RESOLUSI KONFLIK BERBASIS GOOD GOVERNANCE STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

ABSTRACT

CONFLICT RESOLUTION BASED ON GOOD GOVERNANCE

CASE STUDY CONFLICT IN AGOM AND BALINURAGA

VILLAGE SOUTH LAMPUNG REGENCY

by : Hendi Renaldo

Conflict in Indonesia has long suffered the complexity of its causes. It becomes a serious threat for public interest if it doesn’t manage properly. The state must be present in the process conflict resolution. Involving other elements such as civil society in the process of resolution needed to create conflict resolution that comes from awareness and participation of civil society independence (bottom up)

This study aims : (a) to identify the causes of the conflict, (b) to know how the conflict prevention is constructed and (c) to offer conflict resolution model. The method used in this study is the qualitative approach with case studies. The data collected by using interview, documentation, and observation.

The results show causes of conflict are relation resistance state and local residents, stereotype issue, juvenile delinquency and failure of negotiation. Moreover prevention of the conflict from local government and security forces are still repressive with top down pattern that not able to stop the conflict that culminate violence. Prevention after conflict violence resulted on peace charter and formed Rembug Pekon Program that still has weaknesses such as lack of legal awareness in society, unability to give a win-win solution of the problem in self society and lack of security personnel on prevention and resolution of the conflicts

This study recommends of the need for strengthening institutional capacity building of conflict resolution in the local community especially on Rembug Pekon program through community empowerment so that they can be participate in conflict resolution. Moreover creation activator agent to overcome lack of security personnel for conflict resolution are also needed as well as. Social investment as the foundation of mindset and behaviors that are effective empowerment to do. It become a set of model offered by researcher for conflict resolution based on public awareness.


(2)

ABSTRAK

RESOLUSI KONFLIK BERBASIS

GOOD GOVERNANCE

STUDI KASUS KONFLIK DESA AGOM DAN DESA

BALINURAGA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh : Hendi Renaldo

Konflik di Indonesia semakin lama mengalami kompleksitas penyebab. Keadaan tersebut menjadi ancaman serius bagi kepentingan publik apabila konflik tersebut tidak dikelola dengan baik. Negara harus hadir dalam proses resolusi konflik. Ketrlibatan elemen lain seperti masyarakat sipil dalam proses resolusi sangat dibutuhkan demi mewujudkan resolusi konflik yang bersumber dari kesadaran partisipasi dan kemandirian masyarakat sipil (bottom up)

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menemukan penyebab terjadinya Konflik (b) mengetahui bagaimana penanggulangan konflik yang dilakukan (c) mencoba memberikan sebuah tawaran model resolusi konflik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumentasi dan observasi.

Hasil penelitian menunjukan penyebab konflik adalah terjadinya resistensi hubungan negara dan masyarakat lokal, isu kesukuan, kenakalan remaja dan kegagalan negoisasi. Selain itu penanggulangan konflik yang dilakukan aparat beserta pemerintah saat terjadinya konflik masih bersifat represif dengan pola top down yang faktanya tidak mampu menghentikan konflik yang berujung kekerasan. Penanggulangan pasca konflik kekerasan juga menghasilkan piagam perdamaian dan pembuatan program rembug pekon yang masih memiliki kelemahan seperti lemahnya kesadaran hukum dan kemampuan peneyelesaian masalah secara swadaya di masyarakat hingga kurangnya aparat keamanan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik

Penelitian ini merekomendasikan perlunya penguatan kapasitas dan kelembagaan resolusi konflik masyarakat lokal khususnya pada program rembug pekon melalui pemberdayaan masyarakat sehingga mampu berpartisipasi dalam penaggulangan konflik. Selain itu penciptaan agen penggerak untuk mengatasi kurangnya aparat keamanan dalam penyelesaian konflik juga dibutuhkan lalu investasi sosial sebagai pondasi pola pikir dan prilaku agar pemberdayaan yang dilakukan berjalan efektif. Ketiga rekomendasi tersebut menjadi seperangkat model yang ditawarkan peneliti untuk resolusi konflik yang berbasis kesadaran masyarakat Kata Kunci : Konflik, Model Resolusi Konflik, Good Governance


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 30 Juli 1991 dari pasangan Bapak Rusdiyanto dan Ibu Habibah Tul Umayah, BBA. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis yaitu dimulai dari TK Kartika II-7 Bandar Lampung pada tahun 1995-1996, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kartika II-5 Bandar Lampung sejak tahun 1996-2002. Pendidikan lanjut tingkat pertama penulis tempuh pada tahun 2002-2006, di SLTP Negeri 9 Bandar Lampung. Jenjang pendidikan tingkat atas penulis tempuh di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 12 Bandar Lampung sejak tahun 2006-2009. Di tahun 2009, penulis diterima di dua Universitas Negeri yaitu Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Administrasi Negara melalui seleksi Ujian Tulis (UTUL) dan Universitas Lampung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Jurusan Administrasi Negara melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), namun takdir membawa penulis untuk menempuh ilmu di Universitas Lampung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Administrasi Negara

Selama menjadi mahasiswa penulis mencoba ikut aktif dalam berbagai organisasi di lingkungan kampus Universitas Lampung tercinta. Organisasi tersebut ikut mengembangkan karakter dan kepribadian penulis dalam masa yang akan datang terutama saat kuliah. Dimulai dengan aktif di tingkat Jurusan yang tercatat dalam


(9)

Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (HIMAGARA) yang memegang amanah Kepala Bidang Kajian Pengembangan Keilmuan (2011-2012). Di Tingkat Fakultas Penulis tercatat aktif dalam Forum Studi Pengembangan Islam (FSPI) dan mendapat Amanah sebagai Kepala Biro Pengurus Harian Mushala At-Tarbiyah (2011-2012). Disamping itu penulis juga aktif dalam organisasi tingkat Universitas, di Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM UNILA) yang memegang amanah menjadi Menteri Kebijakan Publik (2012-2013).

Selain itu, penulis juga tercatat sebagai Atlit Taekwondo Daerah yang berhasil meraih Juara pertama pada kejuaran Walikota Cup dan Unila Cup (2008-2009). Selanjutnya Penulis pernah menorehkan prestasi sebagai Delegasi Mahasiswa Lampung dalam Konferensi Mahasiswa FISIP Se-Indonesia (2010-2011) yang disaring melalui Pemilihan Karya Tulis. Pada tahun 2010-2011 juga penulis tercatat sebagai penerima dana hibah DIKTI RI di bidang kewirausahaan yang bernama Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan di lanjutkan pada tahun 2011-2012, Penulis mendapat Hibah dari DIKTI RI pada Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Di tahun 2012-2013 penulis kembali menerima Hibah DIKTI RI di Bidang Penelitian pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

Berbagai pengalaman selama menjadi mahasiswa ikut menginspirasi, memberi pengalaman dan spirit kepada penulis untuk tumbuh dan besar di lingkungan yang hangat dengan kasih sayang dan cinta dari keluarga, saudara, serta teman-teman, membuat penulis termotivasi untuk membahagiakan orang-orang di sekeliling penulis.


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan segala kekurangan dan kerendahan

diri Puji syukur atas nikmat ALLAH SWT SERTA

SHALAWAT KEPADA Nabi Muhammad saw.

Karya ini ku Persembahkan Untuk :

Ibu Juara Satu Sedunia dan Ayah tercinta

Adik-adik ku

Semua Pahlawan tanpa tanda jasa ku

Seluruh sahabat dan teman teman ku

Keluarga Besar Ilmu Administrasi Negara

Unila dan Aktivis mahasiswa YANG TAK

PRAGMATIS ATAS NAMA GERAKAN

Kepada merekalah karya ini Ku

persembahkan


(11)

MOTO

“Barang siapa menolong agama ALLAH, niscaya ALLAh akan menolong mu dan

meneguhkan kedudukan mu.”

(Qur’an Surat Muhammad; 7)

“Lihatlah orang

-orang yang dibawahmu dalam urusan harta dunia, dan jangan

sekali;kali melihat yang berada diatasmu, supaya kamu tidak meremehkan karunia

ALLAH yang diberikan kepadamu “

(Rasulullah SAW)

“Jangan terlalu banyak berharap pada manusia karena

ia tak sempurna, berharap

dan berdoalah pada-

Nya sebab ia Maha Segalanya”

(Nasihat Ibu)

“Hiduplah dengan memberi sebanyak

-banyaknya, bukan hidup dengan menerima

sebanyak-

banyaknya”

(Ost. Film Laskar Pelangi)

“Berusaha semaksimal mungkin jangan terlalu

banyak meniru cara orang lain

cukup lakukan dengan caramu sendiri karena Allah telah menentukan takdir yang

unik dan indah pada setiap makhluk-

Nya”

(Penulis)

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater”


(12)

SANWACANA

ِمْيِحَرلا ِ اَ ْحَرلا ِه ِمْسِب

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala limpahan rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Resolusi Konflik Berbasis Good Governance (Studi Kasus Konflik Desa Agom dan Desa Baliniraga Kabupaten Lampung Selatan)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana (S1) pada Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih secara khusus kepada ayah dan ibunda tercinta yang tidak pernah lupa memberikan doa dan restunya, dukungan moril dan spiritual serta harapan dan kasih sayangnya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis selalu mengharapkan saran dan kritiknya yang membangun dari pihak pembaca yang arif guna tugas selanjutnya di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua penulis, Habibah Tul Umaya, BBA sebagai Ibu Juara satu

sedunia dan Rusdiyanto (Ayah tercinta), semoga ini awal yang indah bagi penulis agar dapat membahagiakan ayah dan ibu lebih dari sekarang. Semoga dengan usaha, ikhtiar, dan do’a restu, penulis akan sukses dan membahagiakan serta memberikan yang terbaik bagi keluarga. Aamiin ya Allah.


(13)

2. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.Sos., M.Si Selaku Ketua Jurusan Ilmu

Administrasi Negara dan Pembimbing utama yang telah banyak memberi arahan, saran dan nasehat sehingga penulis dapat memperbaiki dan menyelesaikan skripsi ini. Pendidikan dan Ilmu yang bapak ajarkan menjadi modal penting yang tidak akan terlupakan bagi penulis

3. Ibu Meiliyana, S.IP., M.A, selaku dosen pembimbing pembantu yang banyak

memberi masukan, bimbingan dan nasihat sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini. Motivasi yang ibu berikan semoga bisa mengantarkan saya sekolah ke luar negeri. Aamiin.

4. Bapak Nana Mulyana, S.IP, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik (PA)

yang turut membantu memberi kemudahan dan motivasi kepada penulis selama kuliah.

5. Ibu Dr Bartoven Vivit, S.Sos., M.Si, selaku penguji utama yang telah

memberikan kritik, saran serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini

6. Segenap civitas akademika, dosen pengajar atas bimbingan dan ilmu yang telah

diberikan; serta para karyawan yang ramah atas segala bantuannya yang telah diberikan.

7. Adik-adikku ( Muhammad Pebriyansyah dan Jimmi Ade Putra) yang telah

memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, kita harus sukses dan membahagiakan kedua orang tua kita. Semoga niat baik kita mendapat kemudahan dan keberkahan dari Allah SWT. Aamiin Ya Allah

8. Segenap Informan penelitian : Rizani Puspa Wijaya, S.H selaku Dewan Pakar


(14)

Parkhan, S.H sebagai Kepala Satuan Sabhara Polres Lampung Selatan, Drs. Danial Usman sebagai Kepala Bidang Linmas dan Penanganan konflik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lampung Selatan, Letkol. Sugeng sebagai Pasi Intel Dandim 0421 Lampung Selatan, I Made Sumitre Sebagai Ketua Parisade Desa balinuraga, I Made Santre Sebagai Kepala Desa Balinuraga, Mukhsin Syukur sebagai Kepala Desa Agom, Rohimi sebagai ayah dari pemudi agom, Febtya Manibra Veralona sebagai pemudi desa Agom yang membantu proses pendekatan kepada warga serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan keramahtamahannya kepada penulis.

9. Sahabat seperjuangan Didi Sudarmansyah, S.Pd, Astra Dian Marta dan

Oktoriadi. Teman-teman SMA Rafli, Herdy, Rofi. Semoga kita sukses Dunia Akhirat ya. Aamiin Ya Rabb

10. Keluarga Besar Administrasi Negara Bang Mip (Bang sekarang aku udah ngerti

apa itu yang namanya mahasiswa plus plus hehe), Ka Puja (jazakallah akhi atas semangatnya), Ka Anugrah, Bang Mora (makasih ka atas bantuan share-nya) ANE 2007 (Ka Agung, Ka izul, Ka Anjar), ANE 2008 (Dito, Joko, Mba Anisa Lestari, Mba Anisa Agustina, Mba Irma, Mba Siah, Mba Linda, Mba Susi), ANE 2010 (Fadri, Pandu, Yulia, Erisa, Tio, Dita, Desmon, Triyadi), ANE 2011 (Esha,Suci,Toto,Akbar,Vike), ANE 2012 (Eko, Johansyah, Sholeh, Bayu, Yogi, Endri, Firdaus, Annisa, Erna, Ria, Novita Mona, Ridha, Nadiril). Terima kasih atas semangat dan bantuanya selama ini semoga sukses untuk kita semua.

11. Teman-teman seperjuangan Administrasi Negara 2009 Guruh (kapan nikah


(15)

mau beli mobil gue hubungi lo ya), Agus (Kurangin bacandain orang gus hehe), Agus Indra (Serius lo mau jadi Bupati Way Kanan hehe), Torik, Tendi, Distian (Atur waktu buat skripsi bro biar lulus trus kita bisa buat perusahaan bareng), Dewi Mustika Sari (Makasih bantuan dan perhatianya  semoga ya), Fika, Wiwit, Nanda, Martina, Rahma (seneng bisa kenal kalian), Layla (semangat le makasih bantuanya), Gustia (salam buat temen mu itu ya hehe), Fahmi si mantan gubernur, Adi Purnomo (gua boleh gabung band lo ya di hehe), Adi wong kito galo, Apriza si kalem, Fitri si Uni (makasih bantuanya), Intan, Yessi, Agnes Deril, Eka, Oling,Tasya Id Hafiza, Septi, Ristra, Ridho, Lita, Dina, Nina, Yosi (turun lagi dari gunung itu yos hehe), Arum, Marta, Nova, Rianti (Salam Lestari), Nurul Chusna, Kartika, Listiati (aktivis mahasiswa perempuan ayo kita aksi hehe makasi banyak bantuanya selama ini semoga kita sukses dunia akhirat). Terima kasih atas pelajaran hidup, spirit dan bantuannya selama ini. Terima kasih juga untuk canda tawanya. HIMAGARA 2009 sweet memory. 12. Teman teman FSPI FISIP UNILA Ka Nugroho, Ka Taufan, Ka Guntur, Mba

Desti, Mbk Zulaikha, Merli, Mba Annisa valentine, Ratih, Windi, Hanifah, Fitri, Yurlian, Meilia, Yulia, Ayu Sekar, Syarif, Ismail, Anugrah, Fuad, Bayu, Hengki, Anda dan adik adik Laskar Muda FSPI angkatan 2010, 2011, 2012. Tetap istiqomah di Jalan Dakwah, Jaga Ukhuwah, Semoga kita di pertemukan di Surga-Nya kelak. Aamiin Ya Rabb.

13. Teman teman seperjuangan BEM UNILA, Arjun Fatahilah dan Nanda Satriana

(Presiden dan wakil Presiden), Ezed qyoko (makasih bu Asmen atas bantuanya), Mbk Serly (makasih mbk kenang kenangan Handphonenya), Mbk April, Mbk Rian Diasti, mbk Zahra,Mbk Firda (Semangat Lulus mbk hehe), Amin, Pimal,


(16)

Ervan, Ari, Aan, Ka Yogi, Roni (ayo kita diskusi dan aksi lagi). Dek liyana dan

Brian, Staf Kementrian Kebijakan Publik (Diah, Aziz, Evi, Bayu dan Agung) Idealis harga mati untuk Perubahan yang lebih baik. Aku akan rindu dengan

teriakan ini kawan. Hidup Mahasiswa !!!

14. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang

tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas dukungannya.

Akhir kata semoga segala kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis semoga mendapat balasan dari Allah SWT dan penulis meminta maaf apabila ada kesalahan tanpa sengaja dan yang pernah tersakiti dalam kehidupan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat. Jazzakallah Khairan Katsir

Bandar Lampung, 30 Januari 2014 Penulis,

Hendi Renaldo


(17)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...10

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Kegunaan Penelitian...11

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Konflik ...12

1. Pengertian Konflik. ...12

2. Faktor Penyebab dan Bentuk Konflik ...13

B. Tinjauan Good Governance ...13

1. Urgensi dan Pengertian Good Governance ...13

2. Aktor-aktor Good Governance ...15

3. Prinsip Utama Good Governance ...16

4. Pemberdayaan sebagai tahap awal partisipasi...17

5. Pemberdayaan masyarakat sipil untuk pencegahan konflik...18

C. Pengertian Multikultural ...19

D. Model Resolusi Konflik ...20

1. Tinjauan Teoritik Model Resolusi Konflik ...20

2. Hasil Kajian Terdahulu mengenai Resolusi Konflik ...22

E. Kerangka Pikir ...34

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian...35

B. Jenis Penelitian ...36

C. Fokus Penelitian ...38

D. Lokasi Penelitian ...38

E. Informan ...39

F. Teknik Pengumpulan Data ...40


(18)

IV. GAMBARAN UMUM

A. Desa Balinuraga ...45

1. Sejarah Desa ...45

2. Demografi ...47

3. Pendidikan ...48

4. Keagamaan ...48

5. Kondisi Ekonomi ...49

6. Pemerintahan Desa ...50

B. Desa Agom ...51

1. Sejarah Desa ...51

2. Demografi ...51

3. Pendidikan ...53

4. Keagamaan ...53

5. Kondisi Ekonomi ...54

6. Pemerintahan Desa ...54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Asal daerah Transmigran ...55

B. Kondisi Lampung Selatan ...59

C. Penyebab Konflik ...63

1. Resistensi Hubungan Negara dan Masyarakat Lokal...64

2. Isu Kesukuan ...69

3. Kenakalan Remaja ...73

4. Kegagalan Negoisasi ...75

D. Identifikasi Konflik ...77

1. Jenis Konflik ...79

2. Tipe Konflik ...80

3. Bentuk Konflik ...81

E. Penanganan Konflik ...82

1. Pada Saat konflik...83

2. Pasca Konflik ...96

F. Model Resolusi Konflik : Sebuah Tawaran ...112

1. Pemberdayaan sebagai langkah awal untuk partisipasi ...117

2. Multikulturalisme sebagai investasi sosial ...119

3. Agen Penggerak : Menuju sebuah komunitas perdamaian ...123

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...127

B. Saran ...130 DAFTAR PUSTAKA


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Peristiwa konflik antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan ... 5

2. Resolusi Konflik Rasullullah dalam berbagai setting konflik ... 27

3. Kerangka Umum Resolusi Konflik Arya Hadi ... 32

4. Daftar Informan Penelitian... 39

5. Nama kepala desa dan masa bakti ... 46

6. Peruntukan lahan desa Balinuraga ... 47

7. Jumlah Penduduk Balinuraga ... 48

8. Tingkat pendidikan warga Balinuraga ... 48

9. Daftar pemeluk agama desa Balinuraga... 48

10. Data bangunan tempat ibadah desa Balinuraga ... 49

11. Luas pemanfaatan lahan pertanian ... 49

12. Jumlah peliharaan ternak ... 49

13. Struktur mata pencaharian ... 50

14. Pemanfaatan lahan dan Luas lahan desa Agom ... 51

15. Jumlah Penduduk desa Agom ... 52

16. Jumlah warga desa Agom berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 53

17. Jumlah bangunan gedung pendidikan di desa Agom ... 53

18. Jumlah warga Agom berdasarkan pemeluk agama ... 53

19. jumlah bangunan rumah ibadah di desa Agom ... 54

20. Jumlah warga Agom berdasarkan pekerjaan ... 54

21. Daftar nama korban tewas akibat konflik ... 87

22. Daftar kerusakan akibat korban kerusuhan ... 87

23. Peristiwa konflik antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan ... 93


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta Desa Balinuraga ...47

2. Susunan Organisasi Pemerintahan Desa Balinuraga ...50

3. Peta Desa Agom ...52

4. Susunan Organisasi pemerintahan Desa Agom ...54

5. Perbandingan penyebab konflik menurut peneliti dengan Lewis Coser ...77

6. Relevansi tipe konflik Coser dan Fisher dengan tingkatan penyebab menurut peneliti ...78

7. Resolusi konflik rekomendasi peneliti ...116

8. Bentuk Konkrit Investasi sosial berdasarkan penegembangan peneliti ...121


(21)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Peristiwa konflik antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan ... 5

2. Resolusi Konflik Rasullullah dalam berbagai setting konflik ... 27

3. Kerangka Umum Resolusi Konflik Arya Hadi ... 32

4. Daftar Informan Penelitian... 39

5. Nama kepala desa dan masa bakti ... 46

6. Peruntukan lahan desa Balinuraga ... 47

7. Jumlah Penduduk Balinuraga ... 48

8. Tingkat pendidikan warga Balinuraga ... 48

9. Daftar pemeluk agama desa Balinuraga... 48

10. Data bangunan tempat ibadah desa Balinuraga ... 49

11. Luas pemanfaatan lahan pertanian ... 49

12. Jumlah peliharaan ternak ... 49

13. Struktur mata pencaharian ... 50

14. Pemanfaatan lahan dan Luas lahan desa Agom ... 51

15. Jumlah Penduduk desa Agom ... 52

16. Jumlah warga desa Agom berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 53

17. Jumlah bangunan gedung pendidikan di desa Agom ... 53

18. Jumlah warga Agom berdasarkan pemeluk agama ... 53

19. jumlah bangunan rumah ibadah di desa Agom ... 54

20. Jumlah warga Agom berdasarkan pekerjaan ... 54

21. Daftar nama korban tewas akibat konflik ... 87

22. Daftar kerusakan akibat korban kerusuhan ... 87

23. Peristiwa konflik antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan ... 93


(22)

Panduan Wawancara

A. Penyebab Konflik

1. Bagaimana awal mula penyebab terjadinya konflik tersebut ?

2. Bagi masyarakat Lampung setempat, apakah menerima keberadaan suku Bali yang merupakan suku pendatang melalui jalur transmigran dengan mayoritas memiliki kebudayaan dan agama yang berbeda?

3. Mengapa permasalahan yang semula hanya permasalahan Individu bisa menjadi permasalahan yang besar dengan membawa atribut kesukuan ?

4. Apakah ada akumulasi masalah lainya seperti ekonomi dan politik ?

B. Penanggulangan Konflik

1. Bagaimana masalah tersebut diselesaikan di tempat kejadian sebelum terjadinya kerusuhan yang melibatkan banyak massa ?

2. Bagaimana Isu kesukuan dalam konflik tersebut bisa menyebar luas, melalui media apa ?

3. Mengapa aparat keamanan seolah tidak mampu menghentikan konflik massa yang terjadi di lapangan ?

4. Bagaimana pendapat anda dengan keefektifan piagam perdamaian yang dibuat untuk mencegah adanya konflik kekerasan berulang ?

5. Awal tahun 2013 Pemerintah meluncurkan program Rembuk Pekon, Bagaimana keefektifanya dilihat dari masalah yang sudah diselesaikan dan adakah kendala yang dihadapi dalam Implementasinya ?


(23)

(24)

Tabel Triangulasi Wawancara Fokus 1. Penyebab Konflik

No Informan Data Hasil Interview Substansi Data

1 Rizani Puspa Wijaya, S.H selaku Dewan Pakar MPAL Provinsi Lampung,

“Konflik kemarin itu bisa dikatakan sebagai dampak dari kecemburuan sosial, kenapa bias gitu ? Ini udah lama terjadi sejak transmigrasi dimulai coba kamu liat perbedaanya penduduk asli dan penduduk pendatang, jangankan dari hal sarana prasarana kaya sekolah darn program program pemerintah aja, apa ada yang masuk kampung asli, karena apa ? kalo penduduk asli itu tau betul keadaan kampungnya sehingga banyak nanya gk bias diboong boongin sedangkan kalo pemerintah mau bangun apa apa di daerah transmigran gampang betul karena penduduknya gak banyak nanya sehingga gampang diboong boongin, itu pejabat lampungnya sendiri yang ngaco. Mangkanya cap negatife orang lampung suka malakin orang pokoknya yang jelek jelek lah itu selalu dituduhkan padahal ya itu tadi sarana nya gk ada di kampungnya akhirnya duduk duduk di pos ada orang luar dateng dipalakin “pendududuk asli lampung itu rata rata tinggal di pedalaman ya akibat gk ada sarana dan prasaran tadi itu selama bertahun tahun akhirnya penduduk asli ini keluar dari kampungnya, nah sejak transmigran masuk nempatin daerah tersebut dan berkembang akhirnya kan jd konflik itu ya transmigran kan gk tau tadinya orang dia masuk gk ad orangnya ya karena penduduk aslinya udah keluar tadi”

“Disini proses soislaisasi nya gk jalan, pepatah dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung gk diterapkan, ya jangan dateng dateng mau ngejajah…..,sok jagoan ya yang nunggu itu kan lebih jagoan juga dan saya dapat informasi juga memang balinuraga ini emang anak nakal coba liat bali yang lainya di daerah lain sama apa enggk,trus bgaimana reaksinya pada saat konflik apa duyun duyun bantu

Konflik disebabkan oleh kecemburuan social yang sudah lama terjadi sejak program transmigrasi. Penduduk asli sangat kritis terhadap pembangunan yang dilakukan di daerahnya berbeda dengan penduduk transmigran yang menberima saja tanpa banyak komentar terkait pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga infrastruktur serta sarana dan prasarana lebih banyak dibangun di daerah daerah penduduk transmigran daripada daerah penduduk local akibat ketiadaan infrastruktur tersebut penduduk local yang menempati daerah pedalaman tadi keluar dari kampungnya dan pindah ke daerah lain, bersamaan dengan kondisi tersebut penduduk pendatang yang masuk melalui program transmigrasi

pemerintah menempati daerah yang ditinggali penduduk asli tersebut disitulah terjadi konflik. Selain masalah kecemburuan social sikap masyarakat Bali yang kurang menghormati penduduk local menjadi penyebab konflik terjadi


(25)

balinuraga enggk kan artinya memang anak nakal ”

2 Bapak AKP. Mulyadi selaku Kapolsek Sidomulyo

“ Ya itulah mas itu bisa disebabkan pemerataan pembangunan, agrarian bisa juga ya kecemburuan sosial, cobalah mas ke kampoug kampung itu atau bisa amati di jalan lintas aj maen maen kesana dan Tanya pak tanahnya udah ad sertifikat belum jawabanya waduh dek gk ad duit buat ngurusnya itu jawabanya, kalo penduduk pendatang ini tanahnya disiapkan sertfikatnya langsung diberikan ini tanahnya nih serifikat kamu, jadi ada pembedaan perlakuan dari pemerintahnya sendiri”

Konflik disebabkan oleh tidakmeratanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga menyebabkan kecemburuan social. Diskriminasi perlakuan seperti pengurusan sertifikat tanah antara penduduk local dan penduduk transmigran turut menyebabkan konflik

3 Kepala Desa Agom Bapak Mukhsin “Kalo yang masalah kecelakaan itu hanya pemicu aja, sebenernya hal lain dari itu orang bali itu mau menang sendiri gak mau ngaku salah, ya belajar dari pengalaman yang sudah sudah aj kalo saya yang ngalah saya yang dibakar, saya gak mau masyarakat saya jadi korban gitu aj, ”coba adek ke balinuraga sana perhatikan amati, kalo mereka naek motor emang harus ngebut, jalan dari agom ke balinuraga itu kan ad jalan panjang kanan kirinya sawah itu tiap sore dipake buat ngtrack motor gimana orang mau lewat, jadi bisa disimpulkan sendiri lah kalo orang berduyun duyun mau ngancurin balinuraga berarti udah kelewatan kalo nyolong memang udah harusnya dipenjara gk bisa dinasehatin lagi”

“Tidak benar kalo ada yang bilang sudah damai, mereka tidak mau ganti rugi karena mereka merasa tidak salah, permintaan orang tua korban juga tidak disteujui yang meminta untuk dibawa ke rumah sakit dan motornya diperbaiki, malah mereka yang minta ganti karena sepeda anak dari balinuraga itu rusak”

Kecelakaan tersebut merupakan pemicu konflik. Sikap tidak mau mengalah dan tidak bertanggungjawab menjadi alasan mengapa penduduk local tidak menyukai warga bali yang secara khusus ada di desa Balinuraga ditambah lagi sikap mereka yang suka

menyelesaikan masalah dengan cara membakar dan merusak rumah warga

Pada saat negoisasi pihak dari Balinuraga yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala desa mengutarakan ketidakinginanya mengganti kerusakan sepeda motor dan mengobati korban dikarenakan mereka tidak merasa bersalah dan malah berbalik meminta ganti rugi kepada korban akibat sepedanya ikut mengalami kerusakan akibat kecelakaan tersebut


(26)

4 I Made Sumite selaku Parisade Desa Balinuraga

“yah itulah remaja sekarang ya yang buat ulah itu ya yang muda muda kalo yang tua tuanya ini enggk lah, sy kepasar atau ke minimarket itu mereka duduk duduk depan pintunya sy bilang hey kalian ini dududuk disini orang mau lewat beli jadi takut, dari pemerintah tingkat 2 juga gk ad pembinaan ya jadi mereka ya gitu gitu aj kerjaanya”

“saya sebenernya waktu ada penyerangan malamnya itu belum tau persis apa masalahnya pada sore tadi dari kades balinuraga pak ketut itu ya gak ada kabar kabar, artinya menyepelekan lah kejadian itu”

Kenakalan Remaja selalu menjadi pemicu konflik dan tidak adanya Program atau kegiataan pembinaan untuk Pemuda oleh Pemeritah daerah daerah setempat

Tidak ada pemberitahuan oleh kepala desa sebelumnya terhadap masalah yang terjadi sehingga pada saat penyerangan pada malam hari yang dilakukan Suku Lampung warga belum mengetahui sebabnya.

5 Drs.Danial Usman selaku Kabid Linmas dan Penanganan konflik Kesbangpol Lampung Selatan

”ya itu bisa disebkan ekslusifitas bali, kesenjangan ekonomi, dan yang paling keliataan itu kenakalan remaja itu bisa disebkan pengangguran, putus sekolah juga bisa”

Konflik disebabkan oleh ekslusifitas dari pihak Balinuraga,Kesenjangan ekonomi dan

kenakalan remaja yang bisa disebabkan pengangguran dan putus sekolah 6 Letkol Sugeng selaku Pasi Intel

Dandim 0421 Lampung Selatan)

“Konflik itu ya akibat pemahaman kebangsaan yang sudah mulai luntur di masyarakat pemahaman serta pengamalan nilai nilai pancasila sudah tidak diterapkan kalo mau dilihat dari segi masalahnya nya kan terbilang kecil”

Konflik disebabkan pemahaman nilai nilai kebangsaan yang sudah mulai luntur di masyarakat setempat

7 Bapak Made Santre selaku (Kepala Desa Balinuraga)

“Itu kalau mau dilihat dari masalahnya kecil sekali itulah yang kita sesalkan kenapa bisa sampai seperti itu”

“Waktu itu saya sesudah konflik saya nyoba nanya ke kades agom, kan pada saat konflik sy belum jadi kades, kadesnya masih pak ketut wardana waktu itu. Saya naya gmna pak katanya udah damai waktu ketemu di patok, pada saat itu bahasa kades balinuraga sebenarnya

Ketidakbijaksanaan kepala desa terdahulu untuk menalangi terlebih dahulu biaya

pengobatan menyebabkan konflik terjadi, tidak adanya pemberitahuan kembali kepada pihak desa agom setelah pertemuan di desa patok membuat warga khususnya suku lampung menganggap kepala desa turut mendukung warganya dari balinuraga yang menyebakan


(27)

meminta waktu untuk menanyakan ke anak di balinuraga tersebut karena kades balinuraga yang lama ini diminta tanggapanya oleh kades agom terkait korban perempuan yang kecelakaan dari desa agom sudah ada di rumah sakit. Pak ketut itu bahasanya dia bilang wah saya harus ngomong dulu ke anaknya nanti malah saya yang kena sendiri gitu bahasanya yah andai waktu itu bijaksana sedikit lah duit cuma berapa, udah di tunggu tunggu ternyata nggk ada kabar dari kades balinuraga ini sedangkan massa dari lampung sudah banyak berdatangan”

kecelakaan sepeda motor yang dialami pemudi Agom

8 Rohimi selaku Ayah korban “Kalo kejadian sebenarnya saya gak tau persis cuma kata anak saya dia diganggu sama anak dari balinuraga sehingga terjatuh dari motor, Setelah nyampe rumah dengan keadaan kaya gitu saya lantas malah memarahi dia, ya saya kira dia itu ngebut, anak cewe koq gk bisa liat motor nganggur dikit”

Ayah korban tidak tahu persis maslah yang terjadi, menurut keterangan anaknya ia terjatuh dari kotor akibat diganggu pemuda dari balinuraga

Kesimpulan :

Awal mula permasalahan adalah terjadinya kecelakaan motor akibat ulah jahil pemuda dari desa Balinuraga terhadap Pemudi desa Agom. Secara lebih mendalam konflik disebabkan oleh tidak meratanya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga menyebabkan kecemburuan social diantara penduduk transmigran (suku Bali) dan Penduduk Lokal (suku Lampung) selain itu sebablainya ialah kenakalan remaja yang selalu menjadi pemicu konflik konflik yang ada kemudian arogansi kesukuan yang ditandai oleh sikap tidak mau mengalah dan tidak mau bertanggungjawab dan juga gagalnya negoisasi dilakukan oleh kedua kepala desa sesaat kecelakaan terjadi


(28)

Fokus 2. Penanggulangan Konflik 2.1. Pada saat terjadinya konflik

No Informan Data hasil Interview Substansi Data

1 AKP Mulyadi selaku Kapolsek Sidomulyo “Pada saat itu saya langsung menemui kades agom dan menanyakan sudah lapor polisi belum ?? kemudian kades tersebut menjawab belum, tak lama kemudian saya telepon kapolsek kalianda karena desa agom merupakan wilayah hokum polsek kalianda untuk membawa korban supaya dimintai keterangan lalu saya memberitahukan kepada kades agom agar menmberitahukan ke masyarakat agar segera mengakhiri konflik karena korban dan pelaku sudah diproses hukum”

“Kita sudah hadang dengan sekuat tenaga mas tapi massa yang jumlahnya lebih banyak memang membuat kami kewalahan, kawat barier penghalang kami saja bisa dirusak oleh massa yang sudah sangat beringas dengan menggunakan senjata tajam”.

Pada saat malam setelah kejadian pihak kepoloisian Langsung menemui kepala desa Agom untuk mengamankan pelaku dan menginstruksikan ke kepala desa agar

menenangkan warganya dikarenakan pelaku dan korban sudah diamankan untuk dimintai

keterangan

Pihak kepolisian sudah mencoba menghalau namun massa yang terlalu banyak tidak mampu dibendung, akibatnya kawat penghalang rusak oleh massa yang sudah emosi dengan membawa senjata tajam

2 Pak Made Sumite selaku Parisade Desa Balinuraga

“ Kalau yang malam saya belum tau persis apa masalahnya, banyak warga hanya tau bahwa desa balinuraga mau di serang kita tokoh tokoh disini juga kebingungan setelah peristiwa malam itu baru kami tau kejadian sore itu bahwa ada kecelakaan di desa agom itu” “pada saat bentrokan kedua itu saya sudah meredam, gak bisa mas warga malah berniat mempertahankan desa, sebenarnaya pada saat korban dari suku lampung itu tewas massa dari desa balinuraga berniat mengejar disitulah saya baru berhasil menenangkan amarah warga dibantu dengan

Belum mengetahui persis kejadian yang

sebenarnya pada saat malam penyerangan sesaat setelah kejadian kecelakaan pada sore harinya.

Sudah mencoba meredam saat Suku Lampung hendak menyerang desa Balinuraga namun tetap tidak bisa, baru bisa meredam setelah ada 3 orang suku Lampung yang tewas pada saat perang tengah berlangsung.


(29)

aparat keamanan kalau tidak dihalangi mungkin korban akan bertambah pada hari itu karena massa dari suku lampung mundur setelah 3 orang tewas itu”

3 AKP Parkhan selaku Kasat Sabhara Polres lampung Selatan

“pada saat konflik itu pecah kita sudah menambah personel tak tannggung tanggung personel didatangkan dari Polda jateng,cibinong, hingga Palembang, bahkan pasukan ada yang dikirim melalui pesawat untuk mengantisipasi massa yang bergerak dari banten menuju lampung Selatan, namun jumlah massa tak sebanding dengan aparat keamanaan yang ada kira kira massa saat itu bisa menyentuh angka 20.000an”

Sudah mengantisipasi dengan menambah jumlah personel dari Polda Jateng, Cibinong hingga Palembang namun massa yang berjumlah 20.000an manusia lebih banyak dari personel yang ada sehingga tetap kewalahan

4 Bapak I Made Santre selaku Kepala desa Balinuraga

“Kalo saat perang itu ya saya ikut juga jaga desa kita ini karna mau diserang, sebelum itu ya saya mencoba untuk membujuk warga untuk mundur tapi yang laki laki ini tetap berniat mempertahankan desa jadi hanya wanita dan anak anak serta lakinya hanya sebagian saja yang mengungsi. kalo mau dipikir piker lagi ya ngapain juga kita mempertahankan yang saya sesalkan ada korban nyawa itu”

Sudah mencoba membujuk warga untuk mundur dan mengungsi namun hanya wanita dan anak anak serta sebagian laki lakinya saja yang mau laki laki yang lain tetap ingin mempertahankan desa karena mau dihancurkan

5 Bapak Letkol Sugeng selaku Pasi Intel Dandim 0421 Lampung Selatan

“pada saat perang itu pecah kita dari pihak TNI membantu pihak kepolisian dalam mengamankan keadaan, sebelum massa masuk ke desa Balinuraga kita sudah menghadang di desa Sidoreno itu yang jadi masalah adalah massa yang sudah terlalu banyak sehingga kita jaga di jalan ya mereka masuk menyebar lewat jalan jalan tikus di situ kan banyak jalan jalan kecil untuk ke desa balinuraga”

Membantu pihak kepolisian dengan menghadang massa di desa sidoreno yang merupakan desa sebelum menuju Balinuraga namun banyaknya massa yang melewati jalan jalan kecil pihak TNI tidak dapat berbuat banyak


(30)

6 Drs.Danial Usman selaku Kabid Linmas dan Penanganan konflik Kesbangpol Lampung Selatan

“kalau pada saat kejadian kita ya kita dilapangan tapi ya cuma memantau situasi saja kalo sudah seperti itu han sudah urusan pihak keamanan untuk membendungnya kita bisa membantu paling menghimbau warga jangan ikut ikutan”

Hanya memantau situasi dan menghimbau warga untuk tidak terprovokasi ikut dalam kerusuhan

Kesimpulan :

Aparat keamanan gabungan yang terdiri dari pihak kepolisian dan TNI tidak mampu membendung massa yang berjumlah hingga puluhan ribu manusia. Proses penghadangan yang dilakukan di badan jalan maumpu diterobos oleh massa dengan melewati jalan jalan kecil seperti persawahan yang ada untuk menuju desa Balinuraga. Tokoh tokoh masyarakat yang ada di kedua desa tidak mampu meredam warganya karena sudah terlalu banyak berdatangan dari daerah lainya.

2.2. Pasca terjadinya konflik

No Informan Data hasil Interview Substansi Data

1 Bapak Mukhsin Syukur selaku Kepala desa agom

“ya perjanjian perdamian itu apabila dikatakan tidak merangkul pihak yang berkonflik bisa juga dikatakan begitu abis yang konflik siapa yang damai siapa, kalau masalah sosialisasi perjanjian damai itu ya dibaca tapi ya itu dibaca aj”

“menyikapi kejadian setelah konflik desa kita ya tetap seperti biasa aja, ya walaupun tidak ada forum resmi orang tua disini berusaha mengingatkan kepada anak anak mereka, saya rasa pemuda disini ya gak ad yang over lah dalam bertingkah laku, ya seperti biasa aj”

Perjanjian perdamaian tidak merangkul pihak yang berkonflik, terjadi mis reprensentatif antara pihak yang berkonflik dengan pihak yang berdamai sosialisasi perjanjian tersebut hanya sebatas dibaca saja namun tidak diamalkan

Kegiatan desa tetap seperti biasa tidak ada membentuk kegiatan atau forum forum yang menyikapi kejadian konflik tersebut untuk membina muda mudinya dikarenakan peran orang tua sudah dirasa cukup untuk memantau prilaku anaknya masing masing.

2 I Made Santre selaku Kepala desa Balinuraga

“perjanjian perdamaian yang dilakukan di lapangan agom itu ya bisa dikatakan Cuma orang orang besar ajalah ya artinya tidak mengakar”

Piagam perdamaian tidak mengakar kemasyarakat bawah hanya terjadi pada elite masyarakat saja


(31)

“Sejak kejadian itu kita buat undang undang adat, isinya kurang lebih barangsiapa yang melakukan sesuatu masalah itu apabila yang bersangkutan tidak mau bertanggungjawab atas prilakunya maka ia dikeluarkan dari desa ini, nama undang undangnya itu wewegawe”

Pihak desa membuat peraturan adat bernama

wewegawe yang isinya memberikan sanksi pengusiran dari desa apabila membuat kesalahan namun tidak mau bertanggungjawab atas perbuatanya tersebut

3 AKP Mulyadi selaku Kapolsek Sidomulyo,

“Rembug pekon itu harus dipahami tidak hanya bertindak sesuadah kejadian atau permasalahan sedang berlangsung tapi sebelum terjadinya konflik unsur pelaksana rembug pekon harus sudah mulai bergerak, contohnya kalo ada hajatan biasanya ada hiburan organ tunggal nah tim rembug pekon ini datanglah kesanan musyawarah dengan yang punya acara bagaimana menjaga keamnanan dan ketertiban ketika hajatan berlangsung dan apa upaya yang akakn dilakukan untuk mencegah keributan keributan”

“Kalo piagam itu ya efektif mas tapi coba kamu perhatika orang yang perang kemarin itu rata rata gak sekolah jadi gak ngerti apa itu damai damai”

Mekanisme kerja rembuk pekon tidak hanya melakukan setelah terjadinya konflik (represif) namun sebelum terjadi konflik (persuasive) personil rembug pekon sudah mulai mengantisipasi potensi potensi konflik yang da selama ini seperti ada hajatan di masyarakat yang menyediakan hiburan organ tunggal pihak keamanan dan masyarakat sekitar mencoba

musyawarah agar tidak terjadi keributan yang tidak diinginkan seperti kejadian sebelumnya

Piagam perdamaian itu efektif kalo yang mengerti tentang kebangsaa namun kondisi masyarakat yang masih rendah tinggkat pendidikanya hal etrsebut kurang efektif

4 Bapak I Made Sumite selaku ketua Parisade desa

”Semenjak kejadian konflik itu udah banyak lah perubahanya disini gak kaya dulu lagi, disini khususnya desa balinuraga tiap malam minggu mengadakan kegiatan Pasraman semacam ceramah

Pasca konflik sudah banyak perubahanya, pihak desa sudah melakukakan kegiatan pasraman (semacam ceramah dan doa bersama bagi agama Hindu) untuk muda mudi di desa Balinuraga dan membuat peraturan


(32)

ceramah dan doa bersama, itu diwajibkan untuk seluruh pemuda desa sini orang tuanya juga kita himbau untuk mengawasi untuk ikut kegiatan ini selain itu kita juga udah buat undang undang adat”

adat

6 Drs. Danial Usman selaku Kabid Linmas dan Penanganan konflik Kesbangpol Lampung Selatan

“Karena program kita sudah tersusun pada rencana strategis dari tahun 2011 sampai 015 kegiatan atau program yang kita lakukan untuk mengantisipasi konflik supaya tidak terulang kembali kita akan tingkatkan sosialisasi wawasan kebangsaan kita punya program penegembangan wawasan kebangsaan dalam Renstra itu dan juga meningkatkan perlindungan masayarakat dengan mengadakan kegiatan pelatihan dan pembekalan anggota linmas”

Meningkatkan kegiatan yang sudah tersusun dalam Renstra dengan mengintensifkan sosialisasi wawasan kebangsaan dan mengadakan pelatihan anggota pelindung masyarakat atau hansip

Kesimpulan :

Piagam perdamaian yang dibuat pasca konflik yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang terjadi dinilai tidak mengakar ke masyarakat bawah yang sejatinya berkonflik tidak representatifnya pihak yang berdamai dengan pihak yang berkonflik membuat piagam perdamaian ini rawan untuk dilanggar. Mengantisipasi hal tersebut Pihak dari desa Balinura membuat peraturan adat bernama wewegawe dan mengadakan kegiatan pasraman bagi muda mudinya. Berbeda dengan Pihak desa agom yang tidak terlalu banyak melakukan perubahan seperti membentuk kegiatan bagi muda mudinya pasca terjadinya kerusuhan. Menyikapi kejadian pasca konflik tersebut pihak aparat keaman dan pemerintah menggulirkan program rembug pekon yang bertujuan untuk mengantisipasi konflik secara persuasive dan bertindak cepat saat terjadinya konflik dengan penyelesaian secara musyawarah anatar kedua belah pihak yang berkonflik


(33)

Gambar 10. Gambar 11.

Gambar 10. Gapura tempat pintu masuknya Desa Balinuraga yang dihancurkan warga ketika konflik dan dibangun kembali dengan perpaduan ornamen pura (Bali) dan siger (Lampung) sebagai tanda

perdamaian

Gambar 11. Lapangan didepan kantor kepala desa yang menjadi saksi bisu tempat berkumpulnya masa sebelum menyerang desa Balinuraga dan juga lokasi digelarnya deklarasi damai.

Gambar 12. Gambar 13.

Gambar 12. Wawancara dengan Ketua parisade (tokoh masyarakat) Desa Balinuraga di tempat kediaman beliau di desa Balinuraga

Gambar 13. Tugu ini terletak ditengah desa Balinuraga, yang menjadi batas rusaknya perumahan dan tempat ibadah.dan Kantor Kepala Desa Balinuraga


(34)

Gambar 14. Gambar 15.

Gambar 13. Pengambilan data di Polsek Sidomulyo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan

. Gambar 14. Saksi bisu gorong-gorong yang menjadi lokasi jatuhnya dua pemudi dari Desa Agom

Gambar 16. Gambar 17.

Gambar 16. Pasar sidomulyo tempat biasa berkumpulnya pemuda pemudi desa setempat yang menjadi salah satu sumber keributan akibat masalah parkir

Gambar 17. Wawancara dengan Pak Rohimi ayah korban kecelakaan motor pemudi agom (Nurdiana Dewi)


(35)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalaan konflik termasuk masalah yang menyangkut kepentingan publik (keamanan), dimana memahami peran pemerintah dalam merespon persoalaan publik adalah sesuatu yang sangat penting. Kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan publik menjadi titik tekan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan konflik yang setiap waktu dapat terjadi. Maka dari itu kehadiran negara mutlak diperlukan dalam penangan konflik yang terjadi di aras lokal dalam menjaga bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beragam konflik yang terjadi di Indonesia diantaranya konflik-konflik yang berlatar belakang kesukuan seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan tengah, Solo, dan Nusa Tenggara Barat. Konflik yang berlatar belakang keagamaan juga terjadi di Poso dan Ambon. Baru-baru ini konflik yang masih berlatar belakang kesukuan juga terjadi di Kabupaten Lampung Selatan

Konflik sering dimaknai berupa benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan atau pertentangan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, serta antara individu atau kelompok dengan pemerintah (Surbakti dalam putra, 2009:12). Konflik bisa muncul dalam berbagai latar seperti permasalahan antar individu maupun kelompok, baik yang


(36)

2

menyangkut ekonomi, politik ataupun sosial budaya seperti stereotipe yang berarti berprasangka buruk terhadap suku lain.

Pada awalnya, demokrasi telah melahirkan respon keras masyarakat berupa tuntutan bagi adanya penyelenggaraan tata kelola pemerintah yang baik (good governance). Menurut Utomo dalam Putra (2009: 21), government sebagai pemerintahan yang bertumpu kepada otoritas telah berubah ke governance yang bertumpu yang bertumpu kepada kompatibilitas, sehingga pemerintah tidak lagi menjadi pemain tunggal.

Memahami prinsip governance dalam pengelolaan konflik sendiri mengindikasikan adanya usaha perlibatan aktor atau lembaga non-negera dalam proses penyelesaian konflik. Dengan adanya penarikan oleh negara tersebut tentunya akan lebih melegitimasi masyarakat sipil (civil society) serta swasta (economic society) sebagai bagian integral governance dalam sebuah lingkup yang disebut sebagai “pemberdayaan” oleh negara, sehingga ada semacam kemitraan (partnership) antara negara (state) dan masyarakat (society) yang mengakibatkan makna administrasi publik berkembang menjadi kegiatan kemitraan (Nugroho dalam Putra 2009:22).

Seiring dengan era desentralisasi dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya secara mandiri, efektif dan efisien. Maka sangat penting untuk diterapkanya penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan partisipasi masyarakat (civil society) sebagai salah satu prinsip dalam good


(37)

3

governance yang menjadi layak untuk dijalankan dalam proses penangan konflik lokal.

Topik yang memfokuskan Negara dan konflik menarik untuk dikaji dikarenakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konflik mungkin tidak dapat dihindari. Interaksi yang beraneka ragam kepentingan baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya dalam bernegara pada giliranya akan menimbulkan berbagai benturan dan gesekan hingga berujung kekerasan apabila tidak dikelola dengan baik. Hal ini mempertegas bahwa konflik merupakan realitas yang normal dalam setiap interaksi yang terjadi. Sehingga dapat dikatakan kondisi damai merupakan masa sela diantara dua atau lebih konflik. Selain itu Negara yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh pemerintah hampir selalu bertindak sebagai “pemadam kebakaraan” semata. Pemerintah baru bertindak setelah konflik meledak menjadi kekerasan atau kerusuhan massal, seolah olah pemerintah diam dan kecolongan. Padahal Pemerintah bisa berfungsi sebagai early respon system dalam setiap interaksi yang berpotensi konflik

Penelitian yang mencoba mengangkat tema konflik menjadi amat penting untuk mencegah dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan, dengan argumentasi kasus konflik yang terjadi seperti di Lampung Selatan tidak hanya mengakibatkan kerugian fisik namun juga dapat mengakibatkan kerugian non-fisik yang juga dapat digolongkan sebagai bencana sosial. Bencana sosial memiliki karakteristik tersendiri dalam dampaknya seperti hilangnya modal sosial yang berbentuk trust, social values, networking dan yang lainya yang sebenarnya sangat berperan penting bagi proses berlangsungnya pembangunan di suatu daerah.


(38)

4

Konflik yang terjadi secara terus menerus menjadi acaman serius akan terjadinya disintegrasi bangsa, sehingga di titik yang ekstrim dapat terjadi pemisahan wilayah dalam suatu Negara (separatis) dan ini mengancam keutuhan Bangsa Indonesia yang terangkum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya sebagai wilayah yang memiliki potensi ekonomi dan politik yang strategis konflik dapat menjadi penghambat pembangunan yang terjadi di daerah tersebut. Iklim usaha dan proses pemerintahan menjadi tidak kondusif untuk dijalankan dan akan berujung pada gagalnya pemenuhunan kesejahteraan di masyarakat.

Konflik antara suku Lampung yang notabene pribumi dengan suku Bali yang merupakan pendatang meletus hingga dua kali dalam setahun terakhir (2012). Konflik pertama meletus pada 24 januari 2012 terjadi antara Desa Kota (Lampung) dalam dan Desa Napal (Bali) kemudian konflik yang kedua terjadi pada 28 Oktober 2012 antara Desa Agom (suku Lampung) dan Desa Balinuraga (Bali). Menurut sumber yang diberitakan permasalahan yang ditimbulkan tergolong masalah yang kecil seperti masalah motor di parkiran (konflik pertama) dan diganggunya pemudi desa agom oleh pemuda desa balinuraga sehingga menyebabkan terjatuh dari motor (konflik kedua). Dalam setahun terakhir intensitas konflik antara kedua etnik ini semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :


(39)

5

Tabel 1. Peristiwa konflik antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan

No Peristiwa Lokasi Waktu

1 Terjadi keributan antara Desa palas Pasmah (semendo) dengan Desa Patok (Bali) dikarenakan acara organ tunggal mengakibatkan 2 luka dan 1 tewas

Desa Palas 7 April 2004

2 Keributan di depan Rumah saudara Misto dengan saudara Wayan Sumare akibat pelemparan, pemukulan dan pengerusakan sepeda motor milik saudara Wayan Sumare

Desa Sidoarjo Kec. Sidomulyo

26 juni 2005

3 Pengerusakan rumah Saudara misto yang dilakukan 100an dari desa Balinuraga

Desa Sidoarjo Kec. Sidomulyo

28 juni 2005

4 Terjadi keributan Warga Desa Palas Pasmah dengan Desa Bali agung disebabkan perkelahian pelajar mengakibatkan 1 orang meninggal 2 luka dan 7 rumah rusak

Desa Palas Pasmah

17 Desember 2012

5 Keributan Sdr.Wayan anggi pemuda desa bali pinginditan dengan warga desa Canggu kalianda akibat senggolan organ tungggal. Mengakibatkan Saudara Wayan meninggal

Dusun Dedagu Kalianda

25 November 2011

6 Warga Balinuraga melakukan pembakaran, belasan rumah suku Lampung terbakar. Disebabkan kerusuhan akibat orgen tunggal yang lalu

Desa Marga Catur

29 November 2011

7 Warga Bali Napal melakukan penyerangan terhadap desa Kota Dalam.Kemudian terjadi pembalasan oleh suku Lampung yang membakar Rumah warga bali. Pemicu kejadian merupakan Akibat masalah parkir di Pasar.

Kec. Sidomulyo 22 Januari 2012

8 Pemuda desa Balinuraga melakukan kerusuhan di depan masjid saat umat muslim sedang takbiran di masjid

Sidoharjo kec. Way Panji

10 Agustus 2012

9 Kerusuhan hebat antara Suku Bali dengan Suku lainnya yang mayoritas Lampung yang mewaskan 12 korban jiwa (3 Suku Lampung dan 9 suku Bali) yang disebabkan keusilan Pemuda Suku Bali

Balinuraga kec. Way Panji

29 Oktober 2012


(40)

6

Permasalahan yang ada di Lampung Selatan umumnya bersumber dari masalah yang tergolong relatif kecil namun pada kenyataanya bisa berubah menjadi perkelahian menjurus kearah peperangan yang mengakibatkan korban jiwa. Penyelesaian masalah yang tidak menyentuh ke akar konflik menjadi kunci terjadinya akumulasi masalah yang diakibatkan penumpukan dan pewarisan masalah. Sehingga masalah yang kecil dapat dibesar-besarkan dengan memainkan isu kesukuan atau etnik

Penanganan konflik (Resolusi konflik), baik yang melibatkan aparat pemerintah dan serta tokoh-tokoh yang ada di Lampung Selatan dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya proses mediasi yang dilakukan sehingga mengakibatkan eskalasi konflik makin meluas. Variabel yang dipergunakan untuk mengurangi eskalasi konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kemudian mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrumen yang bisa menyelesaikan masalah bersama. Pada saat pasca konflik baik konflik yang terjadi di awal tahun 2012 dan di penghujung tahun 2012 menghasilkan apa yang di sebut dengan “Piagam Perdamaian” sebagai instrumen penyelesaian konflik. Tetapi pada kenyataan secarik kertas sakti tersebut (Piagam Perdamaian) tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja sehingga menghasilkan piagam perdamaian kembali pasca konflik di ujung tahun 2012.

Merespon kejadian konflik yang terus berulang bahkan dengan tingkat eskalasi konflik yang makin meluas. Pemerintah dalam hal ini telah menerbitkan Undang-Undang No.7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam Undang-Undang- undang tersebut secara jelas disebutkan untuk mencegah konflik yang terjadi


(41)

7

harus adanya kerjasama antara Pemerintah baik Pusat maupun Pemerintah Daerah dan masyarakat yang tertulis pada Pasal 6 ayat 2. Akan tetapi apabila dicermati regulasi ini masih belum cukup terutama untuk teknis pedoman semua pihak untuk menyelesaikan konflik. Seperti yang dilontarkan oleh Eva Kusuma Sundari, anggota komis III DPR RI.

“Yang menjadi problem dengan UU No.7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) memang belum adanya peraturan pemerintah (PP). Namun, jangan sampai penerapannya di tengah masyarakat terhambat gara-gara belum ada PP-nya," (http//www.buletininfo.com/news/ Implementasi UU Penanganan Konflik Sosial Jangan Terhambat PP .html / diakses 6 september 2013 ).

Dari penanganan empiris yang telah dikemukakan di atas, peneliti mencoba mengaitkanya dengan tinjauan teoiritis. Salah satunya model teori resolusi konflik yang dikemukakan oleh dahrendorf (dalam Putra, 2009: 16) yang membagi pengaturan konflik menjadi tiga bentuk yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Penanganan yang dilakukan di Lampung Selatan apabila merujuk pada teori tersebut termasuk kedalam bentuk arbitrasi (perwasitan) yang berarti kedua pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dari arbitor dalam hal ini pemerintah daerah, tokoh-tokoh baik masyarakat, adat, dan yang lainya sebagai jalan keluar konflik. Keputusan tersebut dituangkan dalam piagam perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Namun pada kenyataanya perjanjian damai tersebut dilanggar sehingga konflik kembali berulang dan menghasilkan perjanjian damai ke 2 yang kembali ditolak oleh pihak yang menamakan Jaringan masyarakat lampung Selatan.

Pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat keamanan menggulirkan program Rembug Pekon. Rembug pekon sejatinya merupakan


(42)

8

pelembagaan negoiasi yang bersifat kekeluargaan. Negoisiasi yang digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di lapangan. Hal yang penting untuk dikritisi dari program ini ialah sejauh mana legitimasi aktor aktor yang terlibat dalam kelembagaan rembug pekon baik dari elemen pemerintah maupun masyarakat seperti tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan yang lainya bisa diterima oleh semua pihak terutama pihak yang berkonflik sehingga konflik di daerah tersebut tidak terulang kembali. Merujuk pada statement problem tersebut dalam hal ini rembug pekon sebagai program resolusi konflik yang dibuat pemerintah pasca konflik dirasa perlu dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan konflik

Penyelesaian konflik secara represif tidak menyelesaikan akar masalah konflik itu sendiri namun malah memperuncing konflik tersebut. Bukti konkrit terjadi pada kasus konflik di Maluku dalam status keadaan darurat militer yang dikeluarkan pemerintah setempat membuat kekacuan sistem penanganan konflik semakin tidak terkendali. Kenyataan di lapangan institusi keamanan Negara semakin bias dan sulit dikontrol. Dominasi kekuatan militer selalu menonjol apabila terjadi konflik dengan tingkat eskalasi massa yang tinggi. Kekerasan di Maluku pada akkhirnya dapat diselesaikan secara perlahan-lahan dengan pendekatan dialog yang diinisiasi pemerintah pusat dengan melibatkkan tokoh-tokoh masyarakat kedua komunitas yang dikenal dengan nama Perjanjian Malino II pada tanggal 14 Februari 2000 ( Pelu, 2012:103)

Permasalahan penanganan konflik sebaiknya tidak lagi menggunakan pendekatan security yang lebih bersifat top down. Lebarnya persoalaan konflik dengan kemampuan pemerintah yang terbatas untuk menyelesaikanya apalagi dengan


(43)

9

metode kekerasan sering bermuara pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam menyelesaikan persoalaan konflik, pada titik yang lebih ekstrim cara ini dapat memicu delegitimasi peran dan posisi pemerintah yang dikontrak oleh publik untuk melaksanakan misi-misi publik. Berdasarkan pernyataan tersebut harus dibangun bagaimana cara penyelesaian konflik (resolusi konflik) yang muncul dari bottom-up yang secara damai dan melibatkan semua pihak. Sehingga kesadaran masyarakat untuk menjadi problem solving dalam konflik menjadi fokus perhatian dalam proses penyelesaian konflik.

Pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas masyarakat dalam menangani masalah konflik secara swadaya. Penerapan model resolusi konflik yang sudah ada perlu untuk dikembangkan mengingat regulasi pemerintah terhadap penanganan konflik sosial masyarakat masih mencari bentuk terutama untuk peran masyarakat dalam membantu penanganan konflik sosial, sehingga arah resolusi konflik kedepan harus mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif dan bervisi jangka panjang dengan legitimasi yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dijelaskan tersebut peneliti telah melakukan penelitian yang berbentuk skripsi dengan judul “Resolusi Konflik Berbasis Good Governance” yang berfokus pada penyebab dan penanganan yang telah dilakukan terhadap konflik yang terjadi di Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan. Pada penelitian tersebut peneliti mencoba memberikan rekomendasi model resolusi konflik hasil pemikiran peneliti.


(44)

10

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pernyataan masalah di atas, dimana dimungkinkanya Konflik dapat terjadi kembali di Lampung Selatan, maka pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Apa penyebab konflik yang terjadi di Lampung Selatan khususnya pada konflik antar desa Agom dan Desa Balinuraga, dimana konflik tersebut menjadi puncak dari konflik-konflik sebelumnya ?

2. Bagaimanakah Penanganan konflik yang dilakukan selama ini sehingga konflik di lampung Selatan terus berulang khususnya antara etnis Bali dan Etnis Lampung ?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini mencoba menjawab apa yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian diatas, yaitu :

1. Mencari penyebab konflik di Lampung Selatan khususnya konflik antara desa Agom yang mayoritas beretnik Lampung dan Desa Balinuraga yang beretnik Bali

2. Mengetahui penanganan konflik konflik yang terjadi khususnya konflik antara Desa Agom dan Desa Balinuraga


(45)

11

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat berguna :

1. Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan referensi bagi Kajian Ilmu Administrasi Negara khususnya pada mata kuliah Resolusi Konflik Sektor Publik dan mata kuliah Governance dan Partnership. 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi

alternatif dan bahan masukan bagi Pemerintah terhadap pemecahan masalah Konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada khususnya serta Indonesia pada umumnya


(46)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Konflik

1. Pengertian Konflik

Beberapa pengertian Konflik oleh para ahli yang diantaranya sebagai berikut:

a) Simon Fisher (2001:4).mendefinisikan, “konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih baik individu maupun kelompok yang merasa memiliki sasaran sasaran yang tidak sejalan”.

b) Pruit dan Rubin dalam Susan (2009:9) menjelaskan, “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan”.

c) Novri Susan (2009:8) menyatakan, “konflik adalah pertentangan yang

ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi

persinggungan”.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik berlangsung

dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling

bertentangan. Dalam bentuk ekstrimnya, konflik dilangsungkan tidak hanya sekadar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi. Konflik juga bertujuan sampai tahap pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.


(47)

13

2. Faktor Penyebab dan Bentuk Konflik

Coser dalan Susan (2010:60) membagi sebab konflik menjadi dua tipe atau bentuk dasar konflik yang terdiri tipe realistis dan tipe non realistis. Tipe realistis memiliki sebab konflik yang konkret atau bersifat materiil, seperti perebutan sumber daya ekonomi, alam, maupun wilayah sedangkan tipe non realistis disebabkan oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat idiologis atau immaterial seperti isu identitas atau etnis, agama, dan kelompok-kelompok sektarian.

Berdasarkan kedua tipe diatas, tipe non realistislah yang sulit untuk menemukan resolusi konflik, konsesus dan perdamaian. Dalam setiap kasus konflik yang terjadi sangat dimungkinkan kedua tipe tersebut (realistis dan non realistis) terjadi secara bersamaan sehingga konflik tersebut menghasilkan situasi yang lebih kompleks.

B. TinjauanGood Governance

1. Urgensi dan PengertianGood Governance

Pada konteks good governance atau tata pemerintahan yang baik, agent of development (agen pembangunan) tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan sektor swasta yang berperan dalam governance. Sehingga, terdapat penyelenggara pemerintah, swasta, juga oleh masyarakat sipil. Pentingnya penerapan Good Governance sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, Governance


(48)

14

mencakup tiga domain yaitu state (negara), private sector (sektor swasta) dan society(masyarakat).

Good Governance diartikan sebagai, “suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders terhadap berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik, dan pemanfaatan beragam sumber daya seperti sumberdaya alam, keuangan dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas keadilan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas”. (Sedarmayanti, 2009: 270).

Lembaga Administrasi Negara dalam Sedarmayanti (2009:276) menyimkpulkan bahwa , “wujud Good Governance sebagai penyelenggara pemerintah Negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efektif dan efisien dengan menjaga kesirnegisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain Negara, sektor swasta, dan masyarakat”.

Utomo dalam Putra 2009: 21), “government sebagai pemerintahan yang bertumpu kepada otoritas telah berubah ke governance yang bertumpu yang bertumpu kepada kompatibilitas, sehingga pemerintah tidak lagi menjadi pemain tunggal”..

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Good Governance (tata pemerintahan yang baik) adalah seperangkat proses yang yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta, sipil, maupun negeri untuk menentukan keputusan. Good governance juga dapat di artikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan dan kehidupan keseharian.

Good governance menemukan perananya dalam penanganan konflik dimana government yang diwakili oleh pemerintah baik eksekutif dan aparat keamanan berusaha melibatkan peran dan posisi masyarakat terutama masyarakat yang masuk dalam peta konflik. Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan masyarakat menjadi suatu kebutuhan yang harus diimplementasikan dewasa ini dimana pada era demokrasi sekarang ini peran rakyat menuntut akan adanya


(49)

15

partisipasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaanya di lapangan

2. Aktor-aktorGood Governance

Pemerintahan yang baik (good governance) sebagai sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah. Aktor-aktor good governance menurut Sedarmayanti (2009: 280), antara lain:

a. Negara atau pemerintah: konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, pemerintah dan dinas-dinas yang berkaitan seperti dinas pendidikan. Negara sebagai salah satu unsur governance, di dalamnya termasuk lembaga politik dan lembaga sektor publik. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

b. Sektor swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti industri pengolahan perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal.

c. Sedangkan Masyarakat madani atau civil society menurut widjadjanto (2003:43) lebih berbentuk suatu jejaring kerja yang tidak hanya terdiri dari civil society organizations, tapi juga partai politik, lembaga lembaga agama,


(50)

16

pranata adat, hingga actor actor individual seperti para pemimpin informal dan tokoh tokoh agama. Jejaring kerja ini bergerak secara simultan dan berupaya untuk mengimplementasikan 1). Proses demokratisasi melalui perluasaan partisipasi rakyat dalam proses pembuatan kebijakan public 2). Prinsip good governance dalam pencapaian political public goods 3). Pemerataan distribusi kesejahteraan. 4). Prinsip non kekerasan untuk mengfatasi masalah masalah social . Gerak jejaring kerja tersebut tidak ditujukan untuk mengurangi kewenangan Negara, tetapi lebih diharapkan untuk memperkuat kapasistas masyarakat sipil yang dalam hal ini untuk mengembangkan resolusi konflik yang komprehensif

3. Prinsip utama Good Governance

Menurut Sedarmayanti (2009: 289) Prinsip-prinsip utama good governance yaitu:

a) Akuntabilitas (Pertanggungjawaban) b) Transparansi (Keterbukaan)

c) Partisipasi

Dari ketiga prinsip yang ada di atas peneliti mencoba mengambil salah satu prinsip yaitu partisipasi. Partisipasi ini ditujukan kepada aktor good governance antara pemerintah dan masyarakat sipil yang mencoba kolaborasi untuk menangani permasalahan konflik seperti konflik antar desa yang terjadi di Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan.


(51)

17

4. Pemberdayaan sebagai tahap awal dari partisipasi

Timbulnya paradigma pemberdayaan sangat relevan dengan good governance terutama prinsip partisipasi yang terdapat di dalamnya. Dari kedua istilah tersebut (pemberdayaan dan partisipasi) bias makna sering muncul, pemberdayaan sering disamakan dengan partisipasi. Menurut peneliti perbedaan kedua konsep tersebut sangat terang. Pemberdayaan pada muaranya akan berujung pada mampu atau tidak mampunya individu ataupun kelompok sedangkan partisipasi muaranya pada mau atau tidak maunya baik itu individu maupun kelompok. Untuk membuat individu atau kelompok agar bisa berpartisipasi tentulah ia harus memiliki daya terlebih dahulu sehingga bisa dikatakan pemberdayaan menjadi langkah awal transisi menuju partisaipasi

Prijono dan Pranarka dalam Sulistiyani (2004:78) menyatakan bahwa, “pemberdayaan mengandung dua arti yang pertama to give power or authority pengertian kedua to give ability to or enable. Pemaknaan pengertian yang pertama meliputi memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang atau belum berdaya . Di Sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu”.

Pranarka dalam Sulistiyani (2004:78) menyampaikan, “pemberdayaan sebenarnya merupakan istilah yang khas Indonesia daripada Barat. Di barat istilah tersebut diterjemahkan sebagai empowerment, dan istilah itu benar tapi tidak tepat. Pemberdayaan yang kita maksud adalah member daya bukanlah kekuasaaan. Empowerment dalam khazanah barat lebih bernuansa pemberian kekuasaan daripada pemberdayaan itu sendiri”.

Lebih lanjut Sulistiyaningsih (2004:79) mengemukakan, “pemberdayaan sebaliknya harus mengantarkan pada proses kemandirian. Konsep daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu (pembangunan) secara mandiri, sedangkan pemberdayaan merupakan proses yang bertahap yang harus dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat mampu mandiri”.

Dari beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan


(52)

18

masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untukmelepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

5. Pemberdayaan masyarakat sipil dan LSM untuk pencegahan konflik Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kreadibilitas dan kapasitas, serta masyarakat sipil yang memiliki sensitifitas dan inisiatif merupakan modal yang paling esensial untuk pencegahan konflik di Indonesia meskipun sumberdayanya terbatas, dan dukungan politik sangat minimal. Namun LSM dan masyarakat sipil, sangat fleksibel, dan memiliki kemampuan untuk merespons secara cepat situasi yang bersifat emergensi, tanpa ada hambatan birokrasi, atau prosedur seperti yang selalu terjadi pada pemerintahan atau petugas keamanan

Menurut Malik, (2009:6) pada hakikatnya konflik-konflik kekerasan dapat dicegah sejak awal. dengan cara yaitu :

a) Melakukan analisis terhadap sumber konflik baik yang bersifat latent ataupunmanifest

b) Mendeteksi actor-aktor yang terlibat konflik dan yang mempunyai kepentingan

c) Melakukan de-eskalasi konflik (mencegah dan menyelesaikan konflik dengan kemampuan negosiasi)

Relasi yang saling memberi kontribusi untuk kehancuran inilah yang menyebabkan konflik kekerasan di Indonesia. Pemotongan rantai relasi ini pulalah yang akan dapat mencegah konflik kekerasan pada masa mendatang di Indonesia. Disinilah LSM, masyarakat sipil, dan aparat pemerintahan harus berkolaborasi


(53)

19

untuk memotong relasi dan mata rantai konflik kekerasan, dengan cara melakukan deteksi dini terhadap eskalasi konflik, kemudian melakukan analisis terhadap faktor faktor penyebab konflik, serta pada akhirnya melakukan pengorganisasian terhadap aktor-aktor yang akan mendorong konflik maupun aktor-aktor yang akan mendorong perdamaian.

C. Pengertian Multikultural

Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Jary dan Fay dalam Suparlan (2002:98) mengemukakan multikulturalisme ialah, “ sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan”.

Suparlan (2002:100) menyebutkan, “akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan, karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya”.

Daniel Sparringga dalam Ibrahim (2008:118) menyatakan bahwa, “Multikulturalisme baik pada tingkat lokal, nasional, dan global pada umumnya mengedepankan prinsip keadilan dan persamaan. Untuk mewujudkan prinsip multikulturalisme tersebut, yang dibutuhkan sekarang bukan monokulturalisme, bukan pembauran tetapi pembaruan, bukan koeksistensi tetapi pro-eksistensi, bukanekslusitetapiinklusi, dan bukanseparasitetapiinteraksi.

Lebih lanjut suparlan mengeksplorasi multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam ruang privat maupun publik yang dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud konkrit multikulturalisme dalam proses kehidupan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman etika. Dalam konteks interaksi yang dampak dari kegiatan tersebut bisa menimbulkan kerjasama ataupun konflik sudah seyogyanyalah multikulturalisme menjadi landasan pemikiran dan perilaku bagi setian insan yang hidup di dalam kemajemukan

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan


(54)

20

kemanusiaannya. Dengan bangunan konsep yang relevan dengan antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, dan ungkapan-ungkapan budaya.

D. Model Resolusi Konflik

1. Tinjauan Teoritik Model Resolusi Konflik

1.1 Teori Proses Intervensi Konflik

Ada beberapa cara resolusi konflik yang digunakan dalam proses penyelesaian konflik. Menurut Johan Galtung dalam Putra, (2009:21), konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak pihak yang berkonflik dapat menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Johan Galtung kemudian menawarkan beberapa model yang dapat dipakai sebagai proses resolusi konflik, diantaranya :

a) Peace keeping atau operasi keamanan yang melibatkan aparat keamanan dan militer. Hal ini perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain

b) Peace making, yakni upaya negoisasi antara kelompok kelompok yang berkepentingan

c) Peace building, yakni strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace buildinglebih menekankan pada kualitas interaksi daripada kuantitas.


(55)

21

1.2 Teori Bentuk Pengaturan Konflik

Dahrendorf dalam Putra, (2009:16) menyebutkan ada tiga bentuk pengaturan konflik yang biasa digunakan sebagai resolusi konflik, yakni ;

a) Konsiliasi, dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa pihak pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak

b) Mediasi, ketika kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam tentang subyek yang dipertentangkan) nasihat yang diberikan oleh mediator tidak mengikat kedua pihak yang bertikai

c) Arbitrasi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dari arbiter sebagai jalan keluar konflik

1.3 Teori Pembendungan Konflik

Menurut Ury dalam Suwandono, (2011:57) lebih menekankan resolusi konflik dengan basis menciptakan penghalang-penghalang agar ekskalasi konflik tidak cepat, sehingga sebelum intens dan meluas sudah bisa dimanajemen. Untuk itu Ury mengusulkan 3 langkah resolusi konflik:

a) Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat laten (tidak begitu nampak) agar tidak terjadi akumulasi ketegangan yang bisa membuat konflik jadi sulit diselesaikan. Proses pelembagaan konflik laten ini diharapkan mengurangi


(56)

22

bentuk-bentuk politisasi dan bentuk-bentuk provokasi yang tidak produktif bagi resolusi konflik.

b) Segera menyelesaikan bentuk-bentuk konflik di permukaan. Resolusi dilandasi asumsi proses penyelesaian konflik secara dini, akan menutup kemungkinan proses idiologisasi konflik. Dengan pola ini diharapkan tidak berkembang menjadi konflik idiologis yang cenderung hitam putih,either or.

c) Membendung potensi-potensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif. Dengan mendesain kebijakan ini diharapkan ruang konflik yang tidak produktif bisa tereliminasi, dan ruang konflik yang produktif tetap bisa dipelihara.

2. Hasil kajian terdahulu mengenai Resolusi Konflik

1.1 Teknologi Resolusi Konflik Nabi Muhammad SAW

Nama harum Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana yang dinyatakan seorang Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia yang ditempatkan sebagai tokoh paling sukses Beberapa kasus yang akan kita kaji berikut merupakan sebuah gambaran kasar bagaimana sang al-Amin memiliki teknologi resolusi konflik yang sedemikian menembus hamparan ruang dan waktu. Banyak persoalan pelik mampu disikapi dengan treatment yang sederhana. Masyarakat yang selama ini tidak memiliki kemampuan diplomasi yang elegan selain dengan diplomasi kekerasan, dibimbing dalam wajah diplomasi yang humanis dan prospektif (Suwandono, 2011:34)


(1)

130

tidak ada tindakan baru atau mengintensifkan kegiatan yang ada agar difokuskan pada pembinaan pemuda pemudi desa tersebut. Selain itu apoarat keamanan bekerjasama dengan Pemerintah daerah menggulirkan program rembug pekon pada tahun 2013 demi mengantisipasi hal serupa terulang

B.Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut :

1. Sektor swasta yang menjadi bagian dari governance harus mampu mendukung masyarakat dan pemerintah daerah untuk bersama sama menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat sekitar dengan mekanisme monitoring, membuat peta potensi konflik yang bekerjasama dengan aparat keamanan serta pendeteksian dini sumber sumber konflik yang bisa dikomunikasikan di Program rembuk pekon. Program rembuk pekon seyogyanya harus melibatkan unsur swasta dalam implementasinya.

2. Peran sektor swasta diharapkan mampu menjadi kontributor dalam proses resolusi konflik terutama pada penyediaan lapanagn pekerjaan bagi pemuda pemudi daerah sekitar sehingga masalah kenakalan remaja dapat ditangani dengan benar yang disebabkan salah satunya yakni pengangguran

3. Revitalisasi program CSR (Corporate social responsibility) yang dilakukan pihak swasta di daerah tersebut. Program CSR haruslah tepat sasaran dan berorientasi ke arah pembangunan yang seimbang antara fisik (infrastruktur)


(2)

131

dan non fisik (Suprastruktur) di masyarakat. Terutama pembangunan mental dan karakter masyarakat sekitar.

4. Program Rembug Pekon yang digulirkan haruslah sinergi dengan program Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembangdes) sehingga tidak tumpang tindih. Rembug pekon haruslah mampu mendeteksi potensi konflik yang diakibatkan maslah pembangunan dan Musrembangdes seyogyanya menjadi wadah aspirasi pembangunan yang demokratis dan jauh dari kesan formalitas semata.

5. Pemerintah Daerah bekerjasama pihak swasta harus gencar mensosialisasikan kearifan lokal yang dimiliki oleh suku-suku yang ada di Lampung Selatan terutama pada generasi mudanya sehingga nilai-nilai luhur tersebut tetap lestari. Pemerintah dan pihak swasta juga harus turut serta mengagendakan kegiataan-kegiatan yang mampu menciptakan interaksi yang positif terhadap suku-suku yang ada di daerah lampung Selatan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang ada, sehingga tercipta rasa saling menghormati dan menghargai antar suku.

6. Pemerintah, masyarakat setempat berserta pihak swasta bahu membahu dalam pemulihan kondisi fisik dan mental para korban akibat konflik tersebut. Sikap saling memaafkan dan ikhlas terhadap apa yang telah terjadi sehingga dendam dendam yang ada dapat dilupakan agar konflik serupa tidak terulang kembali. 7. Penduduk asli dan penduduk pendatang haruslah adaptif serta responsible

terhadap kemajemukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Sikap arif dan bijaksana dalam menyikapi kemajemukan yang ada di daerah tersebut menjadi kunci perdamaian dan penyelesaian konfliK.


(3)

132


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tentang Nusa Penida. 2012. Diakses 29 November 2013. www.nusapenida.com

Badan Pusat Statistik Lampung Selatan Dalam Angka 2011 Badan Pusat Statistik Indeks Demkrasi Indonesia 2010

Buku Rembug Pekon satuan Pembinaan Masyarakat Polres Lampung Selatan 2013 Buku RPJM-Des (Rancangan Pembangungan Jangka Menengah Desa)

Balinuraga.2010

Dharmawan, Arya, Hadi..2006. Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik : Analisis Sosio

Budaya Fokus Perhatian Kalimantan Barat. Makalah. Disampaikan pada

seminar PERAGI. 10-11 Januari. Pontianak. 14 hlm

Fisher, Simon. 2004. Mengelola Konflik : Keterampilan dan strategi untuk bertindak. The British Concil. Jakarta. 185 hlm

Gautama, Wakos, Reza. Inilah 10 butir kesepakatan perdamaian konflik Lamsel. 4 November 2012. Diakses 30 Agustus 2013. www.Tribunlampung.co.id Herdiansyah, Haris. 2010. Metode Penelitian Kualitatif untuk ilmu social. Salemba

Humanika. Jakarta. 206 hlm

Ibrahim, Ruslan. 2008. Pendidikan Multikultural : Upaya meminimalisir konflik

dalam era pluralitas agama. El-Tarbawi. Volume 1 No.1. hlm 115-127

Kajian Akademik Penyelesaian Konflik horizontal Di Kecamatan Sidomulyo Komando Distrik Militer 0421 Lampung Selatan 2012


(5)

Malik, Ichsan. 2009. Disintegrasi, Reintegrasi, dan Modal Sosial di Indonesia.

Makalah. Disampaikan pada FGD ProPatria Institute. 17 Februari. Jakarta. 7

hlm

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. 410 hlm

Nota Dinas Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Lampung Selatan Nomor : 130/IV.09/2012

Palguna, Dharma. Nusa Penida : Cerita Grubug.11 april 2010. Diakses 29 November 2013. www.Bali Post.co.id

Profil Desa Agom Kecamatan kalianda Kabupaten Lampung Selatan 2011

Putra, Gde Febri Purnama. 2009. Meretas Perdamaian dalam konflik Pilkada

Langsung. Gava Media. Yogyakarta. 165 hlm

Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik,Reformasi Birokrasi dan

kepemimpinan Masa Depan. PT.Refika Aditama. Bandung. 342 hlm

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan Model Pemberdayaan. Gava Media. Yogyakarta. 215 hlm

Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural. Makalah. Disampaikan pada Simposium Internatonal jurnal Antropologi Indonesia ke-3.Universitas Udayana. 16-19 Juli. Bali. hlm 98-105

Sumarto, Hetifah. 2002. Inovasi partisipasi dan good governance. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 440 hlm

Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi konflik dan Isu isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenanda Media group. Jakarta 286 hlm

Suwandono dan Ahmadi, Sidiq. 2011. Resolusi Konflik di Dunia Islam. Graha Ilmu. Yogyakarta. 194 hlm

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penangann Konflik Sosial

Widjajanto, Andi. 2003. Peran masyarakat sipil dalam resolusi Konflik. CIVIC. Volume 1 No.3. hlm 43-52


(6)