PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L ) METODE SRI (The System of Rice Intensification).
PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L ) METODE SRI
(The System of Rice Intensification)
SKRIPSI
Oleh
SONNY PRANATA RIZAL
08 10 212 087
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L. ) METODE SRI
(The System of Rice Intentification)
Abstrak
Percobaan tentang Pengaruh Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Metode SRI (The System of Rice Intentification)
telah dilakukan di lahan sawah petani Jorong Rageh, Kenagarian Sungai
Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten 50 Kota. Percobaan ini dimulai dari
bulan Maret sampai Agustus 2013. Tujuan percobaan ini adalah untuk
menentukan umur bibit yang terbaik di persemaian terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman padi sawah metode SRI. Percobaan ini disusun berdasarkan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok.
Perlakuan yang dicobakan adalah beberapa umur bibit padi yaitu umur 6, 8, 10,
12, dan 14 hari. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan per
rumpun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, berat
gabah bernas per malai, bobot 1000 butir gabah bernas, hasil tanaman per petak,
dan hasil gabah per hektar. Data dianalisis secara statistika dengan uji F tabel 5%,
dan F hitung yang lebih besar dari F tabel dilanjutkan dengan uji Duncan’s New
Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil percobaan
dapat disimpulkan bahwa umur bibit 6-14 hari di persemaian memberikan
pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi metode SRI.
Kata kunci : Umur bibit, padi (Oryza sativa L.), metode SRI
THE INFLUENCE OF SEEDLING AGE ON GROWTH AND
YIELD OF RICE (Oryza Sativa L.) USING THE SYSTEM OF
RICE INTENSIFICATION (SRI) METHOD
Abstract
An experiment on the effect of seedling age on the growth and yield of
rice (Oryza sativa L.) planted in the System of Rice Intensification (SRI) method
has been carried out at the paddy fields at Jorong Rageh, Kenagarian Sungai
Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten 50 Kota. The experiment commenced
from March to August 2013. The purpose of this experiment was to determine the
best age of seedlings in the nursery on the growth and yield of rice plants grown
in SRI method. A completely randomized block design with five treatments and
four blocks was assigned. The treatment was rice seedling age i.e 6, 8, 10, 12, and
14 days after sowing. Data collected including plant height, number of tillers per
clump, number of productive tillers, panicle length, number of grains per panicle,
weight of 1000 grains, yield per plot, and yield per hectare. Data were analysed
with analysis of variance and mean comparisons of Duncan’s New Multiple
Range Test at 5% level. Results demonstrate that all seedling age tested did not
affect the growth and yield of rice planted in SRI method.
Key words: seedling age, rice (Oryza sativa L.), SRI methods
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) adalah komoditas strategis dan merupakan sumber
makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia dengan konsumsi sekitar
140-150 kg beras per kapita per tahun. Kebutuhan akan padi terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Produksi padi nasional pada tahun
2011 mencapai 67.760.000 ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat
sebanyak 1,35 % dibandingkan tahun 2010. Kenaikan produksi diperkirakan
terjadi karena peningkatan luas pertanaman seluas 14.510 hektar (0,11 %) dan
produktivitas sebesar 0,62 kwintal/hektar 1,24 % (Badan Pusat Statistik, 2011).
Produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 1980, pada
periode 1970-1979 laju pertumbuhan produksi padi rata-rata meningkat sebanyak
1,1 % per tahun. Laju produksi padi terus meningkat pada periode 1980-1989
yaitu sebanyak 5.32 % per tahun. Namun pada periode 1990-2011 mengalami
penurunan menjadi 1,29-0,71 per tahun (Zuhri, 2012).
Penurunan produksi padi ini mengakibatkan lonjakan permintaan dengan
bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun yang cukup tinggi yaitu sebanyak
1,49 %, jika hal ini tidak segera diantisipasi maka dikhawatirkan Indonesia akan
mengalami krisis bahan pangan yang nantinya akan berdampak buruk pada
ketahanan pangan nasional (Simarmata, 2007).
Salah satu tantangan paling besar di sektor pertanian pada saat ini adalah
upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional dari produksi dalam
negeri. Konsumsi beras akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, karena sampai saat ini upaya diversifikasi pangan pokok (sumber
karbohidrat) belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Dari sisi
lain pertumbuhan produksi padi nasional mulai menunjukkan gejala stagnan. Pada
era tahun 2000 ini, hanya meningkat rata-rata kurang dari 1 % per tahun. Lebih
rendah dibandingkan pada dasawarsa 1990 yang rata-rata meningkat 1,47 % per
tahun dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode tahun 1980, yang
pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 4,34 % per tahun (Lakitan, 2009).
Permasalahan baru dalam produksi padi mulai banyak bermunculan.
Berkurangnya lahan sawah karena digunakan untuk keperluan lain, kurangnya
tenaga produktif di pedesaan, berkurangnya ketersediaan air irigasi dan mahalnya
input produksi, hanyalah sebagian permasalahan yang membutuhkan jalan keluar
(Utomo, Muhajir dan Nazarudin, 2003).
Konversi lahan sawah ke pertanian lainnya, industri dan perumahan terus
meningkat. Di Indonesia, dari sekitar 8,1 juta hektar sawah, ada 3,1 juta hektar
atau 40 % terancam alih fungsi lahan. Di Sumatera Barat
Dalam 10 tahun
terakhir, alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan pengembangan perumahan dan
perkebunan lebih dari 2.000 hektar. Alih fungsi ini merupakan ancaman serius
bagi ketahanan pangan di Indonesia (Faisal, 2013).
Peningkatan produktivitas lahan sawah yang mungkin dilakukan salah
satunya adanya perbaikan dalam teknik bercocok tanam. Metode baru yang
sedang dikembangkan dalam bercocok tanam padi adalah metode The System of
Rice Intensification (SRI). Metode ini pertama kali dicobakan di Madagaskar oleh
seorang pendeta Prancis Henri de Laulanie pada tahun 1983. Penerapan SRI di
Indonesia mulai tahun 1999 dan sudah mencakup hampir seluruh propinsi di
Jawa, sebagian besar propinsi di Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Papua,
Kalimantan, dan Sumatera. Luasan areal di masing-masing daerah masih sangat
bervariasi dengan berbagai bentuk penerimaan oleh petani (Kasim, 2004).
Di Indonesia berbagai informasi menyebutkan bahwa SRI bisa
menghasilkan gabah 12-16 ton/ha. Walaupun hasil panen dilaporkan dalam
bentuk GKP (gabah kering panen), angka itu tetap jauh lebih tinggi dari hasil ratarata padi sawah konvensional yang sekitar 5 ton/ha GKG (gabah kering giling).
Sementara itu, pengembangan teknologi melalui pendekatan PTT (pengelolaan
tanaman terpadu) yang mengedepankan faktor spesifik lokasi dinilai lebih cocok
untuk dikembangkan secara luas (Syam, 2006).
Secara umum pertumbuhan dengan metode SRI cukup baik. Jumlah
anakan yang terbentuk cukup banyak. Anakan yang terbentuk sangat bagus,
namun tidak semua anakan yang produktif (menghasilkan malai atau bulir padi
yang bernilai ekonomis), karena waktu terbentuknya berbeda dan masaknya tidak
serentak.
Menurut Hasil penelitian Rozen (2008), anakan padi dengan metode SRI
lebih banyak dibandingkan dengan cara konvensional. Anakan yang terbentuk
antara 60 – 125 batang. namun yang bernilai ekonomis hanya 80 % dari total
anakan. Jumlah anakan yang terlalu banyak bisa bersifat sink, selama fase
pertumbuhan tanaman padi. Keadaan ini menimbulkan nilai negatif dalam proses
metabolisme. Banyak hasil fotosintesis yang digunakan hanya untuk pertumbuhan
vegetatif dan sedikit untuk fase generatif.
Tanaman padi dalam metode SRI akan tampak kecil, kurus dan jarang di
sawah selama sebulan atau lebih setelah transplantasi. Dalam bulan pertama,
tanaman mulai menumbuhkan batang. Selama bulan ke-2 pertumbuhan batang
mulai terlihat nyata. Dalam bulan ke-3, pertumbuhan batang semakin meningkat
(Barkelaar, 2002).
Penetapan umur bibit yang cocok untuk dipindahkan ke lapangan perlu
ditentukan. Secara umum SRI menganjurkan untuk menanam bibit muda saat
berumur 7-15 hari (Barkelaar, 2002). Pemindahan bibit yang masih muda dapat
mengurangi
guncangan
dan
meningkatkan
kemampuan
tanaman
dalam
memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang
yang muncul lebih banyak jumlahnya dalam satu rumpun maupun bulir padi yang
dihasilkan oleh malai (Kasim, 2004).
Umur pindah bibit tanaman padi harus tepat untuk mengantisipasi
perkembangan akar yang secara umum berhenti pada umur 42 hari sesudah semai,
sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal pada umur 49-50
hari sesudah semai (Astri, 2007). Penanaman bibit muda memiliki beberapa
keunggulan, antara lain tanaman dapat tumbuh lebih baik dengan jumlah anakan
cenderung lebih banyak dan perakaran bibit berumur kurang dari 15 hari lebih
cepat beradaptasi dan cepat pulih dari cekaman akibat dipindahkan dari
persemaian ke lahan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2009).
Bibit tanaman padi muda lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungan,
membentuk perakaran lebih dalam, sehingga tanaman lebih tahan rebah, toleran
kekeringan, dan mampu memamfaatkan hara lebih efektif (Guswara dan
Kartaatmadja, 2001). Menurut pantauan di lapangan, sampai saat ini ternyata
masih banyak petani menanam bibit berumur di atas 21 hari dan menggunakan
bibit lebih dari 8 batang per rumpun.
Dari hasil penelitian Abdullah, Munir, Hamzah, Zen, dan Azwir (2000),
penggunaan bibit padi yang berumur sekitar 30 hari akan memberikan hasil yang
kurang baik, karena bibit yang digunakan relatif tua sehingga beradaptasi lambat
(stagnasi pertumbuhan setelah transplanting lebih lama), mempunyai anakan yang
tidak seragam, perakaran dangkal dan selanjutnya pertumbuhan tanaman kurang
sempurna. Pemakaian bibit yang banyak (7-10 batang per rumpun), menyebabkan
terjadinya persaingan dalam hal memperoleh unsur hara. Kondisi yang demikian
akan meyebabkan pertumbuhan tanaman lemah dan kerdil, sehingga tidak tahan
terhadap cekaman lingkungan dan akan menghasilkan menghasilkan persentase
gabah hampa yang tinggi.
Menurut hasil penelitian Aldilani (2005) dengan menggunakan varietas
Cisokan, umur bibit pindah ke lapangan yang cocok yaitu bibit muda yang masih
berumur 1 sampai 2 minggu dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm dengan hasil 3.93
– 4,52 ton per hektar.
Padi varietas Sijunjung merupakan padi lokal yang berasal dari Desa
Situjuah Banda Dalam, Kabupaten 50 Kota. Varietas ini banyak ditanam oleh
penduduk setempat dengan metode konvensional. Dalam penerapan metode SRI
untuk padi varietas Sijunjung ini masih minim dilakukan oleh petani sehingga,
penentuan bibit pindah ke lapangan yang cocok untuk varetas ini belum
dicobakan dan untuk itu perlu diteliti.
Untuk
mendapatkan
jawaban
tentang
permasalahan
yang
telah
dikemukakan, maka disusun penelitian dengan judul “Pengaruh
umur
bibit
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) metode SRI (the
System of Rice Intensification)”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan umur bibit yang
terbaik pada awal tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah
metode SRI.
DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L ) METODE SRI
(The System of Rice Intensification)
SKRIPSI
Oleh
SONNY PRANATA RIZAL
08 10 212 087
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
PENGARUH UMUR BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L. ) METODE SRI
(The System of Rice Intentification)
Abstrak
Percobaan tentang Pengaruh Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Metode SRI (The System of Rice Intentification)
telah dilakukan di lahan sawah petani Jorong Rageh, Kenagarian Sungai
Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten 50 Kota. Percobaan ini dimulai dari
bulan Maret sampai Agustus 2013. Tujuan percobaan ini adalah untuk
menentukan umur bibit yang terbaik di persemaian terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman padi sawah metode SRI. Percobaan ini disusun berdasarkan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok.
Perlakuan yang dicobakan adalah beberapa umur bibit padi yaitu umur 6, 8, 10,
12, dan 14 hari. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan per
rumpun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, berat
gabah bernas per malai, bobot 1000 butir gabah bernas, hasil tanaman per petak,
dan hasil gabah per hektar. Data dianalisis secara statistika dengan uji F tabel 5%,
dan F hitung yang lebih besar dari F tabel dilanjutkan dengan uji Duncan’s New
Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil percobaan
dapat disimpulkan bahwa umur bibit 6-14 hari di persemaian memberikan
pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi metode SRI.
Kata kunci : Umur bibit, padi (Oryza sativa L.), metode SRI
THE INFLUENCE OF SEEDLING AGE ON GROWTH AND
YIELD OF RICE (Oryza Sativa L.) USING THE SYSTEM OF
RICE INTENSIFICATION (SRI) METHOD
Abstract
An experiment on the effect of seedling age on the growth and yield of
rice (Oryza sativa L.) planted in the System of Rice Intensification (SRI) method
has been carried out at the paddy fields at Jorong Rageh, Kenagarian Sungai
Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten 50 Kota. The experiment commenced
from March to August 2013. The purpose of this experiment was to determine the
best age of seedlings in the nursery on the growth and yield of rice plants grown
in SRI method. A completely randomized block design with five treatments and
four blocks was assigned. The treatment was rice seedling age i.e 6, 8, 10, 12, and
14 days after sowing. Data collected including plant height, number of tillers per
clump, number of productive tillers, panicle length, number of grains per panicle,
weight of 1000 grains, yield per plot, and yield per hectare. Data were analysed
with analysis of variance and mean comparisons of Duncan’s New Multiple
Range Test at 5% level. Results demonstrate that all seedling age tested did not
affect the growth and yield of rice planted in SRI method.
Key words: seedling age, rice (Oryza sativa L.), SRI methods
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) adalah komoditas strategis dan merupakan sumber
makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia dengan konsumsi sekitar
140-150 kg beras per kapita per tahun. Kebutuhan akan padi terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Produksi padi nasional pada tahun
2011 mencapai 67.760.000 ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat
sebanyak 1,35 % dibandingkan tahun 2010. Kenaikan produksi diperkirakan
terjadi karena peningkatan luas pertanaman seluas 14.510 hektar (0,11 %) dan
produktivitas sebesar 0,62 kwintal/hektar 1,24 % (Badan Pusat Statistik, 2011).
Produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 1980, pada
periode 1970-1979 laju pertumbuhan produksi padi rata-rata meningkat sebanyak
1,1 % per tahun. Laju produksi padi terus meningkat pada periode 1980-1989
yaitu sebanyak 5.32 % per tahun. Namun pada periode 1990-2011 mengalami
penurunan menjadi 1,29-0,71 per tahun (Zuhri, 2012).
Penurunan produksi padi ini mengakibatkan lonjakan permintaan dengan
bertambahnya jumlah penduduk setiap tahun yang cukup tinggi yaitu sebanyak
1,49 %, jika hal ini tidak segera diantisipasi maka dikhawatirkan Indonesia akan
mengalami krisis bahan pangan yang nantinya akan berdampak buruk pada
ketahanan pangan nasional (Simarmata, 2007).
Salah satu tantangan paling besar di sektor pertanian pada saat ini adalah
upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional dari produksi dalam
negeri. Konsumsi beras akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, karena sampai saat ini upaya diversifikasi pangan pokok (sumber
karbohidrat) belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Dari sisi
lain pertumbuhan produksi padi nasional mulai menunjukkan gejala stagnan. Pada
era tahun 2000 ini, hanya meningkat rata-rata kurang dari 1 % per tahun. Lebih
rendah dibandingkan pada dasawarsa 1990 yang rata-rata meningkat 1,47 % per
tahun dan jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode tahun 1980, yang
pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 4,34 % per tahun (Lakitan, 2009).
Permasalahan baru dalam produksi padi mulai banyak bermunculan.
Berkurangnya lahan sawah karena digunakan untuk keperluan lain, kurangnya
tenaga produktif di pedesaan, berkurangnya ketersediaan air irigasi dan mahalnya
input produksi, hanyalah sebagian permasalahan yang membutuhkan jalan keluar
(Utomo, Muhajir dan Nazarudin, 2003).
Konversi lahan sawah ke pertanian lainnya, industri dan perumahan terus
meningkat. Di Indonesia, dari sekitar 8,1 juta hektar sawah, ada 3,1 juta hektar
atau 40 % terancam alih fungsi lahan. Di Sumatera Barat
Dalam 10 tahun
terakhir, alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan pengembangan perumahan dan
perkebunan lebih dari 2.000 hektar. Alih fungsi ini merupakan ancaman serius
bagi ketahanan pangan di Indonesia (Faisal, 2013).
Peningkatan produktivitas lahan sawah yang mungkin dilakukan salah
satunya adanya perbaikan dalam teknik bercocok tanam. Metode baru yang
sedang dikembangkan dalam bercocok tanam padi adalah metode The System of
Rice Intensification (SRI). Metode ini pertama kali dicobakan di Madagaskar oleh
seorang pendeta Prancis Henri de Laulanie pada tahun 1983. Penerapan SRI di
Indonesia mulai tahun 1999 dan sudah mencakup hampir seluruh propinsi di
Jawa, sebagian besar propinsi di Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Papua,
Kalimantan, dan Sumatera. Luasan areal di masing-masing daerah masih sangat
bervariasi dengan berbagai bentuk penerimaan oleh petani (Kasim, 2004).
Di Indonesia berbagai informasi menyebutkan bahwa SRI bisa
menghasilkan gabah 12-16 ton/ha. Walaupun hasil panen dilaporkan dalam
bentuk GKP (gabah kering panen), angka itu tetap jauh lebih tinggi dari hasil ratarata padi sawah konvensional yang sekitar 5 ton/ha GKG (gabah kering giling).
Sementara itu, pengembangan teknologi melalui pendekatan PTT (pengelolaan
tanaman terpadu) yang mengedepankan faktor spesifik lokasi dinilai lebih cocok
untuk dikembangkan secara luas (Syam, 2006).
Secara umum pertumbuhan dengan metode SRI cukup baik. Jumlah
anakan yang terbentuk cukup banyak. Anakan yang terbentuk sangat bagus,
namun tidak semua anakan yang produktif (menghasilkan malai atau bulir padi
yang bernilai ekonomis), karena waktu terbentuknya berbeda dan masaknya tidak
serentak.
Menurut Hasil penelitian Rozen (2008), anakan padi dengan metode SRI
lebih banyak dibandingkan dengan cara konvensional. Anakan yang terbentuk
antara 60 – 125 batang. namun yang bernilai ekonomis hanya 80 % dari total
anakan. Jumlah anakan yang terlalu banyak bisa bersifat sink, selama fase
pertumbuhan tanaman padi. Keadaan ini menimbulkan nilai negatif dalam proses
metabolisme. Banyak hasil fotosintesis yang digunakan hanya untuk pertumbuhan
vegetatif dan sedikit untuk fase generatif.
Tanaman padi dalam metode SRI akan tampak kecil, kurus dan jarang di
sawah selama sebulan atau lebih setelah transplantasi. Dalam bulan pertama,
tanaman mulai menumbuhkan batang. Selama bulan ke-2 pertumbuhan batang
mulai terlihat nyata. Dalam bulan ke-3, pertumbuhan batang semakin meningkat
(Barkelaar, 2002).
Penetapan umur bibit yang cocok untuk dipindahkan ke lapangan perlu
ditentukan. Secara umum SRI menganjurkan untuk menanam bibit muda saat
berumur 7-15 hari (Barkelaar, 2002). Pemindahan bibit yang masih muda dapat
mengurangi
guncangan
dan
meningkatkan
kemampuan
tanaman
dalam
memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang
yang muncul lebih banyak jumlahnya dalam satu rumpun maupun bulir padi yang
dihasilkan oleh malai (Kasim, 2004).
Umur pindah bibit tanaman padi harus tepat untuk mengantisipasi
perkembangan akar yang secara umum berhenti pada umur 42 hari sesudah semai,
sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal pada umur 49-50
hari sesudah semai (Astri, 2007). Penanaman bibit muda memiliki beberapa
keunggulan, antara lain tanaman dapat tumbuh lebih baik dengan jumlah anakan
cenderung lebih banyak dan perakaran bibit berumur kurang dari 15 hari lebih
cepat beradaptasi dan cepat pulih dari cekaman akibat dipindahkan dari
persemaian ke lahan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2009).
Bibit tanaman padi muda lebih cepat beradaptasi terhadap lingkungan,
membentuk perakaran lebih dalam, sehingga tanaman lebih tahan rebah, toleran
kekeringan, dan mampu memamfaatkan hara lebih efektif (Guswara dan
Kartaatmadja, 2001). Menurut pantauan di lapangan, sampai saat ini ternyata
masih banyak petani menanam bibit berumur di atas 21 hari dan menggunakan
bibit lebih dari 8 batang per rumpun.
Dari hasil penelitian Abdullah, Munir, Hamzah, Zen, dan Azwir (2000),
penggunaan bibit padi yang berumur sekitar 30 hari akan memberikan hasil yang
kurang baik, karena bibit yang digunakan relatif tua sehingga beradaptasi lambat
(stagnasi pertumbuhan setelah transplanting lebih lama), mempunyai anakan yang
tidak seragam, perakaran dangkal dan selanjutnya pertumbuhan tanaman kurang
sempurna. Pemakaian bibit yang banyak (7-10 batang per rumpun), menyebabkan
terjadinya persaingan dalam hal memperoleh unsur hara. Kondisi yang demikian
akan meyebabkan pertumbuhan tanaman lemah dan kerdil, sehingga tidak tahan
terhadap cekaman lingkungan dan akan menghasilkan menghasilkan persentase
gabah hampa yang tinggi.
Menurut hasil penelitian Aldilani (2005) dengan menggunakan varietas
Cisokan, umur bibit pindah ke lapangan yang cocok yaitu bibit muda yang masih
berumur 1 sampai 2 minggu dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm dengan hasil 3.93
– 4,52 ton per hektar.
Padi varietas Sijunjung merupakan padi lokal yang berasal dari Desa
Situjuah Banda Dalam, Kabupaten 50 Kota. Varietas ini banyak ditanam oleh
penduduk setempat dengan metode konvensional. Dalam penerapan metode SRI
untuk padi varietas Sijunjung ini masih minim dilakukan oleh petani sehingga,
penentuan bibit pindah ke lapangan yang cocok untuk varetas ini belum
dicobakan dan untuk itu perlu diteliti.
Untuk
mendapatkan
jawaban
tentang
permasalahan
yang
telah
dikemukakan, maka disusun penelitian dengan judul “Pengaruh
umur
bibit
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) metode SRI (the
System of Rice Intensification)”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan umur bibit yang
terbaik pada awal tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah
metode SRI.