Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya T1 362008093 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Islam di Indonesia

Agama merupakan suatu kepercayaan dan keyakinan yang timbul dan tercipta pada diri manusia terhadap Tuhan. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa berasal dari sumber yang luar biasa, yakni Tuhan.

Indonesia bukan Negara berlandaskan agama, tetapi agama merupakan salah satu dasar Negara Indonesia yang diakui dan memiliki nilai ―hukum‖ (diatur dalam undang-undang). Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Dari 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia yang tercatat oleh BPS (Badan Pusat Statistik) di tahun 2010, 207,2 juta jiwa (87,18%) mengaku beragama Islam, diikuti oleh penganut agama Kristen 16,5 juta jiwa (6,96 %), 6,9 juta jiwa (2,91 %) menganut agama Katolik, 4 juta jiwa (1,69 %) penganut agama Hindu, 1,7 juta jiwa (0,72 %) penganut Buddha, 0,11 juta jiwa (0,05 %) penganut Konghucu, dan agama lainnya 0,13 %. 1

1

Pemeluk Agama dan Indonesia 2010,


(2)

Tabel 2.1 Jumlah, Prosentase, dan Laju Pertumbuhan Pemeluk Agama di Indonesia Tahun 1990-2010

No Agama 1990 % 2000 % 2010 % r 90-00 r 00-10 r 90-10

1 Islam

156,318,610

87.21

177,528,772 88.22

207,176,162

87.18 1.28 1.56 1.42

2 Kristen

10,820,769

6.04

11,820,075 5.87

16,528,513

6.96 0.89 3.41 2.14

3 Katholik

6,411,794

3.58

6,134,902 3.05

6,907,873

2.91 -0.44 1.19 0.37

4 Hindu

3,287,309

1.83

3,651,939 1.81

4,012,116

1.69 1.06 0.95 1.00

5 Buddha

1,840,693

1.03

1,694,682 0.84

1,703,254

0.72 -0.82 0.05 -0.39 6 Konghucu*)

117,091 0.05 - - -

7 Lainnya

568,608

0.32

411,629 0.20

299,617

0.13 -3.18 -3.13 -3.15

TJ 139,582 0.06

TT 757,118 0.32

Total 179,247,783 100 201,241,999 100 237,641,326 100 Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, 2010.

Keterangan: TJ adalah Tidak terjawab; TT adalah Tidak ditanyakan; r adalah laju pertumbuhan.


(3)

*) agama Konghucu baru diakui sebagai agama resmi pada tahun 2006, sehingga data untuk tahun 1990 dan 2000 tidak tersedia.

BPS juga memetakan persebaran pemeluk agama di beberapa propinsi di Indonesia.

Tabel 2.2 Proporsi pemeluk agama terhadap jumlah penduduk beberapa propinsi 2000-2010

Propinsi Islam Kristen Katholik Hindu Buddha Lainnya

2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 2000 2010 Nanggroe

Aceh Darussalam

97,30 98,19 1.94 1,12 0.36 0,07 0.01 0,00 0.37 0,16 0.02 0,01

Sumatera Barat

97,78 97,42 1.16 1,43 0.91 0,83 0.01 0,00 0.12 0,07 0.02 0,01

Jawa Barat 97,65 97,00 1.26 1,81 0.71 0,58 0.10 0,05 0.24 0,22 0.04 0,01

Banten 95,68 94,67 1.60 2,53 1.03 1,09 0.44 0,08 1.16 1,23 0.09 0,11

Bali 10,29 13,37 0.97 1,66 0.76 0,81 87.44 83,46 0.53 0,54 0.02 0,01

Nusa Tenggara Barat


(4)

Nusa Tenggara Timur

8,80 9,05 33.81 34,74 53.86 54,14 0.14 0,11 0.02 0,01 3.37 1,73

Sulawesi Utara

29,48 30,90 64.60 63,60 4.67 4,40 0.50 0,58 0.16 0,14 0.59 0,06

Sulawesi Tengah

78,39 77,72 16.02 16,98 1.18 0,82 3.84 3,78 0.21 0,15 0.35 0,10

Maluku 49,05 50,61 42.49 41,40 7.70 6,76 0.34 0,37 0.03 0,02 0.39 0,41 Sumber: BPS, Sensus Penduduk tahun 2011.

Terlihat dari data yang diperoleh BPS ditahun 2010, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan tersebar diseluruh wilayah di Indonesia.2

Kemajemukan agama di Indonesia membuat keharmonisan beragama menjadi suatu dambaan masyarakat. Di Jawa Tengah misalnya, hal ini terlihat dari tempat-tempat peribadatan di sekitar warga, seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan pesantren-pesantren. Tahun 2010, tempat peribadatan di Jawa Tengah mencapai 125ribu buah, yang terdiri dari 97,29% Masjid dan Mushola, 2,25% Gereja Kristen dan Khatolik, dan sisanya berupa Pura dan Vihara. Selain itu tercatat dalam Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dalam situsnya

2


(5)

www.jateng.bps.go.id3 bahwa terdapat 4470 unit pesantren dengan 35,77ribu kiai atau ustadz dan 451,5ribu santri.

Hal ini juga membuktikan bahwa Islam menjadi agama mayoritas di propinsi Jawa Tengah. Seperti yang dilansir oleh BPS Propinsi Jawa Tengah, kota kecil Salatiga misalnya, dari 170.332 penduduk (laki-laki dan perempuan) tercatat 129.894 jiwa memeluk agama Islam, 30.443jiwa memeluk agama Kristen, 8.069jiwa beragama Khatolik, 106jiwa beragama Hindu, 792jiwa beragama Budha, 28jiwa beragama Khong Hu Cu, 16jiwa berkeyakinan lain, dan 984jiwa tidak menjawab.4

3

http://jateng.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=section&id=16&Itemid=88 diunduh pada tanggal 10 Oktober 2012 pukul 00:25

4


(6)

Salatiga yang terkenal dengan Indonesia mininya (terdapat Universitas Kristen Satya Wacana) memiliki keragaman suku maupun keyakinan didalamnya. Agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Salatiga membuktikan bahwa Islam mampu hidup berdampingan dengan agama lainnya (toleransi). Hal itu dapat dibuktikan dengan keberadaan tempat peribadatan yang berdampingan, contohnya Masjid Pandawa yang berhadapan dengan Gereja Kristen Indonesia, Masjid Kauman yang berdekatan dengan Gereja Kristen Jawa, di Pancasila (alun-alun kota Salatiga) terdapat Masjid besar dan terdapat beberapa Gereja disekitarnya.

Dari penjelasan diatas terlihat Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang citra agama Islam, karena di Indonesia tidak hanya memiliki satu agama, tetapi enam agama. Khususnya bagaimana Citra Islam yang tergambar dalam Film ―?‖ Tanda Tanya.

2.2 Pluralisme

Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat yang harus kita akui. Pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui, sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak (Naim dan Sauqi, 2008: 75). Pluralisme tidak hanya tentang keberagaman saja, tetapi juga


(7)

sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain.

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkenal dengan keberagamannya, baik suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Hal tersebut menjadi modal utama bagi bangsa ini dalam memperkenalkan eksistensinya di mata dunia. Bahkan tidak jarang wisatawan asing datang ke Indonesia untuk mengenal kemajemukan bangsa dan masyarakat di Indonesia.

Semboyan Negara Indonesia yakni ―Bhineka Tunggal Ika‖ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua membuktikan bahwa di Negara ini terdapat berbagai perbedaan dan kemajemukan. Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke memiliki 17.508 pulau yang memiliki ciri khas tersendiri. Berdasarkan data Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang terdata sebanyak 1.128 suku bangsa. Indonesia juga memiliki 748 bahasa asli atau bahasa ibu yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman bangsa ini tidak hanya itu, 6 agama diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu.

Selain itu, negeri ini memiliki budaya yang banyak dan beragam yang tersebar hampir disetiap daerah di Indonesia dan menjadi ciri khas daerah tersebut. Kebudayaan Indonesia merupakan gabungan dari macam-macam budaya lokal, mulai dari seni tari tradisional, upacara adat, pakaian tradisional, makanan


(8)

khas, lagu daerah, dll. Keberagaman inilah yang membuat bangsa Indonesia identik dengan pluralitas.

Namun, seiring berkembangnya jaman, kemajemukan cenderung menjadi beban bangsa ini, mulai bermunculan masalah-masalah yang bersumber pada kemajemukan, terutama di bidang agama. Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan (Subkhan, 2007: 29).

Pada kenyataannya banyak fenomena terjadi di dalam masyarakat Indonesia yang membuat pluralitas menjadi beban, misalkan pada kasus Mei 1998, terjadi pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik etnis Tionghoa. Konflik lain mewarnai pluralitas Indonesia, konflik antara warga Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, dimana perang antar etnis ini menewaskan 315 orang dalam kurun waktu seminggu (Mahfud, 2006: 127).

Seharusnya pluralitas ini menyadarkan bahwa Indonesia beragam, tidak hanya satu budaya, satu agama, satu etnis, dll, sehingga toleransi adalah nilai mutlak yang harus ditanamkan pada masyarakat.

Kemajemukan yang ada di Indonesia diangkat dalam sebuah karya film. ―?‖ Tanda Tanya mengemas kemajemukan tersebut diwarnai dengan konflik-konflik yang juga pernah terjadi di Indonesia. Terutama dalam hal ini tentang perbedaan agama dan etnis serta opini publik tentang citra yang terbentuk.


(9)

2.3 Film

Film ditemukan pada akhir abad 19, awalnya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak serta sajian lainnya kepada masyarakat umum. Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, filmpun ikut berkembang, yang awalnya hanya film hitam putih tanpa suara kemudian di tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada akhir 1930-an. Perkembangan teknologi dalam pembuatan film beserta alat produksinya yang semakin maju menjadikan film sebagai sebuah tontonan menarik.

Film adalah gambar-hidup, sering disebut juga movie. Film secara kolektif, sering disebut cinema. Cinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (cinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya.

Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau


(10)

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/lainnya (UU 8/1992)5.

Film merupakan media komunikasi yang berbentuk audio dan visual untuk menyampaikan pesan pada kelompok yang berkumpul di suatu tempat tertentu (Effendy, 1989:134). Film memiliki sebuah pengaruh yang kuat dan lebih peka terhadap budaya di masyarakat. Kesadaran akan relasi kuasa seperti ini pada diri penonton akan menjadikan penonton membaca pesan dalam film tidak hanya berdasarkan konvensi-konvensi secara kusus ada dalam teks film, akan tetapi juga pada dasar-dasar mereka menyebabkan berpikir dibalik cerita yang diproyeksikan di atas layar. Penonton harus peka terhadap pesan implisit (tersembunyi) dalam sebuah cerita yang dikemas suatu film.

Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi pembuatnya, tetapi memperlihatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya. Bahkan lebih luas lagi perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film ini dibuat.

Film merupakan potret dari sebuah masyarakat dan selalu merekam realitas yang ada dalam masyarakat, sehingga film sebagai refleksi dari masyarakat. Karkteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai

5

http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%208%20Tahun%201992%20tentang%


(11)

yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat.

Film memiliki 3 fungsi utama yang dikenal sebagai trifungsi film, yakni mendidik, menghibur dan penerangan (Effendy, 1993). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman pasal 5, film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan pengembangan budaya bangsa, hiburan dan ekonomi.

Film merupakan salah satu bidang terapan semiotika karena dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu bekerjasama membangun sistem tanda untuk mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi film, terdiri atas aspek-aspek ―realitas‖ seperti individu, tempat, objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk speech, writing, atau bahkan moving images yakni film. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, yakni kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Zoest, 1996).

Ciri-ciri gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis, namun musik lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang semakin keras, dengan cara tertentu ―mirip‖ ancaman yang mendekati kita (ikonitas metaforis). Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya)


(12)

dengan musik yang mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan gambar-gambarnya. ―Suara , sama dengan gambar, merupakan unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan dan dianalisis dengan cara yang juga sebanding‖(Zoest, 1996, :110).

2.3.1 Film “?” Tanda Tanya

Film merupakan cerminan dari sebuah bangsa, karena film bermula dari sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Di Indonesia misalnya, fenomena-fenomena yang terjadi di angkat dalam sebuah produksi film. Contohnya dalam film “?” Tanda Tanya dimana mengemas pluralitas bangsa Indonesia dengan berbagai keberagaman agama dan juga etnis serta permasalahan sosialnya. Paham pluralisme dalam film ini terlihat pada narasi awal, ―semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan‖.

Dalam film ini diceritakan Ping Hen seorang Tionghoa mencintai wanita bernama Menuk tetapi karena perbedaan agama diantara mereka membuat mereka tidak bisa bersatu dan Menuk lebih memilih Soleh yang notabene seagama. Pluralitas menghasilkan toleransi yang sangat kental, tergambar dimana Pak Tan memiliki restoran masakan cina yang menghargai orang lain dengan memisahkan alat-alat masak yang digunakan


(13)

untuk memotong babi dan ayam, serta menghargai bulan puasa dengan menutup restorannya menggunakan kain.

Film “?” Tanda Tanya yang diproduksi Mahaka Pictures dan Dapur Film ini ingin menampilkan kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia, misalnya adegan awal yang memperlihatkan fenomena penusukan pendeta di salah satu Gereja Katolik. Adegan ini yang membangun tokoh Ping Hen antipati terhadap Islam dengan menganggap bahwa Islam identik dengan teroris. Kemunculan Ping Hen disini ingin memperlihatkan apa yang selama ini terjadi di masyarakat umum terhadap Islam paska gerakan teroris, dimana Islam cenderung dilihat sebagai agama kekerasan sebab mengatasnamakan Tuhan dalam berbagai tindak anarkisme.

Film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik (McQuail, 1987:14). Sehingga film mampu untuk mempengaruhi khalayak dan merubah kognitifnya, bahkan dapat membentuk opini publik. Hal ini terbukti bahwa film “?” Tanda Tanya sangat mempengaruhi pemikiran khalayak karena berhasil menuai pro-kontra dalam masyarakat Indonesia. Pengecaman yang dilakukan oleh banser NU Surabaya, bahkan peng-haram-an film tersebut oleh MUI.6 Tetapi, berlawanan dengan hal tersebut film ini mendapatkan berbagai

6

Film "Tanda Tanya" Hanung Bramantyo akan diHARAM-kan oleh MUI?

http://wayohgo.blogspot.com/2011/04/film-tanda-tanya-hanung-bramantyo-akan.html diunduh pada tanggal 9 April 2012 pukul 12:13


(14)

penghargaan dalam Festival Film Indonesia, hal ini membuktikan bahwa film “?” Tanda Tanya dapat diterima masyarakat dan mendapatkan citra baik.

2.4 Hasil Penelitian Sebelumnya

Muhammad Iqbal mahasiswa Universitas Riau meneliti isi pesan dalam Film Tanda Tanya ―?‖ yakni Konstruksi ―Citra Islam‖ dalam Film Tanda Tanya ―?‖, dengan hasil penelitian:7

Film Tanda Tanya berisi konsep-konsep ajaran agama Islam yang dipraktekkan dalam sebuah adegan, dialog maupun simbol dalam film ini. Konsep Islam yang ditawarkan didalam film Tanda Tanya merupakan sebuah ajaran yang bertentangan dan menimbulkan kekaburan terhadap sebuah makna atau pesan dari film tersebut.

Kenyataaanya saat ini film ―?‖ banyak menuai kritikan dari para umat muslim di Indonesia, banyak yang menolak keras penayangan film ini, mulai dari MUI ataupun FPI. Film ― Tanda Tanya‖ adalah sebuah proyek ambisius Hanung yang sudah mengundang sikap skeptis dari kalangan cendekiawan muslim bahkan sebelum film ini dirilis

Pasalnya Hanung memilik track record yang semakin lama semakin cendrung pada pemikiran liberal. Kontroversi hanung ini pertama kali mencuat ketika menyutradarai “perempuan berkalung sorban” film ini dianggap


(15)

memberikan citra yang salah terhadap Psantren dan Syariat Islam itu sendiri, film “sang pencerah” yang dianggap kental dengan pluralime dan mengabaikan warisan-warisan Kh. Ahmad Dahlan, begitu juga dengan film ―Tanda Tanya‖ yang menuai kritikan tentang mencampur adukkan ajaran-ajaran agama dan yang terpanas yaitu tentang mendeskreditkan citra agama Islam.

Secara keseluruhan, film “Tanda Tanya” terdiri dari 121 scene, lalu dapat dipilih beberapa dari scene yang menampilkan dan mengarah kepada pencitraan agama Islam. Dalam hal ini , peneliti menggunakan metode semiotika Charles Sanders Peirce. Semiotika merupakan salah satu bentok metode yang dapat digunakan untuk menganalisa tanda dan makna yang terdapat dalam film “Tanda Tanya”. Hanya scene yang berisi gambaran tanda dan mempunyai makna tentang citra Islam saja yang diambil oleh peneliti meliputi adegan dan dialog dalam film “Tanda Tanya”.

A.Kemiskinan

Dalam film tanda tanya kemiskinan digambarkan pada orang-orang Islam tokoh keluarga Menuk dan Surya . Kehidupan keluarga miskin tampak jelas pada adegan dan dialog yang ditayangkan dalam film ini, fokusnya pada scene 16, 22, 28, 30, 38, 50, 51 dan 76.

1) Tanda Kemiskinan

- Adegan Menuk bekerja di restoran Cina - Adegan adek Menuk membawa kerupuk


(16)

- Dialog Menuk dan Sholeh di dalam rumah

- Adegan Sholeh melampiaskan kemarahan kepada Menuk di restoran - Adegan Surya ikut menjadi figuran dalam penggarapan film

- Adegan ibu kost marah kepada Surya

- Adegan saat Rika menawarkan pekerjaan kepada Surya 2) Objek Kemiskinan

- Menuk bekerja di restoran yang menjual menu babi - Kerupuk yang dibawa ke restoran untuk dijual

- Solusi Menuk kepada Sholeh untuk membayar uang sekolah adeknya - Perkataan Sholeh yang tidak pantas jadi suami dan minta diceraikan - Surya menjadi figuran walaupun sering dimarahi dalam penggarapan film - Ibu kost menagih uang kost yang belum dibayar

- Pekerjaan yang ditawarkan rupanya pemeran Yesus 3) Interpretasi

Pada scene 16, Menuk sebagai Muslimah dan mempunyai Suami yang taat beragama, bekerja di restoran China, terlebih restoran cina tersebut menjajakan menu makanan yang diharamkan dalam agama Islam yaitu daging babi. Kemiskinan membuat Menuk rela bekerja direstoran China yang menjual menu makanan daging babi, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menghidupi anak dan menyekolahkan adeknya dimana Sholeh sebagai suami


(17)

belum mempunyai pekerjaan, terlebih adeknya juga membawa kerupuk untuk dijual, agar bisa menambah uang masuk bagi keluarganya.

Scene 30 dialog antara Sholeh dan Menuk, Sholeh mengatakan ― mau bayar pake apa uang sekolahnya nuk?‖, kemudian Menuk menawarkan solusi untuk pake uangnya terlebih dahulu, namun uangnya tidak cukup buat bayar uang sekolah selama tiga bulan. Diinterpretasikan dari dialog tersebut kemiskinan dan minimnya dana membuat Sholeh dan Menuk tidak mampu untuk membayar uang sekolah adeknya.

Scene 38, saat Sholeh mendatangi Menuk ditempatnya bekerja. Sholeh melampiaskan kekesalannya kepada menuk dihadapan orang rame, Sholeh mengatakan ― aku ini mas, kaka, bojo yang ga bisa apa-apa nuk, ga pantas aku jadi suamimu, ceraikan aku nuk, lebih baik cari yang lebih hebat sana !‖, tekanan tidak mempunyai pekerjaan dan kemiskinan yang dialami Sholeh membuat ia putus asa, ia merasa tidak ada apa-apanya dibanding istrinya, ia merasa tidak mampu membantu kesejahteraan keluarganya menjadi lebih baik.

Pada scene 22, tokoh Surya pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan dan punya cita-cita menjadi artis, ikut serta menjadi figuran dalam penggarapan sebuah film, ia dimarahi terlebih dikasari dalam syuting film tersebut demi mendapatkan pekerjaan dan mengejar cita-citanya, ia merasa kesal karena sudah berusaha sebaik mungkin tetapi tidak mendapat pujian. Kerelaan Surya menjadi figuran tentunya dilatarbelakangi oleh keinginanya mendapat pekerjaan yang layak baginya, demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dimana ia dapat


(18)

digolongkan sebagai orang miskin karena tidak mempunyai pekerjaan tetap dalam film ini.

Scene 28, ibu kost marah-marah dan mengomeli Surya, ibu kost menagih uang kost yang belum dibayar Surya selama dua bulan lebih, jika tidak mampu membayar ia akan diusir keluar dari kost tersebut, dan ia memilih keluar dan tinggal dimesjid. Sekali lagi Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang miskin, untuk bayar uang kost saja ia tidak bisa melunasinya apa lagi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga ia rela pindah kemesjid, dimana disana tidak ada yang perlu dibayar.

Scene 51, Rika menawarkan Surya pekerjaan, dan ternyata pekerjaannya adalah menjadi pemeran Yesus pada acara paskah disebuah gereja, Surya menerima ;pekerjaan itu, walaupun terasa janggal karena ia adalah seorang pemuda Islam, terlebih ia memakai mesjid sebagai tempat latihannya menjadi pemeran Yesus. Ketertarikan Surya terhadap peran menjadi Yesus tidak lepas dari iming-iming materi yang dikatakan Rika, bahwa bayarannya lumayan besar untuk drama tersebut. Itulah yang melatar belakangi Surya rela menjadi pemeran Yesus didalam sebuah gereja walaupun bertentangan dengan ajaran agama Islam.

B.Rasisme 1) Tanda Rasis


(19)

- Adegan Menuk bercerita tindakan Pinghen di restoran saat bulan puasa - Adegan Perkelahian Pinghen dengan Sholeh

2) Objek Rasis

- Perkataan pemuda Islam ―sipit cino edan‖ kepada Pinghen - Perkataan Sholeh ―dasar cino kodo ae‖

- Perkataan Sholeh ―eh cino kalo ga ada bapak kamu ga akan hidup‖ 3) Interpretasi

Scene 18, perkelahian antara sekelompok pemuda Islam dengan pemuda Cina Pinghen. Disini para pemuda Islam menghina Pinghen terlebih dahulu dengan mengatakan ― Sipit, cino edan‖. Perkataan inilah yang membuat pinghen kembali menghina dan terjadi perkelahian. Perkataan kasar pemuda Islam tersebutlah yang diinterpretasikan bahwa agama Islam itu membenci orang Cina, Islam memiliki stereotip tersendiri terhadap para warga Cina. Terlebih tidak tahu pasti apa penyebab sebenarnya, sehingga para pemuda Islam sampai mengucapkan kata-kata kasar tesebut.

Scene 88, sementara Sholeh yang memiliki masalah pribadi dengan pinghen, ketika Menuk bercerita kepada Sholeh tindakan Pinghen yang semena-mena terhadap karyawan saat bulan puasa, Sholeh menganggap Pinghen dan semua orang cina itu sifat buruknya sama saja. Adegan dan kata-kata tersebut dapat diinterpretasikan bahwa Islam merupakan agama yang suka menghina dan rasisme terhadap orang-orang dari golongan Cina. Orang Islam mengganggap


(20)

semua Cina itu kelakuannya buruknya sama semua. Tindakan-tindakan rasis pada film inilah yang memperburuk akan citra Islam, padahal kenyataanya tidak semua Islam melakukan hal-hal kotor seperti itu.

C. Kekerasan dan Terorisme

Scene 18 perkelahian antara pemuda Islam dan Pinghen, ada ucapan Pinghen yang dilontarkan kepada para pemuda Islam yaitu ―dasar teroris asu‖. Tidak diketahui apa latar belakang Pinghen berkata seperti itu, namun jelas dapat diinterpretasikan dibenak Pinghen bahwa realitas saat ini, Islam adalah agama bengis dan kejam yang memelihara dan melahirkan para teroris sehingga patut dibilang Islam sebagai dalang teroris.

Scene 71, Sholeh dan Banser rela menjaga gereja karena citra buruk umat Islam saat aksi penusukan pendeta dihalaman gereja didaerahnya dahulu. Kekerasan orang Islam terhadap agama Kristen di Indonesia telah menjadi isu yang hangat. Tindakan kelompok Poso saat membunuh istri perwira TNI-AD pada Juli 2004 karena beragama Kristen dan membunuh tokoh Kristen, Pastor Susianti Tunalele pada Juli 2004 (kompas, 31 Juli 2004). Dapat disimpulkan bahwa penusukan itu telah jelas pelakunya adalah orang-orang Islam, padahal saat itu kepolisian telah mengatakan penusukan ini tidak ada kaitannya dengan kekerasan agama.

Kemudian scene 104 penyerangan restoran Cina oleh sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Sholeh, sambil meniakkan Allhuakbar mereka menyerang orang-orang yang ada didalam dan menghancurkan seluruh isi restoran, tindakan


(21)

ini jelas menyudutkan para orang Islam, bahwa realitasnya saat ini kekerasan dan perusakan rumah makan dilakukan oleh orang-orang yang membawa nama organisasi Islam seperti FPI dan lainnya. Begitu juga adegan film tersebut jelas menggambaekan umat Islam yang bertindak arogan dan kasar.

Scene 114 ketika Sholeh menemukan bom yang terletak disalah satu kursi seorang jemaat, setelah pikir panjang ia membawa lari bom tersebut keluar gereja, namun tidak berapa lama bom meledak dimuka halaman gereja dalam pelukan erat Sholeh dan menimbulkan kekacauan. Diinterpretasikan dari tindakan dalam adegan tersebut bahwa tindakan yang dilakukan Sholeh mirip dengan kejadian-kejadian pemboman bunuh diri yang ada di Indonesia saat ini, dan tindakan itu tidak terlepas dari aksi para teroris yang membawa nama Islam. Seperti pada Desember 2004 saat kelompok teroris Poso mengebom gereja Imanuel di Palu. Kemiripan realitas dan adegan difilm inilah yang dimaksudkan penulis dapat merusak citra agama Islam yang cinta akan kedamaian.

D. Murtad

Scene 27, Saat menunggu Abi pulang mengaji, Surya mengatakan bahwa Rika telah menghianati dua hal besar dalam Islam yang pertama pernikahan dan kedua adalah Allah. Dapat diinterpretasikan bahwa dibenak Surya Rika telah merusak hukum-hukum kesucian pernikahan dalam Islam, kenapa Rika harus pindah agama karena perceraian tersebut, yang mana dapat digambarkan bahwa Rika tidak teguh dalam meyakini agama Islam.


(22)

Secene 37, Saat datang ke toko buku Surya dimarahi oleh Rika karena ia kesal akan perkataan orang-orang yang mengatakan dia sebagai kafir, memang didalam Islam seharusnya orang yang pindah agama dari Islam disebut kafir, terlebih ia hidup dalam lingkungan yang penuh dengan orang Islam. Namun ada perkataan Surya yang mengarah pada tindakan mendukung tindakan murtad,yaitu ―saya bangga sama mbak berani mengambil keputusan besar dalam hidup, sementara saya mbak 10 tahun hanya menjadi figuran‖. Penulis interpretasikan bahwa Surya yang sebelumnya mengatakan bahwa murtad adalah penghianatan, namun kali ini ia seolah-olah mendukung tindakan Rika murtad. Surya digambarkan sebagai pemuda Islam yang tidak konsisten dalam agamanya, padahal jelas sudah Al-Qur‟an melarang kemurtadan (Al-Baqarah:217).

Scene 42, Rika teringat masa lalunya dengan mantan suaminya ketika ia menolak mempertahankan pernikahannya, karena suaminya ingin berpoligami. Ia mengatakan langsung kepada suaminya tidak bisa menerima tindakan yang akan dilakukan suaminya. Hukum Poligami inilah yang ditentang oleh Rika, dan dampaknya ia menolak hukum itu dan pindah agama menjadi Kristiani. Jelas tindakan Rika ini merusak citra Islam, adegan ini seolah-olah ingin menyampaikan bahwa hukum Islam itu salah dan memberatkan. Padahal Islam telah mangatur tentang hukum berpoligami dengan benar dan Apakah Rika harus pindah agama hanya karena hukum Poligami dan mencari kebenaran di agama lainnya.


(23)

Scene 81, Rika menelfon ibunya bahwa dia telah pindah ke agama Kristen, ia mengatakan telah dibaptis dan namanya telah diganti. Mendengar hal itu orangtua Rika langsung mematikan telfon dari Rika. Diinterpretasikan bahwa menganggap pembaptisan dia adalah kabar gembira dan harus disampaikan kepada orangtuanya, jelas saja orangtua Rika langsung mematikan, karena ia merasa kecewa anaknya yang dilahirkan secara Islam kini lebih memilih agama Kristen.

2.5 Kontestasi bagi Poststrukturalisme

Dalam perkembangan cultural studies, maka basis teori yang paling besar berpengaruh dan di gunakan dalam ranah ini adalah kulturalisme, strukturalisme dan poststrukturalisme. Kulturalisme8 mengedepankan pendekatan empiris — yang sangat ditekankan dalam tradisi kulturalis— mengeksplorasi bagaimana manusia secara aktif memproduksi makna-makna budaya.

Kulturalisme ini mendapatkan kritikan keras dari kaum strukturalisme9 yang lebih berprinsip anti humanis dan menempatkan bahwa manusia hanyalah

8

kulturalisme merupakan pendekatan budaya yang menekankan bahwa makna merupakan produk dari manusia (sebagai agen yang aktif, human agents) dalam konteks sejarah. Lebih lanjut lihat, Antariksa, loc.cit.

9

strukturalisme bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman. Strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner : hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan. Lebih lanjut lihat, Antariksa, loc.cit.


(24)

produk dari bangunan struktur yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia dalam pandangan kaum strukturalis, hanyalah hasil konstruksi dari struktur tersebut. Kaum strukturalismesebagaimana yang di katakan oleh Antariksa-- lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).

Sementara itu, post strukturalisme dengan mengikut diktum strukturalisme yang menempatkan manusia sebagai produk struktur, juga menggugat makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, yang ini berarti sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Sementara itu dalam pandangan kaum post strukturalisme, makna tidaklah stabil sebagaimana yang di bayangkan, makna senantiasa berada dalam proses. Makna merupakan hasil konstruksi dari hubungan antar teks sehingga bersifat intertekstualis. Makna bukanlah hasil dari satu kata, kalimat atau teks yang bersifat khusus.

Di sudut ketertundaan makna yang dianut oleh post strukturalisme inilah yang bersinggungan langsung dengan cultural studies. Bahasan cultural studies yang mengedepankan metode kajian yang interdisipliner, lintas-, trans- bahkan anti-disiplin, meniscayakan hasil (kesimpulan) yang senantiasa tertunda. Karena semua hasil kajian hanyalah merupakan konstruksi sudut pandang atau disiplin tertentu dan belum tentu sesuai dengan disiplin yang lain.


(25)

Dalam perspektif strukturalisme, dunia budaya hari ini dikuasai oleh budaya kapitalisme melalui proses inkorporasi10 dan komodifikasi11. Proyek ini bekerja dalam ruang kerja globalisasi dan pasar bebas, sehingga dapat disaksikan bagaimana seluruh dunia dan social space tersedot menuju kesatu model logika kerja budaya yang bernama kapitalisme. Telah terjadi imprealisme kultural dari barat ke timur.

Namun kalau secara jeli, kondisi ini bila di sorot dari perspektif kulturalisme, akan di temukan bahwa kemenangan kapitalisme merupakan kemenangan semu, karena ternyata manusia tidak pernah benar-benar bisa di kuasai dengan sempurna. Manusia memiliki kemampuan melakukan kreolisasi12 dan mimikri sehingga kebudayan yang lahir bukanlah sebuah bangunan imprealisme kultural melainkan sebuah hibriditas kebudayaan13.

Pertarungan kesimpulan yang terjadi antara perspektif kulturalisme dan strukturalisme, akan menemukan muaranya dalam wacana post strukturalisme. Wacana post strukturalisme mendorong kesimpulan yang ada kedalam ranah

10

inkorporasi merujuk kepada suatu proses sosial dimana kelas yang dominan mengambil elemen-elemen kebudayaan kelas subordinat dan menggunakannya untuk memperkuat status quo. Lebih lanjut, lihat Antariksa, Inkorporasi/Komodifikasi. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 5, April 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003

11

komodifikasi adalah upaya memproduksi segala sesuatu –termasuk kesadaran- menjadi komoditas-komoditas yang bisa di perjual-belikan. Lebih lanjut, lihat Antariksa, ibid.

12 kreolisasi adalah sebuah proses budaya dalam bentuk penyerapan elemen-elemen

kebudayaan lain, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Lebih lanjut, lihat Antariksa, loc.cit.

13

hibriditas kebudayaan adalah pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil. Antariksa, loc.cit.


(26)

mediasi14, di ruang inilah terjadi interaksi antar simbol yang akan bersintesis dan menemukan ekspresi baru.

Inilah ruang kontestasi15 dimana semua macam paradigma, pendekatan, sudut pandang, perspektif dan kesimpulan-kesimpulan di jajakan dan di tawarkan untuk menjadi menu menarik bagi riuh ramainya pertarungan kepentingan dan kuasa yang melingkupi. Post strukturalisme membuka ruang kontestasi itu selebar-lebarnya bagi para kontestan tanpa membedakan asal-usul paradigmatik. Arena kontestasi merupakan sebuah arena jual beli, namun jual beli yang sudah mengalami penjinakan.

2.6 Semiotika

Secara epistimologis, Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri sebenarnya memiliki makna yang ingin menunjukkan hal lain. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peritiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2011: 5). Semiotika dikenal sebagai ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan ucapan manusia. Semiotika juga mengandung pengertian ilmu tentang produksi

14

sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Lebih lanjut, lihat R. Kristiawan, Mediasi; Fakta Pasca Hegemoni. Dimuat dalam newsletters KUNCI No. 8, September 2000. www.kunci.or.id, 15 Desember 2003

15

lihat mediasi, sebuah ruang budaya (culture field) dimana segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu dan menjajakan diri sebagai kontestan yang memiliki hak dan kewajiban serta kemungkinan-kemungkinan kultural yang sama.


(27)

tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Semiotika mencakup tanda-tanda visual dan verbal yang dapat diartikan, semua tanda atau sinyal yang bisa dimengerti oleh semua pancaindra kita sebagai pengirim maupun penerima.

Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak zaman kuno. Para ahli semiotika yang hidup pada zaman kuno ini antara lain Plato (427-347 SM) dengan pemahamannya yakni semiotika merupakan tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dengan representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih rendah mutunya dari pengetahuan yang langsung.

Aristoteles (384-322 SM) dengan pemahamannya yakni semiotika merupakan tanda-tanda yang ditulis sebagai lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.

Kaum Stoic (300-200 SM) yang menurut Bochenski (1669) memiliki pemikiran mengenai teori tentang tanda yang mengaitkannya pada tiga


(28)

komponen pembentuknya, yaitu material atau penanda (signier), makna atau petanda (signified), dan objek eksternal.

Kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi) yang mengenalkan teori epistemiologi materialistis, yaitu segala sesuatu yang kita rasakan adalah kesan yang diperoleh pikiran kita lewat gambaran atom dari permukaan suatu objek yang nyata, atau dengan kata lain dari materi ke konsep, tanda sebagai data alamiah mempresentasikan sesuatu yang tak dapat dilihat atau ditangkap secara indrawi.

Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu Ferdinand de Sausure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Ferdinand de Saussure, semiotika adalah ilmu yang mangkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Semiotika menyandarkan diri pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). (Sobur, 2006).

Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas


(29)

tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object), interpretan (interpretan) (Littlejohn, 1996).

2.6.1 Semiotika Roland Barthes

Sebagai pengikut Saussure, Barthes mencoba untuk mengembangkan teori Semiotika Saussure. Tetapi, dia tidak berhenti pada tanda dan petanda saja, karena Barthes berpendapat bahwa dalam masyarakat tanda diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam dua sistem. Pertama sistem primer (sistem semiologi tingkat pertama) yang merupakan konvensi masyarakat. Signifikasi pada tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dalam tanda (makna sebenarnya). Menurut Barthes dalam tahapan kedua, yang dinamakan sistem sekunder dimana terbentuk mitos, tanda pada pelapis pertama yang pada akhirnya menjadi sistem signified pada lapisan kedua. Konotasi adalah istilah yang digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan proses bertemunya tanda dengan emosi si pembaca tanda serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif.

Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana mengambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.


(30)

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas. Menurut Barthes, apa yang dimaksud wacana tidak lain adalah tuturan dalam pengertian yang luas. Dengan kata lain mitos adalah tipe wacana yakni ‗a social of language‘ (Budiman, Yogyakarta:6).

tahapan pertama tahapan kedua

Bagan 2.1 Signifikan dua tahap Roland Barthes (Fiske, 1990:88)

Konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Dipihak lain denotasi menunjukkan arti literatur atau eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Pada level inilah terbentuk mitos yakni suatu sistem komunikasi yang merupakan sebuah pesan. Mitos tidak dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, dan sebuah ide karena mitos adalah sebuah metode penandaan yakni adalah sebuah bentuk. Ketika suatu analisis semiotik sudah sampai tahapan mitos

Denotasi Penanda

Petanda

Konotasi


(31)

maka makna dari pesan yang terungkap dari obyek sudah memasuki tahapan tertinggi dalam kajian yang dilakukan. Hal ini karena mitos sudah merupakan inti dari komunikasi tanda yang digunakan dimana setelah itu tidak ada lagi makna yang dapat diungkap. Barthes dalam teorinya mengatakan bahwa mitos itu diperoleh setelah melewati signifikasi tahap ke dua. Signifikasi tahap pertama yang diperoleh adalah makna denotatif dari obyek yang dikaji. Untuk memudahkan tentang bagaimana proses pemaknaan dua tahap tersebut berlaku, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda-tanda itu bekerja (Sobur, 2003:69).

1.

signifier

2. signified

3. denotative sign

4. connotative signifier 5. connotative signified

6. connotative sign

Bagan 2.2 Peta tanda Roland Barthes

Dari peta tanda Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga konotatif (4). Jadi dalam konsep Barthes tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan


(32)

tetapi juga mengandung kedua tanda denotatif yang melandasi keduanya. Dalam hal ini, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Konotasi menurut Barthes identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan befungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu dalam tahapan analisis data.

Pada signifikasi yang kedua berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dewa, dsb. Sedangkan mitos saat ini misalnya mengenai maskulinitas, feminitas, ilmu pengetahuan, life style dan kesuksesan. Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Barthes juga memberikan penekanan bahwa aspek dinamisme dari mitos dipahami sebagai sesuatu yang bisa berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lainnya. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Yang ada adalah mitos yang dominan namun di situ ada juga kontramitos ( counter-myths) (Fiske, 2010:123).


(33)

Dalam bukunya yang berjudul ―MITOLOGI‖, Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sebuah tipe wicara (a type of speech), segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos bukanlah sembarangan tipe, bahasa membutuhkan syarat khusus agar bisa menjadi mitos. Yang perlu dipahami di sini adalah bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini akan memungkinkan munculnya pandangan bahwa mitos tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep atau ide, karena mitos adalah konsep penandaan (signification) sebuah bentuk.

Dalam penelitian ini penulis menganilisis potongan adegan film ‖?‖ Tanda Tanya menggunakan semiotika Roland Barthes dengan membedah makna denotasi yakni apa yang penulis lihat serta makna konotasi didalamnya yang dipengaruhi oleh mitos atau kebudayaan yang dianut.

2.7 Membaca Makna Imaji dalam Film

Film mengelola tanda dan mengkomunikasikan makna di dalam tanda tersebut, yakni dengan dua cara yang berbeda, denotatif dan konotatif. Adegan dalam sebuah film, baik gambar ataupun suara memiliki makna denotatif yakni makna sebenarnya pada apa yang kita lihat dan kita dengar. Film mempermudah kita untuk mengenali tanda yang ada karena film memiliki unsur audio visual.


(34)

Sehingga film lebih mudah mengantarkan pesan atau makna dalam sebuah tanda dibandingkan foto atau gambar yang hanya bisa dilihat (visual).

Sistem bahasa (audio) hanya akan membangun ―theatre of mind” pada pendengar, tetapi dalam sebuah film, saat tidak ada deskripsi atau narasi tentang apa yang disajikan kita sudah mengerti dan menangkap informasi realitas fisik.

Makna tanda dalam sebuah adegan film berada dalam tataran konotatif, dimana pesan yang sebenarnya ingin disampaikan komunikator melalui tanda-tanda tersebut. Konotatif memiliki makna yang luas, seperti misalnya kita melihat ―bendera berwarna kuning‖, secara denotatif itu hanya sebuah kain berwarna kuning, tetapi kita bisa memaknainya sebagai tanda atau simbol lelayu atau duka. Hal ini tidak lepas dari kebudayaan yang berlaku, jadi konotatif merupakan pemaknaan sebuah tanda yang dipengaruhi pengetahuan dan pengalaman kebudayaan.


(35)

Gambar 2.1 Konsep membaca imaji

Sumber : James Monaco, How To Read a Film (terjemahan).

Dalam gambar 2.1 diatas dijelaskan bagaimana cara kita membaca imaji hingga mendapatkan makna denotasi dan konotasi. Imaji adalah gambaran atau citra yang bisa dilihat ataupun didengar. Sehingga untuk menemukan makna denotasinya sangat mudah yakni dengan melihat ataupun mendengar (dalam hal ini film sebagai obyek) adegan sebuah film. dalam tataran pola optikal, kita dapat membaca apa saja yang kita lihat dan menjadikannya sebagai penanda. Inilah yang disebut tahap denotasi. Sedangkan untuk mencari makna atau pesan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh komunikator, kita masuk kedalam tataran pengalaman mental, yakni membaca imaji dan memaknainya berdasarkan


(36)

pengetahuan si pembaca serta pengalaman kebudayaan yang ada. Makna yang didapatkan itulah yang masuk kedalam tataran konotasi.

Denotasi sebagai alat bantu untuk mempermudah memaknai suatu pesan sehingga kita harus memperhatikan komposisi dalam film, setting, angle camera, pencahayaan dan unsur-unsur sinematik yang lainnya, dan menjabarkan dalam tahap konotasi.

2.8 Elemen-Elemen Film

Dalam pengambilan suatu gambar yang baik, seorang juru kamera harus mengetahui segala sesuatu yang tertangkap oleh mata atau lensa kamera, karena seorang juru kamera merupakan perwakilan mata penonton yang nantinya melihat atau menikmati sebuah tayangan. Sehingga apa yang akan dilihat penonton nantinya adalah apa yang harus diketahui oleh juru kamera, antara lain:  Tokoh dan segala sesuatunya termasuk perlengkapan kostum dan make up  Lokasi gedung / tempat kejadian

 Properti / perlengkapan dan dekorasi , warna, cahaya / lighting

Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis film yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada film.


(37)

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut serta pemaknaan pesan yang ditimbulkan oleh teknik-teknik pengambilan gambar, antara lain:

1. Long Shot (LS)

Sebuah shot yang menunjukkan semua atau sebagian besar subyek (contohnya seorang tokoh) dan lingkungan sekitarnya. Long shot dapat dibagi menjadi extreme Long Shot (ELS) yang menempatkan kamera pada titik terjauh di belakang subjek, dengan penekanan pada latar belakang, serta

Medium Long Shot (MLS) yang biasanya hanya menampilkan subjek dari ketinggian tertentu. Beberapa film dengan tema sosial biasanya menempatkan subjek dengan Long Shot, dengan pertimbangan bahwa situasi sosial (bukan subjek individual) yang menjadi fokus perhatian utama (Chandler, 2000)


(38)

2. Establishing Shot

Sekuen pembuka, umumnya objek berupa eksterior, dengan menggunakan

Extreme Long Shot (ELS). ELS digunakan dengan tujuan memperkenalkan situasi tertentu yang akan menjadi tempat berlangsungnya sebuah adegan kepada penonton.

3. Medium Shot (MS)

Pada MS, subjek atau aktor yang mengitarinya menempati area yang sama pada frame. Pada kasus seorang tokoh yang sedang berdiri, frame bawah akan dimulai dari pinggang si tokoh, dan masih ada ruang untuk menunjukkan gerakan tangan. Medium Close Shot (MCS) merupakan variasi dari MS, dimana setting masih dapat dilihat, dan frame bagian bawah dimulai dari dada si tokoh. MCS biasanya digunakan untuk mempresentasikan secara padat kehadiran dua orang tokoh yang berada di dalam satu frame.

4. Close Up (CU)

Merupakan frame yang menunjukkan sebuah bagian kecil dari adegan, seperti wajah seorang karakter, dengan sangat mendetail sehingga memenuhi layar. Menurut Chandler (2000), CU akan menarik sebuah subjek dari konteks. CU dapat dibagi menjadi dua variasi, yaitu, Medium close up

(MCU) yang menampilkan dahi hingga dagu. Shot Close Up akan

memfokuskan perhatian pada perasaan atau reaksi seseorang, dan biasa digunakan dalam interview untuk menunjukkan situasi emosional seseorang, seperti kesedihan atau kegembiraan.


(39)

5. Angle of Shot

Merupakan Arah dan ketinggian dimana sebuah kamera akan mengambil gambar sebuah adegan. Konvensi menyebutkan bahwa dalam pengambilan gambar biasa, subjek harus diambil dari sudut pandang eye-level. Angle yang tinggi akan membuat kamera melihat seorang karakter dari atas, dan dengan sendirinya membuat penonton merasa lebih kuat daripada si karakter, atau justru menimbulkan efek ketergantungan pada si karakter. Sebaliknya, angle

yang rendah akan menempatkan kamera di bawah si karakter, dengan sendirinya melebihlebihkan keberadaan atau kepentingan si karakter (Chandler, 2000).

6. Soft Focus

Merupakan sebuah efek di mana ketajaman sebuah gambar, atau bagian darinya dikurangi dengan menggunakan sebuah alat optik.

7. Titled Shot

Sebuah shot dimana kamera dlietakkan pada derajat kemiringan tertentu, sehingga menimbulkan efek ketakutan atau ketidaktenangan.

Selain pengambilan gambar, juru kamera juga harus memperhatikan tentang pencahayaan, yang terbagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya: 1. Pencahayaan halus dan kasar

Pencahayaan ini dapat memanipulasi sikap penonton terhadap sebuah setting


(40)

digunakan dapat membuat objek atau lingkungan terlihat jelek atau indah, halus atau kasar, realistis atau artifisial.

2. Backlighting

Biasanya digunakan untuk memberi kesan romantis terhadap seorang tokoh dalam sebuah adegan.


(41)

2.9 Kerangka Pikir

Pluralitas di Indonesia

Media FILM

Film ―?‖ Tanda Tanya

Penelitian Sebelumnya Konstruksi Citra Islam Dalam

Film Tanda Tanya ―?‖

- Membaca Imaji - Elemen-elemen Film - Semiotika Roland Barthes Islam di Indonesia Pemberitaan media massa

―Citra Islam‖ dalam Film Tanda Tanya ―?‖ Citra Islam:

Kemiskinan, Rasisme, Kekerasan &

terorisme, Murtad

Citra islam: Berbagi,

Hidup berdampingan

& toleransi, Damai &

pemaaf, Soleh KONTESTASI

CITRA ISLAM dalam Film Tanda Tanya


(1)

pengetahuan si pembaca serta pengalaman kebudayaan yang ada. Makna yang didapatkan itulah yang masuk kedalam tataran konotasi.

Denotasi sebagai alat bantu untuk mempermudah memaknai suatu pesan sehingga kita harus memperhatikan komposisi dalam film, setting, angle camera, pencahayaan dan unsur-unsur sinematik yang lainnya, dan menjabarkan dalam tahap konotasi.

2.8 Elemen-Elemen Film

Dalam pengambilan suatu gambar yang baik, seorang juru kamera harus mengetahui segala sesuatu yang tertangkap oleh mata atau lensa kamera, karena seorang juru kamera merupakan perwakilan mata penonton yang nantinya melihat atau menikmati sebuah tayangan. Sehingga apa yang akan dilihat penonton nantinya adalah apa yang harus diketahui oleh juru kamera, antara lain:  Tokoh dan segala sesuatunya termasuk perlengkapan kostum dan make up  Lokasi gedung / tempat kejadian

 Properti / perlengkapan dan dekorasi , warna, cahaya / lighting

Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis film yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada film.


(2)

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai penanda. Gambar menjadi elemen terpenting untuk membentuk suatu tayangan berdurasi. Teknik pengambilan suatu gambar akan menentukan kualitas gambar yang dihasilkan apakah memenuhi kriteria menjadi gambar yang layak. Teknik pengambilan suatu gambar memiliki kode-kode yang memiliki makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Beberapa elemen gambar dapat ditemui dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang bisa dilihat sebagai berikut serta pemaknaan pesan yang ditimbulkan oleh teknik-teknik pengambilan gambar, antara lain:

1. Long Shot (LS)

Sebuah shot yang menunjukkan semua atau sebagian besar subyek (contohnya seorang tokoh) dan lingkungan sekitarnya. Long shot dapat dibagi menjadi extreme Long Shot (ELS) yang menempatkan kamera pada titik terjauh di belakang subjek, dengan penekanan pada latar belakang, serta Medium Long Shot (MLS) yang biasanya hanya menampilkan subjek dari ketinggian tertentu. Beberapa film dengan tema sosial biasanya menempatkan subjek dengan Long Shot, dengan pertimbangan bahwa situasi sosial (bukan subjek individual) yang menjadi fokus perhatian utama (Chandler, 2000)


(3)

2. Establishing Shot

Sekuen pembuka, umumnya objek berupa eksterior, dengan menggunakan Extreme Long Shot (ELS). ELS digunakan dengan tujuan memperkenalkan situasi tertentu yang akan menjadi tempat berlangsungnya sebuah adegan kepada penonton.

3. Medium Shot (MS)

Pada MS, subjek atau aktor yang mengitarinya menempati area yang sama pada frame. Pada kasus seorang tokoh yang sedang berdiri, frame bawah akan dimulai dari pinggang si tokoh, dan masih ada ruang untuk menunjukkan gerakan tangan. Medium Close Shot (MCS) merupakan variasi dari MS, dimana setting masih dapat dilihat, dan frame bagian bawah dimulai dari dada si tokoh. MCS biasanya digunakan untuk mempresentasikan secara padat kehadiran dua orang tokoh yang berada di dalam satu frame.

4. Close Up (CU)

Merupakan frame yang menunjukkan sebuah bagian kecil dari adegan, seperti wajah seorang karakter, dengan sangat mendetail sehingga memenuhi layar. Menurut Chandler (2000), CU akan menarik sebuah subjek dari konteks. CU dapat dibagi menjadi dua variasi, yaitu, Medium close up

(MCU) yang menampilkan dahi hingga dagu. Shot Close Up akan

memfokuskan perhatian pada perasaan atau reaksi seseorang, dan biasa digunakan dalam interview untuk menunjukkan situasi emosional seseorang, seperti kesedihan atau kegembiraan.


(4)

5. Angle of Shot

Merupakan Arah dan ketinggian dimana sebuah kamera akan mengambil gambar sebuah adegan. Konvensi menyebutkan bahwa dalam pengambilan gambar biasa, subjek harus diambil dari sudut pandang eye-level. Angle yang tinggi akan membuat kamera melihat seorang karakter dari atas, dan dengan sendirinya membuat penonton merasa lebih kuat daripada si karakter, atau justru menimbulkan efek ketergantungan pada si karakter. Sebaliknya, angle yang rendah akan menempatkan kamera di bawah si karakter, dengan sendirinya melebihlebihkan keberadaan atau kepentingan si karakter (Chandler, 2000).

6. Soft Focus

Merupakan sebuah efek di mana ketajaman sebuah gambar, atau bagian darinya dikurangi dengan menggunakan sebuah alat optik.

7. Titled Shot

Sebuah shot dimana kamera dlietakkan pada derajat kemiringan tertentu, sehingga menimbulkan efek ketakutan atau ketidaktenangan.

Selain pengambilan gambar, juru kamera juga harus memperhatikan tentang pencahayaan, yang terbagi ke dalam beberapa kategori, diantaranya: 1. Pencahayaan halus dan kasar

Pencahayaan ini dapat memanipulasi sikap penonton terhadap sebuah setting atau karakter tertentu (Chandler, 2000). Bagaimana sebuah sumber cahaya


(5)

digunakan dapat membuat objek atau lingkungan terlihat jelek atau indah, halus atau kasar, realistis atau artifisial.

2. Backlighting

Biasanya digunakan untuk memberi kesan romantis terhadap seorang tokoh dalam sebuah adegan.


(6)

2.9 Kerangka Pikir

Pluralitas di Indonesia

Media FILM

Film ―?‖ Tanda Tanya

Penelitian Sebelumnya Konstruksi Citra Islam Dalam

Film Tanda Tanya ―?‖

- Membaca Imaji - Elemen-elemen Film - Semiotika Roland Barthes Islam di Indonesia Pemberitaan media massa

―Citra Islam‖ dalam Film Tanda Tanya ―?‖ Citra Islam: Kemiskinan, Rasisme, Kekerasan & terorisme, Murtad Citra islam: Berbagi, Hidup berdampingan & toleransi, Damai & pemaaf, Soleh KONTESTASI CITRA ISLAM dalam Film Tanda Tanya ―?‖


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya T1 362008093 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya T1 362008093 BAB IV

0 0 77

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kontestasi “Citra Islam” dalam Film “?” Tanda Tanya T1 362008093 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”)

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”) TI 362008008 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”) TI 362008008 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”) TI 362008008 BAB IV

0 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketika Toleransi Sedang Dipertanyakan? (Analisis Wacana Kritis pada Film Tanda Tanya “?”)

0 0 24

SKENARIO FILM “?” TANDA TANYA

1 1 85