Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri Pada Pasangan Commuter Marriage

(1)

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA

PASANGAN COMMUTER MARRIAGE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

JULINDA

051301002

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2009

JULINDA NIM 051301002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan anugrah yang diberikan kepada penulis sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage” yang disusun untuk memenuhi syarat mata kuliah Seminar di Bidang Psikologi Perkembangan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sehingga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp.A (K) selaku dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Liza Marini, M.Psi. sebagai dosen pembimbing seminar yang telah

dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmunya kepada penulis dalam membuat proposal penelitian ini.

3. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., Psi. dan Ibu Ade Rahmawati Siregar, M.Psi.

selaku Dosen Penguji ketika Sidang Seminar. Terima kasih atas saran, masukan, dan kritikan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam proposal penelitian ini.

4. Kedua orang tua dan adikku serta keluarga penulis atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan.


(4)

5. Teman-teman seperjuangan dan sahabat terbaikku yang telah mengisi hari-hari penulis di Psikologi: Margaret, Vera, Mayang, Franda, Eliza, Sofia, dan Ve dimana kita saling menghibur, memberi semangat, menjadi contoh, dan tolong-menolong untuk menyelesaikan target skripsi ini walaupun masing-masing mempunyai masalah.

6. Silvia Zhang, Raja, Said dan Anissa Pohan yang telah berbagi cerita

denganku dan membantuku mengenalkan responden-responden dalam penelitian ini.

7. Sahabat-sahabatku yang selalu membantu dan menghiburku, Hyeon Jun,

Vincent Botak dan Bang Yandi yang jauh di sana juga, kepada Thomas dan terakhir kepada semua orang yang telah membantu tetapi tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis sangat berterima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap agar Tuhan berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak untuk menjadi masukan bagi perbaikan proposal ini di masa yang akan datang. Semoga proposal ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Juni 2009


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Kepuasan Pernikahan ... 14

1. Pengertian Kepuasan Pernikahan... 14

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 14

3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan ... 16

B. Dewasa Awal... 19

1. Pengertian Dewasa Awal ... 19

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal... 20

3. Karakteristik Masa Dewasa Awal... 25

C. Commuter Marriage... 28


(6)

2. Karakteristik commuter marriage ... 29

3.Karakteristik Pernikahan dan Keluarga ... 30

4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage ... 31

D. Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Commuter Marriage .. 33

E. Paradigma Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN... 37

A. Pendekatan Kualitatif ... 37

B. Responden Penelitian ... 37

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 37

2. Jumlah Responden Penelitian ... 38

3. Prosedur Pengambilan Responden... 39

4. Lokasi Penelitian... 39

C. Metode Pengambilan Data ... 39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 40

1.Alat Perekam (tape recorder) ... 40

2. Pedoman Wawancara ... 41

E. Kredibilitas Penelitian ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 43

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 43

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 44


(7)

G. Metode Analisa Data... 46

1. Koding... 46

2. Organisasi Data ... 46

3. Analisa Tematik ... 47

4. Tahap Intervensi/analisis... 47

5. Pengujian Terhadap Dugaan ... 48 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Pedoman Wawancara ... LAMPIRAN B


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dewasa awal. Individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan dewasa lainnya (Hurlock, 1990).

Individu pada masa dewasa awal beranjak dari masa-masa sekolah yang masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan mandiri secara financial, selain mencari pekerjaan, individu dewasa awal juga mempunyai tugas perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosialnya. Individu dewasa awal dapat memilih untuk tetap single (tidak menikah), tinggal dengan pasangan dengan pernikahan yang sah atau pernikahan yang tidak sah (cohabitation), tinggal dan hidup dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama (gay dan lesbian) atau berbeda, bercerai, menikah lagi setelah perceraian, menjadi orang tua tunggal, atau tinggal tanpa anak; pilihan individu mudah berubah selama periode masa dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2007).

Individu masa dewasa awal yang telah mendapatkan pekerjaan dan mulai merancang perekonomian juga perlu memasuki kehidupan pernikahan dan diikuti dengan rencana memiliki keturunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Havighurst


(10)

mulai memilih pasangan hidup dan mulai menikah (Hurlock, 1990). Hurlock (1990) juga menyatakan bahwa tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi.

Pernikahan dan keluarga memberikan motivasi serta beban bagi individu masa dewasa awal untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pendidikan dan perkembangan dunia pekerjaan yang semakin maju membuat pria dan wanita sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengembangkan karir dan pekerjaan. Sejak semakin banyak wanita yang bekerja dan mempunyai pendidikan yang tinggi, secara alami juga menghasilkan pasangan dengan karir yang berbeda (dual-career couples)(Sarah Muterko, 2007). Kesempatan karir yang sama bagi wanita tampak dari wawancara yang dilakukan terhadap Ninna (bukan nama sebenarnya), 26 tahun yang bekerja di salah satu bank di kota Medan yang menyatakan bahwa:

”Zaman sekarang sudah banyak wanita yang bekerja, apalagi yang berpendidikan tinggi, sayang dong kalo pendidikannya ga digunakan.... Meskipun sudah berkeluarga, wanita sekarang juga tetap bisa bekerja, suami saya pun tidak keberatan kok kalo saya tetap bekerja...”

(Komunikasi Personal, 26 Oktober 2008)

Kesempatan bekerja dan berkarir bagi wanita memberikan kemungkinan untuk menemukan pasangan suami istri yang sama-sama menjalani kehidupan karir bersamaan dengan kehidupan keluarga. Pria dan wanita pada dewasa awal yang telah menikah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga


(11)

yang lebih baik.

Pekerjaan dan penghasilan mempengaruhi kehidupan keluarga sehingga memunculkan beberapa bentuk kehidupan keluarga dengan pasangan yang bekerja misalnya pasangan yang lebih mementingkan karir, sehingga tidak begitu memperhatikan kehidupan keluarga, akhirnya kehidupan keluarga pun menjadi terancam kemudian berakhir pada perceraian. Ada pasangan yang mementingkan kehidupan keluarga, sehingga salah satu dari pasangan itu, baik suami atau istri rela meninggalkan pekerjaan untuk mengurusi kehidupan keluarga. Ada juga pasangan yang sama-sama mementingkan kehidupan karir dan keluarganya, dimana suami dan istri sama-sama mempunyai pekerjaan, namun tetap memperhatikan keluarganya. Pasangan suami istri yang mengembangkan karir mereka pada saat yang bersamaan dalam suatu pernikahan disebut sebagai dual-career couples.

Ada beberapa hal yang menguntungkan dalam kehidupan pasangan dual-career misalnya dukungan emosional dari pasangan ketika salah satu pasangan mempunyai masalah, karir istri dan suami sama-sama membantu menguatkan keuangan keluarga. Selain menguntungkan, kehidupan keluarga dual-career juga mempunyai kerugian misalnya kurang fleksibelnya waktu bekerja sehingga mengganggu acara keluarga ataupun kadang-kadang acara keluarga mengganggu waktu kerja.

Ada juga beberapa hal yang sekaligus memberikan keuntungan dan kerugian dalam kehidupan keluarga dual-career misalnya pembagian pekerjaan


(12)

rumah dan letak geografis. Pembagian pekerjaan rumah dirasakan sebagai keuntungan ketika pembagian tugas yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah sehingga pasangan tidak merasa memiliki pekerjaan yang lebih berat dari pasangan lainnya karena harus mengurusi rumah selain pekerjaan. Pembagian tugas pekerjaan rumah dirasakan sebagai hal yang merugikan yaitu pembagian tugas rumah yang tidak merata sehingga menyebabkan salah satu pasangan umumnya istri merasa bahwa suami menghambat perkembangan karirnya dengan tidak bersedia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah.

Letak geografis penempatan pekerjaan juga dapat mendukung atau bahkan mempersulit keadaan pasangan dual-career. Dunia pekerjaan saat ini semakin dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktivitas pekerjaan yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006). Beberapa pekerjaan menempatkan individu dekat dengan tempat tinggal dan keluarganya, namun ada juga pekerjaan yang menempatkan individu jauh dari tempat tinggal dan keluarga. Kesempatan karir bagi wanita yang semakin tinggi dan adanya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di satu daerah geografis menyebabkan munculnya konflik untuk memilih karir mana yang harus didahulukan (Anderson,1992 dalam Rhodes, 2002). Konflik karena penempatan kerja di lokasi berbeda dirasakan oleh Desi (bukan nama sebenarnya), 24 tahun seorang pegawai swasta yang tengah memasuki masa pra-nikah dengan calon suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan swata di Pekan Baru menyatakan bahwa:

”Calon suami saya berharap setelah kami menikah nantinya saya akan ikut pindah, sedangkan Bos saya di sini berharap saya tetap bekerja. saya cukup


(13)

saya berpacaran jarak jauh, kami sudah bosan dengan keadaan seperti ini, jadi saya akhirnya juga setuju aja kalo sudah nikah saya akan pindah ke tempat dia....”

(Komunikasi Personal, 27 Oktober, 2008)

Bagi individu yang sedang mengejar karir, konflik untuk memilih karir atau keluarga mungkin menjadi tantangan yang berat, apakah berhenti dari pekerjaan, atau mengambil kesempatan tersebut untuk memperoleh tingkatan karir yang lebih tinggi. Idealnya, tentu saja mencari pekerjaan yang menempatkan kedua pasangan pada satu wilayah, namun kenyataannya belum tentu pasangan dual-career dapat memilih penempatan pekerjaan jika penempatan kerja di wilayah lain memberikan keuntungan bagi karir pasangan.

Salah satu solusi tradisional adalah salah satu pasangan, khususnya istri, atau bahkan kedua pasangan untuk memilih dan mencari pekerjaan yang kurang menarik supaya dapat tetap tinggal dalam satu rumah (Anderson & Spruill,1993 dalam Rhodes, 2002). Pada keluarga yang menganut peran yang tradisional, biasanya karir suami dianggap lebih penting daripada karir istri sehingga istri harus mengikuti suami untuk pindah ke wilayah lain. Hal ini seperti yang terungkap dalam wawancara yang dilakukan dengan Desi (bukan nama sebenarnya), 24 tahun seorang pegawai swasta yang tengah memasuki masa pra-nikah dengan calon suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan swata di Pekan Baru menyatakan bahwa:

”Calon suami saya berharap setelah kami menikah nantinya saya akan ikut pindah. Bos saya di sini berharap saya tetap bekerja, selama ini saya dan pacar saya berpacaran jarak jauh, saya pun sudah bosan dengan keadaan


(14)

pindah ke tempat dia....”

(Komunikasi Personal, 27 Oktober, 2008)

Pasangan dual-career mungkin dapat berusaha menghindari perpisahan dengan ikut berpindah, namun kenyataannya sangat sulit bagi pasangan untuk mendapatkan posisi karir yang sama atau lebih baik dalam satu lokasi yang sama. Solusi lain yang lebih modern yaitu dengan mengadopsi pola hidup pernikahan jarak jauh dan tinggal di dua daerah yang terpisah (Taylor & Lounsbury, 1988 dalam Rhodes, 2002). Salah satu dari pasangan meninggalkan rumah, pindah ke tempat yang cukup jauh dari rumah dan bekerja. Pekerjaan mereka membuat mereka harus meninggalkan keluarga dan mencari tempat tinggal sementar di tempat lain.

Fenomena commuter marriage yang tampak di masyarakat adalah kebanyakan suami yang meninggalkan daerah asal dan berpisah dengan keluarga. Seperti yang terungkap pada wawancara dengan Mina (bukan nama sebenarnya), 30 tahun seorang pegawai swasta yang mempunyai keluarga dengan seorang putri berusia 2 tahun, Mina dan anaknya tinggal di Medan, namun suami Mina yang bekerja di suatu perusahaan IT di Singapura:

“Saya dan suami setuju jika suami pindah ke Singapura..., karena suami mendapatkan pekerjaan, gaji yang lebih baik. Kami yakin karir suami saya akan lebih baik di Singapura.”

(Komunikasi Personal, 2 November 2008)

Kehidupan pernikahan yang tinggal berjauhan merupakan salah satu alternatif pola hidup pernikahan pada pasangan profesional yang menjaga


(15)

kelangsungan hidup dengan tinggal di tempat yang berbeda ketika melakukan perjalanan dinas yang disebabkan karir masing-masing (Gerstel & Gross, 1982). Beberapa ahli yang disebutkan dalam disertasi Scoot, 2002 menyebutkan beberapa istilah dari kehidupan yang muncul akibat dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan pernikahan antara lain geographically separated married couples (Rohlfing, 1995; Stephen, 1986), separated dual-career couples (Douvan & Pleck, 1978), dan commuter marriages (Anderson & Spruill, 1993; Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1982, 1984; Gross, 1980, 1981; Groves & Horm-Wingerd, 1991; Guldner & Swensen, 1995; Taylor & Lounsbury, 1988; Winfield, 1985).

Banyaknya istilah untuk pasangan yang tinggal berpisah karena pekerjaan mereka, salah satu diantaranya adalah commuter marriage, dimana menurut Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga karir sehingga pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage. Pasangan yang memilih pola hidup seperti ini menyadari bahwa karir dan pernikahan mereka berada pada prioritas utama (Gerstel & Gross, 1983; Winfield, 1985 dalam Scoot, 2002).

Bagaimana kedua pasangan commuter marriage mempertahankan prioritas pekerjaan dan kehidupan keluarga? Dari beberapa pasangan yang diwawancarai


(16)

memilih pola hidup seperti ini karena dalam kehidupan mereka, mereka memfokuskan diri hanya semata-mata pada setiap prioritas pada waktunya masing-masing. Ketika berpisah satu sama lain, mereka berfokus pada karir mereka. Namun sepanjang reuni atau saling bertemu, mereka berfokus pada bagaimana memperkuat hubungan mereka. Diantara reuni, mereka menggunakan beberapa media seperti e-mail, dan telepon untuk menjaga hubungan mereka (Scoot, 2002).

Pasangan dengan commuter marriage tentu saja menghadapi masalah yang lebih terutama pada masalah komunikasi antar pasangan dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah. Masalah pada komunikasi tampak ketika pesan nonverbal tidak dapat disampaikan melalui media komunikasi seperti telepon dan email yang akhirnya mempengaruhi hubungan pasangan. Beberapa masalah lain seperti kurangnya dukungan ketika membuat suatu keputusan yang besar (Groves & Horm-Wingerd, 1991 dalam ), kelelahan terhadap peran (Anderson & Spruill, 1993; Gerstel & Gross, 1982, 1983, 1984; Winfield, 1985), pekerjaan yang menggangu waktu untuk bersama (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985), durasi perpisahan ( Gerstel & Gross, 1984), kurangnya kebersamaan (Winfield, 1985), kurangnya kekuatan ego (Winfield, 1985) dan penurunan kompetensi sebagai profesional (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985).

Ada beberapa kelebihan yang dirasakan oleh pasangan commuter marriage misalnya, wanita nampaknya lebih nyaman daripada pria ketika berpisah, hal ini dikarenakan mereka dapat menikmati kualitas karir penuh yang


(17)

selain itu dapat meningkatkan keinginan untuk aktualisasi diri, hidup yang berjalan dengan fleksibel, kemampuan komunikasi yang semakin meningkat dan fleksibel tanpa harus bertemu dan hanya menggunakan media komunikasi seperti telepon dan email (Winfield, 1985 dalam Hendrik & Hendrik, 1992).

Pernikahan commuter marriage dirasakan memberikan keuntungan bagi pasangan yang tidak tinggal dengan keluarga, seperti yang terungkap dalam wawancara dengan Adi (bukan nama sebenarnya), suami Mina (bukan nama sebenarnya) yang bekerja di Singapura dalam menjalani kehidupan commuter marriage:

“Meskipun harus berpisah dari keluarga, tapi saya mempunyai waktu kerja yang lebih fleksibel... saya bisa bekerja sampai larut malam, mau pulang jam brapa pun ga ada yang nungguin di rumah...”

(Komunikasi Personal, 15 Desember 2008)

Kehidupan pasangan commuter marriage tidak hanya memiliki keuntungan dan kelemahan, kehadiran anak dalam keluarga commuter marriage menyebabkan kehidupan keluarga menjadi lebih kompleks. Pada keluarga yang memiliki anak, biasanya anak tinggal bersama dengan istri di daerah asal sedangkan suami bekerja di daerah lain.

Kehidupan istri menjadi lebih kompleks di mana di satu sisi istri harus bekerja namun di sisi lain istri harus memperhatikan dan menjaga anak. Istri pada pasangan commuter marriage sering merasa mempunyai peran orang tua tunggal dan konflik peran meskipun pasangan commuter marriage kebanyakan menganut


(18)

dalam keluarga, namun ketika salah satu pasangan meninggalkan keluarga, pasangan tersebut akan menyerahkan perannya dalam keluarga kepada pasangan yang tinggal dengan keluarga. Kompleksitas kehidupan istri pasangan commuter marriage yang mempunyai anak tampak dalam wawancara dengan Mina (bukan nama sebenarnya):

”Setelah mempunyai anak, saya tidak bisa bekerja senyaman dulu, kalo dulu kan mau jam brapa pulang juga bisa, kalo ini da punya anak, sudah agak susah... memang sih ada yang bantu jagain, tapi kan kadang-kadang anak lebih membutuhkan orangtuanya daripada orang lain. Kadang-kadang saya juga merasa saya harus berperan sebagai suami.”

(Komunikasi Personal, 15 Desember 2008)

Bagi kebanyakan individu dewasa, kebahagiaan hidup lebih banyak dipengaruhi oleh kepuasan pernikahan daripada hal lain dalam kehidupan dewasa, seperti pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman & Newman, 2006). Kehidupan pada pasangan commuter marriage memberikan kepuasan pernikahan tersendiri dengan banyaknya keuntungan dan kerugian serta masalah-masalah yang muncul.

Kepuasan pernikahan adalah penilaian subjektif dan bersifat dinamis oleh pasangan suami istri mengenai kehidupan pernikahan mereka. Kepuasan pernikahan pasangan suami istri dapat digali dengan mengunakan aspek-aspek kepuasan pernikahan oleh Fowers & Olson (1993). Adapun kesepuluh aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah communication, religious orientation, conflict resolution, financial management, sexual orientation, family and friends, children and parenting, personality issue, equalitarian role.


(19)

Kehidupan pernikahan commuter marriage yang muncul di masyarakat modern saat ini dan kepuasan pernikahan yang bersifat subjektif dan dinamis membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan commuter marriage dengan merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. apa alasan yang menyebabkan pasangan suami istri memilih pernikahan

commuter marriage?

2. bagaimana gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter

marriage berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan, terutama yang berkaitan dengan


(20)

2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi kepada masyarakat dan individu dewasa awal yang

mempunyai karir dan belum menikah, mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan commuter marriage, sehingga penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mereka dalam menentukan pola hidup pernikahan mereka nantinya.

b. Memberi informasi kepada pasangan commuter marriage mengenai

aspek-aspek apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan pada pasangan commuter marriage.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi kepuasan pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, kriteria kepuasan pernikahan, definisi individu masa


(21)

dewasa awal, tugas perkembangan dan karakteristik individu pada masa dewasa awal, definisi commuter marriage, karakteristik pasangan, pernikahan dan keluarga dengan pola hidup commuter marriage serta kelebihan dan kelemahan yang dialami oleh pasangan commuter marriage.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V Kesimpulan, Saran dan Diskusi

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEPUASAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri.

Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai kehidupan pernikahan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan.


(23)

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak

terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian. b. Postmarital Factors

1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan

pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut.

2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat

kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri.

Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Bahkan dalam penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam


(24)

O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) menemukan bahwa suami menunjukkan kepuasaan pernikahan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.

Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan, kepuasan pernikahan yang menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya (dalam Lefrancois, 1993). Hal ini sejalan dengan Miller et al., 1997 (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang paling tinggi pada awal pernikahan, menurun sampai anak mulai meninggalkan rumah dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya.

Tahun pertama pernikahan biasanya diisi dengan eksplorasi dan evaluasi. Pasangan akan mulai untuk menyesuaikan harapan-harapan dan fantasi-fantasi mereka mengenai pernikahan dan menghubungkannya dengan kenyataan. Pasangan yang baru menikah tidak hanya akan mengetahui peran-peran baru dalam pernikahan mereka, namun juga mengembangkan penyesuaian diri mereka ke dalam pekerjaan mereka (Belsky, 1997).

3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower (1989; 1993). Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Communication

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini


(25)

berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).

b. Leisure Activity

Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan.

c. Religious Orientation

Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang penting dalam pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan (Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008). Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahterahan secara


(26)

psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan (Ellison, 1994; Gottman, 1998; Amato & Booth, 1997 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).

d. Conflict Resolution

Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian dan strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen serta saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Financial Management

Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.


(27)

f. Sexual Orientation

Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Family and Friends

Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.

h. Children and Parenting

Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaan-perasaan mengenai mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk anak-anak dan pengaruh anak-anak-anak-anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya


(28)

dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

i. Personality Issues

Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah itu.

j. Equalitarian Role

Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian.

4. Kriteria Kepuasan Pernikahan

Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:

a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan,

dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.

b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga.

Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.


(29)

Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga.

d. Penerimaan terhadap konflik-konflik

Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.

e. Kepribadian yang sesuai

Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain.

f. Mampu memecahkan konflik

Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.

B. DEWASA AWAL

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari bentuk lampau kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna, atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah


(30)

menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 1990).

Rosdahl & Kowalski (2007) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Individu pada masa dewasa awal akan menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya, seperti pekerjaan, pendidikan, hubungan dengan pasangan, lingkungan tempat tinggal dan kemandirian.

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal

Rosdahl & Kowalski 2007 membagi tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal menjadi 2 yaitu:

a. Individu pada usia 20-30 tahun

Individu pada usia 20-30 tahun biasanya akan menghadapi berbagai pilihan seperti memilih tempat tinggal, karir, mengembangkan identifikasi diri, mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk keluarga.

Individu masa dewasa awal memilih untuk tetap tinggal dengan orang tua atau tidak. Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan untuk ekonomi yang akhirnya memaksa mereka kembali ke rumah orang tua untuk sementara waktu.

Keputusan lain yang harus dipilih adalah mengenai pemilihan karir yang berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan dan karir berhubungan dengan situasi ekonomi, tujuan, kemampuan dan minat individu. Individu yang bekerja seharusnya dapat menikmati pekerjaan mereka, yakin akan


(31)

apa yang mereka lakukan dengan kemampuan mereka dan merasa bahwa mereka turut memberikan kontribusi kepada lingkungan

Sheehy (dalam Rosdahl & Kowalski, 2007) menyebutkan bahwa individu yang berusia 20-30 tahun sebagai individu yang sedang mengembangkan “akar”. Individu dewasa awal sering merasa bahwa mereka harus melakukan beberapa hal untuk hidup mereka. Keluarga, teman dan perilaku budaya di sekitarnya mempengaruhi individu tersebut. Individu dewasa awal akan menghadapi dilema ketika mereka merasa bahwa pilihan mereka tidak dapat berubah di masa mendatang atau bahwa keputusan mereka akan menghasilkan keadaan yang akan berlangsung selamanya misalnya keputusan untuk menikah dan memilih pekerjaan. Individu dewasa awal ingin membangun struktur untuk masa depan dan memiliki komitmen dan keamanan, namun mereka juga ingin tetap mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, bereksperimen dan menjaga supaya struktur tersebut tetap fleksibel. Kemampuan individu untuk menjaga keseimbangan antara dua keinginan yang bertolak belakang mempengaruhi kecepatan dan kemudahan individu untuk melewati masa ini.

Tugas perkembangan lainnya pada usia 20-30 tahun adalah mengembangkan hubungan dengan orang lain. Individu pada masa remaja akhir dan masa dewasa awal biasanya dikelilingi oleh teman-teman kampus yang mempunyai usia yang sama, namun setelah menyelesaikan pendidikan dan meninggalkan rumah orang tua, individu dewasa awal


(32)

akan merasakan kesepian dalam diri. Individu dewasa awal akan mulai membentuk persahabatan baru dan hubungan yang intim dengan orang lain yang mampu memberikan dukungan dan pengertian yang kemudian mengarahkan ke jenjang pernikahan. Pria umumnya menikah di usia akhir 20-an, namun wanita biasanya menikah di pertengahan usia 20-an.

Tugas perkembangan terakhir adalah memulai keluarga. Lingkungan umumnya mengharapkan individu dewasa untuk menikah dan membentuk keluarga. Banyak individu dewasa yang menunda pernikahan dan kehadiran anak sampai usia 30-an. Individu pada usia 20-30 tahun biasanya lebih memilih untuk mengembangkan karir dan memperoleh keadaan ekonomi yang aman.

Pada usia 28 sampai 32, individu dewasa awal umumnya membuat keputusan baru dan mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan yang pernah diambil sebelumnya. Individu dewasa yang telah menikah mungkin akan mempertanyakan untuk tetap tinggal dengan pasangan atau tidak, mereka juga mungkin akan mempertanyakan diri mereka mengenai perubahan karir mereka. Pada masa inilah, individu dewasa awal menyadari bahwa mereka dapat membuat keputusan sesuai dengan keinginan dan perasaan mereka, bukan didasarkan atau kepercayaan akan hal lain.


(33)

Pada awal usia 30-an, individu dewasa mulai menetapkan pilihan dalam hal mengembangkan karir, beberapa diantaranya memutuskan untuk membeli rumah dan merasa lebih nyaman dengan pasangan mereka. Kehidupan menjadi lebih rasional dan tersusun rapi.

Topik topik mengenai karir menjadi topik yang penting. Pasangan pada usia 30-40 tahun mungkin bekerja dengan waktu yang berbeda satu sama lain yang akhirnya dapat mempengaruhi waktu interaksi dengan pasangan, waktu keluarga, dan tanggung jawab dalam merawat anak.

Individu yang menginginkan peningkatan karir harus mengikuti peraturan-peraturan yang ada dalam dunia pekerjaannya. Perusahaan-perusahaan mungkin saja menetapkan pekerja dari satu tempat ke tempat lain. Transfer dalam pekerjaan biasanya dapat menjadi konflik bagi pasangan dual-career, misalnya jika salah satu pasangan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di daerah lain, pasangan lainnya harus memilih apakah tetap ingin tinggal bersama dengan pekerjaan sebelumnya, atau pasangan lainnya harus ikut pindah dan mencari pekerjaan baru di tempat lain atau pasangan dapat memilih untuk tinggal berjauhan namun tetap menjaga hubungan mereka. Beberapa topik yang berhubungan dengan karir adalah beberapa individu pada masa 30-40 tahun juga memutuskan untuk memulai jenjang karir yang baru atau kembali ke sekolah untuk meningkatkan pendidikan mereka. Perubahan dalam karir, baik atas keinginan sendiri maupun karena kebutuhan ekonomi dapat memberikan stress pada pasangan dan keluarga.


(34)

Reinke, et al. (dalam Granrose & Kaplan, 1996) menjelaskan bahwa wanita memulai periode transisi psikologis utama diantara usia 27 sampai 30-an. Masa transisi ini ditandai dengan perpecahan dalam diri , dilanjutkan dengan menilai ulang dan mencari perkembangan diri dan akhirnya mengembangkan konsep diri dan kesejahterahan psikologis. Untuk wanita yang bekerja dan mempunyai karir akan menghadapi pemikiran untuk mempunyai anak, dimana mengharuskan wanita untuk tinggal di dalam rumah ataupun tetap melanjutkan pekerjaan dan karir. Wanita pada usia 30-an harus membuat keputusan mengenai kelahiran anak. Mereka menyadari bahwa mereka harus melahirkan anak sekarang atau tidak ada kesempatan lagi nantinya. Tujuan karir dan menjadi orang tua dapat menjadi konflik bagi wanita pada usia 30-an. Wanita pada usia 30-an yang belum menikah merasakan tekanan yang lebih untuk mencari pasangan yang sesuai dengan mereka untuk membentuk keluarga. Adopsi dapat menjadi pilihan bagi wanita yang tidak menikah, namun wanita yang memilih untuk memiliki anak di luar hubungan dengan komitmen dapat menghadapi tanggung jawab dan tantangan menjadi orang tua tunggal. Wanita yang mempunyai pasangan dan menunda untuk memiliki anak mungkin akan menghadapi keputusan yang sulit mengenai pekerjaan, penempatan anak dan tanggung jawab.

Individu pada usia 30-40 tahun juga akan menghadapi berbagai perubahan dalam hidup mereka, diantaranya pada anak-anak yang mulai dewasa dan meninggalkan rumah dan lebih tertarik untuk bersama


(35)

teman-teman sebaya dibandingkan bersama orang tua. Orang tua yang biasanya menjaga anak-anak akan merasakan kehilangan dan kesepian, sehingga orang tua perlu untuk mencari minat pada hal lain. Ketika anak-anak meninggalkan rumah, para orang tua mulai memperbaiki hubungan dengan pasangan mereka. Mereka dapat mengembangkan hubungan intim yang lebih mendalam atau dapat memutuskan untuk kehilangan keintiman mereka dengan pasangan mereka dan berakhir pada perceraian. Perubahan karir dan perpindahan ke kota lain dapat membuat kehidupan keluarga dan keintiman hubungan dengan pasangan menjadi kurang stabil. Perceraian dapat muncul dan individu perlu melakukan penyesuaian yang berhubungan dengan perceraian. Invidu dewasa yang bercerai akan menghadapi tantangan dalam mencari pasangan baru dan keadaan ekonomi yang tidak stabil, ataupun masih berusaha memahami hubungan mereka dengan mantan pasangan mereka.

3. Karakteristik Masa Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1990), karakteristik individu dewasa awal adalah:

a. Masa pengaturan

Individu dewasa awal mulai mencoba-coba untuk menemukan pekerjaan dan pasangan yang tepat. sekali individu menemukan pola hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka individu tersebut akan mengembangkan pola-pola perilaku sikap dan


(36)

nilai-nilai yang akan cenderung akan menjadi kekhasan selama sisa hidupnya.

b. Usia reproduktif

Individu dewasa awal yang menikah akan berperan pada sebagai orang tua pada usia 20 atau 30-an.

c. Masa bermasalah

Masalah-masalah yang dihadapi individu masa dewasa awal berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama kehidupan masa dewasa awal diantaranya penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinan dan karir.

d. Masa ketegangan emosional

Sekitar awal atau pertengahan usia 30-an, kebanyakan individu dewasa awal telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Emosi yang menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia 30-an, hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan.

e. Masa keterasingan

Masa keterasingan merupakan masa individu dewasa merasakan keterpencilan sosial atau yang disebut Erikson sebagai krisis keterasingan. Krisis keterasingan dapat terjadi karena pada masa sebelumnya, individu masih bergantung dengan persahabatan dan


(37)

orang tua, namun pada masa dewasa awal dihadapkan pada keadaan untuk bersaing dan hasrat yang kuat untuk mencapai karir.

f. Masa komitmen

Individu dewasa awal akan mengalami perubahan tanggung jawab dari remaja yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi invidu dewasa yang mandiri. Individu dewasa awal perlu menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru. Pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen-komitmen-komitmen baru mungkin dapat berubah, namun pola-pola ini dapat menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan komitmen baru di masa mendatang.

g. Masa ketergantungan

Beberapa individu pada masa dewasa awal yang sudah mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, namun beberapa diantaranya masih menemui kesulitan ekonomi sehingga harus bergantung pada orang tua atau bergantung pada beasiswa dari perguruan tinggi untuk dapat melanjutkan pendidikannya.

h. Masa perubahan nilai

Individu masa dewasa awal harus dapat menerima perubahan nilai yang terjadi di masyarakat supaya dapat diterima dalam kelompok orang dewasa termasuk perubahan nilai ketika mereka menjadi orang tua.


(38)

Individu masa dewasa awal dihadapkan pada tugas untuk menyesuaikan diri pada kehidupan pekerjaan dan kehidupan pernikahan.

j. Masa kreatif

Bentuk kreatifitas yang akan terlihat pada masa dewasa awal adalah kreatifitas yang bergantung pada minat dan kemampuan individual, kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada individu yang menyalurkan kreatifitas melalui hobi, ada yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan untuk menyalurkan ekspresi kreatifitasnya.

C. COMMUTER MARRIAGE

1. Pengertian Commuter Marriage

Commuter marriage adalah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan (Gerstel dan Gross, 1982).

Istilah lain commuter marriage yang digunakan Stafford (2005) adalah dual career dual residence (DCDR), yang didefinisikan sebagai individu-individu yang menikah, dengan atau tanpa anak, yang secara sukarela mempertahankan kelangsungan hidup pada dua tempat tinggal yang berjauhan,


(39)

dengan maksud untuk mempertahankan pernikahan, dan keduanya berkomitmen terhadap karir mereka.

Rhodes (2002) menyatakan bahwa dalam beberapa referensi, commuter marriage didefinisikan sebagai:

a. pasangan yang melanjutkan karir dengan melibatkan pekerjaan yang

membutuhkan komitmen yang tinggi dan pelatihan khusus dengan tanggung jawab yang besar (ini mencakup mahasiswa yang melanjutkan tingkat pendidikan lanjutan).

b. pasangan memutuskan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan rumah

tangga pada lokasi yang terpisah secara geografis dengan tujuan untuk meningkatkan karir pada pasangan tersebut.

Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa dengan demikian, sales, pekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perjalanan, personel militer, migran yang menjadi pekerja, pekerja konstruktif dan pramugari yang meninggalkan rumah untuk waktu tertentu bukan termasuk dalam definisi commuter marriage.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa commuter marriage adalah pasangan suami istri dengan atau tanpa anak yang tinggal terpisah secara geografis karena adanya komitmen yang tinggi terhadap karir dan mempertahankan pernikahan.

2. Karakteristik Commuter Marriage

Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage dengan pernikahan lainnya (Gerstel & Gross, 1982):


(40)

a. Lama pasangan tinggal di rumah yang berbeda bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai 14 tahun.

b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil

c. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan tersebut

menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain di tempat lain).

d. Pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang

berbeda-beda. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya.

3. Karakteristik Pernikahan dan Keluarga

Rhodes (2002) menjelaskan karakteristik pernikahan dan keluarga commuter, antara lain:

a. Adanya atau tidak-adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah dalam

keluarga. Rotter, Barnett, & Fawcett (dalam Rhodes, 2002) setuju bahwa pasangan commuter marriage akan mengalami pola hidup yang lebih menyulitkan dengan adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah.

b. Ketika pasangan setuju untuk melakukan tipe pernikahan seperti ini, salah satu orang tua biasanya tinggal di rumah bersama dengan anak-anak, sehingga akan mengemban tanggung jawab, stress, dan jumlah pekerjaan yang lebih besar, dan orang tua lainnya biasanya akan pindah ke lokasi yang lebih dekat dengan pekerjaannya (Anderson, 1992).


(41)

c. Orang tua yang melakukan perpisahan dengan keluarga dapat lebih fokus dengan pekerjaannya, namun orang tua yang tinggal dengan anak-anak biasanya mengambil peran sebagai orangtua tunggal (single parent). Biasanya orang tua yang tidak melakukan perpisahan akan merasa kecil hati dengan perubahan dalam tanggung jawab dan pengaturan hidup (Carter, 1992).

d. Banyak orang tua yang melakukan perpisahan merasakan rasa bersalah

telah berpisah dengan keluarga dan melewatkan bagian-bagian penting dalam perkembangan anak-anak mereka (Johnson, 1987, Rotter et al., 1998).

e. Untuk menutupi rasa bersalah mereka, umumnya orang tua tersebut

mengambil langkah-langkah seperti memberikan perhatian secara kualitas ketika menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, memberikan model peran alternatif untuk anak-anak dan memberikan kesempatan pada anak-anak dalam memilih dua tempat tinggal yang berbeda (Jackson et al., 2000; Rotter et al., 1998).

4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage

Scoot (2002) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa pasangan dengan dua karir memutuskan untuk memisahkan tempat tinggal mereka. Adapun kelebihan dari pernikahan dengan tipe ini adalah:

a. Memiliki karir dan pernikahan dalam persamaan hak dalam pernikahan


(42)

b. Memperkuat pernikahan. Beberapa pasangan percaya bahwa perpisahan dapat memperkuat pernikahan mereka karena perpisahan memberikan perasaaan akan kesuksesan (Rapoport et al., 1978; Gross, 1980, 1981).

c. Ketika pasangan berpisah, mereka dapat belajar untuk mengadaptasikan

jadwal mereka sesuai dengan kebutuhan mereka.

d. Memberikan waktu kerja yang lebih panjang bagi pasangan.

e. Selama perpisahan, masing-masing pasangan dapat memfokuskan diri

pada pekerjaan mereka, namun pada saat melakukan reuni, mereka memfokuskan pada penguatan hubungannya dengan pasangan.

f. Pola hidup seperti ini menghasilkan kemampuan baru dan meningkatkan

rasa percaya diri mengenai kemampuan individu (Gerstel & Gross, 1982; Jackson et al, 2000; Winfield, 1985).

Selain memberikan kelebihan, pola pernikahan ini juga memberikan beberapa kelemahan, antara lain:

a. Pasangan jarak jauh mempunyai jadwal yang disesuaikan dengan

kebutuhan mereka, yaitu jadwal yang sibuk, bahkan ketika pasangan saling menjenguk, mereka tetap tidak terlepas dari jadwal yang sibuk. Hal ini menyebabkan pasangan tidak mampu memperkuat hubungan mereka bahkan saat mereka sedang berkumpul. Jadwal yang sibuk menyebabkan rendahnya kepuasan hubungan dan kehidupan keluarga (Bunker, Zubek, Vanderslice, & Rice, 1992; Govaerts & Dixon, 1988).

b. Biaya yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh pasangan ini (Farris,


(43)

karena hubungan jarak jauh, biaya perjalanan ketika saling mengunjungi dan biaya-biaya kebutuhan kedua rumah yang ditempati masing-masing pasangan.

c. Kurangnya kehadiran pasangan, terhambatnya kontak nonverbal

mempengaruhi keintiman dalam hubungan pernikahan jarak jauh.

d. Munculnya kecemasan dan kekhawatiran pada pasangan termasuk

ketakutan untuk hidup terpisah, perceraian dan perselingkuhan (Farrris, 1978). Kekhawatiran ini umumnya muncul pada pasangan yang lebih muda, namun pada pasangan yang lebih tua lebih banyak mengalami pengalaman takut akan hidup terpisah dan sedikit cemas mengenai perceraian dan perselingkuhan (Gerstel & Gross, 1984).

D. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN COMMUTER

MARRIAGE

Layaknya pasangan suami istri umumnya, pasangan commuter marriage juga mengharapkan kepuasan dalam pernikahan dan mempunyai penilaian terhadap kepuasan pernikahan. Pasangan commuter marriage umumnya menganut peran gender yang lebih egalitarian dibandingkan yang tradisional dalam pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan commuter marriage yang sukses dalam pernikahan adalah pasangan yang menganut peran gender yang sedikit tradisional dan lebih egalitarian, mereka umumnya mempunyai pendidikan yang baik, dan terikat dalam rencana dan keputusan bersama dalam membuat perpisahan (Anderson & Spruill, 1993; Fortysh & Gramling, 1987 dalam Stafford,


(44)

2005). Perilaku peran gender yang non-tradisional yang biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage adalah suami maupun istri saling berbagi perhatian terhadap keluarga dan rumah, suami dan istri sepakat bahwa tidak ada pekerjaan mana yang lebih penting dari pekerjaan lainnya.

Pasangan commuter marriage menyatakan bahwa perjalanan yang merupakan bagian dari pekerjaan dapat menciptakan stress tambahan untuk pasangan mereka, khususnya dengan adanya kehadiran anak dalam keluarga (Roehling & Bultman, 2002). Kehadiran anak mengurangi peran egalitarian yang biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage (Stafford, 2005). Peran non-tradisional ini tidak berlaku ketika salah satu pasangan melakukan perjalanan, pasangan yang melakukan perjalanan biasanya akan menyerahkan peran mereka yang berhubungan dengan keluarga kepada pasangan lain yang tinggal di rumah.

Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa istri biasanya mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya kehadiran anak dalam keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan peran yang berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling & Bultman, 2002) serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah pada pasangan yang tinggal di rumah (Roehling & Bultman, 2002).


(45)

Gerstel dan Gross (dalam Scoot, 2002) yang menyatakan bahwa usia pernikahan, kehadiran anak, dan durasi perpisahan dan pertemuan kembali karena pekerjaan memberikan pengaruh yang besar dalam pengalaman menghadapi perpisahan pada pasangan commuter marriage. Penelitian yang dilakukan oleh Gerstel dan Gross menunjukan bahwa pasangan yang baru menikah (tanpa menjelaskan usia pernikahan yang dimaksud), pasangan dengan anak-anak dan pasangan yang mengunjungi kurang dari dua kali dalam sebulan mengalami kesulitan menangani perpisahan mereka. Semakin lama usia suatu pernikahan, semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul ketika pasangan tidak tinggal bersama (Gerstel dan Gross, 1981, 1982, 1984; Gross, 1980, 1981 dalam Scott, 2002).

Pasangan commuter marriage yang lebih muda dengan anak yang masih muda dan pengalaman akan perpisahan yang tidak banyak merupakan pasangan yang paling rapuh, namun kebanyakan pasangan yang lebih tua dan mempunyai banyak pengalaman akan perpisahan dengan pasangan, dapat mencoba untuk beradaptasi terhadap perjalanan dinas karena pekerjaan dan bahkan merasakan periode yang berturut-turut antara perpisahan dan reuni kembali sebagai suatu hal yang sangat menarik (Espino et al., 2002; Morrice et al., 1985 dalam Gustafson, 2006). Jadwal pekerjaan yang lebih fleksibel dan sumber penghasilan yang lebih besar membuat pasangan commuter marriage merasakan kesulitan yang lebih sedikit (Anderson, 1992 dalam Stafford, 2005). Pasangan yang merasakan kesulitan dan tetap mencoba untuk melakukan dinas pekerjaan, semakin merasa


(46)

tidak puas dengan pola hidup seperti itu (Groves & Horm-Wingered, 1991 dalam Stafford 2005).


(47)

Membentuk keluarga Mencari pekerjaan

Commuter Marriage Suami atau istri yang bekerja di

daerah yang terpisah karena

penempatan pekerjaan

Kelebihan Kelemahan

Suami atau istri yang bekerja di daerah yang

sama

Kehadiran anak

suami istri

Suami melakukan perjalanan karena pekerjaan (tinggal terpisah)

Istri tinggal dengan anak dan meniti karir Pasangan dual-career

Kepuasan pernikahan Dewasa Awal


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage. Kepuasan pernikahan merupakan pengalaman subjektif dan dinamis untuk masing-masing pasangan. Jumlah responden yang mempunyai karakteristik sebagai pasangan commuter marriage juga tidak banyak, untuk itu, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui hal ini. Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian (Poerwandari, 2007).

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan peneliti ini, maka karakteristik responden yang dipilih adalah:


(49)

Pada usia 27-39 tahun, wanita dewasa awal umumnya menghadapi konflik untuk mencapai karir atau menjadi orang tua (Rosdahl & Kowalski, 2007; Reinke, et al. dalam Granrose & Kaplan, 1996). b. Wanita yang telah menikah dengan bentuk pernikahan:

1) baik istri maupun suami mempunyai karir masing-masing

2) penempatan karir di daerah lain menyebabkan pasangan suami istri tidak tinggal di rumah yang sama setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan.

3) suami dan istri mempunyai tempat tinggal masing-masing

dikarenakan perpisahan mereka dapat berlangsung lama

4) mempunyai anak yang berusia kurang dari 12 tahun yang tinggal

dengan istri.

2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian ini mengambil sampel 3 (tiga) orang wanita yang merupakan pasangan commuter marriage. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik (a) diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian, (b) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (Saratakos, 1993 dalam Poerwandari, 2007) serta juga


(50)

dikarenakan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Dalam Poerwandari (2007) dijelaskan bahwa teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Binjai dan Medan. Pemilihan kota Binjai dan Medan yang merupakan domisili para responden dari peneliti. Selain itu, berkaitan dengan pendekatan kualitatif yang memerlukan lebih dari satu kali pertemuan dan wawancara, pemilihan lokasi akan memudahkan proses penelitian.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman


(51)

wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur tetapi juga memungkinkan untuk mengembangkan topik baru yang lebih mendalam. Adapun penggunaan pedoman wawancara berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yaitu open-ended questions, yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.


(52)

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori kepuasan pernikahan yang mencakup aspek-aspek dalam kepuasan pernikahan.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi


(53)

masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik pasangan commuter

marriage.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kepuasan

pernikahan menurut teori Olson & Fowers (1989; 1993), untuk menggambarkan kepuasan pernikahan dan pemasalahan-permasalahan yang dihadapi responden dalam pernikahannya.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data yang akurat.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:


(54)

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan pasangan commuter marriage.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori aspek kepuasan pernikahan untuk menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:


(55)

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip

verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).


(56)

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam aspek-aspek dalam kepuasan pernikahan.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.


(57)

G. METODE ANALISIS DATA

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a). memperoleh data yang baik,

b). mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c). menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian

penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses


(58)

sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

4. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek penelitian, dilihat dari


(59)

sudut pandang dan pengertian subyek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif


(60)

harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.


(61)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami aspek kepuasan pernikahan maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-subjek. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A. Deskripsi Data

Penulis melakukan wawancara terhadap 3 orang responden yang dan melakukan wawancara masing-masing sebanyak 3 kali dengan perincian sebagai berikut:

1. Responden I

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di kantor dan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:

a. Hari Senin, 23 Februari 2009; Pukul 12.00 – 13.00 WIB. b. Hari Senin, 2 Maret 2009; Pukul 12.45 – 13.05 WIB. c. Hari Minggu, 19 April 2009; Pukul 13.00 – 13.30 WIB. 2. Responden II

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:


(62)

a. Hari Sabtu, 21 Maret 2009; Pukul 11.00 – 11.25 WIB. b. Hari Kamis, 9 April 2009; Pukul 11.00 – 11.25 WIB. c. Hari Jumat, 8 Mei 2009; Pukul 19.30 – 20.10 WIB. 3. Responden III

a. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut:

a. Hari Kamis, 23 April 2009; Pukul 18.00 – 18.30 WIB. b. Hari Senin, 27 April 2009; Pukul 18.30 – 17.00 WIB.

c. Hari Kamis, 14Mei 2009; Pukul 19.30 – 19.50 WIB.

B. Analisa Data

1. Gambaran Umum Responden 1

Nama : Putri (bukan nama sebenarnya)

Usia : 27 tahun

Urutan kelahiran : 1 dari 3

Masa Pacaran : - (tidak melewati masa pacaran)

Usia menikah : 24 tahun

Jumlah anak : 1 orang

Suku : Batak Jawa

Pendidikan : S-1

Pekerjaan : Pegawai Negeri


(63)

Putri ( bukan nama sebenarnya) berusia 27 tahun, ia adalah anak sulung dari 3 bersaudara dari keluarga berdarah Batak dan Jawa. Putri menamatkan pendidikannya S1-nya dengan mengambil jurusan Komunikasi di Univeritas Sumatera Utara dan saat ini Putri bekerja sebagai Pegawai Negeri di Kantor BAPPEDA wilayah Stabat.

Putri berusia 24 tahun ketika menikah dengan suaminya. Putri dan pasangannya tidak menjalani masa pacaran, tetapi ia mengaku memang sudah lama mengenal pasangannya sebelum menikah. Putri dan pasangannya adalah tetangga dan merupakan teman sekolah ketika SMP sampai dengan SMA. Saat itu Putri yang baru putus dengan pacar lamanya bertemu kembali dengan pasangannya yang saat itu baru selesai menamatkan pendidikannya.

Putri dan pasangannya bertemu kembali dan pada saat itulah mereka merasakan adanya saling ketertarikan antara satu sama lain. Pasangan responden menanyakan dengan serius kepada Putri untuk menikah dengannya. Putri dan pasangannya membahas masalah yang mungkin akan mereka hadapi kelak setelah menikah, karena pada saat itu, pasangannya memang sudah bekerja di luar kota sebagai PNS dan tidak memungkinkan untuk pindah ke Medan dalam waktu dekat.

Putri merasa sudah mengenal pasangannya dan dengan beberapa nilai plus yang dimiliki pasangannya seperti telah menamatkan pendidikannya, telah

mempunyai pekerjaan yang mapan dan Putri sendiri sudah lama mengenal pasangannya, maka akhirnya ia pun menerima lamaran pasangannya itu.


(64)

Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada bulan Mei tahun 2006 keluarga pasangannya datang melamar Putri. Orang tua Putri yang juga telah mengenal baik keluarga pasangannya pun merestui pernikahan Putri dan pasangannya dan akhirnya pada bulan November 2006 Putri dan pasangannya menikah.

Hari kedua setelah Putri dan pasangannya menikah, mereka menghabiskan

bulan madu di Meulaboh, tempat pasangannya bekerja dan menghabiskan waktu bersama-sama selama 2 bulan. Setelah dua bulan menikah, Putri langsung dikarunia dengan seorang calon bayi dalam kandungannya. Mengandung anak pertama setelah menikah memang merupakan keinginan Putri, pasangannya dan keluarga, namun pada saat itu pula ia harus kembali ke Binjai karena harus melanjutkan pekerjaannya. Ia menangis ketika diantar pasangannya ke terminal bus. Bus pun hendak berangkat, sambil menangis, Putri mengucapkan salam perpisahan kepada pasangannya. Ia merasa manisnya masa bulan madu yang terlalu cepat berlalu dan mereka harus dipisahkan oleh jarak yang jauh. Ia berusaha menguatkan diri karena pada saat itu dirinya tidak lagi sendirian. Putri merasa meskipun calon bayinya belum ada, namun dirinya bisa merasakan bahwa ada orang lain yang bersamanya. Dirinya tidak lagi sendirian, pada waktu inilah ia bertekat untuk menjaga diri dan calon bayinya dengan baik dengan tidak terus bersedih.

2. Masa Commuter Marriage

Putri dan calon bayinya terus melanjutkan hidup tanpa kehadiran


(65)

Putri pindah ke rumah mertuanya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah orang tuanya. Seluruh keluarga bahagia dengan kehamilan Putri dan turut

menjaganya.

Ia merasa sangat berat melewati masa-masa kehamilannya tanpa kehadiran pasangannya. Kadang-kadang Putri juga merasa cemburu melihat wanita hamil lain yang sangat dijaga dan disayang suami wanita tersebut sedangkan tidak bisa bermanja-manja dengan pasangannya, karena alasan itulah, ia mengaku tidak ingin hamil lagi kalau pasangannya belum tinggal bersamanya meskipun sebenarnya pasangannya sebenarnya merencanakan untuk menambah jumlah keluarga ketika anak mereka berusia 2 tahun. Putri biasanya akan menghubungi pasangannya dengan menggunakan telepon ketika merasa cemburu dan

membutuhkan kehadiran pasanganya.

“Ee berat sih, berat kali kan. Apalagi kalau tiba-tiba sakit kan” (R1/W1/k. 187-189/hal. 5)

“Iya, cemburu, liat orang lain disayang gitu kan, dimanja, diiniin diituin, sementara kita mo manja ama sapa gitu kan. Paling telfon jadinya. Telfon dia: bang gini- gini gini... ya yang sabar katanya.”

(R1/W1/k. 211-217/hal. 5)

“Cuma ga mo lagi hamil ga ada suami.” (R1/W1/k. 205-206/hal. 5)

“Kalo untuk anak pertama memang begitu nikah kami pengen punya momongan, Cuma kalo untuk yang ke dua kakak maunya setelah dia pindah, karna hamil dan melahirkan sendiri sangat tidak enak, jadi ga mau lagi.”

(R1/W3/k. 442-429/ hal. 40)

“Dia si pengennya si adek nanti umur 2 taun itu kan hamil lagi, jadi nanti kalo dia umur 3 tahun dia punya dedek gitu kan. Tapi kakak bilang sebelum ayahnya pulang kakak ga mau. Ya uda katanya ga apa-apa.” (R1/W3/k. 431-437/hal. 40)


(1)

memaknai pengalaman sehari-hari dengan pasangan, atau yang berhubungan dengan lelucon dan kesan dalam kejadian sehari-hari. Hal ini menjelaskan apa yang dirasakan ketiga responden yaitu komunikasi tidak langsung dirasa kurang karena kesulitan untuk membagi pengalaman dan perasaan, bahkan responden 2 juga merasa kesulitan untuk menceritakan masalah yang dihadapinya kepada pasangan.

Roehling dan Bultman menjelaskan bahwa kehadiran anak memiliki dampak yang negatif terhadap kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage, begitu juga dengan Rotter, Barnett & Fawcett (Rhodes, 2002) yang menambahkan bahwa kehidupan pernikahan jarak jauh menjadi lebih sulit dengan kehadiran anak, dimana satu orang tua mendapat tugas lebih banyak dan harus tinggal bersama anak. Anderson & Spruill (dalam Rhodes 2002) menemukan bahwa pasangan commuter marriage biasanya sangat tradisional dalam pembagian tugas dalam keluarga. Wanita khususnya lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan tugas sehari-hari seperti menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, perawatan sehari-hari bahkan mengurus transportasi untuk anak-anak mereka. Ketiga responden merasakan pasangan mereka cukup egalitarian dengan tidak memaksa mereka melakukan hal yang tidak ingin responden lakukan, namun secara tidak langsung ketiga responden tampaknya bertanggung jawab terhadap anak, keluarga dan pekerjaan mereka.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi kelebihan


(2)

dari penelitian ini adalah teknik pengambilan datanya yang melalui wawancara mendalam membuat data yang diperoleh dalam penelitian ini menjadi luas dan mendalam. Penelitian ini juga dapat mengungkapkan dinamika kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

Penelitian ini juga memiliki beberapa kekurangan, yakni minimnya sampel penelitian yang digunakan yakni hanya 3 orang istri pada pasangan commuter marriage. Ketidakseragaman kriteria dalam pengambilan sampel juga membuat kecenderungan terjadinya bias dapat terjadi dalam penelitian ini. Kekurangan lainnya yakni peneliti kurang mampu mengkondisikan lingkungan saat proses wawancara, sehingga terkadang mempengaruhi kualitas suara responden di kaset rekaman.

C. Saran

1. Saran Praktis

a. Agar para pasangan yang belum menikah ataupun yang sudah menikah tidak ragu-ragu untuk menjalankan pernikahan jarak jauh dengan melihat adanya beberapa keuntungan yang diperoleh dari pernikahan jarak jauh. b. Agar para istri pada pasangan commuter marriage menyadari aspek-aspek

pernikahan yang mungkin menjadi masalah dalam pernikahan mereka supaya dapat mencari cara untuk mengoptimalkan dan meningkatkan aspek kepuasan tersebut.


(3)

a. Peneliti selanjutnya disaranakan untuk lebih memperhatikan kondisi dan lingkungan saat proses wawancara.

b. Penambahan jumlah sampel dan perluasan sampel untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik sehingga didapat dinamika yang lebih luas tidak hanya mengenai kepuasan pernikahan istri, tetapi juga pada suami pada pasangan commuter marriage.

c. Agar peneliti selanjutnya mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pada individu yang akan dijadikan sampel penelitian.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Belsky, Janet. (1997). The adult experience. USA: West Publishing Company.

Cavanaugh, J.C., Blanchard-Fields, F. (2006). Adult development and aging (5th ed). USA: Thomson Wadsworth.

Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1989). Enrich marital inventory: a discriminant validity & cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy,15 (1), 65-79. Diakses tgl. 11 Agustus, 2008 dari: http://www.prepare-enrich.com/files/Article_Info/study3.pdf.

Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1993). Enrich marital scale: a brief research and clinical tool. Journey of Family Psychology, 7 (2), 176-185. Diakses tgl. 11 Agustus, 2008 dari: http://www.buildingrelationships.com/pdf/study10.pdf.

Gerstel, N. & Gross, H. E. (1982). Commuter marriages: A review. Dalam Gross, H. & Sussman, Marvin B. (Eds). Marriage and family review (5th ed., hal. 71-93). New York: Haworth Press.

Gustafson, Per. (2006). Work-related travel, gender, and family obligations. Work, employment and society, 20 (3), 513-530. Diakses tgl. 23 Oktober, 2008 dari: http://wes.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/3/513.

Hendrick, S & Hendrick, C. (1992). Liking, loving & relating (2nd ed). California: Brooks/ Cole Publishing Company Pacific Grove.

Hughes, F. P & Noppe, L. D. (1985). Human development across the life span. New York: West Publishing Company.

Hurock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.


(5)

Lefrancois, Guy. (1993). The lifespan (4th ed). USA: Wadsworth.

Lemme, B. H. (1995). Development in adulthood. USA: Allyn & Bacon.

Moleong, L.J., (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Cetakan ke duapuluh satu. Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.

Muterko, Sarah. (2007, Agustus). Higher education faculty/staff dual-carrer couples and their related migration decision. Makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan the American Sociological Association, TBA, New York, New York City. Diakses tgl. 11 Agustus 2008 dari: http://www.allacademic.com/meta/p183274_index.html.

Newman & Newman. (2006). Development through life. A psychological approach. USA: Thomson Wadsworth.

O’Leary, V., Unger, R.K. & Wallstone, B.S. (1985). Women, gender, & social psychology. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates

Papalia, D.E., Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2007). Human development (10th Ed). New York: McGraw-Hill.

Poerwandari, K., (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia

Rhodes, A. (2002). Long-distance relationships in dual-career commuter couples: A review of counseling issues. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 10, 398-404. Diakses tgl.2 Oktober, 2008 dari: http://tfj.sagepub.com/cgi/content/abstract/10/4/398.

Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002). Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293.

Rosdahl, C. B. & Kowalski, M. T. (2007). Textbook of basic nursing (9th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.


(6)

Scoot, Andrea T. (2002). Communication characterizing successful long distance marriages. Disertasi. Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. Diakses tgl. 11 Agustus, 2008 dari:

http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf

Silberstein. L. R. (1992). Dual-career marriage: a system in transition. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates

Stafford, Laura. (2005). Maintaining long-distance and cross-residential relationships. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates

Wolfinger, Nicholas H. & Wilcox, W. Bradford. (2008). Happily ever after? Religion, marital status, gender and relationship quality. Social Forces, 86, 3; Platinum Periodicals, 1311.