Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB V

BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN
Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian
komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian
yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan terbatas bahwa komunitas ini
adalah orang Bali dan Hindu. Tidak pula terbatas pada seremoni atau
upacara-upacara besar yang menunjukkan eksistensi mereka seperti sebuah
negara teater Kampung Bali. Ada sistem sosial di dalamnya yang
memfungsikan identitas kebalian mereka – sebuah sistem sosial yang sama
kompleksnya dengan identitas itu sendiri sebagai sebuah kesatuan. Picard
(1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian sebagai
kebudayaan Bali yang merupakan gabungan dari elemen-elemen penting
kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat istiadat (tradisi) dan kesenian.

Sistem Sosial - Kemasyarakatan Komunitas Bali Nusa
Ciri khas komunitas Bali Nusa di Balinuraga – yang secara umum
menjadi ciri khas transmigran Bali – adalah keterikatan sosialnya dengan
tanah kelahiran atau tanah leluhur. Ikatan sosial ini yang kemudian
menjadi ciri khas atau pengidentifikasian diri mereka sebagai Bali Hindu –
tetap menjadi Bali Hindu – meskipun sudah berada di luar Bali. Seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sistem sosial ini
diadaptasi oleh para transmigran agar mereka tetap identik (sama) seperti

yang ada di tempat kelahirannya Nusa Penida, Bali. Bagi mereka menjadi
Bali setelah berada di Lampung bukan hanya karena mereka berasal dari
Bali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana sistem sosial yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai kultural-keagamaan (Bali Hindu) tetap
berjalan dan berlaku seperti di tempat asal dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan tempat yang baru (Lampung).
Keseluruhan sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat dan
keagamaan, sistem kekerabatan dan kemasyarakatan, sistem pertanian dan
lain-lain – adalah dasar dari kebalian mereka, sekaligus menjadi Lampung
(bagian dari masyarakat Lampung). Mereka berpendapat dan berkeyakinan
bahwa mereka menjadi Bali (Bali Hindu) setelah berada di Lampung
ketika sistem sosial yang ada di tempat asal tetap dijalankan sebagaimana
mestinya (dengan melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian

247

berdasarkan konsep kala dan patra) melalui ritual dan upacara adatkeagamaan layaknya di Bali secara eksklusif di dalam komunitasnya
(Kampung Bali); dan menjadi Lampung dalam proses interaksi dan
relasinya (hubungan sosial) dengan komunitas lain dalam masyarakat
Lampung yang majemuk, baik hubungan personal dan kelompok

(horisontal) maupun hubungan dengan instansi pemerintahan (vertikal).
Dengan kata lain, sistem sosial layaknya di Bali ini yang menjadikan
landasan identitas mereka sebagai “Bali Hindu” yang ada di Lampung.
Untuk menguraikan sistem sosial komunitas Bali Nusa di Desa
Balinuraga ini, maka pembahasannya akan dipilah-pilah menjadi beberapa
bagian, meskipun berada dalam sebuah sistem sosial di komunitas ini.
Sistem sosial ini adalah sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada di
tanah kelahiran mereka, khususnya di Nusa Penida, Bali. Ada pun yang
menjadi bagian atau elemen-elemen dari sistem sosial yang turut mereka
adaptasi di Desa Balinuraga, Lampung Selatan, yang menjadi identitas
mereka sebagai Bali Hindu di Lampung adalah sistem adat dan keagamaan
dalam bentuk kewajiban-kewajiban terhadap pura tertentu (kahyangan
tiga, kawitan, dadia), banjar, krama subak, status sosial dalam sistem
warga (sistem kekerabatan dalam satu identitas leluhur), perkumpulan dan
keanggotaan seka (baca: seke, sebutan lain sekeha-sekeha) tertentu, dan
komunitas adat (banjar, desa adat / desa pakraman)224. Berdasarkan
elemen-elemen tersebut, yang dalam adaptasinya dilakukan proses
penyesuaian berdasarkan konteks masyarakat Lampung yang majemuk,
maka menjadikan komunitas ini sebagai sebuah komunitas yang memiliki
ikatan sosial yang kuat ke dalam komunitasnya (melalui komunitas

Kampung Bali yang eksklusif, bonding) tapi juga sebagai sebuah
komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat ke luar komunitasnya
(bridging, atau bonding dalam ruang identitas yang lebih besar, yaitu
ikatan sosial sebagai masyarakat Lampung).

Sebagai perbandingan dapat lihat Geertz (1959) “From and Variation in Bali
Village Structure”, dalam American Antropoligist Vol. 61. Pp.991-1012, segi-segi
kehidupan sosial apa saja yang mengikat masyarakat Bali dalam sistem sosialnya.

224

248

Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kawitan
Sebuah pertanyaan penting guna memastikan eksistensi komunitas
Bali Nusa di Desa Balinuraga adalah apa (wujud fisik pura tertentu) yang
melegalkan bahwa komunitas ini atau Desa Balinuraga merupakan sebuah
komunitas adat-keagamaan Bali Hindu yang ada di Lampung Selatan?
Cukup mudah untuk memastikan dan membuktikan bahwa desa ini
merupakan sebuah desa Bali Hindu yang ada di luar Bali, yaitu dengan

melihat wujud fisik Pura Kahyangan Tiga: Pura Desa (Pura Bale Agung),
Pura Puseh (sebutan lain: Pura Segara), dan Pura Dalem. Keberadaan Pura
Kahyangan Tiga ini, yang sejak di tahun-tahun awal mereka
bertransmigrasi sudah mulai dibangun dalam bentuk yang sangat
sederhana, merupakan elemen penting yang menyatukan komunitas
transmigran Bali Nusa dalam satu komunitas adat-keagamaan yang
nantinya bernama Desa Balinuraga. Dengan kata lain, eksistensi identitas
mereka sebagai sebuah desa atau komunitas Bali Nusa (Bali Hindu) yang
mengikat komunitas ini secara adat dan keagamaan dapat dilihat
keberadaan Pura Kahyangan Tiga.
Fungsi utama dari keberadaan Pura Kahyangan Tiga ini adalah
sebagai pemersatu anggota komunitas Desa Balinuraga yang
terfragmentasi ke dalam tujuh banjar (dusun) dengan komposisi wargawarga tertentu dan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa)225. Meskipun Pura Kahyangan Tiga ini berfungsi
sebagai pemersatu dari warga-warga yang tersebar di tujuh banjar, namun
ada sebuah kasus menarik yang harus dipaparkan oleh penulis bahwa
pertentangan antar warga yang telah dibahas sebelumnya di Bab Lima juga
dimanifestasikan dalam salah satu Pura Kahyangan Tiga ini, yaitu adanya
dua Pura Puseh (tercakup di dalamnya Pura Penataran Bale Agung). Sejak
wafatnya Sri Mpu Suci sebagai patron utama sebagai pemersatu wargawarga, kelompok warga yang bertentangan dengan kelompok warga yang

lain berusaha untuk membuat Pura Puseh tersendiri sebagai manifestasi
225

Fungsi lain dari Pura Kahyangan Tiga adalah mengendalikan tiga dasar sifat
dan bakat manusia yang dalam ajaran agama Hindu disebut Tri Guna (Wiana
2007), yaitu (1) Sattwam: dasar terbentuknya sifat-sifat baik, tenang, suci,
pengasih dan penyayang; (2) Rajas:dasar terbentuknya sifat-sifat aktif bergerak
energik; (3) dan Tamas: dasar terbentuknya sifat-sifat lamban, gelap dan malas.

249

Dewa Wisnu (Dewa Pelindung) bagi komunitas (banjar) warga tersebut.
Seolah-olah salah satu kelompok warga tersebut tidak mau memiliki satu
Pura Puseh, atau ingin memiliki Dewa Pelindung atau Pura Puseh sendiri
bagi komunitas warga-nya. Namun, Pura Desa (Pura Bale Agung) dan
Pura Dalem tetap satu dalam Desa Balinuraga. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila di dalam catatan statistik Kecamatan Way Panji tahun
2009 tercatat ada empat buah tempat peribadatan atau pura (seharusnya
ada tiga pura / Kahyangan Tiga) di Desa Balinuraga226. Realitas
pertentangan warga yang turut dimanifestasikan dalam salah satu Pura

Kahyangan Tiga ini sebenarnya adalah sebuah dinamika dalam komunitas
Bali Nusa di mana setiap kelompok warga memiliki ego tersendiri untuk
menunjukkan status siapa tertinggi. Para tokoh atau sepuh sebenarnya
menyayangkan kejadian seperti ini, mengapa pertentangan antar warga
yang sebenarnya diwakili oleh para elit warga tertentu sampai melibatkan
umat. Dalam arti pertentangan elit warga sampai melibatkan dan
membawa umat pada tempat peribadatan (Pura Puseh dan Pura Desa) yang
berbeda, di mana sebelumnya (sebelum Sri Mpu Suci wafat) mereka tetap
beribadat dalam pura yang sama. Muncul kesan dan terkesan ingin
mengkotak-kotakan dan memertajamkan perbedaan tersebut atas identitas
warga (leluhur), khususnya Warga Pandé dan Warga Pasek, di mana
Warga Arya berada di pihak yang netral. Oleh karenanya, keberfungsian
Pura Kahyangan Tiga sebagai pemersatu komunitas Bali Nusa tetap
berjalan sebagaimana mestinya, meskipun ada perpecahan. Hal ini
disebabkan mereka masih memiliki satu Pura Desa dan Pura Dalem
bersama-sama, misalnya, dalam upacara Ngaben semua warga
menggunakan Pura Dalem yang sama. Dalam kasus tertentu (upacara
keagamaan Hindu Dharma) PHDI sebagai wadah umat Hindu Dharma
menjalankan fungsinya sebagai penengah, yaitu memutuskan pura mana
(Pura Desa) yang akan dijadikan tempat upacara bagi umat Hindu Dharma

di Desa Balinuraga, karena PHDI sendiri tidak mau ikut campur mengenai
urusan adat, tapi menekankan pada kepentingan umat Hindu Dharma. Bagi
PHDI keutuhan dan kesolidan umat Hindu Dharma di Balinuraga lebih
226

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan (2009), Kecamatan Way
Panji Dalam Angka Tahun 2008-2009.

250

penting, dan mencegah agar pertentangan adat (warga) tidak merembet ke
persoalan umat. Di samping itu, untuk ibadah yang bersifat harian mereka
memiliki Pura Keluarga (Rong Telu) sebagai Pura Kahyangan Tiga di
level keluarga inti. Realitas yang tidak dapat dihindari dari pertentangan
warga ini terhadap bangunan Pura Kahyangan Tiga adalah warga-warga
lebih condong (memprioritaskan) renovasi Pura Kawitan warga-nya
daripada Pura Kahyangan Tiga milik desa mereka, karena persaingan
eksistensi identitas warga mana yang lebih unggul lebih mudah untuk
dimanifestasikan – Pura Kahyangan Tiga merupakan milik Desa
Balinuraga atau semua kelompok warga-warga, sedangkan Pura Kawitan

adalah milik satu kelompok warga tertentu.

251

Gambar 20. Pura Desa dan Pura Puseh I
(Atas: Pura Desa dan Puseh tampak depan; Bawah: pintu / gapura depan Pura
Desa dan Puseh)
(Sumber: Yulianto, 2010)

252

Gambar 21. Pura Desa dan Pura Puseh II
(Atas: bagian dalam Pura; bawah: Pura tampak depan menyerong ke kanan)
(Sumber: Yulianto, 2010)

253

Gambar 22. Pura Dalem
(Atas: bagian dalam Pura diambil dari sisi kiri tembok Pura; bawah: bagian depan
Pura)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Jika Pura Kahyangan Tiga merupakan pura bersama bagi wargawarga di Desa Balinuraga, maka pada level di bawahnya (banjar atau
dusun yang mewakili identitas warga tertentu) mereka memilki Pura
Kawitan untuk warga-nya yang saat ini sudah membaur di berbagai
banjar. Artinya, dalam contoh kasus di Balinuraga, Warga Pandé dan
Warga Pasek memilki Pura Kawitan-nya sendiri (Pura Kawitan Warga
Pandé dan Pura Kawitan Warga Pasek); berbeda dengan Pura Kahyangan
Tiga yang mana digunakan oleh warga-warga. Pura Kawitan Warga
(dadia) ini berfungsi sebagai tempat suci (pura) untuk memuja roh suci

254

leluhur sebagai Sang Hyang Atma, dan sebagai pemersatu anggotaanggota komunitas Desa Balinuraga yang tersebar di berbagai banjar
berdasarkan identitas warga-nya atau identitas leluhurnya (pada satu
leluhur pembentuk klan atau warga tersebut). Oleh karena itu, dalam
kasus-kasus tertentu penyelenggaraan upacara atau ritual adat-keagamaan
terkadang tidak dilakukan bersama-sama dan dalam waktu yang bersamaan
karena setiap warga memiliki Pura Kawitan-nya sendiri. Tidak
mengherankan jika di Desa Balinuraga dalam rentang waktu tertentu dan

dalam ritual dan upacara adat-keagamaan tertentu dilaksanakan di tempat
yang berbeda dengan massa yang berbeda, tapi masih berada dan
merupakan masyarakat Desa Balinuraga; dan bagi orang awam yang
melihat penyelenggaraan ritual dan upacara tersebut akan menilai bahwa
ritual dan upacara adat-keagamaan sepertinya berlangsung terus menerus
dengan jeda waktu yang tidak terlalu lama.

Gambar 23. Pura Kawitan Warga
(Gapura depan memasuki bagian jero Pura)
(Sumber: Yulianto, 2010)

Dasar atau acuan dari pembangunan Pura Kawitan Warga di Desa
Balinuraga adalah Pura Kawitan mereka di tanah kelahiran (sebelum
mereka bertransmigrasi), yaitu di Nusa Penida. Lebih spesifiknya adalah
dalam wilayah adat atau banjar di Nusa Penida, namun tetap dalam satu
identitas leluhur (warga) yang sama. Pura Kawitan ini merupakan ikatan

255

sosial atas identitas leluhur dan tempat asal yang tidak dapat mereka

lepaskan meskipun mereka sudah berada di Lampung Selatan. Mereka
harus dan memiliki kewajiban adat-keagamaan terhadap Pura Kawitan
meskipun sudah berada di Lampung. Jati diri dan identitasnya sebagai Bali
Hindu ada di dalam Pura Kawitan tersebut. Dalam perkembangannya,
khususnya setelah beberapa anggota komunitas Desa Balinuraga merantau
ke luar Desa Balinuraga (beralih dari pertanian ke perkebunan), seperti ke
Lampung Timur (Tulang Bawang) dan Sumatera Selatan (daerah
perbatasan Lampung Timur dan Sumatera Selatan), Pura Kawitan di
Balinuraga tetap dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kewajiban
adat-keagamaannya. Istilah orang Balinuraga yang sudah merantau (masih
di dalam pulau Sumatera) adalah pulang kampung ke Balinuraga ketika
ada upacara dan ritual adat-keagamaan penting yang diselenggarakan di
Pura Kawitan di Balinuraga berdasarkan identitas warga-nya sendiri. Bagi
mereka yang merantau, maka pulang kampung untuk melaksanakan
kewajiban adat-keagamaan sebanyak dua kali: ke Balinuraga, Lampung
Selatan dan Nusa Penida, Bali. Contoh kasusnya, dalam upacara penting
seperti Ngaben, anggota warga atau keluarga besar dari anggota keluarga
warga tertentu pasti akan datang ke Balinuraga untuk menghadiri upacara
tersebut. Bagi mereka tidak ada alasan untuk tidak menghadiri upacara
tersebut, karena ini merupakan acara yang bersifat sakral bagi mereka,
selain sebagai forum silatuhrami (medharma suaka). Oleh karena itu, akar
kesolidan (kekompakkan) etnis Bali di Lampung di level bawah (keluarga
besar warga), dalam kasus ini Bali Nusa di Balinuraga adalah keberadaan
Pura Kawitan. Di level desa adalah keberadaan Kahyangan Tiga, dan di
level provinsi (Bali Lampung) adalah keberadaan “Pura Besakih-nya
Lampung” atau “pura pemersatu” Bali Lampung yang berada di Way
Lunik (Bandar Lampung).

256

Gambar 24. Warga Banjar Bersembahyang di Pura Kawitan Warga saat
Upacara Galungan
(Atas: warga bersembahyang di bagian jero Pura; bawah: sulinggih memberikan
tirta kepada umat)
(Sumber: Yulianto, 2010)

Kata “leluhur” (sebutan lain “leluhur”: “wit”) itu sendiri – terkait
dengan Pura Kawitan – yang dalam Bahasa Sansekerta disebut “pitr”
(pitra) – ibu dan bapak para leluhur yang sudah meninggal – memiliki dua
tipe, yaitu bapak, kakek, kumpi (buyut) ke atas, dan leluhur yang menjadi
asal dari seluruh umat manusia (Titib 2003). Pura kawitan yang berfungsi
sebagai tempat pemujuaan roh suci leluhur – seperti kasus Pura Kawitan

257

Warga di Balinuraga – didirikan oleh pihak keluarga inti, keluarga besar
sampai satu klan (satu warga). Karenanya, di dalam sebuah Pura Kawitan
Warga di Balinuraga, terdapat beberapa tipe pelinggih (bangunan suci)
sebagai tempat pemujaan leluhur (1-5), yaitu (1) sanggah atau merajan
sebagai tempat pemujaan leluhur level keluarga inti; (2) merajan kamulan
sebagai tempat pemujaan leluhur dengan level beberapa keluarga inti; (3)
merajan ibu pertiwi atau merajan Agung sebagai tempat pemujaan leluhur
sedikitnya sepuluh keluarga inti; (4) pura Ibu atau pura batur jika sudah
mencapai sedikitnya dua puluh keluarga inti; (5) pura dadia atau pura
panti jika sudah mencapai empat puluh keluarga inti; (6) pura padharman
sebagai tempat pemujaan leluhur untuk satu warga (satu klan) atau seluruh
keluarga besar yang berasal dari satu identitas warga. Keenam tipe ini
digolongkan sebagai Pura Kawitan227.

Gambar 25. Bagian Dalam (jero) Pura Kawitan
(Sumber: Yulianto, 2009)

Banjar, Desa Adat, dan Seka
Konsep banjar yang digunakan di Balinuraga memiliki pengertian
dan fungsi yang sama seperti konsep banjar yang berlaku umum dalam

227

Untuk uraian singkat mengenai tingkatan atau level Pura Kawitan lihat: Ketut
Wiana (2007, hlm. 56-57) dalam “Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu”,
Surabaya: Penerbit Paramita.

258

masyarakat Bali, yaitu sebagai kesatuan masyarakat adat. Hanya saja
banjar yang diadopsi oleh masyarakat Balinuraga adalah seperti banjar
yang ada di Nusa Penida. Seperti contoh banjar pertama yang menjadi
cikal bakal Desa Balinuraga, Banjar Pandéarga yang merupakan banjar
bagi Warga Pandé yang berasal dari Dusun (banjar) Soyor, Desa Tanglat,
yang ada di Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga memiliki tujuh banjar,
yaitu Banjar Sumbersari, Jatirukun, Sukanadi, Sukamulya, Banjarsari,
Sidorahayu (baca: Siderahayu), dan Pandéarga. Umumnya setiap banjar
memilki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan banjar lain,
khususnya banjar yang didominasi keanggotaannya oleh kelompok warga
tertentu. Artinya, untuk saat ini anggota dari beberapa kelompok warga
sudah membaur, meskipun ada banjar-banjar tertentu yang didominasi
keanggotaannya oleh warga tertentu. Misalnya, untuk Banjar Pandéarga
keanggotaan di dalamnya terdapat juga anggota dari Warga Pasek dan
Arya, meskipun banjar ini tetap dengan ciri khasnya sebagai banjar-nya
Warga Pandé; begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang
didominasi oleh Warga Pasek. Selain kedua banjar ini yang kental dengan
identitas warga-nya dari kelompok warga tertentu, umumnya banjarbanjar lain lebih moderat dan bersifat netral, terutama yang memilki
komposisi warga-nya berimbang (Pandé, Pasek, dan Arya).
Sama seperti di Bali pada umumnya, banjar di Balinuraga
merupakan kesatuan adat sekaligus keagamaan. Aktivitas adat dan
keagamaan sebenarnya lebih banyak di lakukan di level banjar daripada di
level desa. Jika ada hari raya keagamaan atau ritual adat-keagamaan
tertentu, pelaksanaannya terfokus pada setiap banjar. Ini disebabkan setiap
banjar memiliki karakteristik atau ciri khas tersendiri, khususnya tradisi
adat-keagamaan yang dilaksanakan oleh kelompok warga-warga. Artinya,
ritual dan upacara adat-keagamaan di Banjar Pandéarga (Warga Pandé)
berbeda dengan Banjar Sidorahayu (Warga Pasek), meskipun hari raya
atau jenis upacaranya sama. Terkadang anggota banjar yang warga-nya
berbeda bisa melakukan penyelenggaraan ritual dan upacara adatkeagamaan-nya sendiri, atau bergabung dengan banjar lain di mana
menjadi basis warga tertentu. Hal ini cukup menarik karena dalam satu
hari raya tertentu prosesi ritual dan upacara adat-keagamaan dilakukan
dalam waktu yang tidak sama dan dengan cara yang berbeda berdasarkan

259

ciri khas dan karakteristik warga tertentu. Terkadang mereka memilih hari
yang lain, agar pelaksanaan ritual dan upacara adat-keagamaan tidak
berada di waktu yang sama. Sekaligus untuk menunjukkan eksistensi
identitas warga-nya bahwa mereka berbeda dengan warga lain dan
mempunyai keunikan tersendiri.
Untuk saat ini, yang membedakan banjar di Balinuraga dengan
banjar di Bali adalah banjar di Balinuraga tidak otonom secara
administratif. Artinya, secara administratif mereka merupakan bagian dari
Desa Dinas dengan kedudukan setara dengan Dusun. Awig-awig adatnya
bersifat informal (tidak tertulis), sanksinya tidak bersifat mengikat seperti
hukum legal (berupa sanksi sosial), dan hanya berlaku dalam banjar itu
sendiri. Karena itu, fungsi Desa Adat sebagai Desa Pakraman di
Balinuraga sebagai lembaga adat sekaligus keagamaan lebih banyak
dimainkan perannya oleh banjar-banjar sebagai komunitas adatkeagamaan di level dusun. Otomatis ketika ketujuh banjar ini menjalankan
fungsinya sebagai lembaga adat-keagamaan, maka Desa Adat itu sudah
berjalan. Hal ini disebabkan karena Desa Adat di Balinuraga itu sendiri
merupakan gabungan dari ketujuh banjar. Ini yang menyebabkan awigawig untuk Desa Balinuraga sebagai “Desa Adat” belum rampung dan
masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang, karena kesatuan adatkeagamaan di setiap banjar sudah begitu kuat dan memiliki karakteristik
dan ciri khas tersendiri yang mewakili satu kelompok warga tertentu – dan
bagi mereka mungkin lebih baik tidak ada awig-awig Desa Adat daripada
menimbulkan perdebatan terus menerus. Setiap banjar memiliki awigawig-nya sendiri (tidak tertulis) berdasarkan kelompok warga tertentu, jika
dibuat awig-awig Desa Adat maka akan semakin mempertajam
pertentangan identitas warga pada setiap banjar. Tentu setiap elit warga
yang ada di banjar tertentu ingin mendominasi dalam pembuatan awigawig Desa Adat berdasarkan kepentingan atau dominasi warga-nya.
Selain itu, konsep “Desa Adat” Balinuraga menjadi satu dengan Desa
Administratif versi pemerintah yang mengakibatkan kerancuan. Bagi
mereka yang terpenting adalah komunitas adat-keagamaan di dalam
banjar, karena itu merupakan representasi “Desa Adat” Balinuraga dan
basis dari komunitas adat-keagamaan Bali Nusa di level desa.

260

Kehadiran tujuh banjar di Balinuraga memberikan satu dinamika
tersendiri dalam hubungan antar banjar, khususnya banjar yang
didominasi dan menjadi identitas dari kelompok warga yang memiliki
pengaruh dominan di Balinuraga: Pasek dan Pandé. Persaingan kedua
kelompok banjar dengan identitas warga-nya sangat tampak dalam setiap
aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan mereka, terutama terkait dengan
adat-keagamaan. Misalnya, persaingan terkait banjar mana yang memiliki
kelompok seni (seka gong) dengan permainan gamelan dan pentas tarinya
yang paling menawan dengan cita rasa seni yang tinggi berdasarkan
konsep dan pemahaman mereka; banjar mana yang dapat
menyelenggarakan ritual adat-keagamaan yang paling mewah dan
bergengsi dengan massa yang besar; banjar mana yang memilki tim bola
voli, bulu tangkis atau sepak bola yang paling kuat; dan lain-lain. Mereka
menyebut persaingan ini, yang sebenarnya bukan terletak pada persaingan
antar banjar tapi lebih pada persaingan antar warga dalam memperebutkan
posisi yang dominan dan berpengaruh di Balinuraga. Patron atau
pemersatu banjar yang berbasiskan identitas warga adalah sulinggih.
Artinya, sulinggih mana yang pamor dan popularitasnya (kekuatan sekala
dan niskala) yang paling besar. Indikatornya adalah seberapa besar jumlah
tamu (dari berbagai kelompok etnis) atau pun pejabat penting yang
bertamu ke rumah sulinggih tersebut untuk berkonsultasi spiritual untuk
berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan asmara, bisnis, karir, atau
pun jabatan penting di pemerintahan daerah. Menariknya persaingan ini
dinilai oleh mereka bukan sebagai pemecah komunitas Bali Nusa di
Balinuraga. Justru melalui persaingan ini semakin meningkatkan
keterampilan kesenian (tari, gamelan, ukiran, lukisan, dan lain-lain) dan
perekonomian. Persaingan ini memacu mereka untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan kesenian tradisional Bali, dan memotivasi
mereka untuk bekerja lebih agresif di bidang pertanian – di mana sebagian
dari mereka merantau ke daerah lain untuk membuka perkebunan karet dan
sawit yang hasil lebihnya bisa mereka donasikan untuk kemajuan
kelompok seni di banjarnya dan untuk keperluan penyelenggaraan ritual
adat-keagamaan penting. Akibatnya, pembangunan khususnya renovasi
Pura Kahyangan Tiga menjadi sedikit lebih terabaikan, karena adanya
gengsi kelompok banjar dengan identitas warga-nya.

261

Terlepas dari persaingan antar banjar, poin penting dari kehadiran
banjar ini adalah bagaimana banjar sebagai salah satu elemen dari sistem
sosial bagi komunitas Bali Nusa sebagai Bali Hindu menjadi wadah bagi
mereka agar eksistensi adat dan keagamaannya tetap bertahan dan lestari.
Hal ini disebabkan karena banjar sebagai kesatuan adat-keagamaan
menjadi jati diri mereka setelah berada di Lampung, di mana kewajiban
adat-keagamaan mereka laksanakan di dalam komunitas banjar. Ini yang
menyebabkan seberapa jauh mereka merantau ke luar Desa Balinuraga,
mereka akan berusaha datang ke desa atau banjar-nya jika ada ritual dan
upacara adat-keagamaan yang penting. Mereka tidak ingin kehilangan
keanggotaannya pada banjar tersebut, karena akan berdampak pada
eksistensi mereka sebagai Bali Hindu di Lampung. Begitu pula sebaliknya,
jika banjar asal mereka di Nusa Penida sedang melaksanakan ritual dan
upacara adat-keagamaan penting. Mereka sebisa mungkin menghadiri
kegiatan tersebut, dan mempersiapkan sejumlah dana dari jauh-jauh hari
agar bisa datang ke Nusa Penida. Karenanya, tidak mengherankan jika
mereka yang ekonominya mapan dan memiliki fisik yang masih prima
minimal satu tahun sekali pulang kampung ke Nusa Penida. Terutama
setelah hadirnya penerbangan Lampung-Jakarta-Bali, khususnya
Lampung-Jakarta, yang jumlah penerbangannya lebih banyak dan dengan
harga yang sangat terjangkau. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem
sosial yang berasal dari tanah kelahiran mereka di Nusa Penida, Bali,
mengikat kuat dan melembaga dalam diri individu Bali Nusa yang ada di
Balinuraga. Seperti yang dijelaskan pada Bab Lima, bahwa mereka ingin
seidentik mungkin dengan sistem sosial-nya yang ada di Bali, sehingga
eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu tetap diakui meskipun
sudah berada di luar Bali, khususnya setelah perekonomiannya mereka
sudah mapan.
Di era reformasi, terutama setelah diterapkannya model
“pemilihan langsung” kepala daerah maupun anggota legislatif, banjar
baik langsung atau pun tidak langsung telah ikut terjun ke arena politik
praktis yang diwakili oleh elit-elit banjar.
Semakin kompak dan
solid sebuah banjar dengan jumlah massa yang besar sebagai pemilih,
maka semakin banyak calon kepala daerah maupun calon legislatif yang
berkampanye di banjar tersebut, dan sebagai banjar pertama untuk

262

berkampanye. Model kampanye di Desa Balinuraga bukan berbasis desa,
tapi berbasiskan banjar atau dusun. Kekuatan kelompok masyarakat dan
massanya berkumpul pada setiap banjar. Karenanya, lebih mudah
menyatukan dan menggerakkan massa di level banjar daripada di level
desa. Para calon kepala daerah maupun anggota legislatif mengetahui
(sebelumnya sudah diberitahu oleh elit-elit setiap banjar) bahwa waktu
yang tepat untuk berkampanye adalah saat diselenggarakan upacara
penting pada hari raya tertentu, di mana massa berkumpul di setiap banjarnya tanpa dikomandoi oleh siapa pun. Massa yang berkumpul untuk
melaksanakan kewajiban adat dan keagamaannya justru dimanfaatkan oleh
para calon kepala daerah atau pun anggota legislatif sebagai ajang untuk
berkampanye. Tujuannya sangat jelas: penghematan biaya. Mereka tidak
perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengumpulkan massa, tapi setelah
kegiatan upacara dan kampanye selesai setiap calon cukup memberikan
sejumlah dana (bantuan) kepada pura dan banjar sebagai kas – alasan
klasiknya adalah untuk pembangunan dan renovasi pura. Sebagai catatan,
para calon kepala daerah dan legislatif yang berkampanye di level banjar
adalah mereka yang saat ini belum memiliki posisi di pemerintahan atau
pun di legislatif (non-imcumbent). Calon kepala daerah yang sedang
menjabat (incumbent) dan mencalonkan dirinya kembali sudah tentu
memanfaatkan posisinya untuk berkampanye pada saat upacara keagamaan
besar, di mana massa yang berkumpul adalah massa (umat Hindu Dharma)
setingkat kabupaten, seperti saat Upacara Melasti di Pantai Merak
Belantung (Maret 2010). Adalah sebuah kesalahan jika para calon berpikir
bahwa massa di setiap banjar adalah pemilih yang “penurut”. Umumnya
mereka sudah “melek” politik, karena seringnya para calon berkampanye
di banjar setiap kali akan digelar pemilihan langsung dengan janji-janji
yang hampir sama: “memperjuangkan dan menyuarakan eksistensi
identitas kebalian (Bali Hindu) di Lampung”. Para calon kepala daerah dan
legislatif yang umumnya berasal dari kalangan non-Bali tidak mengetahui
bahwa setiap banjar di Balinuraga sudah bermain politik praktis di level
banjar dan desa berdasarkan identitas warga-nya: sebuah pertarungan
politik antar warga yang berlangsung lebih dari empat dasawarsa (sejak
tahun 1970-an sampai sekarang). Setiap anggota banjar sudah tahu elit
warga-nya sendiri dan elit warga lain mana yang dapat dipercaya dan

263

tidak. Mereka pun tanpa segan-segan mengacuhkan elit warga dari banjarnya sendiri jika memang track-record-nya jelek di bidang politik,
khususnya yang sangat berambisius untuk berkuasa dan mencari uang
dengan “menjual” suara anggota banjar kepada calon tertentu untuk
kepentingan politiknya sendiri. Mereka sudah mengetahui bahwa elit di
banjar yang berambisi besar tidak layak dipercaya, dan dalam kasus
tertentu, jika elit tersebut mencalonkan diri pada jabatan strategis tertentu,
maka elit tersebut tidak dipilih (mendapatkan suara yang kecil).
Berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan secara turun
temurun berdasarkan tradisi Bali Hindu, mereka umumnya mengetahui
calon mana yang pantas untuk dipilih, termasuk elit-nya sendiri, apakah
pantas dipercaya atau tidak (cara sederhana adalah dengan melihat pesona
wajah seseorang). Uniknya, setiap kali ada yang berkampanye di banjar
tertentu dalam Desa Balinuraga, setiap banjar berusaha memberikan yang
terbaik baik para calon yang berkampanye, meskipun waktu kampanye
sebenarnya dilakukan saat penyelenggaraan upacara dan ritual tertentu,
yaitu memberikan kata sambutan, memberikan tempat duduk yang khusus,
disuguhkan pentas kesenian Bali, makanan dan minuman bagi tamu, dan
lain-lain. Sebenarnya, ini bukan berarti mereka akan memilih calon
tersebut sebagaimana hangatnya sambutan yang diberikan oleh banjar –
dan ini sering disalah-tafsirkan oleh para calon dengan menganggap bahwa
mereka akan secara aklamasi mendapatkan dukungan penuh dari anggota
banjar – tetapi ini merupakan manifestasi dari pertarungan politik atau
perang dingin antar banjar yang menjadi perwakilan dari identitas warga
tertentu. Banjar tidak mau memusingkan dirinya dengan janji atau pun
jumlah donasi yang diberikan para calon untuk kas pura dan banjar, tapi
bagaimana mereka bisa menunjukkan harga diri banjar-nya sebagai banjar
dengan identitas warga tertentu, bahwa mereka memiliki prestise yang
tinggi, yaitu dengan memberikan sambutan yang hangat, menyuguhkan
pentas kesenian Bali, memberikan posisi dan tempat duduk yang baik,
menyajikan makanan dan minuman bagi calon sebagai tamu, dan lain-lain.

264

Gambar 26. Calon Kepala Daerah Berkampanye di Banjar di dalam Pura
Kawitan Warga
(Calon Kepala Daerah Ditampilkan Tari Barong)
(Sumber: Yulianto, 2010)

Setiap banjar memilki sebuah bale banjar sendiri, termasuk sekaseka dan krama subak228, serta pemimpin adatnya (klian banjar). Bale
banjar merupakan tempat di mana seluruh anggota banjar berkumpul
secara rutin dalam periode waktu tertentu untuk membahas berbagai
permasalahan sosial-keagamaan. Di dalam bale banjar terdapat lumbung
(jineng) bagi krama subak yang ada di setiap banjar – saat sekarang setiap
petani yang sudah mapan memiliki lumbung dan penggilingan padi sendiri.
Di Balinuraga setiap banjar memiliki kelompok kesenian (seka gong) dan
krama subak berdasarkan banjar-nya masing-masing, termasuk kelompok
olahraga seperti bulu tangkis, bola voli, dan sepak bola. Secara
organisasional seka ini berada di bawah otoritas banjar. Seka (baca: seke),
sebutan lainnya sekeha-sekeha, menggunakan definisi Geertz (1977)
merupakan: suatu kelompok sosial, dibentuk berdasarkan kriteria yang
tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan, dan dicurahkan untuk mencapi
tujuan sosial yang tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya
Krama diartikan sebagai masyarakat atau anggota masyarakat adat. “Krama
Subak” berarti (dalam artian umum) anggota masyarakat adat untuk organisasi
Subak. “Krama” ini menjadi kata dasar dari Desa “Pa-krama-an” sebagai
persamaan dari Desa Adat.
228

265

keagamaan, politik, ekonomi, atau apa saja. Dalam kasus yang sampai
saat ini masih terjadi, keberhasilan sebuah seka, khususnya seka gong,
dalam menampilkan pentas seni (gamelan dan tari Bali), maka akan
meningkatkan popularitas sebuah banjar, dan juga status sosial kekompok
warga tertentu identik dengan banjar tersebut. Seka gong adalah seka yang
paling tua di Balinuraga, dan sampai sekarang masih eksis. Seka gong
tertua dimiliki oleh Banjar Pandéarga sebagai banjar pertama yang
menjadi cikal bakal Desa Balinuraga. Popularitasnya menjadikan seka
gong ini kerap mengisi pentas kesenian Bali untuk komunitas Bali di luar
Desa Balinuraga, baik yang ada di Lampung Selatan maupun yang ada di
Sumatera Selatan, dan untuk mengisi acara formal di pemerintahan daerah.
Saingannya adalah seka gong milik Banjar Sidorahayu, yang dalam
kesempatan tertentu juga diminta untuk mengisi acara kesenian di berbagai
tempat atas permintaan dari berbagai kalangan tertentu. Biasanya honor
yang diterima dari seka gong ini akan digunakan untuk kepentingan
banjar, terutama untuk biaya renovasi dan uang kas Pura Kawitan. Selain
seka gong masih terdapat seka-seka lainnya, seperti seka tani (krama
subak) untuk koordinasi petani dalam satu banjar (dusun), seka untuk
kaum lansia (lanjut usia), seka untuk mempelajari keagamaan, seka untuk
cabang olahraga tertentu, dan lain-lain. Seka yang dulu pernah populer
adalah seka yang beranggotakan para pemuda yang bertugas melakukan
inspeksi dan penertiban babi-babi yang sering berkeliaran di jalan desa
terutama ketika pemilik sedang bertani. Babi-babi yang tertangkap ketika
berkeliaran di jalan desa akan ditangkap, kemudian akan ditahan oleh seka
tersebut. Lalu, pihak pemilik diwajibkan untuk menebus atau membayar
denda atas babinya jika ingin diambil kembali. Jika sampai waktu tertentu
babi tersebut belum ditebus oleh pemiliknya, maka babi akan dijual. Uang
denda dan penjualan babi digunakan oleh seka tersebut untuk membiayai
seka cabang olahraga tertentu, seperti bulu tangkis, voli, sepak bola, catur,
dan lain-lain. Seka lain yang lebih spesifik dan lebih eksklusif adalah seka
atau perkumpulan berdasarkan tingkatan keluarga dalam satu identitas
warga berdasarkan satu garis keturunan leluhur (wit), misalnya: seka dari
keluarga inti dan keluarga besar dari warga tertentu. Selain anggota
keluarga inti, keluarga besar, atau warga ini, seseorang tidak dapat
menjadi anggota dari seka ini. Tugas dan kewajiban utama dari seka atau

266

kelompok ini, sebuah tugas yang tidak dapat digantikan oleh siapa pun
kecuali anggotanya sendiri adalah memilihara dan menjaga Pura Kawitan,
serta menyelenggarakan peribadatan (bersembahyang) untuk setiap
merajan (keluarga inti), dadia (keluarga besar), yang ada di Pura Kawitan.
Seka jenis ini pembentukkan terjadi secara otomatis, tanpa melalui proses
perencanaan yang berbelit-belit. Mereka yang berasal dari orang tua yang
sama, kakek yang sama, buyut yang sama, leluhur yang sama, secara
otomatis memiliki seka-nya, karena setiap tingkatan dari seka tersebut,
khususnya di level orang tua atau keluarga inti, di mana tugas dan
kewajiban di dalam Pura Kawitan (dalam merajan) tidak dapat digantikan
oleh anggota keluarga inti yang lain, meskipun berasal dari kakek yang
sama. Di level satu garis leluhur tunggal (wit), keanggotaan seka adalah
seluruh anggota keluarga inti yang berasal dari satu identitas leluhur yang
sama, atau disebut warga, dengan tugas dan kewajiban yang sama di Pura
Kawitan. Seka jenis ini biasanya masih berada di dalam satu banjar
tertentu, atau menjadi bagian dari banjar yang mewakili satu identitas
warga tertentu. Jenis seka lain yang masih berada di dalam satu banjar,
terkadang menjadi identitas sebuah banjar (menjadi satu), adalah seka
yang dibentuk berdasarkan keanggotaan keluarganya ketika berada di Nusa
Penida dalam satu banjar tertentu, misalnya: seka untuk Warga Pandé
yang ada di Dusun Soyor di Nusa Penida.

267

Gambar 27. Salah Satu Bale Banjar
(Atas: tampak depan; bawah: gedung utama bale banjar)
(Sumber: Yulianto, 2010)

Kembali ke seka sebagai sebuah salah satu sistem sosial dalam
masyarakat Bali, seka yang ada di Balinuraga merupakan adaptasi dari
seka yang ada di Nusa Penida. Mereka yang sebelum bertransmigrasi
merupakan anggota dari seka gong atau seka tani, seka-seka tersebut
mereka terapkan lagi setelah bertransmigrasi. Untuk kasus seka gong dan
seka tani, mereka yang membentuk seka ini adalah mereka yang dulunya
sewaktu di Nusa Penida telah menjadi anggota dari seka tersebut di dalam

268

banjar-nya – dalam perkembangannya keanggotannya menjadi terbuka
ketika ada transmigran Bali Nusa (baik Bali Nusa dari Nusa Penida atau
pun yang berasal dari Jembrana, Bali Utara) yang bertransmigrasi ke
wilayah Balinuraga dalam banjar tersebut dalam transmigrasi gelombang
kedua. Kemudian, untuk kasus seka gong, kehadiran seka ini berfungsi
sebagai kaderisasi bagi generasi berikutnya untuk mengembangkan dan
meneruskan kesenian Bali. Ini yang menyebabkan seka gong tetap eksis di
Balinuraga, dan menjadikan desa ini populer akan pentas keseniannya,
baik di kalangan komunitas Bali di luar Balinuraga maupun di kalangan
pemerintah daerah. Selain sebagai tradisi dalam masyarakat Bali, seka di
Balinuraga secara sosial berfungsi untuk mempererat solidaritas
anggotanya, khususnya anggota di dalam satu banjar. Umumnya setiap
anggota banjar mempunyai keanggotaan di seka tertentu, dan
keanggotaannya lebih dari satu seka dalam satu banjar. Mereka akan
merasa canggung jika tidak memiliki keanggotaan atau terlibat aktif dalam
seka tertentu. Ada sebuah prestise tersendiri, khususnya bagi anak muda di
Balinuraga dan orang tuanya (ada regenerasi dari orang tua ke anaknya
dalam keanggotaan dan keterampilan seni dalam seka gong), jika menjadi
anggota seka gong, terutama memiliki keahlian tertentu di dalam seka
gong tersebut, seperti terampil memainkan gamelen Bali dan mementaskan
salah satu varian tarian Bali – bagi pemuda ini merupakan nilai tambah
untuk memikat seorang gadis Bali, baik di Balinuraga atau pun di luar
Balinuraga jika sedang diundang pentas ke perkampungan Bali lain di luar
Balinuraga.

269

Gambar 28. Seka Gong sedang Mentas
(Di malam hari dalam rangkaian upacara pitra yadnya)
(Sumber: Yulianto, 2010)

270

Gambar 29. Anggota dan Logo Seka Gong
(sebelah kiri: persiapan mentas Tari Baris saat upacara puncak ngaben pribadi;
kanan: logo seka gong yang ada di seragam resmi)
(Sumber: Yulianto, 2010)

Subak
Sistem subak yang ada di Balinuraga berbeda dengan yang ada di
Bali pada umumnya. Hal ini ini disebabkan sawah di Balinuraga tidak

271

menggunakan irigasi, atau sistem irigasi (subak)229, melainkan
menggunakan sistem sawah tadah hujan. Sama seperti pola pertanian
mereka ketika di Balinuraga yang sangat mengandalkan air hujan, karena
sangat terbatasnya air tanah dan curah hujan di Nusa Penida. Dapat
dikatakan mereka sudah terbiasa dengan lahan pertanian yang
mengandalkan air dari curah hujan. Konsep yang digunakan dalam adopsi
sistem subak ini terletak pada krama subak yang keanggotannya
berdasarkan banjar tertentu, yaitu dengan membentuk seka tersendiri di
masing-masing banjar. Krama subak kurang lebih mirip seperti kelompok
tani, atau biasa disebut seka tani. Pembedanya adalah pada dalam proses
pertaniannya dilihatnya unsur-unsur adat-keagamaan Bali Hindu yang
menjadi ciri khas mereka. Keanggotaannya adalah anggota banjar yang
berprofesi sebagai petani (pemilik sawah). Jadi, tidak didasarkan pada
identitas warga yang ada di dalam banjar tersebut. Siapa pun bisa menjadi
anggota, asalkan berasal dari banjar atau anggota dusun tersebut.
Sama seperti banjar, krama subak ini memiliki kekompakkan
yang khusus sebagai kelompok tani Bali Nusa. Proses pertanian dimulai
dan diakhiri bersama-sama, mulai dari masa pembenihan bibit sampai pada
proses panen dan penjualan, dengan waktu yang hampir bersamaan dengan
krama subak di banjar lain. Proses ini yang membedakan pola pertanian
antara kelompok petani Bali Nusa dengan kelompok petani Jawa. Unsur
adat-keagamaan yang dimasukan dalam proses pertanian menjadikan
kegiatan bertani sebagai sebuah proses sakral, sekaligus terkesan ribet bagi
orang awam (petani Jawa). Penunjuk utama bahwa lahan pertanian (sawah)
itu adalah milik petani Bali (Bali Nusa) adalah keberadaan sebuah pura di
lahan pertanian – biasa disebut dengan “pura tani”– yang secara rutin
mereka sajikan bantenan (sesajen). Salah satu peraturan tidak tertulis
(semacam awig-awig) yang berlaku bagi krama subak adalah mereka tidak
diperkenankan menjual hasil panennya sesaat setelah panen selesai
dilaksanakan. Setelah masa panen mereka wajib melakukan upacara
pengucapan syukur, dan menyimpan hasil panennya di dalam lumbung.
229

Sebagai perbandingan bagaimana sistem subak di Bali terkait dengan sistem
irigasinya, lihat: Sutawan (2008), Organisasi dan Manajemen Subak di Bali,
Denpasar: Pustaka Bali Post.

272

Penjualan dilakukan setelah harga jual gabah atau beras tinggi (harganya
pas atau sesuai, tidak nombok), kecuali ada kasus-kasus tertentu seperti
padi puso akibat banjir dan serangan hama wereng. Acara puncak dari
proses pertanian yang biasanya diselenggarakan dalam sebuah ritual dan
upacara yang besar adalah ruwatan hasil panen, khususnya ketika panen
besar berhasil diraih oleh krama subak dari banjar tertentu. Terkadang
dalam waktu tertentu acara ini turut disponsori oleh perusahaan swasta
yang menjual produk bibit, pupuk, dan pembasmi hama, dan juga
pemerintah daerah. Ini bukan berarti ketika hasil panen tidak baik dan
tidak ada sponsor upacara ini tidak dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan
secara sederhana oleh mereka secara swakarsa, meskipun panen tidak baik
dan tidak ada sponsor. Inti dari upacara ini adalah wujud pengucapan
syukur atas anugerah dari Sang Hyang Widhi. Mereka percaya bahwa
pengucapan syukur melalui upacara ini akan mendatangkan keberhasilan
pada penanaman berikutnya, meskipun misalnya terjadi panen yang tidak
baik. Kemudian, pendapatan dari uang penjualan hasil panen ini digunakan
oleh mereka untuk berbagai kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak,
pembangunan dan renovasi pura keluarga, kawitan, kahyangan tiga,
penyelenggaraan upacara adat-keagamaan penting, dan kebutuhan
sekunder lainnya.
Jadi, ritual dan upacara adat-keagamaan merupakan sebuah
kewajiban bagi krama subak dalam menjalankan profesi mereka di bidang
pertanian. Mereka percaya dan meyakini bahwa kealpaan dari ritual dan
upacara ini akan berdampak pada sanksi niskala, entah hasil panen yang
lebih buruk di masa tanam berikutnya, maupun malapetaka yang menimpa
anggota keluarganya. Hal penting dari sistem subak yang diadopsi oleh
masyarakat Balinuraga pada setiap krama subak di banjar-nya adalah
sebagai wadah atau organisasi sosial serta organisasi yang bersifat adatkeagamaan. Berikutnya, yang jauh lebih penting adalah sebagai pemersatu
komunitas banjar yang terdiri dari anggota kelompok warga-warga
sebagai petani Balinuraga. Tentu, akan menjadi kebanggaan tersendiri jika
krama subak dari banjar tertentu mendapatkan hasil panen yang lebih baik
dari krama subak di banjar lain.

273

Arti penting dari keberadaan seka tani atau krama subak yang
berada di bawah banjar adalah fungsinya sebagai lembaga adat, agama,
dan perekonomian (pertanian). Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiga
fungsi ini menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, dalam setiap
pelaksanaan kegiatan pertanian (ekonomi) krama subak tidak dapat
melepaskan kegiatan pertanian tersebut dengan kegiatan adat dan agama.
Secara simbolis, eksistensi krama subak dapat dilihat dari berdirinya “Pura
Subak” atau “Pura Empelan” sebagai pemersatu krama subak dalam
teritori banjar tertentu. Keanggotaan krama subak atau seka tani ini tidak
hanya keanggotaannya sebagai petani tapi juga sebagai anggota adat dan
keagamaan. Karenanya, di level keluarga inti (petani pemilik lahan), setiap
petani memiliki pura tani di lahan pertaniannya. Upacara penting yang
melibatkan krama subak – terkait dengan kegiatan pertanian, adat, dan
keagamaan – biasanya diselenggarakan di Pura Subak. Bila upacara
tersebut merupakan upacara yang besar – seperti ruwatan hasil panen –
upacara diselenggarakan di bale banjar, setelah upacara inti
diselenggarakan di pura subak. Sistem pertanian tradisional ini (subak)
yang menjadi pembeda antara petani Bali (Bali Hindu) dengan petani
Jawa. Petani Bali – seperti di Balinuraga – tetap mempertahankan sistem
pertaniannya yang tradisional, di mana unsur adat dan agama menjadi satu
dengan kegiatan pertanian mereka.

Gambar 30. Pura Tani
(Pura Tani di lahan pertanian krama subak)
(Sumber: Yulianto, 2008)

274

Gambar 31. Pura Subak / Empelan
(Sumber: Yulianto, 2009)

Salah satu inovasi yang dilakukan oleh petani di Balinuraga
sebagai solusi mengatasi kekurangan air adalah dengan membangun sumur
bor. Ketika musim hujan berdurasi singkat, sedangkan lahan pertanian
mereka tadah hujan, maka kehadiran sumur bor ini akan sangat
mendukung para anggota krama subak. Umumnya setiap petani memilki
sumur bor sendiri. Saat ini tidak membutuhkan biaya yang besar untuk
membuat sumur bor. Dengan biaya tiga sampai lima juta (harga paling
murah) mereka sudah dapat membangun sumur bor di lahan
pertaniannya230. Kendala dari kehadiran sumur bor tersebut yang mulai
dirasakan oleh petani Balinuraga adalah sumur tradisional di rumah debit
airnya mengalami penurunan yang cukup signifikan ketika kemarau tiba.

230

Dalam kasus tertentu, ada yang menghabiskan sampai puluhan juta rupiah
untuk membangun sumur bor, namun hasilnya tidak memuaskan. Ini dikarenakan
karena tanah pertaniannya tidak berada pada jalur air tanah yang memiliki debit
air yang besar.

275

Gambar 32. Sumur Bor Krama Subak
(Sumber: Yulianto, 2008)

Keberhasilan dari kelompok tani (krama subak) di Balinuraga
adalah menjadikan desa ini sebagai salah desa penghasil beras di
Kabupaten Lampung Selatan. Kesolidan dan kekompakkan krama subak
ini yang menjadikan mereka sebagai petani yang diidentikkan dengan
petani pekerja keras, tekun, ulet, dan agresif. Bagi mereka tanah dua hektar
serasa belum memiliki tanah, karena masih dapat mereka kelola sendiri
tanpa menggunakan jasa dari buruh tani. Memiliki tanah lebih dari dua
hektar – rata-rata puluhan hektar – baru dianggap memiliki tanah, karena
mereka sudah menggunakan buruh tani dan tidak menggarapnya sendiri.
Saat musim hujan mulai tiba dan masa pembenihan serta penanaman telah
dimulai, Desa Balinuraga seperti kampung kosong sejak dini hari. Hanya
sekawanan babi, ayam, dan anjing yang berkeliaran di jalan desa dan
pekarangan rumah. Desa mulai ramai kembali di waktu sore hari setelah
petani dan beberapa anggota keluarganya telah pulang dari sawah, dan di
malam hari diisi dengan kegiatan olahraga atau bermain musik dan berlatih
tari dalam seka gong.

Sistem Warga
Sebelum membahas sistem warga yang berlaku dalam komunitas
Bali Nusa di Desa Balinuraga, ada beberapa fakta yang harus dikemukakan
terlebih dahulu, yaitu (1) masyarakat Bali Nusa termasuk dalam golongan
jabawangsa, yaitu sebuah golongan atau kelompok masyarakat Bali yang

276

berada di luar lingkungan kerajaan (puri) atau triwangsa (brahmana,
kesatria, dan weysia). Sebutan lain dari golongan jabawangsa ini – yang
bagi sebagian besar anggota kelompok warga yang tidak dimasukkan ke
dalam golongan triwangsa di masa kolonial sebagai sebuah sebutan yang
merendahkan harkat dan martabat mereka – adalah sudrawangsa atau
orang sudra. Dengan kata lain, saat mereka masih berada di Nusa Penida
dan setelah berada di Lampung, mereka termasuk golongan jabawangsa.
Secara geografis pun keberadaan mereka di Nusa Penida jauh dari
lingkaran dan jangkauan kekuasaan puri, di mana puri atau kerajaan
terdekat adalah Klungkung. Di samping itu, sejarah di masa kerajaan di
mana pulau ini dijadikan sebagai tempat pengasingan atau pembuangan
bagi tahanan politik pihak kerajaan yang berkuasa, di mana yang menjadi
tahanan politik (sebagian besar) adalah orang-orang penting yang memiliki
kedudukan atau status sosial yang tinggi, dan orang-orang buangan karena
melakukan praktek ilmu hitam ketika berada di pulau induk, Bali. Mereka
yang diasingkan ke Nusa Penida secara otomatis status atau kedudukan
sosialnya menjadi hilang. Dengan kata lain, mereka menjadi kawula atau
rakyat jelata, yang biasa disebut sebagai orang jaba (orang luar); (2)
sebuah realitas bahwa golongan jabawangsa ini terdiri dari beberapa
kelompok warga yang berasal dari leluhur yang berbeda, di mana leluhur
tersebut menjadi pembentuk dari warga atau klan generasi-generasi
berikutnya. Menariknya adalah leluhur dari beberapa kelompok warga
tersebut, baik berdasarkan sejarahnya atau pun berdasarkan versi elit-elit
warga tersebut, merupakan seseorang yang memiliki peran penting di
dalam pemerintahan dan keagamaan. Singkatnya, leluhur-leluhur warga
tersebut di masanya termasuk dalam golongan brahmana dan kesatria; (3)
konsep warga sebagai sebuah identitas sosial atau status sosial lebih
senang mereka gunakan daripada konsep wangsa atau kasta. Mereka lebih
sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Warga Pasek, Warga Pandé,
dan Warga Arya daripada mengidentifikasikan dirinya sebagai jabawangsa
atau sudrawangsa. Terkadang mereka yang sudah generasi ketiga secara
meyakinkan dapat menyebutkan identitasnya sebagai Warga A, Warga B,
atau Warga C, tapi mereka menjadi bingung (belum paham) ketika Warga
A, Warga B, atau Warga C itu termasuk dalam kasta atau wangsa apa.
Bagi generasi sebelumnya yang sudah sepuh dan mereka yang memahami

277

konsep catur warna dalam agama Hindu, mereka lebih senang dengan
konsep warga karena dinilai lebih egaliter, tidak ada pembedaan kelas atau
status sosial berdasarkan kelahiran yang bersifat ajeg. Mereka pun bangga
dengan status sosial warga-nya, karena leluhur mereka di masanya
memiliki perang yang penting di pemerintahan kerajaan dan di bidang
keagamaan (sebagai kesatria dan sebagai brahmana). Hal ini diperkuat
dengan komposisi masyarakat Nusa Penida di waktu itu (sebelum
bertransmigrasi) yang lebih egaliter karena kedudukan pulau tersebut
sebagai tempat pengasingan dan lokasinya yang jauh dari pusat kerajaan
(puri). Dalam beberapa kasus, (dimungkinkan) terjadi beberapa kesalahan
dari beberapa kelompok masyarakat dalam mengidentifikasikan identitas
warga atau leluhurnya.
Beberapa fakta di atas merupakan dasar bagi berkembanganya
sistem warga di Balinuraga. Sistem wangsa yang dulu pernah berlaku di
masa kolonial – dan sampai sekarang

Dokumen yang terkait

RESOLUSI KONFLIK BERBASIS GOOD GOVERNANCE STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

7 54 98

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Konflik Warga Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan)

0 12 92

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB II

1 1 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB III

1 2 52

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB IV

0 2 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI

0 0 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VII

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 41