Kritik Sosial dalam Satwa Pan Balang Tamak sebagai Upaya menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa.

(1)

Bidang Unggulan : Sosial Budaya. Kode/bidang ilmu:511/Sastra (dan Bahasa) Daerah

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

KRITIK SOSIAL DALAM SATWAPAN BALANGTAMAK SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA

Oleh:

Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum. / 0005115504 (Ketua) Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. / 0008045910 (Anggota)

Drs. I Ketut Nuarca M.S. / 0031125531(Anggota.

PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA 2015

Dibiayai oleh DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA Nomor DIPA: SP DIPA-042.04.2.400107/2015


(2)

Judul : Kritik Sosial Satwa Pan Balang Tamak Dalam Menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa Peneliti/Pelaksana

Nama : Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum.

NIDN : 0005115504

Jabatan Fungsional : Lektor

Program Studi : Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Dan Budaya UNUD Nomor HP : 081339447447

Alamat Sure1(e-mil) : inyomansukartha@yahoo.co.id Anggota (1) : Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S NIDN : 0008045910

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Anggota (2) : Drs. I Ketut Nuarca, M.S NIDN : 0031125531

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Penanggung Jawab :

Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun Biaya Tahun Berjalan : Rp 25 000 000,-

Biaya Keseluruhan : Rp 25 000 000,-

Denpasar, 5 November 2015 Mengetahui

Ketua PS. Sastra Jawa Kuno

(Drs. A.A. Gede Bawa, M.Hum) NIP 105712311985031010

Ketua Peneliti

(Dr. Drs. I Nyoman Sukartha,M.Hum) NIP: 19551105 198303 1 002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sastra dan Budaya

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A. NIP 195909171984032002


(3)

OM SWASTYASTU

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa/Hyang Widi Wasa maka, selesailah laporan penelitian Hibah Unggulan Program Studi yang berjudul: “Kritik Sosial Dalam Satwa Pan Balang TamakSebagai Upaya Menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa” ini dilakukan.

Penelitian ini dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana dengan nomer DIPA : SP DIPA – 042.04.2.400107/2015.

Penelitian ini direncanakan selesai pada bulan November 2015 dan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, selesai tepat pada waktunya.

Penelitian ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini diucapkan trima kasih yang tiada terhingga kepada:

1) Rektor Universitas Udayana beserta staf, Ketua PNBP Universitas Udayana, dan Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana beserta staf, atas fasilitas dan dana yang diberikan.

2) Kepala Gedung Kirtya Singaraja atas kerelaannya memberikan informasi dan meminjami beberapa buku yang berkaitan dengan Satwa Pan Balang Tamak untuk difoto kopy.

3) Kepala Perpustakaan Program Pasca Sarjana Kajian Budaya dan Kepala perpustakaan Program Pasca Sarjana Linguistik Universitas Udayana atas kerelaan memberi pinjaman buku/disertasi/tesis untuk difoto kopy.


(4)

4) Para Pemangku Pura/Klian Pura/Pengempon Pura Balang Tamak di seluruh Bali serta para informan yang telah banyak membantu memberikan informasi tentang Satwa Pan Balang Tamak.

5) Bapak/ibu yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini berjalan sesuai dengan harapan.

Atas semua bantuan dan budi baik bapak/ibu sekalian, dalam kesempatan ini tidak lupa diucapkan terima kasih. Semoga Tuhan selalu melimpahkan kebaikan dan anugerah kepada kita semua.

OM SANTHI SANTHI SANTHI OM

Denpasar, 5 November 2015


(5)

RINGKASAN

Sebuah karya sastra umumnya mengandung fungsi, makna dan nilai yang diagungkan oleh masyarakatnya. Itulah sebabnya sastra mempunyai keterjalinan hubungan secara timbal balik dengan masyarakat. Makna dalam karya sastra sering kali belum lengkap atau tertunda. Makna seperti itu dikaji, dibongkar, dan kemudian direkontruksi lagi agar ditemui makna baru yang belum pernah terungkap dan tersembunyi di balik makna yang sudah ada. Kajian mengenai makna yang tertunda dipelajari oleh teori dekontruksi sastra.

Kata dekonstuksi mengingatkan kita kepada Jacques Derrida dengan bukunya De la grammatologie I dan II. Ia dilahirkan tanggal 15 Juli tahun 1930 dalam keluarga Yahudi di El Biar, Aljazair (Fayadi,2005;2). Artikelnya dimuat dalam majalah Critique yang terbit tahun 1965 dan 1966 (Kaelan,2009;252).

Dekonstruksi adalah nama yang diberikan pada operasi kritik ketika oposisi dilemahkan sebagian atau, di mana dapat diperlihatkan bahwa mereka sebagian saling melemahkan dalam proses makna tekstual (Eagleton,2010;191, Piliang, 2010;125). Jadi, dekonstruksi merupakan metode analisis yang dikembangkan Derrida dengan membongkar struktur kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir, dan tanpa makna akhir (Piliang,2010;16).

Hoed (2003;153) mengatakan bahwa: Teori dekonstruksi Derrida lahir sebagai kritik terhadap teori Ferdinand de Saussure tentang tanda. Menurut Derrida teori tentang tanda dari Ferdinand de Saussure bersifat statis. Tanda dilihat sebagai hubungan antara signifiant (penanda atau bentuk) dan signifie (petanda atau makna). Makna tanda didasari oleh perbedaan semiologis (difference semiologique). Dalam kenyataannya hubungan antara signifiant dan signifie bersifat dinamis. Artinya hubungan itu seringkali tertunda, dan diberi makna baru. Argumentasi yang menguatkannya adalah bahwa, dalam bahasa Perancis kata differer tidak cuma berarti „berbeda‟, namun juga berarti „menunda‟. Selanjutnya dikatakan bahwa, hubungan antara petanda dan penanda


(6)

atau antara bentuk dan makna bersifat dinamis. Makna bukanlah hanya diperoleh melalui perbedaan, namun didapat juga dari penundaan semiologis.

Kajian dekontruksi sastra belum begiru popular di kalangan mahasiswa, lebih-lebih lagi pada mahasiswa S1. Hal ini terbukti dari belum adanya hasil penelitian berupa skripsi S1 yang menggunakan landasan teori dekonstruksi sastra. Oleh karena itu, penelitian dekontruksi sastra akan menjadi warna baru pada penelitian S1 berupa skripsi.

DAFTAR ISI


(7)

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PRAKATA ……… ii

RINGKASAN ………... iv

DAFTAR ISI ………. vi

GLOSARIUM ... vii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Masalah ……… 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4

BAB III TUJUAN PENELITIAN ………... 9

BAB IV METODE PENELITIAN ………. 9

BAB V KRITIK SOSIAL DALAM SATWAPAN BALANG TAMAK…. 10 5.1 Teks dan Terjemahan SatwaPan Ballang Tamak. ... 10

5.1 Ringkasan SatwaPan Balang Tamak ………. 28

5.2 Pengertian Kritik Sosial ... 42

5.2 Episode Berburu ……….. 44

5.3 Episode Adu Sapi ………. 50

5.4 Episode Pembangunan Pagar ………. 53

5.5 Episode Dodol Ketan Hitam ……… 57

5.6 Episode Kematian Pan Balang Tamak……….. 61

5.7 Rangkuman ... 64

BAB VI SATWA PAN BALANG TAMAK SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA ... 67

6.1 Pengertian Revolusi Mental ……….. 67

6.2 Motivasi Revolusi Mental Dalam SatwaPan Balang Tamak………… 68

6.3 Revolusi Mental Pola Pikir Penguasa ………. 70

6.4 Revolusi Mental Masyarakat ………... ... 71

6.5 Revolusi Mental Sikap Malas ……….... 74

6.6 Revolusi Aturan yang Tidak Tegas ... 78

6.7 Revolusi Mental Sikap Ceroboh ………... 81

6.8 Rangkuman ... 84

7. Kesimpulan dan Saran………... 85

- Kesimpulan ... 85

- Saran ... 86

- Lampiran………... 100

- Foto-foto..………... 100

GLOSARIUM.


(8)

bala : prajurit, pahlawan, anak buah/bawahan

balang : belalang. Perumpamaan yang dikenakan terhadap orang yang tidak mau bekerja/malas tetapi banyak akal

bangkung : induk babi

bangkung sing megigi : induk babi ompong

bendesa : jabatan tradisional Bali untuk pemimpin desa bengbengan : angkreman/tempat ayam mengerami telur

caru : nama sesajen penetralisir energy alam yang negatif cicing bengil : anjing kurus, kotor dan sakit-sakitan

iwel/uwel : sejenis kue terbuat dari tepung ketan hitamyang dikukus

juru arah : orang yang bertugas menyampaikan pemberitahuan/pengumuman desa

jero mangku : sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai pengantar upacara di suatu pura. Disebut pula pinandita

kanda pat : ajaran tentang saudara empat yang diajak dari lahir kelian pura : pimpinan pura

kupas : lapisan batang pisang yang telah kering pacaruan : upacara penetralisir energy negative alam pagehan : pagar

pan : sebutan untuk orang laki yang sudah mempunyai anak pangkung : jurang, sungai yang tidak berair

sanggah : bangunan tempat pemujaan sendi : batu dasar tiang bangunan senggauk : nasi aking

tama : masuk, jinak, berani tamak : rakus

tambulilingan : kumbang


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tradisi lisan suatu masyarakat, umumnya kaya akan kandungan berbagai kearifan lokal (local wisdom) yang di dalamnya sering pula memendam kecerdasan lokal (local genius).

Tradisi lisan maksudnya adalah sebuah tradisi yang diturunkan secara turun-temurun, paling tidak dua generasi dan diakui sebagai milik bersama (Sudikan, 2001:11 dan Vansina, 1985: 27-31). Hoed (2008:184) mengatakan bahwa; tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan, dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan. Dananjaya (1984: 21-22) menyatakan bahwa tradisi lisan (verbal folklore) merupakan bagian dari folklor (foklor lisan, dalam Moeliono, 2005:1208), di samping terdisi bukan lisan (non verbal folklore), dan tradisi sebagian lisan ( partly verbal volklore). Dalam tradisi lisan sebenarnya terkandung muatan seperti: sistem geneologi, adat-istiadat, sejarah, etika, sistem pengetahuan, bahasa rakyat, pertunjukan, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, nyanyian, kearifan lokal, ensiklopedia dan mite atau legende atau dongeng

Kearifan lokal maksudnya adalah, kematangan berfikir masyarakat tingkat lokal yang tercermin dalam sikap dan cara pandang masyarakat yang kondusif dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal, baik yang berupa material maupun yang bukan material


(10)

Satwa Pan Balang Tamak, merupakan sebuah ceritera rakyat Bali yang tergolong ke dalam salah satu tradisi lisan Bali. Pan Balang Tamak mencerminkan gambaran sosok tokoh yang memiliki sikap kritis di masyarakat. Ia merupakan tokoh yang sangat cerdas uang mencoba mengkritisi segala aturan-aturan yang diberlakukan di desanya. Di sisi lain yaitu warga desa, dan pemimpin desa kurang mampu menangkap sikap dan prilaku Pan Balang Tamak yang sangat kritis itu. Sikap kritis itu dianggap sebagai pembangkangan terhadap aturan-aturan desa yang ada. Hal itu mengakibatkan timbulnya rasa marah, dendam, dan antipati warga desa kepada Pan Balang Tamak. Sebagai puncak kemarahan warga desa yang dipimpin oleh perangkat pimpinan desa, maka Pan Balang Tamak diracuni agar mati. Bahkan, setelah mati ada niat dari beberapa wrga desa yang ingin mencuri kekayaan Pan Balang Tamak. Namun, berkat kecerdasan Pan Balang Tamak yang telah menduga akan adanya keinginan beberapa warga desa seperti itu, maka kekayaannya yang telah ditinggalnya mati tidak berhasil dicuri. Warga masyarakat desa hanya berhasil mencuri mayat Pang Balang Tamak yang ada di dalam peti. Mayat yang ada di dalam peti itu dibawa ke sebuah pura, dan di sana mayat itu disembah karena dikira ada roh suci (Tuhan) di dalam peti itu. Setelah diketahui bahwa isi peti adalah mayat Pan Balang Tamak maka mayat itu diupacarai selayaknya.

Ringkasan kisah Pan Balang Tamak di atas, mencerminkan adanya kritik sosial dari salah seorang warga masyarakat terhadap aturan atau norma-norma yang telah berlaku. Kriritk sosial itu bertujuan untuk menguji kesahihan atau kebenaran aturan atau norma-norma adat yang telah dibuat dan disepakati bersama. Di sisi lain perangkat


(11)

pimpinan desa sebagai pembuat kebijakan desa merasa ditentang, dan dolecehkan oleh sikap kritis Pan Balang Tamak.

Bertolak dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa dalam ceritera itu terkandung makna adanya krtitik soaial, dan makna yang belum terungkap atau makna tertunda dalam ceritera Pan Balang Tamak. Makna-makna tersebut perlu di ungkap sebagai bahan penelitian.

1.2 Masalah

Diskripsi dalam latar belakang di atas memunculkan permasalahan yang akan diteliti seperti:

1) Kritik sosial apa yang terkandung dalam Satwa Pan Balang Tamak? 2) Revolusi mental apa yang terkandung dalam Satwa Pan Balang Tamak.

Sebenarnya banyak masalah yang bisa dimunculkan dalam penelitian semacam ini. Namun, kedua masalah di atas dirasa sudah cukup mewakilinya.


(12)

Ditemukan beberapa naskah dan tulisan yang membicarakan ceritera Pan Balang Tamak. Naskah dan tulisan yang dimaksud dapat disebutkan seperti uraian di bawah ini. 1) Transeliterasi naskah lontar Geguritan Pan Balang Tamak. Naskah geguritan ini memuat cerita Pan Balang Tamak yang digubah dalam bentuk tembang macapat dengan menggunakan bahasa Kawi Bali. Geguritan ini merupakan salah satu versi cerita Pan Balang Tamak. Di samping itu cerita yang termuat di dalamnya termasuk versi yang paling panjang dibandingkan dengan cerita-cerita versi lainya. Mengingat naskah ini adalah transeliterasi lontar tentu saja uraian berupa analisis tidak ada. Di sisi lain ceritera Pan Balang Tamak versi geguritan ini sangat jarang dikenal di Bali.

2) Naskah Tutur Pan Balang Tamak. Cerita Pan Balang Tamak ini digubah dalam bentuk tutur atau prosa dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna. Tutur Pan Balang Tamak ini tidak memuat ceritera atau perjalanan hidup Pan Balang Tamak. Di dalamnya hanyalah memuat tentang ceritera manusia semasih dalam kandungan. Manusia semasih dalam kandungan sebenarnya sudah diemban oleh 4 saudara yang masih berupa buta (roh halus). Setelah manusia lahir keempat saudaranya itu ikut terlahir dalam bentuk darah, ari-ari, plasenta, dan air ketuban. Kempatnya ini berganti nama setelah manusia dilahirkan. Jadi dalam naskah tutur ini hampir semua isinya mengenai filsafat saudara 4 yang di Bali dikenal dengan ajaran Kanda Pat.

3) Satwa-Satwa Sane Banjol Kasusastra Bali. Tulisan ini merupakan kumpulan ceritera lucu yang ada dalam kesusastraan Bali, dan dikumpulkan oleh I Gusti Ngurah Bagus (1971). Ceritera yang ada di dalamnya dibedakan menjadi dua yaitu:


(13)

Satwa-Satwa Banjol Sane Ngangge Dasar Antuk Kabelogan (ceritera-ceritera lucu yang berdasar pada kebohan), dan Satwa-Satwa Banjol Sane Ngangge Daya (ceritera-ceritera lucu yang menggunakan tipu muslihat). Ceritera Pan Balang Tamak terdapat pada halaman 41 yang digolongkan ke dalam ceritera-ceritera lucu yang menggunakan tipu muslihat (Satwa-satwa banjol sane ngangge dasar daja).

4) Thomas M. Hunter dan Ni Wayan Pasek Ariati (makalah seminar, 2011), berjudul “Pan Balang Tamak sebagai Anti-pahlawan”. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktur sastra, dengan pandangan bahwa tokoh Pan Balang Tamak adalah tokoh yang antipahlawan. Pan Balang Tamak berupa tokoh antagonis yang memiliki sifat kurang baik, dan penentang aturan/norma-norma desa yang berlaku. Pandangan Tomas Hunter ini sangat bertentangan dengan kepercayaan sebagian besar masyarakat Bali terutama masyarakat yang memuliakan bahkan mendewakan tokoh Pan Balang Tamak ini.

5) “Dekonstruksi Nilai Budaya Dalam Satwa Pan Balang Tamak di Desa Kaba-Kaba Kabupaten Tabanan: Perspektif Kajian Budaya”, berupa tesis (S2) oleh Ni Nyoman Pariasih (2007). Dalam tulisan ini diuraikan bahwa teks satwa Pan Balang Tamak merupakan uapaya perlawanan rakyat kecil terhadap penguasa atau raja yang bertindak sewenang-wenang. Pendekatan dekonstruksi diartikan sebagai pembongkaran makna yang ada, dengan fokus kajiannya seperti: bentuk dekonstruksi nilai budaya dalam satwa Pan Balang Tamak, Fungsi dekonstruksi nilai budaya dan makna dekonstruksi yang terkandung dalam satwa Pan Balang Tamak. Dalam tulisan ini belum


(14)

dijelaskan makna yang tertunda yang sebenarnya tersirat dalam satwa Pan Balang Tamak, terutama makna dalam menciptakan revolusi mental anak bangsa.

6)”Eksistensi Pura Balang Tamak di Desa Pakraman Beda Kecamatan Tabanan Kabupaten Tabanan: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”, oleh Mertha (2008). Dari judulnya telah tergambar bahwa isi tulisan ini lebih menekankan kajian budaya tertutama tentang eksistensi pura dalam masyarakat Desa Pakraman Beda yang ada di Kabupaten Tabanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, belum ditemukan uraian mengenai makna “yang tertunda” terutama dalam kaitannya untuk merevolusi mental anak bangsa.

7) “Upacara Siat Ketipat Dalam Usaba Pala Di Pura Balangtamak Desa Pakraman Nongan Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem”. Tulisan ini berupa tesis (S2) oleh I Made Lumbung Mahardi (2009). Penelitian ini memuat tentang upacara yang dilakukan masyarakat sebagai wujud syukur kepada Tuhan serta dewa-dewi.

8) “Identitas Tokoh Balang Tamak Dalam Teks Dan Konteks Masyarakat Bali”. Tulisan ini berupa disertasi oleh I Wayan Wastawa (2012). Disertasi ini menjelaskan mengenai identitas Pan Balang Tamak dalam teks dan hubungannya dengan masyarakat. Di sisi lain diuraikan juga mengenai idiologi kritis tokoh Pan Balang Tamak dalam kaitannya dengan masyarakat Bali serta dampak dan makna dekonstruksi identitas Pan Balang Tamak.

Bila dicermati dengan seksama tulisan yang telah disebut di atas, semuanya memuat cerita Pan Balang Tamak. Sebagaian dari tulisan di atas menganalis dan menguraikan makna dekonstruksi atau dengan membongkar makna yang telah ada, lalu


(15)

makna itu disusun kembali menjadi makna baru. Namun demikian, terdapat pemahaman yang sedikit beda mengenai pengertian dekonstruksi. Seperti yang telah diuraikan di dalam uraian teori, bahwa, dekonstruksi dimaksudkan adalah membongkar makna yang telah ada, kemudian mencari makna tertunda yang belum terungkap. Makna tertunda seperti itu belum tercermin dalam pustaka-pustaka di atas. Lebih-lebih lagi mengenai makna yang ada di dalam Satwa Pan Balang Tamak dalam menciptakan revolusi mental anak bangsa. Adakah kandungan makna sebagai upaya menciptakan revolusi mental anak bangsa dalam Satwa Pan Balang Tamak tersebut?. Makna inilah yang akan menjadi titik fokus kajian, tentu saja di samping kritik sosial yang ada dalam Satwa Pan Balang Tamak.


(16)

BAB III TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini bisa dibedakan menjadi 2 yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran tentang pentingnya warisan budaya bangsa yang adiluhung, agar bisa digunakan sebagai pembelajaran, pedoman hidup, dalam membina, menciptakan kemajuan ilmu pengetahuan, kerukunan antar umat beragama demi tercapainya kedamaian. Di sisi lain penelitian ini bertujuan pula untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan dalam upaya menciptakan revolusi mental anak bangsa.

3.2 Tujuan khusus

Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tentu saja berkaitan dengan masalah yang ingin dicapai. Oleh karena itu maka tujuan khusus penelitian ini dapat dirinci seperti berikut ini.

1) Mengkaji kecerdasan lokal dalam wujud kritik sosial yang terkandung dalam Satwa Pan Balang Tamak..


(17)

BAB IV METODE PENELITIAN

Sifat penelitian ini didasari oleh filosofi fenomenologis dengan pola berfikir induktif. Oleh karena itu maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang dipertentangkan dengan penghitungan berdasarkan angka-angka (kuantitatif) (Moleong,1982:2). Secara metodologis penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan seperti di bawah ini.

Tahap penyediaan data dilakukan melalui observasi lapangan dengan mengumpulkana naskah atau merekam cerita Pan Balang Tamak. Sampai saat ini ditemukan beberapa versi Satwa Pan Balang Tamak yang ada di masyarakat. Versi yang ditemukan berdasarkan atas perbedaan wilayah atau tempat atau boleh dikatakan bersifat dialektal.

Tahap kedua adalah tahap analisis. Pada Tahap ini dilakukan analisis mengenai kritik sosial sebagai bagian dari kecerdasan lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom). Kemudian dikaji makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang telah ditemukan dibongkar (diuraikan) kembali, dan kemudian disusun ulang untuk mendapatkan makna yang tertunda atau makna yang belum terungkap. Dalam tahap ini digunakan metode analisis data yang dibantu oleh teknik terjemahan.

Tahap ketiga penyusunan laporan untuk disajikan sebagai hasil penelitian. Pada tahapan ini digunakan metode formal berupa untaian kata-kata dan metode informal berupa lambang-lambang, bagan dan sejenisnya.


(18)

BAB V KRITIK SOSIAL DALAM SATWA PAN BALANG TAMAK

5.1 Teks dan Terjemahan SatwaPan Balang Tamak

TEKS SATWA PAN BALANG TAMAK

Ada kone katuturan satwa anak madan Pan Balang Tamak. Ia maumah di desa Sunantara wewengkon panagara Keling. Pan Balang Tamak ngelah kurenan madan Ni Tanu. Ni Tanu kaliwat tresna sih, lan bakti kapining Pan Balang Tamak. Suba makelo kone ia makurenan, nanging tuara dadi ngelah pianak. Yadiastun ia tusing nyidayang ngelah pianak, mase anake tetep mungkusin ia Pan Balang Tamak ane muani, lan Men Balang Tamak ane luh.

Pan Balang Tamak kasub sugih pesan di desane ento, mapan, bek ngelah emas, selaka, pipis, keto mase kasugihan tanah carik lan tegal tuara kena baana metekin. Lenan kapining sugih arta berana, Pan Balang Tamak mase ririh nutur turmaning liu ngelah daya pangupaya. Ia kasub ririh duaning suba pepes ngalahang para resi, pemangku, balian, keto mase para juru raos ane ada di sajebag panagara Keling, ento kerana liu anake brangti, ngedegin, lan ngamusuhin Pan Balang Tamak. Apa buin para prajuru desane, maka pamucuk Kelihan desane utawi Jero Bendesa. Jero Bendesa ane paling

TERJEMAHAN CERITERA PAN BALANG TAMAK

Konon, adalah ceritera orang yang bernama Pan Balang Tamak. Ia tinggal di desa Sunantara yang termasuk wilayah kerajaan Keling. Pan Balang Tamak mempunyai seorang istri yang bernama Ni Tanu. Istrinya sangat cinta dan setia kepada suaminya. Sudah lama mereka bersuami istri, namun belum juga memperoleh keturunan. Walaupun mereka tidak memiliki anak, namun orang-orang menjulukinya dengan sebutan Pan Balang Tamak untuk sang suami, dan Men Balang Tamak untuk sang istri.

Pan Balang Tamak terkenal sangat kaya di desa itu sebab, ia banyak memiliki harta benda berupa emas, perak, uang, dan kekayaan berupa tanah sawah dan tegalan yang tidak bisa dihitung karena banyaknya. Selain dari kekayaan berupa harta benda, Pan Balang Tamak juga sangat pintar berbicara, kritis, dan banyak akalnya. Ia terkenal pandai bicara sebab sudah sering mengalahkan para resi, dukun, dan juru bicara yang berada di kerajaan Keling. Itulah sebabnya banyak orang yang marah, benci, dendam, dan memusuhinya. Lebih-lebih lagi para petinggi desa seperti Jero Bendesa sangat


(19)

gedeg lan sengit tekening Pan Balang Tamak. To kerana ia sadina-dina makeneh lakar ngalih kapelihan Pan Balang Tamak, apanga ada anggona jalaran nanda ane liu lan nundung Pan Balang Tamak mangdane ia magedi uli desa Sunantarane.

Kacarita kone sedek dina anu, parum krama desane lakar nayanang lan ngalih kapelihan Pan Balang Tamak. Tetujone apanga Pan Balang Tamak kena danda. Krama desane makejang nawang mapan Pan Balang Tamak tuara ngelah siap muani ane bisa makekuruyuk. Isin parumane kararemin lakar ngalih kayu anggon ngawangun pura. Tongose ngalih kayu ditu di tengah alase wayah. Juru arahe ane patut mapangarah ka umah-umahan, suba madan kaorahin apanga nekedang arah-arahe tekening krama desane.. Makejang krama desane suba kaarahin. Caritayang jani juru arahe suba teked di umah Pan Balang Tamak. Ngomong juru arahe kene: “ Jero nuenang puri tiang mapangarah, buin mani, kramane mangda ka alase ngalih kayu, ngawit tuun siape medem uli pedemane. Yaning tusing teka ngayahin lakaran kena danda siu jinah bolong”. Keto munyin juru arahe. Pan Balang Tamak masaut: “Nggih jero juru arah, tiang ngiringang”.

Kacarita buin mani ngedas lemahe, ri kala siape makruyuk tur tuun uli pademanne, makejang karma desane majalan luas ka alase. Nanging, Pan Balang Tamak enu nongos jumah,

membenci dan dendam kesumat pada Pan Balang Tamak. Itulah yang menyebabkan Jero Bendesa senantiasa mencari-cari kesalahan Pan Balang Tamak agar bisa dihukum, didenda, bahkan kalau bisa agar bisa diusir dari wilayah desa Sunantara.

Pada suatu hari diceritakanlah warga desa Sunantara mengadakan rapat rahasia guna membicarakan cara mencari kesalahan Pan Balang Tamak. Tujuannya agar bisa mendenda Pan Balang Tamak. Seluruh warga desa tahu bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai ayam jantan yang bisa berkokok. Isi keputusan rapat rahasia itu adalah bahwa, seluruh warga desa akan pergi mencari kayu bahan bangunan untuk membangun Pura. Tempat mencari kayu adalah di tengah hutan belantara. Petugas yang bertugas memberitahu warga desa, sudah diberi tahu agar pergi ke setiap rumah untuk memberi tahu warga desa. Semua warga desa sudah diberi tahu.

Dikisahkanlah bahwa Juru Arah itu sudah tiba di rumah Pan Balang Tamak. Beginilah pemberitahuannya: “ Bapak/ibu yang punya rumah, besok warga desa agar pergi ke hutan untuk mencari kayu bahan bangunan. Berangkat ketika ayam baru turun dari tempat tidurnya. Bila tidak ikut (absen) maka akan didenda sebesar seribu keeping (uang bolong). Begitulah ucapan si Juru Arah, lalu dijawab oleh Pan Balang Tamak: “Ya saya akan ikut dan terimakasih”.

Diceritakanlah pada keesokan harinya tat kala ayam berkokok dan turun dari tempat tidurnya, seluruh warga desa


(20)

ngantosang siapne tuun uli pedemane. Dugase ento Pan Balang Tamak wantah ngelah siap pengina aukud, tur sedekan makeem di bengbengane. Di subane tengai, ditu mara siap penginane tuun uli bengbengane bakal ngalih amah. Sesubane penginanne tuun uli bengbengane, ditu mara Pan Balang Tamak majalan ka tengah alase ngalih kayu. Di tengah jalan liu papasa krama desane suba malipetan mulih negen kayu. Duaning krama desane suba makejang pada mulih, dadi malipetan Pan Balang Tamak mulih. Di subane teked di desa, dadi kelihan desane mabaos kene: “Ih cai Balang Tamak, mapan cai sing nginutin arah-arah desa, apanga cai majalan ngalih kayu ka alase ri kala siape tuun uli pedemane. Jani cai dendan kai mapengede ajin kayune ane suba bakat abana baan krama desane. Ajin kayune makejang mapangarga limang tali keteng”. Keto munyin kelian desane. Duaning aketo baos Bendesane dadi masaut Pan Balang Tamak. Kene abetne masaut: “Jero Bendesa, boya ja tiang nenten satinut kapining arah-arah jerone. Arah-arah desane, mangda tiang lunga ka alase ri kala tedun ayame saking genah ipune medem. Nah tiang wantah ngelah siap pengina sedeng makeem aukud. Penginanan tiange punika, tengai mara tuun uli medem di bengbengane. Ri kala ipun tuun saking pedemanipun raris tiang mamargi ka alase. Duaning asapunika, yan kamanah antuk tiang, ten patutne tiang kena denda, apan tiang nenten madan iwang.

pergi ke hutan mencari kayu. Namun, Pan Balang Tamak masih belum berangkat. Waktu itu, ia masih menunggu ayam betinanya yang sedang mengerami telurnya, turun dari angkremannya.. Setelah siang barulah ayamnya turun dari angkremannya. Kala itu barulah ia pergi ke hutan mencari kayu. Di tengah jalan ia bertemu dengan warga desa lainnya yang telah kembali pulang membawa kayu. Oleh karena semua warga desa telah pulang, maka Pan Balang juga ikut kembali pulang. Setelah sampai di desa, lalu pimpinan desa berkata: “Hai kamu Balang Tamak, karena kamu tidak menepati isi pemberitahuan desa, agar kamu berangkat ketika ayam turun dari tempat tidurnya maka, kamu didenda sebesar harga kayu yang diperoleh oleh wrga desa. Harga kayunya sebesar lima ribu keeping”. Begitulah ucapan Kelian Desanya. Menjawablah ia seperti ini: “Jero Bendesa, saya bukanlah tidak menepati perintahmu. Perintah yang diberitahukan ke pada saya berbunyi: agar saya pergi ke hutan setelah ayam turun dari tempat tidurnya. Saya hanya mempunyai satu ekor ayam betina yang sedang mengeram. Ayam saya itu turun dari tempat tidurnya setelah siang hari. Ketika itu saya langsung berangkat pergi ke dalam hutan. Oleh karena itu, menurut pemikiran saya, saya tidak wajar kalau didenda karena tidak salah. Yang salah dan patut didenda adalah Jero Bendesa. Baru begitu ucapan Pan Balang Tamak, bersoraklah seluruh warga desa membenarkan ucapannya. Itulah sebabnya


(21)

Sane patut dandain wantah jero Bendesa kewanten, mapan jerone ngaryanin arah-arah nenten pastika patut”. Mara aketo munyin Pan Balang Tamake, dadi masuriak krama desane matutang munyin pan Balang Tamak. Dadi buung Pan Balang Tamak kakenain danda, tur ane kadanda wantah dane Jero Bendesa. Kala ento dadi kemengan Bendesane mapan sing sida bakal nenda Pan Balang Tamak, buina ia padidi ane kena danda. To dadi ngawinang nyangetang brangti lan sakit keneh Bendesane.

Kacarita jani Jero Bendesa buin ngerincikang daya ajaka krama desane ane gedeg tekening Pan Balang Tamak. Para telik tanem Bendesane ngorain jero Bendesa, mapan Pan Balang Tamak jelema bes keliwat demit, lan tet pesan. Ento tawanga ulian sadina-dina Pan Balang Tamak tusing taen nyisaang nasi. Begbeg ia kuangan nasi dogen, apan ia tusing bani malebengan nasi ngalebiin. Duaning keto Jero Bendesa ngeka daya mangdane krama desane pesu senggauk. Gelising cerita, krama desane suba maan dedauhan apanga buin mani pesu senggauk. Kebenengan juru arahe ane ngarahin Pan Balang Tamak munyinne badil, dadi tusing bisa nyambatang senggauk. Kruna senggauk orahanga: “ Sanggah uug”. Mani semenganne krama desane makejang pada pesu senggauk. Duke ento Pan Balang Tamak mase iju

ia batal didenda, dan yang didenda adalah Jero Bendesa. Waktu itu Jero Bendesa jadi bingung sebab tidak bisa mendenda Pan Balang Tamak, bahkan berbalik ia sendiri justru yang terkena denda. Hal itulah yang menyebabkan bertambah benci dan sakit hati Jero Bendesa.

Kini diceritakanlah bahwa Jero Bendesa kembali membuat tipu daya bersama warga masyarakat lainnya yang membenci Pan Balang Tamak. Menurut laporan mata-mata Jero Bendesa, bahwa Pan Balang Tamak adalah orang yang terlalu hemat dan kikir. Hal ini diketahui karena, setiap harinya Pan Balang Tamak tidak pernah menyisakan nasi. Ia selalu kekurangan nasi sebab ia tidak berani memasak lebih. Oleh sebab itu maka Jero Bendesa membuat tipu daya, agar seluruh warga desa menyumbangkan senggauk (nasi aking atau sisa-sisa nasi yang telah dijemur hingga kering). Singkat cerita, seluruh warga desa telah diberitahu agar keesokan harinya menyumbangkan senggauk (nasi aking). Kebetulan orang yang bertugas memberi tahu warga suaranya cadel, sehingga tidak bisa mengucapkan kata senggauk. Kata senggauk diucapkan: “Sanggah uug”. Pada keesokan harinya semua warga desa membawa senggauk. Pada waktu itu, Pan Balang Tamak juga tergopoh-gopoh memikul sanggah uug (sanggah yang telah rusak), ditaruh di samping pada Jro Bendesa duduk, menerima setoran senggauk. Ia pun berkata seperti ini: “Jero Bendesa, ini saya sudah menyumbang


(22)

negen sanggah uug, abana ka tongos Bendesane nuduk pesu-pesuan senggauk. Ditu lantas Pan Balang Tamak ngaturang sanggah uug tekening Bendesane. Kene abetne mamunyi: “Jero Bendesa, niki tiang suba pesu sanggah uug apanga wenten benain jerone”. Keto munyin Pan Balang Tamake. Mara keto dingeha munyinne Pan Balang Tamak, dadi masaut Jero Bendesa: “Iih iba Balang Tamak, jani iba dosen kai, apan arah-arahe ane patut, apanga krama desane mesuang senggauk. To ngudiang iba ngaba sanggah uug mai?”. Masaut Pan Balang Tamak: “Jero Bendesa, mangda sumeken tur tiang ten bogbog, indayang juru arahe takonin ajebos ipun, lamun tiang bobab tiang purun keni danda samakeh-makehne”. Kebenengan juru arahe ada di samping jero Bendesane. Dadi tundena mamunyi ngoraang senggauk. Duaning ia mula badil, dadi sing bisa ngoraang raos senggauk. Ane araanga tuah raos sangga uug. Dadi ditu I juru arah ane kena danda.

Kacarita kone jani, buin Bendesane ngarincikang daya pangupaya apanga sida antuka nibenin

sanggah uug agar bisa diperbaiki”. Begitulah ucapan Pan Balang Tamak. Baru didengar seperti itu ucapan Pan Balang Tamak, lalu menjawablah Jero Bendesa: “Wah kamu Balang Tamak, sekarang kamu saya denda. Sebab pemberitahuan desa yang benar adalah, agar warga desa membawa senggauk. Tetapi, mengapakah kamu membawa sanggah yang telah rusak kemari?”. Menjawablah Pan Balang Tamak: “Jero Bendesa, supaya benar dan saya tidak bohong, tolong juru arah-nya disuruh kemari!. Kalau saya bohong, saya berani didenda walau sangat banyak”. Ketika itu kebetulan si juru arah ada di samping Jero Bendesa, lalu disuruhlah mengucapkan kata senggauk. Akan tetapi karena ia memang cadel, maka tidak bisa mengucapkan kata senggauk. Yang terucap adalah kata sangga uug. Pada saat itu yang terkena denda adalah si juru arah. Diceritakanlah lagi kini Jero Bendesa kembali membuat tipu daya agar bisa ia mendenda Pan Balang Tamak dengan denda yang sangat besar. Ketika itu diketahui bahwa Pan Balang Tamak tidak memiliki anjing dewasa. Ia hanya memiliki seekor anak anjing kecil, kurus, dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, dibuatkanlah tipu daya agar warga desa pergi berburu ke hutan dengan membawa anjing yang galak.

Diceritakanlah sekarang warga desa sudah pada berangkat ke tengah hutan serta menggendong anjing-anjing pemburu yang besar dan galak-galak. Namun, Pan


(23)

Pan Balang Tamak danda ane liu. Kala ento tawanga kone Pan Balang Tamak tuara ngelah cicing gede. Ia wantah ngelah cicing cenik, berig tur gudig. Duaning keto, gaenanga daya apanga krama desane luas maboros ka alase tur ngaba cicing ane galak ngongkong.

Caritaang jani krama desane suba pada luas ka alase wayah tur suba pada ngaba cicing ane gede-gede tur galak-galak. Nanging Pan Balang Tamak majalan paling durina saha nyangkil cicing cenik tur berag-arig. Di tengah alase kabenengan ada pangkung dalem nagging tusing ada titine. Makejang krama desane suba pada liwat. Nanging Pan Balang Tamak tuara bani makecos ngaliwatin pangkunge. Dadi ditu ia ngae daya apanga nyidaang liwat. Dadi nadak ia gelur-gelur ngoraang ada bangkung sing magigi. Mara keto dingeha teken krama desane, dadi makejang kramane teka nyagjagin Pan Balang Tamak. Disubane paek krama desane, ditu lantas ia ngoraang ada pangkung sing matiti. Duaning keto dadi krama desane makejang pada igu ngae titi apanga makejang krama desane nyidayang ngaliwatin pangkunge ento.

Caritayang jani, suba kone makejang krama desane neked di tengah alase. Cicing krama desane makejang pada galak ngongkong nguber baburon sakadi: celeng alasan, kijang,

Balang Tamak berangkat paling terakhir dengan membawa anak anjingnya yang kecil lagi kurus itu. Di tengah perjalanan di dalam hutan, kebetulan ada jurang dalam tetapi tidak ada jembatan penyebrangan (titi). Warga desa semua sudah lewat. Tetapi Pan Balang Tamak tidak berani melewati jurang itu. Mendadak ia berteriak-teriak, meneriakkan: “Ada bangkung sing magigi (ada jurang tanpa titi)”. Mendengar teriakan Pan Balang Tamak seperti itu, warga desa mengira ada induk babi tidak bergigi, lalu semuanya mendekatinya. Setelah dekat, barulah jelas didengar teriakanPan Balang Tamak bahwa ada jurang yang tidak ada jembatannya. Karena itu maka, semua warga desa membuat jembatan (titi) penyebrangan agar semua orang bisa melewati jurang itu. Diceritakannlah kini bahwa semua warga desa sudah sampai di tengah hutan. Anjing-anjing warga desa semuanya galak-galak menggonggong mengejar binatang buruan seperti: babi hutan, kidang, menjangan, dan sejenisnya. Banyaklah binatang buruan yang diperoleh mereka. Tetapi, hanya Pan Balang Tamak saja yang anjingnya masih digendong. Kebetulan saat itu, Pan Balang Tamak menjumpai tanah yang agak miring, serta dipenuhi dengan semak belukar seperti pohon ketket. Dilemparkalah anak anjingnya di pohon ketket yang berduri itu. Setelah itu, anak anjingnya melolong kuang-kaing kesakitan, meronta-ronta mau naik untuk mencari Pan Balang Tamak. Ketika itu


(24)

manjangan, muah ane len-lenan. Liu beburone ane bakatanga olih krama desane. Nanging Pang Balang Tamak dogen cicingne enu masangkil. Kabenengan jani Pan Balang Tamak nepukin rejeng bek misi wit ketket. Ditu cicingne entunganga di punyan ketkete ane madui ento. Disubane keto, cicingne uyut kuang-kaing ngerasgas nagih menekan ngalih Pan Balang Tamak. Dadi ditu Pan Balang Tamak gelur-gelur ngoraang cicingne galak ngongkong. Makejang krama desane nyagjagin tur kedek mara nepukin unduk cicingne Pan Balang Tamak. Duaning suba sanja gumine, dadi makejang krama desane pada mulih. Keto masih Pan Balang Tamak bareng mulih uli tengah alase. Duaning cicingne bisa mamunyi kuang-kaing dadi Pan Balang Tamak tusing kakenen danda olih desane.

Kacarita jani nuju sasih ka sanga, krama desane bakal ngalaksanayang brata panyepian. Nyepi ane lakar kalaksanayang Nyepi Sipeng, Krama desane kadauhin apanga ngalaksanayang brata panyepian ane madan Nyepi Sipeng. Ri kala Nyepi Sipeng, krama desane tusing kadadiang ngidupang sundih utawi dammar. Keto mase tusing dadi maleluasan, majalan megat marga, lan majejuden. Gelising satwa, suba jani kaenjekan dina Nyepi. Makejang krama desane sing ada bani

Pan Balang Tamak berteriak-teriak mengatakan bahwa anjingnya sangat galak dan menggonggong. Semua warga desa mendekatinya, lalu tertawa melihat ulah anjingnya seperti itu. Karena hari telah sore, maka semua warga desa yang ikut berburu pulang ke rumah. Begitu juga Pan Balang Tamak, ikut pulang dari dalam hutan. Oleh karena anjing Pan Balang Tamak bisa bersuara maka ia tidak didenda oleh desa.

Diceritakanlah kini menjelang sasih ke sanga (bulan ke 9, menurut perhitungan bulan Bali, yaitu kira-kira bulan Maret), masyarakat desa Sunantara akan melaksanakan upacara Panyepian yang disebut “Nyepi Sipeng”. Pada saat upacara Nyepi Sipeng, warga desa dilarang menghidupkan api dan menyalakan lampu. Begitu pula tidak boleh bepergian, berjalan memotong jalan (menyeberang), dan berjudi. Singkat cerita, sekarang sudah hari raya Nyepi. Seluruh warga desa tidak ada yang berani ke jalan raya. Tetapi, hanya Pan Balang Tamak sajalah yang berjalan di jalan akan memberi makan sapi di sawah. Kebetulan ada orang yang melihat bahwa Pan Balang Tamak berjalan menyeberang jalan. Keadaan ini dilaporkan kepada Jero Bendesa. Setelah hari Nyepi berlalu, diberitahulah Pan Balang Tamak agar datang menghadap ke balai desa, untuk membayar denda karena ada orang yang melaporkannya. Namun kala itu, Pan Balang Tamak tidak mau membayar denda. Ia mengatakan dirinya tidak bernah menghidupkan api, lampu,


(25)

ka margane. Sakewala Pan Balang Tamak dogen ane majalan di margine lakar ngamaang ngamah sampine di carik. Dadi ada kone anak nepukin Pan Balang Tamak majalan megat marga nuju ka carik. Dadi, unduke ento lapuranga ring jero Bendesa. Di subane suud Nyepi, dadi kadauhin Pan Balang Tamak apanga teka ka bale desane mayah dedosan mapan ia ada ane nepukin tur ngelapurang Pan Balang Tamak ngidupang sundih lan megat marga dugas Nyepine. Nanging Pan Balang Tamak tuara enyak kadendain. Ia ngoraang ibane tusing ada ngidupang sundih lan megat marga. Kene abetne: “ Jero Bendesa, tiang tusing ada ngidupang sundih lan megat marga duk Nyepine punika. Tiang saja ngidupang api. Majalan ka carik mase saja, sakewala tiang ten megat marga. Mangda mabukti, indayang cingak, margine sane encen pegat tiang, tur wenten mirib margine ane pegat?. Indayang rerehin apanga mabukti wenten margine ane pegat!”. Mara keto munyin Pan Balang Tamake, dadi kaselengagan Bendesane ningehang. Mula saja marga ane pegat tusing ada. Keto masih anak saja Pan Balang Tamak tusing ngidupang sundih apan ia ngidupang api anggona malebengan di paone. Pamuput tusing kadenda.

Kacarita jani buin kone krama desane maan dedauhan apanga magehin pakarangan umah lan tegalnyane suang-suang, mangdane tusing ada manusa lan

dan memotong jalan. Beginilah katanya: “Jero Bendesa, saya tidak pernah menghidupkan lampu dan memotong jalan ketika hari raya Nyepi. Saya memang betul menyalakan obor dan juga berjalan ke sawah tetapi, tidak pernah memotong jalan. Buktinya, silahkan lihat jalan yang mana saya potong, dan apa ada jalan yang terpotong. Silahkan cari agar terbukti bahwa jalan yang putus!”. Baru seperti itu ucapan Pan Balang Tamak, maka diam tersipulah Jero Bendesa, karena memang benar tidak ada jalan yang putus. Begitu pula Pan Balang Tamak tidak terbukti menghidupkan lampu. Ia hanya menyulut korek yang digunakan memasak di dapur. Akhirnya Pan Balang Tamak tidak didenda.

Diceritakanlah lagi bahwa warga desa kembali mendapat pemberitahuan agar semua warga desa memagari pekarangan rumah dan tegalannya masing-masing, agar tidak dimasuki oleh binatang ternak. Bila ada orang yang berani melanggar dengan memasuki pekarangan rumah dan tegalan orang maka ia wajib didenda. Bila binatang yang melanggar maka wajib didenda atau dirampas atau disita. Begitulah isi aturan yang diberitahukan. Singkat cerita, Pan Balang Tamak bingung menerima pemberitahuan itu sebab ia tidak mempunyai pohon-pohonan yang bisa dicari turusnya dan digunakan untuk memagari tanahnya. Di samping itu, juga disebabkan karena pekarangan rumah dan juga tanah tegalannya sangatlah luas sekali. Setelah lama ia memikirkannya maka timbullah idenya agar bisa terhindar


(26)

beburon macelep ka pekarangane. Nyen ja krama desane utawi anake ane bani macelep ka pekarangan umah anak len ia patut kadenda. Yen beburon ane nyelepin pakarangan anak len, patut mase kadenda utawi karampas kajuang beburone ento. Keto munyin arah-arahe. Gelising satwa dadi kemengan Pan Balang Tamak mapan ia tuara ngelah turus ane lakar anggone magehin pakarangane. Makelo ia makeneh-keneh, ngenehang unduk magehin pakarangan umahne. Len tekening keto, karang umah lan tegalne bes linggah pesan. Di subane makelo ia makeneh, dadi pesu rerincikan dayane apanga tusing kakenen danda. Ditu ia ngalih lidin punyan jaka lan tali kupas lakar anggona magehin pakarangane. Gelisang satwa, suba madan pragat ia mapageh. Makejang krama desane kedek nepukin pagehan Pan Balang Tamak nganggo lidin jaka, sakewala tuara ada bani ngomongang.

Kaenjekan jani masan dina pasaran, liu anake teka mamasar di tentene ane ada di desa Sunantara. Kala ento ada kone dagang aukud nyakitang basing ulian makita meju. Mapan tentene rame, majalan ia ngalih tongos meju. Tepukina makejang karange masengker ban pagehan ane gede-gede, bakuh, kereng, tur nges. tusing sida bana lakar macelep kema meju. Caritayang jani kanti ia teked di sisin karang Pan Balang Tamak. Tepukina karange ento

dari terkena denda. Ia pun lalu mencari lidi daun pohon aren dan tali dari batang pisang yang telah dikeringkan (tali kupas). Singkat cerita, selesailah ia memagarinya. Semua warga desa menertawakan pagar lidi yang digunakan memagari tanah Pan Balang Tamak. Tetapi, mereka diam tidak berkomentar apa-apa.

Kebetulan sekali saat itu adalah hari pasaran. Banyaklah orang yang berjualan dan berbelanja di Tenten (pasar kecil yang ada di desa). Ketika itu, adalah seorang pedagang yang sakit perut ingin buang hajat. Karena pasar sedang rame, maka pergilah ia mencari tempat yang cocok digunakan buang hajat. Si pedagang melihat bahwa semua tanah warga desa dipagari dengan pagar yang sangat rapat dan kokoh sehingga tidak bisa dimasuki. Diceritakanlah ia kini sampai di samping tanah pekarangan Pan Balang Tamak. Dilihatnya tanah itu dipagari lidi aren sehingga gampang dimasuki. Selain itu tanah Pan Balang Tamak sangat rimbun karena banyak ditumbuhi tanaman perdu. Karena itulah sangat cocok untuk tempat buang hajat, sebab, tidak mungkin aka nada orang bisa melihatnya. Singkat cerita, masuklah si pedagang itu ke tanah Pan Balang Tamak untuk buang hajat. Setelah ia selesai berak maka kembalilah ia ke dalam pasar, namun, pakaiannya dipenuhi oleh buah pulet yang menempel di pakaiannya. Banyak orang melihat pakaiannya dipenuhi buah pulet. Kebetulan juga Jero Bendesa ikut pula berbelanja di pasar. Ketika dilihat pakaian dagang itu dilihat oleh Pan Balang Tamak


(27)

mapageh aji lidin jaka, dadi elah bana macelep kema lakar meju. Lenan kapining ento, karang Pan Balang Tamake ebet pesan tumbuhin bun-bunan lan punyan pulet. Ento kerana melah anggon tongos meju mapan tusing bakalan ada anak nepukin duaning karange ebet pesan. Gelisan satwa dadi macelep dagange ento ka karangne Pan Balang Tamak ane mapagehan lidin jaka lakar masakit basang. Di subaane suud ia meju, laut ia buin ka katengah tentene madagang, sakewala panganggonne ebek deketa baan buah pulete. Liu anake nepukin penganggon dagange ebek misi buah pulet. Kabenengan mase Bendesane milu mabelanja di Tentene. Kala tepukina panganggo dagange bek misi buah pulet baan Pan Balang Tamak, ditu ngalaut pesu munyine masadok tekening Bandesane. Kene munyine: “Inggih jero Bendesa, puniki tiang ngelapur wenten anak macelep ngerusak ka karang tiange, turmaning biana mapiorah tekening tiang. Punika wenten bukti yaning ipun taen macelep ka karang tiange. Buktinnyane inggih punika panganggonipune bek madaging woh pulet. Indayang pedasang cingakin ring penganggennyane. Tiang nunas pamatut mangda ipun keni danda manut sakadi arah-arahe sane sampun katambiakang riin”. Keto munyin Pan Balang Tamak nyadokang I dagang. Dadi kapedasang katureksain penganggon dagange, saja bek misi buah pulet. Duaning saja ada bukti nyekala, dadi I dagang kakenen danda

banyak dilekati buah pulet, lalu ia berkata melaporkannya: “Ya Jero Bendesa saya melaporkan bahwa ada orang yang masuk dan merusak tanah saya, lagi pula tanpa meminta izin kepada saya. Bukti ia memasuki tanah saya adalah pakaiannya yang banyak ditempeli buah pulet. Coba diperhatikan dan lihatlah pakaiannya. Nah sekarang saya mohon keadilan, supaya ia didenda sesuai dengan aturan yang diberitahukan dahulu kepada warga desa”. Begitulah kata Pan Balang Tamak melaporkan si pedagang. Lalu dilihat dan diperiksalah pakaian si pedagang bahwa memang benar penuh berisi buah pulet. Oleh karena memang betul ada bukti nyata, maka si pedagang dikenai denda yang besarannya sesuai dengan bunyi aturan yang telah disepakati. Uang denda itu lalu diberikan kepada Pan Balang Tamak.

Diceritakanlah bahwa warga desa akan mengadakan rapat sambil membayar denda bagi yang pernah terkena denda.Rapat akan diadakan dib alai Pasamuan (pertemuan) yang terletak di halaman depan Pura Puseh. Petugas sudah diberitahu untuk memberitahukan kepada seluruh warga desa agar datang lagi tiga hari untuk rapat sambil membayar denda, bila ada yang terkena denda. Baru didengar isi pemberitahuan seperti itu, lalu Pan Balang Tamak membuat inisiatif agar terhindar dari terkena denda dan bahkan bisa mendapatkan uang.


(28)

manut cara perarem sangkepe, tur pipis dedandane ento baanga Pan Balang Tamak.

Kacarita buin karma desane lakar ngadaang sangkepan sambilang mayah dedosan karamane ane taen dosa.. Tongos sangkep ditu di bale Pasamuan ane ada di bancingah pura Pusehe. Juru arahe suba mapangarah teken krama desane apanga tedun ka bale Pasamuane buin telun sangkep lan mayah dedandan, yaning kramane ada ane kena dedandan. Mara dingeha keto arah-arahe baan Pan Balang Tamak, ditu ia buin ngeka daya, ngerincikang daya pangupaya mangdane ia nyidayang tuara kena danda tur maan pipis.

Ri kala peteng, buin mani lakar sangkepe kalaksanaang, Ni Tanu, somah Pan Balang Tamake, tundena ngae jaja iwel. Jaja iwele ento malakar ban injin manyanyah, matepung, lantas kaadukin nyuh makihkih lan gula Bali masisir. Sesubane kaadukang lan kaadonang apang rata, lantas kakuskus buin. Sesubane lebeng, jaja iwel ento giling-gilinga kapindayang tain cicing. Semengan pesan Pan Balang Tamak majalan ka bale Samune sambilanga ngaba jaja iwel, yeh, lan serbet. Dugase ento sedeng melaha suung pesan tuara ada anak liwat ditu. Pan Balang Tamak iju medasang tongos ane lung tur pantes pejangin jaja iwel. Di bucun bale Samune, ada saka masendi kedas. Ento piliha anggona tongos ngejang jaja iwel. Sendine ento kakedasin aji serbet, lantas

Malam hari, sehari sebelum hari rapat dilaksanakan, Ni Tanu, istri Pan Balang Tamak disuruhnya membuat jajan iwel. Kuwe iwel itu dibuat dari bahan: ketan hitam (injin) yang disangrai, ditepung, lalu dicampur dengan kelapa parut dan irisan gula merah. Setelah dicampur dan diaduk agar merata tercampur, lalu dikukus lagi. Setelah matang, kuwe iwel itu digiling-giling dan dibentuk menyerupai tai anjing. Pagi-pagi sekali Pan Balang Tamak berangkat menuju balai tempat rapat diadakan, sambil membawa kue iwel, air, dan kain lap. Ketika itu, kebetulan sangat sepi, tidak ada orang yang lewat di sana. Pan Balang Tamak dengan cepat memilih tempat yang cocok untuk diisi kue iwel. Pada bagian pojok balai pertemuan ada pilar/tiang yang memakai sendi. Sendi itulah yang dipilihnya untuk tempat meletakkan kue iwel itu. Sendi itu dibersihkan dengan kain lap, lalu disirami air. Kemudian kue iwel itu diletakkan di atas sendi itu. Bila dilihat, persis sekali seperti kotoran anjing beriri air kencing. Setelah selesai ia menaruh kue iwel tersebut di sendi tiang balai pertemuan itu, lalu ia pulang.

Diceritakanlah kini bahwa seluruh warga desa sudah datang berkumpul dib alai pertemuan. Begitu pula para pimpinan desa, termasuk Jero Bendesa juga sudah hadir dan duduk di depan. Pan Balang Tamak datang paling belakang. Ia lalu mencari


(29)

turuhina yeh. Sesubane kedas, jaja iwele pejanga di duur sendine. Yaning tingalin, persis sajan cara tain kuluk maiisi enceh. Sesubane pragat ia ngejang jaja di sendin saka bale Pasamuane, lantas ia mulih.

Caritayang jani krama desane makejang suba teka tur negak di bale Pasamuane. Keto mase para kelian lan jero Bendesa suba mase rauh tur suba negak di arep. Pan Balang Tamak teka paling si duri. Ditu ia ngelaut ngalih tongos negak. Kabenengan di samping sendin sakane ane misi jaja iwel, tusing ada anak bani negak ditu. Dadi Pan Balang Tamak ngojog kema ngalaut ia negak di samping sendine. Disubane negak, ditu ia mapi-mapi makesiab nepukin jajane ane cara tain cicing ento. Ditu ia ngomong kene: “Beh ewer pesan cicinge ngembud dini. Inggih semeton krama desane sami, sira bani naar bacin kuluke niki lakar upahin tiang siu keteng”. Keto abetne mamunyi. Makejang kramane matolihan tur ngademi sada seng ningalin tain cicinge di duur sendin sakane. Ada mase ane ngomong kene: “Beh mula jelema sigug buin kumel, men, nyen anake bakalan bani ngamah bacin kuluk”. Keto pakerimik krama desane. Sesubane keto dadi ngeraos Jero Bendesa: “Wih Cai Balang Tamak, nah ke cai jani ngamah tain kuluke ento, lamun cai bani ngamah, icang ngupahin cai siu keteng”. Keto raos Bendesane sada bangras.

tempat duduk. Kebetulan di sebelah sendi tiang balai pertemuan yang berisi kue iwel itu kosong karena tidak ada orang yang berani duduk di sana. Ke situlah Pan Balang Tamak, lalu duduk di samping sendi. Setelah duduk, barulah ia pura-pura kaget melihat tai anjing itu. Berkatalah ia begini: “Aih, jail sekali anjing yang berak di sini. Ya teman-teman anggota desa semua, siapa saja yang berani makan tai anjing ini akan saya kasi upah seribu uang kepeng”. Begitulah ia bicara. Warga desa yang hadir, semuanya menoleh dan mencibirkan bibir karena jijik melihat tai anjing di atas sendi (dasar pilar). Ada juga yang berucap begini: “Ah benar-benar orang seronok lagi jorok, tidak mungkin ada orang yang berani makan tai anjing”. Begitulah cibiran warga desa. Setelah itu, berkatalah Jero Bendesa: “Wih, kamu Balang Tamak, silahkan kamu yang makan tai anjing itu. Bila kamu berani memakannya, akan saya kasi upah seribu keeping”. Begitulah ucapan Jero Bendesa dengan ketus. Ketika baru saja Jero Bendesa berkata seperti itu, lalu di jawab oleh Pan Balang Tamak: “Ya semua warga desa, saksikanlah sekarang saya yang akan makan tai anjing ini”. Sehabis ia bicara seperti itu maka diambillah tai anjing itu lalu dimakan. Raut wajah Pan Balang Tamak ketika itu seperti orang mau muntah karena jijik. Lagi pula diimbuhi dengan sikap kejut-kejut dan gemetar badannya karena jijik. Semua warga desa juga jijik menyaksikan ulah Pan Balang Tamak makan tai anjing. Ada yang meludah-ludah, ada yang tidak berani menoleh, dan ada yang sampai muntah-muntah melihat Pan Balang Tamak makan


(30)

Mara Bendesane suud ngeraos keto, dadi masaut Pan Balang Tamak, “Inggih jero krama desa sami, mangkin saksiang tiang lakar neda bacin cicinge niki”. Sesubane ia suud mamunyi keto lantas jemaka tain kuluke lantas amaha. Sebeng Pan Balang Tamake ri kala ento, cara anak seneb ulian seng ngamah jaja tain kuluk. Buina maisi kejut-kejut tur ngejer awakne ulian seneb. Makejang kramane seneb basangne nepukin ulah Pan Balang Tamak naar bacin kuluk. Ada ane kecuh-kecuh, ada ane sing bani nolih, lan ada mase ane kanti ngutah-utah nepukin unduk Pan Balang Tamak naar bacin kuluk. Gelising cerita, telah tain kuluke ane sujatinne jaja uwel ento baana naar kapining Pan Balang Tamak. Ditu lantas Pan Balang Tamak maan upah siu keteng pis bolong, tur pasangkepane suba suud. Krama desane pada mulih ngojog umah suang-suang, sambilang pagerenggeng, nuturang indik Pan Balang Tamak ngamah tain cicing.

Caritayang jani jero Bendesa kaliwat gedeg tur sengit kapining Pan Balang Tamak, duaning bes kaliwat pepes dane kauluk-uluk, katungkasin lan mayah upah wiadin danda kapining Pan Balang Tamak. Sesubane makelo dane ngerincikang daya pangupaya, ditu dane tangkil ka puri, matur teken anake agung ane nyeneng agung di Sunantara. Aturanga unduk Pan Balang Tamak setata nayain, mayus, lan sesai nungkas awig-awig desa. Ento maka awanan Pan Balang Tamak gedegina baan krama desane makejang. Mara pirenga keto

tai anjing. Singkat cerita habislah tai anjing yang sebenarnya adalah kue iwel itu dimakan oleh Pan Balang Tamak. Ketika itulah Pan Balang Tamak mendapatkan upah seribu keping uang bolong, lalu rapat desa berahir. Seluruh warga desa pada pulang menuju rumah masing-masing sambil berguman membicarakan prihal Pan Balang Tamak makan tai anjing.

Diceritakanlah bahwa Jero Bendesa sangat dendam dan sakit hati pada Pan Balang Tamak. Hal itu desebabkan oleh sering ia dibohongi, ditentang, dan membayar denda/upah pada Pan Balang Tamak. Setelah lama ia merancang tipu muslihat, kala itu ia pergi ke keraton raja untuk melapor kepa raja yang memerintah di kerajaan Sunantara. Dilaporkanlah prihal ulah Pan Balang Tamak yang selalu memperdaya desa, malas, dan sering menentang aturan-aturan desa. Hal itu yang menyebabkan Pan Balang Tamak dibenci oleh seluruh warga desa. Baru didengar seperti itu laporan Jero Bendesa, lalu raja jadi marah. Saat itu ia menyuruh untuk membunuh Pan Balang Tamak. Namun, caranya membunuhnya agar tidak terang-terangan. Jero Bendesa disuruh mencari racun yang paten/ampuh. Oleh karena itu, lalu segeralah Jero Bendesa menyuruh salah satu warga desa untuk mencari racun yang ampuh. Singkat cerita, lalu datanglah warga suruhan itu membawa racun yang sangat ampuh, dan sudah berangkat akan meracun Pan Balang Tamak.


(31)

atur Jero Bendesa dadi duka rajane. Ditu ida nunden ngamatiang Pan Balang Tamak. Sakewala apanga silib carane ngamatiang. Jero Bendesa titahanga ngaruruh cetik ane meranen. Duaning keto dadi gupuh Jero Bendesa nunden sinalih tunggil kramane ngalih cetik ane sakti. Gelising satwa, dadi ada anak ngaturang cetik ring ida anake agung, tur suba majalan lakar nyetik Pan Balang Tamak.

Satwaang jani Pan Ban Balang Tamak ajak kurenane ditu di pondok sedeng matutur-tuturan. Nuturang pariindike sawireh ia liu anake ngedegin. Ida dewagung, rajane di Sunantara mase suba madan nawang sawireh ia liu anake ngedegin. Rumasa kapining padewekane kagedegin, sinah lakar cendet tuuhne. Dening aketo, dadi memunyi ia teken somahne, kene munyinne: “Nah memene, dadi icang makleteg kenehe mirib lakar tuara makelo enu idup, mapan liu nyama beraya ane brangti tur ngedegin iraga jani. Nah, yen pet perade manian icang mati, ingetang pabesen icange, eda enden jeg enggal tanema. Yaning icang mati, silaang malu icang di balen sanggahe, apanga cara anak sedeng mayoga ngaregepang japa mantra. Alihang tambulilingan nyang tatelu wadahin beruk utawi bungbung. bungbunge bolongin cenikang apang tambulilingane tusing nyidayang pesu. Eda pesan nyai mangelingin bangken icange kala ento. Manian pedasang ningehang orta. Yen suba ada orta anake

Ceritakanlah kini Pan Balang Tamak beserta istrinya di rumah sedang berbincang-bincang. Bertutur-tuturan perihal bahwa ia banyak warga yang membencinya. Baginda raja Sunantara juga sudah tahu karena ia banyak orang yang membencinya. Merasa dengan dirinya dibenci orang, pastilah umurnya tidak akan panjang. Karena itu, berkatalah ia kepada istrinya: “Ya istriku, sepertinya saya merasa dalam hati bahwa saya tidak lama akan hidup, sebab banyak orang yang benci dan dendam kepada kita. Nah, bila seandainya saya mati nanti, ingatlah pesanku ini; jangan langsung saya dikubur!. Letakkan mayat saya dib alai yang ada di Sanggah dengan sikap bersila menyerupai orang yang sedang melakukan yoga dan merafalkan mentra/doa. Carilah kumbang pohon, barang 3 ekor, letakkan dalam tempurung kelapa (beruk) atau bungbung (potongan bambu). Potongan bambu itu dilubangi agak kecil, agar kumbang itu tidak lepas. Janganlah kamu menangisi mayatku pada saat itu. Esok lusa, dengarkanlah berita dengan pasti. Bila ada berita bahwa raja sudah mati, nah barulah pada saat itu masukkanlah mayatku ke dalam peti lalu taruh di kamar. Barang-barang kekayaan kita seperti: emas, perak, uang, serta barang kekayaan lainnya, taruhlah dibalai tempat tidur lalu atur menyerupai onggokan mayat. Kemudian selimuti dengan kain agar terlihat


(32)

agung seda, nah kala ento pejang bangken icange di petine jumaan menten. Barang-barang, emas, perak, pipis, muah arta beranane makejang, dugdugang di bale pasareane. Rurubin aji saput lan kamben apanga cara bangken icange. Ditu di sampingne nyai ngeling kasedihan, cara mangelingin bangken icange. Sinah lakar ada anak ngemaling bangken icange ane wadah peti, kadenanga kasugihane. Ingetang pesan nyin pabesen icange keto. Mara keto pabesen Pan Balang Tamake teken somahne dadi sebet ia ajaka dadua. Ane eluh ngeling ngasigsigan tuara dadi tungkulang.

Satwaang jani utusane ane kanikaang nyetik Pan Balang Tamak, suba nyidaang ngeka daya, nyetik Pan Balang Tamak. Dening bes kaliwat sidi cetike dadi mati kone jani Pan Balang Tamak. Somahne iju jani ngaba bangkennne ka sanggah. Ditu tegakanga apang cara anak masila mayoga. Keto mase suba jangina tambulilingan mawadah beruk di limane. Yen pedasang aseliaban, tulen cara anak mayoga ngaregepang japa mantra.

Satwaang jani telik tanem anake agung, suba madan ngintip undukne Pan Balang Tamak. Kadena Pan Balang Tamak enu idup turmaning sedeng mayoga. Unduke ento aturanga teken anake agung. Dadi jengah kayun idane tur kadena cetike tuara sidi. Dadi celekin ida cetike. Dening bes kaliwat meranen

seperti mayatku. Di samping mayatku itu kamu menangis seperti menangisi mayatku. Pasti akan ada orang mencuri peti yang berisi mayatku itu, karena mereka mengira itu adalah harta benda kekayaan kita. Ingatlah pesanku ini. Baru begitu pesan Pan Balang Tamak, sangat sedih mereka berdua. Istrinya menangis tersedu-sedu tidak bisa dihibur.

Diceritakanlah kini orang yang diutus untuk meracun Pan Balang Tamak. Ia sudah mampu melakukan tipu daya dan berhasil meracuni Pan Balang Tamak. Oleh karena kemanjuran racun itu maka seketika matilah Pan Balang Tamak. Istrinya segera membawa mayat suaminya ke Sanggah, lalu didudukkan dan dibuatkan sikap seolah-olah Pan Balang Tamak sedang bersila melakukan yoga. Juga telah diisi beberapa ekor kumbang yang ditempatkan di dalam tempurung kelapa dan ditaruh di tangannya. Bila dilihat sepintas, persis seperti orang yang sedang beryoga.

Ceritakanlah sekarang mata-mata sang raja sudah melihat Pan Balang Tamak. Dikiranya Pan Balang Tamak masih hidup, sedang duduk beryoga. Keadaan ini dilaporkan kepada raja. Raja sangat kaget, dikiranya racun itu tidak manjur. Lalu dijilatilah racun itu. Karena racun itu sangat manjur maka seketika itu pula raja wafat.

Diceritakanlah kini terdengar berita bahwa raja wafat karena menjilati racun. Ketika itu dengan segera istri Pan Balang Tamak membuat air panas. ujuannya untuk digunakan memandikan mayat agar lemes dan mudah diluruskan. Semua kekayaannya


(33)

cetike dadi seda rajane.

Satwaang jani suba madan maorta rajane seda nyelekin cetik. Kala ento enggal-enggal Ni Tanu, somah Pan Balang Tamake, ngae yeh anget anggona manjusang bangkene. Tetujone apanga bangkene lemet tur elah ban ngaleserang.. Kasugihane makejang, joljolanga tur ririganga niru joljolan bangke. Sesubane keto, mara rurubina aji kamben lan saput. Di samping kasugihan ane marurub ento, Ni Tanu negak saha ngelut mangelingin. Yen tingalin tulen cara anak mangelingin bangke.

Satwaang jani ri kala peteng mirib ada sametara tengah lemeng. Ada kone anak lakar mamaling ka umah Pan Balang Tamak, apan dingeha orta Pan Balang Tamak suba mati. Di subane malinge ada jumahan Pan Balang Tamak, tepukina Ni Tanu sedekan mangelingin bangken ane muani di balene diwangan menten. Ditu alih-alihina pepejangangan arta berana kasugihane Pang Balang Tamak. Macelep malinge ka jumahan menten. Tepukina ada peti madalit tekek pesan. Kadena petine ento misi arta berana kasugihan Pan Balang Tamak. Petine ento tegena ban malinge ajaka papat. Sesubane ejoh uli umah Pan Balang Tamak, mereren jani malinge. Petine tuunanga lakar ungkaba tutupne. Mara pejanga petine, dadi ada ebo pengit cara ebon bangke. Kadena ento ebon bangken cicing utawi bangken siap. Mamunyi malinge aukud: “Beh adi pengit ebone

ditaruh dan ditata meniru onggokan mayat orang meninggal. Setelah itu, lalu diselimuti dengan kain dan selimut. Di sebelahnya Ni Tanu duduk sambil memeluk dan menangisinya. Bila dilihat mirip seperti orang menangisi mayat.

Ceritakanlah kini hari sudah malam, kira-kira sudah tengah malam. Ada orang yang berniat akan mencuri ke rumah Pan Balang Tamak, sebab Pan Balang Tamak tersiar sudah mati. Setelah maling itu berada di dalam rumah Pan Balang Tamak, dilihatlah Ni Tanu sedang menangisi mayat suaminya. di tempat tidur yang ada di depan kamarnya. Ketika itu dicarinyalah tempat harta benda kekayaan Pan Balang Tamak di simpan. Lalu masuklah maling-maling itu ke dalam kamar. Dilihatnya ada peti yang terpateri dan terkunci sangat kuat. Dikiranya peti itu tempat harta benda kekayaan Pan Balang Tamak. Diangkat dan dipikullah peti itu oleh si pencuri berempat. Setelah jauh dari rumah Pan Balang Tamak, berhentilah para pencuri itu. Diturunkannya peti itu untuk dibuka tutupnya. Baru begitu tercium bau busuk seperti bau bangkai. Dikiranya itu bau bangkai anjing atau bangkai ayam. Seorang pencuri berkata: “Beh, kok ada bau busuk di sini, kemungkinan ada bangkai anjing karena ini tegalan. Ayuk kita pindah dari sini, tidak tahan mencium bau bangkai yang sangat busuk”. Begitulah kata si pencuri. Lalu kembali lagi peti itu diangkat dan dipikulnya untuk berpindah ke tempat lain. Ketika sudah dapat tempat lain, lalu peti itu diturunkan lagi untuk dibuka. Baru saja peti diturunkan, kembali lagi tercium


(34)

dini, miribang ada bangken cicing dini apan teba. Jalan makisid uli dini apan sing nyidaang ngadek ebon bangke pengit pesan”. Keto munyin malinge. Dadi buin tikula petine, lakar makisid ngalih tongos melahan. Disubane maan tongos ane lenan, buin tuunanga petine. Mara pejanga beten, buin ada ebo pengit pesan. Kadenang ada bangkaan ane mabo pengit sawireh tongose di tegalane. Keto unduke kanti ping pat petine kapejang. Pamuput ada ane ngelah daya, ngajakin ngaba petine ka pura. Dadi mamunyi malinga ento kene: “Nah kene ban madaya, mapan teba lan tegalan sinah liu ada bangkaan wiadin tai ane mebo pengit. Luungan jani petine aba ka pura, ajaka di pura gagah petine. Di pura sinah sing ada anak bani lakaran meju wiadin ngutang bangkaan. Sinah sing ada ebo pengit ditu apan pura”. Keto abetne mamunyi. Dadi buin tegena petine abana ka tengah pura desane. Di subane teked di tengah purane, ditu malinge mareren. Petine pejanga di bale Piasan purane. Mara ungkaba tekep petine, dadi makesiab malinge makejang nepukin bangken Pan Balang Tamak nyegagag suba ngembetin tur mabo pengit. layahne nyelep lan matane melolod nelik. Mare tepukina keto, malaib malinge ajaka makejang mulih kumahne suang-suang.

Ceritaang buin mani semengane, Jero Mangku desa macelep ka tengah purane lakar makedas-kedas mapan

bau yang sangat busuk. Dikiranya ada bangkai lain yang berbau busuk karena tempat itu tegalan. Begitulah keadaannya, hingga empat kali peti diturunkan. Terahir, salah seorang pencuri mempunyai inisiatif untuk membawa peti itu ke sebuah pura. Lalu si pencuri itu berkata: “Ya begini saja caranya, karena tegalan tentu akan banyak ada bangkai yang berbau busuk. Sebaiknya kita bawa dan buka peti ini di sebuah pura. Pastilah tidak ada orang yang berani berak atau membuang bangkai di dalam pura. Di pura pasti tidak aka nada bau busuk”. Begitulah katanya. Lalu dipikulnya kembali peti itu dan dibawanya menuju ke sebuah pura. Setelah sampai di tengah pura, lalu berhentilah mereka dan peti itu lalu diturunkan lalu di taruh dibalai Piasan pura. Baru tutup peti itu dibuka, kagetlah semua maling itu melihat mayat Pang Balang Tamak, menangkang dan sedang membengkak, berbau busuk, lidahnya menjulur ke luar, dan matanya terbelalak melotot. Baru dilihatnya seperti itu lalu larilah mereka semua dan pulang ke rumah masing-masing.

Diceritakanlah keesokan paginya. Jero Mangku desa masuk ke dalam pura, akan melakukan pembersihan karena, kebetulan hari itu adalah hari rahinan (hari untuk melakukan persembahyangan). Ketika dilihatnya ada peti di atas balai Piasan maka ia pun terkejut. Dikiranya Ida Betara menganugrahinya. Kejadian ini lalu dilaporkan kepada Jero Bendesa. Jero Bendessa percaya kepada laporan dari Jero Mangku bahwa, di pura ada anugerah. Seluruh warga desa diperintahkan agar


(35)

dinane nuju rainan. Mara tepukina ada peti di piasane, dadi makesiab Jero Mangku. Kadena Ida Batara ngicen paica mawadah peti. Dadi unduke ene orahanga teken Jero Bendesa. Jero Bendesa ngugu piorah dane Jero Mangku ada pica di pura. Tundenanga krama desane tangkil ka pura, saha ngaba aturan, praya mendak pican Ida Batara. Gelising satwa dadi makejang krama desane sumuyug tangkil ka pura saha ngaba aturan. Sesubane krama desane ngejang banten tur negak napak di natah purane, dadi bantene aturanga olih Jero Mangku. Sesubane suud matur-atur dane Jero Mangku, paekina petine olih Jero Mangku, Jero Bendesa, miwah para kelihan lan panyarikan makejang. Mara bungkaha petine dadi makejang anake makesiab nepukin isin petine boya paica, sakewala bangken Pan Balang Tamak. Dadi lesu krama desane makejang, duaning isin petine tuah bangke manusa, turmaning ada di tengah purane, ditu dadi kramane kadauhin apanga mreteka bangken Pan Balang Tamak sakadi patut. Len kapining ento, desane patut nangun yadnya, ngaturang pacaruan, nyarunin pura lan desane, apan kaucap leteh. Dadi ditu krama desane nangun karya. Keto mase Pan Balang Tamak gaenanga pelinggih abesik, anggon cirri lan painget indik Pan Balang Tamak ane malu.

Keto kone satwan Pan Balang Tamak ane katami kanti jani*

datang ke pura hari itu disertai dengan membawa sesajen yang akan dipersembahkan sebagai ucapan terima kasih atas anugerah itu. Singkat cerita, semua warga desa telah datang ke pura disertai dengan membawa sesajen. Setelah seluruh warga desa datang dan duduk di halaman pura maka Jero Mangku menghaturkan sesajen tersebut. Setelah Jero Mangku selesai menghaturkan sesajen persembahan maka, peti itu didekati bersama. Baru dibuka peti itu maka semuanya terkejut bahwa, isi peti itu bukan anugerah tetapi berisi mayat Pan Balang Tamak. Jadi lemaslah semua warga desa, sebab isi peti itu adalah mayat manusia yaitu, mayat Pan Balang Tamak. Kala itulah warga desa diberi tahu untuk mengupacarai mayat Pan Balang Tamak sebagaimana mestinya. Di samping itu masyarakat juga harus menyelenggarakan upacara kurban Pecaruan (upacara Bhuta Yadnya) agar pura dan desa bersih kembali seperti sediakala. Setelah itu arwah Pan Balang Tamak yang telah disucikan dibuatkan satu pelinggih, sebagai cirri dan peringatan atas kejadian pan Balang Tamak dahulu..

Begitulah konon cerita Pan Balang Tamak yang diwariskan hingga saat ini.

 Hasil rekaman cerita yang diceceritakan oleh Jero Mangku Nyoman Serinten dari desa Sangkanbuana Klungkung, pada tanggal 11 Juli 2015.

Ditulis kembali oleh I Nyoman Sukartha.


(36)

5.2 Ringkasan SatwaPan Balang Tamak

Ringkasan cerita akan dibagi ke dalam episode-episode seperti di bawah ini.

1) Episode mencari kayu ke hutan

Di sebuah desa di kerajaan Sunantara, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat kaya. Ia bernama Pan Balang Tamak dan istrinya bernama Ni Tanu. Ia terkenal sangat kaya, tetapi kikir dan malas. Ia sangat pintar, pandai bicara tetapi sangat licik dan penuh tipu daya. Selain itu, ia juga sangat malas dan sering menentang aturan-aturan desanya. Hal itu menyebabkan ia sangat dibenci oleh warga desa lainnya, terutama oleh para ketua desanya (Jero Bendesa). Itulah sebabnya dicarikan segala daya upaya agar ia bisa dijatuhi hukuman atau denda yang seberat-beratnya, bahkan kalau mungkin agar bisa diusir dari wilayah desa tersebut.

Pada suatu ketika para pimpinan desa mengadakan rapat untuk mencari kesalahan Pan Balang Tamak agar bisa didenda. Para pemimpin desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai ayam. Untuk itu disepakatilah akan mengadakan kerja bakti mencari kayu untuk bahan bangunan ke dalam hutan. Diberitahulah seluruh warga desa agar melakukan kerja bakti pada keesokan harinya termasuk Pan Balang Tamak. Pemberitahuan yang disampaikan kepada Pan Balang Tamak bunyinya bahwa warga desa harus pergi ke hutan mencari kayu, dan berangkat


(37)

ketika ayam turun dari tempat tidurnya. Kesokan harinya pagi-pagi sekali ketika ayam sudah berkokok dan turun dari tempat tidurnya seluruh warga desa pergi ke hutan mencari kayu. Namun Pan Balang Tamak masih diam di rumahnya menunggu ayamnya turun dari tempat tidurnya. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor ayam yang sedang mengerami telurnya. Ayamnya itu baru turun dari mengeram setelah hari agak siang. Ketika ayamnya turun dari mengeram itu barulah Pan Balang Tamak berangkat pergi ke hutan. Di Tengah perjalanan ia berpapasan dengan warga desa lainnya yang sudah kembali dari hutan dan memikul kayu hasil yang didapatkan di hutan. Karena warga desa sudah kembali dari hutan maka Pan Balang Tamak pun juga ikut pulang. Keesokan harinya para pinpinan desa menyuruh warga desa untuk melakukan rapat, tujuannya membicarakan ulah Pan Balang Tamak yang tidak menepati isi pemberitahuan desa. Dalam rapat diputuskanlah bahwa Pan Balang Tamak dijatuhi denda berupa sejumlah uang karena tidak menepati pemberitahuan desa. Pan Balang Tamak menolak didenda dengan sejumlah uang karena merasa tidak bersalah. Alasannya adalah ia sudah berangkat ke hutang setelah ayamnya turun dari tempat tidurnya. Ia hanya memiliki satu ekor ayam yang sedang mengeram. Ayamnya yang sedang mengeram ini baru turun dari tempatnya mengeram setelah hari siang. Itulah sebabnya Pan Balang Tamak baru berangkat ke hutan setelah hari siang. Alasan tersebut menyebabkan Pan Balang Tamak tidak jadi di denda.


(38)

2) Episode menyumbang senggauk

Dalam kesempatan lain warga desa disuruh untuk menyumbang ke desa berupa senggauk (nasi aking). Siapa pun warga desa yang tidak menyumbang akan didenda. Pimpinan desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak sangat irit dan pelit, termasuk juga istrinya. Ia dan istrinya sehari-harinya memasak nasi secukupnya saja dan tidak pernah menyisakan nasinya, apa lagi sampai menjemur nasi untuk dijadikan senggauk (nasi aking). Tentu saja ia tidak akan mempunyai nasi aking (senggauk). Karena itu dengan mudah ia akan dikenakan denda oleh warga desa. Kesokan harinya Pan Balang Tamak pergi ke balai desa dengan membawa sanggah uug (sejenis bangunan tempat sembahyang yang sudah rusak). Alasannya, karena ia mendengar pemberitahuan dari juru arah ( orang yang bertugas menyampaikan pemberitahuan/pengumuman desa kepada warganya) bahwa juru arah yang bersuara cadel mengatakan agar warga desa mengeluarkan sanggah uug. Alasan itu menyebabkan Pan Balang Tamak tidak didenda.

3) Episode berburu

Pada hari berikutnya warga desa kembali lagi melakukan rapat. Pimpinan desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai anjing besar, karena ia hanya memiliki seekor anjing kecil dan sangat kurus. Untuk itu dibuatkanlah jebakan agar ia bisa didenda. Keesokan harinya warga desa diberitahu agar semua warga desa pergi ke hutan untuk berburu dengan membawa serta seekor anjing yang sudah galak serta senjata untuk berburu. Pagi-pagi sekali seluruh warga desa pergi ke tengah hutan untuk


(39)

berburu, termasuk Pan Balang Tamak. Karena Pan Balang Tamak tidak mempunyai anjing besar maka ia membawa anjing kecilnya saja. Sesampainya di tengah hutan semua warga desa sibuk berburu dengan melepas anjing buruannya. Banyak binatang buruan yang diperoleh oleh warga desa. Alkisah Pan Balang Tamak di tengah hutan berjumpa dengan jurang dalam (pangkung) yang tidak ada jembatan penyeberangannya (dalam bahasa Bali jurang yang tidak ada jembatannya disebut (pangkung sing metiti). Pan Balang Tamak tidak berani melewatinya. Untuk bisa melewatinya dikeluarkanlah akal bulusnya. Pan Balang Tamak berteriak-teriak mengatakan bahwa ada bangkung sing megigi. (induk babi ompong/tidak bergigi). Warga desapun berlarian semua mendekati Pan Balang Tamak. Ketika sampai di dekatnya maka Pan Balang Tamak mengatakan: ”Ada pangkung sing metiti” (ada jurang yang tidak bertiti). Warga desapun membuat titi penyebrangan dari kayu dan bambu agar seluruh warga desa yang ikut berburu bisa melewati jurang dalam itu.

Setelah semua warga desa sampai di tengah hutan, kembali warga desa sibuk berburu. Ketika itu Pan Balang Tamak menjumpai pohon ketket (sejenis perdu yang berduri) dan sangat lebat dauunya di pinggir jurang. Pan Balang Tamak melemparkan anak anjingnya ke tengah perdu/pohon ketket itu. Anak anjing itupun bersuara keras-keras karena kesakitan dan meronta-ronta ingin ke luar dari perdu berduri itu. Ketika anak anjingnya bersuara keras-keras kesakitan, Pan Balang Tamak juga berteriak-teriak mengatakan bahwa anjingnya galak menggonggong karena melihat bangkung sing megigi (induk babi yang tidak mempunyai gigi). Karena anjing Pan Balang Tamak mau


(40)

bersuara ketika di bawa berburu maka Pan Balang Tamak tidak didenda oleh pimpinan desanya.

4) Episode memagari pekarangan

Hari berikutnya para pimpinan desa kembali berembug mencari akal agar Pan Balang Tamak bisa didenda. Kebetulan tanah pekarangan dan tanah tegalan milik Pan Balang Tamak tidak masengker (diisi pagar/tembok pembatas). Karena itu dibuatkanlah aturan desa agar semua tanah pekarangan dan tanah tegalan dikitari dengan penyengker (tembok/pagar pembatas). Bila tidak dipatuhi maka akan didenda dengan denda yang cukup berat. Begitu pula bila ada orang yang memasuki tanah milik orang lain tanpa izin maka orang itu didenda dengan denda yang cukup besar pula. Pan Balang Tamak mengetahui bahwa aturan yang dibuat oleh desa tujuannya untuk menyudutkan, dan mendendanya karena, hanya rumah dan tegalannyanya saja yang tidak ada pagar pembatasnya. Di samping itu Pan Balang Tamak juga tidak mempunyai pohon-pohonnan yang bisa dijadikan pagar pembatas. Karena itu iapun mencari akal agar tidak bisa didenda oleh warga desa. Karena ia tidak memiliki turus/batang pohon-pohonan untuk dijadikan pagar, maka Pan Balang Tamak memagari tanahnya dengan lidi yang diambil dari daun enau. Lidi-lidi itu ditancapkan mengitari tanah milik Pan Balang Tamak. Kebetulan tanah Pan Balang Tamak letaknya berdekatan dengan pasar desa, dan banyak ditumbuhi oleh perdu yaitu pohon pulet (sejenis pohon perdu yang buahnya kecil-kecil, berbulu, mudah lepas, dan bergetah seperti pellet/lem. Apapun yang


(41)

menyentuhnya maka buah pullet itu akan terlepas dan menempel pada benda yang menyentuhnya).

Ketika pasar sedang ramainya, ada seorang pedagang yang sedang berjualan sakit perut ingin buang hajat. Pada zaman itu pasar tradisional umumnya tidak memiliki WC sebagai tempat buang hajat. Maka pedagang itu pergi ke tempat yang mudah dimasuki, ada pepohonan/perdu yang rimbun agar bisa dijadikan pelindung ketika buang hajat. Kebetulan tanah Pan Balang Tamaklah yang dekat dan mada perdu yang rimbun sebagai tempat buang hajat, lalu pedagang itu masuk ke tanah Pan Balang Tamak yang hanya dipagari lidi sehingga sangat mudah dilewati. etelah selesai buang hajat maka pedagang itu kembali berjualan. Ketika pasar sedang ramainya, maka pan Balang Tamak pergi ke pasar. Sesampainya di pasar ia melihat pedagang yang kainnya penuh ditempeli buah pullet. Lalu Pan Balang Tamak melaporkannya kepada pimpinan desanya, bahwa ada orang yang melanggar aturan desa dengan memasuki tanah milik orang lain tanpa seizing dari pemiliknya. Sebagai bukti ditunjukkannya buah pohon pullet yang menempel di kain pedagang itu. Alasan yang lain adalah bahwa, hanya tanah pekarangannya Pan Balang Tamak sajalah yang ditumbuhi pohon pullet, sedangkan tanah milik orang lain semua bersih-bersih karena sering disiangi rumput dan perdu yang tumbuh di tanah mereka itu. Akhir kata maka pedagang tersebut di denda dan dendanya diberikan kepada Pan Balang Tamak.

Para pimpinan desa sepertinya sudah kehabisan akal untuk membuat program kerja agar bisa mendenda Pan Balang Tamak. Pada suatu hari datanglah pengaduan dari warga desa yang merupakan mata-mata kepala desa. Laporan itu mengatakan bahwa


(42)

Pan Balang Tamak tidak memiliki sapi jantan. Mendengar laporan itu maka para pimpinan desa sepakat untuk mengadakan lomba adu sapi. Dalam lomba itu dibuatkan aturan bahwa sapi yang boleh diikutan lomba adalah sapi jantan saja. Siapa pun warga desa yang tidak ikut serta dalam lomba itu walau dengan alasan tidak memiliki sapi jantan akan dikenai sangsi yang sangat berat berupa denda uang atau diusir dari desa. Kali ini pimpinan dan warga desa yang tidak simpati kepada Pan Balang Tamak sangat kegirangan dan merasa yakin bahwa dalam acara ini Pan Balang Tamak pasti bisa didenda. Maka diumumkanlah bahwa desa akan mengadakan lomba adu sapi, dan siapa pun warga yang tidak ikut akan didenda seberat-beratnya. Mendengar pengumuman itu maka Pan Balang Tamak sangat kecewa dan sedih. Ia pun berpikir keras memutar otak agar bisa ikut lomba. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor sapi betina yang sedang menyusui anaknya yang baru berumur 3 bulan. Karena itu ia berusaha meminjam atau menyewa sapi jantan besar kepada para tetangganya yang mempunyai sapi jantan lebih dari satu. Namun, semua warga yang didatangi untuk meminjamkan atau menyewakan sapi jantannya tidak ada yang memberinya. Iapun pergi ke desa tetangga untuk menyewa sapi jantan yang akan dijadikan aduan tetapi, tidak juga ada yang mau menyewakan sapinya karena mereka takut sapinya nanti akan cedera. Akhirnya usaha Pan Balang Tamak tidak membuahkan hasil. maka pulanglah Pan Balang Tamak ke rumahnya.


(43)

5) Episode adu sapi

Dikisahkanlah sesampainya Pan Balang Tamak tiba di rumahnya. Istrinya melihat suaminya datang dengan wajah sedih, pucat dan seperti orang tidak mempunai gairah hidup. Istri Pan Balang Tamakpun bertanya: “Mengapa kanda seperti kebingungan, sedih, dan wajahmu pucat pasi kanda?”. Begitulah pertanyaannya sambil menyiapkan kopi. “Silahkan minum kanda, dan jangan bersedih nanti membuat saya ikut berdih pula”. Bbegitulah kata-kata istri Pan Balang Tamak. Lama Pan Balang Tamak tidak menjawab pertanyaan istrinya. Pada akhirnya, setelah ia selesai meminum kopi suguhan istrinya, maka iapun menceritakan penyebab kesedihannya. Setelah agak lama mereka berdua tenggelam dalam kesedihan, akhirnya istri Pan Balang Tamak berkata: “Kanda saya punya ide bagus. Kita kan punya sapi yang sedang menyusui anaknya, dan kebetulan anak sapi kita jantan. Kanda adu saja anak sapi itu, pasti akan menang”. Begitulah mereka berdua berbincang-bincang membicarakan siasat yang akan digunakan dalam adu sapi keesokan harinya. Pan Balang Tamak sangat lega dan puas karena merasa yakin ia akan menang dalam lomba adu sapi besok.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seluruh warga desa sudah berkumpul di sebuah tegalan yang sangat luas dan datar untuk mengikuti lomba adu sapi. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda banyak yang datang untuk menyaksikan lomba dan akan bertaruh. Semua anggota warga desa membawa sapi aduan yang besar-besar. Tetapi, hanya Pan Balang Tamak yang membawa anak sapi yang masih menyusu. Banyak warga desa yang menertawakan dan mengejek Pan Balang Tamak, namun, ia tidak perduli dan tidak menghiraukannya.


(44)

Setelah banyak sapi yang beradu, ada yang kalah dan ada yang menang, dan ada pula yang seri, maka kini tibalah giliran Pan Balang Tamak untuk mengeluarkan sapi aduannya. Sapi yang akan dilawan adalah sapi aduan kepala desa yang sangat besar lagi gemuk. Siasat ini memang sudah diatur oleh kepala desa agar ia dapat dengan mudah memenangkan lomba dan memperoleh uang hasil taruhan yang sangat banyak. Pan Balang Tamak sebenarnya sudah tahu siasat licik kepala desa yang ingin memojokkannya dan menguras harta kekayaannya. Itulah sebabnya ia sudah memnyiapkan sebuah taktik jitu untuk mengantisipasi agar tidak kalah dalam lomba adu sapi ini. Dari rumah ia telah menyiapkan air susu induk sapi tersebut yang diperah tadi paginya. Air susu itu dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari batok kelapa yang telah dihaluskan. Batok kelapa itu dalam bahasa Bali disebut beruk. Air susu induk sapi yang ada dalam beruk ini dibawa Pan Balang Tamak ke tempat lomba. Sebelum lomba dimulai Pan Balang Tamak berpura-pura berkeliling melihat-lihat sapi aduan milik warga lainnya. Ketika itu ia memilih beberapa ekor sapi jantan yang sangat besar, lalu ia berpura-pura meraba-raba bagian bawah, tepatnya buah pelir sapi aduan tersebut. Pada saat Pan Balang Tamak meraba-raba bagian bawah sapi aduan, ia mengeleng-gelengkan kepala sambil berpura-pura kagum dan memuji sapi aduan yang sangat besar itu. Ketika pemilik sapi lengah maka ia memoleskan air susu induk sapi yang dibawanya pada buah pelir dan kemaluan sapi aduan itu, tidak terkecuali pada sapi aduan si kepala desa juga ikut diolesinya.

Diceritakanlah setelah kedua sapi aduan dari Pan Balang Tamak dan kepala desa sudah berhadap-hadapan. Kepala desa mengajak Pan Balang Tamak untuk bertaruh


(1)

101


(2)

102


(3)

103

Foto Pelinggih Batara Balang Tama Di Panghiangan Dok I Nyoman Sukartha 2015


(4)

104

Foto Pelinggih Batara Belang Tamba (Balang Tama) Di Sebuah Tegalan Di Desa Sangkanbuana Klungkung.


(5)

105

Pelinggih Balang Tamak (yang diapit paying hitam) di Pura Tanayu Desa Angantaka Badung

Foto Pelinggih Ratu Bala Tama di Belulang. Dok. I Nyoman Sukartha 2015


(6)

106

Foto Ketua Tim Peneliti Ketika sedang wawancara.