memberikan balasan kebaikan, dan sekali lagi penulis ucapkan terima kasih.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 2 Februari 1983 merupakan anak ke empat dari empat bersaudara, dari pasangan Pak Sungeb dengan Ibu Toyibah. Penulis Lulus TK Dharma Wanita Desa Semanten pada tahun 1989. Pada tahun 1989 penulis melanjutkan SDN Desa Semanten Pacitan dan lulus pada tahun 1995, kemudian melanjutkan SLTP Majelis Tafsir Alquran Gemolong, Sragen dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Majelis Tafsir Alquran Surakarta dan lulus tahun 2001.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan memilih departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun 2004 penulis melakukan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di daerah Baturraden, Cilacap, Nusa Kambangan dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Blora, Cepu, Ngawi dan Lawu DS. Pada bulan Juni – Agustus 2005 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Karyamukti, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan diantaranya sebagai Director Asean Forestry Student Association (AFSA) tahun 2004 – 2005, Vice Director Asean Forestry Student Association (AFSA) 2003-2004, Pengurus Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB 2001 – 2003, Wakil Kepala Departemen Sosial Politik Badan Eksekutif Fakultas Kehutanan (BEM- E) tahun 2003, Wakil Ketua Simposium Nasional Kehutanan Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) II tahun 2003. Delegasi Mahasiswa Kehutanan Indonesia dalam pembahasan isu kehutanan yang diadakan oleh Departemen Kehutanan tahun 2004. Ketua Komite Pengawas Pemilihan Raya BEM-E tahun 2005. Pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Genetika Hutan, Pemuliaan Pohon, Sistem Sivikultur Hutan Alam, Ilmu Tanah Hutan, Silvikultur, Bioteknologi Hutan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 2005 Penulis melakukan penelitian dengan judul “Diagnosis Jenis Shorea parvifolia Dyer dan Shorea leprosula Miq Berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)” dibawah bimbingan Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.For.Sc.


(7)

RINGKASAN

Mukhamad Ari Hidayanto. E14201052. Diagnosis Jenis Shorea parvifolia Dyer dan Shorea leprosula Miq Berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Dosen Pembimbing: Dr.Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.For.Sc

Shorea parvifolia dan Shorea leprosula termasuk jenis penting dalam hutan hujan tropis Indonesia. Dalam sebaran alaminya, jenis S. leprosula dan S. parvifolia sering ditemukan pada daerah yang sama, yaitu menyebar pada tipe hutan dataran rendah sampai pegunungan bawah dengan ketinggian 0 – 800 mdpl, yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Pada beberapa lokasi kedua jenis diatas memiliki karakter morfologi dari daun yang sulit dibedakan, terutama pada saat fase semai dan pancang. Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan kesalahan diagnosis jenis. Diagnosis jenis dengan menggunakan karakter morfologi akan lebih akurat jika ditunjang dengan teknologi penanda ADN (Asam Deoksiribosa Nukleat) salah satunya menggunakan RAPD.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Silvikultur, Departemen Manajemen Hutan, dengan tujuan untuk mempelajari karakter morfologi daun S. parvifolia dan S. leprosula dari beberapa lokasi yang dapat dijadikan sebagai alat diagnosis jenis dan mengkonfirmasikan hasil diagnosis jenisberdasarkan karakter morfologi daun dengan bantuan RAPD.

Dari 21 variabel yang digunakan dalam diagnosis jenis berdasarkan morfologi daun, didapatkan 2 variabel pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis yaitu variabel lebar daun (leaf wide, LW) dan jarak dari daun terlebar terhadap petiole (widest leaf to petiole, WP). Kedua variabel dapat digunakan sebagai alat diagnosis jenis karena korelasi kedua variabel tersebut 0,728 dan memiliki peta sebaran jenis yang dapat membedakan dengan jelas 2 klaster dari jenis S. parvifolia dan S. leprosula. Peta sebaran jenis berdasarkan korelasi LW-WP tersebut membagi 202 individu menjadi 3 klaster yaitu klaster S. parvifolia, klaster S. leprosula dan klaster Shorea spp. (campuran antara jenis S. parvifolia dan S. leprosula), dengan perincian 25 individu merupakan jenis S. parvifolia, 24 individu masuk jenis S. leprosula dan 153 individu masuk dalam jenis Shorea spp. Munculnya Shorea spp. mengindikasikan ketidakakuratan diagnosis jenis berdasarkan karakter morfologi daun antara jenis S. parvifolia dan

S. leprosula.

Konfirmasi dengan RAPD dilakukan untuk mengidentifikasi jenis individu-individu yang termasuk dalam klaster Shorea spp. sehingga status jenis dalam

Shorea spp. jelas. Dengan mengambil 5 sampel dari klaster S. parvifolia dan S. leprosula, serta 10 sampel dari klaster Shorea spp. didapatkan satu lokus penanda, yaitu lokus pertama pada primer OPY-13. Dengan ditemukan lokus penanda tersebut dapat dilakukan identifikasi jenis secara langsung, sehingga secara umum sebagian besar dari klaster Shorea spp. masuk dalam S. parvifolia.

Berdasarkan hasil analisis genetik antar spesies menunjukkan hasil yang sama dengan identifikasi jenis menggunakan lokus penanda. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari analisis genetik berdasarkan individu. Dalam analisis individu dijelaskan lebih spesifik dalam identifikasi jenis yang termasuk dalam klaster


(8)

Shorea spp. Dari dendrogram UPGMA berdasarkan individu terdapat 13 individu yang masuk dalam klaster S. parvifolia, sedangkan 7 individu masuk dalam klaster S. leprosula. Analisis berdasarkan individu didapatkan perbedaan genetik yang ditunjukkan oleh perbedaan jarak genetik yang tinggi antara individu S. spp

nomor 7 dan S. spp nomor 8 dengan klaster jenis S. parvifolia dan S. leprosula. Dengan penelitian ini disimpulkan bahwa karakter morfologi daun yang diwakili oleh LL dan WP dapat digunakan untuk diagnosis jenis S. parvifolia dan

S. leprosula, namun diagnosis jenis berdasarkan morfologi kurang akurat. Teknologi penanda ADN (RAPD) dapat mengkonfirmasi diagnosis jenis berdasarkan morfologi daun.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Hipotesis ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi S. parvifolia Dyer ... 3

2.2. Taksonomi S. leprosula Miq ... 4

2.3. Manfaat Penanda Genetik ... 5

2.4. Variasi Genetik ... 6

2.5. Pengukuran Variasi Genetik ... 7

2.6. Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 8

2.7. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) ... 10

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

3.3. Bahan Dan Alat Penelitian ... 15

3.3. Prosedur Penelitian... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 22

4.1.1. Karakterisasi Jenis Berdasarkan Morfologi Daun ... 22

4.1.2. Karakterisasi Jenis Berdasarkan Analisis Penanda Genetik ... 25

4.1.2.1. Variasi Genetik dalam Popolulasi ... 26

4.1.2.2. Variasi Genetik antar Populasi ... 27


(10)

4.2.1. Klarifikasi Jenis S. parvifolia dan S. leprosula Berdasarkan

Morfologi Daun dengan Penanda RAPD ... 30 4.2.2. Implikasi Klarifikasi Jenis S. parvifolia dan S. leprosula

Berdasarkan Morfologi Daun dengan RAPD ... 29 4.3. Implikasi Karakter Morfologi dan Genetik terhadap Penduga

Akurat Jenis Shorea parvifolia dan Shorea leprosula ... 32 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 36 5.2. Saran ... 36 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Letak Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Daun ... 14

2. Simbol dan Keterangan Variabel Pengukuran Morfologi Daun. ... 16

3. Komposisi Buffer Ekstrak Metode CTAB ... 18

4. Nama Primer dan Susunan Basa dalam Proses PCR-RAPD ... 21

5. Komposisi Bahan dalam Proses PCR-RAPD ... 21

6. Nilai Korelasi Variabel Pengkuran pada Morfologi Daun ... 22

7. Hasil Analisa Genetik Masing-masing Populasi ... 27


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Prinsip Kerja PCR ... 10

2. Urutan Kegiatan Penelitian ... 13

3. Karakter Morfologi Variabel Pengukuran ... 16

4. Urutan Penomoran Daun ... 17

5. Perbedaan Variabel Morfologi Daun S. parvifolia dan S. leprosula ... 23

6. Perbandingan Peta Sebaran Jenis Berdasarkan Nilai Korelasi antara LW-WP (jelas membedakan klaster) dengan LL-WP (tidak jelas membedakan klaster) ... 24

7. Ilustrasi Klaster S. leprosula dan S. parvifolia ... 24

8. Hasil PCR-RAPD Primer OPY – 13 ... 25

9. Hasil PCR- RAPD Semua Primer ... 26

9a. Primer OPY-3 ... 26

9b. Primer OPY-13 ... 26

9c. Primer OPO-13 ... 26

10. Dendrogram Kedekatan Genetik antar Populasi ... 28

11. Dendrogram Pengelompokan Jenis ... 28


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Hasil Uji Korelasi Semua Variabel ... 36

2. Keterangan Individu yang Dilakukan Pengujian Amplifikasi ADN ... 38

3. DataSkoring Hasil Amplifikasi ADN ... 39

4. Gambar Alat yang Digunakan dalam Penelitian ... 41


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Shorea parvifolia dan Shorea leprosula tergolong jenis penting dalam hutan hujan tropis. Kedua jenis tersebut biasa dikenal dengan nama dagang meranti merah (red meranti). Selain memiliki karakteristik seperti golongan Shorea spp, yang pada umumnya memiliki tinggi total (TT) dan diameter setinggi dada (DBH) yang besar, jenis S. parvifolia dan S. leprosula memiliki sifat cepat tumbuh (fast growth) dengan rata-rata riap tahunan berkisar 1,2 cm. Dengan riap tersebut kedua jenis diatas akan memerlukan waktu yang lebih singkat untuk membentuk DBH dan TT yang sama dibandingkan dengan jenis Shorea spp yang lain.

Dalam sebaran alaminya, jenis S. leprosula dan S. parvifolia sering ditemukan pada daerah yang sama. Jenis tersebut menyebar pada tipe hutan dataran rendah sampai pegunungan bawah dengan ketinggian dari 0 – 800 mdpl, yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Pada beberapa lokasi kedua jenis diatas memiliki morfologi daun yang sulit dibedakan, terutama pada saat fase semai dan pancang. Hal ini berdampak pada kesalahan diagnosis jenis.

Diagnosis jenis pada tanaman kehutanan biasanya dilakukan oleh para pengenal tumbuhan/dendrolog. Dendrolog dituntut untuk dapat membedakan jenis tanaman kehutanan dengan menggunakan karakter morfologis (morphology characteristic) dengan mengacu dari pengalaman, buku literatur, dan pakar/ahli. Karakter morfologi atau penampakan luar (phenotype) merupakan ekspresi dari interaksi 2 faktor, yaitu faktor genetik (genotype) dan lingkungan (environment). Akibat diagnosis dengan menggunakan karakter morfologi saja, dapat menyebabkan rendahnya akurasi (ketepatan) diagnosis jenis.

Diagnosis jenis dengan menggunakan karakter morfologi akan lebih akurat jika ditunjang teknologi penanda ADN (Asam Deoksiribosa Nukleat). Contoh penggunaan teknologi penanda ADN dapat dilakukan dengan Restriction Fragmen Length Polymorfism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA

(RAPD), mikrosatelit dll. Menurut Yonatan (1998) teknik RAPD memiliki keunggulan dibanding teknik yang lain yaitu relatif mudah dilakukan dan hanya memerlukan sejumlah kecil ADN. Penelitian yang berkaitan tentang diagnosis


(15)

jenis dengan menggunakan karakter morfologi daun S. parvifolia dan S. leprosula

kemudian dilanjutkan dengan pengklarifikasian menggunakan teknologi penanda ADN untuk meningkatkan akurasi diagnosis jenis terutama kedua jenis diatas belum banyak dilakukan dan perlu dikembangkan lebih lanjut.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelajari karakter morfologi daun S. parvifolia dan S. leprosula dari beberapa lokasi yang dapat dijadikan sebagai alat diagnosis jenis.

2. Mengkonfirmasikan hasil diagnosis jenis S. parvifolia dan S. leprosula

berdasarkan karakter morfologi daun dengan bantuan penanda genetik RAPD.

1.3. Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah:

1. Terdapat karakter morfologi daun S. parvifolia dan S. leprosula yang dapat dijadikan alat diagnosis jenis.

2. Teknik RAPD dapat mengkonfirmasikan diagnosis jenis berdasarkan karakter morfologi daun.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi S. parvifolia Dyer

Klasifikasi S. parvifolia adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Devisi : Magnoliophyta Klas : Magnoliospida Ordo : Malvales Famili : Dipterocarpaceae Sub Famili : Dipterocarpoidae Genus : Shorea

Spesies : Shorea parvifolia

Sub Spesies : parvifolia

S. parvifolia pada umumnya memiliki karakteristik daun sebagai berikut: susunan daun alternante, petiolate, bentuk daun membundar, menjorong atau membundar telur, panjang 5 – 8 cm, lebar 2,5 – 5 cm, panjang petiole 0.6 – 1.5 cm ada yang berbulu dan ada yang tidak, bagian permukaan atas daun halus, bagian pangkal daun membulat, jumlah pertulangan sekunder (veins) 9–13 pasang, dometiana kadang ada, jika ada berada terangkat di ketiak, tulang tersier jelas terlihat dan mirip tangga (Rudjiman, 2002 dan Kebler, 2000).

S. parvifolia dengan nama lain meranti sarang punai termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Kayu dari jenis ini di dalam perdagangan digolongkan dalam kelompok meranti merah dan merupakan kayu ekspor yang penting dari hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera.

Selain di Kalimantan dan Sumatera jenis ini juga banyak terdapat di hutan-hutan Malaysia, Serawak, Brunei dan Sabah. Meranti merah biasanya tumbuh berkelompok di hutan Dipterocarpaceae dataran rendah dan bukit sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, pada tanah liat dan tanah pasir dengan drainase baik.

Tinggi pohon S. parvifolia dapat mencapai 65 meter dengan diameter setinggi dada mencapai 100 sentimeter atau lebih. Batang berbanir tegak, lurus dan agak meruncing ke ujung, kulit luarnya beralur keras dan berwarna hitam kemerah-merahan serta mengeluarkan damar berwarna kuning dan lengket. Tajuk pohon kecil, jarang (Kebler, 2000).


(17)

Pohon S. parvifolia dapat berbunga setiap waktu, kecuali bulan Maret. Perbungaan berbentuk malai, terletak pada ujung ranting atau ketiak daun. Buah berbentuk bulat telur atau panjang, ujung lancip dengan ukuran panjang bervariasi, kebanyakan 1 cm. Buah bersayap, tiga sayap bagian luar lebar dengan panjang 6 cm dan sayap lainnya lebih pendek.

Kayu jenis ini terdiri dari kayu gubal berwarna kuning muda dan kayu teras berwarna merah. Berat jenis 0.45 - 0.62. Kayu ini termasuk kelas awet III - IV dan kelas kuat II - IV, mudah diserang jamur busuk putih (white rot), tetapi tahan terhadap serangan jamur busuk kering (dry rot). Pada umumnya kayu S. parvifolia

banyak digunakan sebagai sambungan, perabot rumah tangga, bahan bangunan, kayu lapis, lantai, papan dinding, bahan.

2.2. Taksonomi S. leprosula Miq

Klasifikasi S. leprosula adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Devisi : Magnoliophyta Klas : Magnoliospida Ordo : Malvales Famili : Dipterocarpaceae Sub Famili : Dipterocarpoidae Genus : Shorea

Spesies : Shorea leprosula

Adapun karakteristik daun jenis S. leprosula yaitu memiliki susunan daun alternate, petiolate, bentuk daun lonjong, menjorong atau membundar telur sungsang, panjang daun 6 – 14,5 cm lebar 3,5 – 7,5 cm, panjang petiole 0.9 – 2.3 cm berbulu lebat, permukaan bawah daun kasar jika disentuh, tulang sekunder 10– 16 pasang, tulang daun sekunder hampir tidak ada, dometia ada yang memanjang pada tulang daun utama atau menyebar pada tulang daun sekunder berbentuk sisik, pipih (Rudjiman, 2002 dan Kebler, 2000).

S. leprosula merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi 70 meter dan diameter 150 cm, dengan tajuk tipis dan lebar, berbentuk payung dan berwama merah tembaga pucat. Sedangkan Kebler (2000) umumnya tingginya berkisar antara 45-60 meter, dengan diameter batang antara 30-147 cm dan bisa berkembang lebih besar lagi tergantung pada habitat.


(18)

Berat jenis kering udara kayunya 0,51 dengan kayu gubal tipis berwarna putih sampai kuning dan kayu teras tebal berwarna merah coklat. Kayunya agak lunak dan peka terhadap serangan beberapa hama penggerek kayu atau penyakit-penyakit kayu lainnya, bila dibiarkan terbuka atau berhubungan langsung dengan tanah. Kayunya mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengkerut, termasuk kelas awet III - IV serta kelas kuat III-IV (Tantra, 1983).

S. leprosula berbunga setiap 2-3 tahun sekali pada bulan Juni-September. Berbuah muda pada bulan Oktober-Desember dan berbuah masak bulan Desember-Maret. Produksi buah berkisar antara 36.000-249.000 buah per pohon dan yang berhasil masak hanya 5.000-11.400 buah, biasanya disebabkan oleh serangan hama. Jenis ini dalam 1 kg memiliki 1.900-2.268 biji. S. leprosula pada umur 13 tahun telah mampu mengadakan pembungaan dan pembuahan sekali dalam interval 3-5 tahun, setelah terjadi periode kering yang nyata.

S. leprosula tersebar merata hampir di seluruh hutan dipterocarpaceae dataran rendah di Malaysia, Sumatera dan Kalimantan, dimana temperatur dan curah hujan relatif tinggi sepanjang tahun, serta tumbuh dan berkembang bila curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 2.000 - 2.500 mm dengan selang temperatur hanan antara 22,2°C sampai 32,2°C.

S. leprosula tumbuh pada hampir semua jenis tanah yang berdrainase baik dan bahkan tumbuh juga pada tanah-tanah yang memiliki sifat-sifat fisik dan kimia yang buruk. Pertumbuhan terbaik adalah pada tanah-tanah berlereng, bergelombang atau berbukit, agak kurang pada tanah-tanah datar dan tidak pernah ada pada tanah-tanah berlumpur atau di muara-muara sungai. Di Sumatera dan Kalimantan tumbuh sampai ketinggian 500 mdpl (Bappenas, 2003).

2.3. Manfaat Penanda Genetik

Penanda genetik merupakan alat terpenting untuk mempelajari sistem genetik pada banyak organisme. Keunggulan penanda genetik adalah bersifat stabil terhadap faktor, sehingga penerapan penanda genetik sering digunakan pada proyek pemuliaan dan program konservasi sumberdaya genetik hewan dan tumbuhan. Adapun manfaat penerapan penanda genetik adalah (1) Identifikasi klon-klon, (2) Identifikasi hibrid, (3) Pengukuran variasi genetik antar dan dalam populasi-populasi, (4) Pengamatan sistem


(19)

reproduksi (meliputi sistem perkawinan dan aliran gen), (5) Bukti selektifitas (misalnya berkaitan dengan praktek pengelolaan hutan atau perubahan lingkungan), (6) Identifikasi lokus sifat kuantitatif atau Quantitative Trait Loci (QTLs) Finkeldey (2005).

Dari beberapa manfaat tersebut yang berkaitan langsung dengan penelitian ini adalah identifikasi klon, identifikasi hibrid dan pengukuran variasi genetik dalam dan antar populasi. Menurut Kamus Pemuliaan Pohon yang diterbitkan Departemen Kehutanan (2004) pengertian klon adalah populasi yang terdiri dari sel-sel atau individu yang identik genetiknya. Seperti populasi yang diperoleh melalui pembelahan mitosis atau reproduksi aseksual. Sedangkan hibrid adalah turunan yang secara genetik jelas berasal dari tetua yang berbeda. Istilah hibrid diterapkan untuk keturunan yang berasal dari perkawinan dalam spesies disebut intraspesifik, jika antar spesies dinamakan interspesifik.

2.4. Variasi Genetik

Variasi genetik suatu spesies adalah hasil dan perkembangbiakan secara seksual. Pada proses perkembangbiakan seksual terjadi peristiwa meiosis yang mereduksi jumlah kromosom diploid (2n) dalam sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet, mengikuti hukum segregasi bebas seperti diungkapkan oleh Mendel (Hukum Mendel 1). Selanjutnya diperjelas lagi pada Hukum Mendel 2 meiosis kromosom homolog juga akan mengalami pindah silang dan kadang-kadang terjadi perubahan susunan genetik. Selain perkawinan dan mutasi ditambahkan oleh Finkeldey (2005) bahwa migrasi, aliran genetik, penyimpangan genetik, dan proses seleksi. Keragaman genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi fenotip yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik. Fenotip salah satu tanaman akan berbeda dengan tanaman yang lainnya dalam satu atau beberapa hal.

Variasi genetik merupakan landasan bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik di dalam program pemuliaan. Keragaman genetik yang luas merupakan syarat berlangsungnya proses seleksi yang efektif karena memberikan keleluasaan dalam proses pemilihan suatu genotip. Selain itu populasi dengan keragaman genetik yang lebih luas akan


(20)

memberikan peluang yang lebih besar diperolehnya karakter-karakter yang diinginkan.

Soerianegara dan Djamhuri (1979) mempertegas bahwa dalam satu jenis pohon dapat dijumpai keragaman geografis (antar provenan), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), dan keragaman dalam pohon serta keragaman antar pohon. Ada dua sebab yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaaan susunan genetik. Keragaman lingkungan biasanya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam. Adapula keragaman yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan bentuk batang, taper batang, tebal cabang, dan berat jenis

Kayu dan pohon-pohon dalam suatu tegakan. Dalam hal ini keragaman dipengaruhi oleh perbedaaan genetik yang diturunkan tetua kepada keturunannya (keragaman genetik). Adanya keragaman dalam suatu jenis perlu diketahui lebih dahulu sebelum memulai dengan pemuliaan pohon, karenakeragaman genetik merupakan syarat mutlak dalam pemuliaan, yaitu untuk memungkinkan seleksi dan untuk mencegah dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu.

2.5. Pengukuran Variasi Genetik

Variasi genetik dapat diukur dengan dua metode yaitu dalam populasi dan antar populasi. Variabel yang sering digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi yaitu: (1) Persentase Lokus Polimorfik (PLP), suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika sekurang-kurangnya ada dua varian yang berbeda (alel) dijumpai. Suatu lokus gen dikatakan monomorfik jika tidak memperlihatkan variasi genetik. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95%. (2) Multiplisitas Genetik dan Rata-rata Jumlah Alel per Lokus (A/L), multiplisitas alel dari populasi pada lokus tunggal adalah jumlah alel yang diamati tanpa memandang frekuensi alelnya. Jumlah rata-rata alel tiap lokus gen (A/L) dihitung dengan menjumlahkan semua alel yang diamati pada L

lokus gen dan membaginya dengan jumlah lokus (L) dan (3) Keragaman Genetik (He), yaitu beberapa ukuran variasi genetik mempertimbangkan perbedaan frekuensi dari tipe-tipe genetik (alel dan genotipe) dalam suatu populasi.


(21)

Adapun variabel yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi yaitu: (1) Jarak Genetik, jarak genetik digunakan untuk mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Sebagian besar tetapi tidak semua ukuran jarak bervariasi antara 0 dan 1. Nilai minimum 0 diperoleh jika struktur genetik dari dua populasi identik. Nilai maksimum 1 dicapai jika dua populasi tidak membagi apapun tipe genetik (alel atau genotipe). Perbedaan genetik lebih dari dua populasi biasanya dianalisa oleh sebuah matrik dengan elemen-elemennya berupa jarak genetik dengan pasangan kombinasinya yaitu populasi. (2) Pembagian Variasi Genetik (FST dan GST), FST (GST) adalah suatu ukuran

diferensiasi secara relatif terhadap keseluruhan keragaman. Konsep pembagian variasi genetik dalam sebuah komponen dalam dan satu komponen di antara populasi (FST) merupakan ukuran yang lebih luas digunakan dibandingkan dengan perhitungan diferensiasi genetik δ. (3) Analisis Klaster/kelompok, analisis klaster adalah metode untuk menggambarkan perbedaan genetik antar populasi secara geografis. Hal ini didasarkan atas perhitungan jarak genetik. Populasi dengan jarak genetik yang kecil, yaitu populasi yang secara genetik sama, bersatu pertama kali dan kemudian bersatu lagi dengan populasi yang secara genetik berbeda jarak. Dalam cara ini, pohon keturunan dapat digambarkan yang mempermudah pengkajian pola diferensiasi genetik populasi-populasi. Populasi tunggal atau OTUs (Original Taxonomic Units) biasanya berklaster menjadi beberapa cabang pohon. Analisis klaster dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan hibrid (Finkeldey, 2005).

2.6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah metode untuk menggandakan ADN yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. Proses PCR memiliki 3 tahap, yaitu :

(1) Denaturasi

Denaturasi rantai ADN berlangsung pada suhu 94oC atau pada suhu 95oC dengan selang waktu 15 detik sampai 2 menit. Dalam proses denaturasi kedua rantai akan terpisah dan masing-masing rantai digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. ADN dengan struktur yang komplek akan membutuhkan waktu yang


(22)

lebih lama dalam tahap denaturasi. Hal ini akan berimplikasi pada turunnya kemampuan enzim taq ADN polimerase (Yonatan, 1998).

(2) Annealing

Annealing merupakan tahapan penempelan primer pada ADN cetakan. Suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G (guanin) dan C (sitosin) yang terdapat pada primer serta konsentrasi garam dalam buffer. Konsentrasi garam dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Konsentrasi Garam (M) = 0,67 (Konsentrasi Tris – HCl) (Yonatan, 1998).

Besarnya suhu annealing yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Tm = 81,5 -16,6 (log M) – 0,41 (% G dan C) – (500n) (Yonatan, 1998). Keterangan

Tm = Suhu annealing (dalam oC)

M = Konsentrasi garam dalam buffer (mM)

G = Banyaknya basa guanin dalam primer yang digunakan. C = Banyaknya basa sitosin dalam primer yang digunakan N = panjang primer (dalam bp)

Proses annealing dapat bekerja optimal pada suhu 2oC diatas Tm. Untuk teknik RAPD Suhu annealing yang digunakan umumnya sebesar 36oC. Penggunaan suhu yang rendah pada tahap annealing, akan berdampak pada penempelan primer pada ADN cetakan menjadi tidak spesifik. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan kespesifikan hasil amplifikasi tetapi jumlahnya menjadi berkurang. Menurut promega lamanya tahap annealing yaitu berkisar 30 – 60 detik. Setelah proses annealing selesai suhu dinaikkan menjadi 70 – 74oC untuk mengaktifkan enzim Taq ADN polimerase. Pada tahap transisi ini, ikatan-ikatan yang tidak spesifik antara primer dengan cetakan akan terputus, karena ikatan tidak spesifik tersebut umumnya lemah (Saiki et al. dalam Yonatan, 1998).


(23)

(3) Ekstension

Ekstension merupakan tahap polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq ADN polimerase. Reaksi polimerisasi nukleotida dimulai dari ujung 5’ – fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidroksil (OH). Suhu yang digunakan pada tahap ini berkisar antara 70 – 74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq ADN polimerase bekerja optimum. Lamanya tahap ekstention berkisar dari 1 – 2 menit. Jika waktu pada tahap ini terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Saiki et al. dalam Yonatan,1998). Pembagian tahapan dan ilustrasi proses disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Prinsip Kerja PCR Sumber: Rimbawanto (1999) 2.7. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

RAPD adalah metode untuk mendeteksi dengan cepat genomic polymorphisms. Teknik ini menggunakan oligonucleotida - primer tunggal dan pendek yang akan menempel secara acak - random dalam proses PCR low stringency, menghasilkan serangkaian produk untuk dianalisis dengan gel elektroforesis. RAPD digunakan untuk berbagai bidang antara lain : (1)Analisis


(24)

keanekaragaman, (2) Hubungan antar filogenetik, (3) Identifikasi dan verifikasi galur, (3) Kesehatan dan Epidemiologi, (4) Teknologi Pangan dan (5) Ekologi Molekuler. Metode RAPD juga dapat diterapkan dalam penelitian pada bakteri, jamur, serangga, tanaman, alga, dan manusia.

Dengan menggunakan RAPD dapat dibuktikan bahwa hasil yang didapat dapat diandalkan, canggih, dan sangat cepat. Adapun fitur utama RAPD adalah: (1) Digunakan secara umum sehingga ADN apa saja dapat dikelompokkan tanpa perlu mengetahui urutan basa. (2) Sederhana karena tidak memerlukan ADN dalam jumlah besar dan lebih menghemat tenaga. (3) Kecepatan, untuk dapat mengetahui hasil amplifikasi hanya 6-8 jam. (4) Keterulangan yang tinggi, yang tergantung pada komposisi buffer, konsentrasi Mg ++, pilihan enzim ADN Polymerase, kualitas Nukleotida (ADN). (5) Resolusi Tinggi, Pemisahan potongan ADN pada gel agarose yang sangat tipis memungkinkan tercapainya resolusi tertinggi dalam elektroforesis manual. Jika deteksi menggunakan pewarna perak – silver, setiap potongan ADN dengan kisaran 50-200 basa, akan tampak dengan jelas. Para peneliti ilmu biologi telah membuat kemudahan dengan menyediakan gel siap pakai, bahan kimia elektroforesis yang dapat diandalkan dan sistem pewarnaan perak otomatis.

Metode RAPD pernah digunakan untuk membedakan secara genetik 15 jenis Mulbery (genus Morus) yang berasal dari beberapa daerah antara lain Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Afrika pada tahun 2001. Mulbery merupakan jenis yang daerah sebaran alaminya luas dan memiliki jumlah spesies bahkan varietas yang banyak, sehingga banyak terjadi kesamaan fenotip. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa metode RAPD dapat digunakan untuk pengklarifikasian diagnosis jenis berdasarkan fenotipe.


(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Silvikultur Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Darmaga. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan dari Mei 2005 – Desember 2005.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Herbarium meranti (S. parvifolia dan S. leprosula) yang berasal dari PT. Asia Log, Haurbentes, PT. ITCI, Pasir Mayang, TNBT, PT. Sumalindo, PT. Sari Bumi Kusuma, Bukit Bangkirai dan Nanjak Makmur. Bahan untuk analisis genetik meliputi daun

S. parvifolia dan S. leprosula, nitrogen cair, bahan kimia yang digunakan untuk membuat buffer ekstrak, PCR, ADN, agaros serta Ethidium Bromida (EtBr).

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris ukuran 30 cm,busur, tally sheet, alat tulis, alat hitung, spidol permanen, kertas label, kamera digital, flash disk, program Minitab 14, Microsoft Excel 2003, POPGENE versi 32, NTSys versi 2.0 dan komputer. Alat untuk keperluan analisis genetik meliputi plastik klip, sterofom, mortar beserta pestel, sarung tangan, pipet, pipet mikro, sentrifugasi, vortex, spatula, koleksi tabung, cetakan gel, bak elektroforesis, tray,

microwave, power supply, pH meter, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnetik (stirer), lemari pendingin, water bath, ultraviolet transiluminator, kamera digital.Secara lebih jelas ditampilkan dalam Lampiran 4.

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap karakterisasi jenis berdasarkan morfologi dan tahap karakterisasi berdasarkan RAPD. Secara lebih terperinci tahapan tersebut dutunjukkan dalam Gambar 2.


(26)

Gambar 2 Urutan Kegiatan Penelitian

IDENTIFIKASI JENIS

DOKUMENTASI MORFOLOGI

UJI KORELASI ANTAR PARAMETER MORFOLOGI DAUN

(r > 0.7)

PETA SEBARAN JENIS BERDASARKAN KORELASI PARAMETER

ANALISIS JENIS BERDASARKAN PETA

SEBARAN JENIS

PENGAMBILAN SAMPEL

Mix (n = 10)

S. parvifolia (n = 5) S. leprosula (n = 5)

KONFIRMASI PENANDA GENETIK


(27)

3.3.1. Pengumpulan Sampel

Sampel daun dikumpulkan dari 9 tempat yaitu PT. Asia Log, Haurbentes, PT. ITCI, Pasir Mayang, TNBT, PT. Sumalindo, PT. Sari Bumi Kusuma, Bukit Bangkirai dan Nanjak Makmur. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 202 buah yang terdiri dari 101 S. leprosula dan 101 S. parvifolia. Adapun letak geografis lokasi pengambilan sampel terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Letak Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Daun

No Lokasi Provinsi Perkiraan Lokasi

Garis Bujur Garis Lintang 1 Haurbentes Jawa Barat 106o41’ – 107o42’BT 6o54’ – 7o54’LU 2 Asia Log, Jambi Sumatera 103o15’ – 103o33’ BT 02o02’ – 02o22’LS 3 Pasir Mayang, Jambi Sumatera 101o19’ – 103o20’ BT 00o8’ – 03o9’LU 4 TNBT, Riau Sumatera 102°13’—103°14’ BT 01°5’ - 02°6’LU 5 Nanjak Makmur,

Jambi

Sumatera 101°40’ BT 10o22’ LU 6 Sari Bumi Kusuma Kalimantan

Selatan

111°18’-114°42’BT 01°59’ -00°36’LU 7 PT. ITCI Kartika

Utama

Kalimantan Timur

116°17’ - 117°6’ BT 00°20’ - 01°18’ LU 8 Bukit Bangkirai,

Balikpapan

Kalimantan Timur

111’32’ — 118°35’BT 00°14’ - 01°15’ LU 9 Sumalindo,

Samarinda

Kalimantan Timur

115°18’ - 1 16°36’ BT 00°55’ - 00°56’LS

3.3.2. Identifikasi Jenis

Dalam kegiatan identifikasi jenis ada dua metode yang digunakan. Metode pertama dengan menggunakan identifikasi jenis berdasarkan pengenal pohon langsung dari tempat asal sampel dikumpulkan. Metode kedua dengan mengirimkan sebagian sampel ke Herbarium Bogoriense. Dari dua metode yang dipakai semua jenis yang diidentifikasi secara langsung dari lapangan menunjukkan jenis yang sama dengan hasil identifikasi jenis dari Herbarium Bogoriense.

3.3.3. Dokumentasi Morfologi

Kegiatan dokumentasi morfologi meliputi pembuatan herbarium, penomoran dan pelabelan herbarium sesuai nomor pohon serta pengukuran variabel morfologi daun. Dalam pengukuran variabel morfologi daun terdapat 28


(28)

variabel, yang secara umum dibagi menjadi dua kelompok yaitu 7 variabel pengukuran dan 21 variabel turunan. Variabel turunan dapat dihitung jika variabel pengukuran telah diketahui. Adapun simbol dan keterangan variabel ditampilkan pada Tabel 2. Bagian-bagian variabel yang diukur tersebut dalam daun ditunjukkan dalam Gambar 3. Teknis pengukuran variabel pengukuran adalah dengan mengambil 5 sampel daun setiap herbarium yang digunakan sebagai ulangan, untuk memudahkan pengukuran dan penelusuran data dalam penomoran sampel daun digunakan kaidah penomoran searah jarum jam. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.

3.3.4. Analisis Jenis Berdasarkan Peta Sebaran Jenis

Variabel pengukuran dan variabel turunan dari masing-masing jenis dilakukan uji korelasi, dengan menggunakan Minitab 14. Dari hasil uji korelasi dapat diketahui variabel yang memiliki korelasi yang kuat antara dua variabel. Kemudian data yang memenuhi kriteria r > 0.7 dilakukan pemetaan. Hasil pemetaan tersebut dinamakan Peta Sebaran Jenis. Setelah didapatkan peta sebaran jenis dilanjutkan dengan penyeleksian hasil peta, peta sebaran jenis yang baik menunjukkan munculnya 2 klaster (gerombol) titik hasil uji korelasi yang jelas.

Dari dua klaster yang berjauhan dilakukan penelusuran ulang untuk mengetahui nama jenis klaster. Jenis yang memiliki titik hasil uji korelasi yang berdekatan dengan klaster yang telah diidentifikasi dinamakan sesuai nama klaster yang bersangkutan.

3.3.5. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan untuk pengklarifikasian dengan penanda RAPD. Pengambilan sampel dilakukan secara acak pada individu yang terletak pada klaster S. parvifolia dan S. leprosula masing-masing sebanyak 5 individu, dan diambil juga 10 individu yang berada pada klaster Shorea sp (campuran dari individu S. leprosula dan S. parvifolia), dengan kriteria 5 individu S. parvifolia

yang masuk dalam klaster S. leprosula dan 5 individu dari S. leprosula yang masuk dalam klaster S. parvifolia.


(29)

Tabel 2 Simbol dan Keterangan Variabel Pengukuran Morfologi Daun.

No Simbol Keterangan

1 LL Panjang daun (leaf length) 2 PL Panjang petiole (petiole length) 3 LW Lebar daun (leaf width)

4 WP Jarak daun terlebar ke petiole (widest leaf to petiole) 5 DL Panjang dometiana (dometiana length)

6 NL Besar sudut pertulangan daun (number of lobes) 7 NV Jumlah tulang daun (number of veinations) 8 LLPLR Leaf Length-Petiole Length Ratio

9 LLLWR Leaf Length-Leaf Wide Ratio

10 LLWPR Leaf Length-Widest leaf to Petiole Ratio 11 LLDLR Leaf Length-Dometiana Length Ratio 12 LLNLR Leaf Length-Number of Lobes Ratio 13 LLNVR Leaf Length-Number of Veination Ratio 14 PLLWR Petiole Length- Leaf Wide Ratio

15 PLWPR Petiole Length- Widest Leaf to Petiole Ratio 16 PLDLR Petiole Length- Dometiana Length Ratio 17 PLNLR Petiole Length- Number of Lobes Ratio 18 PLNVR Petiole Length- Number of Veination Ratio 19 LWWPR Leaf Wide- Widest Leaf to Petiole Ratio 20 LWDLR Leaf Wide- Dometiana Length Ratio 21 LWNLR Leaf Wide- Number of Lobes Ratio 22 LWNVR Leaf Wide- Number of Veination Ratio

23 WPDLR Widest Leaf to Petiole - Dometiana Length Ratio 24 WPNLR Widest Leaf to Petiole - Number of Lobes Ratio 25 WPNVR Widest Leaf to Petiole - Number of Veination Ratio 26 DLNLR Dometiana Length- Number of Lobes Ratio 27 DLNVR Dometiana Length- Number of Veination Ratio 28 NLNVR Number of Lobes - Number of Veination Ratio

Gambar 3 Karakter Morfologi Variabel Pengukuran Sumber: Gambar Pribadi


(30)

1

3.3.6. Ekstraksi ADN

Prosedur ekstraksi ADN menggunakan metode Mini kit Qiagen untuk 16 sampel dan 4 sampel dengan metode CTAB. Perbedaan metode tersebut tidak mempengaruhi munculnya pita pada gel agarose. Pada metode CTAB, pertama yang dilakukan adalah melakukan pemotongan sampel daun yang telah sesuai dengan nomor individu dan asal lokasi. Pemotongan dilakukan pada sebagian kecil dari daun yang meliputi sebagian kecil dari ujung daun, pangkal daun, bagian sisi daun, dan bagian tengah daun dan. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu letak ADN yang paling banyak terletak di bagian daun yang mana.

Langkah kedua adalah menggerus potongan kecil daun dengan alat mortal beserta pestel dengan bahan nitrogen cair, sehingga didapatkan serbuk. Serbuk kemudian dipindahkan kedalam microtube berukuran 1,5 mL. Berikutnya berikutnya tambahkan 800 uL larutan buffer ekstrak dan 10 uL PVP 2%, lakukan vortex secepatnya setelah kedua bahan kimia ditambahkan dalam microtube, agar serbuk tidak mengendap. Adapun komposisi dari Buffer ekstrak metode ini ditunjukkan pada Tabel 3.

Langkah keempat dilakukan inkubasi microtube, dalam inkubator dengan suhu 650 C, selama 45 – 60 menit dan setiap 15 menit dilakukan pengocokan (bolak-balik) dengan tujuan untuk meratakan semua bagian dalam microtube. Sehingga ADN akan mudah keluar dari sel. Kelima, microtube diangkat dari

Gambar 4 Urutan Penomoran Daun Sumber: Foto Pribadi

2 3

4


(31)

inkubator didiamkan pada suhu ruangan selama 5 – 10 menit, kemudian ditambahkan 500 uL IAA chloroform pada setiap sampel, disentrifuse selama 2 menit pada 13000 rpm, sambil menunggu sentrifuse selesai dapat digunakan untuk menyiapkan microtube yang baru.

Tabel 3 Komposisi Buffer Ekstrak Metode CTAB

No Bahan Kimia 1 x Reaksi 20 x Reaksi

1 Psd H2O 380 uL 7600 uL

2 1M Tris – HCl pH 9,0 100 uL 2000 uL

3 5 M NaCl 280 uL 5600 uL

4 0.5 M EDTA 40 uL 800 uL

5 10% CTAB 200 uL 4000 uL

6 β - Merchaptoetanol 5 uL 100 uL

Langkah keenam, microtube diangkat dari sentrifuse, supernatannya diambil dengan menggunakan pipet mikro berukuran 100 uL, supernatant dipindahkan ke dalam microtube baru. Ketujuh, 700 IAA chloroform ditambahkan dalam

microtube yang telah diisi supernatant. Kemudian disentrifuse selama 2 menit pada 13000 rpm. Setelah selesai supertanant diambil dengan pipet mikro ukuran 100 uL, dipindahkan ke microtube yang baru.

Langkah kedelapan, 300 uL isopropanol dingin dan 20 uL NaOC atau NaCl 1 M ditambahkan dalam microtube, kocok kemudian dimasukan dalam freezer selama 45 – 60 menit. Setelah itu microtube diangkat dari freezer, disentrifuse selama 2 menit pada 13000 rpm. Cairan yang berada dalam microtube dibuang semua dengan hati-hati supaya pellet ADN tidak terbuang. Kesembilan, dengan

microtube yang sama ditambahakan etanol 70 %, disentrifuse selama 2 menit pada 13000 rpm. Larutan dalam microtube dibuang, kemudian ditambahkan etanol 100%, disentrifuse larutan dalam microtube dibuang kembali, kemudian ditiriskan selama 5 menit pada desikator. Kesepuluh, microtube yang berisi ADN ditambahkan 30 uL TE. Supaya mempercepat penyampuran dapat dilakukan dengan memvortex atau menyentil microtube sampai yakin TE bercampur dengan pellet ADN.


(32)

Langkah kesebelas merupakan tahap pengujian keberadaan ADN hasil ekstraksi dengan teknik elektroforesis agarose 2%, bahan yang diperlukan adalah agarose larutan TAE (Tris Acetate with EDTA). Pertama adalah membuat gel/agar, dengan melarutkan agaros 0,66 gram dengan mencampurkan 33 mL larutan TAE. Larutan tersebut dipanaskan dalam microwave sampai mendidih, kemudian didinginkan dalam suhu ruangan sebentar untuk mengurangi gelembung udara, baru dituang kedalam cetakan gel. Cetakan jel tersebut telah dipasang sisi/comb yang berfungsi untuk membuat cetakan sumur gel/well

elektroforesis. Gel kemudian di dinginkan sampai membeku. Sambil menunggu gel membeku, siapkan tray yang akan digunakan untuk mencampur ADN dengan

blue juice. Setelah yakin gel membeku, ambil sisir/comb. Masukan gel dalam bak elektroforesis yang telah diisi dengan larutan TAE. Ambil 4 uL ADN dari mikro tube dengan pipet mikro, tuangkan dalam tray, campurkan 3 uL blue juice. Dengan pipet mikro ambil 7 uL campuran ADN dan blue juice dan masukkan kedalam sumur gel elektroforesis, hati-hati jangan sampai campuran ADN dan

blue juice tersebar keluar sumur gel. Setelah semua campuran ADN dan blue juice

dimasukkan, tutup bak elektroforesis dan hidupkan power supply, running dengan menggunakan voltage kostan 100 volt, selama 30 – 40 menit.

Gel yang telah dielektroforesis dilakukan pewarnaan dengan menggunakan larutan ethidium bromide (EtBr) selama kurang lebih satu jam. Keberadaan ADN dapat dilihat dengan menggunakan ultraviolet transluminator.

Perbedaan dengan metode Mini Kit Qiagen tahap pertama disebut tahap prespitasi yaitu tahap menggerus daun berukuran 2 x 1 cm dengan bantuan nitrogen cair sehingga menjadi bubuk. Bubuk dimasukkan dalam microtube 2 mL, kemudian ditambahkan 400 uL buffer AP1 dan 4 uL RNAse A (100 mg/mL). Larutan tersebut kemudian dikocok dengan vortex. Setelah divortex larutan diinkubasi dalam water bath selama 10 menit pada suhu 65oC, dengan diselingi pengocokan selama 2-3 kali selama inkubasi dilakukan. Setelah selesai 130 uL

buffer AP 2 ditambahkan dalam mikrotube dan divortex, kemudian diinkubasi dalam larutan es selama 5 menit. Setelah selesai disentrifuse selama 5 menit pada 13000 rpm. Cairan dalam microtube dimasukkan kedalam QIAShedder spin column yang terdapat pada koleksi tabung 2 mL dan disentrifuse selama 2 menit


(33)

pada kecepatan 13000 rpm. Larutan yang mengalir melalui fraksi dipindahkan dalam microtube yang baru (tanpa penambahan). Kemudian 1,5 volume buffer AP 3/E (buffer sebelumnya ditambahkan etanol) ditambahkan pada larutan bersih dan dicampurkan dalam microtube. Larutan DNeasy mini spin column sebanyak 650uL ditambahkan dalam microtube kemudian disentrifuse pada 8000 rpm selama 2 menit, kemudian cairan yang melewati fraksi dibuang.

Tahap kedua disebut tahap pencucian dimulai dengan menempatkan DNeasy column pada microtube yang baru kemudian ditambahkan 500 uL buffer AW.

Microtube tersebut disentrifuse selama 1 menit pada 8000 rpm. Cairan yang melewati dibuang, kegiatan ini dilakukan dua kali, kemudian disentrifuse selama 2 menit pada 13000 rpm.

Tahap ketiga disebut tahap elution, dilakukan dengan menyimpan DNeasy column pada 2 mL microtube, 100 uL larutan buffer AE hangat (65oC) dicampurkan dalam membran DNeasy, kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruangan. Setelah selesai microtube disentrifuse selama 1 menit pada 8000 rpm, kegiatan ini dilakukan 2 kali, sehingga akan didapatkan ADN hasil ekstraksi sebanyak 200 uL.

Tahapan berikutnya adalah uji kualitas ADN, secara teknis dalam uji kualitas ADN baik dengan metode CTAB maupun metode Mini kit Qiagen tidak jauh berbeda, sehingga tidak diuraikan lebih jauh.

3.3.7. Proses PCR-RAPD

ADN hasil ekstraksi diamplifikasi dengan menggunakan mesin PCR teknik yang digunakan adalah RAPD. Kombinasi primer yang digunakan adalah primer universal (hampir terdapat di semua tumbuhan). Primer yang digunakan adalah OPO–13, OPY–3 dan OPY-13. Urutan nukleotida dari masing-masing primer secara lebih terperinci disajikan dalam Tabel 4.

Primer yang akan digunakan sebelumnya dilakukan pengenceran terlebih dahulu, dengan tujuan untuk menghindari hablurnya pita ADN pada saat running

elektroforesis. Pengenceran dilakukan dengan mengambil primer tersebut sebanyak 1 uL dan ditambahkan 4 uL H2O yang telah di autoklaf jika pengenceran


(34)

adalah 5X, dan 10X. Adapun bahan-bahan yang dicampurkan dalam satu

microtube pada proses PCR-RAPD terdapat pada Tabel 5.

Tabel 4 Nama Primer dan Susunan Basa dalam Proses PCR-RAPD

No Primer Susunan Basa

1 OPO-13 5’-GTCAGAGTCC-3’

2 OPY-3 5’-ACAGCCTGCT -3’

3 OPY-13 5’-CACAGCGACA-3’

Tabel 5 Komposisi Bahan dalam Proses PCR-RAPD

No Bahan Kimia 1 x Reaksi

1 Psd H2O 7,5 uL

2 Enzim Taq DNA polymerase 2,5 uL

3 Primer oligonukleid 1,5 uL

4 DNA pekat 1,5 uL

3.3.8. Analisis Genetik

Hasil elektroforesis akan menunjukkan beberapa pita/band. Berdasarkan identifikasi pita dapat ditemukan lokus penanda yang membedakan satu individu dengan individu lain. Dengan menggunakan lokus penanda secara kasar, diagnosis jenis dapat dilakukan. Diagnosis jenis berdasarkan lokus penanda secara umum dilakukan sebelum scoring dilakukan.

Scoring dilakukan dengan memberi nilai 1 (satu) bagi lokus yang memiliki pita, dan memberi nilai 0 (nol) bagi lokus yang tidak memiliki pita. Adapun ketentuan yang perlu diperhatikan dalam penentuan nomor lokus yang secara umum digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya adalah penomoran lokus dimulai dari pita yang memiliki berat molekul yang paling ringan. Dalam gel agarose pita tersebut ditunjukkan dengan jarak yang paling jauh dari sumur gel. Data hasil scoring dari masing-masing primer kemudian dianalisis dengan


(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Karakterisasi Jenis Berdasarkan Analisis Morfologi Daun

Hasil pengukuran langsung dari kedua spesies diperoleh data bahwa secara kuantitatif morfologi S. parvifolia memiliki karakter panjang daun (LL), panjang

petiole (PL), lebar daun (LW), panjang dari daun terlebar ke petiole (WP) lebih pendek dari pada S. leprosula. Pada karakter jumlah tulang daun sekunder (veination) S. parvifolia juga memiliki jumlah veination yang lebih sedikit dibanding S. leprosula yaitu rata–rata hanya mencapai 13,08 buah, terpaut hampir 3 buah veination dengan S. leprosula. Namun S. parvifolia secara umum memiliki besar sudut tulang daun utama dengan tulang daun sekunder (NL) yang lebih besar yaitu 61,96o sedangkan S. leprosula hanya memiliki sudut sebesar 56o. Secara lebih terperinci dapat dilihat pada Gambar 5. Adapun gambar semai dan daun segar dari S. parvifolia dan S. leprosula disajikan dalam Lampiran 5.

Dari 202 individu S. parvifolia dan S. leprosula yang berasal dari 9 lokasi setelah dilakukan uji korelasi, diperoleh 46 kombinasi karakter morfologi daun yang memiliki r > 0,7. Dari kombinasi tersebut terdapat empat kombinasi dari pengukuran langsung yang memiliki koefisien korelasi (r) > 0,7 (Tabel 6), secara lebih terperinci terdapat pada Lampiran 1.

Tabel 6 Nilai Korelasi Pengkuran Langsung pada Morfologi Daun

Karakter LL PL LW WP DL NL

LL - - - - - -

PL 0.505 - - - - -

LW 0.811* 0.673 - - - -

WP 0.862 0.512 0.728* - - -

DL 0.562 0.317 0.556 0.458 - -

NL -0.438 -0.412 -0.341 -0.460 -0.484 -

NV 0.744* 0.314 0.528 0.651 0.596 -0.526

Keterangan


(36)

Satuan dalam (cm)

S. parvifolia S. leprosula

NL

(61,96o) (56o)

S. parvifolia S. leprosula

Gambar 5 Perbedaan Variabel Morfologi Daun S. parvifolia dan S. leprosula

Berdasarkan peta sebaran jenis, hanya diperoleh 1 kombinasi karakter morfologi yang jelas membedakan klaster dari S. parvifolia dan S. leprosula yaitu kombinasi karakter LW (Leaf Width)–WP (Wide leaf to Petiole) ditunjukkan dalam Gambar 6. Peta sebaran jenis tersebut membagi klaster menjadi 3 bagian yaitu klaster S. parvifolia yang berada dibawah, klaster S. leprosula yang berada diatas dan klaster Shorea sp yang berada ditengah keduanya (Gambar 7). Setelah dilakukan penelusuran diperoleh informasi bahwa 25 individu termasuk dalam


(37)

Klaster S. leprosula DAN S. parvifolia 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

0.00 10.00 20.00 LL (cm )

WP ( c m ) PARVI LEPRO Klaster S. leprosula dan S. parvifolia

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

LW (cm) WP ( c m) PARVI LEPRO

klaster S. parvifolia, 24 individu termasuk dalam klaster S. leprosula dan 153 individu termasuk dalam klaster Shorea sp .

Gambar 6 Perbandingan Peta Sebaran Jenis Berdasarkan Nilai Korelasi antara LW-WP (jelas membedakan klaster) dengan LL-WP (tidak jelas

membedakan klaster)

x x x x

Gambar 7 Ilustrasi Klaster S. leprosula dan S. parvifolia serta Shorea spp . S. leprosula

n =24

S. parvifolia n = 25

Klaster Shorea spp n = 153

LW WP


(38)

4.2.2. Karakterisasi Jenis Berdasarkan Analisis Penanda Genetik

Hasil PCR-RAPD dengan menggunakan 3 primer yaitu OPY-3, OPY-13 dan OPO-13 didapatkan bahwa ukuran produk hasil amplifikasi berkisar dari 100– 1500 bp, dengan jumlah lokus yang berbeda pada setiap primer. Pada primer OPY-13 terdapat 25 lokus, primer OPY-3 terdapat 10 lokus, dan primer OPO-13 terdapat 19 lokus. Selain itu berdasarkan hasil PCR-RAPD pada primer OPY-13 ditemukan 1 lokus penanda tepatnya pada lokus ke-1 yang selanjutnya diberi kode OPY-13-L1 (Gambar 8). Tampilan pita dalam gel agarose untuk semua primer disajikan pada Gambar 9. Keterangan nomor pohon, nomor individu, simbol dan asal individu ditampilkan pada Lampiran 2. Dari data skoring diperoleh 54 lokus polimorfik semua primer yang digunakan. Hasil skoring secara lebih terperinci disajikan pada Lampiran 4.

M SP SP SP SP SP SP SP SP SP SL SL SL SL SL SL SL SL SL SL SL

Keterangan :

M = Marker XIV

SP = Jenis S. parvifolia hasil identifikasi secara Morfologi Daun SL = Jenis S. leprosula hasil identifikasi secara Morfologi Daun

Shorea sp = Jenis campuran dari SP dan SL

Gambar 8 Hasil PCR-RAPD Primer OPY – 13. Tanda Panah Menunjukkan Lokus 1 yang dijadikan Penanda (OPY-13-L1)

100 bp

500 bp

1000 bp

1500 bp

Lokus 1

S. parvifolia Shorea sp S.leprosula


(39)

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

(a) (b)

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 (c)

Gambar 9 Hasil PCR- RAPD Semua Primer (a) Primer OPY-3 (b) Primer OPY-13 (c) Primer OPO – 13

4.1.2.1. Variasi Genetik dalam Populasi

Asumsi yang digunakan dalam analisis penanda genetik adalah dengan menganggap klaster sebagai populasi, sehingga terdapat 3 populasi yaitu populasi

S. parvifolia, S. leprosula, dan populasi Shorea sp . Berdasarkan hasil analisis variasi genetik dalam populasi, didapatkan perbedaan yang jelas dari 3 populasi yang diuji. Populasi S. parvifolia memiliki jumlah lokus polimorfik yang lebih kecil dibandingkan S. leprosula yaitu hanya sebanyak 20 buah lokus, sedangkan

S. leprosula memiliki 32 lokus. Hal tersebut berakibat pada persentase lokus polimorfik (PLP) dan keragaman genetik (He) S. parvifolia lebih kecil dibanding PLP dan (He) S. leprosula. Adapun nilai PLP dan (He) pada S. parvifolia secara berurutan adalah 37.04 % dan 0.1255 sedangkan nilai PLP dan (He) S. leprosula

secara berurutan adalah 59.6% dan 0.1871. Pada populasi Shorea sp . jumlah lokus polimorfik lebih banyak dibandingkan 2 populasi lainnya. Adapun nilai PLP


(40)

dan (He) populasi Shorea sp . secara berurutan adalah 79.63% dan 0.213. Hasil analisa variasi genetik dalam populasi secara lebih terpeinci disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Hasil Analisa Genetik Masing-masing Populasi

Populasi Jml ind LP PLP(%) A/L He

I (S. parvifolia) 5 20 37.04 1.703 0.1255 II (Shorea sp .) 10 43 79.63 3.333 0.2130

III (S. leprosula) 5 32 59.6 1.463 0.1871

Keterangan:

LP = Lokus Polimorfik,

PLP = Persentase Lokus Polimorfik, A/L = Rata-rata Jumlah Alel Setiap Lokus, He = Keragaman Genetik

4.1.2.2. Variasi Genetik antar Populasi

Berdasarkan hasil analisis penanda genetik antar populasi diperoleh jarak genetik populasi S. parvifolia dengan populasi Shorea sp . sebesar 0.0703 sedangkan jarak dari populasi Shorea sp .terhadap populasi S. leprosula sebesar 0.1149, serta jarak dari populasi S. parvifolia terhadap populasi S. leprosula

sebesar 0.1926. Selain itu diketahui pula nilai Hs sebesar 0.1752, Ht sebesar 0.2402, Gst sebesar 0.2708.

Analisis kedekatan genetik antar populasi dapat diketahui dari dendrogram yang disajikan dalam Gambar 10. Untuk menguatkan dalam klarifikasi jenis dilakukan analisis penanda ADN berdasarkan individu. Hasil dari uji penanda ADN berdasarkan individu disajikan dalam Gambar 11. Sedangkan dari Tabel 8 dapat menjelaskan bahwa jarak genetik terkecil dimiliki oleh S. parvifolia 2 terhadap Shorea sp nomor 3 dan jarak dari Shorea sp . nomor 2 terhadap Shorea sp . nomor 3 yaitu 0,0972. Jarak genetik terbesar ditunjukkan oleh Shorea sp .

nomor 8 terhadap S. lep 1 yaitu sebesar 0,7710.


(41)

Gambar 10 Dendrogram Kedekatan Genetik antar Populasi


(42)

Tabel 8 Jarak Genetik dari Masing-masing Individu

Individu S.spar1 S.spar2 S.spar3 S.spar4 S.spar5 S.sp1 S.sp2 S.

sp3 S.sp4 S.sp5 S.sp6 S.sp7 S.sp8 S.sp9 S.sp

10 S.lep1 S.lep2 S.lep3 S.lep4 S.lep5

S.spar1 0.000

S.spar2 0.139 0.000

S.spar3 0.139 0.118 0.000

S.spar4 0.182 0.118 0.118 0.000

S.spar5 0.300 0.325 0.325 0.182 0.000

S.sp1 0.300 0.275 0.325 0.228 0.251 0.000

S.sp2 0.182 0.118 0.205 0.118 0.182 0.182 0.000

S.sp3 0.160 0.097 0.182 0.182 0.300 0.205 0.097 0.000

S.sp4 0.118 0.182 0.139 0.139 0.251 0.251 0.182 0.205 0.000

S.sp5 0.275 0.300 0.251 0.351 0.493 0.325 0.351 0.325 0.325 0.000

S.sp6 0.139 0.251 0.205 0.300 0.325 0.378 0.251 0.228 0.182 0.251 0.000

S.sp7 0.351 0.493 0.434 0.493 0.657 0.523 0.555 0.463 0.406 0.325 0.434 0.000

S.sp8 0.351 0.434 0.434 0.555 0.588 0.588 0.555 0.463 0.351 0.493 0.275 0.351 0.000

S.sp9 0.351 0.275 0.275 0.378 0.588 0.463 0.434 0.300 0.351 0.434 0.325 0.463 0.406 0.000

S.sp10 0.300 0.228 0.228 0.325 0.523 0.463 0.325 0.251 0.351 0.378 0.275 0.657 0.523 0.251 0.000

S.lep1 0.378 0.406 0.463 0.463 0.555 0.555 0.351 0.434 0.434 0.588 0.523 0.693 0.555 0.770 0.555 0.000

S.lep2 0.493 0.406 0.406 0.463 0.555 0.493 0.463 0.378 0.434 0.406 0.406 0.555 0.378 0.434 0.434 0.523 0.000

S.lep3 0.378 0.406 0.406 0.351 0.378 0.434 0.406 0.434 0.325 0.406 0.406 0.555 0.493 0.622 0.434 0.351 0.351 0.000

S.lep4 0.523 0.622 0.622 0.622 0.588 0.523 0.555 0.523 0.406 0.555 0.434 0.588 0.351 0.657 0.588 0.493 0.275 0.378 0.000

S.lep5 0.351 0.378 0.434 0.434 0.523 0.406 0.378 0.300 0.406 0.434 0.493 0.523 0.463 0.588 0.523 0.434 0.139 0.378 0.251 0.000


(43)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Klarifikasi Jenis S. parvifolia dan S. leprosula Berdasarkan Morfologi Daun dengan Penanda RAPD

Karakter morfologi selama ini sering digunakan dalam diagnosis jenis. Adapun karakter morfologi yang paling sering digunakan adalah morfologi organ daun. Selain mudah dan cepat dilakukan, juga banyak literatur mengenai morfologi daun. Namun disisi lain diagnosis jenis dengan menggunakan karakter morfologi daun terdapat beberapa kelemahan, terutama pada jenis yang memiliki morfologi daun yang mirip. Kemiripan bentuk morfologi daun dapat terjadi, hal ini disebabkan karena morfologi merupakan fenotipe, dimana fenotipe memiliki ketidakstabilan terhadap faktor lingkungan. Hal serupa juga disampaikan Finkeldey (2005) yang menjelaskan bahwa karakter morfologi tidak dapat secara tepat membedakan satu jenis dengan jenis yang lain. Karena morfologi dari satu jenis merupakan ekspresi dari faktor genetik dan faktor lingkungan.

Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7, dengan menggunakan karakter morfologi daun, muncul klaster Shorea sp . yang berada diantara jenis S. parvifolia dan S. leprosula. Implikasi dari munculnya daerah tersebut menandakan adanya beberapa jenis yang didiagnosis meragukan antara kedua jenis. Diagnosis daerah yang meragukan tersebut akan menyebabkan keakuratan pendugaan jenis dengan menggunakan karakter morfologi rendah, dan sebaliknya kesalahan diagnosis jenis menjadi besar. Kesalahan diagnosis jenis akan berakibat fatal baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, terutama jika berkaitan tentang kegiatan pemuliaan pohon, pengadaan bibit yang berkualitas dll.

Menurut Finkeldey (2005) dijelaskan bahwa untuk membedakan jenis dapat digunakan penanda genetik. Penanda genetik lebih stabil terhadap faktor lingkungan. Dengan kemajuan teknologi genetika molekuler sekarang ini penanda genetik dapat dilihat dari lokus penanda atau gen penanda yang hanya dapat dilihat dengan teknologi penanda ADN. Ada beberapa teknik penanda ADN yang sekarang dikembangkan antara lain RLFP, RAPD, AFLP, mikrosatelit dll.

Hasil RAPD dari primer OPY-13 (Gambar 8) menunjukkan bahwa lokus 1 merupakan lokus penanda, sehingga dengan lokus 1 dapat digunakan untuk melakukan klarifikasi jenis. Berdasarkan lokus penanda tersebut, dari 20 individu


(44)

klarifikasi yang terdiri dari 5 individu S. parvifolia dan S. leprosula serta 10

individu dari klaster Shorea sp , dapat diklasifikasikan menjadi 14 individu

S. parvifolia dan 6 individu S. leprosula. Secara lebih terperinci individu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,13,14,15 masuk dalam jenis Shorea parvifolia. Sedangkan jenis Shorea leprosula meliputi individu nomor 12,16,17,18,19 dan 20. Secara umum hasil dari klarifikasi berdasarkan lokus penanda pada primer OPY-13, sebagian besar klaster Shorea sp . masuk dalam jenis S. parvifolia.

Hasil skoring (Lampiran 3) setelah dilakukan analisis dengan software

POPGENE versi 32 dan NTSys lebih menguatkan diagnosis jenis berdasarkan lokus penanda. Berdasarkan Gambar 10 dalam analisis variasi genetik antar populasi, dapat dijelaskan bahwa jarak genetik antara populasi S. leprosula

terhadap populasi Shorea sp . lebih jauh dibandingkan jarak genetik S. parvifolia

terhadap populasi Shorea sp , yang lebih jelas digambarkan dalam diagram pohon bahwa populasi S. parvifolia bergabung dengan populasi Shorea sp . diawal diagram pohon.

Hasil analisis penanda ADN berdasarkan individu (Gambar 11) juga menguatkan klarifikasi jenis berdasar lokus penanda. Sebagian besar individu

Shorea sp . masuk dalam populasi S. parvifolia. Dendrogram menjelaskan bahwa dari 20 individu dibagi menjadi 2 klaster, yaitu klaster S. parvifolia yang terdiri dari 13 individu dan klaster S. leprosula terdiri 7 individu. Klarifikasi penanda ADN berdasarkan individu lebih spesifik dalam klasifikasi jenis.

Berdasarkan nilai Gst dari penelitian yang dilakukan oleh Finkeldey (2005) jenis dan tempat yang hampir sama, diperoleh nilai Gst dari S. parvifolia

sebesar 0.3121 sedangkan jenis S. leprosula nilai Gst sebesar 0.2355. Pada penelitian yang dilakukan didapatkan nilai Gst sebesar 0.2708. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai Gst dari penelitian ini tidak jauh berbeda, dan masih berada pada selang Gst jenis S. parvifolia dan S. leprosula yang telah dilakukan penelitian sebelumnya.


(45)

4.2.2. Implikasi Klarifikasi Jenis S. parvifolia dan S. leprosula Berdasarkan Morfologi Daun dengan RAPD

Diagnosis jenis S. parvifolia dan S. leprosula pada dasarnya adalah kegiatan idnetifikasi klon S. parvifolia dan klon S. leprosula. Dalam mempelajari klon masing-masing jenis dapat lebih terperinci melalui variasi genetik dalam populasi. Variasi satu jenis dalam satu populasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan variasi genetik berbeda jenis dengan populasi yang sama. Walaupun jenis

S. parvifolia dan S. leprosula pada umumnya sering ditemukan pada daerah yang sama (lingkungan yang hampir sama), namun keragaman antara jenis S. parvifolia

dan S. leprosula tetap akan berbeda terutama dari segi genetik. Hal ini dibuktikan dari analisis dalam populasi kedua jenis (Tabel 6), jenis S. parvifolia memiliki lokus polimorfik yang secara umum lebih sedikit dibandingkan dengan jenis

S. leprosula, begitu pula pada nilai keragaman genetiknya. Berdasarkan nilai keragaman genetik S. leprosula yang lebih tinggi menjelaskan bahwa jenis frekuensi munculnya pita pada S. leprosula lebih tinggi dari pada S. parvifolia.

Berdasarkan diagram pohon UPGMA (Nei, 1979) dalam Gambar 11, ditunjukkan bahwa S. mix7 dan S. mix8 bergabung diawal dan baru bergabung dengan klaster jenis S. parvifolia dan S. leprosula. Berdasarkan koefisien jarak genetik, diperoleh nilai 0,83 yang diperoleh dari hasil penjumlahan jarak genetik antara S. mix7 dan S. mix 8 ditambah dengan panjang koefisien jarak genetik yang menghubungkan matrik S. mix7 dan S. mix8 dengan matrik pertemuan antara S. parvifolia dan S. leprosula. Jika diperhatikan dari besarnya jarak genetik ada kemungkinan dua individu tersebut dari jenis yang berbeda atau bisa juga hibrid. Kemungkinan tersebut diperkuat pada Gambar 9c, pada nomor 12 dan 13 yang diperlihatkan bahwa pita kedua individu tersebut berbeda dengan individu yang lain. Untuk menguji lebih lanjut dibutuhkan penelitian yang lebih spesifik tentang keberadaan hibrid atau jenis lain dalam penelitian ini.


(46)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sbb:

1. Variabel pengukuran lebar daun (leaf wide, LW) dan jarak daun terlebar terhadap petiole (widest leaf to petiole, WP) dapat dijadikan alat diagnosis jenis Shorea parvifolia dan Shorea leprosula berdasarkan morfologi daun yang berasal dari hutan alam pada fase semai dan pancang.

2. S. parvifolia secara umum mempunyai nilai rata-rata LW dan WP yang lebih kecil dibandingkan S. leprosula yaitu LW = 4,10 cm dan WP = 4,10 cm untuk S. parvifolia sedangkan untuk S. leprosula LW = 4,99 cm dan WP = 5,17 cm.

3. Teknik RAPD dapat mengklarifikasi jenis antara S. parvifolia dan

S. leprosula yang tidak bisa dilakukan dalam diagnosis jenis menggunakan morfologi daun. Penggunaan primer OPY-13 (5’-CACAGCGACA-3’) khususnya OPY-13-L1 dijadikan penanda genetik.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan uji lanjutan untuk meyakinkan keberadaan hibrid atau keberadaan jenis lain, melalui penggunaan marka genetik lain khususnya marka genetik ko-dominan seperti mikrosatelit.

2. Penelitian penyerbukan terkendali perlu dilakukan untuk mengunkap lebih dalam fenomena hibridisasi pada jenis S. parvifolia dan S. leprosula.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Alimi. 2001. Pembiakan Vegetatif dengan Stek Pucuk untuk Produksi Bibit

Shorea leprosula Miq. di HPH PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur. Skripsi. Program Diploma III Budi Daya Hutan Tanaman, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor

Awasthi et al. 2004. Genetic Diversity and Relationship in Mulbery (Genus

Morus) and Revealed by RAPD and ISSR Marker Assays. Biomed Central.USA

Bappenas. 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan Dokumen Regional. Bappenas. Jakarta

Dayanandan et al. 1999. Phylogeny of Tropical Tree Family Dipterocarpaceae Based on Nucleotide Sequences of The Chloroplast RBCL Gene. American Jurnal of Botany. USA

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2004. Kamus Pemuliaan Pohon. Departemen Kehutanan. Jakarta

Finkeldey. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Handhadari. 2002. Trend Kebutuhan Bahan Baku Kayu Mendatang. http://www.kompas.com/artikel/html/. [15 Juni 2005]

Joker, D. 2002. Informasi Singkat Benih Shorea leprosula Miq. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta

Kebler. 2000. Pedoman Lapangan Mengenal Jenis Pohon Penting Daerah Berau. Berau Forest Management Project PT Inhutani I. Jakarta

Khaerudin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta

Kremer et al. 2002. Leaf Morphological Differentiation between Quercus robur

and Quercus patraea is Stable Across Western European Mixed Oak Stands. Ann. For. Sci. (2002) hal 777 - 787. Germany

Laboratorium Genetika Molekuler. 2002. Petunjuk Teknis Kegiatan Laboratorium Genetika Molekuler. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan (P3BPTH). Yogyakarta

Mogea et al. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor


(48)

Nawangsasih.1989. Percobaan Perbanyakan Vegetatif Meranti Merah (Shorea leprosula) melalui Kultur Jaringan. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor

Rimbawanto, et al. 2001. Estimation of Genetic Variation of Shorea leprosula in the Hedge-Orchad of the Inhutani I Dipterocarp Center East Kalimantan using DNA Markers. [research report]. Gadjah Mada University

Sabri. 1996. Angka Bentuk dan Model Penduga Volume Batang Meranti Merah Lempung (Shorea parvifolia Dyer) Berdasarkan Integrasi Persamaan Taper di HPH PT ITCI Kalimantan Timur. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor Saleh. 1988. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Rootone F dan Ukuran Stump

terhadap Pertumbuhan Stump Shorea leprosula Miq. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub

Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta

Soerianegara dan Djamhuri.1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

Soerianegara dan Indrawan.2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor

Tantra. 1981. Flora Pohon Indonesia. Balai Penelitian Hutan Bogor. Bogor

Thielges, Sastrapradja dan Rimbawanto. 2003. Insitu and Ex situ Conservation of Commersial Tropical Trees. Faculty of Forestry, Gadjah Mada University. Yogyakarta

Wahyudi. 1993. Studi Bentuk Perakaran jenis Shorea leprosula, S. palembanica

dan S. stenoptera pada Tanah Latosol. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor

Yonatan. 1998. Pemanfaatan Teknik RAPD untuk Analisis DNA Pisang Nangka dan Barangan (Musa paradisiaca L.) dalam Kultur In Vitro. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Bogor


(49)

(50)

Lampiran 1 Hasil Uji Korelasi Semua Variabel

LL PL LW WP DL NL NV LLPLR PL 0.505

0.000

LW 0.811 0.673

0.000 0.000

WP 0.862 0.512 0.728

0.000 0.000 0.000

DL 0.562 0.317 0.556 0.458

0.000 0.000 0.000 0.000

NL -0.438 -0.412 -0.341 -0.460 -0.484 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

NV 0.744 0.314 0.528 0.651 0.596 -0.526

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

LLPLR 0.381 -0.560 0.023 0.280 0.162 -0.001 0.343 0.000 0.000 0.742 0.000 0.021 0.984 0.000

LLLWR 0.394 -0.151 -0.189 0.315 0.032 -0.224 0.404 0.554 0.000 0.031 0.007 0.000 0.653 0.001 0.000 0.000 LLWPR 0.005 -0.110 -0.037 -0.478 0.043 0.131 -0.032 0.060 0.942 0.119 0.602 0.000 0.547 0.064 0.654 0.396

LLDLR 0.215 0.172 0.316 0.157 0.907 -0.300 0.323 -0.009

0.002 0.014 0.000 0.025 0.000 0.000 0.000 0.903

LLNLR 0.939 0.551 0.764 0.840 0.636 -0.704 0.767 0.291

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

LLNVR 0.460 0.287 0.461 0.411 0.103 0.019 -0.057 0.134 0.000 0.000 0.000 0.000 0.144 0.789 0.423 0.057

PLLWR -0.124 0.633 -0.113 -0.046 -0.123 -0.214 -0.073 -0.761

0.078 0.000 0.108 0.516 0.081 0.002 0.302 0.000

PLWPR -0.323 0.501 -0.022 -0.437 -0.100 0.005 -0.305 -0.855

0.000 0.000 0.761 0.000 0.159 0.940 0.000 0.000

PLDLR 0.367 -0.075 0.295 0.261 0.897 -0.298 0.487 0.412

0.000 0.288 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

PLNLR 0.468 0.902 0.602 0.500 0.366 -0.583 0.341 -0.440

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

PLNVR 0.056 0.759 0.337 0.113 0.005 -0.095 -0.245 -0.710

0.426 0.000 0.000 0.110 0.941 0.178 0.000 0.000

LWWPR -0.339 0.012 0.079 -0.588 -0.039 0.269 -0.372 -0.389 0.000 0.869 0.264 0.000 0.584 0.000 0.000 0.000

LWDLR 0.347 0.138 0.290 0.259 0.938 -0.380 0.469 0.154

0.000 0.050 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.029

LWNLR 0.801 0.701 0.921 0.743 0.633 -0.656 0.604 0.003

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.961

LWNVR 0.098 0.314 0.453 0.111 0.052 0.140 -0.299 -0.240 0.164 0.000 0.000 0.116 0.463 0.047 0.000 0.001

WPDLR 0.216 0.134 0.295 0.057 0.882 -0.266 0.314 0.021

0.002 0.057 0.000 0.422 0.000 0.000 0.000 0.766

WPNLR 0.829 0.552 0.703 0.950 0.540 -0.692 0.676 0.212

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003

WPNVR 0.326 0.267 0.352 0.551 0.043 -0.051 -0.035 0.062 0.000 0.000 0.000 0.000 0.543 0.470 0.621 0.379

DLNLR 0.591 0.358 0.565 0.496 0.985 -0.604 0.633 0.152

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.030

DLNVR 0.352 0.273 0.454 0.279 0.921 -0.319 0.303 0.016

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.821

NLNVR -0.582 -0.337 -0.412 -0.524 -0.439 0.621 -0.708 -0.193

0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.006

LLLWR LLWPR LLDLR LLNLR LLNVR PLLWR PLWPR PLDLR LLWPR 0.031

0.661

LLDLR -0.180 0.045 0.010 0.523

LLNLR 0.371 -0.045 0.300 0.000 0.523 0.000

LLNVR 0.043 -0.032 -0.040 0.364 0.540 0.648 0.571 0.000

PLLWR 0.052 -0.088 -0.089 -0.021 -0.116 0.467 0.211 0.209 0.766 0.101

PLWPR -0.487 0.380 0.050 -0.244 -0.137 0.691 0.000 0.000 0.479 0.000 0.052 0.000

PLDLR 0.079 0.084 0.881 0.412 -0.011 -0.384 -0.303


(1)

Lampiran 1

(lanjutan)

PLNLR -0.094 -0.163 0.212 0.597 0.249 0.549 0.383 -0.001 0.185 0.020 0.002 0.000 0.000 0.000 0.000 0.985 PLNVR -0.384 -0.091 0.033 0.093 0.510 0.625 0.652 -0.287 0.000 0.198 0.646 0.188 0.000 0.000 0.000 0.000 LWWPR -0.711 0.638 0.136 -0.350 -0.067 -0.078 0.639 -0.040 0.000 0.000 0.054 0.000 0.346 0.267 0.000 0.573 LWDLR 0.072 0.064 0.954 0.429 -0.028 -0.095 -0.086 0.930 0.310 0.363 0.000 0.000 0.692 0.180 0.226 0.000 LWNLR -0.077 -0.074 0.376 0.877 0.367 0.003 0.002 0.345 0.278 0.296 0.000 0.000 0.000 0.969 0.976 0.000 LWNVR -0.534 -0.048 0.071 0.048 0.799 -0.088 0.194 -0.068 0.000 0.501 0.315 0.497 0.000 0.211 0.006 0.339 WPDLR -0.155 0.247 0.970 0.286 -0.044 -0.113 0.113 0.871 0.027 0.000 0.000 0.000 0.534 0.110 0.111 0.000 WPNLR 0.298 -0.425 0.245 0.906 0.345 0.032 -0.336 0.319 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.654 0.000 0.000 WPNVR 0.006 -0.532 -0.060 0.286 0.846 -0.042 -0.288 -0.061 0.927 0.000 0.395 0.000 0.000 0.549 0.000 0.385 DLNLR 0.074 0.025 0.861 0.705 0.103 -0.077 -0.091 0.855 0.292 0.725 0.000 0.000 0.144 0.273 0.200 0.000 DLNVR -0.163 0.037 0.947 0.417 0.247 -0.101 0.020 0.847 0.020 0.601 0.000 0.000 0.000 0.153 0.774 0.000 NLNVR -0.354 0.016 -0.218 -0.659 0.392 -0.069 0.153 -0.304 0.000 0.821 0.002 0.000 0.000 0.327 0.029 0.000

PLNLR PLNVR LWWPR LWDLR LWNLR LWNVR WPDLR WPNLR PLNVR 0.659

0.000

LWWPR -0.068 0.230 0.334 0.001

LWDLR 0.191 -0.082 -0.043 0.007 0.245 0.545

LWNLR 0.729 0.323 -0.025 0.378 0.000 0.000 0.722 0.000

LWNVR 0.262 0.670 0.378 -0.067 0.322 0.000 0.000 0.000 0.340 0.000

WPDLR 0.159 -0.000 0.252 0.933 0.345 0.052 0.024 0.998 0.000 0.000 0.000 0.466

WPNLR 0.607 0.147 -0.537 0.347 0.820 0.078 0.150 0.000 0.037 0.000 0.000 0.000 0.269 0.033

WPNVR 0.274 0.477 -0.362 -0.063 0.305 0.705 -0.166 0.479 0.000 0.000 0.000 0.376 0.000 0.000 0.018 0.000 DLNLR 0.438 0.023 -0.079 0.908 0.690 0.032 0.833 0.612 0.000 0.744 0.263 0.000 0.000 0.653 0.000 0.000 DLNVR 0.307 0.188 0.111 0.910 0.496 0.299 0.918 0.354 0.000 0.007 0.116 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 NLNVR -0.359 0.291 0.309 -0.329 -0.545 0.584 -0.212 -0.593 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000

WPNVR DLNLR DLNVR DLNLR 0.056

0.429

DLNVR 0.180 0.882 0.011 0.000

NLNVR 0.378 -0.491 -0.119 0.000 0.000 0.092 Cell Contents: Pearson correlation P-Value


(2)

Lampiran 2

Keterangan Individu yang Dilakukan Pengujian Amplifikasi ADN

No Individu No Pohon Simbol Asal Jenis secara

Morfologi

Klaster

1 760 S.spar1 Pasir Mayang Shorea parvifolia I

2 744 S.spar2 Pasir Mayang Shorea parvifolia I

3 573 S.spar3 PT Asia Log Shorea parvifolia I

4 1158 S.spar4 Nanjak Makmur Shorea parvifolia I

5 2028 S.spar5 Bukit Bangkirai Shorea parvifolia I

6 1153 S.sp1 Nanjak Makmur Shorea parvifolia II

7 762 S.sp2 Pasir Mayang Shorea parvifolia II

8 761 S.sp3 Pasir Mayang Shorea parvifolia II

9 574 S.sp4 PT Asia Log Shorea parvifolia II

10 583 S.sp5 PT Asia Log Shorea leprosula II

11 584 S.sp6 PT Asia Log Shorea leprosula II

12 1414 S.sp7 Sari Bumi Kusuma Shorea leprosula II 13 1404 S.sp8 Sari Bumi Kusuma Shorea leprosula II 14 2039 S.sp9 Bukit Bangkirai Shorea leprosula II

15 598 S.sp10 PT Asia Log Shorea leprosula II

16 81 S.lep1 Haurbentes Shorea leprosula III

17 51 S.lep2 Haurbentes Shorea leprosula III

18 67 S.lep3 Haurbentes Shorea leprosula III

19 60 S.lep4 Haurbentes Shorea leprosula III


(3)

Lampiran 3

Data

Scoring

Hasil Amplifikasi ADN

Primer OPY-3

Individu ke-

LOKUS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 2 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 6 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 9 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0

Primer OPY-13

Individu ke-

LOKUS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 2 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 3 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 6 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 7 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 10 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 11 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 13 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 16 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 17 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 19 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 21 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 22 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 24 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0


(4)

Lampiran 3

(lanjutan)

Primer OPO-13

Individu ke-

LOKUS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 6 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 10 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 11 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 16 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 17 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0


(5)

PIPET

MIKRO

PCR

TIMBANGAN

ANALITIK

PENGADUK

OVEN

PHOTO

UV

FREEZER SENTRIFUSE

pH

METER

VORTEX

POWER

SUPPLY

INKUBATOR


(6)

Lampiran 5

Gambar Daun Segar

S. parvifolia

dan

S. leprosula

pada Fase Semai

2 cm

Shorea parvifolia

Shorea parvifolia

Shorea leprosula