Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB III

BAB III. PERJALANAN MIGRASI BALI NUSA
Salah satu kendala proses transmigrasi adalah keterikatan para
transmigran dengan tempat asal atau tanah kelahirannya. Identitas sosialbudaya yang melekat pada tanah kelahiran dikhawatirkan akan hilang
setelah mereka bermigrasi dan bertransmigrasi. Berbeda dengan orang
Jawa dan Madura, orang Bali memiliki ikatan yang lebih kuat terhadap
tanah kelahirannya. Hal inilah yang menyebabkan orang Bali sulit untuk
bermigrasi dan bertransmigrasi68. Orang Bali yang berasal dari Pulau Nusa
Penida – biasa disebut Bali Nusa – merupakan pengecualian. Bali Nusa
adalah orang Bali yang sudah akrab dengan proses migrasi meskipun
dengan cara-cara terpaksa69. Generasi pertama Bali Nusa “sepakat”
mengatakan bahwa faktor alam Pulau Nusa Penida yang kering dan tandus
menjadi faktor utama mereka bertransmigrasi ke Lampung70. Tujuan
Geertz (1959) dalam “Form and Variation in Bali Village Structure”, dalam
American Antropologist Vol. 61. Pp.991-1012, menyebutkan bahwa segi-segi
kehidupan sosial yang mengikat masyarakat Bali ke dalam sistem sosialnya antara
lain: kewajiban agama dan kultural terhadap Pura tertentu (dadya, paibon,
kahyangan tiga), banjar, subak, status sosial (kasta tertentu), ikatan kekerabatan
atas dasar ikatan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap seka tertentu dan
keperbekelan (satu kesatuan administrasi tertentu).
69
Secara umum gambaran proses migrasi orang Bali-Nusa dibagi menjadi tiga

masa:
1. Pada masa kerajaan-kerajaan (pra-kolonial) orang Bali “bermigrasi” atau
dibuang oleh pihak kerajaan (Kerajaan Gianyar dan Klungkung) sebagai
tahanan politik dan adat ke Pulau Nusa Penida. Ini menjadi salah satu
cikal bakal Bali-Nusa.
2. Pada masa kolonial (1935) mereka dimigrasikan (transmigrasi lokal) oleh
Pemerintah Kolonial Belanda karena terjadinya gagal panen dan resesi
global. Mereka dipindahkan dari Pulau Nusa Penida ke daerah Jembrana.
3. Pada masa pasca-kolonial (Orde Lama dan Orde Baru) bencana alam –
meletusnya Gunung Agung (1963) – dan gagal panen menjadi titik tolak
mereka untuk bertransmigrasi ke luar wilayah Bali, salah satu tujuannya
adalah Sumatera Bagian Selatan (sekarang menjadi Propinsi Sumtera
Selatan dan Lampung). Pada tahun ini, mereka bertransmigrasi bersamasama dengan orang Bali di Pulau Bali.
70
Hasil wawancara dari generasi pertama (yang menjadi tokoh di Kampung Bali)
Bali-Nusa di Lampung. Pertama, di Desa Joharan, Lampung Tengah 2006-2009.
Kedua, Balinuraga, Lampung Selatan, 2008-2010.
68

45


utamanya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarga,
baik keluarga inti yang di Lampung maupun keluarga besar dan komunitas
yang ada di Nusa Penida71.

Pulau Nusa Penida
Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan
merupakan gugus Kepulauan Nusa Penida – Nusa Penida sebagai pulau
terbesar dalam gugus kepulauan ini – dengan panjang pantai 70 km dan
luas wilayah 202,84 km2. Kepulauan Nusa Penida secara administratif
merupakan Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, terdiri dari 16
Desa Dinas dengan jumlah penduduk 46.749 jiwa (8.543 KK)72. Puncak
Mundi atau Gunung Mundi adalah gunung tertinggi di Pulau Nusa Penida
dan Kabupaten Klungkung dengan ketinggian 600 meter di atas
permukaan laut. Puncak Mundi ini dipercaya memiliki kekuatan magis
(tempat suci) yang kekuatannya terhubung melalui Pura Ped menuju ke
Besakih (pura utama di Bali), dan puncak tertinggi di Bali, Gunung
Agung73.

71


Ikatan yang kuat dengan tanah kelahiran (Nusa Penida), khususnya di bidang
keagamaan dan komunitas, menyebabkan mereka yang sudah mapan secara
ekonomi membantu secara finansial pembangunan atau renovasi tempat
peribadatan (pura-pura, diantaranya pura besar dan pura keluarga) dan banjar
yang ada di Nusa Penida.
72
Lihat: Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Klungkung (2010).
73
Konon, Puncak Mundi (Bukit Mundi) merupakan tempat orang-orang dulu
(zaman kerajaan) yang memiliki ilmu magis tinggi. Salah satu contohnya adalah
Sang Aji Dukut – seorang penguasa bumi Nusa / Nusa Penida yang lalim dalam
menggunakan kesaktiannya (lihat: Dunia 2009 dalam Kumpulan Ringkasan
Lontar). Kekuatan magis yang tinggi di tempat ini menjadikan tempat yang tepat
bagi orang-orang dulu untuk mendalami ilmu kebatinannya – umumnya praktisi
ilmu hitam. Jika latihan dan meditasi dilakukan dengan disiplin dan tekad yang
kuat, bukan tidak mungkin, kesaktian akan dicapai. Salah satu contohnya adalah
Agung Mayun yang dibuang oleh Dinasti Mengwi ke Nusa Penida. Dia
dianugerahi kesaktian setelah bermeditasi dengan khusuk di Nusa Penida (lihat:
Nodholt 2009).


46

Peta 1. Peta Komprehensif Pulau Bali dan Nusa Penida
(Sumber: Microsoft Encarta 2009)

Peta 2. Peta Satelit Pulau Nusa Penida
(Sumber: Google Earth, 2009)

Pulau Nusa Penida – dan pulau-pulau kecil lainnya – termasuk
daerah yang tidak subur di Bali. Kondisi tanah yang gersang, berbatu cadas
dan debit air yang kurang menjadikan pulau ini tidak cocok untuk
dijadikan daerah pertanian74, khususnya sawah basah dengan sistem

74

Ada yang menyebutnya sebagai pulau berbatu kapur kering.

47


pengairan75. Di pulau ini tidak ada sungai yang mengalir (termasuk Nusa
Lembongan dan Nusa Ceningan). Sumber air didapatkan penduduk
setempat dengan mengandalkan air hujan – menampung air hujan ke dalam
cubang76. Kondisi cuaca yang berbeda dengan daratan Klungkung77 –
karena perbedaan alam – menyebabkan curah hujan di Pulau Nusa Penida
tidak dapat menghasilkan sumber air yang besar bagi penduduk setempat.
Kondisi ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Bali Selatan yang
lebih subur. Meskipun padi ladang atau padi gogo memungkinkan untuk
ditanam, namun masyarakat di daerah ini cenderung untuk menanam
jagung78. Tanaman jagung tidak membutuhkan air yang banyak dan
bonggolnya dapat digunakan penduduk setempat untuk menunjang
peternakan sapi dalam skala rumah tangga79.
75

Jenis padi yang bisa ditanam di pulau ini adalah padi gogo atau padi ladang,
karena tidak membutuhkan asupan air yang konsisten sepanjang masa tanam.
76
Tempat penampungan air hujan.
77
Bila dibandingkan dengan pulau ibu, Pulau Bali, keadaan alam Pulau Nusa

Penida (Kecamatan Nusa Penida umumnya) lebih condong (mirip) dengan
kepulauan di bagian Timur dalam kepulauan Nusa Tenggara.
78
Bulir jagung dari Nusa Penida berwarna putih. Dalam skala kecil bibit jagung
ini ditanam oleh transmigran Bali di Lampung. Tujuannya bukan untuk dijual di
pasar, tapi untuk dikonsumsi sendiri, di mana ketika mengonsumsinya ada
kenangan-kenangan ketika berada di tanah kelahiran. Ada pun jagung yang biasa
mereka tanam setelah masa tanam padi atau singkong bukan untuk konsumsi, tapi
dijual ke pasar sebagai bahan baku pakan ternak. Biasanya bibit dibawa ketika
mereka pulang kampung ke Nusa Penida. Kasus ini penulis temukan ketika
melakukan penelitian pada transmigran Bali Nusa di Desa Joharan (Lampung
Tengah) dan Balinuraga (Lampung Setalan).
79
Meskipun jagung menjadi salah satu komoditas pertanian, namun yang menjadi
produk andalan dalam transaksi ekonomi adalah Sapi Bali. Bonggol jagung
menjadi pakan utama peternakan Sapi Bali, atau jika tidak ada, dapat sapi-sapi
tersebut diberikan bongkol pisang atau sampah, mengingat curah hujan yang
sedikit dan cuaca yang relatif panas mengakibatkan rumput menjadi kering dalam
kemarau yang panjang. Sejak masa kolonial sampai sekarang, peternakan menjadi
andalan di pulau ini, khususnya Sapi Bali (Putrawan 2008). Salah satu

keistimewaan Sapi Bali – sehingga bisa dibiakan di Nusa Penida – adalah
ketahanan fisiknya yang bagus, cepat berkembang biak (tingkat kesuburan tinggi),
mudah beradaptasi di lingkungan / iklim tropis dan tidak mengkonsumsi air yang
banyak (Soeharsono 2004). Dagingnya yang lebih gurih (enak) menjadikan Sapi
Bali ini mudah untuk dijual di pasaran. Sapi Bali di Nusa Penida tidak gemuk, tapi

48

Penduduk di pesisir pantai pulau ini umumnya berprofesi sebagai
nelayan . Profesi ini merupakan salah satu profesi utama bagi penduduk di
Nusa Penida, selain petani. Panjang pantai di Kecamatan Nusa Penida
yang mencapai 70 km – lebih dari dua per tiga dari total panjang pantai
wilayah Kabupaten Klungkung – sangat mendukung profesi nelayan
sebagai salah satu profesi utama penduduk setempat, khususnya bagi yang
menetap di daerah pesisir pantai seperti di Desa Suasana, Batununggul,
Kutampi Kaler, Ped dan Toyapakeh. Umumnya hasil tangkapan dijual
untuk kebutuhan domestik Kecamatan Nusa Penida, sedangkan sisanya
dijual di tempat lain (masih dalam wilayah Klungkung). Ada pula
budidaya rumput laut yang belum lama dikembangkan untuk
meningkatkan pendapatkan masyarakat di pesisir. Hasilnya cukup

menjanjikan secara ekonomi bagi para petani, dan skala produksinya
menjadikan Bali sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut selain
Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan81.
80

cukup sehat dan berisi ketika dijual di pasaran. Sapi ini biasanya dijual di daerah
Kusamba (Klungkung) dengan diangkut melalui perahu jukung. Dari Kusamba
Sapi Bali ini dipasarkan ke berbagai daerah melalui para penampung di Bali,
seperti di wilayah Jawa maupun wilayah Timur Indonesia. Pada dekade awal
transmigrasi orang Bali ke Lampung, tepatnya pada tahun 1970-an ketika
transportasi laut sudah memadai dari Bali-Jawa-Sumatera, Sapi Bali ini turut
“diekspor” ke Lampung. Pada masa itu, Sapi Bali ini diturunkan di Pelabuhan
Panjang Bandar Lampung – Pelabuhan Bakauhuni di Lampung Selatan belum
beroperasi.
80
Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung di antaranya berprofesi sebagai
nelayan ketika berada di Nusa Penida. Keterampilan dan teknik bertani baru
mereka pelajari setelah berada di Lampung, baik secara otodidak atau pun
berkonsultasi dengan transmigran Bali Nusa yang profesinya bertani ketika berada

di Nusa Penida (hasil wawancara 2006-2010).
81
Lihat: Siagian “Nusa Lembongan, Pulau Rumput Laut” (Sinar Harapan 2008).

49

Gambar 1. Jukung dan Perahu Nelayan di Nusa Penida
(Sumber: Yulianto, 2009)

Komposisi masyarakat di daerah pesisir lebih hetoregen.
Umumnya dihuni oleh pendatang dari Jawa Timur dan Madura82.
Perekonomian kedua pendatang ini umumnya lebih baik daripada
penduduk lokal Nusa Penida. Pendatang umumnya menguasai
perekonomian. Kondisi ini berbanding terbalik ketika Bali Nusa
bertransmigrasi ke Lampung, di mana perekonomian mereka umumnya
lebih baik daripada penduduk lokal Lampung83.
Meskipun sektor pariwisata mulai digalakkan, namun geliatnya
masih kalah dengan pulau tetangga, Nusa Lembongan. Turis asing dan
domestik lebih menjadikan Nusa Lembongan sebagai kunjungan pertama
daripada Nusa Penida. Travel agent biasanya lebih dahulu membawa turis

ke Nusa Lembongan baru kemudian ke Nusa Penida. Fasilitas turisme di
Nusa Lembongan, seperti hotel dan villa, umumnya lebih lengkap dan
mumpuni daripada yang ada di Nusa Penida – meskipun potensi wisata
alam di Nusa Penida dan Nusa Ceningan tidak kalah baiknya dengan Nusa
Lembongan84.

82

Pendatang umumnya berdagang di pasar. Rata-rata berdagang makanan atau
pun klontongan skala kecil. Ada pula yang berbisnis rongsokan. Mereka yang
dipesisir pantai ikut mengembangkan budidaya rumput laut (berdasarkan hasil
wawancara dan observasi di Pulau Nusa Penida 2009).
83
Berdasarkan hasil obeservasi dan wawancara dengan responden berbagai etnik
di Lampung (terutama di Lampung Tengah dan Selatan) dalam kurun waktu 20062010.
84
Lihat: Thomasson-Croll, Mary Justice. (2010), Frommer’s®: Bali & Lombok,
USA: Wiley Publishing; dan Hitchcock, Michael & Putra, I Nyoman Darma.
(2007), Tourism, Development and Terrorism in Bali, England: Ashgate.


50

Pura terpenting dan banyak dikunjungi di Nusa Penida oleh
masyarakat Bali adalah Pura Penataran Agung Ped85 yang terletak di Desa
Ped, Sampalan, Kecamatan Nusa Penida. Terletak di sebelah utara jalan
utama, kurang lebih lima puluh meter dari tepi laut. Konon pura ini
didirikan untuk mengingat roh jahat terkenal bernama Jero Gede86.
Kunjungan ke pulau ini umumnya didominasi oleh orang Bali untuk
menyelenggarakan upacara tahunan, odalan Pura Penataran Agung Ped
setiap 210 hari sesuai kalender Bali. Pura ini merupakan salah satu objek
wisata spiritual yang paling diminati oleh masyarakat Bali. Mereka yang
berkunjung ke pura ini biasanya untuk memohon keselamatan,
kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan87. Pura-pura dalam kompleks
Pura Penataran Agung Ped adalah Pura Segara (sebelah utara dekat bibir
pantai) yang dipersembahkan (didedikasikan) kepada Batara Baruna, yang
terkait dengan kegiatan maritim penduduk di pulau ini. Di sebelah barat
terdapat Pura Ratu Gede (atau Penataran Ratu Gede Mecaling) yang
menjadi pura utama. Di sebelah selatan terdapat Pura Taman, yang
terdapat kolam yang mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Fungsi
pura ini adalah sebagai tempat penyucian. Kemudian di sebelah timur,
terdapat pelebaan Ratu Mas, dan Bale Agung di jaba tengah.

85

Sebutan lainnya adalah Pura Dalem Penataran Ped, biasa disebut para Balian
(sebutan paranormal di Bali). Pura Dalem yang dimaksudkan adalah “Dalem”
untuk sebutan raja yang berkuasa pada masa itu, Ratu Gede Mecaling; bukan
“Dalem” yang menjadi bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem, dan Bale
Agung). Perdebatan dalam penamaan Pura Penataran Agung Ped ini adalah
seputar apakah pura ini kategorikan kedudukannya sebagai “Pura Dalem” atau
“Pura Khayangan Jagat” – tanpa mengabaikan sisi penting dan historis keberadaan
pura ini bagi masyarakat Bali. Kemudian, pura ini disepakati sebagai sebagai Pura
Kahyangan Jagat.
86
Sebutan lainnya adalah Ratu Gede Mecaling atau Jero Gede Mecaling. Orang
Bali mengenalnya sebagai kekuatan (menakutkan) sebagai penyebar penyakit
kolera, dan dipercaya (kekuatannya dan ujudnya) masih ada beserta pasukan bala
samar (pasukan tak nampak atau wong samar), di mana kekuatan tersebut dapat
ditangkal dengan tarian Barong Landung seputar / sekitar Galunggang.
87
Lihat: Bali Post, “Pujawali” di Pura Penataran Ped “Masineb” Senin
Mendatang, Rabu Kliwon, 7 Juni 2006.

51

Untuk saat ini, perjalanan ke Nusa Penida dapat ditempuh melalui
empat tempat. Dua tempat dari wilayah Bali Selatan (Jimbaran dan
Denpasar), yaitu dari Benoa menumpang quicksilver / Balihai88 dengan
waktu tempuh ± 1 jam perjalanan, dan dari Sanur dengan waktu tempuh ±
1,5 jam perjalanan. Dua tempat dari Kabupaten Klungkung, yaitu dari
Kusamba menumpang jukung89 ± 1,5 jam perjalanan, dan dari Padangbai
menumpang kapal feri / roro ± 1 jam perjalanan. Bagi turis atau wisatawan
asing biasanya melalui jalur Benoa dan Sanur, karena relatif dekat dengan
Denpasar, Legian dan Kuta. Penyeberangan melalui Klungkung umumnya
didominasi penumpang dari penduduk setempat (Bali Nusa) yang ingin
melakukan aktivitas ekonomi atau pun keperluan lain di Klungkung.
Pelabuhan Padangbai biasanya menjadi pilihan utama, karena kapalnya
yang relatif lebih luas dan stabil di laut jika cuaca buruk, serta dapat
memuat barang lebih banyak, termasuk mobil pribadi90. Menggunakan
jukung dari Kusamba biasanya akan menjadi alternatif utama
88

Quicksilver dan Balihai adalah perusahaan swasta yang menyediakan
armadanya untuk mengangkut turis asing dan turis domestik (umumnya dari kelas
menengah ke atas) ke Pulau Nusa Lembongan (tujuan utama) dan Nusa Penida
(tujuan kedua).
89
Jukung: perahu yang terbuat dari (papan) kayu dengan dua kitir (sejenis sayap
kapal) di sisi kanan dan kiri kapal untuk menjaga keseimbangan dari terpaan angin
dan gelombang laut. Biasanya jukung dilengkapi dengan dua sampai empat motor
tempel, agar dapat mengangkut beban angkutan yang lebih besar. Puluhan ekor
babi dan Sapi Bali pun bisa terangkut dari Nusa Penida ke Kusamba (Klungkung),
serta bahan-bahan bangunan yang berat (seperti semen, pasir, beci cor, dan lainlain) dari Kusamba ke Nusa Penida (hasil observasi 2009).
90
Untuk kasus transmigran Bali Nusa di Lampung, ketika pulang kampung ke
Nusa Penida, umumnya akan menyeberang melalui Padangbai. Padangbai menjadi
alternatif utama jika mereka berangkat dari Lampung ke Nusa Penida dengan
membawa mobil pribadi atau mobil kelas pribadi sewaan. Kapal roro dari
Padangbai memungkinkan mobil pribadi sampai ke Nusa Penida. Atau, melalui
Sanur jika mereka naik bis umum dari Lampung ke Bali, karena lebih dekat dari
Denpasar. Biasanya mereka menginap semalam dahulu di Denpasar untuk
memulihkan kebugaran tubuh setelah menempuh perjalanan darat selama tiga hari
dua malam, dan keesokan harinya baru ke Nusa Penida melalui Sanur. Atau, jika
ada kerabat dan saudara di Klungkung, keesokan harinya bisa mampir terlebih
dahulu di Klungkung, dan berangkat ke Nusa Penida melalui Padangbai
(berdasarkan hasil wawancara, 2006-2010).

52

penyeberangan jika kapal roro di pelabuhan Padangbai rusak, atau ada
perbaikan teknik di pelabuhan dan kapal. Pada masa pra-kolonial
(kerajaan), Pelabuhan Kusamba (serta Pantai Jumpai dan Cedokan Oga)
merupakan salah satu alternatif utama bagi armada dan pasukan Kerajaan
Gelgel ke Nusa Penida91.

Gambar 2. Pelabuhan Kusamba, Klungkung
(Sumber: Yulianto, 2009)

Secara ekonomis pulau ini mengandalkan perekonomiannya pada
daerah lain, khususnya Klungkung. Jumlah dan jenis barang yang masuk
dari Klungkung lebih besar daripada barang yang keluar untuk dipasarkan
ke luar Nusa Penida. Mulai dari bahan makanan pokok sampai bahan
bangunan dipasok dari Klungkung, seperti beras, gula, minuman dan
makanan ringan, kain dan baju, dupa, alat pertanian, susu, semen, besi cor,
asbes, dan lain-lain; sedangkan komoditas yang dijual ke luar Nusa Penida
umumnya oleh masyarakat adalah Sapi Bali dan babi – yang nilai jualnya
Dalam Kumpulan Ringkasan Lontar (Dunia 2009) disebutkan bahwa: “I Gusti
Ngurah Jelantik Tenganan bersama pasukannya berangkat ke Nusa Penida melalui
Pelabuhan Kusamba dengan manaiki jukung dan perahu, turun di Jungutbatu”.
Tujuan I Gusti Ngurah Jelantik Tenganan waktu itu adalah untuk menaklukkan
Sang Aji Dukut (sebutan lain: Dalem Dukut, Dalem Bungkut, Sri Aji Dukut) yang
dalam pemerintahannya rakyat di Nusa Penida hidup dalam ketakutan dan
kecemasan.
91

53

lebih tinggi daripada hasil pertanian yang minim untuk dijual ke luar Nusa
Penida.

Gambar 3. Proses Pengiriman Sapi Bali dari Nusa Penida ke Kusamba,
Klungkung; dan Proses Penurunan Penumpang dari Kusamba ke Nusa
Penida
(Gambar pertama: Sapi Bali diangkut manual ke jukung oleh “ojek orang”;
gambar kedua: proses penurunan penumpang dari jukung ke Nusa Penida
menggunakan jasa “ojek”).
(Sumber: Yulianto, 2009)

54

Gambar 4. Pasar Mentigi dan Jalan Utama Pelabuhan Mentigi Nusa Penida
(gambar pertama: Pasar Mentigi; gambar kedua: jalan utama di Pelabuhan
Mentigi).
(Sumber: Yulianto, 2009)

Arus keluar-masuk barang dari dan ke Nusa Penida tidak bersifat
stabil. Sewaktu-waktu bisa terhenti bila cuaca atau keadaan alam tidak
mendukung, seperti angin barat, gelombang tinggi, dan hujan. Akibatnya
roda perekonomian bisa terhenti atau tersendat, karena secara ekonomi
sangat tergantung dari interaksi ekonomi daerah tetangga. Hal ini
menyebabkan wabah kelaparan bisa terjadi kapan saja dalam setiap
periode. Faktor alam memungkinkan gagal panen potensial terjadi, curah
hujan yang sedikit dan pasokan air yang kurang. Wabah kelaparan menjadi
semakin memprihatinkan jika daerah tetangga yang menjadi pemasok
beras turut mengalami gagal panen. Dalam keadaan normal pun, beras

55

termasuk barang mahal karena tanahnya tidak dapat menghasilkan padi
untuk kebutuhan domestik pulau ini dan harus impor dari daerah tetangga.
Kasus resesi global tahun 1930-an dan meletusnya Gunung Agung (1963)
dapat menjadi contoh kasus, bagaimana penduduk mengalami wabah
kelaparan karena daerah tetangga mengalami gagal panen dan harus impor
beras dari daerah tetangga, seperti Jawa. Keadaan ini menimbulkan
inisiatif dan tekad yang kuat untuk bermigrasi timbul, baik dengan bantuan
pemerintah (kolonial dan republik), atau pun secara mandiri yang lebih
dominan92. Kondisi alam Nusa Penida yang tidak menguntungkan ini
menyebabkan masyarakat Bali di Nusa Penida lebih akrab dengan proses
migrasi daripada masyarakat Bali pada umumnya93.

Sejarah Migrasi Bali Nusa
Bali Nusa memiliki proses sejarah migrasi yang panjang. Pertama,
pada masa pra-kolonial (zaman kerajaan), di mana orang Bali yang
bermasalah dengan pihak kerajaan (penguasa) dibuang atau diasingkan ke
Pulau Nusa Penida. Orang Bali yang diasingkan ini menjadi salah satu
cikal bakal Bali Nusa, selain penduduk asli yang sebelumnya sudah ada di
pulau itu (Bali Aga). Mereka sudah menjadi Bali Nusa ketika sudah
menetap dan berkeluarga di Nusa Penida. Identitas tempat asal pun hilang,
termasuk kedudukan dan status sosialnya yang tinggi sewaktu di Bali.
Kedua, pasa masa Pemerintahan Kolonial Belanda, tepatnya pada tahun
1935, ketika mereka dipindahkan ke Jembarana – daerah di Bali Utara

92

Migrasi pertama terjadi pada tahun 1935 di bawah pemerintah kolonial, masih
dalam wilayah Bali. Mereka dipindahkan ke Jembarana yang wilayahnya sebagian
besar masih kosong (tingkat huniannya jarang). Migrasi kedua – transmigrasi –
secara masif terjadi saat momentum meletusnya Gunung Agung (1963). Migrasi
kedua ini umumnya dilakukan atas inisiatif dan biaya sendiri (transmigrasi
swakarsa).
93
Daerah tujuan migrasi lokal masyarakat Bali Nusa atas inisiatifnya sendiri
biasanya di daerah Klungkung. Mereka biasanya bekerja sebagai petani penggarap
atau sebagai buruh kasar. Bagi yang kondisi perekonomian keluarganya
mendukung, migrasi ke Klungkung biasanya untuk bersekolah. Lihat: Wirawan,
A. A. Bagus. (2008), Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di Sumbawa, 19521997, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III, No.6 Desember
2008.

56

yang tingkat huniannya jarang – karena tingkat hunian penduduk di Nusa
Penida yang padat, kondisi alam yang tidak menguntungkan yang
menyebabkan gagal panen dan wabah kelaparan, dan ketergantungan
wilayah ini akan kebutuhan pokok dari daerah tetangga. Ketiga, pada masa
Pemerintahan Republik Indonesia (Orde Lama) – yang melanjutkan proses
transmigrasi dari pemerintahan kolonial, kemudian dilanjutkan kembali
oleh pemerintahan Orde Baru. Momen penting dari proses transmigrasi di
masa ini adalah terjadinya bencana alam – meletusnya Gunung Agung
tahun 1963 – yang disertai oleh krisis ekonomi karena inflasi yang tinggi
(hyperinflation), serta efek domino letusan Gunung Agung, seperti gagal
panen dan wabah kelaparan.

Migrasi Terpaksa Orang Bali ke Pulau Nusa Penida PraKolonial
Pada masa pra-kolonial Pulau Nusa Penida dikenal sebagai tempat
pembuangan94. Hukuman pembuangan atau pengasingan di masa itu
termasuk jenis hukuman yang ringan bagi para lawan politik kekuasan

94

Salah satu bukti bahwa Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan bagi
kelangan kerajaan adalah pada masa kepemimpinan Gusti Agung Ngurah Made
Agung Putra atau biasa disebut Agung Putra. Dia adalah seorang Raja Mengwi,
1829-1836, anak kedua Gusti Ngurah Made. Pada masa kepempinan Agung Putra,
sepupunya yang bernama Agung Mayun diasingkan ke Pulau Nusa Penida dengan
didampingi kemenakannya bernama Agung Mayun Merta. Selama pengasingan
Agung Mayun berada di bawah pengawasan Kerajaan Klungkung. Konon, selama
pengasingan di Nusa Penida menjadi momen penting bagi kematangan Agung
Mayun, dia dianugerahi kekuatan untuk melindungi diri terhadap roh jahat. Kelak
Agung Mayun – sebutan lainnya adalah Gusti Agung Nyoman Munggu, dan
Cokorda Agung Gede Mayun menjelang akhir hidupnya – menjadi pemimpin
Dinasti Mengwi (Lihat: Schulte Nordholt, Henk. (2009), The Spell of Power:
Sejarah Politik Bali 1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta).
Sebagai catatan, pengasingan yang tercatat di dalam sejarah atau babad adalah
orang-orang penting yang berasal dari kalangan puri, di mana posisi pentingnya di
kerajaan. Berbeda dengan kalangan jaba yang “mungkin” tidak tercatat secara
jelas berapa jumlah dan kapan diasingkan, karena kedudukan atau pengaruhnya
tidak signifikan pada masa kekuasaan yang mengasingkan mereka.

57

puri, pelanggar adat, dan praktisi ilmu hitam95. Bila kategori kesalahannya
tergolong berat atau tidak termaafkan, maka para pelanggar dihukum mati
oleh pihak kerajaan. Di masa itu, diperkirakan hanya ada dua jenis
hukuman bagi mereka, yang terberat dihukum mati, dan yang teringan
dibuang ke Nusa Penida. Dilihat dari hukumannya, bukan tidak mungkin
para terhukum tersebut adalah orang-orang yang memiliki kedudukan dan
status sosial di dalam masyarakat dan kekuasaan kerajaan. Posisinya yang
mengancam kekuasaan kerajaan secara politik menyebabkan mereka
diasingkan atau dibuang ke Pulau Nusa Penida.
Pengasingan atau pembuangan orang-orang terhukum ini – dari
Bali ke Nusa Penida – merupakan sebuah proses migrasi yang dilakukan
secara terpaksa. Intervensi kekuasaan terhadap orang-orang terhukum ini
memaksa mereka untuk dipindahkan atau diasingkan secara politik.
95

Berdasarkan pengamatan penulis ketika melakukan perjalanan ke Nusa Penida
(2009), ada beberapa faktor teknis yang menyebabkan pulau ini pantas dijadikan
tempat pembuangan bagi pihak kerajaan, yaitu faktor akses (transportasi) dan
faktor alam Nusa Penida. Di masa sekarang, dibutuhkan waktu kurang lebih satu
jam perjalanan dari daerah Klungkung (Kusamba dan Padang Bai) menggunakan
perahu bermotor tempel atau kapal roro dengan asumsi cuaca dan gelombang (dan
arus bawah laut di Nusa Penida) layak untuk melakukan perjalanan laut, atau
kurang lebih dua jam perjalanan dari Pantai Sanur menggunakan perahu bermotor
tempel. Dapat diperkirakan bagaimana sulitnya akses atau transportasi ke Nusa
Penida pada masa kerajaan. Ketika transportasi laut masih (teknologi) tradisional,
menggunakan angin dan dayung, cuaca, gelombang laut, dan arus bawah laut di
Pulau Nusa Penida. Perjalanan pulang-pergi dari Nusa Penida-Klungkung pun
tidak bisa dilakukan setiap saat mengingat faktor alam – saat sekarang pun
perjalanan pulang-pergi Nusa Penida-Klungkung dapat terhambat jika cuaca tidak
mendukung. Kedua, faktor alam Pulau Nusa Penida itu sendiri. Tanah yang kering
dan tandus dengan cuaca yang relatif panas, serta sulit mendapatkan air
(kekeringan) dirasakan cukup memberikan hukuman bagi orang buangan kerajaan.
Bencana kelaparan dan gagal panen setiap waktu bisa terjadi. Beras harus dikirim
dari Klungkung, di mana pengirimannya sangat tergantung dengan cuaca dan
sarana transpostasi yang ada. Teknologi transportasi dan pemompaan air yang
modern sekarang pun belum dapat mengatasi permasalahan kekeringan di Nusa
Penida. Suplai beras masih mengandalkan dari daerah tetangga. Oleh karena itu,
catatan sejarah mengenai gagal panen, kelaparan, dan kekeringan selalu
mencatatnya dari masa pra-kolonial sampai pasca-kolonial. Uraian ini diperkuat
dengan keterangan dari sesepuh dan masyarakatBali Nusa yang ada di Lampung
(2006-2010) dan wawancara dengan beberapa masyarakat di Nusa Penida (2009).

58

Tujuannya agar mereka tidak mencemari atau mengganggu tatanan sosial
yang ada dalam wilayah kekuasaan kerajaan. Setelah dibuang ke Nusa
Penida, status sosial atau kedudukan penting sewaktu di Bali akan menjadi
hilang. Posisi mereka menjadi setara dengan penduduk setempat. Ini
menyebabkan masyarakat di Nusa Penida pada masa itu lebih egaliter.
Selain disebabkan banyaknya orang-orang buangan – yang sebelum
dibuang memiliki status dan kedudukan sosial tinggi – faktor jarak yang
jauh dari pusat atau kontrol kekuasaan (pihak kerajaan atau puri) terhadap
wilayah buangan ini menyebabkan keegaliteran tumbuh. Faktor lain yang
tidak kalah penting adalah penduduk asli yang menempati Nusa Penida.
Penduduk aslinya diperkirakan memiliki kemiripan dengan Bali Aga 96, di
mana dalam struktur masyarakatnya tidak mengenal sistem kasta seperti
mayoritas BaliHindu di Bali yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Pembuangan atau pengasingan orang Bali ke Nusa Penida
menyebabkan identitas asalnya menjadi hilang, baik itu status sosial
(kasta) atau pun kedudukan sosialnya. Setelah berada di Nusa Penida,
status sosial dan identitasnya mengikuti penduduk setempat, yaitu dengan
menjadi orang Bali Nusa, orang Bali yang berasal dari Nusa Penida.
Perubahan identitas terjadi pada pengidentifikasikan tempat asal, yang
sebelumnya dari (Pulau) Bali, kini menjadi (Pulau) Nusa Penida. Namun,
identitas etniknya sebagai orang Bali dan sebagai (pemeluk) Hindu Bali
tetap dipertahankan, karena Nusa Penida merupakan bagian dari Bali dan
penduduk setempat pun adalah orang Bali-Hindu. Oleh karena itu,
meskipun pada masa kerajaan mereka bisa melakukan perjalanan ke luar
Nusa Penida (menjadi buruh tani di wilayah kerajaan Klungkung atau
melakukan transaksi perdagangan, khususnya beras), identitas asal yang
telah hilang sebelumnya akibat diasingkan, mau-tidak-mau dalam
interaksinya di luar komunitas Nusa Penida, mereka akan
mengidentifikasikan dirinya sebagai Bali-Nusa. Pengidentifikasikan diri
sebagai Bali-Nusa dinilai lebih baik ketika mereka berinteraksi di luar
Nusa Penida, daripada memaksakan diri mengidentifikasikan diri dengan
daerah asalnya sebelum diasingkan, karena akan mengentarakan sejarah
96

Lihat: Hobart, A., Ramseyer, U., & Leeman, A., (1996), The Peoples of Bali
(Oxford: Blackwell).

59

pengasingan mereka ke Nusa Penida sebagai orang terhukum pihak
kerajaan.

Proyek Politik Etis Pemerintah Kolonial: Kolonisasi
(Transmigrasi)
Kekejaman politik pemerintah kolonial terhadap penduduk di
wilayah koloninya, memuncak kurun waktu abad ke-18 dan akhir abad ke19, mendapatkan kritik keras dari pihak reformis. Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda dianggap tidak berterimakasih terhadap penduduk wilayah
koloni dengan menerapkan sistem kerja paksa (cultuurstelsel97) untuk
mengatasi kebangkrutan ekonomi akibat pendudukan Perancis (di bawah
kekuasaan Napoleon) atas Kerajaan Belanda98, dan menutup defisit
keuangan Hindia99 – yang salah satu penyebab utamanya adalah perang
berkepanjangan sebagai akibat dari ketidakadilan dan ketidakpuasan
masyarakat atas kebijakan pemerintah: Perang Padri di Sumatera Barat
Cultuurstelsel” (dalam Bahasa Belanda) dapat diartikan “sistem pertanian yang
dikontrol pemerintah”, sedangkan dalam Bahasa Inggris “cultivation System”
(Sistem Pembudidayaan). Pulau Jawa merupakan titik berat pelaksanaan sistem
ini. Van den Bosch tidak secara eksplisit memformulasikan kebijakannya. Intinya,
petani Jawa harus dibimbing oleh penguasa, dan mereka harus diajar untuk
bekerja, dan kalau tidak mau belajar, mereka harus dipaksa bekerja (Vlekke 2008).
Caranya adalah pemerintah menuntut pembayaran sewa tanah (dua per lima hasil
panen) atau seperlima tanah sawah (tanah garapan) untuk membudidayakan
tananam yang ditentukan oleh pemerintah melalui Direktur Kultur (lihat: Vlekke
2008, Ricklefs 2001, Cribb & Kahin 2004, Drakeley 2005).
98
Perang Napoleon terhadap koalisi pertama atau “Persekutuan Eropa” (Austria,
Prussia, Britania Raya, Spanyol, Belanda dan Kerajaan Sardinia) terjadi pada
tahun 1793-1797. Pada masa inilah Belanda dianeksasi oleh Perancis. Kesempatan
ini digunakan oleh Inggris untuk mencaplok wilayah koloni Belanda dan berhasil
menguasainya (sementara) pada tahun 1811-1817. Tahun 1813, setelah Belanda
memberontak atas dominansi Perancis, kemerdekaan Belanda dipulihkan. Dalam
perjanjiannya dengan pihak Inggris, Belanda meminta agar wilayah koloninya
dikembalikan. Pada tahun 1816 Belanda mulai kembali menguasai Hindia melalui
pejabat sementara dari Belanda, sampai Inggris angkat kaki dari Hindia pada
tahun 1917.
99
Defisit keuangan Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada masa kepemimpinan
Gubernur Jenderal G. A. Baron Van der Capellen 1818-1826, yaitu dengan
menghabiskan 24 juta gulden – lebih besar daripada pendapatan pemerintah
(Vlekke 2008).
97

60

1821-1838 dan Perang Jawa 1925-1830100. Kebijakan ini diterapkan pasa
masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada
tahun 1930. Cakupan wilayah kebijakannya meliputi Jawa, Bangka dan
Sumatera dengan mengabaikan potensi-potensi pulau-pulau lainnya
(diantaranya Bali101), karena ketiga pulau ini menghasilkan laba paling
besar bagi pemerintah kolonial, dan kekhawatiran pengaruh Pemerintah
Kolonial Inggris di daerah ini102.
Kritik keras dari kaum liberal atas kebijakan sistem tanam paksa
mencapai klimaksnya melalui buku karangan Eduard Douwes Dekker
(nama samaran “Multatuli103”) yang ditulis tahun 1859 dengan judul Max
Havelaar104. Buku ini merupakan kritik terhadap pemerintah kolonial
melalui karya sastra atas ketidakadilaan dan pemerasan terhadap penduduk
pribumi (Jawa). Buku ini menjadi best seller dalam waktu singkat dan
100

Perang Padri di Sumatera Barat adalah perang pertama yang diusung oleh
gerakan Islam radikal dengan paham wahabi yang dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol. Semangat pertemuran dan ideologinya kemudian diadoptasi oleh
Diponegoro untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang dikenal dengan
Perang Jawa.
101
Bali pada masa itu tidak dimasukkan dalam sistem tanam paksa sebagai upaya
untuk meningkatkan laba pemerintah kolonial Belanda. Ini disebabkan, pertama,
Bali dan Lombok masih berstatus negara merdeka. Kedua, sumberdaya alam yang
ada di Bali tidak dapat memberikan keuntungan yang besar. Ekspor utama Bali
waktu itu yang dominan adalah budak – para tawanan perang atau rakyat dari
Negara atau kerajaan yang ditaklukan oleh kerajaan lain – ekspor budak Bali sejak
abad ke-17 hingga abad ke-19 diperkirakan 2000 budak per tahun selama abad ke17 (Robinson 2006, Cribb & Kahin 2004). Di samping itu, pemerintah kolonial
berpikir dua kali untuk melakukan ekspansi ke Bali karena kegemaran rakyatnya
untuk berperang – perang antar kerajaan, selain tidak ada sumberdaya alam yang
potensial untuk diperdagangkan di pasar internasional (Vlekke 2008). Ketika
Inggris mulai bersaing dengan pemerintah kolonial dalam perebutan kekuasaan
dagang di wilayah Nusantara dan sempat menguasai Nusantara pada 1811-1817
kepemimpinan Thomas Stamford Rafless, Inggris melalui kebijakannya mulai
melarang atau mengilegalkan perdagangan budak yang didominasi oleh Bali di
pasar Batavia (lihat: Cribb & Kahin 2004; Robonsin 2006).
102
Lihat: Reid, Anthony. (2007), Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan
Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 (terj. Masri
Maris), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
103
“Multatuli” diartikan “dia yang telah banyak menderita”.
104
Lihat: Multatuli. (2008), Max Havelaar (terj.), Yogyakarta: Penerbit Narasi.

61

menarik minat pembaca non Belanda setelah diterjemahkan ke berbagai
bahasa umum yang digunakan di Eropa. Melalui buku ini khalayak dapat
mengetahui bagaimana politik kolonial yang diterapakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda terhadap pribumi. Tulisan berikutnya yang lebih menohok
– kritik keras atas pemerintah kolonial – ditulis oleh Mr. Conrad Th. van
Deventer dalam artikel yang berjudul “A Debt of Honors” – diterbitkan
tahun 1899 di majalah “De Gids”. Dalam tulisannya Van Deventer
(Vlekke 2008: 372) berargumen bahwa “Belanda telah memperoleh
berjuta-juta dari Indonesia dengan cara tanam paksa tanaman-tanaman
berharga dan, karena itu, pada masa ketika koloni itu sangat
membutuhkan dana untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk asli,
Belanda terikat “demi kehormatan" untuk membalas budi atas dana
berjuta-juta itu”105. Kedua tulisan tersebut mendapat perhatian dari Ratu
Wilhelmina yang juga turut membacanya, dan pada tahun 1901 kebijakan
“politik etis106” mulai diberlakukan di Hindia, yang diklarasikan dengan
pernyataan Ratu (Cribb & Kahin 2004): “As a Christian power, the
Netherlands is obliged to carry out government policy in the Indies in the
consciousness that the Netherlands has a moral duty to the people of these
regions”. Pokok-pokok kebijakan ini adalah perbaikan dan pengembangan
kesehatan (health), perluasan pendidikan (education), perluasaan fasilitas
jaringan komunikasi, irigasi dan infrastruktur penunjangnya, dan
transmigrasi (kolonisasi107) – di mana transmigrasi dinilai dapat
memberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial untuk
meningkatkan kapasitas produksi dengan membuka lahan baru di daerah
transmigran, sekaligus mengurangi tingkat kepadatan penduduk,
khususnya di Jawa, dan transfer teknik (pengetahuan) pertanian ke
penduduk lokal.

105

Lihat: Cribb & Kahin (2004).
“Politik Etis” dalam Bahasa Belanda “ethische politiek”, dan dalam Bahasa
Inggris “Ethical Policy”.
107
Kolonisasi adalah istilah “transmigrasi” yang digunakan pada masa kolonial.
“Transmigrasi” digunakan pemerintah republik (pasca kemerdekaan) untuk
mengganti istilah “kolonisasi” yang dinilai identik dengan Pemerintah Kolonial
Belanda.

106

62

Realisasi pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera baru
terlaksana pada tahun 1905. Tanggungjawab ini dipegang oleh seorang
Asisten Gubernur (Residen) Sukabumi bernama H. G. Heyting sejak masa
persiapan pada tahun 1902. Kolonisasi ini harus segera dilakukan sebagai
bagian dari proyek politik etis. Pertanyaan mendasar yang digunakan –
pada tahun 1902 – untuk menganalisa pentingnya pelaksanaan kolonisasi
pasca politik etis diberlakukan adalah mengapa atau apa yang
menyebabkan
penurunan
kesejahteraan
penduduk
di
Jawa.
Permasalahannya adalah meningkatnya jumlah penduduk di Jawa –
termasuk Madura dan Bali. Terdapat fakta (Vlekke 2008) bahwa penduduk
Jawa telah meningkat lima kali lipat atau lebih sejak awal abad ke-19.
Jumlah total penduduk Jawa dan Madura naik dari lima juta pada tahun
1815 menjadi 11 juta pada 1860, 28 juta pada 1900. Akibatnya, tanah yang
seabad lalu digunakan untuk menghidupi satu keluarga sekarang harus
menghidupi lima keluarga. Pada tahun 1905, ketika kolonisasi akan
direalisasikan, jumlah penduduk Jawa diperkirakan 28,4 juta jiwa dengan
kepadatan penduduk rata-rata sekitar 226 juta per km2, sedangkan pulaupulau lainnya, jumlah penduduk tidak lebih dari 7 juta jiwa dengan
kepadatan penduduk rata-rata sekitar 4 jiwa per km2 (Davis 1976).
Setelah persiapan matang – anggaran dan lokasi transmigrasi di
Sumatera – pada bulan November 1905, Asisten Gubernur Heyting
memberangkatkan 155 KK (815 jiwa) dari Kabupaten Karanganyar,
Kebumen, dan Purworejo (Keresidenan Kedu, Jawa Tengah) menuju
lokasi transmigrasi di Gedong Tataan108, Lampung, Sumatera Bagian
Selatan (Keresidenan Lampung)109. Agar identitas tempat asalnya tidak
hilang dan kerasan (betah) di daerah transmigran, maka desa transmigran
pertama itu diberi nama Desa Bagelan – sesuai dengan nama tempat asal.
108

Gedong Tataan terletak di sebelah Barat Tanjung Karang (atau sekarang
Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung).
109
Lihat: Hoogerwerf, E., (1997), Transmigratie en kerkvorming: Het ontstaan en
de ontwikkeling van de Christelijke Kerk van Zuid-Sumatra (Gereja Kristen
Sumatera Bagian Selatan – GKSBS) 1932-1987, Uitgeverij Boekencentrum,
Zoetermeer; Davis, Gloria. (1976). Parigi: A Social History at the Balinese
Movement to Central Sulawesi 1907-1974, Disertasi Doktor Stanford University;
Suparno, Erman. (2008), Paradigma Baru Transmigrasi: Menuju Kemakmuran
Rakyat, Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

63

Pola penamaan daerah transmigran menggunakan nama asal nantinya juga
digunakan transmigran Bali ketika berada di Lampung, dengan
menggunakan nama banjar atau nama klan (soroh, warga) untuk
menunjukkan identitasnya.
Pasca proyek politik etis diberlakukan, dan salah satu proyek
utamanya kolonisasi atau transmigrasi berhasil dilaksanakan di Lampung,
proses transmigrasi pada tahun-tahun berikutnya terus dilakukan
pemerintah kolonial untuk penduduk di Pulau Jawa, Madura, dan Bali,
serta daerah tujuan transmigrasi bertambah ke sebagian Pulau Kalimantan,
Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Proyek kolonisasi ini kemudian
diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan nama transmigrasi
– karena keberhasilan dan keefektifannya, tidak hanya meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan jumlah penduduk, tapi secara politik
berfungsi sebagai faktor integrasi kebangsaan – pada masa pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru, dan pemerintahan sekarang.
Pada masa kolonial ini penduduk Bali mulai diperkenalkan dengan
program pemindahan penduduk (transmigrasi). Meskipun pada masa ini
penduduk Bali belum dapat ditransmigrasikan – dipindahkan ke luar pulau
secara masif – transmigrasi lokal yang berhasil direalisasikan pemerintah
kolonial terhadap penduduk Bali di Nusa Penida pada tahun 1935 ke
Jembrana, menjadi titik tolak bagi Bali Nusa dengan inisitifnya sendiri
untuk bertransmigrasi ke luar Bali dengan daerah tujuan Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa serta Kepulauan Maluku. Transmigrasi
lokal terhadap Bali Nusa ini memberikan pengalaman lebih bagi mereka
untuk bertransmigrasi – pengalaman migrasi dalam konsep menyeberangi
laut (antar pulau) – daripada penduduk Bali di pulau induk (Bali).

Migrasi Masa Kolonial: Transmigrasi Lokal dari Nusa Penida
ke Jembarana
Kebijakan transmigrasi – kolonisasi – tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan politik etis Pemerintah Hindia Belanda. Bali adalah salah satu
wilayah yang tingkat huniannya tinggi, selain Jawa dan Madura. Namun,
selama pemerintahan kolonial, belum ada orang Bali yang berhasil
dipindahkan atau ditransmigrasikan keluar wilayahnya. Proses migrasi
yang dilakukan adalah transmigrasi lokal. Hal ini disebabkan karena

64

masyarakat Bali memiliki ikatan-ikatan sosial yang sangat kuat terhadap
tanah kelahirannya. Ketika orang Jawa sudah berhasil ditransmigrasikan
pada tahun 1905 ke Sumatera Bagian Selatan (Lampung) oleh pemerintah
kolonial, orang Bali baru berhasil dipindahkan pada tahun 1935. Proses
migrasinya pun masih dalam skala lokal. Transmigrasi lokal – dari daerah
dengan tingkat hunian tinggi ke tingkat hunian rendah di daerah yang sama
– ini berhasil karena mereka dalam wilayah yang secara historis dan
kebudayaan sama, masih dalam wilayah Bali. Migrasi lokal yang terjauh –
karena perpindahan antar pulau dalam wilayah yang sama – adalah migrasi
Bali Nusa ke Jembrana. Mereka dimigrasikan bersama-sama dengan orang
Bali di bagian selatan yang memiliki tingkat hunian yang tinggi.

Peta 3. Kabupaten Jembrana
(Sumber: website Kabupaten Jembrana, 2010)

Ada beberapa alasan mengapa Jembrana (Bali Utara) menjadi
wilayah bagi transmigrasi lokal pemerintah kolonial. Pertama, pada tahun
1930-an daerah ini tingkat huniannya masih sangat jarang bila
dibandingkan dengan wilayah Bali Selatan – termasuk Pulau Nusa Penida,
pulau kecil yang tingkat huniannya tinggi meskipun tanahnya tidak subur.
Tingginya jumlah penduduk di Nusa Penida diperkirakan – untuk ukuran
sebuah pulau dengan tanah yang tidak subur – karena adanya pengasingan

65

pada masa kerajaan110. Dengan demikian, pertambahan penduduk terjadi
pada kelompok pendatang dari Bali (pulau induk) dan penduduk setempat
Nusa Penida.
Kedua, untuk memperluas area pertanian di Bali dengan
melakukan ekspansi ke Bali Utara. Pada masa itu, Bali Selatan merupakan
daerah sentra pertanian karena tanahnya yang subur. Akibatnya tingkat
huniannya di daerah ini menjadi tinggi, dan berdampak pada hasil produksi
pertanian yang menurun. Jumlah lahan pertanian menjadi berkurang
karena naiknya jumlah penduduk. Transmigrasi lokal ini ditujukan sebagai
salah satu cara atau solusi akibat efek domino krisis ekonomi global –
disertai krisis pangan akibat gagal panen di Bali – yang terjadi pada tahun
1930-an. Resesi ekonomi global telah berdampak terhadap perekonomian
Bali. Jika tidak dibuka lahan baru, maka krisis ekonomi dan pangan akan
semakin buruk bagi perekonomian Bali. Realisasi program transmigrasi
lokal ke daerah Jembrana ini tidak mudah. Orang Bali Selatan enggan
untuk ditransmigrasikan ke sana. Alasannya karena daerah tersebut relatif
kurang subur dibandingkan dengan Bali Selatan, dan merupakan daerah
yang angker. Namun, karena ada alasan-alasan tertentu yang bersifat
memaksa menyebabkan mereka mau bertransmigrasi lokal ke Jembrana.
Keterpaksaan perpindahan orang di Bali Selatan berbeda dengan
Bali Nusa. Salah satu keterpaksaan orang Bali Selatan untuk
bertransmigrasi lokal lebih disebabkan faktor sosial politik yang
berkembang di Bali Selatan, sedangkan Bali Nusa lebih disebabkan faktor
alam – tanah yang tidak subur dan potensi wabah kelaparan secara
periodik – dan tingginya tingkat kepadatan penduduk untuk daerah yang
tidak subur ini dengan perkiraan di tahun 1930-an mencapai 12.000 orang
dengan tingkat hunian 54 jiwa per kilometer persegi,111 serta pengaruh
resesi ekonomi global112.

110

Lihat: Putrawan (2008).
Ibid.
112
Resesi ekonomi global yang menimpa Bali secara sistematis akan
memperparah penduduk Nusa Penida, karena ketergantungannya, khususnya pada
bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras, pada daerah tetangga di pulau induk
(Bali).
111

66

Orang Bali Selatan yang “terpaksa” bertransmigrasi lokal adalah
mereka yang beragama Kristen Protestan dan Katolik113. Selain adanya
tekanan secara sosial, tekanan secara politik ini diberikan oleh pemerintah
kolonial – diperhalus dengan proyek transmigrasi lokal dengan
memberikan tanah garapan pertanian di Jembarana – agar menjaga Bali
tetap ajeg, tidak ada proyek kristenisasi terhadap orang-orang Bali114.
Secara sosial dan politik, perpindahan sebagian dari mereka ke Jembarana
dimaksudkan agar penyebaran agama nasrani tidak berkembang secara
113

Kegiatan misioner di Bali dimulai pada tahun 1864, yang diemban oleh tiga
misionaris dari Utrecht Mission Society (UZV) setibanya di Buleleng. Orang Bali
pertama dan satu-satunya yang berhasil dikristenkan adalah I Gusti Karangasem
pada tahun 1873. Kemudian pada tahun 1881, J. de Vroom, satu dari tiga
misionaris pertama yang tinggal di Bali, akhirnya dibunuh oleh I Gusti
Karangasem. Pada periode ini pula, tahun 1870, misionaris Khatolik pertama
datang di Bali. Izin misinya baru dikeluarkan pemerintah kolonial pada 1891.
Dapat dikatakan, pada periode ini, sangat sedikit sekali kegiatan misioner di Bali.
Mulai pada abad ke-20 kegiatan misonaris diizinkan di Bali dari seorang
misionaris kebangsaan Tiongkok bernama Tsang Kam Fuk (biasa disebut Tsang
To Hang), karena ia bertugas mengabarkan Injil untuk orang Tionghua (migran) di
Bali. Lambat laun, Tsang To Hang melakukan pengabaran Injil kepada orang Bali,
di mana telah melanggar kesepatan kerjanya dengan pemerintah kolonial bahwa
hanya melakukan kegiatan misioner terhadap orang Tionghua perantauan di Bali.
Ucapannya yang kontorversial – dan tentunya menyinggung perasaan orang Bali –
adalah that food offerings should be given to dogs rather than presented in the
temples and at other places for offering. Lihat: Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink,
Karel (edt.) (2008), A History of Christianity in Indonesia, Leiden & Boston:
BRILL).
114
Kegiatan misionaris dilarang melakukan kegiatan penyeberan agama nasrani
(kristenisasi) sejak akhir abad ke 19, khususnya setelah seorang misionaris
Belanda dibunuh oleh orang Bali pertama dan satu-satunya yang dikristenkannya
(Robinson 2006). Penghentian kegiatan misionaris ini baru efektif (di masa
kolonial) sejak pertengahan tahun 1930-an (Lihat: Aritonang, Jan Sihar &
Steenbrink, Karel (edt.) 2008). Residen Bali dan Lombok, H. T. Damste
mengungkapakan pada 28 Mei 1923 (dalam Robinson 2006, hlm. 62) menolak
keniscayaan hancurnya budaya dan agama Bali, dan menandaskan pendapat
yang berpihak pada “pelestarian” budaya dan agama Bali melalui intervensi aktif
pemerintah. Dia mendukung kebijakan keagamaan yang ada, yang melarang
kegiatan misioner di Bali, dengan alasan bahwa pengkristenan akan
mengacaukan hubungan yang sangat halus antara keyakinan religius dan tatanan
politik, yang sudah cukup untuk menjamin lestarinya perdamaian dan ketertiban.

67

meluas di Bali, khususnya di Bali Selatan yang tingkat huniannya tinggi
dan keadaan ekonomi yang sulit waktu itu (keadaan ekonomi yang sulit
dapat menjadi salah satu faktor keberhasilan kristenisasi di Bali Selatan)115.
Wilayah pemukiman untuk transmigran lokal yang beragama
Protestan dan Katolik, dan Bali Nusa dibuat terpisah, tidak menjadi satu.
Daerah Blimbingsari untuk Bali Protestan, Palasari untuk Bali Katolik, dan
Nusasari untuk Bali Nusa (Nusa Penida). Penduduk Nusa Penida berhasil
dipindahkan ke Jembarana, di daeerah Mendoyo dengan disediakan tanah
sekitar 3000 hektar, tepatnya pada bulan November 1935 dengan
berjumlah kira-kira 300 jiwa.
Dengan demikian, proyek transmigrasi lokal pemerintah kolonial
bisa mengatasi beberapa persoalan sekaligus, yaitu krisis ekonomi dan
menyempitnya lahan pertanian di Bali Selatan, pemerataan jumlah
penduduk, meningkatkan taraf hidup dan ekonomi khususnya di Bali
Selatan dan Nusa Penida, serta permasalahan sosial-politik yang
disebabkan hadirnya agama baru (nasrani).

Migrasi Pasca Kolonial: Bertransmigrasi ke Sumatera
Realisasi perpindahan orang Bali ke pulau lain – transmigrasi –
secara masif terjadi pada tahun 1953. Transmigrasi ini berlangsung pada
masa pemerintahan Orde Lama. Mereka yang bertransmigrasi pada tahun
tersebut berasal dari wilayah Jembrana, di mana umumnya adalah para
keluarga transmigran lokal di masa pemerintah kolonial tahun 1935.
Daerah tujuan transmigrasi mereka adalah daerah Belitang, Sumatera
Bagian Selatan. Perpindahan ini menjadi titik tolak bagi mereka yang
berasal dari Jembrana untuk bertransmigrasi ke Pulau lainnya selain
Sumatera pada tahun-tahun berikutnya, seperti Kalimantan Selatan,
Sumbawa, Sulawesi Tengah, dan Seram. Hal ini disebabkan tingkat hunian
di wilayah Jembrana sudah meningkat, dan tanah garapan yang ada sudah
115

Pada kasus di Mengwi, ada rumor yang mengatakan bahwa kelompok
masyarakatnya berasal dari kasta rendah yang miskin dan buta huruf, yang mau
melepaskan diri dari kewajiban dalam sosial dan keagamaan yang banyak dan
mahal, dan kewajiban untuk bekerja sukarela (tanpa bayaran / ngayah ) untuk
pembangunan dan perbaikan pura (lihat: Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Karel
(edt.) 2008).

68

tidak dapat memenuhi taraf k

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DALAM PENANGGULANGAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Konflik Warga Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan)

0 12 92

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB II

1 1 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB IV

0 2 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB V

0 0 150

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI

0 0 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VII

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan

0 0 41

T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Lampung Pepadun: Studi di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah T1 BAB III

0 0 3