Implementasi Asean Free Trade Agreement di Jawa Barat.

Dr. Obsatar Sinaga

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT
DI JAWA BARAT

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
ISBN : 978-602-96935-0-8

© LEPSINDO
All right reserved
Penulis:
Dr. H. Obsatar Sinaga
Editor :
Dadi J. Iskandar
Desain :
Adhy M. Nuur

Diterbitkan oleh:
LEPSINDO

lepsindo@gmail.com


““UntukAnak-anak&Istriku“

Kata Pengantar
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran

K

ecenderungan regionalisme dan terbentuknya
berbagai kelompok kerja sama, baik geografis
maupun fungsional, mewarnai era percaturan
politik dan ekonomi global dewasa ini. Globalisasi
tanpa disadari telah merasuki ranah kehidupan
masyarakat-bangsa di jagat ini; bahkan telah ikut
mengaliri urat nadi tatanan kehidupan negaranegara di muka bumi, termasuk di Indonesia.
Sebagai sebuah arus kekuatan yang dampaknya
sulit dielakkan oleh Negara mana pun di dunia ini,
mainstream globalisasi berwajah kembar: di satu sisi
ia membuka peluang besar bagi kemajuan

perekonomian Negara-negara yang mampu
menyikapi secara proaktif-responsif, dengan bertumpu
pada seperangkat kemampuan memanfaatkannya,
sedangkan di sisi lain, arus globalisasi dengan segala
dampak ikutannya ternyata tidak selalu berdampak
menguntungkan, atau jangan-jangan malah
merugikan, terutama bagi Negara-negara yang
sedang berkembang.
Secara teoretis, persoalan utama dalam
menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas
yang terindikasi mulai massif dewasa ini, sangat
tergantung pada kemampuan menangkap peluang
i

yang ada, sekaligus memanfaatkan kesempatankesempatan yang tersedia. Memang tidak mudah,
untuk katakan saja memberi definisi operasional
terhadap ungkapan pernyataan tersebut. Dari
perspektif akademis misalnya, suatu kajian yang
mendalam perlu dilakukan sehingga diperoleh
informasi yang akurat dan berguna dalam

menghadapi tantangan tersebut. Kendatipun
demikian, dapat dikatakan dalam bahasa terang,
bahwa optimalisasi dari totalitas kemampuan dan
kapasitas sumber daya yang dimiliki suatu bangsa
merupakan kerangka dasar yang visioner yang
perlu dikedepankan dalam upaya merespons secara
positif arus kekuatan globalisasi. Berbagai
pemahaman yang hanya memaknai arus globalisasi
sekadar sesuatu hal yang buruk dan menyedihkan—
karena kita merasa tidak atau belum siap,
semestinya tidak menjadi wacana yang justru dapat
mengganggu kesiapan kita menghadapi tantangan
besar ini.
Dengan demikian, betapa mutlaknya peningkatan
sumber daya manusia dalam arti yang seluasluasnya, karena hanya dengan cara demikian kita
dapat menampilkan keunggulan kompetitif
(competitive advantage), atau daya saing yang akan
menentukan keberhasilan dan kemajuan ekonomi
suatu Negara-bangsa, termasuk bagi bangsa
Indonesia.

Suatu hal yang menggembirakan, dalam
beberapa tahun terakhir ini konstelasi dunia di
bidang ekonomi dan perdagangan, tampak mulai
bergerak secara berarti ke kawasan Asia-Pasifik.
ii

Rupanya hal ini tidak terlepas dari semakin
meningkatnya bobot dan peranan Negara-negara
industri di Asia Timur dan Asia Tenggara, antara
lain melalui APEC dan AFTA.
Seiring dengan diterapkannya Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dimana memberikan otonomi yang luas,
nyata dan dinamis bagi setiap daerah di Indonesia,
tentunya harus merangsang elit-elit dan stakeholders
pembangunan di daerah untuk mewujudkan
keberhasilan penerapan otonomi daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat daerah yang
bersangkutan. Misalnya dengan mengembangkan
kualitas produk terunggulkan yang memiliki daya
saing ekonomi, selain membangun relasi atau

jaringan kerja sama dalam pemasarannya. Dengan
demikian, setiap daerah—sesuai dengan pemahaman
otonomi yang di dalamnya terdapat desentralisasi,
sudah selayaknya memiliki kecenderungan membuka
diri, karena hal itu tidak bertentangan dengan
globalisasi atau regionalisasi.
Dalam konteks tersebut, kerja sama luar negeri
untuk memajukan perekonomian dan pemberdayaan
potensi daerah, dalam kaitannya dengan
perdagangan internasional dalam kerangka AFTA,
merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Demikian halnya bagi Jawa Barat, yang memiliki
potensi dan peluang yang besar dalam perdagangan,
jasa, industri, dan agrobisnis, perlu merespons
secara cermat dengan mengimplementasikan
kesepakatan perdagangan bebas di kawasan Asia
Tenggara (AFTA).
iii

Saya menyambut dengan rasa gembira

kehadiran buku Implementasi ASEAN Free Trade
Agreement di Jawa Barat, yang ditulis Sdr. Dr. H.
Obsatar Sinaga. Buku ini sangat menarik karena
mengungkapkan, bahwa dalam implementasi AFTA
bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat, ditemui beberapa faktor yang cukup berarti.
Antara lain: tidak lancarnya komunikasi, terbatasnya
sumberdaya, kurang sesuainya perilaku pelaksana,
dan tidak jelasnya struktur birokrasi menjadi
penyebab tidak tercapainya daya saing Jawa Barat
di dalam menghadapi perdagangan bebas di
kawasan Asia Tenggara. Selain itu juga, dalam buku
ini mengungkapkan, bahwa implementasi suatu
kebijakan tidak terlepas dari keadaan masyarakat
atau publik dimana kebijakan tersebut diberlakukan.
Buku ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuandansekaligussebagaibahanpertimbangan
bagi perumus kebijakan, serta pengayaan informasi
bagi masyarakat pada umumnya. Sekaligus buku ini
dapat meningkatkan rasa nasionalisme di tengah era

globalisasi.
Selamat atas karya ini.
Bandung, Mei 2010

Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., S.H., M.Si.

iv

Seuntai Kata

G

lobalisasi perekonomian yang sedang
berlangsung dewasa ini, maraknya liberalisasi
perdagangan, investasi maupun jasa baik pada
tingkat regional maupun global telah menuntut
negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan
kemampuan bersaingnya seiring dengan semakin
terbukanya pasar internasional. Indonesia dalam hal
ini juga tidak luput dari tuntutan yang sama dengan

komitmen terhadap liberalisasi perdagangan ASEAN
Free Trade Agreement (AFTA).
Hal itu perlu secara saksama dikaji karena
dewasa ini pelaksanaan otonomi daerah telah
membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai
salah satu komponen dalam penyelenggaraan
hubungan luar negeri. Pemerintah Indonesia
melalui Departemen Luar Negeri (Deplu) RI
memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah
untuk menjalin kerja sama dengan luar negeri. Buku
ini merupakan salah satu upaya telaah kritis
terhadap proses regionalisme ASEAN melalui
implementasi AFTA dengan studi kasus di Jawa
Barat.
Kami berharap buku ini dapat menjadi
semacam referensi bagi para penstudi Hubungan
Internasional untuk mendalami lebih lanjut
kompleksitas Hubungan Internasional baik sebagai
v


fenomena maupun disiplin ilmu yang bersifat
interdisipliner, khususnya dinamika hubungan
internasional di kawasan ASEAN.
Akhir kata, kami berharap kontribusi kami
yang tertuang dalam buku ini bukan saja dapat
bermanfaat bagi para penstudi dan peminat
Hubungan Internasional di Indonesia namun juga
dapat memperkaya khasanah referensi Hubungan
Internasional berbahasa Indonesia dalam mengembangkan disiplin ilmu Hubungan Internasional di
Indonesia.

Bandung, Mei 2010

Obsatar Sinaga

vi

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjajaran .............................................. i
Seuntai Kata ............................................................... v
Daftar Isi .................................................................. vii
BAB I
PENGANTAR ............................................................ 1
BAB II
REGIONALISME ASEAN: PERSPEKTIF
TEORETIS ................................................................ 17
2.1 Organisasi Internasional .................................. 17
2.2 Bentuk Organisasi Internasional .................... 31
2.3 Konsensus dalam Organisasi Internasional . 34
2.4 Kerja Sama dalam Organisasi Internasional . 38
2.5 Kebijakan............................................................ 42
2.5.1 Kebijakan Nasional .................................. 46
2.5.2 Politik Luar Negeri .................................. 47
2.5.3 Implementasi Kebijakan ......................... 50
2.6 Liberalisasi Perdagangan Agro ....................... 57
2.6.1 Motif Perdagangan dan Tekanan
Liberalisasi ................................................ 58
2.6.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro . 61

2.6.3 Skenario dan Dampak Liberalisasi ........ 62
2.6.3.1 Skenario Liberalisasi .................... 62
2.6.3.2 Sisi Positif dan Negatif
Liberalisasi ..................................... 63
vii

2.6.4 Pendekatan Daya Saing dalam
Pengembangan Usaha Industri Agro .... 68
2.7 Kerangka Kerja untuk Analisis
Implementasi AFTA di Jawa Barat .................. 69
BAB III
KONFIGURASI PERKEMBANGAN
LINGKUNGAN REGIONAL ............................... 75
3.1 Lingkungan Strategis ASEAN:
Peluang dan Kendala ........................................ 75
3.2 Struktur Organisasi dan Keanggotaan
ASEAN ................................................................ 83
3.3 ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) ......... 93
3.4 Kesepakatan AFTA Bagi Indonesia ................. 96
BAB IV
STUDI KASUS IMPLEMENTASI
KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS
ASEAN DI JAWA BARAT (BIDANG
KOMODITAS AGRO) ......................................... 107
4.1 Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD)
Jawa Barat 2005-2025 ....................................... 109
4.2 Faktor-Faktor Daya Saing dan Model
Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas
Agro Jawa Barat dalam Kerangka AFTA ...... 116
4.2.1 Faktor-Faktor Penentu Daya Saing
Jawa Barat ............................................... 116
4.2.2 Strategi Pengembangan Ekspor
Komoditas Agro Jawa Barat dalam
Kerangka AFTA ...................................... 119

viii

4.3 Kondisi Riil Kesiapan Jawa Barat
Melakukan Implementasi AFTA Bidang
Perdagangan Komoditas Agro
(Model Edward III) .......................................... 123
4.3.1 Kegiatan Komunikasi ............................. 124
4.3.2 Faktor Transmisi dari Komunikasi ...... 130
4.3.3 Kecenderungan dari Para Pelaksana
(Disposisi) ................................................ 160
4.3.4 Struktur Birokrasi (Bureaucratic
Structure) .................................................. 167
4.4 Implikasi Kebijakan ......................................... 173
BAB V
PENUTUP............................................................... 187
DAFTAR PUSTAKA ................................................ 191

ix

x

BAB I
PENGANTAR

P

aska era Perang Dingin interaksi antarnegara
dalam pola hubungan internasional sifatnya
semakin mengarah pada kompleksitas kepentingan
yang lebih berorientasi pada bidang ekonomi
daripada konteks hubungan yang mengarah
pada politik dan keamanan. Terlihat dengan
tumbuhnyakecenderunganregionalismeberdasarkan
kepentingan ekonomi negara-negara yang
ditandai dengan terwujudnya berbagai kerangka
kerja sama bidang ekonomi yang bersifat
regional.
Sejalan dengan perkembangan politik dan
ekonomi dunia yang semakin pesat, kekuatan
ekonomi dewasa ini mengacu pada sistem global,
gejala pengelompokkan ekonomi regional
semakin jelas, ditandai dengan munculnya blok
ekonomi yang mengembangkan kerja sama
regional seperti Asia-Pacific Economic Cooperation
(APEC), Single European Market (UNI Eropa) dan
North America Free Trading Area/NAFTA (Amerika
Serikat, Kanada dan Meksiko).
Globalisasi dan liberalisasi dikenali dengan
meningkatnya kerangka kerja sama ekonomi
antarnegara anggota organisasi internasional
yang bersifat regional, cenderung erat dan
berusaha menghilangkan berbagai hambatan di

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

bidang perdagangan secara koordinatif untuk
memperkuat perekonomian regional dalam
menghadapi tantangan blok ekonomi regional
lain yang menimbulkan keyakinan efektivitas dan
modalitas kerja sama internasional.
ASEAN adalah organisasi regional yang
merupakan perhimpunan bangsa-bangsa,
dibentuk oleh pemerintah lima negara yang
terletak di kawasan Asia Tenggara pada tanggal
8 Agustus 1967 di Bangkok, dengan ditandatanganinya deklarasi ASEAN yang terkenal
dengan sebutan “Bangkok Declaration” oleh Wakil
Perdana Menteri Malaysia dan para Menteri
keanggotaan ASEAN mencakup hampir seluruh
negara di kawasan Asia Tenggara kecuali
keanggotaan negara Kamboja yang sampai saat
ini masih ditangguhkan.
Isu mengenai “musuh” bersama, mampu
membawa para anggota untuk menyadari
pentingnya ASEAN. Ancaman Uni Soviet,
misalnya, yang hadir di kawasan Asia Tenggara
khususnya di Vietnam mampu memperkuat
ikatan ASEAN dengan satu interpretasi bahwa
perdamaian dan stabilitas nasional masing-masing
negara anggotaASEAN harus ditingkatkan melalui
perdamaian dan stabilitas regional.
Untuk itu, secara formal ASEAN merupakan
kerja sama ekonomi, sosial dan budaya. Namun
demikian, Deklarasi Bangkok yang memuat
maksud dan tujuan dibentuknya ASEAN, juga
mengacu pada upaya mewujudkan perdamaian
dan stabilitas regional yang bisa menunjang

2

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

pembangunan nasional di segala bidang bagi
negara anggotanya. Di samping itu juga untuk
meningkatkan kerja sama yang aktif dan saling
menguntungkan, membantu menyelesaikan
masalah-masalah yang merupakan kepentingan
bersama di bidang ekonomi, sosial, teknik,
komunikasi, ilmu pengetahuan, administrasi.
Kerja sama intra-ASEAN bukan koordinasi
yang bersifat integratif melainkan kooperatif
dengan landasan utama musyawarah, kepentingan
bersama, saling membantu dengan semangat
ASEAN. Setelah lebih dari 30 tahun, ASEAN
terkait dengan proses dinamis yang berlangsung
sejak awal perkembangannya, para pendiri
maupun pimpinan ASEAN menyadari realitas
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, latar
belakang sejarah maupun sikap politik negara
anggotanya masih menentukan saling pengertian
satu-sama lain (international understanding) untuk
mencapai dan memelihara kelangsungan
harmonis di antara anggota. Untuk itu diperlukan
adanya koordinasi dalam pencapaian tujuan
ASEAN.
Pada konteks demikian, pertumbuhan
ASEAN menurut sebagian pengamat relatif
lamban, namun pengamat lain memandang
sebagai konsekuensi upaya internal. Minimal hal
ini merupakan tahapan dalam upaya memantapkan
saling pengertian melalui penanggulangan dan
pemupukan solidaritas dan kesatuan sikap
dengan kerja sama yang saling menguntungkan
dengan memanfaatkan forum regional, bahkan

3

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

dapat diartikan sebagai masa konsolidasi untuk
menyelesaikan masalah persepsi yang negatif di
antara anggota ASEAN sendiri.
Makna keyakinan tersebut melandasi pula
upaya Indonesia untuk lebih memajukan
perkembangan ASEAN hingga dewasa ini, yakni
sejauh yang termanifestasikan pada kebijakan
luar negeri Indonesia dalam bidang kerja sama
intra-ASEAN di era globalisasi.
Globalisasi perekonomian yang sedang
berlangsung dewasa ini, maraknya liberalisasi
perdagangan, investasi maupun jasa baik pada
tingkat regional maupun global, menuntut
negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan
kemampuan bersaingnya seiring dengan semakin
terbukanya pasar internasional. Indonesia pun
tidak luput dari tuntutan yang sama dengan
komitmen terhadap liberalisasi perdagangan
ASEAN Free Trade Agreement (AFTA).
AFTA ditandatangani dalam Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-IV tahun 1992.
Peluncuran AFTA ini dilatarbelakangi oleh
keberhasilan kerja sama regional lainnya seperti
NAFTA, Pasar Tunggal Eropa, dan keinginan
negara-negara anggota ASEAN sendiri untuk
lebih membuka perekonomiannya. Melalui
pembentukkan AFTA, ASEAN yang akan
berpenduduk lebih dari 500 juta jiwa pada tahun
2010 akan merupakan suatu pasar potensial,
sekaligus mempunyai daya tarik yang lebih besar
bagi investasi intraregional maupun dari luar
ASEAN.

4

Pengantar

Penurunan tarif dari beberapa komoditas
tersebut telah dimulai pada tahun 1993 dan
(diharapkan) akan berakhir pada tahun 2008.
Maksudnya tingkat tarif seluruh komoditas
manufaktur dan hasil olahan pertanian akan
diturunkan menjadi 0 - 5% dalam waktu 15 tahun.
Hambatan-hambatan teknis dan nonteknis
yang melingkupi perdagangan intra-regional
ASEAN juga akan dihilangkan. Untuk komoditas

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Upaya perwujudan AFTA ini sangat
memberikan harapan. Hal itu secara jelas
tercermin dari kesediaan negara-negara ASEAN
untuk memulai pelaksanaan AFTA terhitung
sejak tanggal 1 Januari 1993 ketika semua negara
anggota telah menyampaikan jadwal penurunan
tarifnya dan mencapai puncaknya pada tahun
2002 ketika suatu kawasan perdagangan bebas
AFTA telah terbentuk di Asia Tenggara.
Indonesia mendukung diberlakukannya
AFTA secara bertahap melalui skema Common
Effective Preferential Tariff (CEPT), yaitu daftar
barang-barang komoditi yang diperjualbelikan
antar negara-negara ASEAN yang telah dikurangi
tarif bea masuknya. Implementasi penurunan
tarif beberapa komoditas yang tertuang dalam
ketentuan CEPT dalam agenda AFTA terbagi
dalam tiga kelompok yaitu:
1. Katagori CEPT (Fast Track).
2. Katagori Normal (Normal Track) dan
3. Katagori perkecualian sementara (Temporary
Exclusion List)

5

Pengantar

2. Jalur Cepat (fast track)
Komoditas dengan tarif di atas 20% akan
dikurangi menjadi 0-5% sebelum 1 Januari
2000. Komoditas dengan tarif sebesar 20% atau
kurang akan dikurangi hingga 0-5% sebelum
1 Januari 1998.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

yang termasuk dalam katagori cepat (fast track)
yang meliputi 15 kelompok komoditas dan konon
mencapai 40% dari volume perdagangan
ASEAN, setiap negara anggota ASEAN bahkan
diharapkan untuk mengurangi tingkat tarif pada
perdagangan intra-ASEAN lebih kecil 5% paling
lambat pada akhir tahun 2003.
Untuk komoditas yang termasuk dalam
katagori perkecualian (temporary exclusion list),
walaupun bersifat untuk sementara, negara
anggota mempunyai komitmen moral untuk
melepas status eksklusivitas itu pada akhir tahun
2001. Tahapan menuju ke sana telah dimulai,
misalnya pada pertemuan para Menteri Ekonomi
ASEAN (AEM) ke-26 di Thailand (September
1994), penurunan tarif kedua jalur pertama (cepat
dan normal) dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Jalur Normal (normal track)
Komoditas dengan tingkat tarif di atas 20%
akan dikurangi hingga 20% sebelum 1 Januari
1998, dan secara bertahap dikurangi dari 20%
menjadi 0-5% sebelum 1 Januari 2003. Komoditas
dengan tingkat tarif sebesar 20 % atau kurang
akan dikurangi hingga 0-5% sebelum 1 Januari
2000.

6

Pengantar

7

Secara keseluruhan melalui skema CEPT
terdapat lebih dari 14.800 komoditas yang
termasuk dalam katagori cepat, dan hampir
26.000 dalam katagori perekonomian sementara.
Tabel 1.1
Jumlah Komoditas dalam CEPT

Negara

Cepat

Brunei
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
Sub total
Total

2,377
2,819
2,985
960
2,183
3,531
14.885

Normal
3,618
4,539
5,170
5,170
3,473
5,146
25.918
44.095

Perkecualian
Sementara
236
1,648
621
694
1
122
3,322

Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2003.
IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Sejak tahun 2003 daftar perkecualian
sementara umumnya meliputi bahan kimia,
plastik dan sektor kendaraan bermotor yang
mencapai lebih dari 45%. Dari daftar perekonomian
itu, Indonesia bahkan memasukkan jumlah
komoditas terbesar, yaitu sebesar 1.648 terutama
pada sektor bahan kimia. Sementara Brunei
memasukkan daftar perkecualian sementara
pada sektor mesin dan barang-barang elektronik,
kendaraan di Malaysia, tekstil di Filipina dan
kendaraan di Thailand.

Pengantar

8

Sementara itu, hasil kesepakatan AEM ke26 di Thailand (September 1994) juga antara lain
memasukkan semua komoditas pertanian yang
belum diolah ke dalam skema CEPT. Para anggota
ASEAN pun sementara telah mengelompokkan
komoditas pertanian ke dalam tiga jalur:
1. Daftar normal/cepat.
2. Daftar perkecualian dan.
3. Daftar sensitif.
Pada pertemuan tingkat Menteri Ekonomi
ASEAN (AEM) dan tingkat Menteri Pertanian
dan Kehutanan ASEAN (AMAF) telah berhasil
menghasilkan sejumlah daftar yang termasuk ke
dalam tiga katagori tersebut. Hal yang cukup
mengagumkan adalah bahwa 68% dari hampir
200 komoditas yang semula tidak termasuk
CEPT, kini telah dimasukkan dalam daftar
normal cepat (immediate inclusion).

Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2007.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Tabel 1.2
Komoditas Pertanian Belum Diolah
Uraian
Jumlah
Persentase
Daftar Normal/Cepat
1.358
68
Daftar Perkecualian
402
20
Daftar Sensitif
235
12
Total
1.995
100

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Berdasarkan tabel 1.2 terlihat bahwa
komoditas yang masuk daftar cepat/normal
sebagai agenda penting AFTA mencatat angka
yang tinggi. Hal tersebut sekaligus menjadi
penyebab lambatnya proses implementasi
kebijakan AFTA secara menyeluruh. Hambatan
pelaksanaannya adalah pertama, hambatan
prosedur dan administrasi. Kedua, perbedaan
tarif efektif di negara-negara anggota ASEAN atas
suatu barang yang sama setelah dikenakan MOP
(Margin of Preference). Ketiga, perbedaan kebijakan
dan program di antara negara-negara atas
produk yang termasuk dalam CEPT. Keempat,
produk-produk CEPT masih terkena halangan
nontarif, seperti pembatasan jumlah impor.
Berdasarkan hal tersebut tentu saja dibutuhkan
suatu terobosan bagi kerja sama ASEAN.
Meskipun AFTA sudah dilaksanakan sejak
tahun 2003, namun pada kenyataannya terus
mengalami kemunduran karena terdapat
sejumlah produk-produk yang masih dipersoalkan
tarifnya, terutama komoditas pertanian. Secara
khusus, Indonesia sebagai salah satu negara
anggota ASEAN juga tidak dapat menghindar
dari proses liberalisasi perdagangan di kawasan
Asia Tenggara ini.
Sekretariat ASEAN (ASEAN Secretariat)
memiliki perwakilan di setiap negara anggota
ASEAN yakni Sekretariat Nasional ASEAN di
bawah Departemen Luar Negeri. Dengan kata
lain di era reformasi Indonesia, implementasi
AFTA di tingkat nasional meliputi instansi terkait

9

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

seperti Seknas ASEAN, pemerintahan pusat, dan
pemerintah daerah. Hal itu perlu secara saksama
dikaji karena dewasa ini pelaksanaan otonomi
daerah telah membuka peluang keikutsertaan
daerah sebagai salah satu komponen dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri. Pemerintah
Indonesia melalui Departemen Luar Negeri
(Deplu) RI memberikan peluang seluas-luasnya
kepada daerah untuk menjalin kerja sama dengan
luar negeri.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dalam beberapa pasalnya mengatur
mengenai kerja sama dimaksud. Salah satu di
antaranya disebutkan bahwa “daerah dapat
mengadakankerjasamayang saling menguntungkan
dengan lembaga/badan luar negeri yang diatur
dengan keputusan bersama”.
Sementara dalam UU Nomor 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri, antara lain
disebutkan hubungan luar negeri adalah setiap
kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan pemerintah di
tingkat pusat dan daerah, atau lembagalembaganya, lembaga negara, badan usaha,
organisasi masyarakat, LSM atau warga negara
Indonesia (Pasal 1, Ayat 1).
Hubungan luar negeri diselenggarakan
sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan
perundang-undangan nasional dan hukum serta
kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku
bagi semua penyelenggara Hubungan Luar

10

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Negeri, baik pemerintah maupun non-pemerintah
(Pasal 5, Ayat 1 dan 2).
Kaitannya dengan implementasi AFTA,
Departemen Luar Negeri RI memberi peluang
kepada daerah untuk melakukan kerja sama luar
negeri dalam kerangkaAFTAdengan berpedoman
pada UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Peran
Deplu yaitu memadukan seluruh potensi kerja
sama daerah agar tercipta sinergi dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri. Selain
itu, mencari terobosan baru, menyediakan data
yang diperlukan dan mencari mitra kerja di luar
negeri, mempromosikan potensi daerah di luar
negeri, memberikan perlindungan kepada
daerah, memfasilitasi penyelenggaraan hubungan
luar negeri.
Kemudian sesuai dengan perkembangan
ekonomi dan politik di dalam negeri, penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri tampaknya cenderung
memberikan penekanan pada kepentingan
ekonomi. Dalam mengintensifkan penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik
luar negeri di bidang ekonomi, Indonesia lebih
mendorong keterlibatan lembaga-lembaga nonpemerintah (second track diplomacy) di bidang
ekonomi, seperti Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin), baik di tingkat nasional
maupun daerah.

11

Pengantar

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional;

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Untuk mencapai tujuan tersebut, UU
Nomor 37 tentang Hubungan Luar Negeri dan
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional telah memberikan dasar hukum
yang lebih baik bagi koordinasi dan keterpaduan
pelaksanaan hubungan luar negeri. Pola
diplomasi yang kini berkembang pun tidak lagi
semata-mata bertumpu pada jalur first track
diplomacy yang bersifat formal antar pemerintah,
melainkan juga semakin sering terlaksana melalui
jalur second track diplomacy yang bersifat informal
antarlembaga non-pemerintah.
Kaitannya dengan keterlibatan aktif
pemerintahan daerah dalam proses perdagangan
bebas di kawasan Asia Tenggara, Propinsi Jawa
Barat mempunyai potensi dan peluang yang
sangat besar menjadi salah satu pusat perdagangan,
jasa, agrobisnis dan agroindustri terkemuka di
Indonesia melalui pengembangan kerja sama luar
negeri dalam kerangka AFTA.
Lebih lanjut, dasar hukum kerja sama
daerah, khususnya Propinsi Jawa Barat, dengan
luar negeri yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah;

12

Pengantar

13

4. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri;
5. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional;
6. Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/
X/2003/01 tentang Panduan Umum Tata
Cara Hubungan Luar Negeri oleh Daerah;
7. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 21
Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja sama
antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Secara khusus, di Propinsi Jawa Barat telah
dikeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pedoman Kerja
sama antara Daerah dengan Pihak Luar Negeri.
Keputusan Gubernur Jawa Barat ini
merupakan salah satu bentuk upaya sungguhsungguh membangun kerja sama luar negeri
dalam rangka pemberdayaan potensi daerah
Jawa Barat, termasuk upaya keterlibatan Jawa
Barat dalam perdagangan bebas komoditas
pertanian di bawah aturan AFTA.
Perkembangan agrobisnis dan agroindustri
di Jawa Barat mempunyai prospek yang sangat
baik. Hal itu dikarenakan beberapa faktor yakni
didukung oleh sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang melimpah, permintaan
komoditas dari dalam dan luar negeri tinggi,
variabilitas produk yang dapat dihasilkan untuk
pasar domestik dan ekspor tinggi, usaha dalam
bidang agrobisnis dan agroindustri merupakan

Pengantar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

bisnis dengan nilai milyaran dollar sehingga
dapat menjadi sumber devisa. Secara demikian
pengembangan agrobisnis dan agroindustri
dapat memiliki keunggulan komparatif dengan
bangsa lain.
Hasil pengamatan awal di lapangan
terdapat berbagai kendala yang dihadapi
agrobisnis dan agroindustri di Jawa Barat antara
lain: pertama, berkenaan dengan ketersediaan
sumber logistik bahan baku yang memiliki
ketidakpastian yang tinggi karena pemetaan
potensi sumber bahan baku belum adikuat serta
kapasitas, kualitas, dan kuantitas yang belum
memadai karena kerap menerapkan manajemen
uji coba (trial and error); kedua, masih terdapat
mismanajemen dalam produksi, keuangan,
perawatan, persediaan, dan organisasi; ketiga,
masih terbatasnya informasi pasar yang dapat
menunjang kelancaran distribusi dan pemasaran
karena terdapatnya hambatan dalam akses dan
distribusi informasi, sistem dan tataniaga, metode
distribusi dan transportasi, implementasi MSTQ
(Measurement, Standard, Testing and Quality) yang
tidak berjalan dengan baik; keempat, masih
rendahnya tingkat pelayanan purnajual dan nilai
tambah komoditas karena latar belakang
pendidikan, pengetahuan, teknologi dan inovasi
yang masih rendah di kalangan petani serta
standar mutu dan HAKI yang minim.
Kondisi di atas memunculkan ketertarikan
untuk menelaah secara mendalam tentang
bagaimana sebenarnya kondisi riil kesiapan

14

Pengantar

15

komunitas pertanian Jawa Barat di dalam
menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia
Tenggara.
Alasan pemilihan komoditas pertanian
karena dalam konteks implementasi AFTA
terdapat empat daftar produk yang masuk dalam
skema CEPT, yaitu:
- Inclusion list (hambatan nontarifnya harus
dihapuskan dalam 5 tahun; tidak ada
pembatasan kuantitatif);
- General exception list (daftar produk yang
dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu
negara karena dianggap penting untuk alasan
perlindungan keamanan nasional. Misalnya:
senjata, amunisi, arkeologis, narkotik, dsb);
- Temporary exclusion list (daftar produk yang
dikecualikan sementara untuk dimasukkan
dalamskemaCEPT.Misalnya:barang manufaktur,
produk pertanian olahan);

Tahun 2008 diharapkan semua negara
anggota ASEAN sudah menerapkan skema CEPT
terhadap sensitive list (produk pertanian bukan
olahan). Padahal perdagangan agrikultur intraASEAN masih memiliki tingkat proteksi yang
tinggi, hanya Singapura, Brunei (0%), Vietnam
(0,92%) yang sudah menerapkan tarif di bawah
5%. Sedangkan Malaysia (5%), Filipina (8%),

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

- Sensitive list (produk pertanian bukan olahan.
Misalnya: beras, gula, produk daging,
gandum, bawang putih, cengkeh, dsb.

Pengantar

16

Indonesia (12%), dan Thailand (15%) pada tahun
2003.
Buku ini mencoba untuk mengupas lebih
dalam implementasi ASEAN Free Trade Agreement
dalam perdagangan komoditas pertanian pada
tataran akar rumput di Jawa Barat. Adapun
informasi dan data yang didapat penulis berada
dalam kurun waktu sampai dengan Desember
2008.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

17

BAB II
REGIONALISME ASEAN:
PERSPEKTIF TEORETIS

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

2.1 Organisasi Internasional
Perkembangan peradaban manusia senantiasa
memerlukan adanya organisasi yang berkembang
mulai dari organisasi yang bentuknya sederhana
seperti organisasi keluarga, organisasi rukun
tetangga, kelurahan sampai organisasi yang
kompleks seperti organisasi negara/pemerintah.
Keterkaitan organisasi dengan kehidupan manusia
ditegaskan sebagai berikut: “Individu dengan
organisasinya adalah tidak mungkin melepaskan
diri dari jalin-menjalin. Adalah sangat sulit untuk
memikirkan tentang seseorang tanpa orang lain.
Orang itu banyak berbuat pada pekerjaannya dan
menikmati manfaat yang besar dari organisasi.
Keadaan itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
besar dari organisasi” (Hicks dan Gullet, 1995:25).
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa
manusia dalam kehidupannya tidak akan terlepas
dari suatu organisasi. Organisasi sangat diperlukan
oleh setiap manusia dalam kelangsungan hidupnya.
Tidak ada seorang pun dari umat manusia di dunia
ini yang dapat menghindari suatu organisasi.
Bahkan sejak dilahirkan sampai dengan mati pun
manusia tetap terkait dengan organisasi.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Begitu juga halnya dalam bidang manajemen,
organisasi sangat berkaitan dengan manajemen
dalam rangka menunjang pencapaian tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Organisasi
merupakan salah satu fungsi dari manajemen.
Manajemen selalu berkaitan dengan kehidupan
organisasional dimana terdapat seseorang atau
sekelompok orang yang menduduki jabatan atau
tingkatan kepemimpinan dan sekelompok orang
yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas.
Keberhasilan seseorang bukan hanya dilihat
dari kemampuannya secara individual, melainkan
dari bagaimana kemampuannya dalam melaksanakan
salah satu fungsi manajemen yang disebut actuating
yaitu menggerakkan orang lain untuk melakukan
tugasnya dalam kegiatan yang telah ditentukan
dalam suatu organisasi.
Keterkaitan manajemen dengan organisasi
adalah sebagai berikut: 1) Keberhasilan organisasi
sesungguhnya merupakan hubungan antara
kemahiran manajerial dan keterampilan teknis para
pelaksana kegiatan operasional; 2) Kedua kelompok
utama dalam organisasi yaitu kelompok manajerial
dan kelompok pelaksana mempunyai bidang
tanggung jawab masing-masing yang secara
konseptual dan teorika dapat dipisahkan, akan
tetapi secara operasional menyatu dalam berbagai
tindakan nyata dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya (Siagian, 1988:4).
Beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu organisasi menurut Siagian
(1988:5) antara lain:

18

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

19

1. Mampu tidaknya kelompok manajerial dalam
organisasi menjalankan fungsinya.
2. Tersedianya tenaga operasional yang matang
secara teknis dan mempunyai keterampilan
sesuai dengan berbagai tuntutan tugas.
3. Tersedianya anggaran yang memadai untuk
pembiayaan kegiatan.
4. Tersedianya sarana dan prasarana dalam
menjalankan kegiatan.
5. Mekanisme kerja yang tingkat formalitasnya
disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
6. Adanya iklim kerja dalam organisasi yang
harmonis.
7. Situasi lingkungan diharapkan dapat mendukung
pelaksanaan kegiatan kerja.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Faktor tersebut perlu dipahami setiap
pimpinan organisasi untuk efektivitas tujuan dan
kelangsungan perkembangan organisasi. Efektivitas
organisasi merupakan tujuan yang ingin dicapai
setiap organisasi, sedangkan ukuran untuk
menentukan efektivitasnya adalah: 1) Produksi, 2)
Efisiensi,3)Kepuasan,4)Keadaptasian,5)Pengembangan
(Gibson, 1994:34).
Dalam memahami organisasi internasional,
perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep dasar
organisasi. Berbagai pengertian, definisi dan konsep
tersebut, yang disajikan para pakar menunjukkan ada
kesamaan arti secara mendasar, walaupun cara
pengungkapannya berbeda-beda. Dapat dijelaskan
sebagai rujukan antara lain pendapat Hodges (1956:
114):

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

20

“Organization was defined as the process of
building, for any enterprise a structure that will
provide for the separation of activities to be
performed and for the arrangement of these activities
in a framework which indicated their hierrachical
importance and functional associations.
(organisasi sebagai proses pembentukan bagi
macam-macam badan usaha, suatu kerangka
yang akan memberikan pembagian aktivitas
yang dilakukan dan untuk pengaturan
aktivitas-aktivitas ini dalam suatu kerangka
yang menunjukkan kepentingan tingkatan
mereka dan hubungan Internasional)”.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Sedangkan Mooney menyatakan bahwa:
“Organisasi merupakan suatu bentuk setiap
perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya” (Manullang,
1990:67).
Merujuk pada konsep-konsep tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya organisasi
mempunyai tiga unsur inti, yaitu:
1. Adanya sekelompok orang-orang
2. Antar hubungan terjadi dalam suatu kerja sama
yang harmonis. Kerja sama didasarkan atas hak:
a. Kejelasan tujuan;
b. Pemahaman tujuan.
3. Penerimaan tujuan oleh para anggota. Kewajiban
atau tanggung jawab masing-masing orang untuk
mencapai tujuan.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

21

Terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu
dipahami oleh setiap anggota organisasi, yaitu:
a. Adanya kesatuan arah;
b. Kesatuan perintah;
c. Fungsionalisasi;
d. Deliniasi berbagai tugas;
e. Keseimbangan antara wewenang dan tanggung
jawab;
f. Pembagian tugas;
g. Kesederhanaan struktur;
h. Pola dasar organisasi yang relatif permanen;
i. Adanya pola pendelegasian wewenang;
j. Rentang pengawasan;
k. Jaminan pekerjaan;
l. Keseimbangan antara jasa dan imbalan
(Siagian, 1988:94).

Keberhasilan suatu organisasi dalam pengembangan ke arah yang telah diprogramkan sangat
tergantung kepada konfigurasi struktural yang

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Kemudian Allen dalam Sutarto (1988:44)
mengemukakan bahwa prinsip organisasi adalah:
a. Objective (tujuan)
b. Distribution of function (pembagian fungsi)
c. Responsibility and authority (tanggung jawab
dan wewenang)
d. Delegation (pelimpahan)
e. Supervision (pengawasan)
f. Control (kontrol).

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

22

dipilih. Hal ini menyangkut kemampuan seorang
pemimpin organisasi untuk menentukan bentuk
konfigurasi mana yang efektif dalam menjalankan
pencapaian tujuan organisasi.
Jika kebutuhan organisasi sangat kompleks
maka diusahakan untuk menggunakan konfigurasi
struktural yang kompleks juga. Mintzberg
menyatakan bahwa setiap organisasi mempunyai
lima bagian dasar:
1. The Operating Core
Para pegawai yang merupakan kelompok
pelaksana yang melaksanakan pekerjaan pokok
yang berhubungan dengan upaya menghasilkan
barang atau jasa.
2. The Strategic Apex
Manajer tingkat puncak merupakan kelompok
puncak strategis yang bertanggung jawab atas
seluruh kegiatan organisasi.

4. The Technostructure
Para analis atau tenaga ahli yang bertanggung jawab
atas efektifnya bentuk-bentuk standardisasi
tertentu dalam organisasi.
5. The Support Staff
Orang-orang sebagai staf pembantu yang mengisi
unit staf yang memberi jasa pendukung tidak
langsung kepada organisasi (Robbins, 1994:304).

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

3. The Middle Line
Para manajer sebagai pimpinan pelaksana yang
menjadi penghubung antara operating core dengan
strategic apex.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

2. Organisasi informal
Organisasi informal disusun secara bebas,
fleksibel, tidak pasti dan spontan. Keanggotaan
diperoleh secara sadar atau tidak sadar dan sukar

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Mengacu kepada pengertian tersebut, dapat
dijelaskan bahwa bagian yang bersifat mendasar
dalam setiap organisasi dapat mendominasi
organisasi tersebut. Bila kontrol bertitik berat pada
operating core, konfigurasi ini akan melahirkan
birokrasi profesional dan keputusan lebih bersifat
desentralistis. Peranan strategic apex yang lebih
dominan maka kontrol bersifat sentralistis dan
organisasi akan berstruktur sederhana. Jika middle
management memegang posisi mengontrol, maka
organisasi bersifat divisional, karena merupakan
kelompok-kelompok pelaksana yang pada dasarnya
bersifat otonom. Apabila kontrol dipegang oleh para
analis dalam teknostruktur maka akan melahirkan
birokrasi mesin karena alat pengendalinya adalah
pembakuan (standardisasi) dan jika kontrol
dipegang oleh Support staff maka akan melahirkan
adhocracy.
Organisasi mempunyai bermacam ragam dan
bentuk juga dapat dilihat dari berbagai faktor.
Dilihat dari kepastian tingkatan struktur menurut
Hicks dan Gullet ada dua macam, yaitu:
1. Organisasi formal
Organisasi formal adalah organisasi yang
mempunyai struktur yang dinyatakan dengan
baik yang dapat menggambarkan hubunganhubungan wewenang, kekuasaan, akuntabilitas,
dan tanggung jawab.

23

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

24

untuk menentukan waktu yang pasti kapan
seseorang akan menjadi anggota (Hicks dan Gullet,
1995:103).

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Jika dilihat dari pendapat tersebut, jelas bahwa
ASEAN merupakan suatu organisasi formal, yang
pembentukan dan keanggotaannya ditentukan oleh
peraturan.
Struktur organisasi digambarkan secara jelas,
dimana terdapat pembagian tugas dan wewenang
serta hubungan tugas antar unit-unit yang
tergambar dalam struktur organisasinya dengan
tujuan yang jelas dan sudah ditetapkan. Di samping
itu organisasi disusun melalui berbagai kreasi,
komunikasi untuk rencana perluasan organisasi
yang disesuaikan dengan kesanggupan organisasi.
Hal ini terlihat dari adanya pelaksanaan berbagai
pertemuan yang diselenggarakan oleh ASEAN baik
itu Konferensi Tingkat Tinggi ataupun Konferensi
Tingkat Menteri dan pertemuan lainnya untuk
mengkaji tindak, mengevaluasi eksistensinya dan
menghasilkan kebijakan-kebijakan sebagai
pedoman untuk bertindak.
Berdasarkan ruang lingkup daerahnya,
klasifikasi organisasi terdiri atas:
1. Organisasi Daerah
Organisasi daerah luas wilayahnya meliputi
suatu satuan daerah sesuai dengan pembagian
wilayah yang berlaku dalam suatu negara.
Misalnya: Desa, Kecamatan, Kabupaten dan
sebagainya.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

25

2. Organisasi Nasional
Organisasi nasional luas wilayahnya meliputi
seluruh daerah negara. Misalnya: Pemerintah
Pusat.
3. Organisasi Regional
Organisasi regional luas wilayahnya meliputi
kawasan tertentu. Misalnya: ASEAN
4. Organisasi Internasional
Organisasi Internasional luas wilayahnya
meliputi seluruh atau sebagian negara anggota
PBB. Misalnya: WHO (Sutarto, 1988:16).

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Istilah umum yang digunakan untuk organisasi
Internasional berdasarkan keanggotaannya adalah
organisasi yang beranggotakan dua negara atau
lebih disebut organisasi Internasional, sedangkan
bila dilihat dari ruang lingkupnya bisa berbentuk
organisasi Internasional yang bersifat regional dan
global. Kedua sifat organisasi tersebut perbedaannya
terletak pada ruang lingkup, tujuan dan maksud
pendirian organisasi tersebut. Uraian berikut
bermaksud untuk menjelaskan istilah organisasi
Internasional dengan berbagai pertimbangannya.
Organisasi Internasional dapat dimanfaatkan untuk
mencapai kepentingan tujuan dan kontrak antar
negara dan bangsa.
Organisasi Internasional mempunyai konsep
yang kompleks yang dapat didefinisikan tergantung
kebutuhan analisis. Couloumbis dan Wolfe mendefinisikan organisasi Internasional melalui tiga
tingkat sesuai dengan permasalahannya, yaitu:

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

26

1. International organization could be defined in term of
its intended purposes (Organisasi Internasional
dapat didefinisikan menurut tujuan pembentukkan
organisasi tersebut).
2. It could be defined in term of exsiting international
institutions or term of ideal models and blueprints for
future institutions (organisasi Internasional dapat
didefinisikan dengan mengacu pada keberadaan
lembaga-lembaga Internasional yang ada atau
menurut model ideal dan cetak biru institusiinstitusi di masa depan).
3. International organization could be defined as a process
approximating government regulation of relations
(organisasi Internasional dapat didefinisikan
sebagai suatu proses yang mendekati pengaturan
pemerintahan mengenai hubungan di antara para
aktor negara dan nonnegara) (Couloumbis dan
Wolfe, 1986:276).
IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Suatu organisasi Internasional dapat dipandang
sebagai hal yang ekstrem bila sudut pandangnya
adalah mengemukakan kemunculan pemerintah
dunia, dan sebaliknya suatu uji coba dalam memacu
kerja sama di antara negara-negara berdaulat.
Hal tersebut menjadikan negara-negara
dewasa ini memiliki kekuasaan (power) dan
kewenangan (authority), yang merupakan unit
politik utama, maka perubahan, akomodasi dan
perluasan hubungan antara negara dan kontrakkontrak transnasional merupakan ciri meningkatnya
kesalingtergantungan. Perwujudannya direfleksikan
melalui eksistensi suatu organisasi Internasional.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

27

Keberadaan organisasi Internasional dewasa
ini semakin kompleks bentuknya, tujuan pembentukannya secara umum adalah:
1. Regulation of international relations primarily through
techniques of peaceful settlement of diputes among
nation states (Regulasi Hubungan Internasional
terutama melalui teknik-teknik penyelesaian
damai mengenai sengketa antar negara).
2. Minimization, or, at the least, control of international
conflict and war (Meminimalkan atau paling tidak
mengendalikan konflik/perang Internasional).
3. Promotion of cooperative, developmental activities
among nation-states for the social and economic benefit
of certain regions or humankind in general
(Meningkatkan kerja sama dan pembangunan
sosial ekonomi antar negara baik regional
ataupun untuk manusia pada umumnya).

Dari sudut pandang institusinya, Couloumbis
dan Wolfe menggolongkan organisasi Internasional
dalam kategori utama, yaitu inter-govermental
organizations (IGOs) dan Non Govermental
Organizations (NGOs). IGOs beranggotakan
perwakilan resmi suatu negara. Sedangkan NGOs
private (swasta), terdiri dari kelompok-kelompok
swadaya dengan orientasi bervariasi, bisa keagamaan,
ilmu pengetahuan, budaya, kemanusiaan, teknik

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

4. Collective defence of a group of nation-states against
external threat (Pertahanan bersama sekelompok
negara dalam menghadapi ancaman luar)
(Couloumbis dan Wolfe, 1986:276).

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

28

ataupun ekonomi yang tidak melibatkan
pemerintah secara aktif.
Dari sudut pandang prosesnya organisasi
Internasional dapat mengandung berbagai makna,
paling tepat digambarkan sebagai suatu bentuk
yang belum sempurna dari pengaturan global yang
telah maju dari pemerintah nasional yang mempunyai
kedaulatan dan memiliki klasifikasi khusus.
Perbedaan antara pemerintahan nasional
dengan organisasi Internasional menurut Couloumbis
dan Wolfe adalah:
1. Subyek pemerintahan pada umumnya meliputi
individu-individu, keluarga-keluarga, desa-desa,
kelas-kelas sosial, perusahaan, kota dan
kelompok-kelompok nasional lainnya.

3. Organisasi pemerintahan nasional mempunyai
pandangan yang berbeda dengan organisasi
Internasional terhadap arti kedaulatan. Dalam
organisasi pemerintahan nasional, kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi dalam arti tidak ada
kekuasaan lain yang dapat melebihinya, tetapi
dalam organisasi Internasional pengertiannya tak
mutlak karena harus mempertimbangkan

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

2. Subyek organisasi Internasional adalah Negaranegara yang mewakili pemerintahannya. Fungsi
pemerintahan nasional biasanya inklusif dan
sangat dalam meresap pada gaya hidup
subyeknya, dan hanya mempunyai pengaruh
tidak langsung terhadap anggotanya dengan
fungsi yang terbatas pada aktivitas-aktivitas
tertentu.

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

29

kedaulatan negara anggota lain. Negara
berdaulat dalam arti selama dalam tindakannya
itu tidak ada campur tangan asing.

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Seringkali organisasi regional didefinisikan
berdasarkan letak geografis tertentu dari sistem
keanggotaannya. Seperti ASEAN yang merupakan
organisasi regional dimana anggota-anggotanya
adalah negara-negara yang terletak di kawasan Asia
Tenggara.
Namun organisasi regional bisa juga
didefinisikan berdasarkan kepentingan khusus
seperti halnya commonwealth, disebut organisasi
regional padahal anggotanya tersebar di seluruh
dunia sebagai negara bekas jajahan Inggris (Bennet,
1984:347).
Rumusan mengenai organisasi regional yang
dapat lebih menjelaskan pengertiannya adalah
mengacu pada pendapat bahwa:
“Regional organization is a segment of the world
bound together by a common set of objectives based
on geographical, social, cultural, economic,
organization, political ties and possessing a formal
structure provide for in formal intergovernmental
agreements (Organisasi regional adalah
organisasi yang terikat oleh tujuan bersama
yang didasarkan atas wilayah, sosial, budaya,
ekonomi, atau ikatan politik yang memiliki
struktur formal untuk menjalin kesepakatankesepakatan antar pemerintah)” (Bennett,
1984:348).

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

Dasar pembentukkan organisasi regional itu
bervariasi, bisa berdasarkan kawasan tertentu,
sosial, budaya, ekonomi, atau berdasarkan politik,
tetapi yang penting adalah merupakan kerja sama
antar negara dalam struktur organisasi yang formal.
Ciri-ciri keunggulan regionalisme yang disebut
oleh Bennett adalah bahwa suatu organisasi regional
cenderung alamiah yang berdasarkan kondisi
homogenitas dari kepentingan tradisi dan nilai
dalam kelompok kecil negara-negara sekitar atau
negara tetangga (Bennett, 1984:348).
Integrasi politik, ekonomi dan sosial lebih
mudah dilakukan dalam jumlah terbatas dalam
kawasan tertentu daripada yang bersifat global.
Kerja sama ekonomi regional terbukti lebih efisien
dan berhasil dalam pemasaran dunia karena dalam
bentuk-bentuk yang lebih kecil. Ancaman terhadap
perdamaian lokal di kawasan dapat diselesaikan
sendiri oleh pemerintah/negara yang tergabung
dalam kawasan tertentu. Adanya berbagai organisasi
regional dapat memelihara keseimbangan kekuatan,
perdamaian dan keamanan dunia, juga merupakan
langkah pertama untuk memelihara perdamaian
dan pembangunan dalam bidang-bidang yang telah
dikonsensuskan dalam kerangka koordinasi antar
pemerintah dan dapat mengakomodasikan perbedaanperbedaan yang lebih heterogen.
Regionalisme terbentuk atas dorongan
perkembangan dan kemajuan bidang-bidang
teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan
teknologi informasi.

30

Regionalisme Asean: Perspektif Teoretis

IMPLEMENTASI ASEAN FREE TRADE AGREEMENT DI JAWA BARAT

2.2 Bentuk Organisasi Internasional
Dalam buku ini, pembahasan bentuk organisasi
dititikberatkan pada IGOs karena dampaknya dalam
hubungan antar pemerintah. IGOs diciptakan oleh dua
negara berdaulat atau lebih. Mereka mengadakan
pertemuan reguler dan mempunyai staf pekerja penuh
waktu. Dalam IGOs kepentingan dan kebijakan negara
anggota dikemukakan oleh perwakilan secara tetap.
Keanggotaannya bersifat sukarela, secara teknik IGOs
tidak akan mengganggu kedaulatan negara meskipun
mungkin saja pada kenyataannya muncul sebagai
pengganggu kedaulatan.
LebihjauhCouloumbisdanWolfemengemukakan,
IGOs dikatagorikan berdasarkan keanggotaan atau
tujuannya, yaitu bersifat global, regional atau
lainnya, contohnya liga bangsa-bangsa (LBB) atau
perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dianggap
organisasi global