PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG.

(1)

i

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN

TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG

I GUSTI NGURAH SURYA ADHI KENCANA PUTRA NIM. 1203005310

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN

TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG

I GUSTI NGURAH SURYA ADHI KENCANA PUTRA NIM. 1203005310

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN

TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH SURYA ADHI KENCANA PUTRA NIM. 1203005310

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 FEBRUARI 2016


(5)

v

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 29 APRIL 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 698/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016 Tanggal 16 Maret 2016


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, Akhirnya skripsi yang berjudul “ PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG ” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan skripsi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis lainnya guna untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ide awal dari penulisan skripsi yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG ” adalah karena melihat fenomana yang terjadi di masyarakat rangka pelaksanaan terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung yang belum berjalan maksimal. Oleh karena itu menarik minat penulis untuk membahas dan meneliti bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dorongan serta bantuan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Untuk itu melalui kesempatn ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(7)

vii

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH,. MH., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan petunjuk dan arahan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana serta sebagai Pembimbing I yang telah membantu memberikan petunjuk maupun membimbing penulis dengan penuh kesabaran untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak I Nyoman Bela Siki Layang, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Kadek Sarna, SH., M.Kn., sebagai Pembimbing II yang telah membantu memberikan petunjuk maupun membimbing penulis dengan penuh kesabaran untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH., sebagai Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui skripsi saya ini.

7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mendidik, membimbing, memberikan pengajaran dan membekali ilmu pengetahuan serta pengalaman yang berguna selama penulis mengikuti perkuliahan.


(8)

viii

8. Bapak Kepala Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta segenap staff dan jajarannya, yang telah membantu penulis dalam mengurus segala kebutuhan dan keperluan administrasi selama mengikuti perkuliahan.

9. Kepada orang tua penulis, Ayah I Gusti Ngurah Ketut Suamba, dan Ibu Anak Agung Ayu Udiani serta Adik I Gusti Ayu Cahyani Indah Permata Putri, yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan baik moril maupun materiil selama mengikuti perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Kepada sabahat penulis, Anak Agung Ketut Andhy Dharma Laksana dan Rudy Priyatna yang telah membantu penulis baik memberikan dorongan, semangat dan pengalaman yang tak akan terlupakan selama mengikuti perkulihan hingga penyusunan skripsi ini.

11. Kepada kawan- kawan seperjuangan penulis ( Antoni Giri, Desika Putri, Indyana Prananta, Ogek Kar, Gung Manu, Rika Rahim, Wah Tirta, Dea Ranti, Dede Sannyasa, Bagus Wijaksana, Gede Angga Prawirayuda, Ari Maharta, Intan Permatasari) dan seluruh teman-teman angkatan Tahun 2012 yang telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan, bantuan, dukungan, doa kepada penulis baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi.

12. Seluruh Pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama mengikuti proses perkulihan dan penyusunan skripsi.


(9)

ix

Akhirnya semoga budi baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah diberikan akan mendapatkan imbalan yang sesuai dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini maih jauh dari sempurna, baik dari penyajiannya maupun dalam penyusunannya, seperti ungkapan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tidak retak”. Hal ini semata-mata karena kemampuan dan pengetahun penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati senantiasa mengharapkan bantuan serta masukan berupa kritikan dan saran yang bersifat membangun yang diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya saya berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik sebagai bahan bacaan maupun pengetahuan bagi kita semua.

OM Shanti, Shanti, Shanti, OM

Denpasar, 18 Februari 2016


(10)

x

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Denpasar, 18 Februari 2016 Yang menyatakan,

(I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra) NIM. 1203005310


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xv

ABSTRACK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8

1.5 Tujuan Penelitian ... 11

1.5.1 Tujuan Umum ... 11

1.5.2 Tujuan Khusus ... 11

1.6 Manfaat Penelitian ... 11


(12)

xii

1.6.2 Manfaat Praktis ... 12

1.7 Landasan Teoritis ... 13

1.8 Metode Penelitian ... 22

1.8.1 Jenis Penelitian ... 22

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 23

1.8.3 Sifat Penelitian ... 24

1.8.4 Data dan Sumber ... 24

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26

1.8.6 Teknik Penentuan Sample Penelitian ... 28

1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK ... 30

2.1 Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum ... 30

2.1.1 Pengertian Penegakan Hukum ... 30

2.1.2 Penegakan Hukum Dalam Hukum Administrasi ... 34

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Rokok ... 38

2.2.1 Pengertian Rokok ... 38

2.2.2 Pengaruh Buruk Dari Rokok ... 41

2.3 Tinjauan Umum Terkait Kawasan Tanpa Rokok ... 42

2.3.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok ... 42


(13)

xiii

BAB III PELAKSANAAN SERTA UPAYA PENEGAKAN HUKUM

KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG ... 48

3.1 Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok ... 48

3.2 Upaya Hukum Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok ... 55

3.2.1 Upaya Preventif Penegakan Kawasan Tanpa Rokok Di Kabupaten Badung ... 55

3.2.2 Upaya Represif Penegakan Kawasan Tanpa Rokok Di Kabupaten Badung ... 61

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG ... 69

4.1 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok ... 69

4.1.1 Faktor Hukum ... 69

4.1.2 Faktor Aparat Penegak Hukum ... 73

4.1.3 Faktor Sarana Atau Fasilitas Pendukung ... 77

4.1.4 Faktor Masyarakat ... 79


(14)

xiv

4.2 Hambatan Dalam Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok Di

Kabupaten Badung ... 83

4.2.1 Hambatan Yuridis ... 83

4.2.2 Hambatan Non Yuridis ... 87

BAB V PENUTUP ... 90

5.1 Kesimpulan ... 90

5.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93 DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Ijin Penelitian Skripsi Dari Fakultas Hukum Universitas Udayana

2. Surat Rekomendasi Penelitian Skripsi Dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali

3. Surat Ijin Mengadakan Penelitian Skripsi Dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, Dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Badung 4. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013

Tantang Kawasan Tanpa Rokok

5. Peraturan Bupati Badung Nomor 71 Tahun 2014 Tantang Pelaksanaan Kaasan Tanpa Rokok


(15)

xv ABSTRAK

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh pemerintah yang merupakan cita – cita pembangunan bangsa Indonesia. Wujud pemenuhan tersebut diantaranya dengan memberikan perlindungan terhadap bahaya dari paparan asap rokok. Sebagai wujud perlindungan terhadap bahaya dari paparan asap rokok, Pemerintah Kabupaten Badung menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok ini dibentuk bertujuan untuk memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap rokok, memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat serta untuk melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok. Namun kenyataan dilapangan masih banyak masyarakat yang merokok di kawasan tanpa rokok. Dengan permasalahan yang terjadi, pentingnya dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Maka rumusan masalah dari permasalahan diatas adalah bagaimana pelaksanaan serta upaya dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung dan bagaimana hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok.

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan fakta dan pendekatan undangan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan kajian terhadap peraturan perundang-perundang-undangan yang dikaitkan dengan permasalahan dilapangan. Pendekatan fakta dilakukan dengan melihat keadaan nyata di lapangan. Sedangkan sifat penelitian yang digunakan adalah bersifat penelitian deskriptif.

Dalam pelaksanaan terhadap penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung dilakukan dengan upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif berupa sosialisasi terhadap Kawasan Tanpa Rokok. Upaya represif dilakukan dengan cara memberikan sangsi bagi pelanggar. Sedangkan hambatan yang ditemui berupa hambatan yuridis dan hambatan non yuridis. Saran penulis, dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok diharapkan lebih ditingkat lagi intensitas sosialisasi dan penindakan terhadap pelanggar.


(16)

xvi ABSTRACT

Law Enforcement On Non-Smoking Area In Badung Regency

Health is human right and one element of welfare which should be realized by government which is ideals of development Indonesian nation. The form of fulfillment mentioned including to provide protection against dangers of exposure to cigarette smoke. As a form of protection against dangers of exposure to cigarette smoke, The Government of Badung Regency assign Badung Regional Regulation Number 8 of 2013 Regarding Non Smoking Area. Non-Smoking Area this be formed aims to provides protection which effective from dangers of cigarette smoke, providing space and environment which clean, healthy for community well as to protect public health in general from adverse effects of smoking. But in fact, most of people smoke in non smoking area. With problems that occurs, the importance of this research to knowing how law enforcement on Non-Smoking Area in the Badung regency. The formulation of problem from the above problems is how implementation well as efforts in law enforcement about Non-Smoking Area in Badung regency and how government obstacles in law enforcement about Non Smoking Area.

This research using empirical research method with the statute approach and the fact approach. The statute approach conducted by the study of laws associated with the existing problems in research area. The fact approach conducted by looking at the real situations in research area. While nature of research used is descriptive research.

The implementation of law enforcement about Non-Smoking Area in Badung regency conducted with preventive measures and repressive efforts. Preventive measures in the form of socialization against Non-Smoking Area. Repressive efforts conducted by providing a punishment to offenders. While constraints encountered in the form of juridical obstacles and non-juridical obstacles. Suggestions by authors, in the law enforcement about Non-Smoking Area expected over improved again the intensity of socialization and punishment against offenders.


(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi dan modernisasi yang semakin berkembang seperti saat ini, masyarakat seharusnya sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan di bidang kesehatan. Kesehatan merupakan hal pokok dan hal dasar yang harus terpenuhi untuk mencapai kesejahteraan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh pemerintah yang merupakan cita – cita pembangunan bangsa Indonesia. Dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945), perlindungan terhadap kesehatan sangat jelas diamanatkan dalam ketentuan Pasal 28H Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak seseorang untuk mendapatkan kesehatan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan memiliki kedudukan yang setara bagi setiap orang.

Kesehatan merupakan hak yang wajib harus dipenuhi oleh pemerintah. Salah satu wujud pemenuhan tersebut diantaranya dengan memberikan perlindungan terhadap bahaya dari paparan asap rokok yang dimana tidak hanya membahayakan perokok itu sendiri, tetapi juga orang lain disekitar perokok tersebut atau dapat dikatakan perokok pasif. Asap rokok terdiri dari asap rokok


(18)

2

utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap rokok sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar berbahaya. Dimana Asap rokok mengandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia yang dimana sekitar 400 jenis diantaranya merupakan zat beracun (berbahaya) dan 69 jenis tergolong zat penyebab kanker (karsinogenik). Menurut Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan bahwa sebanyak 25 % zat berbahaya yang terkandung dalam rokok tersebut masuk ke tubuh perokok aktif, sedangkan 75 % beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya1.

Selain itu, menghirup asap rokok bagi seseorang yang tidak merokok secara langsung namun menghirup asap rokok dari orang sekitarnya atau sering disebut dengan perokok pasif memiliki dampak maupun efek negatif baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Efek dari terkena asap rokok langsung dalam jangka pendek dapat menyebabkan berbagai keluhan seperti mata merah, sakit kepala dan batuk-batuk. Sedangkan jangka panjang dari dampak merokok bagi perokok pasif diantaranya adalah stroke dan serangan jantung. Sedangkan pada wanita hamil merokok dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan janin ataupun keguguran2. Maka perlindungan terhadap perokok pasif merupakan wujud terhadap perlindungan terhadap hak asasi manusia di bidang kesehatan dan sebagai upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.

1

I Komang Wijana dan I Nyoman Mudana, 2013, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kasawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, E – Journal Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.2

2

Anonim, 2014, Bahaya Menjadi Perokok Pasif”, Alodokter, URL : http://www.alodokter.com/bahaya-menjadi-perokok-pasif , diakses tanggal 10 Oktober 2015


(19)

3

Negara hukum adalah, negara atau pemerintah yang berdasarkan hukum. Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum3. Indonesia merupakan negara hukum dimana negara hukum adalah negara atau pemerintahan yang berdasarkan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, dan upaya perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, secara yuridis diatur dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU Kesehatan). Salah satu bentuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat terdapat pada Pasal 115 Ayat (1) UU Kesehatan yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok tersebut terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum lainnya. Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut yang asas desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan melaksanaakan otonomi daerah4. Sebagai daerah otonom yang melaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung berwenang untuk membuat Peraturan Daerah guna menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas perbantuan. Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

3

Agus Salim Andi Gadjong, 2007, Pemerintah Daerah Kajian Politik Dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, h.33

4

Deddy Supriady Bratakusuma dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, h.1


(20)

4

(Selanjutnya disebut dengan DPRD). Substansi atau muatan materi Peraturan Daerah adalah penjabaran maupun pelaksanaan di daerah dari peraturan perundang – undangan yang tingkatannya lebih tinggi5 . Dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Ayat (2) (selanjutnya disebut dengan UU Pemerintahan Daerah) disebutkan bahwa

: “Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah

Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”6

.

Daerah otonom mempunyai kewenangan mengatur (rules making = regeling) dan mengurus (rules application=bestuur). Menurut Hanif Nurcholis menyebutkan bahwa “dalam istilah administrasi publik masing-masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy executing)”7. Mengatur dalam konteks otonomi daerah merupakan perbuatan untuk menciptakan norma hukum yang berlaku dapat umum. Norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, sebagai negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satu bentuk desentralisasi tersebut adalah melalui UU Kesehatan mengamanatkan Pemerintah

5

Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.37

6

Agung Djojosoekarto, 2004, Dinamika Dan Kapasitas DPRD Dalam Tata Pemerintahan Demokratis, Konrad Adeneur Stifrung, Jakarta, h. 235

7

Hanif Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.25


(21)

5

Daerah untuk mengatur penetapan Kawasan Tanpa Rokok. Pengaturan ini bertujuan untuk mencegah dan mengatasi dampak buruk dari asap rokok. Pasal 115 Ayat (2) UU Kesehatan menentukan bahwa pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya. Dengan atas dasar hal tersebut dan menurut ketentuan Pasal 115 Ayat (2) UU Kesehatan yang mewajibkankan Pemerintah Daerah pada umumnya dan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Badung untuk membuat sebuah peraturan perundang – undangan Daerah untuk mengatur kawasan tanpa rokok. Peraturan Perundang – undangan Daerah di Kabupaten Badung tentang Kawasan Tanpa Rokok terwujud dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok ini dibentuk bertujuan untuk memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap rokok, memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat serta untuk melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kenyataan dilapangan, pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung setelah terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok belum terlaksana secara optimal dilapangan dikarenakan masih adanya masyarakat yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Hal tersebut dibuktikan pada saat dilakukan sidak perokok di Bandara


(22)

6

Internasional Ngurah Rai, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung yang dimana pada terjaring 35 orang pada sidak pertama dan 64 orang pada sidak kedua8.

Kesenjangan yang terjadi antara Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan kenyataan yang terjadi dilapangan dengan ditemukan banyaknya pelanggaran terhadap Kawasan Tanpa Rokok menjadi latar belakang penulis untuk mengkaji dan meneliti terdahap Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan atas dasar uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis mengangkat dan mengambil penelitian skripsi yang berjudul tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN BADUNG”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan serta upaya dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung?

2. Bagaimanakah hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung ?

8Anonim , 2015, “Langgar Perda Kawasan Tanpa Rokok” , Denpost, URL :

http://www.denpostnews.com/2015/07/04/langgar-perda-kawasan-tanpa-rokok/, diakses tanggal 13 Oktober 2015


(23)

7

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar suatu penelitian tetap terarah atau fokus pada tujuan maupun rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka diperlukan kerangka pemikiran yang berfungsi sebagai pedoman atau arah pembahasan terhadap seluruh rangkaian penelitian. Untuk dapat merekonstruksi kerangka pemikiran tersebut, maka terlebih dahulu perlu ditentukan ruang lingkup kajian permasalahan terkait Penegakan Hukum Terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Berdasarkan atas lingkup kajian tersebut, maka selanjutnya akan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu sehingga penelitian ini tidak terlalu luas dan menyimpang dari pokok bahasan. Untuk itu dapat diketengahkan beberapa teori yang berkaitan dengan kajian permasalahan dalam penelitian ini, sehingga dapat dipakai sebagai analisis dalam menjelaskan dan menganalisis permasalahan penulisan penelitian ini. Untuk memfokuskan penelitian maka penulis membatasi ruang lingkup dari penelitian ini. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :

1. Pada permasalahan pertama akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya mengenai bagaimana pelaksanaan dan upaya dalam penegakan hukum, maka penelitian ini akan meneliti dan membahas mengenai bagaimana upaya dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.


(24)

8

2. Pada permasalahan kedua akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya mengenai hambatan pemerintah dalam rangka penegakan hukumnya, maka penelitian ini akan meneliti dan membahas mengenai bagaimana kendala serta hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.

1.4 Orisinalitas

Penelitian ini merupakan karya asli penulis sehingga dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari skripsi ini maka dapat dibandingkan perbedaannya dengan penelitian terdahulu. Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung dengan obyek penelitiannya adalah upaya penegakan hukum terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan kendala maupun hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Adapun penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah:

1. Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013. Mengangkat sebuah penelitian yang berjudul

“PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN

MINUMAN BERALKOHOL DI KOTA DENPASAR”. Dengan rumusan masalah pertama yaitu bagaimana penegakan hukum


(25)

9

terhadap pelanggaran mengenai perdagangan minuman beralkohol di Kota Denpasar?. Rumusan masalah yang kedua yaitu apakah kendala dalam penegakan hukum dari peraturan mengenai perdagangan minuman beralkohol di Kota Denpasar?. Perbedaan penelitian antara penelitian yang ditulis oleh Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra dengan yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada obyek kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian penelitian yang ditulis oleh Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra terletak pada perdagangan minuman beralkohol dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Perdagangan, Penjualan, Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol yang objek penelitiannya dilakukan di Kota denpasar. Sedangkan obyek kajian yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada Kawasan Tanpa Rokok dan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok yang objek penelitiannya dilakukan di Kabupaten Badung.

2. Made Agus Ghana Kartika Murti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2010. Mengangkat sebuah penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 15 TAHUN


(26)

10

1993 TENTANG KEBERSIHAN DAN KETERTIBAN UMUM DI KOTA DENPASAR”. Dengan rumusan masalah pertama yaitu bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar?. Rumusan masalah yang kedua faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum di Kota Denpasar?. Perbedaan penelitian antara penelitian yang ditulis oleh Made Agus Ghana Kartika Murti dengan yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada obyek kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian penelitian yang ditulis oleh Made Agus Ghana Kartika Murti terletak pada Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum yang objek penelitiannya dilakukan di Kota denpasar. Sedangkan obyek kajian yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada Kawasan Tanpa Rokok dan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok yang objek penelitiannya dilakukan di Kabupaten Badung


(27)

11

1.5 Tujuan Penulisan

1.5.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian dengan dua permasalahan diatas, adalah bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khasanah pengetahuan dibidang Hukum Administrasi Negara khususnya di bidang Hukum Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung yang sesuai dengan kaidah atau norma-norma hukum yang berlandaskan asas otonomi daerah serta standar menurut prinsip demokrasi.

1.5.2 Tujuan Khusus

Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan serta upaya penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.

1.6 Manfaat Penilisan

1.6.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian ini terhadap kedua permasalahan diatas yakni untuk dapat merumuskan pemikiran-pemikiran bersifat teoritis dalam rangka menganalisis penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa


(28)

12

Rokok di Kabupaten Badung telah sesuai dengan kaidah atau norma-norma hukum yang berlandasakan otonomi daerah dan standar menurut prinsip-prinsip demokrasi serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum umumnya maupun hukum pemerintahan daerah khususnya.

1.6.2 Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi maupun masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Badung selaku pemangku kepentingan, maupun masyarakat luas yang berkepentingan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokokyang dapat penulis uraikan sebagi berikut :

1. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih maupun masukan serta pengetahuan akan adanya kesenjangan antara pelaksanaan dilapangan dengan hukum tertulis pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok didalam pelaksanaan dalam mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.


(29)

13

3. Bagi masyarakat dan praktisi hukum hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung dan bagaimana upaya maupun kendala serta hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terkait Kawasan Tanpa Rokok.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Negara Hukum

Negara hukum untuk pertama dikemukakan oleh Plato kemudian selanjutnya dikembangkan kemudian dipertegas kembali oleh Aristoteles. Plato dalam bukunya yang berjudul Politea, diuraikan betapa penguasa di masa Plato hidup (429 SM - 346 SM) sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta sewenang-wenang serta sama sekali tidak peduli terhadap kepentingan rakyatnya. Secara embrio gagasan negara hukum telah dikemukaan oleh plato, ketika ia mengintroduksi Nomoi, sementara dalam dua tulisan pertamanya, Politeia dan Politikos belum muncul istilah dari negara hukum.9

Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa dapat berbuat adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan nilai kebijaksanaan serta senantiasa memperhatikan kepentingan dan nasib rakyat yang dipimpinnya. Pada buku kedua yang berjudul Politicos, Plato memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the game) demi warga

9


(30)

14

negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, Plato lebih menekankan konsepnya pada para penyelenggara negara serta penguasa agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak sewenang-wenang serta sekehendak hatinya.10 Gagasan tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristotels.11

Negara hukum adalah negara ataupun pemerintah yang didasarkan atas hukum. Negara menempatkan hukum sebagai dasar dari sebuah kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum12. Aristoteles dengan karya bukunya Politica, mengemukakan gagasannya, bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/ dikelolah atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut hukumlah yang berdaulat13. Perkembangannya kemudian mulai, abad ke-19, dikenal konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon (rule of law).

Konsep-konsep tersebut muncul tidak terlepas dari adanya beberapa bentuk sistem hukum di dunia. Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa “di dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, akan tetapi terdapat lebih dari satu bentuk sistem hukum”. Adapun yang dimaksud dengan sistem hukum adalah suatu sistem

10

Madjid H. Abdullah, 2007, Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi, PPs Universitas Hasanuddin, Makassar, h. 29

11

Ridwan HR, Loc.Cit

12

Agus Salim Andi Gadjong, Loc.Cit

13


(31)

15

hukum yang minimal memiliki substansi, struktur, dan kultur hukum didalam sistemnya. Adanya perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan pula munculnya perbedaan dalam pemakaian sistem hukum yang dipakai setiap negara. Berkaitan dengan hal tersebut kemudian dikenal sistem hukum Eropa Kontinental yang merupakan sistem hukum Romawi-Jerman (civil law system) dan sistem hukum Inggris (common law). Negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni dan negara bekas jajahan Belanda, maka dengan hal tersebut dengan serta merta pula sistem hukum yang berlaku di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku di negara Belanda yang kebetulan berada di benua Eropa yang dikenal dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System). Negara hukum itu sendiri menurut F.R. Bothingk adalah “De staat, waarin de wilsvrijheid van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” yang artinya adalah “Negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasan oleh ketentuan hukum.14

Di Indonesia negara hukum diatar dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian menurut Ridwan HR menyebutkan “konsekuensi sebagai negara hukum, Indoneia harus memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law yang artinya adalah hukum diberikan kedudukan yang tinggi, berkuasa penuh dalam suatu negara dan rakyat. Persyaratan kedua adalah equality before the law yang artinya bahwa semua pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama

14


(32)

16

kedudukannya dimata hukum”15

. Konsep negara hukum Indonesia adalah berlandaskan Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai landasan konstitusi Indonesia

Atas dasar tersebut bahwasannya teori negara hukum haruslah menggambarkan bahwa suatu negara haruslah mematuhi aturan hukum maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik itu dari aparat pemerintahan maupun warga masyarakat biasa.sehingga adanya kepastian, keadilan dan kemanfaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mewujudkan suatu keadaan yang tertib hukum, aman dan harmonis. Menurut Frans Magnis Susena mengemukakan bahwa ciri-ciri dari negara hukum tersebut tersebut ialah sebagai berikut :

(1) Asas Legalitas

(2) Kebebasan / Kemandirian Kekuasaan Hakim (3) Perlindungan Hak Asasi Manusia

(4) Sistem Konstitusi/Hak Dasar16.

Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh Frans Magnis Susena, diharapkan negara harus mampu menjamin keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dengan menegakankan asas legalitas, menjamin kebebasan ataupun kemandirian hakim, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan menegakkan konstitusi negara agar kedepannya pemerntah mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya.

15

C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.88

16

Frans Magnis Suseno, 1978, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Bumi Aksara, Jakarta, h.43


(33)

17

1.7.2 Teori Kewenangan

Setiap penyelenggaraan kenegaraan maupun pemerintahan harus memiliki legitimasi berupa kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka penyelenggara negara memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan merupakan bagian penting dari Hukum Pemerintahan dikarenakan pemerintah baru mampu menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara negara atas dasar wewenang yang diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kewenangan memiliki dua arti yaitu hal wewenang dan hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Kata wewenang sendiri memiliki arti berupa hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan serta arti selanjutnya berupa kekuasaan membuat keputusan, memeritah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.17

Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik.18 Sedangkan menurut S.F. Marbun, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.19 Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa wewenang

17

Balai Pustaka, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, h.1010

18

S. Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78

19

SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.154


(34)

18

merupakan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun dalam pengertian tersebut dinyatakan bahwa wewenang berkaitan dengan kekuasaan akan tetapi didalam bidang hukum publik kedua hal tersebut tidak dapat disama artikan kedua konsep tersebut. Kekuasaan tersebut menggambarkan hak baik untuk berbuat melakukan tindakan hukum maupun tidak berbuat sedangkan wewenang memiliki arti berupa suatu hak dan juga kewajiban yang diamatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dapat berisikan kebebasan untuk melakukan ataupun tidak melakukan perbuatan hukum tertentu sedangkan kewajiban memuat suatu keharusan untuk melakukan ataupun tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Dalam kajian hukum tata negara maupun dalam hukum administrasi, kewenangan memiliki kedudukan yang penting. Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki oleh Badan ataupun Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melakukan suatu perbuatan ataupun tindakan pemerintah. Menurut pendapat Donner, ada dua fungsi yang berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).20 Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

20

Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara, Jakarta, h.30


(35)

19

Menurut H.D Van Wijk dan Willem Konijnebelt, atribusi (atributie bevoegdheid) pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.21 Jadi wewenang atribusi juga dapat dikatakan sebagi wewenang asli yaitu wewenang yang diperoleh oleh pemerintah secara langsung yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian menurut H.D Van Wijk dan Willem Konijnebelt, Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah lainnya. Karakteristik dari delegasi tersebut adalah pelimpahan kewenangan yang berakar dari kewenangan atribusi. Selanjutnya, wewenang mandat (mandaat bevoegdheid) adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali secara tegas diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.22 Secara sederhana wewenang mandat dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan kepada bahawan yang bertujuan memberikan wewenang kepada bawahannya untuk membuat keputusan ataupun kewenangan lainnya atas nama Badan atapun Pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan pelimpahan wewenang tersebut.

1.7.3 Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam jurnal yang berjudul Penegakan

21

Sadjijno, 2008, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Press Indo, Yogyakarta, h.50

22


(36)

20

Hukum “Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit”23. Dalam arti luas proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa”24.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam jurnal yang berjudul Penegakan Hukum “dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan „law enforcement‟ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan „penegakan hukum‟ dalam arti luas dan dapat pula

23 Jimly Asshiddiqie, 2006, “Penegakan Hukum”, Journal Hukum Konstitusi, Jakarta, h.1 24


(37)

21

digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti sempit”25. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah „the rule of law‟ versus „the rule of just law‟ atau dalam istilah „the rule of law and not of man‟ versus istilah „the rule by law‟ yang berarti

„the rule of man by law‟. Dalam istilah „the rule of law‟ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah „the rule of just law‟. Dalam istilah „the rule of law and not of

man‟ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah „the rule by law‟ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.26

Dalam penegakan hukum terdapat faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Menurut Lawrance Friedman keberhasilan dalam penegakan hukum ditentukan oleh substansi hukum, struktur hukum, dan kultur maupun budaya hukum27. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto faktor–faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah :

(1) Faktor Hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja. (2) Faktor Penegak hukum, yakni pihak pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

(3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

25

Ibid, h.2

26

Ibid, h.3

27


(38)

22

(4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku ataupun ditetapkan.

(5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasar pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.28

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, Metode adalah proses, prinsip – prinsip dan tata cara memecahkan suatu permasalahan, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati – hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala ilmiah untuk menambah pengetahuan manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip – prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan suatu penelitian29.

Dengan menggunakan metode seseorang diharapkan mampu untuk menemukan dan menganalisa masalah tertentu sehingga dapat mengungkapkan suatu kebenaran ilmiah, karena metode memberikan pedoman tentang cara bagaimana seseorang ilmuwan mempelajari, memahami dan menganalisa suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Metodologi Penelitian merupakan suatu

28

Soerjono Soekanto, 2011, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I) h.8

29

Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) h. 13


(39)

23

pengkajian dari peraturan – peraturan terhadap pelaksanaannya dilapangan yang terdapat dalam metodologi penelitian. Dengan demikian penelitian akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan, karena “suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan”.30

Inti Metodelogi dalam penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Dengan demikian penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh data yang teruji kebenaran secara ilmiah. Jadi Jenis penelitian yang dipakai peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, dimana pada awalnya yang akan diteliti yaitu data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau masyarakat.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung, dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan perundang – undangan ( The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Pendekatan perundang – undangan disini adalah ingin menganalisis norma – norma hukum yang didalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok sedangkan untuk

30


(40)

24

pendekatan fakta, disini penulis ingin meneliti fakta – fakta hukum yang terjadi dilapangan didalaman dalam Peraturan Daerah ini

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian yang akan yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data-data ilmiah, menyususun, mengklasifikasi, menganalisa, dan menginterprestasikan masalah31. Penelitian Deskriptif pada penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, keadaan, gejala, ataupun kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan atau meggambarkan tentang pelaksanaan dan penegakan hukum dari Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta menggambarkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan peraturan daerah tersebut serta solusi atas permasalahan yang timbul.

1.8.4 Data dan Sumber

Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum terarah pada penelitian data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengkaitkan kondisi sosial dengan masalah – masalah

31

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Diponogoro Press, Semarang, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III) h.10


(41)

25

hukum yang terjadi di masyarakat. Sedangkan data sekunder berupa bahan hukum dan dokumen – dokumen hukum termasuk kasus – kasus hukum yang menjadi pijakan dasar peneliti dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitiannya. Jadi Dalam penelitian hukum empiris ini peneliti akan digunakan dua data dan sumber dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

i. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber utama dilapangan maupun narasumber yang berhubungan dengan obyek penelitian. Data primer ini akan diperoleh dari observasi atau hasil pengamatan langsung ke lapangan maupun melalui keterangan dan penjelasan dari pihak yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah semua pihak yang dapat memberikan keterangan secara langsung mengenai segala hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah observasi dan pengamatan langsung ke Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung serta wawancara dengan pihak-pihak yang mengetahui dan terkait dengan penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung yaitu Sekretaris Daerah Kabupaten Badung, Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung .


(42)

26

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari narasumber yaitu bisa berasal dari dokumen, bahan pustaka, hasil-hasil penelitan dan sebagainya terutama yang berkaitan dengan penelitian. Yang akan menjadi sumber data dalam data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui studi pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang mendukung sumber data primer dan berkaitan dengan obyek penelitian yaitu penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yang berasal dari bahan hukum primer adalah: Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah; Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok; Peraturan Bupati Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok dan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a) Teknik Kepustakaan

Salah satu cara pengumpulan data dengan melakukan studi dokumen, berupa mempelajari buku-buku literatur, peraturan


(43)

27

perundang-undangan, karya ilmiah serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek kajian. Studi literature atau dokumen akan bermanfaat membangun kerangka berfikir dari pembahasan penelitian ini. Peneliti dalam penelitian ini, merupakan instrument utama, artinya peneliti sendiri yang terjun langsung ke tempat penelitian, selaku tangan pertama dan tidak digunakan tenaga peneliti lainya. Selain hal tersebut, digunakan pula instrument bantu lainya sesuai dengan teknik pengumpulan data sebagaimana disebut di atas.

b) Teknik Wawancara (interview)

Wawancara (interview) adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.32 Teknik wawancara yang dipilih adalah dalam bentuk wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan. Wawancara tak terstruktur adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya guna mendukung data yang diperlukan.33

32

Lexy J. Moleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung. h. 135

33

S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Rekasarasin Press, Yogyakarta, h. 72


(44)

28

Adapun instrumen bantu yang digunakan berupa pedoman wawancara, tipe recorder atau alat perekam suara smartphone, blangko hasil wawancara, serta blangko dokumentasi dan sebagainya. Dipilihnya berbagai Jenis instrumen penelitian di atas didasarkan pada alasan bahwa bentuk data atau informasi yang diteliti tidak dapat ditentukan lebih dahulu dan selalu berkembang sepanjang penelitian dilangsungkan oelh peneliti.34

1.8.6 Teknik Penentuan Sample Penelitian

Teknik penentuan sample penelitian berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang terpercaya mengenai elemen yang ada ataupun karakteristik elemen-elemen yang tercakup dalam fokus maupun topik permasalahan penelitian.35 Informan sasaran dalam penelitian ini dipilih dengan cara purpose sampling atau criterian based selection.36 Pengertian metode purpose sampling itu sendiri adalah pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan purposive sampling maka cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui secara mendalam.37

34

Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang, h.158

35

Ibid, h. 56

36

H.B Sutopo, 1988, Suatu Pengantar Kualitatif, DasarTeori dan Praktek, Pusat Penelitian UNS, Surakarta, h. 22

37


(45)

29

Berdasarkan kepada fokus kajian yang dilaksanakan dalam penelitian ini, maka informan yang dikaji adalah:

(1) Biro Hukum dan HAM Sekretaris Daerah Kabupaten Badung (2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung

(3) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung

Informan penelitian sebagaimana tersebut di atas bukan hal yang limitatif, dalam hal ini berarti informasi yang akan diperoleh peneliti akan semakin luas, penentuan informan sasaran dalam penelitian ini harus diperhatikan dan dipertimbangkan dengan baik dan teliti. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat mewakili seluruh informan dan dapat memberikan data yang relevan, yang mempunyai hubungan atau korelasi dengan judul peneliti.

1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Analisis kualitatif ditujukan pada data yang bersifat kualitatif, dengan cara menjabarkan dan menginterpretasikan data yang berdasarkan pada teori hukum, doktrin hukum dan norma-norma hukum.


(46)

30 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK

1.1 Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

2.1.1 Pengertian Penegakan Hukum

Indonesia merupakan negara hukum yang dimana hukum harus di junjung tinggi untuk menciptakan suatu negara yang tertib hukum, maka penegakan hukum harus dilaksanakan guna mewujudkan fungsi dari norma-norma hukum itu sendiri. Sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”1 yang artinya bahwa penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat terhadap sistem hukum negara tersebut. Penegakan hukum itu sendiri merupakan proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara2. Menurut Satjipto Raharjo dalam buku Hukum dan Masyarakat menerangkan “penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum”3. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto menyatakan bahwasannya penegakan hukum adalah

1

Lawrance M. Friedman, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, h. 14

2

Jimly Asshiddiqie, Loc.cit

3

Satjipto Raharjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, , Angkasa, Bandung, (selanjutnya disingkat Satjipto Raharjo I) h. 15


(47)

31

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah hukum ataupun pandangan nilai-nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran terhadap nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup di masyarakat.4 Berdasarkan pendapat Sapjipto maupun Soerjono Soekanto tersebut maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasannya yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah pelaksanaan terhadap suatu pemikiran – pemikiran akan tegaknya suatu norma dalam hukum positif menjadi suatu kenyataan dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Hakekat dari penegakan hukum itu untuk mewujudkan suatu nilai maupun kaidah yang memuat keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum yang tidak hanya dimaknai sebagai tindakan untuk memaksakan seseorang ataupun para pihak yang tidak menaati suatu atauran yang berlaku menjadi taat namun penegakan hukum dapat dimaknai sebagai cara untuk mempengaruhi orang maupun berbagai pihak dari berbagai kalangan terkait dengan pelaksanaan aturan hukum yang berlaku sehingga norma-norma hukum yang termuat dalam aturan tersebut dapat berlaku secara efektif. Menurut Hans Kelsen dalam bukunya Pure Theory of Law menjelaskan bahwa :

“A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after promulgation – therefore before the statute had a chance to become

“effective” – applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer considered to be valid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness is a condition of validity in the sense that effectiveness has to join the positing of a legal norm if the norm is not to lose its validity.”5

4

Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV) h.13

5

Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, California USA, h. 11


(48)

32

Dengan kata lain, bahwa Hans Kelsen mempersyaratkan harus adanya hubungan timbal balik antara unsur validitas dan keefektifan dari suatu kaidah hukum. Sebelum dapat berlaku secara efektif, suatu norma hukum harus terlebih dahulu valid oleh karena jika suatu kaidah hukum tidak valid maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan sehingga kaidah hukum tersebut tidak pernah efektif berlaku.

Agar suatu ketentuan hukum berlaku efektif maka diperlukan proses maupun upaya mengenai penegakan hukum itu sendiri. Menurut Andi Hamzah menjelaskan bahwa proses maupun dalam penegakan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan represif dan tindakan preventif.6 Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan sebelum dilakukannya penegakan secara repesif atau dengan kata lain adalah tindakan berupa pencegahan untuk terjadinya suatu pelanggaran hukum baik dengan cara diadakannya negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum ditaati. Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan norma hukum yang berlaku, biasanya hal ini dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum dalam arti sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif diartikan sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving).7 Berdasarkan pandangan mengenai penegakan hukum tersebut diatas maka penting untuk menerapkan tindakan baik represif maupun preventif terhadap proses penegakan hukum.8

6

I Gusti Agung Ngurah Iriandhika Prabhata, 2015, Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali, Desertasi Megister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.23

7

Ibid

8


(49)

33

Dalam penegakan hukum (law enforcement) harus adanya kehendak agar hukum dapat diwujudkan. Pada kenyataannya, cita-cita yang terkandung dalam penegakan hukum belum tentu sungguh-sungguh dapat diraih, karena hukum digunakan sebagai tindakan-tindakan untuk melindungi orang lain atau kelompok tertentu. Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya Menerobos Positivisme Hukum mengungkapkan “Masalah penegakan hukum merupakan persoalan yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variabel yang mempunyai korelasi dan interdependensi dengan faktor-faktor yang lain.”9

Menurut Lawrance Friedman keberhasilan dalam upaya penegakan hukum ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah substansi hukum, struktur hukum, dan kultur maupun budaya hukum masyarakat.10 Selain itu, masalah pokok dalam suatu penegakan hukum sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya yang dimana faktor-faktor tersebut mempunyai dampak yang positif maupun dampak negatif yang terletak pada isi faktor-faktor dalam penegakan hukum tersebut. Dalam penegakan hukum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukumnya. Menurut Soerjono Soekanto faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah :

(1) Faktor Hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

9

Satjipto Raharjo, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkan Education, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Satjipto Raharjo II) h.78

10


(50)

34

(2) Faktor Penegak hukum, yakni pihak pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

(3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

ataupun ditetapkan.

(5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasar pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 11

Jadi bahwasannya kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum terhadap suatu ketentuan norma hukum agar dapat berlaku secara nyata dan efektif.

2.1.2 Penegakan Hukum Dalam Hukum Administrasi

Hakekat dari penegakan hukum itu untuk mewujudkan suatu nilai maupun kaidah yang memuat keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum yang tidak hanya dimaknai sebagai tindakan untuk memaksakan seseorang ataupun para pihak yang tidak menaati suatu atauran yang berlaku menjadi taat, namun penegakan hukum dapat dimaknai sebagai cara untuk mempengaruhi orang maupun berbagai pihak dari berbagai kalangan terkait dengan pelaksanaan dari aturan hukum yang berlaku sehingga norma-norma hukum yang termuat dalam aturan tersebut dapat berlaku secara efektif. Dalam Penegakan hukum, terdapat beberapa bidang penegakan hukum diantaranya adalah penegakan hukum dalam

11


(51)

35

hukum perdata, penegakan hukum dalam hukum pidana dan penegakan hukum dalam hukum administrasi. Pada bahasan ini penegakan hukum lebih di spesifikasi lagi kedalam bidang penegakan hukum dalam hukum administrasi negara.

Sebelum membahas tentang penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, terlebih dahulu membahas tentang pengertian dari hukum administrasi ini. Menurut J.M Baron de Garando, hukum administrasi adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyatnya. Sedangkan menurut J.H.A Logemann menyebutkan bahwa hukum administrasi adalah peraturan-peraturan khusus, yang disamping hukum perdata yang berlaku umum, mengatur cara-cara organisasi negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat. Hukum administrasi mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur serta mengendalikan masyarakat, mengatur bagaimana cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut serta menetapkan norm-norma fundamental bagi pemerintah untuk pemerintahan yang baik12.

Untuk berfungsi norma hukum dalam pelaksanaan hukum administrasi maka diperlukan penegakan hukum dalam hukum administrasi negara. Pada penegakan hukum dalam hukum administrasi digunakan beberapa sarana. Menurut P. Nicolai, sarana dalam penegakan hukum administrasi berisi dua hal yaitu pengawasan dan sanksi.13 Pengawasan merupakan langkah preventif dalam penegakan hukum administrasi untuk melaksanakan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku, sedangkah penerapan sanksi sebagai sarana

12

Zainal Asikin, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, h.186

13


(52)

36

penegakan hukum administrasi negara merupakan langkah penegakan hukum represif untuk memaksakan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Jika dijabarkan secara detail, penegakan hukum administrasi terkait dengan masalah legitimasi atau persoalan kewenangan dalam menjalankan instrumen penegakannya yang meliputi :

1 Monitoring (Pengawasan)

2 Menggunakan wewenang yang memberi sanksi, yang meliputi : a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (Bestuur Dwang); b. Uang paksa (Publekrechtelijke Dwangsom);

c. Penutupan tempat usaha (Sluiting Van Een Inrichting);

d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruikstelling Van Een Toestel) dan;

e. Pencabutan ijin melalui proses teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa14.

Dalam suatu negara hukum diperlukan pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku yang merupakan sebagai suatu upaya preventif dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelangaran norma-norma hukum yang merupakan sebagai suatu upaya refresif. Disamping itu yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini di upayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.15 Sedangkan dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan

14

Philipus M. Hadjon, 1991, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Pers, Yogjakarta, h. 241

15


(53)

37

penerapan kewenangan pemerintah yang dimana kewenangan ini berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan norma-norma Hukum Administrasi Negara tertentu, diiringgi pula dengan memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui penerapan sanksi administrasi bagi yang melanggar norma Hukum Administrasi Negara tersebut.16

Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi repartoir ( reparatoire sancties ) diartikan sebagai sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditunjukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum ( legale situatie ). Dengan kata lain, mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya. Jenis sanksi berikutnya adalah sanki punitif adalah sanksi yang semata-mata ditunjukan untuk memberikan hukuman (straffen) pada seseorang17. Sanksi administrasi dapat dirumuskan secara kumulatif, baik kumulasi internal maupun kumulasi eksternal. Dalam kumulasi internal, dua atau lebih sanksi administrasi seperti telah disebutkan di atas, diterapkan bersama-sama dalam satu undang-undang. Sedangkan, kumulasi ekternal berarti sanksi adminsitrasi diterapkan secara bersama dengan sanksi lain, seperti sanksi pidana maupun sanksi perdata. Dalam kumulasi eksternal dapat dibenarkan dan tidak menyalahi asas Ne bis in idem karena sifat dan tujuan sanksi administrasi berbeda dengan sanksi pidana.18

16

Ibid, h.296

17

Ibid, h.316

18


(54)

38

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Rokok

2.2.1 Pengertian Rokok

Rokok adalah sebuah silinder yang terbuat dari kertas berukuran panjang antara 70 milimeter hingga 120 milimeter dengan ukuran yang bervariasi tergantung negara dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah dan diramu. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung batang lainnya.19 Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam saku atau kantong. Sejak beberapa tahun terakhir bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan merokok misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung20. Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di benua Amerika yang digunakan untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh para leluhur. Pada abad 16 dimana ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk ritual, di Eropa orang merokok untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam21.

19

Anonim, 2015, “Rokok”, Wikipedia, URL : https://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, diakses tanggal 4 Desember 2015

20

Ibid

21


(1)

kanker ginjal, kanker tenggorokan, kanker leher, kanker payudara, kanker kanker kandung kemih, kanker pankreas dan kanker lambung dimana satu dari enam pria perokok akan menderita kanker paru, kemudian penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi, lalu penyakit saluran pernapasan seperti flu, radang saluran pernapasan (bronkhitis), penyakit paru obstruktif kronis. Selain itu bagi ibu hamil yang merokok akan terjadi cacat bawaan pada bayi dari ibu yang merokok selama kehamilan, penyakit buerger, katarak, gangguan kognitif (daya pikir) seperti lebih rentan terhadap penyakit Alzheimer

(pikun), penyusutan otak dan impotensi.

2.3 Tinjauan Umum Terkait Kawasan Tanpa Rokok

2.3.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok

Dalam Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal bagi seluruh masyarakat, maka di diselenggarakan berbagai upaya peningkatan kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud adalah pengamanan zat adiktif dan dampaknya sebagaimana diatur di berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok bahwa Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan


(2)

atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau hal ini. Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap Rokok, memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakan dan melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung. Dalam mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok di perlukan peran serta aktif masyarakat dalam mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok tersebut.

Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia baik individu secara pribadi maupun masyarakat ataupun lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan yang bersih bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Adapun yang menjadi tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang terdapat dalam dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia antara lain untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat rokok dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, kemudian untuk mewujudkan kualitas udara dan lingkungan yang sehat dan bersih serta bebas dari asap rokok, selanjutnya untuk menurunkan angka perokok dan mencegah remaja menjadi perokok pemula dan terakhir untuk mewujudkan generasi muda yang sehat. Disamping itu penetapan Kawasan Tanpa Rokok oleh Kementerian Kesehatan adalah merupakan upaya perlindungan untuk seluruh komponen masyarakat


(3)

terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.29 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kawasan Tanpa Rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum. Dalam Pasal 17 Ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan yang terkait dengan Kawasan Tanpa Rokok, melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok, ikut serta dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat, mengingatkan setiap orang yang melanggar ketentuan dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok serta setiap orang dan/atau badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok di Kawasan Tanpa Rokok. Peran serta masyarakat terakhir adalah melaporkan setiap orang yang terbukti melanggar dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok serta setiap orang dan/atau badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok di Kawasan Tanpa Rokok kepada pimpinan/penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok. Sedangkan untuk ketentuan sanksi dalam pelanggaran terhadap Kawasan Tanpa Rokok terdapat dalam Pasal 21 Ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok menyebutkan bahwa Setiap orang dan/atau Badan yang

29

Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta, h.17


(4)

melanggar ketentuan Kawasan Tanpa Rokok dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

2.3.2 Pengaturan Dalam Kawasan Tanpa Rokok

Di Kabupaten Badung penetapan Kawasan Tanpa Rokok diatur di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Bupati Badung Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Secara umumnya penetapkan Kawasan Tanpa Rokok terdapat beberapa peraturan yang dijadikan pedomanan ataupun dasar diantaranya adalah :

(1) Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, memperoleh tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Pada prinsipnya ketentuan pada pasal ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia untuk memperoleh kesehatan lingkungan, karena dengan melakukan pengaturan terhadap rokok tersebut, maka diharapkan masyarakat utamanya perokok tidak lagi merokok di Kawasan Tanpa Rokok untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;


(5)

(2) Pasal 9 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Pengaturan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok merupakan salah satu upaya untuk menjamin Hak Asasi Manusia guna memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat dan mencegah masyarakat dari ancaman berbagai penyakit akibat asap rokok. (3) Pasal 115 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan yang menjadi dasar utama dalam penetapan Kawasan Tanpa Rokok, dimana dalam ketentuan Pasal 115 Ayat (1) mengatur tentang kawasan mana saja yang menjadi ruang lingkup Kawasan Tanpa Rokok. Kemudian ketentuan Pasal 115 Ayat (2) mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya masing-masing. (4) Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003

tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, secara tegas menjadi dasar pertimbangan dalam kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang dimana pada ketentuan ini pemerintah memandang perlu adanya perhatian untuk melakukan sosialisasi bahwa rokok dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal itu dinyatakan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat dengan: Melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan rokok; Melindungi penduduk


(6)

usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok.

(5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang bertujuan untuk melindungi kesehatan perseorangan/individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan; melindungi penduduk usia produktif, terutama pada anak-anak, remaja, dan perempuan hamil dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan; meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok; serta melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain.

(6) Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok memberikan pengaturan tentang pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok yang secara filosofis, yuridis dan sosiologis dalam ketentuam ini memberikan pemahaman bahwa paparan asap rokok dapat membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap paparan dari asap rokok melalui kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Selain itu di dalam aturan ini juga dinyatakan bahwa di dalam Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok harus memuat mengenai: pengaturan tentang Kawasan Tanpa Rokok; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas khusus penegak Kawasan Tanpa Rokok; larangan dan kewajiban; serta sanksi bagi pelanggaran aturan Kawasan Tanpa Rokok.