PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ALWI SHIHAB.

(1)

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ALWI

SHIHAB

SKRIPSI

Oleh:

KHOIRIYAH NIM: E82211043

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Pluralisme Agama Perspektif Alwi Shihab merupakan skripsi yang

bernuansa kajian pustaka atau penelitian kepustakaan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan pengertian umum tentang makna pluralisme agama yang sebenarnya. Sejak dahulu sampai saat ini kata pluralisme banyak yang beranggapan bahwa konsep ini disebabkan sebagai konsep yang tidak sesuai dengan fitrah agama, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Penelitian yang dilakukan sebagai refleksi terhadap pemikiran salah satu tokoh kawasan Indonesia yang cukup mewakili dalam bidang studi-studi agama, yakni Dr. Alwi Shihab. Pemikiran yang dikemukakan dinilai sesuai dengan identitas dan jati diri masyarakat Indonesia dalam hal pluralisme agama itu sendiri. Disadari sebagai bangsa Indonesia selayaknya kita menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesiaan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan komperatif. Deskriptif, menjelaskan masalah terkait keharusan saling mengenal, keberagamaan keyakinan, dan keberagamaan etnis. Komperatif, membandingkan masalah-masalah tersebut antara pluralisme agama dalam Islam dan pluralisme agama menurut Alwi Shihab.

Dengan melakukan kajian kepustakaan dapat dipastikan penelitian yang kami lakukan berlandaskan terhadap beberapa buku dan teori yang sesuai dengan konsep dan pemikiran Alwi Shihab, yang pada gilirannya mampu menembus permasalahan-permasalahan yang selama ini dihadapi oleh bangsa Indonesia yang sering mengatasnamakan agama.


(6)

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN. ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian. ...1

B. Rumusan Masalah. ... 7

C. Tujuan Penelitian. ... 8

D. Manfaat Penelitian. ... 8

E. Metode Penelitian. ... 9

F. Telaah Pustaka. ... 14

G. Sistematika Penulisan. ... 15

BAB II PLURALISME AGAMA DALAM ISLAM A. Keharusan Saling Mengenal. ... 17

B. Keberagamaan Keyakinan. ... 22

C. Keberagamaan Etnis. ... 29

BAB III PLURALISME AGAMA MENURUT ALWI SHIHAB A. Keharusan Saling Mengenal. ... 36

B. Keberagamaan Keyakinan. ... 39

C. Keberagamaan Etnis. ... 47

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN A. Keharusan Saling Mengenal. ... 56

B. Keberagamaan Keyakinan. ... 57


(7)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural, keniscayaan itu diperoleh manakalah ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini artinya, pluralitas merupakan realitas masyarakat Indonesia. Menurut Heldred sebagaimana dikutip oleh Hamami Zada, di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis. Masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dengan menggunakan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa.selain diperkaya oleh agama asli penduduknya, hampir semua agama berada di bumi nusantara ini.1

Tujuan Tuhan menurunkan agama2 kemuka bumi ini tidak lain adalah mengatur pola hidup kehidupan manusia baik yang sifatnya vertical ataupun yang sifatnya horizontal. Ibadah yang sifatnya horizontal dimaknai sebagai ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah swt, contoh: sholat, haji, puasa, dan lain-lain. Ibadah yang sifatnya vertical dimaknai sebagai ibadah

1

Hamami Zada, Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-FORD Foundation, 2006), 184.

2

Agama yang di maksud dalam uraian ini adalah sifatnya samawi, yaitu agama yang langsung turun dari Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya agama itu di bagi dua macam yaitu agama samawi dan agama ardi.


(9)

yang sifatnya berhubungan dengan kehidupan sosial atau dengan bahasa lain ia bisa dimaknai sebagai ibadah yang cakupannya meliputi hablun minannas dan hablun minal alam, contohnya: sedekah, zakat fitrah, melindungi dan merawat hutan. Kebangkitan pemikiran keagamaan terjadi pada abad ke-21 M, hal ini dibuktikan dengan maraknya konflik sosial yang terjadi dimana-dimana.3 Padahal kalau kita amati, tidak semua permasalahan yang terjadi di muka bumi ini semuanya berbasis agama.

Semua agama senantiasa mengajarkan hubungan sosial yang baik dalam kaitannya dengan sesama pemeluk agamanya ataupun kaitannya dengan pemeluk agama lain. Sebagai seorang muslim kita harus bersifat terbuka dengan agama lain, dalam artian sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam bukunya Islam Kosmopolitan, ia mengemukakan bahwa sebagai seorang Islam kita harus senantiasa terbuka dengan kehidupan sosial terutama hal-hal yang menyangkut dengan orang yang berbeda pemahaman dengan kita. Hal ini disebabkan mereka juga memiliki nilai kebenaran yang menurutnya pasti kebenaran itu mutlak bagi mereka.

Islam harus memberikan rahmat bagi seluruh alam (Al-Islam rahmatan lil’alamin). Konsep ini sudah diterapkan oleh Rasulullah ketika melakukan dakwah, baik dakwah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


(10)

Bagi para pendakwah yang hidup di negara Indonesia juga selayaknya mengikuti seperti apa yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Ia seharusnya menggunakan konsep pencerahan, mauidlah hasanah, dan hal-hal yang bersifat kasih sayang bukan malah dakwahnya menggunakan cara-cara kekerasan. Tujuan dari itu semua adalah menghilangkan anggapan dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa Islam itu adalah agama kekerasan, agama yang sifatnya tertutup, dan agama yang tidak terbuka dengan agama lain. Padahal Islam yang sebenarnya tidaklah seperti itu melainkan Islam memiliki peradaban yang tinggi dalam hubungannya dengan agama lain.4

Untuk merealisasikan itu semua kita diharapkan mampu untuk senantiasa mengamalkan nilai-nilai pluralisme dalam Islam. Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang digunakan untuk menunjukkan lebih dari satu” (form of word used with reference to more than one).5 Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monoisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Pluralisme kemudian berkembang menjadi teori politik tentang bagaimana mengurus urusan bersama dengan masyarakat yang bersifat pluralistik dari segi

4

M. Zainuddin, Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 20.

5

A.S. Hornby et. al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxfort: Oxford University Press, 1972), 744.


(11)

kecenderungan politik, agama, kebudayaan, kepentingan dan lain-lain. Istilah pluralisme sebenarnya tidak berasal dari agama atau sejarah Islam, akan tetapi agama ini mengenal pengertian-pengertian yang mirip dengan itu. Monoisme dapat dilihat dari ke-Esaan Tuhan (tauhid), kesatuan makhluk Tuhan, kesatuan agama dari dulu sampai sekarang dan seterusnya. Dualisme dapat dilahat dari konsep tentang baik buruk atau ma’ruf munkar, dunia akhirat pahala dosa dan lain-lain. Sedangkan pluralisme dalam Islam antara lain dapat dilihat dari kenyataan pluralisme makhluk Allah, suku bangsa, bahasa, agama, partai/golongan, profesi, sumber daya, dan hukum.6 Sebagaimana dalam Q.S Al-Hujurat:

ك نّ مك ّْقلخ ّإ ّل ي ي

ّإ فر عتل لئ ق ب عش ْمك ّْلعج ٰىثّ ر

ري خ ميلع هلل ّإ ْمك قْت هلل ّع ْمكّرْك

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. ”7

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt telah menciptakan makhluknya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta’arafu pada ayat di atas maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi positif. Karena itu

6Abd A’la,


(12)

setiap hal yang baik dinamakan dengan ma’ruf. Jadi dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan bahwa satu dengan lainnyadapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan ayat inna akramakum ‘indallahi atqakum, maksudnya, bahwa interaksi positif itu sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini, namun yang dinilai terbaik di sisi Tuhan atau mereka yang termulai di sisi Tuhan adalah mereka yang betul-betul dekat kepada Allah. Jadi jelas Al-Quran memberikan kepada ita alasan yang rasional penciptaan manusia dengan beragam bangsa, bahasa, suku dan budaya. Lalu ditekankan dalam ayat lain, yang berbunyi:

تْخّ ّ ل ي ا ح ّ ّل لعجل كبر ء ش ْ ل

نيفل

Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. ”8

Kalau Tuhan mau, dengan gampang sekali akan menciptakan manusia semua dalam satu grup, monolitik, dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut. Tetapi Tuhan justru menunjukkan kepada realita bahwa pada hakikatnya manusia itu berbeda-beda. Ini kehendak Tuhan. Atas dasar inilah orang berbicara pluralisme.9 Berbicara pluralisme kita harus bisa memahami bahwa kehidupan di dunia ini pasti ada perbedaan yang mencolok. Maka kita harus bisa menghargai pendapat orang lain meskipun pada

8

QS. Al-Hud [11]: 118.

9Abd A’la,


(13)

dasarnya memiliki perbedaan dengan kita dan inilah tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi ini.

Allah swt memperkuat ayat tentang pluralisme dalam firman-Nya sebagai berikut:

ۚ رْيخْل ق تْس ف ۖ ْمك تآ ّ يف ْمك لْيل ْنكٰل ح ّ ْمكلعجل هلل ء ش ْ ل

ىلإ

هيف ْمتّْك مب ْمك ّيف عيمج ْمكعجْرّ هلل

ّ فلتْخت

Artinya: “Sekianya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya

satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya

kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”10

Kalau Tuhan mau niscaya Tuhan dapat menciptakan kalian ini suatu bangsa, atau satu umat, tetapi kenapa tidak? Alasannya sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan ayat, yaitu liyabluwakum fi ma atakum.. untuk menguji dengan apa yang kalian terima dari tuntunan Tuhan. Apakah kalian akan konsisten atau menyimpang. Oleh karena Tuhan mau melihat siapa yang konsisten dan siapa yang menyimpang, maka fastabiqul-khairat, berlomba-lombalah untuk menunaikan kebaikan. Jangan menyalahkan orang lain dan

merasa yang paling benar. Karena apa? Ingatlah, bahwa “kalian semua akan kembali kepada Saya, serahkanlah semuanya kepada Saya,” kata Tuhan.

“Nanti saya yang akan menyampaikan bahwa pada hakikatnya engkau salah


(14)

engkau benar maka ada ganjarannya.” Inilah kata Tuhan yang disampaikan di

penghujung ayat di atas.11

Sangat menarik untuk kemudian kita untuk mengetahui dan memahami pluralisme dalam pandangan Alwi Shihab. Setelah kita memahami pluralisme dalam pandangan Alwi Shihab perlu mepraktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari hal ini perlu dikarenakan banyak sekali orang yang belum memahami pentingnya pluralisme untuk dijadikan sebagai landasan untuk bertindak dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda pemahamannya dengan kita.

B Fokus Masalah

Dari latar belakang yang penulis uraikan di atas, dapat dikemukakan fokus masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemaknaan pluralisme agama dalam pandangan Islam? 2. Bagaimana pemaknaan pluralisme agama dalam pandangan Alwi Shihab? 3. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang pluralisme agama dalam

Islam dengan pluralisme agama dalam Alwi Shihab?

11


(15)

C. TujuanPenelitian

Dari fokus masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pemaknaan Pluralisme Agama dalam pandangan Islam

2. Untuk menjelaskan pemaknaan Pluralisme Agama dalam pandangan Alwi Shihab

3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan antara pluralisme agama dalam Islam dan pluralisme agama dalam Alwi Shihab

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis

a. Memberikan tambahan pengetahuan keilmuan secara konseptual dan pengembangan pemikiran keIslaman.

b. Menjadi sumber atau referensi atau rujukan penelitian yang berkeinginan untuk mengkaji permasalahan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini pada suatu saat nanti.


(16)

2. Secara Praktis

a. Memperkaya hasanah keilmuan dalam bidang studi agama-agama khususnya tentang pluralisme yang kebanyakan di Indonesia adalah negara yang pluralis salah satunya dalam bidang agama.

b. Menyikapi pluralisme dengan arif dan penuh toleransi serta meningkatkan kompetensi diri sebagai calon sarjana dalam bidang studi agama-agama melalui sstudi pemikiran tokoh perbandingan agama.

c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan satu informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan program studi perbandingan agama, dan untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar strata satu (S1) pada fakultas ushuluddin UINSA Surabaya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan mencapai suatu tujuan penelitian.12 Agar diperoleh penulisan dan pembahasan penelitian skripsi ini dengan hasil yang komprehensif dan dapat diajukan serta dapat

12

Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju, 1996), 20.


(17)

dipertanggung jawabkan secara ilmiah-akademis, maka diperlukan metodologi penelitian yang relevan dan sistematis yang mampu mengeksplorasi dan menganalisis berbagai sumber data yang diperoleh secara akuntabel.13

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research atau studi pustaka, yaitu penelitian yang data-datanya diperoleh dari studi pustaka atau literature terkait, studi pustaka adalah penelitian yang teknik pengumpulan datanya dilakukan di perpustakaan, dikarenakan perpustakaan merupakan tempat yang ideal untuk mengakses macam-macam sumber yang relevan dengan didasarkan atas pembacaan-pembacaan terhadap beberapa literature yang memiliki informasi dan relevansi dengan topik penelitian.14

Adapun literature tersebut dapat berupa jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmuah, majalah ilmiah, surat kabar, buku, hasil seminar dan lain sebagainya yang memiliki relevan dan alasan dipilihnya jenis penelitian studi pustaka karena topik penelitian ini merupakan studi pemikiran seorang tokoh, yang dalam hal ini adalah Alwi Shihab. Sosok Alwi Shihab adalah sosok yang memiliki pemikiran yang sangat bagus dalam kancah perkembangan Islmaic studies di negeri ini. Dalam beberapa literature

13


(18)

beliau terkenal dengan gagasan-gagasannya yang cemerlang dalam menyikapi persoalan keagamaan, mulai dari hal yang berbau sara ataupun kekerasan yang mengatasnamakan agama. Oleh karenanya yang sangat relevan adalah menggunakan jenis penelitian studi pustaka. Bukan jenis penelitian kuantitatif yang masalahnya sudah jelas dan umumnya dilakukan pada populasi, yaitu untuk mencari hubungan sebab akibat antar variabel, atau jenis penilitian kualitatif yang bertujuan mendalami suatu kasus (studi kasus) pada situasi sosial tertentunsi dengan topik penelitiannya.15

2. Metode Pengumpulan Data

Kajian ini bersifat kepustakaan, karena itu data-data yang akan dihimpun merupakan data-data kepustakaan yang representatif dan relevan dengan obyek studi ini. Adapun sumber data yang menjadi pijakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Dokumen

Berupa buku-buku tercetak pilihan yang relevan dengan masalah pluralisme agama menurut Islam dan Alwi Shihab, yang meliputi:

1) Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999).

2) Hamami Zada, Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai

15

Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D, (Bandung: Alfabeta,2009), 38.


(19)

Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-FORD Foundation, 2006).

3) Nurcholis, Madjid, Islam Doktrin Peradaban: Sebuah Telaah Krisis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992).

4) M. Zainuddin, Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010).

5) Abd A’la, Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan Yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005).

6) Adnin Armas, Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, (Jakarta: INSISTS, 2013).

7) Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)

b. Non Dokumen

Berupa catatan elektronik yang didapat melalui media internet, meliputi:

1) http://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Aga ma_yang_Inklusif_dalam_konteks_Kemanusiaan_dan_Kemaj emukan_Indonesia


(20)

2) http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/10/al-ukhuwah-al-islamiyah-persaudaraan.html

3) http://www.academia.edu/3596964/Pluralisme_dan_Agama_ Mendudukkan_Pluralisme_yang_Benar_dalam_Islam

4) http://progresivitas-islam.blogspot.com/2011/02/pluralisme-agama-menurut-pemikir-islam_27.html

c. Analisis Data

1) Reduksi data

Dipilih data yang berasal dari Al-Quran dan buku Alwi Shihab yang relevan dengan pokok bahasan.

2) Disajikan

Dari data-data yang terpilih tentang pluralisme agama ditentukan tiga variabel yang meliputi: a) keharusan saling mengenal, b) keberagamaan keyakinan, dan c) keberagamaan etnis

3) Verifikasi atau Tarik Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis menempuh dua langkah analisis data, yaitu deskriptif dan komperatif. Deskriptif, menjelaskan masalah terkait keharusan saling mengenal, keberagamaan keyakinan, dan keberagamaan etnis. Komperatif, membandingkan masalah-masalah tersebut antara


(21)

pluralisme agama dalam Islam dan pluralisme agama menurut Alwi Shihab.

F. Telaah Pustaka/Penelitian Terdahulu

Dalam penyusunan skripsi ini, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai karya-karya terdahulu yang relevan dengan pembahasan, tentang pluralisme. Misalnya, pluralisme agama Islam Inklusif, dan beberapa literature yang berkaitan dengan pemikirannya Alwi Shihab. Adapun beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. M. Zainuddin, yang berjudul Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia (2010). Dalam buku ini M. Zainuddin memaparkan tentang: a. Pemaknaan pluralisme agama, b. Perkembangannya di Indonesia dan c. Fokus kajian pluralisme agama yang tersebar di negara Indonesia.

2. Abd A’la dkk, yang berjudul Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak (2005). Dalam buku ini penulis menyebutkan: a. Pluralisme memiliki landasan teologis yang cukup kokoh dalam nilai dan ajaran Islam. b. Al-Quran ayat 13 surah al-Hujurat dan Khotbah Rasul Saw dalam haji Wada’


(22)

mencerminkan secara utuh tentang pandangan Islam mengenai pluralisme. c. Dalam realitas kesejarahan, terdapat nilai-nilai praksis kehidupan sebagaimana terekam dalam Piagam Madinah. 3. Adnin Armas, yang berjudul Pluralisme Agama: Telaah

Cendekiawan Muslim (2013). Dalam buku ini disebutkan: a. Agama dalam konteks kekinian dikalangan sosiolog disebut sebagai kemodernan. b. Meningkatnya peran agama dalam kehidupan masyarakat menjadi baik. c. Memahami agama dalam pemikiran Barat pascamodern diperlukan elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat dalam era modern.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini penulis menyusun sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pemikiran umum dari penulisan ini. Yakni menerangkan tentang pluralisme agama dalam Islam, yaitu meliputi: keharusan saling mengenal, keberagamaan keyakinan, keberagamaan etnis.


(23)

Bab III merupakan pokok pembahasan dari penulisan ini. Dimana di dalam bab ini akan dibahas lebih detail mengenai pemikiran pluralisme agama menurut Alwi Shihab, yang meliputi: keharusan saling mengenal, keberagamaan keyakinan, keberagamaan etnis.

Bab IV merupakan analisa penulis terhadap analisis perbandingan Pluralisme Agama dalam Islam dan Pluralisme Agama menurut Alwi Shihab. Yakni meliputi: keharusan saling mengenal, keberagamaan keyakinan, keberagamaan etnis.

Bab V merupakan sebagai penutup dari penulis yang mencakup kesimpulan dan saran-saran.


(24)

BAB II

PLURALISME AGAMA DALAM ISLAM

A. Keharusan Saling Mengenal

Di sini akan dijelaskan tiga fokus yang berkaitan dengan Pluralisme Agama dalam Islam, meliputi: a. Keharusan saling mengenal, b. Keberagamaan keyakinan, c. Keberagamaan etnis.

Islam sebagaimana yang telah kita ketahui selama ini merupkan salah satu agama yang memiliki pengikut terbanyak di Indonesia, bahkan Islam merupakan salah satu agama yang memiliki pengikut mayoritas terbanyak didunia. Dalam kaitannya dengan agama, Islam merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus (hudal linnas), benar dan sesuai dengan tuntunan kitap suci Al-Qur’an yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kalau kita kaitkan dengan kontets dan perubahan zaman sekarang, bagaima Islam memandang keberagaman/pluralitas yang ada dinegri ini, bahkan di dunia. Sebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah swt didalam Al Qur’an. Islam sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan Sunatullah, yang harus kita junjung


(25)

tinggi dan kita hormati keberadaannya.16 Sebagaimana ketentuan firman Allah QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

نّ مك ّْقلخ ّإ ّل ي ي

ّإ فر عتل لئ ق ب عش ْمك ّْلعج ٰىثّ رك

ري خ ميلع هلل ّإ ْمك قْت هلل ّع ْمكّرْك

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu seorang

laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi

maha mengenal. ”17

Berdasarkan ayat al-Quran ini dapat diketahui bahwa dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan agar antara satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Kepada masing-masingnya dituntut untuk dapat menghargai adanya perbedaan.18

Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil sikap toleran.19

16

http://www.kompasiana.com/www.kompasianakhoiri.com/bagaimana-islam-memandang-perbedaan_552c56536ea834f4678b4568 di akses pada 13 Mei 2015, 19.33.

17

QS. Al-Hujurat [49]: 13

18

Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme (Jakarta: PT Gramedia, 2010), 91.


(26)

Dari ayat Al-Qur’an tadi, itu menunjukan bahwa Allah sendirilah yang telah menciptakan keberagaman, artinya keberagaman didunia ini mutlak adanya. Dengan adanya keberagaman ini, bukan berarti mengenggap kelompok, madzab, ataupun keberagaman yang lain sejenisnya mengenggap kelompoknyalah yang paling benar. Yang musti kita ketahui disini adalah, keberagaman sudah ada sejak zaman para sahabat, yaitu ketika Nabi wafat, para sahabat saling mengklaim dirinyalah yang pantas untuk menjadi pengganti Nabi. Dan bahkan sampai saat ini, keberagaman terus berkembang dengan pesatnya, sehingga memunculkan banyak aliran kepercayaan, dan adanya segolongan kelompok yang menganggap dirinyalah yang paling benar.

Melihat keberagaman yang terjadi saat ini, Allah swt telah memberikan jalan keluar untuk menyikapi keberagaman tersebut, yaitu pandanglah keberagaman sebagai rahmat yang harus disyukuri, dan angaplah keragaman merupakan nikmat dari Allah. Artinya, dengan adanya keberagaman kita bisa saling mengenal, berdialog, menguji argument, dan saling mempertajam pikiran dalam mengembangkan kehidupan. Karena jika tidak ada keberagaman, agama akan berjalan ditempat, artinya agama akan stagnan dan tidak mempunyai ruang untuk memperluas pengetahuan. Di dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran: 103) telah disebutkan, yang artinya” dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah


(27)

kamu bercerai berai”, kalau kita artikan secara literal ayat diatas, maka yang

ada keberagaman-keberagaman tidak mendapatkan tempat.

Keberagaman disini musti kita kasih tempat, artinya keragaman itu pasti ada, dan yang terpenting adalah menempatkan keberagaman ini, supaya dikelola dan di kaji secara baik dan benar, agar tidak menimbulkan perpecahan dan hal-hal yang tidak kita inginkan. Dengan demikian, keragaman akan mengerah kepada menejemen konfik yang disebut

dengan”Mutual Enrichment” arttinya, saling mengayakan, memperkaya,

dengan kelompok lain, bukan malah saling bertengkar. Karena masing-masing kelompok menginginkan sesuatu hal yang baru yang belum pernah ia miliki, atau mereka temui. Artinya dengan adanya keberagaman ini, mereka akan saling belajar, bertukar pikiran, dan beradu argument, untuk mencari sebuah kebenaran.20

Adanya interaksi dapat lebih mengenal karakter individu. Perkenalan pertama tentunya kepada penampilan fisik (Jasadiyyan), seperti tubuh, wajah, gaya pakaian, gaya bicara, tingkah laku, pekerjaan, pendidikan, dsb. Selanjutnya interaksi berlanjut ke pengenalan pemikiran (Fikriyyan). Hal ini dilakukan dengan dialog, pandangan thd suatu masalah, kecenderungan berpikir, tokoh idola yang dikagumi/diikuti,dll. Dan pengenalan terakhir adalah mengenal kejiwaan (Nafsiyyan) yang ditekankan kepada upaya


(28)

memahami kejiwaan, karakter, emosi, dan tingkah laku. Setiap manusia tentunya punya keunikan dan kekhasan sendiri yang memepengaruhi kejiwaannya. Proses ukuhuwah islamiyah akan terganggu apabila tidak mengenal karakter kejiwaan ini.21

Pluralisme agama dalam dunia pemikiran Islam tergolong baru.22 Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat Modern dalam dunia Islam. Gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya), Frithjof Schoun (Isa Nuruddin Ahmad), dan Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Arkun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dan sederet pemikir-pemikir Islam yang lain. Wacana pluralisme agama mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan seiring dengan fenomena kebangkitan agama-agama yang dibarengi dengan krisis modernitas.

21

http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/10/al-ukhuwah-al-islamiyah-persaudaraan.htmldi akses pada 08 April 2015, 22.34.

22

Menurut Arkoen, bahwa tradisi Islam klasik terdapat elemen-elemen yang eklusif-intoleran, sekaligus inklusif-toleran. Banyak sekali elemen-elemen intoleran dan hanya sedikit sekali elit yang mengenal konsep toleran yang sejajar dengan konsep toleran moden. Arkoen menegaaskan bahwa konsep toleransi moden baru dikenal dalam tradisi Islam abad ke 19 M. Menurut Arkoen belum ada dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan konsep toleransi dan in-toleransi secra eksplisit dalam tradisi Islam. Ketiadaan nomenklatur toleransi dan in-toleransi ini disebabkan konsep tersebut merupakan “wilayah yang tak terpikirkan” dalam wacana pemikiran Islam klasik dan skolastik. Sejara jelas bisa dilihat dalam Mohammed Arkoen, Al-Fikr al-Islami:Qira’ah ‘Ilmiyah, Cet IV (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1994), 7.


(29)

Sedangkan krisis modernitas itu bersumber dari paradigma humanisme yang memosisikan manusia sebagai penguasa tunggal, dan mengabaikan

adanya “Realitas Mutlak”. Pada perkembangan selanjutnya modernitas

melahirkan corak pemikiran yang mengarah pada rasionalisme, liberalisme, positivisme, materialisme, pragmatisme, dan juga sekularisme.

Melihat perkembangan dunia sebagaimana diuraikan di atas, maka kiranya perlu menyandingkan wacana pluralisme agama dalam perspektif Islam. Karena di era globalisasi sekarang ini, masyarakat harus bersedia hidup melampaui sekat etnis, budaya, juga sekat agama. Untuk menyelenggarakan kehidupan yang harmonis, mereka dituntut untuk sanggup menghadapi realitas kebinekaan (pluralisme).

Dalam Islam, pluralisme merupakan gagasan bahwa secara hakiki manusia memiliki kesatuan metafisik, karena dalam diri setiap orang terdapat semangat Ilahiyah. Basis teologi inilah yang pertama digunakan oleh Nabi Muhammad ketika di Makkah yang populer dengan paham Ketuhanan Yang maha Esa (Tawhid).23

23

Kalimah tawhid yang terdokementasikan pada kalimah La ilah illa Allah di sini bukan hanya merupakan gerakan teologi (keimanan) saja. Akan tetepi yang lebih urgen adalah merupakan gerakan sosial, seruan tersebut ditujukan pada masyarakat Arab yang pada waktu itu lagi menuhankan harta bendanya, etnis, dan juga menuhankan agamanya. Maka dengan kalimah tawhid itu mengingatkan kembali bahwa tidak ada Tuhan (harta benda, etnis, dan agama) kecuali Allah. Dikatakan sebagai gerakan sosial karena masih banyak didapatkan sesembahan-sesembahan berhala yang tidak dihancurkan oleh Rasulullah. Lihat dalam


(30)

B. Keberagamaan Keyakinan

Pluralisme di kalangan umat Islam tidak bisa bebas tanpa kontrol, ada aturan, ada batas-batas yang ditolerir ada yang tidak. Sebenarnya, tanpa disadari, umat Islam selama ini sudah menjalankan kontrol dan pembatasan bahwa pluralisme dalam Islam tidak bebas mutlak. Umat Islam meyakini al-Qur'an itu harus sama, harus asli dan otentik, tidak boleh ada perbedaan yang disebabkan oleh perubahan yang dilakukan manusia karena al-Qur’an adalah wahyu Tuhan.24

Keberagaman yang sejati itu bukanlah dengan memaksakan orang lain supaya mengikuti suatu ajaran tertentu, melakukan penindasan dan lain-lain sehingga tidak bisa mendatangkan ketentraman dan peningkatan spiritual melainkan kegundahan.

Jadi, sikap menghargai pluralisme adalah sikap yang natural, logis dan merupakan bagian dari perwujudan tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah.25 Sebagaimana ketentuan firman Allah QS. Al-Hud ayat 118 yang berbunyi:

نيفلتْخّ ّ ل ي ا ح ّ ّل لعجل كبر ء ش ْ ل

Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan

manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. ”

24

http://www.academia.edu/3596964/Pluralisme_dan_Agama_Mendudukkan_Plurali sme_yang_Benar_dalam_Islam di akses pada 17 Agustus 2015, 13.39.

25

http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/toleransi-tanpa-kehilangan-sibghah/ di akses pada 24 Juli 2015, 18.20.


(31)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kalau Tuhan mau, dengan sangat mudah akan menciptakan manusia dalam satu group, monolitik, dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal-hal tersebut. Tuhan malah menunjukkan kepada realita, bahwa pada hakikatnya manusia itu berbeda-beda, dan atas dasar inilah orang berbicara tentang pluralisme.

Dalam ayat itu muncul tiga fakta yaitu kesatuan umat di bawah satu Tuhan: kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para Nabi: dan berperan wahyu (Kitab Suci) dalam mendamaikan perbedaan di antara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental al-Quran tentang pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui titik temu atau kesatuan manuisia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antarumat beragama. Kemajemukan sangat dihargai dalam ajaran Islam, karena Islam sebagai al-din merupakan agama Al-lah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah itu adalah kemajemukan yang hakikatnya bersumber dari ajaran agama.

Manusia mulanya diciptakan satu umat dan diberi ajaran Allah. Tetapi ajaran Allah itu kemudian dirusak oleh sifat mementingkan diri (egoisme), sehingga timbullah perbedaan-perbedaan (individu, ras, bangsa). Atas dasar kasih Allah yang tak terhingga, Allah pun selalu mengutus para rasul untuk


(32)

menyampaikan kembali ajaran yang sama yang disesuaikan dengan keanekaragaman mental umat manusia, dengan sekaligus hendak menguji mereka dengan segala pemberian-Nya, dan mendorong berlomba dalam kebaikan dan ketakwaan dan yang demikian ini akan membawa merekamenuju kepada tauhid dan kebenaran.

Jika Al-Quran menyebutkan ada banyak wahyu dan rasul serta kebenarannya masing-masing, maka konsekuensinya adalah segenap umat Islam menerima ajaran ini sebagai keyakinan. Tentu saja salah satu rangkaian dari wahyu-wahyu itu adalah al-Quran sendiri yang merupakan kitab suci yang datang setelah beberapa kitab suci sebelumnya, dan al-Quran membawa kebenaran dan membenarkan kitab-kitab suci sebelumnya itu (Qs. 5: 48). Lebih jauh, konsekuensi apa yang dituturkan al-Quran itu adalah bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama lain yang telah hidup sebelumnya. Ini seperti yang sudah dikemukakan dalam analisis pemikiran para intelektual Islam Progresif di atas berarti merupakan fondasi penerimaan pluralisme agama.

Implikasi dari memandang sejarah sebagai landasan diturunkannya pesan langit adalah bahwa semua agama, dalam satu atau lain hal, saling terikat dan karenanya, memiliki satu tujuan yang sama, yang disebut Islam, yaitu ajaran kepasrahan kepada Allah sepenuhnya. Dalam hal ini, bukan kebetulan, jika Islam adalah nama terakhir pesan yang ditunjukkan sepanjang


(33)

sejarah. Kesimpulan dari teologi ini, bahwa agama-agama tidak dapat menjadi saingan, tetapi hanya menjadi sekutu (sahabat) agama lainnya. Dalam Islam, gagasan tentang universalitas wahyu Tuhan selalu memainkan peran kunci dalam membentuk teologi Islam tentang agama-agama. Akibat keyakinan ini, kaum Muslim mampu berpartisipasi dalam esensi dan pendekatan keagamaan terhadap tradisi lain.

Kebenaran dalam agama-agama itu diturunkan oleh al-Quran,

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang

Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar -benar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka, mereka tidak perlu khawatir dan

bersedih. ” Ayat ini memang biasa dibantah oleh kelompok eksklusif (Islam

Radikal) dengan mengatakan: Pertama, ayat itu telah mansukh (dibatalkan) oleh Q. 3: 85. Kedua, ayat ini hanya mengacu kepada umat Yahudi, Nasrani,

dan Sabi’in sebelum Nabi Muhammad saw. Ketiga, mereka memandang

Allah hanyalah Tuhan milik umat Islam. Menjawab bantahan tersebut, bahwa kosa kata Islam dalam Q. 3: 85 bukan menunjukkan kepada Islam sebagai agama formal yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., tetapi mengacu kepada Islam dalam pengertian umum, yakni sikap pasrah kepada Tuhan, yang merupakan misi segenap risalah langit. Pengertian demikian akan


(34)

(Ibrahim), Islam-lah (pasrahlah) engkau!’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Aku Islam (pasrah) kepada Tuhan pemelihara alam semesta’ ”

Al-Quran secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama (Q. 2: 62) da menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal saleh) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka.

Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan

Thabathaba’i. menurut Ridla seorang pemikir besar Mesir awal abad lalu

semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok dengan menzalimi kelompok yang lain.

Thabathaba’I seorang pemikir besar Iran abad lalu dengan bahasa yang berbeda menyatakan, “Tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa member

kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal saleh. Aturan ini berlaku

untuk seluruh umat manusia”.Rasyid Ridla menegaskan, “Keselamatan tidak

dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan

yang benar dan kebajikan”.26

Kaum Muslim adalah kaum yang ber-Islam yang tunduk patuh, pasrah, dengan kedamaian (salam) kepada Tuhan,

26

Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme (Jakarta: PT Gramedia, 2010), 92-96.


(35)

sebagaimana kaum mukmin yang beriman, sepenuhnya percaya kepada Tuhan.27

Hal ini diperkuat oleh pandangan Nurcholis Madjid, bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh identitas etnis, rasionalitas atau agama, namun kebenaran adalah ditentukan Islam yang termanifestasi pada wahyu Ilahi dalam al-Qur’an. Namun, karena terpengaruh oleh ambisi politik dan nilai -nilai yang bersifat primordial seringkali umat Islam mengorbankan universalitas kebenaran28

Atas dasar itu pemikir kontemporer seperti Abdullah Ahmad

An-Na‘im menyerukan kepada semua masyarakat Muslim hendaknya mampu

menangkap semangat kemanusiaan yang ada dalam pluralisme tersebut sebagai basis wacana dalam mempertimbangkan kemajemukan (diversity) antar pemeluk agama yang berbeda-beda, keanekaragaman agama justru merupakan mobilitas sosial umat Islam dalam menciptakan perdamaian sepanjang mereka bersedia untuk terlibat aktif dalam mengelolanya secara konstruktif.29

Salah satu pemikir kontemporer yang banyak memberikan spirit pluralisme agama di dunia Islam adalah Jamal al-Banna. Dalam membangun

27

Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 42.

28


(36)

pemikiran pluralisme, ia berangkat dari argumen teologis yaitu, bahwa yang

esa adalah hanya “Allah”. Segala sesuatu selain Allah pasti beragam. Alam

semesta, elemen-elemen masyarakat, dan ajaran agama sangat beragam. Tetapi Allah hanyalah satu. Dengan demikian, barangsiapa mengakui keesaan Allah, maka ia harus mengakui keberagamaan entitas selain Allah. Tidak lain salah satunya adalah keberagaman agama. Inilah menurut Jamal merupakan

tawhid yang murni.30

C. Keberagamaan Etnis

Bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang beragam (multi etnis) baik dilihat dari suku bangsa, budaya, agama, bahasa dan lainnya. Kondisi kebe-ragaman ini merupakan kenyataan dan kekayaan yang tidak ada bandingannya, sehingga harus dilihat sebagai sebuah potensi yang sangat luar biasa. Dilihat dari potensi yang ada baik sumber daya alamnya (SDA) maupun sumber daya manusianya (SDM), negara Indonesia sangat mungkin untuk bisa menjadi negara adi daya di dunia. Karena untuk menjadi negara besar, maka luas wilayah dan jumlah penduduknyapun harus besar dan syarat ini sudah dipenuhi oleh negara Indonesia. Untuk bisa menjadi negara besar langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana rakyat Indonesia

30

Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, terj. Taufik Damas (Jakarta: Menara, 2006), 15.


(37)

yang beraneka ragam itu memiliki kesamaan pandangan dan memiliki satu nasionalisme yaitu Indonesia.

Sebagai bangsa Indonesia kita harus mengedepankan persamaan persamaan yang ada, bukan mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Kita harus menggali persamaan-persamaan yang ada pada setiap suku bangsa. Sebab kenyataannya bangsa Indonesia yang beranekaragam itu lebih banyak persamaan-persamaannya dari pada perbedaanperbedaannya.

Sebagai bangsa yang beranekaragam, kita harus mau menerima perbedaan-perbedaan itu. Semua sikap dan prilaku kita tidak boleh diskriminatif, yaitu suatu sikap yang membeda-bedakan karena adanya perbedaan suku bangsa. Semua suku bangsa yang ada harus dipandang sama sebagai bangsa Indonesia, sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sikap membeda-bedakan akan menyebabkan kita menjadi sulit dan serba terbatas, sehingga kita menjadi sempit dan picik. Dalam hal ini harusnya kita mencontoh rakyat Amerika. Rakyat Amerika berasal dari berbagai ras dan suku bangsa seluruh dunia. Namun mereka jiwa dan raganya berkata bahwa saya adalah bangsa Amerika, Amerika adalah negara kami yang harus kami bela dan junjung tinggi. Memang pemerintah Amerika telah sukses dengan program Amerikanisasi, yaitu suatu program bagaimana mengamerikakan bangsa Amerika.


(38)

Sikap toleransi juga harus dikembangkan dalam masyarakat kita yang multi agama. Kita harus merasa bangga bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa dimana bertemunya agama-agama besar dunia. Semua agama besar dunia seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dapat tumbuh berkembang dengan subur di bumi Indonesia. Jarang ada suatu bangsa dimana agama-agama besar dunia itu hidup tumbuh subur berdampingan secara damai. Sikap toleransi ini tidak lain intinya adalah pengakuan terhadap agama dan kepercayaan yang dianut oleh orang lain, berdasarkan kepada pengakuan ini, maka membiarkan orang lain untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Sikap toleransi ini muncul karena didasari oleh adanya jiwa kebangsaan yang tinggi yang lebih mengedepankan persatuan bersama, ketimbang mengelompokkan diri berdasarkan kelompokknya masing-masing.

Sikap menghargai dan tidak memandang suku bangsa lain lebih rendah dari suku bangsanya, juga merupakan sikap yang dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang beraneka raga ini. Dengan memandang semua suku bangsa memiliki harkat dan derajat yang sama, maka pergaulan yang diciptakan adalah pergaulan yang sederajat. Pergaulan yang lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan bersama. Tidak memiliki pandangan, penilaian dan sikap negatif terhadap suku bangsa lain. Janganlah sekali-kali memandang negatif terhadap suku bangsa lain. Mungkin pandangan-pandangan negatif itu telah ada pada diri kita yang berasal dari


(39)

pandangan orang tua kita, atau orang lain yang menganggap negative terhadap suatu suku bangsa. Pandangan ini lebih bersifat subyektif dari pada objektif . Jadi kita harus menghilangkan stereotip negatif dan kita harus mengembangkan pandangan-pandangan yang positif terhadap suku bangsa yang lain. Sebab kita juga dengan memiliki sikap tepo seliro, akan merasa sakit hati apabila dipandang rendah oleh suku bangsa lain.31 Sebagaimana ketentuan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 48, yang berbunyi:

ق تْس ف ۖ ْمك تآ ّ يف ْمك لْيل ْنكٰل ح ّ ْمكلعجل هلل ء ش ْ ل

هلل ىلإ ۚ رْيخْل

ّ فلتْخت هيف ْمتّْك مب ْمك ّيف عيمج ْمكعجْرّ

Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa

yang telah kamu perselisihkan itu.”

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah Swt mengutus para nabi dan menurunkan syariat kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada manusia sepanjang sejarah. Sayangnya, sebagian dari ajaran-ajaran mereka disembunyikan atau diselewengkan. Sebagai ganti ajarah para nabi, mereka membuat ajaran sendiri yang bersifat khurafat dan khayalan. Sementara ayat ini menyinggung kedudukan tinggi al-Quran sebagai pembenar kitab-kitab samawi, juga menyebutnya sebagai penjaga kitab-kitab


(40)

tersebut. Dengan menekankan terhadap dasar-dasar ajaran para nabi terdahulu, al-Quran juga sepenuhnya memelihara keaslian ajaran itu dan menyempurnakannya.

Menyikapi adanya banyak agama, ada pertanyaan mengapa Allah Swt tidak menetapkan sebuah agama dan syariat yang satu untuk semua masyarakat sepanjang sejarah, sehingga hal ini tidak akan menimbulkan perselisihan? Menjawab pertanyaan ini, ayat ini menegaskan, Allah Swt mampu menjadikan semua masyarakat sebagai umat yang satu, serta mengikuti satu agama, Tapi hal ini tidak sesuai dengan prinsip penyempurnaan dan pendidikan manusia secara bertahap. Sebab, dengan berkembangnya pemikiran umat manusia, maka banyak hakikat yang harus semakin diperjelas dan metode yang lebih baik dan sempurna juga harus dipaparkan untuk kehidupan manusia.

Persis seperti tingkatan kelas dalam sebuah sekolah, yang memberikan pendidikan sesuai dengan perkembangan pengetahuan pelajarnya. Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia dalam penciptaan yang menjadi lahan untuk berbagai ujian Tuhan dan jalan untuk menumbuhkan berbagai kemampuan, bukan malah menjadi ajang perdebatan. Semua orang dengan kadar kemampuan dan fasilitas yang ia punyai, harus berlomba dalam melaksanakan kebaikan, dimana Allah Swt


(41)

senantiasa melihat dan memantau terhadap perbuatan manusia dan bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tersembunyi.32

Peradaban Islam humanis sebagaimana yang pernah dikembangkan Rasulullah di Madinah tersebut juga pernah terjadi pada masa Dinasti Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di Mesir, Turki Usmani di Turki, dan Mughal di India. Dinasti-dinasti tersebut dalam membuat kebijakan terhadap kaum minoritas berdasarkan etika humanisme dalam al-Qur’an yang secara intrinsik ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam komunitas Madinah.33

Sikap pluralitas Rasulullah di Madinah ditunjukkan bukan hanya pada pluralitas dalam tataran etnis saja, akan tetapi juga pluralitas dalam tataran agama juga. Hal ini dapat kita lihat tanggapan Rasulullah terhadap kaum Nasrani di Madinah, hal ini terlihat ketika delegasi Kristen dari Najaran datang kepada Nabi Suci (saw). Dalam pertemuan dengan Rasulullah saw di Masjid Nabi di Madinah itu, waktu bagi peribadatan Kristen telah tiba dan mereka ingin segera berangkat. Rasulullah saw menawarkan kepada mereka untuk beribadah di masjid. Kemudian Setelah itu terbentuklah persetujuan dengan orang-orang Kristen Najran yang menjamin kebebasan mereka dalam

32

http://indonesian.irib.ir/islam/al-quran/item/55325-Tafsir_Al-Quran,_Surat_Al-Maidah_Ayat_48-50 di akses pada 15 Agustus 2015, 20.35.

33

Seperti contoh keberhasilan Fatimiyah di panggung politik internasional pada waktu itu dikarenakan adanya toleransi etnis dan agama yang begitu luar biasa demi stabilitas administrasi negara Fatimiyah pada waktu itu. Lihat dalam Farhad Daftary, The Isma’ilis:


(42)

beragama dan menetapkan kewajiban bagi umat Islam untuk melindungi gereja-gereja mereka. Tidak ada gereja yang harus dihancurkan dan juga tidak akan ada satupun imam yang akan diusir atau dikeluarkan. Hak-hak mereka juga tidak akan dikurangi dan takkan ada satupun orang Kristen yang diminta untuk mengubah imannya. Pernyataan ini menyatakan bahwa Nabi SAW memberikan jaminan pribadinya. Perjanjian ini selanjutnya menyatakan bahwa jika umat Islam ingin membantu membiayai perbaikan gereja-gereja Kristen, itu akan menjadi tindakan kebajikan bagi mereka.34

34

Abd al-Rahman al-Suhaili, Al-Raudh al-Unuf fi Syarh, 253. Lihat juga dalam Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Kairo: Ali Shubaikh wa Auladuh, 1968), 129.


(43)

BAB III

PLURALISME AGAMA MENURUT ALWI SHIHAB

A. Keharusan Saling Mengenal

Di sini akan dijelaskan tiga fokus yang berkaitan dengan Pluralisme Agama dalam Islam, yang meliputi: a. Keharusan saling mengenal, b. Keberagamaan keyakinan, c. Keberagamaan etnis.

Sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab, bahwa umat Islam dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena nyata.35 Sebagaimana ketentuan dalam firman Allah yakni QS. Al-Hujurat ayat 13, Alwi Shihab mengemukakan dalam ayat Al-Quran yang berbunyi:

ّإ فر عتل لئ ق ب عش ْمك ّْلعج ٰىثّ رك نّ مك ّْقلخ ّإ ّل ي ي

ْك

ري خ ميلع هلل ّإ ْمك قْت هلل ّع ْمكّر

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu seorang laki

-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.36


(44)

Pluralisme agama dalam hal ini, harus benar-benar dapat dimaknai sesuai dengan akar kata serta makna sebenarnya. Hal itu merupakan upaya penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan

terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”. Bertolak dari akar

kata yang pertama yaitu pluralisme, kata pluralisme berasal dari bahasa

Inggris yang berakar dari kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk.

Atau meminjam definisi Martin H. Manser dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary: “Plural (form of a word) used of referring to more than one”37

.

Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme berarti: “Teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”.38

Secara bahasa, pluralisme berasal dari dari kata pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Sedangkan secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansional termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak.39

37

Marsen, Martin H, Oxford Leaner’s Pokcet Dictionary, (Oxford University, 1999), Third Edition, 329.

38

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, 604.

39

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 75.


(45)

Dalam hal ini beberapa tokoh juga mendenifinisikan pluralisme dalam berbagai pendapatnya antara lain: Menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat disimpulkan menjadi 3 yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam hal ini Kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interksi sosial. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat

disamakan dengan relativisme. Paham relativisme menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni

menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. 40

Dengan mengutip pendapatnya Fazlur Rahman dalam Interpretation in the Al-Qur′an, ia menyatakan bahwa terdapat beberapa ayat Al-Qur′an yang menunjukkan kepada nilai pluralisme Islam, yang apabila kita hayati maka diharapkan hubungan antar sesama kita, manusia dengan segala macam

40


(46)

41-keanekaragaman ideologi, background sosial, etnik, dan sebagainya dapat terjembatani melalui nilai-nilai pluralisme Islam ini.

B. Keberagamaan Keyakinan

Keberagamaan keyakinan menurut Alwi Shihab adalah sebagai peristiwa-peristiwa kekerasan baik terhadap individu maupun terhadap kelompok. Penyerangan dilakukan oleh sekelompok organisasi massa keagamaan dengan mengatasnamakan agama ataupun Tuhan. Fenomena intoleransi anatara umat beragama tersebut masih terus berlangsung sampai detik ini.41 Padahal kalau kita perlu meyakini, Alwi Shihab tidak mengajarkan sesuatu yang berbau kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Alwi sendiri memaknai keberagamaan keyakinan adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang patuh dan tunduk

kepada Tuhan disebut Muslim, bentuk jamaknya adalah “muslimin”.42

Dalam kepasrahan ini terkandung keyakinan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran ini dalam Islam disebut Tauhid. Ini adalah inti dan prinsip tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi agama yang dibawa Oleh Rasulullah SAW, tetapi juga dalam semua

41

Persitiwa kekerasan atas nama agama yang cukup fenomental adalah penyerangan brutal beberapa ormas keagamaan dan dengan atribut keagamaan di silang Monas pada 1 Juni 2008.

42 Asy’ari dkk,


(47)

agama agama yang dibawa para utusan Tuhan.43 Sebagaimana ketentuan firman Allah, Alwi Shihab mengemukakan QS. Al-Hud ayat 118, yang berbunyi:

نيفلتْخّ ّ ل ي ا ح ّ ّل لعجل كبر ء ش ْ ل

Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia

umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.

Maka, dengan adanya keberagaman itu memberikan kesempatan kepada manusia untuk menguji keimanan yang dipilihnya. Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya sebagai dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Karena Islam tidak menganut adanya hierarki religious, setiap Muslim bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Namun demikian, karena ajaran Islam bersifat universal dan dutujukan kepada seluruh umat manusia, kaum Muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia di sepanjang sejarah.

Dalam bahasa Islam, tindakan menyebarkan dan mengomunikasikan pesan-pesan Islam ini merupakan esensi dakwah. Dakwah adalah istilah teknis yang pada dasarnya dipahami sebagai upaya untuk mengimbau orang lain ke arah Islam.

Kewajiban berdakwah merupakan perintah yang ditetapkan bagi kaum beriman sejak awal masa kenabian Muhammad Saw. Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk mulai berdakwah sejak tahun-tahun awal


(48)

kerasulannya, dan perintah ini kemudian diluaskan kepada seluruh pengikutnya. Aktivitas dakwah, karenanya, bukanlah tugas yang harus diemban oleh sekelompok pendakah profesional atau aktivitas paro-waktu semata. Setiap Muslim baik yang berpendidikan maupun tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dakwah, tanggung jawab itu lebih besar lagi bagi orang yang berilmu dan arif.

Salah satu tujuan utama dakwah adalah perubahan perlahan masyarakat serta transformasi kontinu masyarakat untuk makin mendekatkan diri mereka ke jalan yang lurus. Karena Islam mengajarkan dan membimbing orang untuk tidak menjadi saleh dan benar sendiri saja, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki orang lain.

Dakwah, yang harus bersumber dari Al-Quran dan Sunnah bukanlah sebuah proses unilateral atau satu arah. Dakwah harus melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijakan, perhatian, dan kesabaran. Hanya jika audiens memiliki hati dan telinga yang terbuka untuk menerima, barulah pesan disampaikan dapat diterima. Dengan kata lain, dakwah harus dicapai melalui pengertian dan kasih sayang. Dakwah harus dilakukan secara perlahan dengan prioritas yang pasti. Iman harus merupakan tonggak terpenting dalam semua kegiatan dakwah.

Satu hal yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa umat Islam, meski dinyatakan dalam Al-Quran sebagai “umat terbaik” dan “umat


(49)

pertengahan”, sebagian besar gagal dalam tugas dakwah mereka kepada seluruh umat manusia. Tanggung jawab ‘amr bil ma’ruf wal nahyi ‘an al -munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk) tidak hanya terbatas kepada kaum Muslim, tetapi ditujukan kepada seluruh umat manusia. Tetapi untuk dapat mencapai seluruh manusia, kaum Muslim mesti membersihkan niat mereka jika ingin menampilkan saksi yang dapat dipercaya semua orang, karena Al-Quran jelas-jelas menyatakan bahwa menjadi saksi kebenaran adalah tujuan dibalik kejadikannya kaum Muslim sebagai umat terbaik.

Menjadi saksi kebenaran dengan menjadi teladan adalah penting untuk mencapai kesuksasan dalam dakwah. Karena bagaimana mungkin kita dapat mengajak orang untuk membangun karakter moral yang tinggi dan mencegah aktivitas yang tidak Islami jika sang dai itu sendiri tidak secara terang-terangan memperlihatkan akhlak baik yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Barangkali tidak keliru jika dikatakan bahwa metode untuk mengomunikasikan pesan tidak begitu penting sepanjang kehidupan sang dai sebagai komunikator pesan sudah baik. Karena cara hidup itu harus mampu untuk berbicara dirinya sendiri dan memesonakan orang lain dengan religiositas dan kesederhanaannya. Teladan-teladan ideal Islam sebagaimana yang diperlihatkan oleh dai perlu ditampakkan, agar memampukan orang lain


(50)

(khususnya orang-orang yang mempunyai sedikit pengetahuan atau persepsi jelek tentang Islam) untuk melihat, merenungkan, dan akhirnya terkesan.

Al-Quran mengajarkan kita bahwa kebenaran harus disebarluaskan dan diperlihatkan. Oleh karena itu, memiliki pengetahuan tentang kebenaran harus menggiring kepada dakwah. Kelanjutan bermakna dari dua wahyu pertama iqra’ dan qalam (belajar dan memiliki pengetahuan) sebagai manifestasi tertinggi kemahapemurahan Allah disertai dengan perintah untuk

“bangkit dan peringatkan” dari Surah Al-Mudatstsir menjadikan wajib (bagi setiap Muslim) untuk menyebarkan pengetahuan tentang kebenaran. Jika tercapai, ini akan merupakan salah satu metode dakwah paling efektif baik untuk kalangan Muslim maupun non-Muslim di seluruh permukaan bumi.

Ayat-ayat Al-Quran di atas mengajarkan bahwa Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan, menghendaki adanya versi dakwah yang lebih luas cakupannya. Dakwah antara lain harus memecahkan kebutuhan mendasar orang akan jaminan kesejahteraan, karena hal itu sesuai dengan norma-norma keadilan sosial dan kerja sama persaudaraan. Dakwah harus ditujukan untuk menghidupkan kembali semangat Islam melalui pendidikan yang layak yang menjadikan setiap Muslim duta yang potensial bagi Islam. Dalam hal ini, masa depan dakwah tergantung pada apresiasi terhadap kebutuhan kontemporer keluarga manusia.


(51)

Dalam analisis akhir, dakwah hanya akan mencapai arti pentingnya

yang sejati yaitu “mengajak kea rah yang baik” jika ia dapat memfungsikan kembali lembaga agama yang telah diambil alih oleh lembaga-lembaga sekular. Apa yang menjadi tujuan utama agama yakni member tuntunan bagi umat manusia, menawarkan makna bagi hidup, memajukan solidaritas manusia dan mendorong perubahan sosial telah digantikan oleh nilai-nilai sekular akibat globalisasi budaya, kecenderungan meterialistik, dan rasionalisme berlebihan dari kehidupan kontemporer.

Tak kalah pentingnya, dakwah harus dilakukan dalam semangat kebersamaan dan dengan cara bersama-sama. Kerja sama dalam kebaikan dan dalam menegakkan kebenaran bukan hanya merupakan kewajiban agama, tetapi kebutuhan vital.44

Kenyataan bahwa Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religious yang unik. Di bawah pengaruh-pengaruh demikian, kebudayaan Indonesia menjadi sangat mejemuk dengan beragam agama dan kepercayaan yang dianut penduduknya. Oleh karena itu, pemeliharaan kerukunan dan toleransi menjadi penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perselisihan antarkelompok penganut agama yang berbeda dapat dengan mudah menjadi factor penyebab konflik dan perpecahan di negara ini. Karena itulah pemerintah Indonesia telah berupaya terus-menerus untuk menumbuhkan


(52)

kerukunan beragama melalui realisasi tiga jenis interaksi agama. Pertama, saling toleransi dan menghormati antaragama; kedua, toleransi antara berbagai kelompok dalam sebuah agama, ketiga, toleransi antara semua agama dan agen-agen pemerintah.

Dengan latar belakang historis dan religious inilah dakwah di Indonesia harus menentukan prioritasnya. Pertama-tama, orientasi kerja dakwah ke arah perwujudan ummatan washatan (umat pertengahan dan berorientasi pada kualitas), kemudian untuk menumbuhkan perkembangan kehidupan beragama yang sehat dan damai melalui dialog yang konstruktif. Dakwah dapat mengambil berbagai bentuk dan ukuran. Sekalipun dakwah diterima sebagai jalan untuk mengajak orang memeluk Islam, atau sebagai cara bagi seorang Muslim untuk memperteguh keimanannya, pencermatan lebih tajam tentang istilah dakwah akan mengungkapkan bahwa dakwah itu memiliki berbagai aspek. Selain menjadi saksi atas kebenaran Islam, penekanan dakwah harus selalu menampilkan Islam yang menarik sehingga orang-orang di luar Islam akan tergerak ke arahnya.

Dialog tidak berarti penghentian kegiatan dakwah, tetapi justru memperkaya dan memeliharanya. Melalui dialog dengan orang lain, kita mampu mengindentifikasi isu-isu seperti masalah sosial, politik, ekonomi, perilaku secara satu persatu dan membuatnya menjadi fokus kita bersama. Dengan dialog semua isu itu bisa diupayakan pemecahannya bersama secara


(53)

memuaskan. Keberhasilan dalam upaya ini akan menumbuhkan rasa saling percaya dan menyemangati untuk mencari interaksi yang lebih bermakna.45

Dalam peristilahan Al-Quran, jihad dibagi atas dua kategori. Pertama adalah jihad fi sabilillah, kedua jihad fillah. Yang pertama dimaksudkan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa. Dengan demikian salah satu bentuk jihad dalam kategori ini adalah aksi yang melibatkan kemungkinan hilangnya nyawa seseorang dalam suatu konfrontasi fisik. Contoh nyata adalah berperang di jalan Allah. Pengorbanan para pahlawan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah salah satu bentuk jihad fi sabilillah.

Adapun kategori kedua jihad fillah atau usaha sungguh-sungguh (menghampiri Allah) adalah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukan tendensi negatif yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan. Kategori kedua ini sesuai dengan hadits Nabi yang popular adalah jihad dalam arti yang sebenarnya dan yang utama. Untuk memperjelas substansi jihad agar tidak diidentikkan dengan aksi mengangkat senjata Al-Quran membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan konsep jihad. Jihad, jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang lebih


(54)

komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan senjata.

Sebagai akibat dari apa yang dipaparkan di atas, isu jihad ini tidak saja menimbulkan antagonism antara cendekiawan Muslim dan orientalis, tapi telah mewarnai pula perselisihan pendapat antar-Muslim. Dalam interaksi umat Islam dengan kelompok luar yang mengancam eksistensinya, para cendikiawan Muslim dari masa ke masa berpendapat bahwa penggunaan jihad dengan pengertiannya yang sempit dapat dibenarkan.46

C. Keberagamaan Etnis

Keberagamaan etnis menurut Alwi Shihab adalah kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara terbaru. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar fosil pada saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah menghimpun kebudayaan dalamsatu simbol kebudayaan nasional.47 Sebagaimana ketentuan

46

Ibid., 284-285.

47

http://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklusif_d alam_konteks_Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia di akses pada 09 April 2015, 13.23.


(55)

firman Allah QS. Maidah ayat 48, Alwi Shihab mengemukakan ayat Al-Quran yang berbunyi:

ء ش ْ ل

هلل ىلإ ۚ رْيخْل ق تْس ف ۖ ْمك تآ ّ يف ْمك لْيل ْنكٰل ح ّ ْمكلعجل هلل

ّ فلتْخت هيف ْمتّْك مب ْمك ّيف عيمج ْمكعجْرّ

Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang

telah kamu perselisihkan itu.”

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur′an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur′an. Sebab Al-Qur′an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.48

Sesungguhnya, inti dari pluralisme adalah penerimaan dan apresiasi terhadap kemajemukan yang ada di dalam masyarakat. Bagi penganut ide ini, pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan) masyarakat adalah merupakan suatu


(56)

fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin dihilangkan juga merupakan fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas tadi merupakan satu keharusan.

Tentang pluralisme agama sendiri, Alwi Shihab menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir dilatarbelakangi oleh serangkaian pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain : Apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja? Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di antara agama-agama ini yang benar, ataukah semuanya sesat ? Lalu, mengapa kita memeluk satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang ada?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memunculkan kontroversi, mengingat setiap agama mengajarkan, bahwa doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan superior. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan yang ada diantara agama-agama tadi.

Setiap Pluralis (termasuk Alwi) meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan diatas tidak lain adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan dalam bentuk kesiapan untuk saling membuka diri dan berdialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Dan dalam tataran praktisnya, Alwi menekankan peran penting Islam sebagai agama mayoritas dan kaya dengan sekte untuk mempelopori upaya-upaya tersebut. Apalagi,


(57)

menurutnya pula sebagai agama formal, Islam memang mengajarkan kebebasan beragama, yang dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan pintu pluralisme dan kemanusiaan.

Dengan memahami konsep di atas, maka jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme dengan relativisme, sekalipun sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya dipersamakan. Keterkaitan dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun terkandung unsur relativisme, yakni ketidakbolehan mengklaim pemilikan tunggal atas satu kebenaran. Selain itu, pada dasarnya relativisme dan pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan manusia dalam kepelbagaian kepercayaan dan kepelbagaian identitas di masa modern, dimana tentang identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah kesempatan) dan Azyumardi Azra (dalam Konteks Berteologi di Indonesia) pernah menyatakan, bahwa modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap pluralisme, baik paham ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.

Lepas dari pernyataan tersebut, inilah pluralisme murni. Sedangkan pluralisme yang dikembangkan Alwi Shihab di Indonesia, (katanya) adalah pluralisme agama yang menolak sinkretisme dan bersyarat, yaitu keharusan adanya komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yang disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26. Namun, kemudian


(58)

maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti halnya

agama lain, melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang diantaranya mengatur tentang pola hubungan yang jelas antara Islam-non Islam, Muslim dan non-Muslim di dalam masyarakat Islam.49

Pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konlik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam satu masyarakat.

Selanjutnya, ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang digarisbawahi oleh para ahli. Pertama, adalah toleransi, dan kedua adalah pluralisme. Akan sulit bagi pelaku-pelaku dialog antaragama untuk mencapai saling pengertian dan respek apabila salah satu

49

http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/20/pluralisme-dalam-akar-filsafat-pemikiran-islam-kontemporer diakses pada 11 April 2015, 13.12.


(59)

pihak tidak bersikap toleran. Karena toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan.

Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistic tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang langgeng. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar di mana kita berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut ukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil missal kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang


(60)

Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antarpenduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal kalaupun ada.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seseorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut

“kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidupserta kerangka

berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai contoh,

“kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa “Columbus

menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan

“kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan

bahwa “Columbus mencaplok Amerika”. Karena perlu penyebaran globalisasi

dan sekaligus pembaratan, maka kalangan Kristen merasa berkepentingan untuk menggunakannya demi kepentingan mereka, khususnya dalam pengembangan misi mereka. Hal yang sama terjadi pada paham Sekularisme. Sekularisme yang semula tidak dikenal bahkan dimusuhi oleh kaum Kristen, kemudian diterima dan dicarikan legitimasinya dalam Bibel.50

Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama

apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama,”

karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-berbeda dan bertentangan

50

Adnin Armas, Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, (Jakarta: INSISTS, 2013), 85-86.


(61)

satu dengan yang lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralisme terdapat unsure relativisme, yakni unsure tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralisme akan menghindari sikap absolutism yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Oleh karena itu, banyak orang enggan menggunakan kata pluralisme agama, karena khawatir akan terperangkap dalam lingkaran konsep relativisme agama.

Sebagaimana diketahui, konsep relativisme yang berawal pada abad kelima sebelum masehi, yakni di masa Protagoras, seorang sofis Yunani. Konsep tersebut bertahan sampai masa kini, khususnya dalam pendekatan ilmiah yang dipakai oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Konsep ini menerangkan bahwa apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat, atau institusi sosial dan agama. Oleh karena itu konsep ini tidak mengenal kebenaran absolute atau kebenaran abadi.

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen


(62)

ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, apabila konsep pluralisme agama di atas hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Tantangan yang dihadapi oleh umat beragama di Indonesia tidaklah kecil. Kalau sampai saat ini kita dapat berbangga atas prestasi yang telah dicapai dalam membina dan memupuk kerukunan antarumat beragama, namun tugas yang terbentang dihadapan kita masih jauh dari rampung. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas dari komitmen terhadap agama masing-masing.51

51

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka (Bandung: Mizan, 1997), 39-43.


(1)

62

Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan dasar negara Pancasila.

Sementara Alwi Shihab juga menyebutkan bahwa pluralsime agama meliputi: a. keharusan saling mengenal, b. keberagamaan keyakinan, c. keberagamaan etnis. Dalam hal tersebut yang pertama di sini akan menjelaskan tentang, a. keharusan saling mengenal menurut Alwi Shihab adalah untuk saling mengenal, bukan untuk saling konflik dan berperang. Dan Alwi ini senantiasa berpegang teguh terhadap Qs. Al-Hujurat ayat 13, dan penjelasan dari ayat tersebut mengajarkan bahwa Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Jadi di sini meskipun beda agama kita sebagai umat beragama untuk saling mengenal kepada satu sama lain. b. keberagamaan keyakinan menurut Alwi Shihab tersebut bahwa dengan adanya keberagaman itu memberikan kesempatan kepada manusia untuk menguji keimanan yang dipilihnya. Alwi sendiri menjadi saksi kebenaran dengan menjadi teladan adalah penting untuk mencapai kesuksasan dalam dakwah. Karena bagaimana mungkin kita dapat mengajak orang untuk membangun karakter moral yang


(2)

63

tinggi dan mencegah aktivitas yang tidak Islami jika sang dai itu sendiri tidak secara terang-terangan memperlihatkan akhlak baik yang mencerminkan nilai-nilai Islam. c. Alwi Shihab dalam keberagamaan etnis sendiri memaknai sebagai kemajemukan bangsa Indonesia yang meliputi bahasa, budaya, suku, agama dan ras, bisa menjadi daya integrasi maupun disintegrasi bangsa kita. Seperti yang Alwi ketahui, dengan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia kita dapat berkomunikasi antar suku dan ras sehingga hubungan akan terjalin dengan baik dan dapat mempererat persaudaraan sebagai satu bangsa besar yaitu bangsa Indonesia.

Persamaan dan perbedaan pluralisme agama dalam Islam dan pluralisme agama menurut Alwi Shihab adalah keduanya memiliki pandangan yang relative sama. Persamaan yang menegaskan akan keharusan saling mengenal antar umat beragama. Ditambah lagi adanya keberagamaan keyakinan dikalangan umat beragama. Juga adanya keberagamaan etnis dikalangan umat manusia yang menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, dengan banyaknya kendala dan rintangan yang harus penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan


(3)

64

saran dari pengalaman yang pernah penulis alami. Adapun saran-saran tersebut yaitu:

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang perbandingan

agama. Diharapkan agar skripsi ini bisa dijadikan referensi atau rujukan untuk kepustakaan yang terkait sehingga bisa menyempurnakan penulis yang telah dilakukan dengan judul pluralisme agama dalam perspektif Alwi Shihab.

2. Kepada keluarga UIN Sunan Ampel Surabaya kiranya bisa menambah

lagi jumlah koleksi bacaan baik itu buku-buku, majalah, ataupun lainnya agar lebih memperkaya lagi khazanah keilmuan mahasiswa/i UIN Sunan Ampel Surabaya.

3. Bagi para pembaca semoga hasil penulis ini bisa bermanfaat dan penulis


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussami Humaidy dan Tahir Masnun. 2007. Islam dan Hubungan Antaragama,

Yogyakarta: LKiS.

Al-Banna, Gamal. 2006. Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, terj. Taufik Damas, Jakarta: Menara.

Al-Gurabi, Ali Mustafa. 1968. Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, Kairo: Ali Shubaikh wa Auladuh.

An-Na‘im, Abdullah Ahmad. 2008. Islam and the Seculer State: Negotiating the

Foture of Shari’a, New York: tp.

Arkoen, Mohammad. 1994. Al-Fikr al-Islami:Qira’ah ‘Ilmiyah, Cet IV, Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.

Armas, Adnin. 2013. Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim,

Jakarta: INSISTS.

Asy’ari dkk. 2008. Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Ampel Press.

A’la, Abd. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan Yang

Berserak, Bandung: Nuansa.

A.S. Hornby et. al.. 1972. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxfort: Oxford University Press.

Daftary, Farhad. 1990. The Isma’ilis: Their History and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press.

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mondari Maju. Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin Peradaban: Sebuah Telaah Krisis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.

….. 1995. Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina.


(5)

Martin H, Marsen. 1999. Oxford Leaner’s Pokcet Dictionary, Oxford University, Third Edition.

Misrawi, Zuhairi. 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, Jakarta: Fitrah.

Muhammad, Husein. 2011. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan,

Bandung: Mizan.

Naim Ngainun dan Sauqi Achmad. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Rachman , Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam Untuk Pluralisme, Jakarta: PT Gramedia.

Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan.

Sugiono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompotensi dan Prakteknya,

Jakarta: Bumi Aksara.

Zainuddin, M. 2010. Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, Malang: UIN-Maliki Press.

Zada, Hamami. 2006. Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam, Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-FORD Foundation.

http://www.kompasiana.com/www.kompasianakhoiri.com/bagaimana-islam-memandang-perbedaan_552c56536ea834f4678b4568

http://www.kompasiana.com/www.kompasianakhoiri.com/bagaimana-islam-memandang-perbedaan_552c56536ea834f4678b4568

http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/10/al-ukhuwah-al-islamiyah-persaudaraan.html

http://www.academia.edu/3596964/Pluralisme_dan_Agama_Mendudukkan_P luralisme_yang_Benar_dalam_Islam

http://blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/toleransi-tanpa-kehilangan-sibghah/


(6)

http://dayofintanlive.blogspot.com/2013/06/ilmu-sosial-budaya-keberagaman-budaya.html

http://indonesian.irib.ir/islam/al-quran/item/55325-Tafsir_Al-Quran,_Surat_Al-Maidah_Ayat_48-50

http://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklu sif_dalam_konteks_Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia

http://progresivitas-islam.blogspot.com/2011/02/pluralisme-agama-menurut-pemikir-islam_27.html