Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB IV

BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS
Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu
bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di
Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan dan menjelaskan proses
pembentukan identitas tersebut, pola hubungan negara pusat dan satelit
menjadi sangat penting. Balinuraga sebagai negara satelit tidak dapat
melepaskan dirinya dari Bali sebagai negara pusat. Hal ini disebabkan –
seperti yang dikemukan Geertz (1959) – kuatnya ikatan sosial yang
mengikat masyarakat Bali. Ikatan sosial yang kuat menjadikan Balinuraga
(negara satelit di luar Bali) tetap mengorbit pada pusatnya. Pola hubungan
negara pusat dan satelit bukan merupakan hubungan yang statis, tetapi
dinamis. Seperti yang menjadi kritik Schulte Nordholt (2009) atas
kestatisan hubungan negara pusat dan satelitnya Geertz (1980) dalam
negara teater . Hubungan negara pusat dan satelit yang dinamis
menjadikan keduanya (pusat dan satelit) sebagai aktor pengkonstruksi
identitas. Dengan kata lain, mengacu pada tiga pengklasifikasian identitas
berdasarkan bentuk dan asal usulnya Castells (2002), tidak hanya negara
pusat yang menjadi aktor atau agen dalam mengkonstruksikan identitas
satelit menjadi identitas yang sahih (legitimizing identity), tetapi negara
satelit (Balinuraga) juga menjadi aktor yang mengkonstruksikan
identitasnya dalam bentuk resistance dan project identity sebagai bagian

dari politik identitas Balinuraga sebagai satelit yang aktif.

Aktor
Datang dari sebuah pulau kecil, Nusa Penida, di sebelah timur
Pulau Bali, dengan semangat dan tujuan yang sama, yakni mencari
penghidupan secara ekonomi yang lebih baik, bukan menjadi satu-satunya
tujuan utama bagi transmigran Bali Nusa. Sukses secara ekonomi di tanah
rantau dan menjadi kaya, tidak akan berarti apa-apa jika mereka
kehilangan identitas leluhurnya – identitas sebagai orang Bali Hindu.
Kehilangan identitas berarti kehilangan jati diri mereka sebagai Bali
Hindu, di mana secara sosial dan kultural mereka tersisihkan dari
komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, maupun di tanah kelahiran.
Ini berarti kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai Bali Hindu, baik

97

berupa ikatan kekerabatan, adat istiadat, maupun status sosial yang
disandangnya terun-temurun. Kekayaan materi tidak dapat menggantikan
identitas tersebut. Beban psikologis secara sosial dan kultural akibat
kehilangan identitas leluhur tidak dapat dibandingkan dengan kehilangan

materi. Kekayaan materi dapat dicari melalui ketekunan dan kerja keras,
tapi kekayaan komunitas yang terkandung di dalam identitas leluhur tidak
dapat diperoleh kembali jika telah hilang akibat keputusan si individu
untuk kepentingan tertentu baik bersifat politis maupun perkawinan –
kasus umum: berpindah agama132.
Identitas ini sudah melembaga di setiap individu dan komunitas.
Ini yang menjadikan kuatnya ikatan antar individu yang memberikan
ikatan kuat terhadap komunitas, di mana akhirnya melahirkan lembagalembaga yang bersifat formal dan informal dalam komunitas dan antar
komunitas itu sendiri. Misalnya, dalam skala kecil –level keluarga besar –
berupa identitas klan (warga , soroh, dadia , atau kawitan), di atasnya
berupa ikatan tempat asal, ikatan adat dan agama. Melalui identitas ini rasa
percaya diri muncul di daerah baru. Kepercayaan diri yang memampukan
mereka untuk dapat eksis, baik dalam komunitas adat dan agama maupun
dalam bidang ekonomi terkait profesi mereka sebagai petani yang dalam
kegiatannya harus berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang
berbeda secara budaya dan kepercayaan.
Bertransmigrasinya orang Bali Nusa ke Lampung tidak serta merta
berpindahnya keaslian identitas leluhur sama seperti di tanah kelahiran.
Proses transmigrasi yang bersifat spontan dan sporadis karena kondisi
alam yang memaksa mereka untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan


Kasus berpindah agama – dari agama Hindu ke agama lain non-Hindu –
merupakan kasus umum yang jarang terjadi. Beberapa narasumber menjelaskan
bahwa motif politik dan perkawinan menjadi salah satu alasan mengapa mereka
pindah agama. Pindah agama – menurut para sepuh dikatakan sebagai „jalan
singkat‟ – bagi mereka yang memiliki ambisi politik untuk menduduki posisi
tertentu (jabatan administratif dalam pemerintahan atau pun jabatan politik),
karena dalam lingkungan kerjanya memiliki posisi sebagai minoritas. Termasuk,
perkawinan beda agama – ikut agama atau kepercayaan dari pihak istri atau suami
– yang mengakibatkan si individu berpindah agama: „jalan singkat‟ agar dapat
menikah dengan calon istri atau suami yang berbeda agama.
132

98

harapan besar untuk meningkatkan perekonomian keluarga, menyebabkan
ada beberapa elemen dalam identitas itu yang tertinggal di tempat asal.
Misalnya, seka-seka dan banjar yang merupakan ikatan sosial yang
melekat dalam diri orang Bali Hindu dan menjadi identitas mereka secara
sosial dan keagamaan. Hal ini disebabkan tidak semua anggota dalam seka

dan banjar tersebut bertransmigrasi. Secara psikologis, ketakutan akan
hilangnya identitas leluhur dan kecemasan akan nasib di tanah rantau,
menyebabkan ada yang memutuskan untuk bertransmigrasi dan tetap
tinggal di tanah leluhur133. Akibatnya, mereka yang bertransmigrasi
merupakan transmigran yang berasal dari banjar dan seka-seka yang
berbeda-beda, di mana setiap banjar dan seka memiliki identitas sosial dan
kultural yang tidak sama dengan banjar dan seka yang lain.
Di samping itu, tidak semua dari mereka yang bertransmigrasi
memiliki pemahaman yang mendalam tentang identitas kultural dan
keagamaan mereka di tempat asal. Tingkat pendidikan formal mereka pun,
transmigran pertama, rata-rata sangat minim. Mayoritas dari mereka masih
buta huruf. Ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari pulau kecil
dengan akses informasi yang tentunya terbatas dengan pulau induk. Belum
lagi kondisi sosial politik dan geografis yang tidak mendukung, khususnya
pasca kolonialisme, di mana gejolak sosial politik antara afiliasi politik
pro-kanan dan pro-kiri terfokus di pulau induk.
Faktor penting lainnya adalah keadaan geografis dan sosialkultural di daerah transmigrasi yang sangat berbeda dengan tanah
kelahiran – kondisi tersebut ditambah dengan tingkat pendidikan yang
minim serta kehidupan awal bertransmigrasi yang sulit – menyebabkan


133

Sebagai perbandingan lihat hasil penelitian: (1) Kasus transmigrasi etnis Bali
ke Parigi Sulawesi Tengah dalam: Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History
at the Balinese Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor
Stanford University; dan (2) Kasus transmigrasi etnis Bali di Sumbawa dalam:
Wirawan, A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di
Sumbawa, 1952-1997 , Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,
No.6 Desember 2008. Sebagai alat analisis apa yang menjadi keterikatan sosial
orang Bali yang menyebabkan mereka sulit untuk bertransmigrasi (bermigrasi)
atau meninggalkan tanah kelahirannya ( di dalam banjar atau desa adat tertentu)
lihat juga: Geertz, Clifford. (1959), From and Variation in Bali Village Structure,
dalam America Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012.

99

kevakuman identitas134. Elemen-elemen identitas yang tersisa – yang
hanya melekat dalam diri individu (bersifat personal) – semakin terkikis di
tempat yang baru karena proses adaptasi alamiah dengan keadaan
geografis dan sosial-kultural yang baru, tingkat pendidikan yang sangat

minim, serta kesulitan hidup pada masa-masa awal. Ketika menghadapi
keadaan tersebut, sangat sulit bagi para transmigran untuk berpikir tentang
ego identitas klan-klannya, dan cenderung pasrah / tergantung pada
pemimpin komunitasnya (transmigran Bali Nusa).
Dalam kondisi kevakuman identitas inilah mereka membutuhkan
seorang sosok atau tokoh yang dapat dijadikan sebagai acuan atau patron
bagi mereka agar dapat memiliki atau mendapatkan kembali jati diri atau
identitas leluhurnya. Patron bagi mereka adalah seorang aktor (tokoh) yang
memiliki kekuatan sekala dan niskala , di mana dapat memimpin mereka
secara sosial (komunitas), adat dan keagamaan. Kepadanya (patron)
mereka mendapatkan perlindungan, dan memiliki identitas. Transmigran
(klien) yang berpusat pada seorang tokoh (patron) adalah kekuatan bagi
patron tersebut. Sang patron tersebut ada dan memiliki kekuatan secara
sosial dalam komunitas transmigran melalui kepercayaan dari para klien
yang menggantungkan perlindungan dirinya pada sang patron.

Sri Mpu Suci: The Powerfull Pandé
Aktor utama dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa
adalah Sri Mpu Suci. Peran penting sosok Sri Mpu adalah membawa
transmigran Bali dari Pulau Nusa Penida menuju daerah transmigrasi di

Lampung Selatan. Sebagai seorang inisiator dan pemimpin yang memiliki
kharisma dan pengetahuan, Sri Mpu bertanggungjawab tidak hanya
membawa para transmigran sampai ke tempat tujuan, tapi juga
bertanggungjawab secara moral terhadap keberlangsungan hidup
134

Meskipun tanah daerah transmigrasi di Lampung Selatan lebuh subur daripada
Nusa Penida, mereka (para transmigran) harus berhadapan dengan hutan baru
yang harus dibuka untuk lahan pertanian - hutan yang masih lebat dengan hewanhewan liar seperti gajah, babi hutan, dan harimau sumatera, termasuk nyamuk
penyebab malaria -, kelompok penduduk lokal dan kelompok-kelompok
pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa (transmigran Jawa) yang
secara kebudayaan dan kepercayaan berbeda dengan transmigran Bali.

100

transmigran dan keluarganya setelah berada di Lampung. Tanpa
kepemimpinannya, komunitas transmigran yang belum mapan ini akan
bubar, dan bukan tidak mungkin sebagian dari mereka akan terpencarpencar dan kembali ke Nusa Penida. Hal ini disebabkan di masa-masa awal
kedatangan mereka ke Lampung kehidupan sangat sulit dan berat.
Kedudukannya sebagai patron mempersatukan komunitas transmigran Bali

Nusa di masa-masa awal. Para transmigran memberikan kepercayaannya
kepada Sri Mpu untuk memimpin mereka selama berada di Lampung
Selatan. Kepercayaan ini dilandaskan pada kapasitas dan kapabilitasnya
yang mumpuni. Tidak hanya kemampuan yang tampak mata, tapi juga
yang tak tampak mata. Syarat kepemimpinan ini sesuai dengan tradisi yang
dipercaya oleh mayoritas orang Bali Hindu, bahwa seorang pemimpin
harus memiliki kemampuan sekala (alam nyata) dan niskala (tidak terlihat
/ alam gaib)135. Artinya, seorang pemimpin diharuskan menguasai dan
memiliki kekuatan yang berasal dari dunia riil (nyata, terujud), tapi juga
yang nir-ujud (kekuatan tak nampak mata, bersifat magis). Mereka percaya
bahwa pemimpin yang memiliki kekuatan seperti ini dapat dijadikan
sebagai pemimpin, dan menjadi patron atau acuan (pusat) bagi para
pengikutnya (klien: transmigran Bali Nusa).
Ketika kevakuman identitas itu terjadi, sosok Sri Mpu Suci sebagai
patron menjadi penting. Kedudukannya sebagai pusat atau acuan bagi para
transmigran memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengisi
kevakuman identitasnya. Hal ini disebabkan lemahnya fondasi identitas
asal mereka ketika bertransmigrasi dan sampai di daerah transmigrasi.
Fondasi identitas asal yang dimaksudkan adalah identitas dari lingkungan
sosial di mana mereka dilahirkan, atau banjar di mana mereka berasal.

Minimnya pendidikan dan pengetahuan akan adat dan keagamaan

135

Bagaimana keterkaitan hubungan antara raja (pemimpin/patron) dengan
rakyatnya (klien) dalam konteks hubungan antara dunia sekala dan niskala terkait
konsep “negara” di Bali pada masa prakolonial, lihat: Schulte Nordholt (2009)
The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940 . Untuk penjelasan lebih detail
mengenai konsep sekala dan niskala dapat dilihat dalam: Eiseman (2005) Bali:
Sekala & Niskala (Volume I: Essays on Religion, Ritual, and Art).

101

merupakan penyebab lemahnya fondasi identitas asal tersebut136. Situasi
ini diperparah dengan beban psikologis dan ekonomi yang menjepit
mereka selama perjalanan dan tahun-tahun awal berada di daerah
transmigrasi. Situasi ini memperbesar ketergantungan mereka terhadap
sang aktor yang menjadi patron utama – Sri Mpu Suci – untuk memperoleh
perlindungan.
Cara untuk mengisi kevakuman identitas tersebut adalah dengan

menjadi pengikut identitas asal Sri Mpu Suci, di mana sebagian besar dari
mereka memiliki identitas asal yang berbeda patron karena berasal dari
banjar yang berbeda; atau, dalam desa atau banjar yang sama tapi berasal
dari klan yang berbeda. Dalam kasus ini, perlindungan yang diharapkan
dari klien sebenarnya bukan hanya perlindungan fisik, tapi perlindungan
fisik yang didasarkan karena adanya persamaan identitas dengan patron.
Dengan demikian, mereka merasa semakin terlindungi. Dari sisi patron,
sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kliennya.
Pada masa-masa ini para klien belum berpikir panjang atas
keberlangsungan identitas asal mereka, sehingga komunitas transmigran
Bali Nusa – Balinuraga – memiliki satu identitas yang sama dengan patron.
Nantinya, ketika Sri Mpu Suci wafat, pengkopian identitas sebagian besar
klien terhadap patron menyebabkan terjadinya pengkotak-kotakan identitas
di dalam komunitas Balinuraga, yaitu ketika timbulnya kesadaran dari
setiap klan – kelompok masyarakat dari banjar -banjar lain yang memiliki
klan yang berbeda dengan patron ketika masih berada di Nusa Penida –
untuk mencari jati dirinya sendiri, dan tidak lagi bergantung pada identitas
patron yang telah wafat.
Masyarakat Bali sebenarnya cukup beragam di dalam
komunitasnya sendiri sebagai Bali Hindu. Masyarakatnya terdiri dari

136

Lemahnya pengetahuan tentang agama (dan termasuk adat di dalamnya) pada
transmigran Bali Nusa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh larangan / paham
ajawera (aja wera ), yaitu larangan yang membatasi keleluasaan masyarakat untuk
mempelajari agama secara mendalam (Wiana & Santeri 2005); larangan
memberitahukan isi kitab-kitab Weda kepada golongan Sudra , hanya kaum
brahmana dan kesatria yang boleh mempelajarinyal paham yang melarang
sudrawangsa mempelajari lontar-lontar yang mengandung ajaran agama Hindu
(Karepun 2003).

102

berbagai klan-klan, atau dalam Bali disebut sebagai warga atau soroh137.
Di masa pemerintahan kolonial, tepatnya di tahun 1920-an, keberagaman
ini semakin ditonjolkan untuk melahirkan sebuah perbedaan yang sangat
mencolok dengan melakukan pemilah-milahan kelompok masyarakat
berdasarkan wangsa (kasta) berserta dengan kedudukan istimewanya dari
pihak kolonial, yaitu melalui proyek Balinisasi138. Kebijakan ini
mengakibatkan pemilahan kelompok masyarakat Bali berdasarkan
fungsinya di dalam masyarakat – seperti dalam “catur warna ” dalam
konsep Hindu – menjadi sangat tertutup (kaku), di mana sangat sulit
seseorang dari lapisan tertentu untuk beralih ke lapisan yang lebih tinggi
atau sebaliknya, kecuali ada kasus-kasus khusus seperti pelanggaran adat
atau perkawinan beda wangsa (kasta)139. Kebijakan pemerintah kolonial
yang bersifat campur tangan ini pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasan dan gejolak sosial politik di dalam masyarakat Bali yang
sebenarnya benih-benih konflik tersebut sudah ada dan berlangsung cukup
lama sejak masa kerajaan. Namun, di masa kerajaan keberagaman
kelompok masyarakat Bali tidak seajeg atau sekaku di masa pemerintahan
kolonial yang berambisi mengembalikan Bali seperti aslinya dan menjadi
Bali sebagai surga dunia140. Pada masa kolonial inilah, masyarakat Bali

Kata “warga ” dalam artian luas berarti keluarga atau klan; kelompok
keturunan; sistem kekerabatan berdasarkan geneologi atau garis keturunan dari
leluhur tertentu (konsep “warga” dapat dilihat juga dalam: Wiana & Santeri 2005,
Eiseman 2005, Howe 2005, Wiana 2006, Kerepun 2007). Dalam kamus Bahasa
Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) warga diartikan: (separate division, class, group,
company, family), category, group, class, escp of persons (c f watek); family.
138
Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political
Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press.
139
Penjelasan mengenai larangan-larangan dan sangsi-sangsi bagi perkawinan
beda wangsa di masa kolonial dapat dilihat dalam Kerepun (2007) “Mengurai
Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali” hlm. 161-195.
Lihat juga: Atmaja, Jiwa. (2008), Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada
Masyarakat Bali, Denpasar: Udayana University Press & Bali Media Adhikarsa;
Budiana, I Nyoman. (2009), Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
140
Di masa kerajaan seorang raja mempunyai hal untuk bisa menaik-turunkan
status seseorang (jabawangsa menjadi bangsawan dan sebaliknya), dan gelar
bangsawan yang diberikan kepada jabawangsa ditujukan agar mereka menjadi
137

103

mengalami konstruksi identitas atas pengaruh atau intervensi kekuasaan,
yaitu pemerintah kolonial, yang sejak di awal abad ke-20 mulai menguasai
Bali141.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana pengaruh konstruksi
identitas pemerintah kolonial terhadap masyarakat Bali di Nusa Penida
(Bali Nusa)? Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, efek
dari konstruksi identitas pemerintah kolonial (Balinisasi) bagi masyarakat
Bali Nusa tidak semencolok seperti di pulau induk, Bali. Selain faktor
geografis yang cukup sulit dijangkau – berpengaruh terhadap arus
informasi yang masuk ke Nusa Penida dan kondisi sosial politik yang
terpusat dan bergulat hanya di pulau induk – juga dikarenakan posisi pulau
ini yang sejak masa kerajaan dijadikan tempat pembuangan politik bagi
musuh-musuh kerajaan atau pun orang-orang yang melakukan praktek
ilmu hitam serta kejahatan masyarakat. Orang-orang yang dibuang dari
pulau induk ke Nusa Penida sebagian besar bukanlah orang biasa, tapi
orang-orang yang semasa di pulau induk memiliki pengaruh dan status
sosial yang penting. Akibatnya, masyarakat di Nusa Penida lebih egaliter
karena identitas mereka sebagai orang-orang buangan atau tahanan politik.
Status sosial mereka yang tinggi dan penting sewaktu di pulau induk tidak
berarti apa-apa setelah diasingkan (dibuang) ke Nusa Penida. Dengan kata
lain, status sosial mereka sama dengan masyarakat asli dan masyarakat
biasa yang ada di Nusa Penida. Situasi ini yang menyebabkan masyarakat
Nusa Penida tidak mendapatkan pengaruh langsung yang berdampak
secara nyata dalam kehidupan sosial mereka atas kebijakan Balinisasi
pemerintah kolonial. Namun, situasi ini tidak membuat mereka hidup
tanpa identitas. Status sosial menjadi lebih egaliter di pulau kecil ini, tapi
identitas asal mereka tetap dipertahankan, yaitu identitas yang berasal dari
klan atau warga . Meskipun ada di antara mereka ada yang berasal dari
warga yang dulunya (baik di masa kerajaan atau sebelum diasingkan ke
Nusa Penida) memiliki status sosial dan kedudukan yang tinggi, setelah di

lebih setia kepada raja dan membatasi bangsawan-bangsawan lain yang menjadi
saingan politik raja (Schulte Nordholt 2009).
141
Lihat: Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created , Singapore: Periplus
Edition.

104

Nusa Penida tidak ada pengistimewaan itu di dalam masyarakatnya.
Kedudukan mereka tetap sama setelah berada di Nusa Penida. Status sosial
atau pun kedudukan sosial tinggi yang mereka dapatkan di Nusa Penida
bukan ditentukan oleh sejarah warga mereka di masa lampau, tapi lebih
ditentukan oleh kapasitas dan kepabilitas si individu, yaitu bagaimana
mereka memiliki kekuatan sekala dan niskala – yang mana di pulau ini
memang dikenal sebagai pulau yang memiliki kekuatan niskala tersohor
jauh sebelum masa kolonial142.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana efeknya bagi
transmigran Bali Nusa setelah berada di Lampung? Setelah berada di
Lampung, transmigran Bali Nusa lebih nyaman dengan identitas warga
atau klannya daripada dengan identitas wangsa atau kasta – ini merupakan
identitas antar klan di dalam komunitas Bali Hindu, bukan menjadi
identitas Bali Hindu karena klan-klan ini berada di bawah satu identitas
Bali Hindu. Mereka menilai bahwa kasta tidak mewakili identitas klan atau
warga -nya, dan itu (kasta) tidak menjadi penting setelah berada di
Lampung:
“Di sini tidak ada kasta-kastaan. Di Lampung sama semua.
Kalau dibilang sudra, ya sudra semua. Tapi, di sini kami adalah
warga (klan) Pandé, Pasek, Arya (dan lain-lain). Toh, samasama tani, sama-sama ngerantau (dan bukan sudra, atau tidak
mau disebut sebagai sudra).”

Informasi yang didapatkan dari informan kunci dan beberapa anggota
warga lainnya, mereka dapat menjelaskan mengapa mereka lebih condong
atau lebih suka memakai istilah warga daripada kasta – khususnya
informan yang sudah sepuh. Ini tidak terlepas dari faktor sejarah yang
didapatkan dari tetua mereka ketika masih berada di Bali seputar
perlawanan yang dilakukan beberapa warga yang menentang kebijakkan
Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga mereka ke

142

Cerita (mitologi) kekuatan gaib yang ada di nusa penida yang berkembang luas
di kalangan masyarakat Bali (dan bagi sebagian masyarakat Balimasih dipercaya
eksistensinya) adalah keberadaan Jero Gede Mecaling yang memiliki kekuatan
gaib yang menakutkan.

105

dalam kasta sudra (sudrawangsa atau jabawangsa ). Tidak hanya fakta
sejarah mengenai perlawanan berbagai tokoh warga -warga yang menolak
kebijakan pemerintah kolonial tersebut, tapi penjelasan sejarah mengenai
peran, fungsi, dan asal usul warga mereka pada masa kerajaan-kerajaan
(pra kolonial), baik ketika masih berada di Jawa maupun setelah berada di
Bali. Informasi yang mereka jelaskan pun bukan informasi kosong yang
tidak memiliki bukti tertulis. Kepada penulis, mereka memberikan dan
menunjukkan (juga mengizinkan penulis untuk mendokumentasikannya)
tulisan sejarah tersebut. Catatan tertulis tersebut dikelompokkan pada dua
masa, yaitu pada masa kerajaan-kerajaan dan pada masa kolonial. Catatan
sejarah pada masa kerajaan merupakan sebuah babad warga yang berisi
sejarah, asal usul keturunan, fungsi dan peran mereka pada masa itu;
sedangkan catatan sejarah pada masa kolonial berisi bagaimana
perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial mengenai kebijakan
Balinisasi yang mencampakkan warga mereka ke kasta sudra143. Dalam
catatan pada masa kolonial ini dilengkapi juga catatan perdebatan antara
tokoh-tokoh warga dengan pihak kolonial dan perwakilannya (keturunan
raja yang diangkat oleh pemerintah kolonial), di mana catatan perdebatan
ini bersumber dari dokumentasi pemerintah kolonial. Dokumen-dokumen
sejarah ini, baik pada masa kerajaan maupun masa kolonial, ada yang
sudah diterbitkan ke dalam buku, tapi ada yang belum diterbitkan (untuk
kalangan sendiri, kelompok warga itu)144. Dokumen sejarah yang sudah
Seperti yang dicatat oleh Robinson (2006: 97) bahwa: “Pada saat yang
bersamaan, banyak kelompok atau jaringan klan yang terhormat tapi “bukan
ningrat”, seperti Pandé, Pasek, dan Sengguhuh, secara kurang senonoh
dicampakkan ke dalam kategori sudra yang luas dan longgar di luar golongan
bangsawan, sehingga banyak sekali kehilangan hal dan prestise politik. ”
144
Di antaranya adalah dokumen Warga Pandé yang ditulis oleh Made Kembar
Kerepun – yang merupakan salah satu tokoh dari golongan jabawangsa yang
terkenal vokal dan aktif menulis sejumlah buku dan artikel (mantan pejabat Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Gianyar 1965-1969), yaitu “Pandé Menggugat”:
Telaah Singkat atas Dokumentasi Masalah Pandé, Maha Semaya Warga Pandé
Propinsi Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri). Kemudian, Ramayadi,
Pandé Made (2000), Babad Pandé: Keketus, Kapupul Ian Kepipil, Pujung: Tidak
Diterbitkan (Untuk Kalangan Sendiri); Ramayadi, Pandé Made. (2003), Upacara
Madiksa (Ngalinggihang Sri Mpu Pandé), Disajikan dalam Paruman Sri Mpu
Pandé Se-Bali (Tidak Diterbitkan: Untuk Kalangan Sendiri).
143

106

diterbitkan ada yang berbentuk utuh, ada pula yang dicuplikan sebagai
bahan analisis dari beberapa penulis, baik penulis (peneliti) asing maupun
lokal (umumnya berasal dari Bali). Ini bukan berarti dokumen yang tidak
diterbitkan, atau yang diperuntukan bagi kalangan (warga ) sendiri, tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Dokumen-dokumen tersebut pun juga
ditulis dan dirangkum berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, seperti
dari catatan-catatan lontar atau pun arsip-arsip pemerintah kolonial, di
mana sumber-sumber tersebut juga digunakan oleh para penulis asing dan
lokal sebagai bahan tulisan (buku) yang diterbitkan ke khalayak145.
Komunitas transmigran Bali Nusa – Balinuraga – memiliki tiga
komposisi besar warga-warga , yaitu Pasek, Pandé, dan Arya . Warga
Pasek memiliki komposisi dengan rata-rata terbesar, yaitu 50%; kemudian
Warga Pandé dan Arya masing-masing 25%146. Sang aktor, Sri Mpu Suci,
berasal dari warga Pandé. Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai patron
menjadikan Warga Pasek dan Arya menjadikan identitas Sri Mpu Suci
“Warga Pandé” sebagai identitas mereka. Kedua kelompok warga ini,
Pasek dan Arya , menggabungkan komunitas mereka ke dalam Banjar
Pandéarga , banjar pertama menjadi cikal bakal Desa Balinuraga –
komunitas transmigran Bali Nusa pertama di Lampung Selatan. Banjar
Pandéarga ini merupakan banjar bagi Warga Pandé yang didirikan oleh
Sri Mpu Suci. Kevakuman identitas kedua kelompok warga ini memaksa
mereka untuk meleburkan diri (bergabung) ke dalam Banjar Pandéarga ,
yang sebenarnya dikhususkan bagi Warga Pandé. Namun, dikarenakan
masa-masa awal yang sulit dan di dalam kedua kelompok ini tidak
145

Salah satu contohnya adalah buku Made Kembar Kerepun (2007) yang
berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di
Bali, Editor: Jiwa Atmaja, Denpasar: Panakom Publishing. Untuk terbitan yang
lebih eksklusif seperti: Soebandi, Jro Manku Gde Ketut. (2003), Babad Pasek:
Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, Penyunting: Wayan Supartha; Denpasar:
Pustaka Manikgeni.
146
Hitungan ini merupakan pembulatan dan perkiraan. Besarnya belum tentu
sama. Pasti ada perubahan dalam skala kecil, tapi kurang lebih perkiraan jumlah
komposisinya tidak terlalu signifikan. Dalam kasus ini, tidak ada perhitungan yang
jelas, termasuk sensus antar warga di balinuraga, termasuk Lampung. Di Bali
sendiri pun tidak ada sensus seperti ini secara resmi belum pernah dilakukan
(Wiana & Santeri 2005).

107

memiliki sosok pemimpin, maka mereka pun bergabung ke dalam Banjar
Pandéarga . Penggabungan ini bukan tanpa alasan. Ketergantungan kedua
kelompok warga ini terhadap patron – Sri Mpu Suci – di masa-masa awal
tidak terelakkan. Hanya kepada patron mereka menggantungkan
perlindungan dan keberlangsungan identitas mereka yang lebih besar, yaitu
sebagai Bali Hindu, dan mengabaikan untuk sementara identitas asal
mereka, yaitu identitas warga . Di samping itu, sosok Sri Mpu Suci belum
dapat tergantikan, dan pengkopian identitas ini merupakan salah satu
wujud rasa terima kasih kedua kelompok besar warga ini terhadap Sri Mpu
Suci karena telah membawa mereka sampai ke Lampung. Konsekuensi
bagi kedua kelompok warga ini adalah, mau tidak mau, harus mengikuti
tata-cara adat istiadat maupun keagamaan berdasarkan tata cara yang
dimiliki dan diterapkan oleh keluarga besar Pandé, di mana sebenarnya
kedua kelompok ini memiliki tata cara yang masing-masing berbeda. Bagi
kedua kelompok warga ini, persoalan tata cara tidak menjadi persoalan.
Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan yang dimiliki perihal tata cara
adat dan keagamaan, di mana sosok Sri Mpu Suci menguasainya secara
mendalam. Selain karena masih dipengaruhi konsep ajawera 147, legitimasi
secara adat dan keagamaan (berdasarkan hubungan kekerabatan dari
silsilah leluhur) untuk kasus Warga Pandé dan Pasek dibolehkan
menggunakan sulinggih (pendeta/mpu) yang sama. Oleh karena itu, selain
menjadi pemimpin transmigran Bali Nusa, Sri Mpu Suci turut menjadi
pemimpin adat, agama, dan spiritual yang kemampuannya sangat
mumpuni dan diakui oleh para transmigran lainnya. Tentu sangat lumrah
jika kedua kelompok warga ini mengikuti (sebagian kecil / sebagian besar)
tata cara dari Warga Pandé, karena Sri Mpu Suci merupakan seorang
Warga Pandé yang penguasaan pengetahuannya diperuntukkan (secara

“Ajawera ” menurut Dwipayana (2001) adalah konsep dalam mempelajari
agama yang tidak bisa diomongkan atau diributkan. Namun, dalam catatan kaki
sebelumnya, konsep “Ajawera ” lebih dipertegas sebagai sebuah larangan yang
bersifat membatasi golongan jabawangsa untuk mempelajari agama secara
mendalam seperti yang ada di alam kitab weda (lihat: Wiana & Santeri 2005;
Kerepun 2007).
147

108

khusus) bagi Warga Pandé148. Jika mereka tidak diperkenankan (diizinkan)
bergabung dengan Warga Pandé, maka kevakuman identitas mereka akan
semakin berlarut mengingat pengetahuan mereka yang minim dan terbatas
mengenai tata cara adat dan keagamaan yang rumit dan tidak semua orang
dapat menguasainya.
Ada beberapa tujuan yang lebih besar yang bersifat jangka panjang
mengapa Sri Mpu Suci menerima mereka bergabung dengan Warga Pandé
di dalam Banjar Pandéarga . Pertama , mempertahankan identitas mereka
sebagai Bali Hindu. Sri Mpu Suci tidak ingin kedua kelompok warga ini
kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu hanya dikarenakan
kekosongan pemimpin dari dalam kelompok ini. Meskipun terdapat
perbedaan tata cara antar warga , tetapi dasar atau falsafah Hindu Bali-nya
tetap sama. Ini yang menjadi pertimbangan dari Sri Mpu Suci sebagai
aktor dalam masa-masa awal yang sulit, di mana dalam himpitan hidup
yang sulit karena harus beradaptasi dalam lingkungan yang baru, rasanya
berat bagi kedua kelompok ini untuk berpisah dari patronnya hanya untuk
identitas warga -nya semata. Bagi mereka pun, setelah mempertimbangkan
kapastitas dan kapabilitas Sri Mpu Suci, penggabungan ini tidak masalah
karena masih sama-sama Bali Hindu dan berasal dari Nusa Penida.
Kedua , kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali

Hindu. Sri Mpu Suci sudah mengetahui bahwa setiap warga memiliki
karakteristik tersendiri meskipun mereka sama-sama Bali Hindu. Tapi,
persatuan identitas itu penting, yaitu sebagai komunitas Bali Hindu di
Lampung. Identitas sebagai Bali Hindu harus berada di atas identitas
warga -warga . Jika tercerai berai hanya karena pengelompokkan warga warga , maka bukan tidak mungkin komunitas mereka akan hancur di
masa-masa awal. Rasa senasib dan seperjuangan untuk sampai ke
Lampung adalah faktor penting di mana mereka menyingkirkan ego
masing-masing warga . Jika ego ini dipertahankan, bukan tidak mungkin
tujuan mereka untuk meraih kesuksesan akan gagal, dan kehilangan
identitasnya karena tidak ada aktor panutan (patron) di dua kelompok
148

Sulinggih warga secara umum diperkenankan untuk memuput upacara bagi
warga lain yang yang memiliki identitas warga yang berbeda (khususnya wargawarga yang berasal dari golongan jaba ).

109

warga lainnya. Melalui kesolidan dan kepercayaan diri sebagai komunitas

Bali Hindu mereka dapat sesegera mungkin untuk membangun komunitas
Bali Hindu yang dikenal dengan Kampung Bali, yaitu dengan membangun
pranata-pranata sosial, adat, dan keagamaan yang menjadi simbol identitas
mereka. Di samping itu, posisi mereka di Lampung adalah sebagai
minoritas etnik dan agama, di mana berbeda dengan yang lain. Mereka
percaya bahwa identitas mereka adalah identitas yang unik, dan itu harus
dipertahankan meskipun sebagai minoritas di luar Bali. Tanpa kesolidan
dan kepercayaan diri sebagai komunitas Bali Hindu, hal ini akan sulit
tercapai. Ini yang memutuskan mereka untuk membangun komunitasnya
secara eksklusif. Ada banyak tata cara upacara adat dan keagamaan yang
harus dilaksanakan. Semuanya membutuhkan partisipasi aktif dari setiap
anggota komunitas dan dana yang tidak sedikit. Jika mereka terpencarpencar, maka akan sulit mengadakan kewajiban mereka sebagai Bali
Hindu.
Maksud utama dari kedua tujuan tersebut adalah sebagai fondasi
dasar pembentukan identitas Bali Hindu dari komunitas Bali Nusa di
Lampung Selatan untuk mengantisipasi kemungkinan di kemudian hari
jika warga -warga lain telah menemukan dan ingin kembali ke identitas
asal warga -warga -nya, yaitu menggunakan sulinggih dari kalangan warga nya sendiri, bukan menggunakan pendeta atau mpu dari warga lain –
karena setiap warga memiliki sulinggih-nya sendiri. Tindakan antisipasi
ini benar setelah wafatnya Sri Mpu Suci. Warga -warga non-Pandé mulai
memisahkan diri dan ingin kembali – „ajeg‟ – pada identitas warga -nya.
Hal ini dikarenakan identitas warga itu merupakan identitas dari mana
leluhur mereka berasal. Bagi mereka ini sangat penting sekali, dan tidak
boleh ada pengingkaran terhadap identitas leluhur. Namun, karena fondasi
identitas Bali Hindu transmigran Bali Nusa ini telah kuat, maka meskipun
warga -warga non-Pandé memutuskan untuk memisahkan diri dari Warga
Pandé, komunitas Kampung Bali ini tetap utuh dan solid. Tidak ada
perpecahan di dalamnya. Mereka pun tetap mengingat jasa besar Sri Mpu
Suci yang telah membawa dan memimpin mereka mulai sejak
bertransmigrasi dari Nusa Penida sampai mampu melewati masa-masa
sulit di Lampung.

110

Peran Sentral Sri Mpu Suci
Tidak ada tendensi apa pun untuk menempatkan Sri Mpu Suci
sebagai aktor sentral dalam pembentukan identitas transmigran Bali Nusa.
Mengingat kapasitas dan kapabilitasnya yang mumpuni sebagai seorang
pusat (patron) bagi para satelitnya (klien), di mana berperan penting dalam
menyatukan komunitas transmigran Bali Nusa dan mencegah hilangnya
identitas mereka sebagai Bali Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peran-peran
penting yang telah dilakukannya pada masa-masa awal – dapat dikatakan
masa kevakuman atau krisis identitas – agar identitas komunitas mereka
sebagai komunitas Bali Hindu setelah keberadaannya di luar Bali tidak
hilang. Hasil dari apa yang telah dilakukan Sri Mpu Suci masih tetap ada
dan diakui, baik di kalangan komunitas Balinuraga, maupun komunitas
tetangga Bali Hindu dan komunitas tetangga dari kelompok etnis lainnya.
Sebagai aktor penting dan tokoh sentral dalam pembentukan
identitas transmigran Bali Nusa, ada beberapa peran penting yang telah
dilakukan oleh Sri Mpu Suci. Pertama , membangun Banjar Pandéarga
yang menjadi cikal bakal Desa Balinuraga, baik sebagai desa administratif
maupun desa adat. Komunitas ini dibangun bersama-sama oleh
transmigran Bali Nusa, di mana Sri Mpu Suci sebagai pemimpin dan
inisiatornya. Peran sentral Sri Mpu Suci tampak dari keputusannya yang
tidak mau bergabung bersama-sama komunitas transmigran Jawa yang
jumlahnya lebih besar. Sejak awal, Desa Balinuraga dibangun secara
eksklusif, yaitu untuk transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida.
Mereka adalah orang Bali Nusa yang bertransmigrasi secara swakarsa,
tanpa sponsor atau bantuan dari pemerintah. Mulai sejak bertransmigrasi
sampai pembangunan Banjar Pandéarga , kebutuhan atas biaya ditanggung
dan diusahakan secara kolektif. Perbedaan ini dapat dilihat dari Kampung
Bali lainnya yang berada di tengah-tengah komunitas transmigran Jawa,
atau secara administratif masuk ke dalam desa yang didominasi
transmigran Jawa. Kampung Bali tersebut diantaranya merupakan
transmigrasi dengan bantuan (sponsor) dari pemerintah – yang dikenal atau
biasa disebut dengan Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung):
sebuah proyek dari pemerintah Orde Lama untuk mentransmigrasikan
korban letusan Gunung Agung tahun 1963. Berbeda dengan Balinuraga,

111

yang berangkat dari sebuah Banjar Pandéarga , mereka menjadi desa
administratif yang seluruh anggotanya adalah orang Bali Nusa. Dari
namanya, Desa Balinuraga, menunjukkan dengan jelas identitasnya
sebagai desa Bali Hindu di Kabupaten Lampung Selatan. Meskipun ada
banyak Kampung Bali lainnya di Lampung Selatan, tapi secara
administratif mereka masuk ke dalam desanya para transmigran Jawa, dan
berada di antara komunitas transmigran Jawa – yang secara kelompok
tidak sesolid transmigran Bali.
Setelah berdirinya Desa Adat ini – Banjar Pandéarga – Sri Mpu
Suci mengemban dua tugas sekaligus, yaitu sebagai pemimpin adat
(bendesa , klian banjar ) dan sebagai rohaniawan atau biasa disebut mpu
(empu). Gelar “Sri Mpu” adalah gelar bagi seorang pemimpin keagamaan
atau rohaniawan yang berasal dari Warga Pandé. Peran ganda ini diemban
Sri Mpu Suci karena saat itu belum ada dari para transmigran yang
memiliki kemampuan tersebut, dan Sri Mpu Suci memang dipercaya oleh
para transmigran untuk memimpin mereka, baik dalam komunitas adat
maupun keagamaan. Sambil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin adat
dan keagamaan, Sri Mpu Suci tetap melakukan kaderisasi kepemimpinan
kepada anak-anaknya, dan juga anggota lain di dalam komunitas adat yang
memang berminat dalam urusan adat dan keagamaan. Kaderisasi ini sangat
penting dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan (agar ada
penerusnya) ketika Sri Mpu Suci wafat, di mana jika kekosongan
kepemimpinan itu terjadi dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar
warga -warga di dalam Desa Adat ini.
Kedua , membangun simbol-simbol identitas sosial, budaya, dan

keagamaan yang mencirikan mereka sebagai komunitas Bali Hindu.
Sebagai komunitas Bali Hindu mereka harus memiliki simbol-simbol
tersebut yang menunjukkan eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas
Bali Hindu. Absennya simbol-simbol tersebut dapat diartikan hilangnya
identitas mereka sebagai Bali Hindu. Ini disebabkan tidak adanya sebuah
acuan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban adat dan
keagamaan. Simbol-simbol ini merupakan elemen penting yang mengikat
komunitas mereka – yang biasa disebut sebagai Kampung Bali – yaitu
sebuah ikatan sosial yang sudah ada secara turun-temurun yang

112

membentuk dan mencirikan komunitas adat dan agama sebagai Bali
Hindu. Elemen-elemen ini harus ada meskipun mereka sudah
bertransmigrasi. Bagi mereka, Kampung Bali ini disebut sebagai sebuah
Desa Adat, di mana di dalamnya harus memiliki Pura Tri Kahyangan atau
Pura Kahyangan Tiga 149, yaitu Pura Baleagung (Pura Desa ), Pura Puseh,
dan Pura Dalem150. Fasilitas penting lainnya yang harus juga dimiliki oleh
mereka sebagai komunitas adalah bale banjar . Seperti yang dikatakan
seorang anak Sri Mpu Suci yang sekarang menjadi tokoh masyarakat
Balinuraga:

“Pas (saat/ketika) datang pertama ke Lampung memang
susah sekali. Keluarga kami (Sri Mpu Suci) membawa
banyak transmigran dari Nusa Penida. Tapi, kami harus
tetap hidup dan pantang pulang kembali. Pura-pura harus
tetap dibangun. Memang sangat sederhana sekali, belum
permanen dan bagus seperti sekarang. Setidaknya, kami
tidak nebeng (tergantung) dengan orang Bali lain (Kampung
Bali tetangga). Tapi, kami membangunnya sendiri
(mandiri). Tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.”

Ketiga , dibentuknya awig-awig atau peraturan desa dalam bentuk

tidak tertulis. Awig-awig ini dibuat dalam format yang sederhana
mengingat kendala waktu dan tempat mereka di daerah transmigrasi.
Sampai saat ini awig-awig desa masih belum ada format bakunya (tertulis).
Banyak terjadi perdebatan di dalamnya. Bagi sebagian kalangan awig-awig
ini cukup dalam bentuk tidak tertulis, yang lain berpendapat sebaliknya.
Tidak adanya kata sepakat ini yang menyebabkan bentuknya belum
tertulis. Ada yang mengatakan bahwa untuk menyusun awig-awig adat ini

149

Kahyangan tiga merupakan tempat suci bagi umat Hindu Bali yang
memuliakan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya (prabhawa ) sebagai
Dewa Brahama atau Pencipta (Purah Desa atau Baleagung), Dewa Wisnu atau
Pemelihara (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem).
150
Salah satu poin utama (poin kelima) dalam Ketetapan dan Keputusan Sabha
Parisada Hindu Dharma Pusat yang berkaitan dengan pengaturan Desa Adat
adalah (Surpha 2004, hlm.10): “Adanya Kahyangan tiga merupakan syarat mutlak
bagi suatu Desa Adat”.

113

terlalu ribet, dan berpendapat bahwa aturan formal dari pemerintah sudah
cukup dan konteksnya agak kurang relevan diterapkan di Lampung. Jadi,
cukup dengan format tidak tertulis – meskipun sampai sekarang cukup
diragukan apakah anak-anak muda di Balinuraga memahami dan
mengetahui keberadaan dan keberfungsian dari awig-awig ini.
Keempat, membentuk perkumpulan seni dan budaya Bali yang

disebut seka gong. Tujuan pembentukan seka gong ini adalah menjaga
kelestarian seni dan budaya Bali sebagai bagian dari identitas kebalian
mereka. Di samping itu, seka gong juga memiliki fungsi sebagai
pendukung aktifitas keagamaan dalam berbagai ritual dan upacara adat
keagamaan.
Kelima , menjalin relasi dengan pemerintah lokal dan komunitas

etnik lain. Peran ini merupakan peran politik dan sosial yang dimainkan
oleh Sri Mpu Suci sebagai pemimpin adat dan keagamaan salah satu
komunitas Bali Hindu yang cukup besar di Lampung Selatan. Dalam kasus
ini Sri Mpu Suci tidak hanya membawa nama komunitasnya sendiri, tapi
juga mewakili komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan.
Sebagai seorang pemimpin Sri Mpu Suci menyadari bahwa komunitasnya
adalah komunitas pendatang dengan kedudukan sebagai minoritas etnik
dan agama. Oleh karenanya, relasi harus terjalin dengan baik dengan
pemerintah lokal dan komunitas etnik lain. Dalam masyarakat yang
heterogen, potensi konflik akibat perbedaan itu tetap ada, terutama isu
SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) – yang semasa Orde Baru
menjadi semacam ketabuan. Sejak bertransmigrasinya orang Bali ke
Lampung, transmigran Bali sudah dikenal dengan kesolidan komunitasnya.
Dalam hal ini, identitas mereka benar-benar sudah diakui oleh masyarakat
Lampung secara luas. Juga mengingat keunikkan Bali yang sudah terkenal.
Hubungan dengan pemerintah lokal merupakan sebuah upaya dari
Sri Mpu Suci agar pemukiman komunitas transmigran Bali Nusa ini
mendapatkan kedudukan secara administrasi sebagai sebuah desa bernama
Desa Balinuraga. Nama Desa “Balinuraga” menjadi salah satu desa yang
menggunakan nama Bali di Kabupaten Lampung Selatan, sekaligus
menunjukkan identitas mereka sebagai sebuah desa yang mayoritas
anggotanya Bali Hindu. Melalui hubungan dengan pemerintah lokal, maka

114

mereka pun dapat meminta pemerintah lokal mengupayakan pembangunan
fasilitas publik bagi masyarakat Desa Balinuraga. Seperti yang sudah
teralisasi antara lain: jalan utama desa sebagai penghubungan dengan desa
lainnya, di mana akan memudahkan akses transportasi mereka menuju ke
pasar kecamatan, kantor kecamatan, jalan provinsi (jalan lintas Sumatera),
kantor kabupaten (ibukota kabupaten) dan ibukota provinsi; kemudian
pembangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, serta
posyandu (puskesmas pembantu).
Menjalin hubungan dengan masyarakat lokal menjadi sangat
penting sekali pada waktu itu, dan merupakan keharusan bagi Sri Mpu
Suci berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka. Meskipun terdapat
perbedaan dan ketidakcocokan ataupun sakit hati karena kesalahpahaman
yang pernah terjadi saat pertama kali mereka datang, hubungan ini tetap
harus dibangun. Alasannya karena masyarakat Lampung merupakan
penduduk asli Lampung, mereka adalah tuan rumah atas tanahnya sendiri,
di mana transmigran Bali adalah pendatang di tanah mereka. Pontensi
konflik sangat terbuka lebar antara masyarakat lokal dengan pendatang,
termasuk dengan transmigran Bali. Potensi konflik itu muncul akibat
adanya kecemburuan ekonomi. Mengingat transmigran Bali sangat tekun
(agresif) dalam bekerja di bidang pertanian – lambat laun posisi ekonomi
masyarakat lokal akan tergeser, di samping turut tergeser oleh transmigran
Jawa. Di samping itu, transmigran Bali memiliki watak atau karakter yang
keras dan akan menjadi militan secara berkelompok melalui komunitasnya
yang solid jika harga diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu disakiti.
Seperti kasus „perang kampung‟ di awal tahun 1990-an antara masyarakat
Bali dengan penduduk lokal Lampung di daerah Jabung, di mana beberapa
pemuda dari Desa Balinuraga bersama-sama pemuda-pemuda Bali dari
Kampung Bali lain terlibat dalam aksi tersebut151.
Berdasarkan informasi dari narasumber – yang turut menjadi tokoh
perundingan untuk penyelesaian „perang kampung‟ tersebut – kasus tersebut
akhirnya diselesaikan secara „baik-baik‟. Tentu, kasus ini menjadi perhatian serius
dari pemerintah, khususnya militer, agar tidak permasalahan ini tidak berkembang
menjadi konflik bernuansa SARA, seperti kasus Talangsari yang terjadi satu tahun
sebelumnya 1989. Oleh karena itu, setiap kali terjadi pergantian pimpinan
DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer), pimpinan yang baru selalu

151

115

Terkait dengan profesi transmigran sebagai petani, Sri Mpu Suci
menjalin hubungan komunikasi dengan transmigran Jawa yang menjadi
tetangga komunitas mereka. Ada beberapa hal yang mereka pelajari dari
transmigran Jawa. Mereka merupakan transmigran pertama di Lampung
yang sudah banyak pengalaman di bidang pertanian, seperti bagaimana
menggarap dan mengelola tanah di Lampung, serta bagaimana mereka
membina hubungan dengan pemerintah lokal dan masyarakat asli
Lampung.
Salah satu relasi dengan komunitas lain yang dibangun oleh Sri
Mpu Suci, di mana menjadi salah relasi yang sangat erat, adalah relasi
dengan etnis Tionghua yang sebagian besar bertempat tinggal di sekitar
pasar Kecamatan Sidomulyo. Etnis ini sebagian besar berprofesi sebagai
pedagang. Permulaan hubungan dengan etnis Tionghua sebenarnya sudah
dimulai sejak pertemuan dengan seorang tentara Tionghua yang pada masa
awal mereka membuka lahan menembak mati seekor gajah yang
mengganggu lahan untuk dikonsumsi oleh transmigran. Hubungan ini terus
berlanjut ketika mereka harus membeli berbagai kebutuhan pokok atau pun
barang-barang kebutuhan lain di pasar kecamatan, di mana pedagangnya di
dominasi oleh etnis ini. Sama seperti transmigran Jawa, etnis Tionghua
juga merupakan pendatang. Persamaan perasaan sebagai pendatang
menjadi salah satu jalinan relasi antara etnis Bali dan Tionghua berjalan
baik, dan terus berlanjut hingga saat ini.
Pribadi Sri Mpu Suci yang hangat dan ramah serta kharisma yang
dimilikinya sebagai pemimpin komunitas transmigran Bali Nusa
menjadikan komunikasi berjalan dengan baik, hingga muncul kepercayaan
dan relasi itu sendiri. Menyadari posisinya sebagai pendatang dan
minoritas, Sri Mpu Suci tidak segan-segan untuk menjalin komunikasi dan
silaturahmi dengan kelompok etnis dan kepercayaan lain. Ini merupakan
sebuah usaha dari Sri Mpu Suci agar terjadi kesepahaman dan pengertian
antar komunitas.

menyelenggarakan semacam upacara informal (halal-bihalal) dengan sesepuh atau
tetua adat dari komunitas Bali Hindu – termasuk sesepuh dari Balinuraga yang
dalam setiap kesempatan selalu diundang sebagai salah tokoh komunitas Bali
Hindu di Lampung Selatan.

116

Dengan kharisma yang dimilikinya, Sri Mpu Suci menjadi tokoh
sentral atau pusat dari komunitas Kampung Bali di Kecamatan Sidomulyo.
Keberadaan seorang tokoh atau aktor sentral ini yang menyebabkan
mengapa orang Bali di Lampung dikenal dengan kekompakkan dan
kesolidannya sebagai sebuah komunitas etnis dan agama yang minoritas,
karena adanya tokoh sentral yang menjadi pusat dan panutan bagi para
kliennya. Kehadirannya dapat menyingkirkan perbedaan dan
mempersatukan warga -warga yang sejak masa kerajaan sudah eksis dan
memiliki track record persilihan antara warga satu dengan yang lain
secara sosial dan politik.

Warga-Warga di Balinuraga
Komunitas Bali Hindu dikenal sebagai komunitas pendatang –
yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen –
dengan kesolidan (kekompakkan) komunitasnya. Kesolidan komunitas ini
terlihat jelas secara fisik pada komunitas-komunitas Kampung Bali yang
berada di daerah-daerah pedesaan (biasa disebut soateng152). Pandangan
sebagian besar masyarakat Lampung yang menilai kesolidan masyarakat
Bali ini sebenarnya didasarkan pada apa yang terlihat secara fisik (visual),
di mana dapat dilihat dari perkampungan Bali yang eksklusif dan
pengerahan massa dalam jumlah besar pada setiap upacara / ritual adat dan
keagamaan besar. Perkampungan Bali yang eksklusif dan pengerahan
massa dalam upacara /ritual penting merupakan wujud bagaimana
komunitas Bali Hindu mengaktualisasikan eksistensi identitas mereka.
Manifestasi politik identitas ini secara fisik (kasat mata) – sebagai upaya
mendapatkan pengakuan dari khalayak akan eksistensi identitas etnis dan
kepercayaannya – tidak bisa dinilai secara naif bahwa kesolidan komunitas
Bali itu didasarkan atas satu kesatuan atau keseragaman identitas di dalam
komunitas itu. Dengan kata lain, komunitas Bali di Lampung sama seperti
layaknya di Bali yang dikesankan dengan keeksotisannya sebagai surga
dunia, yang di dalam komunitas tersebut seolah-olah tidak terjadi apa-apa,
hidup rukun, tenteram, dan (pastinya) tidak ada konflik / pertentangan
“Soateng ” adalah sebutan bagi daerah-daerah yang berada di luar kota (Bandar
Lampung). Dapat diartikan di daerah perkampungan atau pelosok.
152

117

antar kelompok di dalam komunitas itu. Seperti kasus di komunitas Bali
Hindu di Desa Balinuraga – satu desa dengan tujuh banjar (dusun) yang
mayoritas adalah Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida – memiliki
kesan sebagai Desa Bali dengan identitas Bali-nya yang kental, terutama
sebagai masyarakat yang penuh harmoni. Pandangan, penilaian, ataupun
kesan yang mendalam bagi sebagian masyarakat Lampung bahwa
komunitas Bali Hindu memiliki satu identitas yang sama dapat dikatakan
keliru. Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya etnis Bali Hindu
di Lampung – meskipun sudah bertransmigrasi ke luar Bali – tetap
membawa dan mempertahankan identitas leluhurnya (kawitan), di mana
setiap kelompok memiliki identitas leluhur (klan, dalam Bali biasa disebut
warga , soroh, dadia ) yang berbeda antara satu dan lain, dan tentunya
dengan tata cara dan adat istiadat yang berbeda pula, termasuk dalam
pelaksanaan beberapa upacara atau ritual adat dan keagamaan. Pulau Nusa
Penida sebagai tempat komunitas Bali Hindu ini berasal pun memiliki
karakteristik yang juga berbeda dengan komunitas Bali Hindu
(transmigran) lainnya. Dengan kata lain, komunitas Bali Hindu di dalam
Desa Balinuraga mempunyai identitas beragam (bukan identitas tunggal)
yang didasarkan atas identitas leluhurnya. Konsekuensinya – dengan
identitas leluhur yang beragam ini – adalah pertentangan antar kelompok
(klan/w

Dokumen yang terkait

RESOLUSI KONFLIK BERBASIS GOOD GOVERNANCE STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

7 54 98

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Konflik Warga Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan)

0 12 92

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB II

1 1 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB III

1 2 52

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB V

0 0 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI

0 0 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VII

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 41