Norma-norma Komunikasi Yang Baik Dalam Masyarakat Melayu.

BAB 5
NORMA-NORMA KOMUNIKASI YANG BAIK
DALAM MASYARAKAT MELAYU
(Tulisan ini dicuplik dari Buku Filsafat Komunikasi Orang Melayu)

Oleh Antar Venus & Nantia Rena Dewi M
“Tertumbuk biduk dikelokkan,
tertumbuk kata dipikiri”
Peribahasa Melayu

N

orma pada prinsipnya adalah aturan eksternal yang menentukan standar
perilaku yang normal dan dapat diterima dalam pergaulan sehari-hari.
Setiap

etnik

pada

dasarnya


memiliki

norma-norma

yang

telah

dikembangkan oleh masyarakat tersebut sepanjang keberadaanya. Termasuk di dalamnya
Norma-norma Komunikasi. Bab ini secara khusus akan membahas norma-norma komunikasi
yang berlaku di lingkungan masyarakat Melayu. Pembahasan akan dimulai dengan
mendefinsikan dan mengeksplorasi konsep norma, lalu dilanjutkan dengan menelusuri dua
belas norma tentang komunikasi yang baik yang berlaku di lingkungan masyarakat Melayu.
A. Mengeksplorasi Konsep Norma
Norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan etnik manapun pada prinsipnya dapat
dibagi ke dalam dua jenis yakni norma deskriptif (descriptive norms) dan norma injungtif
(injunctive norms).

Menurut Robert B. Cialdini, norma deskriptif merujuk pada perbuatan yang bersifat

umum atau biasa. Norma-norma semacam ini menggambarkan apa yang biasa dilakukan
banyak orang. Berbagai norma itu memotivasi perilaku kita dengan cara memberikan bukti
tentang apa yang dianggap oleh sebagian besar orang sebagai perbuatan yang efektif dalam
situasi tertentu. Dengan hanya mencatat apa yang dilakukan orang lain dan kemudian meniru
perbuatan mereka, berarti kita telah memilih cara berperilaku yang benar.
Masih menurut Cialdini, norma injuctive dapat diartikan sebagai aturan yang merujuk
pada harapan bersama dalam suatu masyarakat mengenai perbuatan tertentu yang diharapkan
atau yang kita setujui untuk dilaksanakan. Norma-norma semacam ini merefeleksikan apa
1

yang disetujui dan yang tidak disetujui oleh sebagian besar masyarakat. Apabila kedua jenis
norma ini disandingkan maka kita dapat menyebut norma deskriptif sebagai norma
“merupakan” sedangkan norma injuctive sebagai norma “seharusnya”.
Bab ini akan membicarakan norma-norma komunikasi yang bersifat injuctive yang
dikonstruksi berdasakan sistem nilai dan cara pandang orang Melayu tentang komunikasi.
Pada masyarakat Melayu aturan-aturan atau norma-norma komunikasi lebih banyak
muncul dalam bentuk ungkapan dan peribahasa. Apabila kita mnggunakan entri yang disusun
pakar budaya Melayu Tenas Effendyi, terdapat 7055 ungkapan dan peribahasa terkait norma.
Akan tetapi apa yang ditulis Tenas juga ternyata belum mencakup keseluruhan peribahasa
Melayu yang ada. Misalnya apabila kita bandingkan buku Effendy dengan buku yang ditulis

Chaniago dan Pratama maka terdapat lebih dari 1200 entri yang tidak tercakup dalam buku
Effendy. Belum lagi bila kita menambahkan buku “Peribahasa Melayu” dari Ahmad
Syamsuddin dan buku “Kamus Istimewa Peribahasa Melayu‟ dari Abdullah Hussain. Apabila
semua buku tersebut digabungkan, maka secara keseluruhan diperkirakan terdapat lebih dari
9000 ungkapan dan peribahasa yang tersebar dalam lingkungan etnik Melayu.
Apabila kita telusuri, dengan menggunakan analisis paremiologis, dari jumlah 9000
ungkapan dan peribahasa tersebut terdapat sekurangnya 2365 ungkapan yang terkait dengan
aspek komunikasi antarmanusia. Ini merupakan jumlah yang besar yang menunjukkan
kuatnya perhatian orang Melayu terhadap kegiatan komunikasi antarmanusia. Jumlah entri
yang besar ini juga sekaligus menunjukkan lengkapnya nilai-nilai dan norma-norma yang
mengatur komunikasi antarmanusia di lingkungan masyarakat Melayu.
Norma-norma komunikasi dalam masyarakat Melayu mudah diidentifikasi karena
dalam “Tunjuk Ajar Melayu” atau panduan normatif membentuk kepribadian Melayu, secara
gamblang tertulis bentuk-bentuk perilaku sosial atau khususnya perilaku komunikasi yang
dianjurkan atau dilarang di lingkungan masyarakat Melayu.
Untuk Pantang Larang Basa (PLB) terdapat 35 pantangan yang ditanamkan dalam
proses sosialisasi nilai-nilai Melayu meliputi;
Pantang berbudi mengharap puji
Pantang kuasa paksa memaksa
Pantang duduk bercakap besar,

Pantang musyawarah terikat lidah
Pantang berunding tidak sebanding
Pantang tunduk tak dapat tengadah
Pantang tegak menepuk dada
Pantang bercakap membuang adab

2

Pantang bercakap mulut disumbat
Pantang bercakap mengulum lidah
Pantang berbual membuang akal
Pantang berbual membuang masa
Pantang bertanya tidak bermakna
Pantang menjawab tidak beradab
Pantang mencoreng arang dikening
Pantang bodoh diperbodoh
Pantang menolong berharap sanjung
Pantang menjilat ludah
Pantang menepuk air di dulang
Pantang menagguk di air keruh

Pantang menggunting dalam lipatan
Pantang bertanam tebu dibibir
Pantang berpesan tidak diturut
Pantang telunjuk lurus, kelingking berkait
Pantang pepat di luar, runcing di dalam
Pantang sekelambu seteru berseteru
Pantang setalam bermuka masam
Pantang seperiuk kutuk mengutuk
Pantang sebelanga hina menghina
Pantang sekeluarga aniaya menganiaya
Pantang sedusun hamun menghamun
Pantang sebanjar kasar mengasar
Pantang senegeri caci mencaci
Pantang sesuku palu memalu
Pantang di helat umpat mengumpat

Di samping ungkapan Pantang Larang yang tegas sebagaimana tercakup dalam 35
pantang larang basa (berbicara) tersebut, larangan terkait komunikasi pada masyarakat

Melayu juga terekspresikan dalam berbagai ungkapan deskriptif yang mengindikasikan

perbuatan yang tidak patut dilakukan di antaranya ;
Asik berbual, nama terjual
Asik berbual, rumah terjual
Asik berbual, ladang terjual
Asik berbual, keluarga terjual
Asik berbual, kampung terjual
Kerana berbual, badan terjual

Larangan ini menunjukkan bahwa berbicara kesana kemari tak tentu arah memang
mengasyikan. Akan tetapi perilaku seperti itu tidak produktif dan akan mendatangkan
kemudharatan atau kerugian. Larangan banyak bicara juga muncul dalam ungkapan;
Besar cakap, kerja tak lelap
Besar cakap, kerja menyelap
Besar cakap, hati berkurap

3

Konsep pantang-larang dan anjuran dalam budaya Melayu merupakan sumber
norma-norma komunikasi terpenting dalam praktek komunikasi sehari-hari. Dengan
memadukan pantang larang dan anjuran ini dengan nilai-nilai budaya Melayu yang telah

diuaraikan pada bab 3 dan 4 sebelumnya, maka dapat ditemukan aturan-aturan komunikasi
yang baik menurut masyarakat Melayu.
Berdasarkan analisis paremiologis yang penulis lakukan terhadap peribahasa Melayu
yang ada, terdapat dua belas aturan komunikasi yang menjadi pegangan orang Melayu yang
meliputi enam „aturan anjuran‟ dan lima „aturan pantangan/larangan‟. Keenam aturan anjuran
tersebut meliputi; (1) katakan yang sepatutnya dikatakan, (2) berbicara untuk tujuan yang
sepatutnya baik, (3) berbicaralah secara berhati-hati, tepat dan mengikuti alur (4) pahami
perbedaan cara pandang, (5) pahami situasi komunikasi dan (6) satukan kata dengan
perbuatan. Sementara enam aturan larangan mencakup (7) jangan bicara berlebihan, (8)
Jangan Membungkam hak bicara orang (9) Jangan mencampuri urusan orang, (10) Jangan
membuka aib orang, (11) jangan tergesa-gesa, dan (12) jangan sombong. Berikut uraian
terkait keduabelas aturan atau norma-norma komunikasi tersebut.

B. Dua Belas Norma Komunikasi yang Baik di Lingkungan Etnik Melayu
Kedua belas norma komunikasi berikut merupakan norma injungtif yang ada di
lingkungan masyarakat Melayu. Norma-norma ini juga merupakan satu kesatuan sistem
gagasan komunikasi yang baik dalam mayasarakat Melayu yang tidak dapat dipisahpisahkan.. Berikut adalah uraian relatif lengkap tentang kedua belas aturan tersebut.
1. Katakan apa yang Sepatutnya Dikatakan
Aturan pertama yang berbunyi “katakan apa yang sepatutnya dikatakan” ini sejalan
dengan orientasi komunikasi orang Melayu yang cederung lebih memperhatikan


aspek

ekspresi dalam komunikasi antarmanusia. Secara paremiologis orang Melayu dianjurkan
untuk berbicara secara terbuka. Terkait hal ini ungkapan menyatakan

Datang tampak buka, balik tampak punggung
Datang berkabar, pulang berberita
Bercakap berlurus-lurus, berbual berbuka buka
Apa yang tersurat itulah yang tersirat
Apa yang di hati, itulah yang di lidah
Apa yang dimaksud itulah yang disebut

4

Konsep keterbukaan komunikasi mendorong orang melayu untuk menyatakan apapun
yang sepatutnya dikatakan. Apa yang dianggap patut dan tidak patut dikatakan tergantung
konteks, situasi dan partisipan komunikasi yang terlibat. Norma “katakana yang sepatunya
dikatakan” ini juga tidak berarti orang memposisikan orang melayu menjadi orang yang asal
bicara, tidak menimbang rasa atau berbicara dengan membuang adab. Norma ini semata

menyatakan bahwa orang melayu menghormati hak bicara atau ekspresi

setiap orang.

Bahkan lebih mendasarnya orang Melayu menyatakan “bercakap selagi berlidah, berkuasa
selagi bergigi yang prinsipnya mengatakan berbicara itu adalah hak dasar sebagai manusia.
Dalam melakukan komunikasi kita selalu berada dalam proses memilih apakah mengatakan
atau tidak mengatakan sesuatu kepada pihak lain. Tindakan memilih tersebut bergantung
pada penilaian yang dilakukan pelaku komunikasi berdasarkan kepatutan

5