Sebuah Catatan Penerbitan Buku Aksara Sunda.

SEBUAH CATATAN
Penerbitan Buku Aksara Sunda

Oleh:
Kalsum

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007

KATA PENGANTAR

Tulisan ini disampaikan pada Pimpro Penerbitan Buku Aksara Sunda ketika penulis
ditugasi sebagai editor buku tersebut, namun tidak jadi karena ada isi yaitu bagian dari
pembahasan Aksara Cacarakan tidak penulis setujui sebelum bagian tersebut diadakan
penelitian.
Tulisan ini menunjang Mata Kuliah Sejarah Naskah, Pengantar Filoiogi, dan Sejarah
Perkembangan Filologi.
Bandung, 4 Juni 2007.


SEBUAH CATATAN
Penerbitan Buku Aksara Sunda

I.

Judul:

Melihat keluasan uraian dari buku ini, sebaiknya judul menggambarkan keluasan pikiran dari
isi, disarankan judulnya:

KEBERAKSARAAN

DI

TATAR

PASUNDA
N

DI


TENGAH -

TENGAH

KEBERAKSARAAN NUSANTARA DALAM MENUJU PEMBAKUAN BENTUK
AKSARA SUNDA

Dasar Pemikiran:
a) Buku ini menggambarkan perkembangan keberaksaraan di Tatar Pasundan dan selayang
pandang menyinggung keberaksaraan di Nusantara.
b) Pembahasan a) untuk memunculkan kekhasan Aksara Sunda dan menuju pembakuan
bentuk (standardisasi) dalam realisasi penyebaran penggunaan kembati di masyarakat
Pasundan.
c) Dasar pemikiran pembakuan ini, sehubungan “Aksara Sunda Kuna” diperoleh
dari sejumlah naskah yang survive/extant yang sangat beragam. Perintis yang sangat berjasa
membuat inventarisasi aksara yang sangat berharga ini:
1) Drs. Atja (versi Ratu Pakuan ?) kemudian disusul oleh lainnya, di antaranya:
2)


Sunarto menginventarisasi bentuk-bentuk aksara Sunda Kuna dari sejumlah naskah

(dengan jumlah yang cukup banyak, koleksi EFEO belum dipublikasikan)
3) Prof. Dr. Partini Sardjono, dkk (Naskah Ciburuy). Anggota penelitian ini, Prof. Dr. Edi
Ekadjati dan saya sendiri yang membuat inventarisasi aksara secara sederhana. Dari sebundel
naskah Ciburuy (dalam peninjauan sekilas) saya melihat sekitar 17 bentuk versi aksara
(dalam arti terdapat bentuk - bentuk aksara berbeda) Contoh:
Ka
Sa
(Lihat Naskah Sunda, 1985)
4)

Berdasarkan kenyataan seperti 1) 2) 3) sulitlah menentukan, aksara mana yang “asli”

(paling awal) yang jelas-jelas naskah Sunda Kuno paling awal walaupun secara “hipotesis

logis” pasti ada, namun kini pasti sudah hancur ditelan masa. sehingga Aksara Sunda “asli”,
bersifat transendental.
5) Sehubungan Aksara Sunda Kuna ini diputuskan sebagai “Aksara Sunda” yang
penggunaannya direalisasikan kepada masyarakat Pasundan masa kini, maka perlu

pembakuan bentuk.
II.

Isi

1) Epigrafi dititikberatkan pada tinjauan bahasa dan paleografi pada bentuk aksara
(Hermansumanti) (Aksara Sunda hal 3)
2) Aksara di Nusantara pra-Islam Tipe: Palawa, Nagari, Kamboja (KF Holle) (Aksara Sunda
hal 6)
3) Tambahan. Abjad ha, na, ca, ra, ka Nusantara dalam tinjauan lain, yang kemunculannya
seiring mitos Raja Aji Saka, diperkirakan untuk legitimasi dengan tujuan penyakralan bahwa
aksara diciptakan oleh Dewa (kepercayaan ini merupakan kepercayaan universal antara lain,
Kami no moji (Jepang, Dewa Nagari (India), Hieroglif (Mesir (Mario Pei). Saka sebagai anak
kecil yang meminta imbalan tan ah sebanyak tiga tangkah setelah membunuh raksasa Dewata
Cengkar dalam tinjauan intertekstualitas, hipogram konsep asal orang kerdil -penjelmaan
Wisnu meminta tanah tiga langkah dalam rangka membunuh raksasa perusak Bali (Kalsum
dalam seminar aksara di Yogya) (Aksara Sunda hal 9)
4) Diperkirakan isi atau pemikiran-pemikiran dalam naskah-naskah yang berasal dari awal
keberaksaraan di Sunda sebagian terwariskan dalam naskah yang extant sekarang walau
secara pasti mengalami penyimpangan, Atas dasar pemikiran bahwa, proses keberaksaraan

pada masa awal sangat disakralkan dan hanya bergulir dalam tingkatan elite negara, jadi
penyimpangan pemikiran yang berkembang diperkirakan tidak lebar, tidak mengadakan
perubahan se-wenang-wenang. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam tradisi naskah terjadi
penurunan teks dengan penyalinan(Aksara Sunda hal 11)
5) Mungkin harus ditinjau kembali hierarki:
Tipe Palawa, Nagari, Kamboja (yang sudah mengalami perubahan dalam perkembangannya
di antaranya Sunda Kuno, Cacarakan (yang kini sebutan di Sunda) Carakan (di Jawa),
Anacaraka (di Bali) (Klasiflkasi berdasarkan uraian Holle). Di antaranya Contoh sebagai
berikut:
La
Ha

Kemungkinan pula saya salah tafsir atas uraian Holle karena membacanya sudah sangat lama,
untuk ini saya tidak bisa konfirmasi dengan membacanya kembali sehubungan waktu yang
sangat sempit. (Aksara Sunda hal 14)
6) Aksara Sunda sebagai hasil daya cipta atau kreasi orang Sunda. Pendapat ini apriori dalam
tinjauan yang sangat dini. Di antaranya (Lihat KF Holle dan Russell Jones) bahwa
keberaksaraan di Nusantara zaman pra-lslam berasal dari peradaban India. Walaupun
demikian, tentu adopsi ini mengalami perubahan-perubahan disesuaikan dengan kebahasaan
pribumi, dan pinjaman ini dalam kebudayaan tidak pernah dikembalikan kepada pemilik asal.

Sudah tentu seiring perkembangan zaman dalam perjalanan rentang waktu yang sangat
panjang mengalami perubahan - perubahan, serta dalam tempat-tempat tertentu berkembang
menurut imaji dan memori setempat sehubungan kesulitan informasi akibat kesulitan
transportasi ketika aksara ini berkembang pada zamannya. Walaupun demikian, sebagai
orang Sunda merasa bangga “reueus” nenek moyang telah melek aksara pada zaman Baheula,
dan merasa bangga pula atas keunikan Aksara Sunda Kuna. (Aksara Sunda hal 26)
7) Ceritera yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan magis (digunakan dalam
upacara siklus penanaman padi dan upacara proses kelahiran anak sejak hamil-lahir) Nyi
Pohaci Sanghiyang Sri, Carios Sawargahka, Wawacan Sawargaloka, Wawacan Babari, di
masyarakat terkenal dengan nama Wawacan Sulanjana (Lihat Pleyte). Saya pernah melihat di
EFEO ceritera ini dengan aksara Cacarakan pada lontar, apakah ini koleksi atau pinjaman
sementara saya tak tahu. (Aksara Sunda hal 36)
8) Aksara Cacarakan
1) Perlu dipertimbangkan pendapat Coolsma (1904) istilah aksara Sunda - Jawa sehubungan
alasan berikut:
a) reduplikasi dwipurwa tidak selalu menyatakan peniruan. Contoh:
Manehna di Bandung teh moal nepi ka bubulanan (hitungan) Pada hemat saya, kata
cacarakan hampir serupa dengan hal tersebut.
Orang-orang tua masih berucap:
Ah ngajina ge masih cacarakan keneh (Yang dimaksud membaca Al Quran dengan mengeja,

atau pemahaman agama Islam yang masih dangkal) Kata aji, kata kuna yang berarti salah
satunya, Kitab Suci (zaman pra-lslam) kemudian masih dipakai dan produktif pada zaman
Islam, serta mengalami penghalusan bahasa menjadi ngaos. Diperkirakan Cacarakan tidak
diartikan peniruan, namun menunjukan jumlah (aksara ha, na, ca dst) dan kata cacarakan
sepertinya telah dipakai pada awal Islamisasi.

2) Selepas Pajajaran runtuh dan di Pasundan kekuatannya tidak dipersatukan lagi seperti
pada zaman “Keemasan Pajajaran” (meliputi sejarah perkembangan di Pasundan dengan
nama-nama negara yang berbeda dengan pusat kekuatan negara yang berpindah-pindah pula)
menjadi negara-negara kecil yang tidak kuat lagi mengimbangi kekuatan Mataram sehingga
wilayah Pasundan diklaim sebagai wilayah kekuasaan Mataram.(Bayu Surianingrat). Sebagai
negara yang mendominasi kekuasaan, mendominasi pula kebudayaan, sehingga terjadi
revitalisasi kebudayaan Sunda, seperti KF Holle (apa pun misinya) dan RH Muhamad Musa.
Diperkirakan, milik pribadi Sunda seperti Cacarakan ini, yang direngkuh sejak lama menjadi
asing, seolah-olah punya orang lain. Kemudian, Sunda yang memiliki bibit buit atau benihbenih aksara (yang kemudian sekarang berkembang dan disebut di Sunda Cacarakan, Jawa
Carakan, Bali Anacaraka) ini, seolah Sunda mendapat pemberian dari Jawa. Apabila Sunda
memiliki bentuk aksara itu dan Jawa memilikinya pula yang kemudian sampai di Bali,
bukankah kita saampar samak dengan Jawa dan sakaruhun? yang menurut kisah lisan Ciung
Wanara papantunan Hariang Banga ka wetan wawayangan (kisah ini bukan sekedar dongeng
melulu karena pada naskah tercantum nama yang mirip Rahyang Bangga dan Sang Manarah)

(Kan kita pun punya pula Asep Sunandar Sunarya yang beken, wayang kulit (Di Snd ump di
Majalengka) walaupun itu milik Nagara Wetan menurut dongeng, malah wayang kulit Sunda,
yang dianggap oleh para kasepuhan masih asli dst. Bukankah hal ini seperti kepemilikan
aksara (yang sekarang disebut Cacarakan ini ?) Kepemilikan Cacarakan Sunda sebagai
pemberian dari Jawa diperkirakan akibat dominasi kebudayaan. Pemberian Cacarakan dari
Jawa yang dianalogi sejak GJ Grashuis (1860) sulit diterima pada nalar saya, Keduanya
Sunda – Jawa papada boga.
a) Perhitungan paririmbon mengenai nasib perkawinan (Pisang Punggel, Padaringan Kebek,
dst) nama orang, tempat tinggal yang didasarkan penghitungan ha = 1, na - 2, ca=3, ra=4 dst,
yang kemudian berkembang ke perhitungan nomor mobil,

mendarah daging dan masih

sangat diyakini oleh sebagian masyarakat Pasundan (di zaman modern ini) tidak bisa
dipungkiri. Itu milik karuhun yang sangat buhun, sejak kepercayaan pada Wisnu (Lihat
pendekatan intertekstual atas pada kisah). Kiranya, kepercayaan bahwa aksara berhubungan
dengan nasib manusia, bersifat universal, seperti halnya “Dewa Nebo Dewa yang
menentukan nasib manusia yang menurunkan aksara di Asiria (SM) (Mario Pei).

Sangatlah


tidak bisa diterima pada nalar saya, apabila kepercayaan ini dimulai sejak tahun 1860 yang
diupayakan oleh Pemerintah Belanda dalam rangka memudahkan kepentingannya dalam
bidang administrasi.

b) Ada naskah “teluh” (di dalamnya ada piwurungan untuk membuat orang menjadi gila)
terdapat ilustrasi gambar-gambar dengan sedikit penjelasannya dengan Cacarakan. Dilihat
dari segi bahan tampak naskah ini jauh sebelum 1860. Naskah ini berasal dari Puspahiyang
Kabupaten Tasikmalaya, saya pinjam dari P & K Kab Tasikmalaya dan saya serahkan kepada
Pak Emon Jarahnitra.
b) terdapat naskah Sunda beraksara Cacarakan dalam lontar
c) Ada naskah lontar milik Bapak Bisri yang masih sangat baik, terawat, disimpan dalam
koropak yang indah beraksara Cacarakan dan bahasanya sangat sulit dipahami, jauh lebih
sulit dari Bahasa Sunda Kuna Sewaka Darma
Ulasan sampai Cacarakan
Tentu dalam penulisan terdapat berbagai kesalahan penulisan, sehubungan saya tulis
tanpa ada kesempatan membuka-buka sumber kembali.

DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Barorah, dkk,

1994

Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi

Fakultas, Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Chadwick, Bruce A., dkk.
1991

Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Edisi Kesatu.

Diterjemahkan oleh Sulistia, M. L., dkk. dari buku: Social

Science Research Methods.

Semarang: I.K.I.P. Semarang Press.
Christomy, Tommy
1991

“Beberapa catatan tentang studi Filologi di F.S.U.I.”, dalam majalah Lembaran


Sastra Naskah dan Kita Nomor Khusus 12 Januari 1991 Depok-Bogor: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Djamaris, Edward
Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi, dalam Majalah Bahasa dan

Sastra No. (?).

Ekadjati, Edi S., dkk.
1990

Naskah Sunda, Inventarisasi dan Pendataan, Bandung: Lembaga

Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.
Hartoko, Dick
1975

Saksi Budaya. Edisi Pertama. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya,

Herman Soemantri, Emuch.
1986

Identifikasi Naskah, Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Lubis, Nabilah
Syekh Yujsuf Al - Taj Al Makasarh Menyingkap Intisari Segala Rahasia. Edisi

1996 a.

Pertama. Disertasi. Diterbitkan kerjasama Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Ecole lrancaise d’ Extreme - Orient. Bandung: Penerbit Mizan.
1996 b. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi Jakarta: Forum Kajian & Sastra Arab
Fakultas Adab Syarif Hidayatullah.
Aksara Cacarakan, Makalah yang disampaikan pada Seminar Aksara Di

Kalsum
Yogyakarta
Maas, Paul
1967

Textual Criticism. Tanslitrer Barbara Flower. Oxford: Oxford University

Press.
Manyambeang, Ahd. Kadir

Pengantar Filologi, Ujung Pandang: Fakultas Sastra Universitas Hasanudin.

1989

Nasution, Harun
1986

Teologi Islam. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (LM. - Press).

Nicholson, Reynold A.
Ajaran dan Pengalaman Sufi/Jalaluddin Rumi. Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh Sutejo,
editing oleh Al Haj Sutarji Calzoum Bachri dari buku: Rumi Poet and Mistics. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Noorduyn
1975

Dasar-Dasar Filologi,

Makalah catatan kuliah dasar, tgl, 78-6-1975, Pengarang

Kantor Pengadjaran Djakarta.
Pei. Mario,
1971 Kisah Bahasa. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto dari buku: SoehadioThe Story
of Language. 1965. Djakarta: Bhratara,
Reynolds, L.D. & N.G. Wilson
1978 Scrieb and Scholar. London: Oxford University Press
Rohson, S.O.
1978

Filologi dan Sastra-sastra Klasik Indonesia. Makalah untuk petatar pada Penataran

sastra 1978. Tugu Bogor: Proyek pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan