Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

Lampiran 1: Metode Penelitian
Mendamaikan Pusat dan Satelit
Meneliti Bali di luar Bali – dalam penelitian ini mengenai identitas
kebalian pada kasus komunitas Bali Nusa di Balinuraga – tidak dapat
dilepaskan dari hubungan Bali di luar Bali sebagai sebuah negara satelit
dan Bali sebagai negara pusat. Seperti yang dikemukakan Geertz (1959)
bahwa masyarakat Bali memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah
kelahirannya, di mana terikat dengan sistem sosial di dalamnya 272. Ikatan
ini menjadi gravitasi lintasan orbit negara pusat dan satelit yang
menjadikan hubungannya bersifat mengikat. Oleh karena itu, penelitian ini
tidak hanya terpumpun pada Balinuraga sebagai sebuah satelit, tetapi juga
turut mengkaji Bali dan Nusa Penida secara umum. Bagaimana pun,
Balinuraga sebagai satelit tidak dapat dilepaskan dan selalu berhubungan
dengan pusatnya, termasuk ikatan sejarah di dalamnya. Dalam penelitian
ini, dua hal yang perlu dilakukan untuk “mendamaikan pusat” agar dapat
mengkaji satelit (Balinuraga) secara komprehensif adalah melakukan
penelitian lapangan di Bali dan Nusa Penida, dan penelitian kepustakaan
(dengan berbagai keterbatasan), khususnya kesejarahan dan hasil-hasil
penelitian para peneliti Bali.

Narasi Singkat Proses Penelitian

Berawal dari Sebuah Ketertarikan
Berawal dari sebuah ketertarikan. Ini merupakan landasan utama
yang mendorong penelitian Kampung Bali atau komunitas Bali Hindu
yang ada di Lampung. Bermula di tahun 1997 ketika untuk pertama kali
mengunjungi Bali sebagai seorang wisatawan domestik. Saat itu penulis
masih duduk di bangku SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) kelas
dua. Rasa kagum dan ketertarikan mendalam atas (kebudayaan) Bali

272

Dalam kasus transmigrasi orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah), Davis
(1976: 19) menyebutkan secara implisit kuatnya ikatan orang Bali terhadap tanah
leluhurnya dengan menyebutkan bahwa “sebagian besar orang Bali meninggal
dunia hanya beberapa kilometer dari tempat mereka lahir”.

477

semakin menguat setelah melihat langsung dan mengunjungi Bali dengan
keindahan alam dan keeksotisan budayanya melalui atraksi-atraksi
kesenian yang dipentaskan bagi wisatawan – meskipun apa yang dilihat

dan disaksikan sebenarnya hanya sebagian kecil dari kebalian itu sendiri,
namun bagi seorang anak SLTP yang belum genap dua tahun melepaskan
diri dari bangku Sekolah Dasar (SD), ini merupakan sebuah pengalaman
sulit dilupakan. Bagaimana tidak? Dari apa yang dibaca penulis di bangku
SD dan SLTP dalam sebuah buku teks sejarah – setelah di bangku
pendidikan tinggi baru menyadari bahwa sebagian (besar) buku teks
sejarah tersebut, karena diandili oleh Pemerintah Orde Baru yang
merupakan rezim berkuasa di saat penulis duduk di bangku SD dan SLTP,
banyak terdapat pengaburan fakta sejarah, dan tampaknya semua sejarah
itu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja (datar, kaku, dan statis) –
bahwa Bali menjadi sebuah wilayah Hindu atau sisa (-sisa) atau warisan
Kerajaan Hindu Jawa, kini (1997) dapat dilihat dan disaksikan sendiri
eksistensinya sebagai sebuah paradise. Ya, Bali merupakan sebuah pulau
dengan kebudayaan (dan masyarakatnya) yang sangat mengagumkan:
sebuah penilaian dari seorang kelas dua SLTP. Berselang dua bulan dari
tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang Bali
Hindu di Lampung – mengunjungi kampungnya (biasa disebut Kampung
Bali) di wilayah Lampung Selatan. Sebuah ketakjuban bagi seorang remaja
bercelana pendek warna biru tua ketika melihat, ternyata, “ada Bali di
Lampung”. Apa yang telah dilihat dan disaksikan di Bali, ternyata ada dan

tidak jauh berbeda dengan Bali yang ada di Lampung. Masih kuat ingatan
atas Bali yang belum lama dikunjungi (dan masih ada keinginan untuk
kembali bertamasya ke sana), kini melihat Bali di Lampung yang identik
dengan Bali di Bali. Ketika itu penulis berseloroh (selorohan anak SLTP),
sebenarnya, jika hanya ingin melihat Bali, maka di Kampung Bali (di
Lampung) itu sudah cukup.
Berangkat dari pengalaman tersebut, sejak saat itu, penulis selalu
dihantui kapankah bisa menilik lebih jauh (dan menulisnya) tentang
kebalian “Orang Bali di Lampung”. Apakah ada kesempatan bagi penulis
untuk meneliti dan menulisnya jika duduk di bangku perguruan tinggi?
Tentu, kesempatan itu belum penulis dapatkan ketika duduk di strata satu,
karena jurusan yang dipilih adalah ekonomi manajemen – tentunya,

478

memiliki keterkaitan yang relatif jauh dan menjadi naif jika dipaksakan
dengan penelitian mengenai orang Bali yang kental dengan studi etnografis
dihubungkan dengan manajemen. Kesempatan tersebut akhirnya baru
didapatkan setelah penulis melanjutkan ke jenjang strata dua. Ketika itu
penulis mendapatkan kesempatan – dengan dukungan beberapa staf

pengajar Magister Studi Pembangunan, khususnya TEN yang pernah
menjadi penguji penulis di strata satu dan KUT selaku pembimbing utama
(saat ini KUT dan TEN menjadi promotor dan ko-promotor penulis) –
untuk meneliti orang Bali di Lampung. Meskipun kesempatan tersebut
telah dimanfaatkan dengan cukup baik, sebenarnya penulis sama sekali
belum merasakan kepuasan batin, karena lokasi penelitian Kampung Bali
berada di wilayah Lampung Tengah. Mengapa? Pandangan pertama yang
menyebabkan “cinta lokasi” atas Kampung Bali di Lampung Selatan masih
melekat kuat dan tidak dapat dilepaskan dari pikiran penulis. Di samping
itu, apa yang telah penulis teliti dan tulis di jenjang strata dua tersebut
masih banyak kekurangan. Belum ada pengalaman yang mumpuni untuk
melakukan penelitian lapangan – sesuatu yang belum didapatkan di
jenjang strata satu. Tekad untuk meneliti dan menulis tentang orang Bali di
Lampung memantapkan penulis untuk tetap mencoba hal baru di bidang
penelitian lapangan, meskipun lokasi penelitian masih belum sesuai
dengan keinginan (karena ada di Lampung Tengah, bukan Lampung
Selatan) dan pengetahuan yang masih sangat minim mengenai Bali. Atas
dasar hasil penelitian dan tulisan di jenjang strata dua tersebut, penulis
masih berkeinginan untuk menebus berbagai kekurangan atas penelitian
dan tulisan sebelumnya. Kepuasan belum didapatkan, dan selalu

dihinggapi berbagai pertanyaan di benak penulis, bagaimana
menjadikannya lebih baik – meskipun kesempurnaan dalam sebuah
penelitian dan tulisan relatif mustahil untuk diraih untuk seorang peneliti
amatiran seperti penulis. Kesempatan kedua akhirnya didapatkan ketika
penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang strata
tiga – sebuah kesempatan tak-tertuga karena diizinkan oleh orang tua
sebagai pemberi dana untuk melanjutkan studi ke jenjang strata tiga.
Melalui kesempatan kedua ini, penulis berusaha untuk mewujudkan agar
bisa meneliti Kampung Bali di Lampung Selatan, sekaligus menutupi
berbagai kelemahan pada penelitian dan tulisan sebelumnya – meskipun

479

rasa puas belum tercapai dan rasa penasaran tetap ada (dan cenderung
semakin besar).

Menuju Lokasi Penelitian
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Kampung Bali
di Lampung Selatan relatif lebih sulit, yaitu: Bagaimana, seperti apa,
melalui apa dan siapa, kapan waktu yang tepat, agar penulis bisa mencapai

dan masuk ke lokasi penelitian? Permasalahan utamanya adalah bagaimana
mendapatkan akses dan informasi agar penulis bisa masuk ke lokasi
penelitian dan menemukan informan kunci yang mumpuni. Ini menjadi
ketakutan yang selalu mengganggu: Bisakah masuk ke sana, jika tidak,
kapan lagi waktu yang tepat menghilangkan sebagian kecil dari rasa
penasaran ini? Jika pada penelitian sebelumnya sudah memiliki akses yang
tepat untuk masuk ke salah satu Kampung Bali di Lampung Tengah, maka
pada penelitian ini penulis belum memiliki akses tersebut. Tekad sudah
bulat, penulis harus bisa masuk ke sana, ini adalah kesempatan terakhir
untuk menuntaskan keingintahuan yang menghantui sejak tahun 1997.
Pintu masuk itu mulai sedikit terbuka di tahun 2007 (sepuluh tahun
sejak 1997), ketika penulis berjumpa secara tidak sengaja seorang kakak
kelas di bangku SMU (Sekolah Menengah Umum). Kebetulan, tempat
tinggalnya tidak jauh dari lokasi penelitian yang akan menjadi lokasi
penelitian. Bermula pada sebuah basa-basi, akhirnya kakak kelas tersebut –
yang merupakan Jawa-Lampung pemeluk Nasrani – memberikan akses
untuk masuk ke lokasi penelitian, dan mau menyediakan waktu bagi
penulis agar bisa bertemu dengan seseorang sesepuh Bali melalui ayahnya
yang seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang nantinya bisa
menghubungkan penulis dengan sesepuh Bali lainnya di lokasi penelitian

tertuju.
Tri semester pertama tahun 2008 penulis berhasil menemui
seorang sesepuh Bali di Lampung Selatan yang bisa menghubungkan
penulis dengan sesepuh Bali yang ada di lokasi penelitian. Ketika itu,
sebenarnya, penulis masih ragu dan belum bisa memutuskan apakah akan
melanjutkan ke strata tiga, tetapi, pencarian ini tidak serta-merta
dikarenakan untuk penelitian lanjutan, melainkan pemuasan rasa penasaran
di waktu yang lalu akan Kampung Bali di Lampung Selatan – dan memang

480

pada akhirnya, menjadi sangat berguna setelah memutuskan untuk
melanjutkan studi ke jenjang strata tiga dengan melanjutkan penelitian
sebelumnya.

Terbukanya Relasi
Tidak ada keistimewaan khusus ketika mencari dan mendapatkan
akses ke lokasi penelitian. Butuh waktu dan kesabaran agar jaringan
informasi dan relasi itu benar-benar terpintal dengan rapi. Penulis hanya
seorang mahasiswa biasa “non-job”, tidak mewakili satu institusi tertentu –

kecuali universitas tempat penulis berstudi, yang identitas ke-Kristennannya sengaja penulis sembunyikan karena hal-hal yang sangat
fundamental dan etis terkait objek penelitian.
Satu pernyataan penulis yang membuat mereka (para penghubung
informan kunci dan informan kunci) heran adalah bahwa penulis sangat
tertarik dengan Orang Bali di Lampung. Bagaimana tidak mengherankan
bagi mereka. Bagaimana mungkin, seorang (anak muda) Tionghua
mempunyai ketertarikan meneliti Orang Bali di Lampung – sebuah
keheranan yang penulis dapatkan pada penelitian sebelumnya. Bukankah
orang Tionghua di Lampung lebih banyak berdagang, cenderung eksklusif
dengan sesama Tionghuanya (sebagian memiliki relasi sosial yang baik
dengan sesama non-Tionghua, sebagian lainnya tidak). Bukankah – seperti
pada umumnya anak muda Tionghua di perkotaan Lampung – lebih
menyibukkan diri dengan materi (mengumpulkan kekayaan), bukan
mencari data seperti yang dilakukan penulis. Keironisan ini yang
menyebabkan mereka menjadi lebih terbuka – dan cukup senang – bahwa
ada orang lain di luar komunitasnya – terutama seorang muda Tionghua –
mau mengkaji Orang Bali di Lampung, bukan mencari perlindungan mistik
atau pun hal-hal yang bersifat klenik penunjang bisnis.

Kesederhanaan

Pertama kali ke lokasi penelitian, penulis menggunakan mobil
pribadi, karena berbagai macam pertimbangan. Kedua kali dan seterusnya,
penulis menggunakan angkutan umum (bis antar kota dalam propinsi dan
ojek sepeda motor) untuk ke lokasi penelitian. Tidak ada laptop atau pun
perekam suara yang disertakan, kecuali sebuah kamera sederhana dan

481

seperangkat catatan saku kecil (sebuah catatan saku dan pena). Laptop atau
perekam suara – berdasarkan pertimbangan dan pengalaman penulis –
sedikit banyak akan menimbulkan kecanggungan yang cukup
mengkhawatirkan saat melakukan wawancara. Kesederhanaan dalam
penampilan273, khususnya busana dan penggunaan alat elektronik, sangat
menunjang agar lebih dekat dengan mereka, dan mereka lebih mudah
untuk mendekatkan diri, karena tidak ada gap teknologi yang (dapat)
dianggap sebagai sebuah gap sosial dan ekonomi.

Membangun Kepercayaan
Sebagai seorang asing, tentunya pertama kali tidak ada tawaran
menginap atau pun menawarkan diri untuk menginap di lokasi penelitian.

Penulis datang sebagai seorang peneliti dan orang asing yang tidak
memiliki sebuah otoritas atau wewenang – bukan seorang pejabat, anak
penjabat, menantu orang penting dari Orang Bali yang memiliki
kedudukan penting, dan lain-lain, seandainya pun ada, tapi kenyataannya
tidak ada, penulis pasti akan menyembunyikan identitas otoritas tersebut –
yang memaksa mereka untuk mengizinkan menginap ketika datang
pertama kali, dan ini bukan sesuatu yang diharapkan dan memang tidak
terjadi. Relasi atau hubungan yang dekat tidak tercipta secara instan, harus
ada sebuah proses yang berkesinambungan dalam proses komunikasi
sampai akhirnya hubungan yang dekat itu benar-benar terbentuk secara
alamiah. Ini sesuatu yang penting bagi peneliti dalam melakukan penelitian
lapangan – jika bisa, hubungan itu sebaiknya dimulai dari nol, mulai dari
saling mengamati dan membaca situasi-kondisi antara penulis dengan
objek penelitian (penjajagan), begitu juga sebaliknya, sampai ada kesalingmengertian dan ketulusan di antara kedua-belah pihak: informasi yang
diberikan “apa adanya” bukan “ada apa-apanya”.
273

Kaus lama (usang) dan celana pendek, sandal jepit, sebuah telepon seluler jadul
(jaman dulu atau keluaran lama), dan ransel usang menjadi teman penampilan
penulis di lokasi penelitian. Dengan penampilan seperti itu dan tujuan yang cukup

nyeleneh bagi mereka (meneliti Orang Bali di Lampung) karena penulis seorang
Tionghua, mereka (sambil bercanda) menyebut penulis sebagai “Cina Edan” (bisa
diartikan sinting, stress, kere, atau setengah waras seperti seorang vietkong dalam
Perang Vietnam, karena bukannya berdagang tapi meneliti).

482

Bagaimana pun, objek penelitian adalah sesuatu yang hidup, harus
diperlakuan dengan manusiawi, bukan untuk dieksploitasi hanya untuk
kebutuhan data semata. Hubungan komunikasi selalu dibina. Setidaknya
setelah empat sampai lima kali kunjungan ke lokasi penelitian, rasa curiga
dan saling mengawasi sudah mencair. Tawaran meningap sudah diberikan.
Ini bukan berarti pada kunjungan kedua sampai keempat belum ada
tawaran menginap, namun, jika jeli, tawaran menginap ada yang sekedar
basa-basi, tapi ada juga yang rela hati. Tawaran yang rela hati itu ada
setelah rasa kepercayaan itu muncul – sebuah kepercayaan yang tidak
mungkin muncul hanya satu sampai tiga kali kunjungan.
Rasa kepercayaan itu semakin menguat setelah masuk ke dalam
aktivitas mereka. Seperti mengikuti dengan seksama dan terlibat dalam
beberapa upacara penting yang mereka lakukan. Dalam beberapa
kesempatan pada upacara tertentu dapat disaksikan kondisi trans dari
beberapa peserta upacara. Sebuah pengalaman yang menegangkan ketika
pertama kali melihat adegan tersebut.
Untuk penelitian kualitatif, rasa kepercayaan ini mejadi sangat
penting, terutama untuk mendapatkan informasi atau fakta yang
sesungguhnya – khususnya hal-hal yang bersifat tidak-mengenakkan,
seperti konflik atau pertentangan yang ada di internal komunitas mereka.
Tanpa ada rasa kepercayaan, bisa saja, informasi yang
disampaikan hanya yang baik-baik saja, cenderung datar, statis, seolaholah komunitas ini haromis (damai), tidak ada gesekan-gesekan kecil atau
besar di dalamnya. Realitas ini yang sebenarnya harus ditangkap dan
dicermati (ditafsirkan).
Ketika rasa kepercayaan ini muncul dan tumbuh, penulis tidak lagi
dianggap sebagai orang asing, tetapi sudah dianggap seperti orang dalam
atau keluarga besar dalam komunitas tersebut – dengan tetap secara hatihati mencermati dan menjaga posisi independen penulis sebagai peneliti
berkaca pada realitas yang ada dalam relasi hangat antar kelompok di
dalam komunitas ini: tidak mencampuri permasalahan internal mereka,
atau lebih tepatnya, tetap menjadi pendengar dan pengamat yang baik dan
kritis.
Penting pula untuk menjaga dan membina rasa kepercayaan
tersebut dengan saling mengerti dan memahami karakter masyarakat yang

483

ada di lokasi penelitian. Ini menjadi sangat penting agar jangan sampai ada
kesalahan kecil – karena tidak mengetahui karakteristik mereka – dapat
menyinggung perasaan mereka yang berdampak pada runtuhnya rasa
kepercayaan itu. Karakter tersebut ada yang bersifat relatif baik dan buruk
– tergantung dari sudut pandang melihatnya – jika ini sudah diketahui dan
dapat dikelola dengan baik, maka rasa percaya itu semakin kuat, bahwa
penulis (mungkin) sedikit-banyak sudah tahu adat istiadat atau kebiasaan
mereka, dan bersikap terbuka. Misalnya, tetap bersikap biasa-biasa saja
atau cuek – seperti tidak terjadi apa-apa – jika melihat mereka
(diantaranya) bermain kartu atau melihat babi yang berkeliaran bebas di
jalan atau pekarangan rumah. Hal penting lainnya adalah jika bisa
mengetahui asal asul klan atau leluhur mereka, sejarahnya, atau pun
mengetahui (secara garis besar filosofi, bukan secara detail seperti
permasalahan teknis dan prosedural) hakikat dari beberapa upacara atau
ritual penting yang biasa mereka selenggarakan, dan mampu
menjelaskannya secara singkat– bukan sok mengajari atau sok tahu –
berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber tertulis.

Tanpa Sponsor
Proses pengumpulan data – mulai dari tahap awal mencari akses
masuk ke lokasi penelitian sampai akhirnya diterima di dalam komunitas
tersebut – dilakukan sendiri. Penulis tidak melibatkan asisten peneliti, atau
orang lain untuk menemani selama proses penelitian (pengumpulan data)
di lokasi penelitian, serta menggunakan nama besar dari satu otoritas
tertentu. Termasuk dana penelitian.
Biaya penelitian ini mengandalkan penyisihan (tabungan yang
jumlahnya relatif kecil) uang saku. Jika jumlahnya sudah cukup, maka
penelitian dilakukan. Penelitian ini tidak ada sponsor dari pihak atau
lembaga manapun, kecuali mengandalkan bantuan dana dari orang tua.
Toh, penulis pun memang sangat tertarik dan menikmati proses penelitian
ini – sebuah impian yang baru bisa terrealisasi setelah duduk di bangku
pendidikan tinggi agar bisa meneliti orang Bali di Lampung. Jadi, tidak
menjadi masalah jika harus berhemat untuk mengumpulkan uang
penelitian agar bisa ke lokasi penelitian dan membeli sejumlah buku.

484

Untuk penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali, penulis
mendapatkan bantuan dari beberapa teman sejawat, yang sedikit-banyak
mengetahui akses ke daerah ini dan mau meluangkan waktu, tenaga, dan
dana bagi penulis.

Pengumpulan Data Lapangan
Setidaknya ada dua proses utama dalam proses pengumpulan data
lapangan, yaitu observasi dan wawancara mendalam. Proses ini selalu
dilakukan dengan seksama, hati-hati, dan kritis. Jangan sampai terlena
dengan fatamorgana dalam sebuah “teks” yang ada di lokasi penelitian.
Beberapa kali kunjungan awal, penulis lebih banyak melakukan observasi.
Tujuan pentingnya adalah membaca situasi – termasuk yang tidak kalah
penting adalah melihat reaksi dari objek penelitian: apakah mereka benarbenar sudah menerima penulis dengan kerelaan hati untuk melakukan
proses penelitian (dan pengambilan data).
Wawancara mendalam baru benar-benar tereealisasi secara
maksimal setelah rasa kepercayaan itu muncul – dengan demikian, tidak
ada informasi yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan, kecuali hal-hal
tertentu yang secara etis harus penulis jaga. Saat wawancara mendalam,
tidak ada alat perekam atau menyibukkan diri dengan dokumentasi –
keduanya benar-benar sangat mengganggu jika dilakukan saat wawancara
mendalam. – dan pencatatan dilakukan di malam hari. Informan menjadi
merasa tidak nyaman. “Secangkir kopi dan sebatang rokok” justru jauh
lebih menjadikan mereka lebih merasa nyaman bercerita dan berdiskusi
serius, daripada alat perekam, laptop, telepon seluler, atau pun kamera
digital. Seperti apa mereka merasa nyaman dalam bercerita dan berdiskusi:
ini yang penulis ikuti.
Setiap kali melakukan wawancara mendalam, penulis selalu
mencermati situasi dan kondisi para informan. Hal yang paling mudah
adalah dengan mencermati mimik muka. Jika mimik mukanya cerah, maka
ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan wawancara mendalam –
tentunya, dengan menyertakan “secangkir kopi dan sebatang rokok”. Jika
mimik mukanya sedang gelap, maka penulis tidak memaksakan diri untuk
melakukan wawancara mendalam. Kesabaran sangat diperlukan jika
menghadapi situasi seperti ini.

485

Cross-check data atau triangulasi harus tetap dilakukan. Tidak
semua informasi yang diberikan benar-benar akurat, atau terkadang, bisa
saja berdasarkan atau bernuansakan perspektif pribadi (jika suasana
informan sedang emosional). Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Cara sederhananya adalah
dengan menggunakan mimik anak kecil yang polos, seperti tidak tahu apaapa, tetapi tetap dengan menggunakan cara yang elegan: sama sekali tidak
merugikan antar pihak.
Setiap kali selesai penelitian, hal yang selalu dilakukan adalah
mempelajari lagi data atau pun informasi yang sudah didapatkan.
Tujuannya adalah untuk mempertajam pertanyaan penelitian berikutnya,
data atau pun informasi yang terlewat atau belum didapatkan. Sepertinya
mustahil dalam satu waktu penelitian semua data atau pun informasi
berhasil diraih dan sesuai dengan transkip wawancara yang sudah disusun
dengan apik. Agar ketajaman tersebut tercapai, penulis mencermati kasuskasus riil yang ada, pelajari dengan seksama, dan kritisi. Melalui ini
(kasus-kasus di lapangan) realitas dapat ditangkap capture – seperti sebuah
kamera menangkap sebuah gambar atau objek bidikan, kemudian hasil
cetakannya bisa diinterpretasi oleh si pembidik. Di samping itu, penulis
juga melakukan perbandingan atau pun menambah ketajaman pertanyaan
penelitian dengan hasil penelitian orang lain yang dinilai penad.
Rangkaian proses ini terus-menerus penulis lakukan sampai benarbenar merasa puas dan cukup – butuh waktu yang lama dan kesabaran,
terkadang lelah dan frustasi, sampai-sampai melewatkan beberapa agenda
dari program studi. Rangkaian proses yang panjang ini yang menjadikan
penulis menjadi benar-benar sendiri dan mengurung diri – dengan berbagai
konsekuensi yang tidak mengenakkan atas sikap ini, seperti dinilai
sombong oleh rekan-rekan sejawat, atau dinilai tidak melakukan apa-apa
atau no-progress.

Penelitian Singkat di Nusa Penida, Bali
Untuk melengkapi penelitian mengenai identitas Bali Lampung,
penulis melakukan penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali. Ini
menjadi sangat penad dikarenakan peneliti harus mengetahui tempat asal
(tanah leluhur) objek penelitian yang berasal dari Nusa Penida perihal

486

identitas kebalian mereka. Penelitian ini sifatnya sebagai pelengkap yang
memperkaya penelitian mengenai identitas kebalian Bali Lampung.
Melaluinya melakukan cross-check bisa dilakukan atas data dan informasi
yang telah terkumpul dari lokasi penelitian di Lampung mengenai Nusa
Penida, Bali.

Etika
Hal lain yang perlu disampaikan – meskipun terkadang sering
diabaikan – adalah pengambilan gambar dan video. Setiap kali akan
mengambil gambar dari sebuah objek atau kegiatan dan merekamnya
dalam sebuah video, penulis mengusahakan terlebih dahulu meminta izin
dari pihak bersangkutan. Meskipun mayoritas mengizinkan, namun ada
juga yang tidak mengizinkan – biasanya merasa tidak nyaman jika difoto
atau direkam aktivitasnya. Jika tidak diizinkan, maka penulis sama sekali
tidak melakukan pengambilan gambar atau video, meskipun teknologi dari
kamera yang digunakan memungkinkan untuk melakukan pengambilan
secara diam-diam. Terkadang, penulis sengaja diundang untuk
mengabadikan beberapa kegiatan penting dan diberi kebebasan untuk
mengambil gambar dan video. Kemudian, semua foto atau pun video yang
berhasil diperoleh diserahkan soft-file-nya kepada komunitas ini. Biasanya
sesaat sebelum meninggalkan lokasi penelitian, penulis menyempatkan
waktu untuk menggandakan file-file tersebut pada satu atau dua komputer
yang ada di dalam komunitas ini. Jika di antara mereka ada yang ingin
melihat, mencetak foto, atau menonton video rekaman, maka mereka bisa
mendapatkannya di komputer tersebut. Oleh karena itu, setiap foto yang
disertakan dalam disertasi ini turut dimiliki oleh mereka. Salah satu tujuan
utamanya adalah agar masyarakat di komunitas ini percaya dan tidak
curiga atas aktivitas pengambilan gambar dan video yang penulis lakukan,
dan mereka bisa turut menikmati hasilnya.

Penutup
Pada akhirnya proses penelitian ini, termasuk membaca dan
merenung, harus diakhiri pada satu titik tertentu. Jika tidak, maka tidak ada
tulisan yang berhasil (selesai) ditulis. Jika terus digali, maka data pun tidak
akan ada habisnya. Dia akan selalu ada, terus ad dan selalu ada, selama si

487

objek penelitian masih hidup. Perlu ketegasan dan kerelaan hati untuk
memutuskan berhenti pada titik tersebut. Rangkaian proses penelitian ini
(metode penelitian) dikembangkan dan digunakan berdasarkan gaya (style)
personal penulis sebagai peneliti amatir yang dalam prosesnya dilakukan
banyak penyesuaian terhadap objek yang diteliti. Walaubagaimana pun
sebuah metode penelitian tidak bisa dibakukan sebaku-bakunya dalam
bentuk teknis yang sangat kaku dan berlaku universal untuk setiap lokasi
dan objek penelitian – setiap objek dan peneliti memiliki karakteristik unik
tersendiri yang tidak bisa diabaikan, dan terkadang tidak sesuai dengan
buku-buku teks metode penelitian – kecuali hal-hal teknis yang bersifat
umum.

Gambar 71. Penulis di Pura Kawitan
(Sumber: Yulianto, 2008)

488

Gambar 72. Berbusana Adat Sesaat Selesai Mengikuti Upacara Galungan
2009
(Sumber: Yulianto, 2009)

Gambar 73. Penulis Bersama Salah Satu Keluarga Tokoh Balinuraga saat
Hari Raya Galungan 2009
(Sumber: Yulianto, 2009)

489

490

Lampiran 2: Bagan Silsilah Warga
Keturunan Mpu Withadarma
(Sumber: Soebandi 2003)
Mpu
Withadarma
Mpu Bhajrastawwa
(Mpu Wuradharmma)

Mpu Dwijendra
(Mpu Rajakretha)
Bukbuksah

Mpu Lampita
Brahmawisesa

Mpu
Gnijay
a

*

Mpu
Sumer
u

Mpu
Ghana

Mpu
Kutura
n

Bhatari
Dewi
Manik

Mpu
Saguna

Mpu Ketek
(1)
Mpu Kanada
(2)
Mpu
Wirayadnya (3)

Mpu
Bradah

Mpu Kamareka
Leluhur Pasek
Kayu Selem
dan
Keluarganya

Mpu
Gandrin
g

Ki Lurah KaPandéan
(Leluhur Wong
Bang Pandé Wesi)

Mpu
Withadarmma
(4)

Mpu
Ragarunting (5)

Diah Ratna
Manggali Menikah
dengan Mpu Bhula
Putra Mpu Bradah

Mpu Prateka
(6)
Mpu Dangka
(7)

491

Keterangan:
*
:
1-7
:
anak dari Mpu Gnijaya
Brahmawisesa
:
Mpu Withadarma
:

492

Menikah
Sang Sapta Rsi (leluhur Warga Pasek)
leluhur Warga Pandé
Leluhur Warga Pasek dan Pandé. Sebutan
lain Mpu Withadarma dalam Babad Pandé
adalah Danghyang Bajra Satwa (ring
Keling)

Silsilah Leluhur Pandé di Bali
(Sumber: Ramayadi 2000)
Dang Hyang Bajra
Satwa

Dang Hyang
Dwijendra Rajkrta

Dang Hyang
Tanuhun

Mpu
Gnijaya

Mpu
Semeru

Mpu
Gana

(Leluhur
Pasek)

Mpu
Bharadah

Mpu
Kuturan

Bubuksah

Gagakaking

Mpu Brahma
Wisesa

Mpu Jaya Saguna
(ring Tumapel)

Mpu Brahma Kaja

Mpu Lurah
KePandéan

Diah Kencana
Wati

Brahma
Rare Sakti

Bang Lurah KePandéan
Tusan

Ki Capung
Mas

Brahmana
Dwala

Arya Pandé
Wulung

Mpu S‟wa
Saguna

Mpu Gandring

Arya Pandé
Wulung

Kyayi Putih
Dahi

Pandé
Kamasan

Kyayi
Tatasan

Kyayi
Tusan

Kyayi Pandé
Grondong
Ki Pandé
Tatasan
Pandé
Wana

Pandé
Tonjok

Ni
Pandé

Arya
Danu

Ki Pandé
Satwa
Wangke
Maong

Arya
Suradnya

Ki Pandé
Taman
Ayun

Ki Pandé
Bungbun
gan

Ki
Pandé
Sesana

Ki
Pandé
Bang

Ki
Pandé
Anom

493

Keterangan:
Kotak bergaris hitam tebal adalah garis silsilah leluhur Warga
Pandé.

494

Lampiran 3: Lampung
Membahas mengenai masyarakat Bali Hindu di Lampung menjadi
tidak lengkap jika tidak disertakan (terlebih dahulu) gambaran umum
mengenai Lampung itu sendiri. Karenanya, dalam sub-bab ini – untuk
memberikan gambaran umum Lampung – penulis memberikan uraian
singkat mengenai sejarah Lampung (dari masa ke masa) dan masyarakat
Lampung dengan bersumberkan data sekunder274. Gambaran umum
mengenai Lampung akan menjadi antara untuk membahas komunitas
masyarakat Bali Hindu di Lampung (kasus masyarakat Bali Hindu Nusa
Penida di Desa Balinuraga).

274

Ada pun yang menjadi acuan dalam uraian singkat (gambaran umum)
mengenai Lampung sebagai berikut:
 Hadikusuma, Hilman. (1978), Sejarah dan Adat Istiadat Lampung, Tanjung
Karang: F.H. Unila.
 Probonegoro, KRT. A.A. (1940), Lampung Tanah Lan Tijangipun, Jakarta:
Balai Pustaka.
 Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas
Lampung.
 Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Ketiga), Teluk
Betung: Universitas Lampung.
 Sejarah Sosial Daerah Lampung Kotamadya Bandar Lampung, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984.
 Soebing, Abdullah A. (1983), Kedatuan di Bukit Keratuan di Muara: Catatan
ringkas tentang Lampung Sebuway, Bandar Lampung: Buway Subing.
 Soepangat. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas
Lampung.
 Soepangat. (1979), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Pertama), Teluk Betung:
Universitas Lampung.
 Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Bunga Rampai Adat
Budaya, No. 2 tahun 11.
Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Penyusunan Sejarah
dan Kebudayaan Lampung Historiografi Daerah Lampung, Tanjung Karang:
Proyek Peningkatan / Pengembangan Perguruan Tinggi Unila, 1915/1916.

495

Sejarah Singkat Lampung
Lampung sebagai salah satu wilayah di Nusantara memiliki masamasa yang kurang lebih sama dengan wilayah lainnya: masa pra-kolonial,
kolonial, dan pasca-kolonial. Pemilahan sejarah singkat Lampung
menggunakan pengelompokan tiga masa tersebut lebih ditujukan untuk
mempermudah pembahasan. Terdapat tiga masa yang telah dilalui
Lampung dalam perkembangan sejarahnya, yaitu (1) masa pra-kolonial
atau masa kerajaan-kerajaan; (2) masa kolonial atau masa Pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda; (3) dan terakhir, masa pasca-kolonial atau masa
Pemerintahan Republik Indonesia.

Lampung Masa Kerajaan-Kerajaan
Kerajaan pertama di Lampung – kemudian dikenal sebagai asal
mula wilayah / nama Lampung – yang termuat dalam catatan sejarah
adalah Kerajaan Tulang Bawang – yang kini merupakan wilayah dari
Kabupaten Tulang Bawang. Catatan sejarah ini ditulis oleh seorang
pengelana asal Negeri Tiongkok yang bernama Fa-Hien (atau biasa disebut
dengan nama “I Tsing”) pada pertengahan abad ke-IV masehi, yaitu pada
masa kekuasaan Dinasti Han. Ketika itu Fa-Hien sedang mengadakan
perjalanannya menyusuri pedalaman Sumatera dan singgah di sana untuk
beberapa waktu lamanya – setelah sebelumnya mengunjungai Kerajaan
Sriwijaya. Dalam perjalanan tersebut Fa-Hien mencatat bahwa kerajaan
makmur penghasil lada hitam tersebut bernama To-Lang P‟o-Hwang
(Bahasa Hokkian: salah satu bahasa Tiongkok yang digunakan suku
Hokkian) – disebut “Tulang Bawang”. Kata “To” berarti “orang” (person)
dan Lang P‟o-Hwang berarti “Lampung” (nama wilayah / daerah).
Berdasarkan catatan sejarah pada pertengahan abad ke-IV inilah, nama
Lampung atau wilayah Lampung dikenal. Atau dengan kata lain, wilayah
Lampung sudah mulai dikenal dalam interaksinya dengan kerajaan di luar
Sumatera. Kerajaan Tulang Bawang merupakan kerajaan Hindu sebelum
pengaruh Budhisme masuk di kerajaan ini di bawah pengaruh kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya. Pusat kerajaan Tulang Bawang diperkirakan berada di
sekitar daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang sampai daerah Pagar
Dewa. Pada masa itu, daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang
dikenal sebagai pelabuhan besar yang menghubungkan wilayah Lampung

496

atau Sumatera bagian Selatan dengan daerah luar pulau. Hal ini tidak
terlepas dari hasil alam daerah ini yang terkenal, lada hitam, yang menjadi
salah satu komoditi ekspor utama. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika daerah – berdasarkan catatan Fa-Hien – merupakan daerah yang
makmur, dan pada masa-masa berikutnya menjadi daerah strategis untuk
dikuasai oleh kerajaan-kerajaan lain yang lebih kuat, seperti Majapahit,
Sriwijaya, dan Banten.
Kerajaan tetangga yang memiliki pengaruh cukup kuat di masa itu
adalah Kerajaan Sriwijaya (kini berada di Provinsi Sumatera Selatan, dan
ibukota kerajaannya diperkiraan berada di sekitar Sungai Musi, atau
sekarang dikenal dengan Palembang, ibukota provinsi Sumatera
Selatan275). Kerajaan ini berdiri di penghujung abad ke-VII atau sekitar
tahun 675 Masehi, dan dikenal sebagai pusat studi penganut Budhisme
yang mempunyai hubungan yang erat dengan daerah Budhisme (sebuah
kompleks atau pemukiman biarawan atau biksu-biksu Budha) di Nalanda,
Bihar – yang pada masanya menjadi pusat studi agama Budha di India.
Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, dan sebuah kerajaan
Budha aliran Mahayana. Masa emas atau puncak kejayaan kerajaan ini
diperkirakan pada kurun waktu 860 – 1000 Masehi. Di masa-masa ini,
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dengan India, di mana
selama beberapa abad perdagangan di Selat Malaka dan kepulauan di
sebelah Timur hampir seluruhnya dimonopoli atau dikuasai oleh Kerajaan
(Dinasti) Tiongkok yang berkuasa. Hal ini menyebabkan Kerajaan Tulang
Bawang (wilayah Lampung) pada masa-masa itu berada di bawah
kekuasaan dan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya. Peninggalan sejarah
berupa Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil di daerah
Tanggamus merupakan bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-VIII. Ini membuktikan pada masa itu Kerajaan Sriwijaya sudah
berpengaruh atau memiliki kekuasaan di Lampung. Potensi alam Lampung
yang menjadi salah satu ketertarikan Kerajaan Sriwijaya untuk menguasai
wilayah Lampung, selain penghasil lada hitam, adalah emas dan damar. Di
bidang sosial, budaya dan keagamaan pada masa kekuasaan Sriwijaya,
275

Pada tahun 1027 Kerajaan Sriwijaya diserang mendadak oleh Dinasti Chola
India Selatan. Akibatnya ibukota kerajaan dipindahkan ke Jambi.

497

masyarakat Lampung didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha. Peradaban
Hindu berasal dari Kerajaan Tulang Bawang sebelum berada di pengaruh
Kerajaan Sriwijaya, sedangkan peradaban Budha mulai berpengaruh
setelah Sriwijaya menguasai Tulang Bawang.
Pasca kejatuhan Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1024 – 1025,
wilayah Lampung lambat laun mulai dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang
berasal dari Pulau Jawa. Upaya menghancurkan Kerajaan Sriwijaya oleh
kerajaan tetangga dari Pulau Jawa dimulai pada masa kekuasaan Raja
Airlangga (Erlangga) yang berpusat di Jawa Timur sekitar tahun 1006
masehi. Namun, serangan mendadak yang menghancurkan kekuasan
Sriwijaya adalah serangan mendadak oleh Dinasti Chola di Sumatera
dalam kurun waktu 1023-1068 masehi. Saat itu Airlangga berkoalasi
dengan Dharmawangsa setelah menikahi putrinya untuk menyerang
Sriwijaya. Kevakuman kekuasaan pusat (Sriwijaya) karena kejatuhannya,
menyebabkan Lampung mendapatkan pengaruh lebih besar dari kerajaan
tetangga di Pulau Jawa (sebelum kebangkitan dan kejayaan kerajaan Islam
di Jawa). Pengaruh dari kerajaan Jawa atas wilayah Lampung mencapai
puncak pada masa Kerajaan Majapahit, khususnya dikepemimpinan Patih
Gajah Mada (1331-1364) yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara.
Wilayah Lampung di masa berkuasanya Kerajaan Majapahit (berdiri tahun
1293 oleh Wijaya dan jatuh tahun 1527 setelah dikalahkan Kerajaan Islam
Demak) merupakan bagian dari wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1365
masehi wilayah Lampung sudah secara administratif sudah tercatat sebagai
bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, yaitu dengan menjadikan
Lampung sebagai wilayah simpanan (reserved area) bagi kekuasaan
(raja/pangeran) yang ingin membangun dan memapankan kekuasaan baru.
Pencatatan ini dilakukan oleh Prapanca di dalam kitab Negarakertagama.
Bukti sejarah berkuasanya Majapahit di wilayah Lampung adalah melalui
arca di daerah Pugungraharjo yang diperkirakan didatangkan dari Jawa
Timur, pusat Kerajaan Majapahit. Arca tersebut mirip dengan
Prajnyaparamita yang merupakan lambang permaisuri Kerajaan Majapahit.
Penamaan daerah-daerah di Lampung seperti Belambangan Umpu, Jabung,
Kuripan, Canggu dan lain-lain, yang merupakan nama-nama daerah di
Jawa Timur dari Kerajaan Majapahit, masih dapat dijumpai sampai

498

sekarang di wilayah Lampung, menjadi salah satu bukti bahwa Majapahit
pernah berkuasa di Lampung.
Kehancuran Kerajaan Majapahit setelah ditaklukan Kesultanan
Demak pada tahun 1527 menjadi titik tolak masuknya pengaruh peradaban
Islam dari Kerajaan Islam Banten. Berdasarkan Piagam Bojong diketahui
bahwa Lampung mulai dikuasai Kesultanan Banten sekitar tahun 1500
sampai 1800 masehi. Keinginan Banten untuk menguasai Lampung
disebabkan karena Lampung merupakan penghasil lada hitam. Sebuah
komoditas perdagangan yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan
internasional pada masa itu. Untuk mendapatkan lada hitam, VOC
(Vereenigde
Oost-Indische
Compagnie) yang
baru memulai
perdagangannya di Nusantara pada tahun 1400, membelinya dari Banten
dengan harga yang lebih tinggi. Setelah VOC mengetahui bahwa Banten
membeli lada hitam dari Lampung dengan harga yang lebih murah, VOC
berambisi mengambil alih monopoli perdagangan lada hitam yang dikuasai
oleh Banten. Keinginan VOC untuk menguasai perdagangan di wilayah
Lampung baru terealisasi di tahun 1682. Ketika itu Sultan Haji, anak dari
Sultan Agung Tirtayasa, berhasil mengambil alih kekuasaan ayahnya
dengan bantuan dari pihak VOC pada tanggal 7 April 1682. Sebagai
imbalannya, berdasarkan surat perjanjian tanggal 27 Agustus 1682, Sultan
Haji menyerahkan wilayah Lampung kepada VOC perihal pengawasan
perdagangan rempah-rempah dan hak monopolinya. Namun, hak monopoli
tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi VOC dari
penjualan lada hitam. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan VOC
ternyata disebabkan wilayah Lampung selama masa itu belum seutuhnya
berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Penguasa-penguasa lokal
di wilayah Lampung – “Adipati” – letaknya terpencar-pencar di desa-desa
atau kota, di mana kedudukan mereka secara hirarkis tidak berada di
bawah penguasaan Jenang atau Gubernur. Wakil-wakil Kesultanan Banten
atau disebut Jenang pada dasarnya hanya bertanggungjawab dalam urusan
perdagangan (lada hitam). Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan Banten
atas Lampung terletak pada garis pantai di sekitar Selat Sunda, di mana
melalui penguasaan garis pantai ini Banten dapat menguasai monopoli arus
keluar masuk hasil bumi dari Lampung, khususnya lada yang menjadi
komoditi ekspor bernilai tinggi. Kemudian, penguasaan VOC atas wilayah

499

Lampung tidak diakui oleh penguasa-penguasa lokal yang masih loyal
terhadap Sultan Agung Tirtayasa dan masih menganggapnya sebagai raja
dari Kesultanan Banten.
Di bawah kekuasaan Banten, wilayah Lampung tidak hanya
menjadi daerah penghasil rempah-rempah bagi perdagangan Kesultanan
Banten, tapi turut pula menyebarkan pengaruh Islam kepada masyarakat
Lampung. Ketika Banten memasuki wilayah Lampung, masyarakatnya
masih merupakan penganut Hindu-Budha yang berasal dari kerajaan
Hindu-Budha sebelumnya. Di masa kekuasaannya, Kesultanan Banten
berhasil dalam menyebarkan agama Islam ke masyarakat Lampung.
Meskipun penyebaran agama Islam ke wilayah Lampung diperkirakan
telah dilakukan sebelum kedatangan Banten, yakni dari Sumatera Barat
(Minangkabau dan Aceh).

Lampung di Masa Kolonial
Bankrutnya VOC di penghujung tahun 1799 menjadi awal
berkuasanya Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di wilayah Nusantara.
Masa kolonial di Indonesia dimulai sejak bankrutnya VOC dan diambil
alih kekuasaannya oleh pihak Kerajaan Belanda pada tahun 1800 (tanggal
1 Januari) sampai pada bulan Maret tahun 1942 ketika Pemerintahan
Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat pada Pasukan Matahari Terbit,
Jepang.
Sebelum kebangkrutannya VOC di tahun 1668 membangun
kembali pelabuhan yang ada di Manggala – sebuah pelabuhan tua yang
sudah ada sejak masa Kerajaan Tulang Bawang. Pelabuhan ini cukup
penting bagi VOC karena melalui pelabuhan ini pintu perdagangan
rempah-rempah, khususnya lada hitam, menjadi lebih terbuka antara
Lampung dan daerah tetangga. Baru setelah tahun 1751 VOC berhasil
menguasai penuh kawasan pelabuhan ini. Setelah VOC bangkrut, dan
kekuasaannya diambil alih Pemerintah Kolonial, di bawah Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) secara formal pada
tanggal 22 November 1808 mengambil alih wilayah Lampung langsung di
bawah Gubernur Jenderal Belanda (H.W. Daendels). Setelah sebelumnya
di tahun 1807 Belanda memproklamirkan bahwa kepulauan Nusantara
menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

500

Kekuasaan Pemerintah Kolonial di masa awal kekuasaannya di
Lampung tidak bertahan lama, karena pada tahun 1811-1816 Pemerintahan
Kolonial Inggris menguasai wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial
Belanda. Di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles, wilayah
Lampung tidak diserahkan ke Belanda, karena Inggris menilai bahwa
wilayah Lampung bukan termasuk wilayah kekuasaan Belanda. Karena itu,
di masa kekuasaan Raffles, Lampung dikembalikan pengaturannya di
bawah Keresidenan Banten.
Setelah Inggris meninggalkan wilayah kekuasaan Belanda di
Nusantara, Belanda kemudian mengambil alih kekuasaan atas wilayah
Lampung. Namun, penguasaan Belanda yang kedua atas Lampung tidak
berjalan mulus. Belanda harus menghadapi perlawanan dari Raden Intan ,
yang sebelumnya memiliki hubungan dekat dengan Pemerintah Kolonial.
Perlawanan Raden Intan berakhir pada tahun 1825 ketika ia wafat.
Perlawanan kemudian dilanjutkan kembali oleh putranya, Raden Imba
Kusuma. Sebelumnya, di tahun 1825 Belanda pernah melakukan
penangkapan terhadap Raden Intan, tapi usaha tersebut gagal total karena
utusan Belanda Leliever dan pasukannya berhasil dibunuh oleh Raden
Intan. Saat itu Belanda tidak dapat berbuat apa-apa karena masih harus
menghadapi Perang Jawa (Perang Diponegoro: 1825-1830). Setelah
Perang Jawa usai, Belanda berhasil mengatasi perlawanan putra Raden
Intan, Raden Imba Kusuma, pada tahun 1834. Raden Imba Kusuma
berhasil mengungsi ke daerah Lingga, namun di dalam pelariannya ia
berhasil ditangkap oleh penduduk setempat dan menyerahkannya kepada
Belanda untuk kemudian dibuang ke Pulau Timor. Meskipun Raden Imba
Kusuma telah berhasil dikalahkan, namun perlawanan terhadap Belanda di
wilayah Lampung belum sepenuhnya berhasil, karena putra Raden Imba
Kusuma, Raden Intan II, tetap melakukan perlawanan. Perlawanan ini
akhirnya berhasil setelah sepasukan tentara-tentara Belanda didatangkan
dari Batavia untuk menumpas Raden Intan II. Kekalahan Raden Intan II
diawali dengan keberhasilan Belanda menguasai Benteng Bendulu dan
kemudian menjadikannya sebagai basis tentara Belanda guna menyerang
benteng-benteng lainnya. Baru kemudian, pada tanggal 5 Oktober 1856,
Raden Intan II berhasil ditaklukkan dengan menjebaknya untuk
menghadiri sebuah pertemuan yang direkayasa Belanda. Pihak Belanda

501

setidaknya membutuhkan 39 tahun untuk menghentikan perlawanan Raden
Intan berserta putra dan cucunya, yaitu sejak tahun 1817 ketika Belanda
mulai menguasai kembali Lampung setelah Inggris meninggalkan wilayah
Belanda sampai tahun 1856 saat Raden Intan II berhasil dikalahkan
Belanda.
Pasca terbunuhnya Raden Intan II, Belanda memiliki otoritas
penuh terhadap wilayah Lampung. Otomatis perdagangan hasil bumi,
khususnya rempah-rempah lada hitam, dikuasai penuh Belanda. Belanda
pun mulai melakukan ekspansi ke tanaman-tanaman lain yang memiliki
nilai jual ekspor yang tinggi, seperti kopi, karet, dan pisang manila.
Pelabuhan-pelabuhan pun mulai dimatangkan fungsinya oleh Belanda,
seperti Pelabunan Manggala dan Pelabuhan di Teluk Lampung. Namun,
usaha Pemerintah Kolonial Belanda dari tahun 1956-1983 mengalami
kegagalan yang tragis. Kali ini penyebabnya bukan disebabkan perlawanan
lokal, tapi disebabkan oleh meletusnya Gunung Krakatau tahun 1983.
Letusan Gunung Krakatau yang dahsyat dan disertai dengan tsunami
menghancurkan infrastruktur-infrastruktur penting yang menunjang
perdagangan hasil bumi Belanda. Pelabuhan penting seperti di Teluk
Lampung hancur lebur akibat terjengangan tsunami, begitu pula pelabuhan
di Manggala. Hancurnya pelabuhan penting di wilayah Lampung, juga
terjadi pada pelabuhan-pelabuhan di daerah Banten. Otomatis pasca
letusan Gunung Krakatau perdangangan kedua daerah ini terhenti total.
Letusan ini turut pula memakan korban jiwa puluhan ribu jiwa, dan
menghancurkan perkebunan-perkebunan rakyat dan pemerintah kolonial.
Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah untuk menjadikan
Lampung sebagai wilayah penghasil hasil bumi andalan pasca letusan
Gunung Krakatau tahun 1883. Di tahun 1890 untuk pertama kalinya modal
asing masuk ke Lampung setelah dilakukan persiapan di tahun 1889
dengan dibukanya perkebunan di Way Lima. Tahun 1891 pelabuhan di
Teluk Lampung (Teluk Betung) mulai dioperasikan kembali setelah
kehancurannya di tahun 1883. Kemudian tahun 1893 dibuka perkebunan
modern di daerah Way Ratai dan tahun 1899 di Sungai Langka. Lokasi
perkebunan ini letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Teluk Betung, karena
alasan ekonomis dan kedekatan jarak dengan Pulau Jawa. Usaha Belanda
untuk membangun perkebunan di wilayah sekitar Teluk Betung dan

502

membuka pintu masuk bagi modal asing cukup tepat. Tanah Lampung
yang sebelumnya terkenal subur, menjadi semakin subur pasca letusan
Gunung Krakatau karena adanya endapan dari abu vulkanis. Hal ini
menjadi salah satu faktor mengapa pemerintah kolonial memberanikan diri
membuka perkebunan di sekitar wilayah Teluk Lampung – di samping
dekat dengan pelabuhan dan lokasinya yang strategis dekat dengan Pulau
Jawa. Kemudian, pada tahun 1913 jalur kereta api dari Teluk Betung
menuju Palembang dibangun oleh pemerintah guna pendistribusian hasil
perkebunan tersebut.
Dengan
dibukanya
perkebunan-perkebunan baru maka
konsekuensi yang timbul adalah faktor tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja
dari penduduk lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk
membuka dan mengerjakan perkebunan-perkebunan baru. Salah satu
sumber tenaga kerja yang jumlahnya tersedia cukup banyak dan
mempunyai keahlian di bidang pertanian terdapat di Pulau Jawa. Di sisi
lain, salah satu faktor yang menyebabkan kesejahteraan penduduk di Pulau
Jawa menurun disebabkan karena mulai tingginya jumlah penduduk –
selain efek dari sistem tanam paksa. Dengan kata lain, wilayah Lampung
mengalami defisit tenaga kerja, sedangkan di Jawa mengalami surplus
tenaga kerja. Kebijakan politik etis yang mulai dideklarasikan pada tahun
1901 oleh Ratu Belanda membuka kesempatan dan peluang untuk
mengatasi kekurangan tenaga kerja di wilayah Lampung untuk menggarap
perkebunan-perkebunan baru. Salah satu programnya adalah kolonisasi
atau transmigrasi, yaitu program pemindahan penduduk dari tempat yang
padat huniannya ke tempat yang tingkat huniannya jarang. Tujuan umum
dari pihak pemerintah kolonial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk setempat dan pendatang – meskipun pada masa-masa awal
program ini dilaksanakan tujuan tersebut belum seutuhnya tercapai, karena
transmigrasi ke Lampung sebenarnya lebih pada kebutuhan tenaga kerja
untuk kepentingan bisnis perkebunan pemerintah kolonial.
Akhirnya permasalahan defisit tenaga kerja ini dapat teratasi di
tahun 1905, yaitu ketika program transmigrasi berhasil teralisasikan.
Sebanyak 155 KK (Kepala Keluarga) berhasil ditransmigrasikan ke
Lampung dari Kedu, Jawa Tengah. Para transmigran ini ditempatkan di
daerah Gedong Tataan di bawah komando H.G. Heyting yang menjadi

503

asisten Residen Kedu. Transmigran pertama ini merupakan orang-orang
pilihan, yaitu petani-petani terampil yang sehat dan kuat. Program
transmigrasi pertama ini terbilang mahal. Pemerintah menyediakan semua
biaya perjalanan, biaya hidup (uang makan), serta alat-alat kerja dan
kebutuhan hidup hidup. Secara ekonomi program transmigrasi pertama ini
merugikan pihak perusahaan-perusahaan Eropa, karena keinginan mereka
untuk mendapatkan tenaga kerja murah tidak tercapai – meskipun tenaga
kerja murah yang didapatkan berasal dari Jawa yang surplus tenaga kerja.
Program transmigrasi pertama ini menjadi cikal-bakal masuknya para
pendatang, khususnya dari Pulau Jawa (dan berikutnya dari Bali di tahun
1953), untuk mencari penghidupan lebih baik di Lampung. Depresi
ekonomi dunia awal tahun 1930-an, pasca Perang Dunia I, telah
berdampak pada perkebunan-perbebunan perusahaan Eropa di Lampung.
Para pekerja terpaksa mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini
memaksa pemerintah kolonial untuk membuka daerah koloni baru di
daerah Lampung Tengah pada tahun 1935. Kedatangan transmigran ini
jumlahnya menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, terlebih setelah di
tahun yang sama (1935), Pelabuhan Panjang di daerah Teluk Betung telah
dibuka. Akibatnya di tahun 1941 jumlah pendatang di Lampung,
khususnya Lampung Tengah, lebih banyak daripada penduduk asli. Di
tahun 1922 jumlah pendatang dari Jawa sebanyak 5.500 jiwa, delapan
tahun kemudian tahun 1930 jumlahnya mencapai 33.000 jiwa, dan di akhir
tahun 1941 telah mencapai 173.959 jiwa yang tersebar di berbagai proyek
kolonisasi di Lampung. Pada masa kolonial ini, wilayah Lampung
merupakan keresidenan dari Provinsi Sumatera. Di masa ini, Pulau
Sumatera hanya terdiri dari satu provinsi saja, dan Lampung merupakan
salah satu keresidenannya.

Lampung Masa Pasca-Kolonial
Di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat tidak terlalu
banyak perubahan yang terjadi di wilayah Lampung, kecuali penghapusan
sistem atau susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan

504

kerabat276. Pergerakan kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang lebih
terfokus di Pulau Jawa. Aktivis pergerakan asal Lampung pun lebih
condong untuk bergabung dengan basis pejuang kemerdekaan (revolusi) di
Jawa.
Di awal kemerdekaan, Lampung masih berada di bawah Provinsi
Sumatera dengan residennya Mr. Abbas. Kedudukan Lampung adalah
sebagai keresidenan (kabupaten) bagian dari Provinsi Sumatera.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 Provinsi
Sumatera Selatan terbentuk dengan Perpu Nomor 3 tanggal 14 Agustus
1950. Tanggal 12 September 1952 Lampung berada di bawah Provinsi
Sumatera Selatan dengan kedudukannya sebagai Kabupaten Lampung
Selatan. Kedudukan Lampung sebagai Kabupaten Lampung Selatan
didasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, selanjutnya
Undang-Undang Darurat Nomor 4 tahun 1956 dan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1957. Status Lampung berubah dari keresidenan menjadi
provinsi dan terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan

Dokumen yang terkait

RESOLUSI KONFLIK BERBASIS GOOD GOVERNANCE STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

7 54 98

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Konflik Warga Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan)

0 12 92

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB II

1 1 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB III

1 2 52

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB IV

0 2 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB V

0 0 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI

0 0 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VII

0 0 12