D 902008102 BAB VIII

Bab Delapan

Dinamika Konflik antar
Dua Komunitas yang Tidak Memiliki
Hubungan Gandong di Kota Ambon

Pengantar
Pada bagian ini, penguraian tentang konflik Maluku akan dibagi
dalam beberapa bagian. Pembagian ini semata-mata dimaksudkan agar
kita dapat memperoleh pengetahuan yang utuh dan menyeluruh
tentang dinamika konflik yang terjadi di kota Ambon.
Sudah tentu akan muncul penilaian-penilaian subjektif dari
berbagai pihak tentang realitas konflik Maluku yang terjadi di Kota
Ambon. Masing-masing pihak akan memberikan pembenaran terhadap
argumentasi yang dikemukakan, sekalipun secara logika argumentasiargumentasi tersebut belum tentu memiliki dasar yang kuat. Oleh
sebab itu, selain data lapang yang diperoleh, beberapa kesimpulan dari
sejumlah hasil penelitian, seminar dan publikasi yang sudah dilakukan
oleh berbagai pihak tentang konflik Maluku, dipandang cukup bermanfaat untuk menggambarkan intensitas konflik, peran aktor dan
lembaga, serta budaya lokal pada bagian ini.

Intensitas Konflik

Realitas konflik antar warga kedua komunitas di kota Ambon,
tingkat intensitasnya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yakni:
Kategori pertama, disebut intensitas ‘rendah’, yakni berupa rumor,
127

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

keresahan, dan laporan lisan dan tulisan. Kategori kedua, disebut
intensitas ‘sedang’, jika sudah terjadi tekanan dan ancaman. Ketegor
ketiga, disebut intensitas ‘tinggi’, jika konflik disertai dengan kekerasan
fisik, pengrusakan fasilitas bahkan menimbulkan korban jiwa dan harta
benda.
Sebelum tanggal 19 Januari tahun 1999, telah terjadi sejumlah
konflik kecil dan tidak terlalu masif sifatnya, intensitasnya masih
rendah sehingga dapat diidentifikasi pola eskalasi dan bentuknya.
Kasus perkelahian yang terjadi dalam pesta perkawinan tanggal 13
Desember 1998 di Dusun Wailete, Desa Hatiwe Besar, yang berakhir
dengan pembakaran beberapa rumah orang Buton yang beragama
Islam. Begitu pula dengan perkelahian antar dua warga berbeda agama
di Dusun Air Bak [Desa Hatiwe Besar] pada tanggal 27 Desember 1998,

diawali dari pelemparan ternak babi milik salah satu warga komunitas
Kristen yang memasuki kebun salah satu warga komunitas Islam.
Demikian halnya dengan konflik di kota Dobo Kabupaten Maluku
Tenggara [sebelum dimekarkan sebagai Kabupaten Kepulauan Aru]
pada tanggal 27 Desember 1998, antara etnis Bugis dan Makassar
[Islam] dengan penduduk setempat [Kristen], dan kemudian terjadi lagi
pada tanggal 14 Januari 1999 1. Dari gambaran ketiga kasus tersebut di
atas, walaupun faktor penyebabnya berbeda-beda, namun dampak
yang terjadi selalu sama yakni pengelompokan warga berdasarkan
agama.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian lapangan terhadap kasus
konflik Ambon diketahui bahwa gerak eskalasi konflik yang terjadi
pada tanggal 19 Januari 1999 [tepatnya hari raya Idul Fitri], berawal
dari peristiwa di tempat mangkal Mobil Angkot di Desa Batu Merah
sehingga menimbulkan ‘keresahan’ di masyarakat. 2 Pada saat itu,
eskalasi konflik langsung meningkat yang ditandai dengan kekerasan
Tonny D. Pariela, ‘Damai Di Tengah Konflik Maluku’, Disertasi untuk memperoleh
gelar Doktor pada Program Studi, Studi Pembangunan, Program Pascasarjana UKSWSalatiga, 1998.hal. 84.
2 Lihat Sri Yanuarti, dkk, “Konflik di Maluku Tengah”, Penyebab, Karakteristik, dan
Penyelesaian Jangka Panjang. LIPI- Jakarta, 2003. Lihat juga Tonny D Pariela, “Damai

Ditengah Konflik Maluku”, Disertasi, 2008.
1

128

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

fisik berupa tindakan pembakaran rumah-rumah penduduk di berbagai
tempat di kota Ambon. Hal ini dapat terjadi karena saat itu pemerintah
dan aparat keamanan kurang cepat tanggap mengakibatkan eskalasi
konflik dengan cepat meningkat. Di samping itu, terjadinya lompatan
eskalasi karena adanya provokator yang berperan secara signifikan
dengan cara menebarkan isu-isu yang sangat memprovokatif warga
pada masing-masing komunitas 3.
Cikal bakal dari munculnya kejadian-kejadian seperti itu, maka
warga masyarakat dari masing-masing komunitas mulai melakukan
organisasi diri dengan melakukan rapat yang berlangsung berulang
kali. Rapat-rapat warga kemudian lebih fokus diarahkan untuk upaya
pengamanan diri, dengan merencanakan bagaimana mengamankan
masing-masing komunitas mulai dari merencanakan mekanisme

pengamanan warga, serta melakukan pembagian tugas 4. Hal ini menggambarkan bahwa eskalasi konflik telah menjadi gerakan yang terstruktur sifatnya dan dijadikan agenda warga pada masing-masing
komunitas.
Pada sejumlah kejadian konflik tanggal 19 Januari tahun 1999,
tingkat intensitas tertinggi berbentuk pengrusakan fasilitas, penghancuran pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban jiwa 5.
Intensitas yang tinggi pada saat itu memang mencerminkan tingkat
kemarahan warga komunitas karena berkembang rumor bahwa konflik
Maluku yang terjadi di kota Ambon terlanjur dipersepsikan sebagai
konflik ‘agama’. Secara umum, pasca konflik tanggal 19 Januari yang
tersisa adalah perasaan dendam, saling curiga, dan prasangka. KepanikHasil wawancara tanggal 20 pebruari 2010 dengan FW, 37 tahun, [Kristen] dan IW,
42 tahun [Islam].
4 Pembagian tugas ini bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemberi informasi, sebagai
pengumpul massa, korlap, logistik serta kegiatan lain yang diperlukan [hasil wawancara tanggal 11 Maret 2010 dengan FW, 37 tahun, Kristen; dan IW, 42 tahun, Islam].
5 Hasil wawancara mendalam dengan dua orang informan yang dilakukan ditempat
berbeda pada bulan Nopember 2009. Iinforman pertama berinisial LU, 43 tahun [Islam]
menuturkan bahwa Istri dan dua orang anaknya meninggal di Terminal Pelita pada
kejadian konflik tanggal 20 Januari tahun 2009. Informan kedua yakni WS, 52 tahun
[Kristen], menuturkan bahwa pada saat mereka diserang oleh massa dari Leihitu, selain
pemukiman penduduk Dusun hancur berantakan, salah seorang anaknya juga
meninggal.


3

129

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

an warga komunitas yang terjadi saat itu mengindikasikan bahwa
kedua komunitas masih sangat sensitif terhadap berbagai isu dan informasi. Mereka cepat berkumpul di jalan-jalan dan membangun barikade
jalan 6.
Dua minggu sejak terjadinya konflik tanggal 19 Januari, upaya
damai yang dilakukan berbagai pihak tampaknya belum cukup efektif
mengobati kesedihan warga kedua komunitas yang menjadi korban
konflik. Pasar Mardika, Pasar Gambus, sebagian pertokoan Pelita,
rumah penduduk di kawasan Batu Gantung-Waringin, Dusun Benteng
Karang dan Telaga Kodok, habis terbakar. Coretan-coretan di dinding
tembok yang bernada provokasi, meski sudah dua minggu konflik
berlalu, di beberapa tempat masih tampak mencolok. Harian Kompas,
Kamis 4 Pebruari melaporkan bahwa, tulisan-tulisan itu yang bernada
menghujat agama, atau mengagungkan agama tertentu atau menunjukkan eksklusivitas kawasan, bisa memperlambat pemulihan emosional
massa.

Situasi kota Ambon pada malam hari masih sepi dan mencekam.
Meskipun saat itu tidak diberlakukan jam malam, namun warga kedua
komunitas umumnya masih merasa takut keluar rumah. Hampir di
setiap sudut terjadi penjagaan dan jika ada orang yang tidak dikenal
memasuki suatu wilayah, pasti diperiksa warga setempat. Keadaan di
kota Ambon yang sudah mulai tenang dan berbagai aktivitas mulai
normal, pada hari rabu malam tanggal 10 pebruari kembali mencekam
setelah sebuah bom molotov dilemparkan oleh orang tidak dikenal,
nyaris menghanguskan sebuah sekolah dan rumah penduduk di Batu
Merah Dalam. Menurut salah seorang informan [MK, 37 tahun, Islam]
bahwa, saat itu aparat keamanan yang bertugas tidak jauh dari lokasi
itu mencurigai bom itu sengaja diledakkan orang yang tak jauh dari
bangunan sekolah tersebut dengan tujuan memancing seolah-olah
diserang. Karena itu, Brimob dan Kostrad segera memblokir lokasi dan
sempat melepaskan tembakan beberapa kali sehingga membuat warga

Hasil wawancara tanggal 27 Maret 2010 dengan HS, 49 tahun [Kristen] dan IS, 51
tahun [Islam]

6


130

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

kota Ambon kembali dilanda ketakutan dan kecemasan.7 Suasana
tenang segera berubah tegang dan panik ketika beberapa buah bom
diledakkan tanggal 23 Pebruari, mengobarkan saling curiga antar
kelompok.
Hingga akhir bulan Pebruari, situasi keamanan di kota Ambon
kembali tenang, namun petugas keamanan masih tampak berjaga-jaga
terutama pada titik-titik yang rawan. Namun pada awal bulan Maret,
informasi tentang kasus penembakan warga saat sembahyang di Masjid
Muhajirin di Ambon yang terlanjur diblouw-up oleh media cetak dan
elektronik tanpa memahami realitas yang terjadi sesungguhnya mengakibatkan munculnya emosi dari warga komunitas Islam. Informasi
yang diperoleh dari salah satu informan [IW, 42 tahun, Islam] bahwa,
yang terjadi sesungguhnya adalah serangan sekelompok warga komunitas Kristen dari Dusun Kolan Ahuru ke warga komunitas Islam di
Dusun Rinjani pada hari Senin tanggal 1 Maret 1999 sekitar jam 05.30.
Saat itu, warga yang meninggal dibawa ke Masjid Muhajirin. 8 Karena
itu, pada tanggal 3 Maret 1999 Kepala Dinas Penerangan Mabes POLRI

membantah secara keras terhadap informasi tersebut. 9 Terlepas dari
itu, kenyataan tersebut mengakibatkan situasi keamanan di kota
Ambon kembali mencekam.
Mencermati realitas korban jiwa yang berjatuhan pada setiap
terjadinya kontak fisik antar warga kedua komunitas, salah seorang
informan [MS, 43 tahun, Islam] mengatakan bahwa konflik yang terjadi di kota Ambon saat ini, Salam deng Sarane [warga kedua komunitas]
tidak memandang siapa pun, apakah wanita, orang tua maupun anakanak. Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Beta [saya] paling [sangat] menyesal dan sangat mengharapkan
agar konflik ini katorang [kita] harus tinggalkan dan katorang
orang Maluku harus kembali ke akar budaya yang selama ini
dijunjung tinggi. Senada dengan itu, informan lain [BH, 57
tahun, Kristen] menuturkan bahwa konflik yang terjadi di kota
Ambon saat ini dinilainya sangat tidak manusiawi dan sangat
Harian Suara Pembaruan, 11 Pebruari 1999.
Hasil wawancara tanggal 20 pebruari 2010 dengan IW, 42 tahun, Islam.
9 Harian Kompas, 3 dan 4 Maret 1999.

7

8


131

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

sadis. Kehidupan bersama antar warga kedua komunitas sudah
hancur, hanya karena ulah segelintir orang. Akibatnya, timbul
saling curiga, saling baku jaga, saling baku bunuh [membunuh]
dan saling baku bakar [membakar].

Setelah situasi keamanan di kota Ambon mulai terkendali, Pusat
Rujuk Sosial bentukan PEMDA yang didukung oleh beberapa orang
warga dari kedua komunitas mulai menggagas dilakukan perdamaian.
Gagasan tersebut terwujud dalam bentuk perjalanan Obor Perdamaian
dari kota Masohi [Ibu kota Kabupaten Maluku Tengah] dan menyinggahi pulau Saparua dan pulau Haruku, kemudian pada tanggal 12 Mei
1999 menuju ke kota Ambon. Setibanya di kota Ambon dilanjutkan
dengan pembacaan ikrar perdamaian oleh perwakilan dari kedua
komunitas. Harian Suara Maluku edisi Sabtu 15 Mei 1999 melaporkan
bahwa, tiga hari setelah dilakukan ikrar perdamaian, konflik kembali
terjadi di kota Ambon bertepatan dengan upacara likuidasi Korem

174/Pattimura menjadi Kodam XVI/Pattimura, mengakibatkan tujuh
orang meninggal, dua puluh orang mengalami luka-luka terkena tembakan aparat keamanan, beberapa buah mobil dirusakkan dan sejumlah
rumah juga dibakar masa.
Situasi keamanan di kota Ambon relatif terkendali selama bulan
Juni karena dilaksanakan Pemilihan Umum [Pemilu] Anggota Legislatif pada tanggal 7 Juni tahun 1999 yang berlangsung secara serentak
di seluruh wilayah Republik Indonesia. Ketika memasuki bulan Juli,
sekalipun terjadi insiden kecil di Desa Poka yang mengakibatkan
terhentinya aktivitas perkuliahan di Universitas Pattimura untuk
sementara, namun situasi dan kondisi keamanan di kota Ambon dan
sekitarnya berangsur-angsur pulih. Menurut laporan Harian Suara
Maluku tanggal 6 Juli bahwa, saat itu ruas-ruas jalan di kawasan tertentu di buka dan aman dilalui angkutan kota [Angkot], walau hanya
sebatas pukul 18.00 WIT. Di setiap pos penjagaan ada aparat yang siaga,
roda perekonomian masyarakat makin normal walau masih sebatas
pasar-pasar kaget. Kegiatan pendidikan dan perkantoran pun normal
seperti semula. Namun, pada awal bulan Agustus [tanggal 10], konflik
antar kedua kelompok kembali terjadi akibatnya puluhan rumah

132

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….


penduduk terbakar habis.10 Memasuki bulan September, selain terjadi
pertikaian antar kelompok di Dusun Wailawa, Desa Laha, kecamatan
Teluk Ambon Baguala [tanggal 1], juga terjadi penyerangan dari komunitas Islam terhadap warga komunitas Kristen di Tantui [tanggal 3],
dan di pusat kota [tanggal 10].
Suasana tenang yang sudah tercipta di pusat kota Ambon dan
sekitarnya, Senin tanggal 20 September kembali ternoda oleh terjadinya konflik antar kelompok di Dusun Rinjani, Desa Ahuru yang mengakibatkan lima orang meninggal dan empat puluh orang warga mengalami luka-luka 11. Di samping itu, terjadi penyerangan dari kelompok
massa Islam dari Galunggung dan Kebun Cengkeh terhadap warga
komunitas Kristen di Desa Hative Kecil [tanggal 28] mengakibatkan
sembilan orang mengalami luka-luka. 12
Pada awal bulan Oktober konflik antar kedua kelompok bergolak
kembali dan terjadi di empat lokasi berbeda di kota Ambon, yakni di
Ahuru, kecamatan Sirimau serta di Desa Tawiri dan Laha, kecamatan
Teluk Ambon Baguala, pada hari Selasa tanggal 5 Oktober. Selain
kawasan Ahuru dan Desa Tawiri-Laha ikut bergolak pula kawasan Batu
Merah, kecamatan Sirimau dan Benteng Atas, kecamatan Nusaniwe.
Berita yang dirilis oleh salah satu media lokal 13 bahwa kedua
komunitas yang bertikai di keempat kawasan tersebut saling berhadaphadapan. Akibatnya, belasan korban mengalami luka bahkan ada yang
mening-gal di lokasi kejadian. Selain itu puluhan rumah musnah
terbakar, karena kedua pihak saling menyerang, merusak dan
membakar. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan [SS,
57 Tahun, Kristen] bahwa, tiga hari kemudian [tepat hari Jumat subuh
tanggal 8 Oktober], kawasan Ahuru kembali bergolak dan berlangsung
hingga pukul 14.00 WIT. Memasuki bulan Nopember hingga awal
bulan Desember, situasi di kota Ambon berangsur-angsur tenang
kembali, namun dentuman bom rakitan serta suara letusan renteran
Harian Suara Maluku, Jumat 20 Agustus 1999.
Hasil Wawancara Mendalam dengan SS, 57 Tahun, Kristen.
12 Hasil Wawancara Mendalam dengan OS, 58 Tahun, Kristen. Lihat pula Harian Suara
Maluku, tanggal 2, 4, 21 dan 29 September 1999.
13 Harian Suara Maluku, Rabu 6 Oktober 1999.
10

11

133

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

tembakan aparat selalu terdengar pada malam hari. Informasi yang
diperoleh dari salah seorang informan [LW, 31 tahun, Kristen] bahwa:
Ketenangan tersebut serentak ternoda ketika terjadinya
tindakan saling menyerang antar warga kedua komunitas pada
tanggal 21 Desember 1999 di pusat kota [Tugu Trikora], dan
kejadian tersebut bertahan hingga akhir bulan Desember.

Senada dengan itu informan yang lain [ML, 41 tahun, Islam] menuturkan bahwa:
Akibat yang muncul dari kejadian tersebut adalah bangunan
gedung Gereja Silo [pada tanggal 26 Desember] dan Mesjid
Annur [pada tanggal 27 Desember] habis terbakar serta jatuhnya
korban jiwa dari warga kedua komunitas dan aparat keamanan,
baik meninggal maupun yang mengalami luka terkena serpihan
bom rakitan maupun tembakan aparat 14.

Selama tahun 1999, konflik Maluku sudah menyebar dengan
begitu cepat hampir pada seluruh kepulauan di Maluku [seperti di
pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram, pulau Buru, kepulauan Kei dan
lainnya]. Memasuki tahun 2000, stabilitas keamanan di kota Ambon
relatif terkendali, namun belum menjamin untuk berlangsungnya
aktivitas masyarakat dan tugas-tugas pemerintahan baik Kota maupun
Provinsi dapat berjalan secara baik. Kedua komunitas masih diselimuti
dengan rasa takut untuk berada di ruang-ruang publik, karena pengalaman yang dialami selama konflik terjadi. Warga kedua komunitas
merasakan dampak berantai, kait-mengkait antara dampak yang satu
dengan dampak yang lain sehingga masalah yang datang silih berganti
seakan tidak habisnya. Keamanan dan ketentraman ibarat barang
mewah bagi warga kedua komunitas yang sangat sulit diprediksi. Hasil
penelitian yang dilakukan Tomagola, dkk [2007] menunjukkan bahwa,
konsekwensi selanjutnya kehidupan 209.303 warga kota berada dalam
situasi tidak menentu. Korban jiwa dan kerusakan infrastruktur fisik

Mengenai terbakarnya bangunan Gedung Gereja Silo dan Mesjid Annur, lihat pula
Disertasi Tonny D. Pariela [2008].

14

134

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

sangat luar biasa. 15 Jalur transportasi, khususnya jalan raya bahkan
sempat terputus sesuai segregasi wilayah pemukiman. Jalur melalui laut
dan jalan setapak pegunungan menjadi pilihan mobilitas penduduk
untuk berbagai keperluan yang berakibat pada pembiayaan semakin
tinggi.
Setelah situasi stabilitas keamanan di kota Ambon berangsurangsur pulih, pada tanggal 26 April tahun 2000 muncul inisiatif
rekonsiliasi sekelompok pemuda Kristen dari Kudamati dan pemuda
Islam dari Waihaong dan Batu Merah Atas [Galunggung] dengan
menggelar acara “makan patita bersama.” Usai acara tersebut, dengan
menggunakan kenderaan roda dua dan empat mereka berpawai mengelilingi kota Ambon sebagai luapan kegembiraan kedua kelompok
pemuda yang selama ini terlibat langsung dalam konflik di Ambon.
Luapan kegembiraan tersebut sempat menggugah hati warga, khususnya para pengemudi becak. Sayangnya, keikutsertaan peserta penggembira ini akibatnya pun fatal. Mereka terputus dari iring-iringan
kenderaan bermotor dan berbuntut pengeroyokan dan penyanderaan
terhadap 10 orang warga komunitas Kristen oleh komunitas Islam di
Waihaong. Akibatnya, dari 10 orang yang disandera tersebut, satu
orang warga ditemukan meninggal, lima orang berhasil kembali
dengan selamat karena diloloskan oleh warga komunitas Islam yang
pro perdamaian, sementara satu dari empat orang lain dua hari
kemudian ditemukan di tepi pantai dan telah meninggal. Sedangkan
tiga orang lain tidak diketahui keberadaannya. 16
Di tengah situasi kota Ambon mulai kondusif, konflik antar
warga kedua komunitas kembali terjadi tanggal 30 April tepatnya di
kawasan perbatasan antara Batu Merah dengan Mardika. Tidak diketahui secara pasti faktor penyebabnya. Informasi yang diperoleh dari
salah seorang informan [ML, 41 tahun, Islam] menuturkan bahwa,
insiden tersebut mengakibatkan ketegangan melanda seluruh pusat

Mengenai jumlah kerusakan sarana dan prasarana sosial, ekonomi, dan kebudayaan
dapat dilihat dalam R.Z. Leirissa, dkk., Ambonku: Doeloe, Kini, Esok, Pemerintah Kota
Ambon, 2004.
16 Harian Siwalima, Jumat 28, dan Sabtu 29 April 2000.
15

135

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

Kota. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Suara Maluku, edisi Senin 1
Maret bahwa, untuk mengendalikan situasi maka sejak pukul 24.00
WIT Pangdam XVI Pattimura memajukan pembatasan keluar malam
yang sebelumnya hingga jam 22.00 WIT dimajukan menjadi jam 21.00
WIT.
Menurut pengakuan informan [ML, 41 tahun, Islam] bahwa,
ketika situasi keamanan sudah dapat dikendalikan, satu hari sejak
kejadian tersebut, isu yang berkembang di masyarakat bahwa akan ada
“kerusuhan” lagi tanggal 16 Mei. Isu tersebut ternyata benar, pada
tanggal 16 Mei kawasan tersebut kembali dilanda konflik antar warga
kedua komunitas, mengakibatkan jatuhnya korbanjiwa. Senada dengan
itu, informan [LW, 31 tahun, Kristen] mengatakan bahwa:
Sekalipun saat itu aparat keamanan dari beberapa kesatuan
termasuk menggunakan panser sudah memblokade jalan untuk
menghalau masa kedua komunitas, namun para perusuh komunitas Islam dari Batu Merah memaksa masuk kemudian membakar rumah-rumah warga komunitas Kristen yang letaknya di
belakang Hotel Wijaya Dua.

Kedatangan Lasykar Jihad [LJ] di kota Ambon pada tanggal 5
Mei, nampaknya membangkitkan semangat militansi dari komunitas
Islam lokal. Karena itu, informan [LW, 31 tahun, Kristen] yang
diwawancarai mengatakan bahwa:
Pada hari Rabu dan Kamis tanggal 17 dan 18 Mei aksi penyerangan kembali dilakukan oleh komunitas Islam dari Galunggung kemudian membakar dua buah gedung Gereja [Gereja
Petra dan Gereja Santo Yakobus] di Kelurahan Ahuru-Karang
Panjang sehingga mengakibatkan keluarganya bersama-sama
dengan warga komunitas Kristen di sekitarnya harus mengungsi
ke kantor Kanwil XVI Dirjen Anggaran dan kantor Tata Usaha
Negara Ambon. 17

Harian Suara Maluku, Jumat 19 Mei melaporkan bahwa, aksi
Lasykar Jihad yang bergabung dengan sebagian kelompok Muslim,
sejak hari Selasa hingga Kamis sore [16-18 Mei] membuat kota Ambon
17

Lihat pula, Harian Suara Pembaruan, Jumat, 19 Mei 2000.

136

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

membara, asap mengepul, arus pengungsi, dentuman bom rakitan dan
ledakan granat terjadi di beberapa kawasan khususnya di AhuruKelurahan Waihoka, Mardika, Paradise Tengah dan Pohon Pule.
Disesali oleh warga, bahwa di kelurahan Waihoka tersebut ada pos
keamanan Zipur V Brawijaya dan Yanif 303 Garut Kostrad. Ternyata
perusuh tidak dihalau sehingga mampu membakar jauh ke kawasan
Kristen hingga sekitar daerah Wisma Gonsalo.
Penyesalan warga terhadap sikap netralitas aparat keamanan
diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa oleh puluhan Perempuan Ahuru
melalui penyampaian pernyataan sikap yang disampaikan kepada
Gubernur di kantor Gubernur Maluku, tanggal 18 Mei 2000. Sebagaimana diberitakan oleh Harian Siwalima tanggal 25 Mei 2000 bahwa,
alasan mendasar disampaikan tuntutan tersebut karena mereka menilai
kedatangan LJ menyimpang sangat jauh dari misi awal seperti yang
dikatakan Gubernur. 18 Realitas di lapangan menunjukkan LJ datang
untuk membakar, membunuh, dan menjarah. Menurut pernyataan
salah seorang informan [LW, 31 tahun, Kristen] bahwa:
Beta dengan basudara Kristen yang diserang [di Ahuru] melihat
dorang [LJ] langsung saat menyerang katorang [kami] dengan
menggunakan senajat otomatis [organik]. LJ juga dibantu oleh
tentara [aparat keamanan] dari Yonif 303/Kostrad dan Zipur
yang sebelumnya bertugas jaga katorang di sini [di kawasan
Ahuru].

Situasi keamanan meski mulai terkendali, namun insiden masih
terus terjadi. Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan
[SS,57 tahun, Kristen] bahwa pada tanggal 12 Juni, LJ dan komunitas
Islam menyerang komunitas Kristen di Desa Galala dan Hative Kecil
serta Desa Poka. Harian Suara Maluku terbitan tanggal 13 dan 22 Juni
melaporkan bahwa, selang beberapa hari kemudian, LJ dan komunitas
Islam kembali menyerang komunitas Kristen di Tantui-Kelurahan
Pandan Kasturi kemudian membakar habis Asrama Polisi dan membobol gudang senjata, mengakibatkan 5 orang meninggal, termasuk
Sebelumnya, Gubernur menyatakan Lasykar Jihad datang untuk dakwah dan misi
sosial, lihat pula Harian Suara Maluku, Senin 23 Mei 2000.

18

137

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

Wakil Komandan Satuan [Wadansat] Brimob Polda Maluku, Mayor
Pol. Edy Susanto. Penyerangan tersebut menyebabkan munculnya
ketegangan pada beberapa kawasan dipusat kota seperi di Urumesing,
Diponegoro, Trikora, Pohon Pule, perbatasan Batu Merah-Mardika dan
beberapa kawasan perbatasan yang rawan konflik.

Gedung-gedung di Kota Ambon yang terbakar
Sumber: http://www.websitesrcg.com/ambon/photos/ambon062.jpg.
diunggah tgl 10 Juli 2011.

Jalan Pattimura Ambon yang di Barikade Massa
Sumber: http://www.websitesrcg.com/ambon/photos/ambon078.jpg.
diunggah tgl 10 Juli 2011.

138

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Intensitas dan eskalasi konflik yang tinggi di kota Ambon
mengakibatkan lumpuhnya aktivitas perkantoran seperti yang dialami
oleh pemerintah Kota dan Provinsi, baik pada level individu, kelompok
maupun pada level kelembagaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tomagola, dkk [2007] menunjukkan bahwa, pada level individu,
dengan alasan keamanan dan keselamatan, banyak staf pegawai negeri
sipil [PNS] di kantor pemerintah yang tidak menunaikan kewajibannya
berkantor. Situasi ini dipersulit karena kawasan kantor Walikota
[khususnya] merupakan pusat pertempuran dan sasaran dari aksi-aksi
penembakan gelap [sniper], sementara tidak terdapat jalur alternatif
untuk meloloskan diri dari mara-bahaya jika pertempuran tiba. Pada
level kelompok, konflik memeiliki dampak psikologis tersendiri. Secara
ideal kantor Walikota [dan kantor Gubernur] adalah wilayah netral,
tempat dimana interaksi antar kelompok bisa berlangsung. Namun
kenyataannya, hal ini tidak terwujud sepenuhnya. Psikologis konflik
yang mendalam telah menggiring masing-masing PNS untuk mengelompokkan diri berdasarkan kesamaan agama. Pada level kelembagaan,
tidak hanya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang merosot
drastis, tetapi seluruh bangunan dasar kerja birokrasi ala Weberian
dalam melayani masyarakat runtuh. Pelayanan publik berjalan mengikuti alur segregasi masyarakat.
Dengan intensitas konflik yang semakin tinggi dan nampak
semakin tidak terkendali, maka pada tanggal 27 Juni 2000 pemerintah
memberlakukan keadaan Darurat Sipil di provinsi Maluku. Sekalipun
keadaan Darurat Sipil diberlakukan agar pemerintah Daerah dapat
menggunakan kewenangan atas nama negara untuk menghentikan
konflik Maluku, namun pada tanggal 3 dan 4 Juli terjadi lagi penyerangan ke Desa Poka dan Rumah Tiga mengakibatkan hancurnya fasilitas Pendidikan Tinggi-Universitas Pattimura, sehingga memacetkan
aktivitas perkuliahan. Kegiatan kampus kemudian dialihkan ke Ambon
dan terbagi pada dua lokasi yakni untuk komunitas Islam terpusat di
Mesjid Al Fatah dan sekitarnya, sedangkan bagi komunitas Kristen
berlangsung di beberapa lokasi tertentu. Kondisi segregasi seperti ini
sangat sulit dapat diselesaikan tanpa terlebih dahulu menghentikan dan
menyelesaikan konflik antar warga kedua komunitas. Rasa saling
139

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

curiga dan ketidakpercayaan timbal-balik [mutual distrush] antar
komunitas sangat terasa, sejalan dengan masih terjadinya konflik
kekerasan di kota Ambon. Saat itu, kepercayaan terhadap pemerintah
juga rendah 19. Masyarakat selalu apriori terhadap kebijakan pemerintah
yang dinilai berlarut-larut untuk menghentikan konflik yang telah
berlangsung selama ini.
Hingga bulan Desember 2000 dan sepanjang tahun 2001, konflik
masih terus berlangsung di berbagai tempat di kota Ambon maupun
pada beberapa wilayah lain di provinsi Maluku. Intensitas dan eskalasi
konflik mulai menurun ketika Batalyon Gabungan [Yongab] yang didatangkan dari Jakarta kemudian mulai melaksanakan tugasnya secara
serius, baik untuk melakukan sweeping berbagai senjata organik dari
warga kedua komunitas, kemudian melakukan penyergapan Lasykar
Jihad di beberapa tempat, maupun melakukan penangkapan terhadap
aparat keamanan TNI dan POLRI yang diduga kuat terlibat dalam
konflik Maluku di Hotel Wijaya II Ambon. Di samping itu, dengan
bantuan satuan-satuan TNI dan POLRI lainnya Yongab melakukan
operasi lapangan untuk menangkap sniper yang biasanya berkeliaran
dan menembak warga di kota Ambon.
Sejak saat itu, situasi di kota Ambon berangsur-angsur mulai
terkendali hingga bulan April 2002 pasca pertemuan Maluku di
Malino, 12 Pebruari 2002. Kesepakatan yang difasilitasi pemerintah ini,
tidak serta-merta mengakhiri konflik dan meruntuhkan sekat-sekat
segregasi antar masyarakat. Tetapi paling tidak, kesepakatan tersebut
sangat fungsional sebagai dasar [starting point] bagi semua pihak dalam
mengupayakan proses rekonsiliasi [Tomagola, dkk, 2007].
Ketika pemulangan LJ pada bulan Oktober, diikuti dengan
sosialisasi gagasan-gagasan perdamaian oleh berbagai pihak, situasi
keamanan di kota Ambon khususnya dan Maluku pada umumnya
semakin terkendali, maka keadaan Darurat Sipil kemudian dicabut oleh
Pemerintah.

Mengenai hal ini, lihat Tomagola, dkk [2007]. Menurut mereka, kedua komunitas
sama-sama menempatkan pemerintah sebagai pelaku utama diskriminasi.

19

140

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Peran Aktor dan Lembaga
Konflik yang terjadi tanggal 19 dan 20 Januari 1999 tidak luput
dari peran pemerintah [aparat keamanan] dan masyarakat yang terlibat
di dalamnya. Sebagaimana dilaporkan oleh salah satu media cetak
nasional [Merdeka, tanggal 19 Pebruari 1999] bahwa, ada oknom polisi
dan seorang tamtama Angkatan Darat yang terlibat dalam kerusuhan
yang terjadi 19-20 Januari lalu. Hal ini dibenarkan oleh KapolDa
Maluku [Kol Karyono Soemadinoto] dan Pangdam VIII Trikora
[Mayjen Amir Sembiring].
Dari intensitas dan eskalasi konflik yang berkembang saat itu
teridentifikasi dengan jelas adanya kecenderungan bahwa konflik
Maluku di kota Ambon berfluktuasi pada saat terlibatnya sejumlah
aparat keamanan. Secara umum, tekanan komunitas terhadap keterlibatan sejumlah aparat keamanan cenderung menguat saat sikap
keberpihakan mereka terhadap salah satu komunitas muncul secara
jelas. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Suara Pembaruan edisi
Sabtu 27 Pebruari 1999 bahwa, sejak tanggal 19 Januari hingga akhir
Pebruari, konflik yang terjadi telah menelan banyak korban jiwa disebabkan akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang
dinilai tidak sesuai dengan prosedur.
Untuk mengantisipasi situasi saat itu, Gubernur Maluku,
Walikota Ambon dan Bupati Maluku Tengah serta Pusat Rujuk Sosial
bentukan PEMDA mengambil prakarsa sekaligus bertindak sebagai
mediator dan fasilitator untuk mensukseskan pertemuan seluruh
kepala Desa di kota dan pulau Ambon yang berlangsung pada akhir
bulan April 1999. Substansi pertemuan tersebut semata-mata dalam
rangka membicarakan proses perdamaian. Seperti telah disinggung
sebelumnya bahwa, kesepakatan yang dicapai tersebut ditindaklanjuti
dengan dilaksanakan perjalanan Obor Perdamaian dari Ibukota Kabupaten Maluku Tengah [kota Masohi] ke Kecamatan Pulau Haruku dan
Kecamatan pulau Saparua kemudian tanggal 12 Mei menuju ke kota
Ambon untuk melaksanakan acara puncak perdamaian. Dilaporkan
oleh Suara Maluku, Senin 10 Mei 1999 bahwa, pada tanggal 12 Mei
bertempat di Lapangan Merdeka Ambon, pimpinan umat beragama,
141

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda serta pimpinan paguyuban menandatangani “ikrar perdamaian 20” sekaligus dibacakan oleh tiga
orang tokoh pemuda, 21 dan disaksikan oleh masyarakat serta para
petinggi militer. 22
Pada saat itu, peralihan antar tahap banyak terjadi perubahan
yang umumnya membawa dampak yang sangat dirasakan tidak
menguntungkan upaya penghentian konflik. Pada tanggal 15 Mei 1999
bertepatan dengan perayaan hari Pattimura, dilakukan Likuidasi
Korem 174/Pattimura dan Peresmian Kodam XVI Pattimura yang
diwarnai dengan terjadinya konflik antar warga kedua komunitas
sehingga menewaskan sejumlah korban jiwa. Harian Suara Pembaruan
edisi 5 Juli 1999 melaporkan bahwa, 16 orang tersangka [seluruhnya
anggota TNI dimana 7 orang dari Yonif 733 dan 9 orang dari Rindam
Pattimura] yang menembak warga pada peristiwa tanggal 15 Mei 1999.
Ikrar perdamaian tersebut: [1] bahwa bencana sosial yang terjadi di kota Ambon dan
beberapa tempat lain di wilayah Maluku, merupakan tragedi kemanusiaan yang telah
menghancurkan harkat dan martabat kemanusiaan kita sebagai ciptaan Tuhan. Tragedi
tersebut telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan beragama, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara; [2] sebgai insan beriman dan bertakwa, kami sungguhsungguh menyesali semua pengalaman pahit yang memilukan itu dan bertekad untuk
membangun kembali hubungan-hubungan kemanusiaanbaru yang dimotivasi dengan
rasa cinta sesama, saling menghargai dan menghormati dan dengan menjunjung nilainilai kemanusiaan, kekeluargaan dan persaudaraan; [3] bahwa tekad dan akad untuk
membangun hubungan kemanusiaan baru dalam suasana yang penuh damai, mengharuskan kita untuk dengan sadar mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan,
menghilangkan segala bentuk rasa kecurigaan, dendam, kebencian dan permusuhan
dengan terus mengupayakan cara-cara dami yang dialogis dalam menangani masalahmasalah yang belum terselesaikan; [4] menghargai kebhinekaan, baik agama, suku
bangsa, tradisi, adat-istiadat serta terus berupaya menggalang dan mempererat tali
persaudaraan dan kesatuan bangsa yang dijiwai oleh semangat dan wawasan kebangsaan; [5] mendukung sepenuhnya upaya semua pihak dalam penyelesaiaan tuntas dan
menyeluruh semua masalah yang belum selesai dengan tetap menjunjung azas keadilan, penegakan hukum dan kemanusiaan; [6] mengharapkan aparat keamanan
untuk mengungkapkan dengan terbuka kepada masyarakat para provokator dan
mengadilinya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku; [7] menindak tegas siapa saja yang dengan sengaja atau tidak sengaja melanggar ikrar perdamaian
ini, berdasar-kan hukum adat dan atau hukum negara.
21 Husein Tuasikal, SH [Remaja Mesjid], Pdt Perry Nahusona [Angkatan Muda Gereja],
dan FR Simon Petrus Matruty [Pemuda Paroki Keuskupan Amboina].
22 Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto, Kepala Staf TNI AL Laksamana
Widodo AS, Kepala Staf TNI AU Marsekal Hanafie Asnan, Komandan Kopasus Mayjen
Syahrir MS, Panglima Kodam VIII/Trikora Mayjen Amir Sembiring, dan Ketua Tim
Khusus Mabes TNI Mayjen Suaidi Marasabessy, serta Kapuspen Hankam/TNI Mayjen
Syamsul Ma’arif.
20

142

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Sudah berulang kali ditegaskan oleh Pangdam XVI/Pattimura
[Brigjen M Tamaela] maupun KapolDa Maluku [Kol.Pol. Drs Bugis M
Saman], bahwa kelompok manapun dan siapa pun orangnya yang
menyerang kelompok lain lebih dulu, maka aparat akan menindak
tegas dengan cara menembak di tempat. Kenyataannya, penegasan
tersebut dinilai tidak serius untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hal tersebut terbukti ketika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh
kelompok Islam terhadap warga Desa Hative Kecil dan warga Desa
Tawiri tanggal 16-17 Agustus 1999, tanpa dicegah oleh aparat. Harian
Suara Maluku edisi Kamis 19, 20 dan Sabtu 21 Agustus 1999 melaporkan bahwa, lucunya, kelompok yang menyerang dibiarkan begitu saja,
tetapi malah kelompok yang diserang yang terkena berondongan
peluru aparat keamanan. Pada saat yang bersamaan tiga orang pemuda
dari komunitas Kristen ditembak oleh tiga orang aparat Den Zipur V di
Rumah Tiga mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Di samping
itu, 15 orang anggota Kostrad 413 dilaporkan ditahan untuk diproses
sesuai ketentuan yang berlaku, atas pelanggaran dalam pelaksanaan
tugas
Ketika terjadi insiden antar kedua kelompok di Ahuru [KarpanAmbon] pada hari Senin 20 Sepember 1999, dilaporkan oleh Harian
Suara Maluku edisi Jumat 24 September 1999 bahwa aparat keamanan
dari kesatuan Zeni Konstruksi [Zikon] XII Sriwijaya membagi-bagikan
peluru [amunisi] dari magazin kepada kelompok massa tertentu. Salah
seorang wartawan yang memantau langsung kejadian tersebut
mengatakan bahwa ia sendiri melihat dengan jelas ada oknom aparat
yang memimpin massa satu kelompok untuk menyerang kelompok
yang lain. Senada dengan itu, salah seorang informan kunci [LA, 32
thn, Kristen] 23 menuturkan bahwa:
Keberpihakan itu membuat kelompok massa Islam begitu bebas
bakar katong [kami] punya rumah-rumah di RT 02/16 dan RT
03/16 di Ahuru. Aparat Zikon bergabung [menyatu] dengan
kelompok Islam untuk melakukan penyerangan. Aparat melepaskan tembakan katong punya rumah-rumah kemudian memaInforman adalah salah seorang warga RT 02/16. Mengaku dengan jujur bahwa ia
bersama-sama dengan sejumlah warga melihat langsung di tempat kejadian.

23

143

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

sukinya untuk mencari senjata tajam yang biasaya katong pakai
[gunakan] untuk menjaga [mempertahankan] diri, sementara
massaIslam ikut dari belakang dan membakar rumah.

Ketidakpercayaan warga terhadap netralitas sikap aparat
keamanan semakin terbukti, ketika tiga orang aparat TNI memimpin
sekelompk massa Islam untuk membakar rumah penduduk di Desa
Halong. Salah seorang informan [IT,43 tahun, Kristen, pemilik salah
satu rumah yang dibakar] ketika diwawancarai menuturkan bahwa:
Pada tanggal 10 Oktober ia ditodong dengan senjata oleh salah
seorang aparat keamanan TNI-AL di depan rumahnya, kemudian ia mengatakan “kenapa menodong saya yang perempuan
ini”. Aparat tersebut kemudian mengatakan bahwa, “saya sudah
kenal muka, kalau mengungsi di kompleks AL Halong, saya
bunuh kasi mati. “Tunggu waktunya dan bukan sekarang”,
sementara salah seorang aparat lainnya langsung menyuruh
warga komunitas Islam membakar rumah miliknya dan salah
satu rumah lainnya yang berdekatan”.

Realitas ini juga dilaporkan oleh Harian Suara Maluku edisi
Senin 11 Oktober 1999 bahwa, pada tanggal 10 Oktober, tiga oknum
TNI [dua orang AL Halong yakni Pratu SS dan Serda SP dan satu orang
dari AD Yonif 733/BS] memimpin sekitar 30 orang warga massa Islam
kemudian membakar tiga buah rumah warga di RT 011/RW 12 Desa
Halong. Dalam kejadian tersebut masa yang ikut ketiga orang aparat
TNI tersebut ngotot karena cuma tiga rumah saja yang dibakar. Baik
Pratu SS maupun Serda SP mengatakan uda-uda, biar aja. Inikan
programnya sedang jalan, tunggu aja waktunya, tunggu aja tanggal
mainnya. Bukan waktu sekarang.”
Sementara itu, sebagian warga kota mengaku kecewa atas sikap
dan perilaku aparat keamanan yang menggunakan kendaraan lapis baja
[Panser] untuk menghentikan konflik yang terjadi pada bulan Mei
tahun 2000. Salah seorang informan [IH, 33 tahun, Kristen] menuturkan bahwa:
Pada bulan Mei tahun 2000 beta [saya] dan beberapa teman
sementara berjaga-jaga di gedung Gereja Betlehem. Saat itu
[siang hari] panser lewat [meliwati] depan Gereja langsung

144

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

menembak katorang [kita], untung katorang lari bersembunyi di
bagian belakang gedung Gereja”.

Terhadap kejadian tersebut, Harian Siwalima edisi Sabtu 20 Mei 2000
melaporkan bahwa, ketakutan warga kian bertambah pada Jumat [19
Mei] siang. Saat meliwati depan gedung Gereja Betlehem, Panser
langsung mengarahkan tembakan otomatnya kepada sejumlah warga
yang saat itu sedang berjaga-jaga di halaman gedung Gereja. Bukan itu
saja, namun ketika menemukan warga yang terkena tembakan dari
sniper, langsung diangkat kedalamnya kemudian dibawa ke arah yang
tidak tahu tujuannya. Sinyalemen adanya keterlibatan aparat [TNIPOLRI] dalam melanggengkan konflik di Ambon, ternyata bukan
Cuma isapan jempol. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi
Pembangunan Kawasan [PSPK] bulan Maret-April tahun 2000 menyebut adanya sejumlah data lapangan yang memperkuat sinyalemen
tersebut. Penjelasan ketua PSPK [La Ode Ide] sebagaimana yang dilaporkan Harian Siwa Lima edisi Sabtu 10 Juni 2000 bahwa, salah satu
temuan data lapangan menunjukkan adanya keterlibatan sejumlah
oknom aparat keamanan [TNI-POLRI] secara person, namun tidak
tertutup kemungkinan secara terstruktur.
Di samping itu, beda persepsi tentang kehadiran Lasykar Jihad
saat itu menjadi polemik dalam masyarakat. Ada sebagian warga yang
pesimis, namun ada juga sebagian yang optimis. Pernyataan salah
seorang Anggota DPRD Maluku [Rachman Holle] sebagaimana dilaporkan Harian Suara Maluku edisi 10 dan 12 Mei 2000 bahwa, kehadiran LJ ke Ambon adalah memberikan kontribusi untuk mengurangi
sikap agitasi dari segelintir kelompok dalam kota Ambon khususnya
dan Maluku pada umumnya. Ia menambahkan bahwa, dengan kehadiran LJ akan memberi nilai tambah dalam rangka proses rekonsiliasi.
Sementara itu, Ketua DPRD Maluku [Etty Sahuburua] saat itu menyesalkan tindakan pemerintah pusat, yang seolah-olah membiarkan LJ
datang ke Ambon.
Terlepas dari munculnya beda persepsi sebagaimana tersebut di
atas, dalam kenyataannya kehadiran LJ ternyata meningkatkan
intensitas dan eskalasi konflik di kota Ambon khususnya dan Maluku
145

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

pada umumnya. Salah seorang informan [LA, 32 tahun, Kristen]
mengatakan bahwa:
Pada saat terjadi kontak antar warga kedua komunitas di
sejumlah wilayah di kota Ambon, ia melihat secara jelas masa
Islam bergabung dengan anggota LJ kemudian melakukan
penyerangan kepada warga komunitas Kristen. Kasus konflik
yang terjadi di Ahuru misalnya, penyerangan terhadap warga
komunitas Kristen saat itu dilakukan oleh masa Islam dan LJ
dari Galunggung.

TNI-Standard Explosive Rockets Launched by
LJ Targeting The main GPM Church (Maranatha Church).
Sumber: http://www.oocities.org/kariu67/masariku10052002b.htm. dikunjungi 10 Juli
2011.

146

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Desa Rumah Tiga yang hancur
Sumber: http://www.websitesrcg.com/ambon/photos/Rumitig02.jpg.

Diunggah 10 Juli 2011.

Pada saat yang sama terjadi perubahan dari status pengamanan
yang sebelumnya ditangani oleh KODAM Pattimura dan POLDA
Maluku meningkat menjadi penerapan Darurat Sipil. Peningkatan
status pengamanan ini ternyata tidak banyak membawa perubahan
kebijakan dan manajemen pengamanan yang signifikan terkait dengan
situasi konflik yang sedang terjadi saat itu. Aksi provokator dan
penembak gelap senantiasa menghantui warga. Bersamaan dengan itu,
kelompok Kristen garis keras yang menamakan diri Front Kedaulatan
Maluku [FKM] juga muncul dan ikut memanas-manaskan situasi di
kota Ambon. Saat itu, pemerintah dinilai gagal untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Salah satu pernyataan Thamrin Amal
Tomagola yang dilaporkan oleh Harian Suara Maluku edisi Sabtu 27
Mei 2000 bahwa, kegagalan tersebut bisa dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM yang berat. Kalau pemerintah sudah tidak mampu
mengatasi masalah Ambon-Maluku, mengapa kita tidak meminta
147

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

bantuan Internasional. Sebab, pemerintah sudah tidak ada konsep bagi
penyelesaiannya, pemerintah cenderung menyerahkannya pada sang
waktu.
Rasa kekecewaan warga sempat teratasi ketika kedatangan
Batalyon Gabungan [Yongab] kemudian mulai melaksanakan tugasnya
secara serius di kota Ambon. Sejak saat itu, intensitas konflik menurun
secara drastis sehingga situasi keamanan berangsur-angsur mulai pulih
kembali.

Budaya Lokal
Intensitas dan eskalasi konflik yang semakin tinggi di kota
Ambon, ternyata tidak meruntuhkan keinginan warga kedua komunitas untuk mencari solusi penyelesaian. Warga kedua komunitasn mulai
mencari kerabat-kerabat mereka yang terpisah akibat konflik untuk
merajut kembali hubungan persaudaraan. Pada bulan Maret 1999,
Latupati dan Raja dari 47 Negeri di kota dan pulau Ambon bertemu
kemudian merumuskan “kesepakatan adat sebagai solusi menuju perdamaian.” Bersamaan dengan itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan kepercayaan [trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan
sosial orang Ambon dilakukan acara bikin panas pela antara negeri
Batu Merah [Salam] dan negeri Passo [Serani] di tengah stabilitas
keamanan yang belum sepenuhnya terkendali. Bertolak dari kenyataan
bahwa acara bikin “panas pela” yang dilakukan antara dua negeri yang
terikat dalam satu hubungan pela tersebut merupakan bahasa bersama
yang dikenal mengakar dalam kebiasaan orang Ambon. Kelahiran pela
perang tidak lain dari akibat berakhirnya suatu pepe-rangan untuk
saling memberi “sirih pinang” di atas parang antara dua kapitang untuk
dimakan sebagai tanda terciptanya perdamaian. Terlepas dari itu, acara
bikin panas pela tersebut dilaksanakan untuk memberikan pesan
simbolik kepada orang Ambon tentang eksistensi orang Ambon.
Informasi yang diperoleh dari Raja Negeri Batu Merah 24 bahwa:

24

Wawancara mendalam dengan Raja Negeri Batu Merah, 24 Nopember 2009.

148

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Maukah katorang [kita] berjoget [berkelahi] terus dengan
gendang orang luar. Betapa bodohnya katorang yang memiliki
budaya, adat istiadat yang ampuh dan sebagai pemeluk agama
yang taat, teguh dan rukun begitu mudah memberi diri ditipu
dan diadudomba [diprovokasi] oleh orang luar lalu katorang
saling menghancurkan, sedangkan merekalah yang berpesta
pora.

Kesadaran seperti ini, muncul pula dari warga kedua komunitas.
Sekalipun stabilitas keamanan tidak kondusif untuk menjamin mereka
dapat berjumpa, namun dengan menggunakan telpon genggam mereka
berkomunikasi secara timbal-balik antara satu dengan yang lain. Hal
ini dapat terjadi karena hubungan-hubungan pertemanan dan hubungan-hubungan persaudaraan yang selama ini telah terjalin di antara
warga kedua komunitas tidak dapat dilupakan begitu saja. Informasi
yang diperoleh dari salah seorang informan [WT, 42 tahun, Islam]
menuturkan bahwa:
Biar beda agama, tapi beta [saya] dengan teman-teman Kristen
di kantor suda seperti keluarga saja. Suda dua puluh tahun lebih
katorang [kami] kerja bersama-sama. Dalam pekerjaan di
kantor, katorang saling berbagi antara satu dengan yang lain.
Sejak kerusuhan [konflik] terjadi di Ambon, setiap hari katorang
bakutelepon [saling berkomunikasi] lalu [kemudian] janji baku
dapa [bertemu] di kantor Gubernur. Selama kerusuhan, katorang baku dapa dua kali seminggu. Katorang bacarita [berceritera] sampai [hingga] siang [jam 13 WIT baru [kemudian]
katorang bubar [berpisah].

Komunikasi timbal-balik [melalui media telepon] seperti ini
terjadi pula bagi warga kedua komunitas yang pernah tinggal bersama
dalam satu wilayah pemukiman, namun karena konflik yang terjadi
mereka harus mengungsi dan menetap bersama dengan warga lain
menurut kesamaan agama yang dianut. Realitas yang sama terjadi pula
pada staf pengajar dari Universitas Pattimura dan Politeknik Negeri
Ambon, mahasiswa, birokrat, dan anggota DPRD Provinsi dan Kota
Ambon. Karena saat itu aktivitas perkuliahan berlangsung tersegregasi
pada masing-masing komunitas, maka untuk menyelesaikan tugastugas akademik, biasanya staf pengajar saling berkomunikasi untuk
bertemu di kantor Gubernur Maluku. Demikian pula bagi anggota
149

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik di Maluku

DPRD Provinsi dan Kota Ambon, untuk menyelesaikan berbagai
agenda penting dari Dewan maka mereka saling berkomunikasi untuk
bertemu di kantor Gubernur.

Kesimpulan
Realitas konflik yang terjadi di kota Ambon dan berlangsung
selama kurang lebih tiga tahun yang ditandai dengan intensitas yang
tinggi, menimbulkan rasa saling curiga dan ketidakpercayaan timbalbalik antar warga kedua komunitas tidak dapat dihindari. Terlepas dari
adanya beda persepsi tentang akar permasalahan serta netralitas sikap
aparat keamanan selama konflik berlangsung, namun warga kedua
komunitas merasakan dampak berantai, kait-mengkait antara dampak
yang satu dengan dampak yang lain sehingga masalah yang datang silih
berganti seakan tidak habisnya.
Sekalipun keamanan dan ketentraman ibarat barang mewah
yang sangat sulit diprediksi saat itu, akan tetapi kapitalisasi sosial yang
dimiliki oleh warga kedua komunitas [sebagai orang Ambon] berpotensi menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi untuk merajut
kembali kehidupan berdampingan secara serasi.

150