Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB VII

Bab Tujuh

Dinamika Konflik antar Dua
Komunitas yang Berbeda Hubungan
Gandong di Pulau Ambon

Pengantar
Negeri Tulehu [Islam] dan negeri Waai [Kristen] di pulau Ambon
adalah dua negeri adat di antara sejumlah negeri adat yang berada di
Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam struktur
kekerabatan, warga kedua komunitas terikat dalam hubungan kerabat
baik yang bersifat afinitas, maupun hubungan kerabat yang bersifat
teritorial geneologis. Warga kedua komunitas memiliki hubungan pela
dan hubungan gandong yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Komunitas Islam di negeri Tulehu memiliki hubungan pela
dengan komunitas Kristen dari negeri Paperu di pulau Saparua, dan
memiliki hubungan gandong dengan komunitas Kristen dari negeri
Hulaliu di pulau Haruku. Sedangkan komunitas Kristen di negeri Waai
memiliki hubungan pela dengan komunitas Krsiten di negeri Suli di
Kacamatan Salahutu, dan dengan komunitas Krsiten di negeri Kaibobu
di Kabupaten Seram Bagian Barat, serta memiliki hubungan gandong

dengan komunitas Islam di negeri Morela, di Kecamatan Leihitu.
Ketika konflik Maluku terjadi di kota Ambon kemudian menyebar ke pulau Ambon, warga kedua komunitas terlibat dalam realitas
konflik tersebut secara berhadap-hadapan dengan pola, bentuk dan
intensitas konflik yang relatif tinggi.
107

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Intensitas Konflik
Satu hari setelah terjadi konflik di kota Ambon, keluargakeluarga Kristen dari negeri Tihulale, Kamariang [dari pulau Seram]
dan dari Titawai [dari pulau Nusalaut] yang sebelumnya tinggal secara
bersama-sama dengan komunitas Islam, harus meninggalkan negeri
Tulehu dan kembali ke negeri mereka. Hijrahnya keluarga-keluarga
tersebut bukan disebabkan karena adanya tekanan dari komunitas
Islam, tetapi semata-mata hanya berusaha menghindar untuk menyelamatkan diri mereka. Keputusan tersebut tentu cukup beralasan karena
pada saat itu berkembang rumor dalam masyarakat [di negeri Tulehu]
bahwa, di kota Ambon saat itu sedang terjadi perkelahian antar umat
beragama.
Rumor tersebut ternyata berkembang juga dalam komunitas
Kristen di negeri Waai. Serentak dengan itu pula, situasi kebersamaan

yang pernah tercipta antar warga kedua komunitas berangsur-angsur
mulai berubah secara signifikan. Para pengemudi mobil angkot dari
negeri Waai yang biasanya parkir dan mengangkut penumpang di
dermaga dengan tujuan ke kota Ambon, suda tidak tampak lagi. Hal ini
disebabkan karena, mereka menghindar dari berbagai kemungkinan
yang dapat saja terjadi saat itu.
Dermaga pelabuhan yang sebelumnya sangat ramai, tampak
mulai sepi dan hanya disinggahi oleh speed boad yang mengangkut
para penumpang khususnya komunitas Islam dari pulau Haruku saja,
seperti dari negeri Pelau, Kailolo, dan beberapa negeri lainnya.
Sedangkan kapal-motor dan speed boad yang mengangkut penumpang
komunitas Kristen dari pulau Seram, Haruku, Saparua, dan dari pulau
Nusalaut dengan tujuan ke kota Ambon, mereka cenderung memilih
untuk menurunkan penumpangnya di pesisir pantai negeri Passo 1,
sekalipun harus menempuh perjalanan dan membutuhkan waktu lebih
lama.

1 Di negeri Passo, tidak tersedia dermaga yang dapat disinggahi oleh Kapal-Motor
maupun speed boad.


108

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

Realitas ini ternyata berdampak sangat buruk terhadap berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Sudah tidak ada lagi aktivitas bongkarmuat di pelabuhan, warung-warung makan sudah tampak sepih karena
tidak ada pengunjung, putusnya jalur transportasi yang menghubungkan negeri Tulehu dengan kota Ambon. Semua ini berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan masyarakat secara signifikan. Pada hal,
dermaga pelabuhan tersebut sebelumnya merupakan salah satu sumber
pendapatan yang sangat potensial bagi komunitas Islam di negeri
Tulehu.
Satu minggu kemudian aparat keamanan BKO dari TNI-AD 2
datang ke negeri Tulehu kemudian mereka mendirikan pos-pos penjagaan baik di negeri Tulehu, maupun di negeri Waai, dimana setiap pos
penjagaan ditempati kurang lebih 30 orang. Pada saat hendak mendirikan pos penjagaan di dalam negeri Tulehu, komunitas Islam
menyampaikan protes penolakan terhadap kehadiran mereka. Alasan
penolakan tersebut semata-mata karena, tidak ada gangguan keamanan
di dalam negeri 3, akibatnya mereka mendirikan satu pos penjagaan di
perbatasan antara negeri Tulehu dengan negeri Suli, satu pos di
perbatasan antara negeri Tulehu dengan negeri Waai, dan satu pos lagi
di antara negeri Waai dengan negeri Liang.
Kehadiran aparat keamanan sebagaimana tersebut di atas, awalnya ditanggapi secara positif oleh komunitas Kristen di negeri Waai.

Karena itu, setiap pagi hari, warga biasanya menyediakan sarapan pagi
[kopi, teh dan kue] kemudian mengantarkannya, pada siang dan malam
hari juga disediakan makan kemudian diantarkan ke pos-pos penjagaan. Kerelaan seperti ini semata-mata dilakukan karena pertimbangan
kemanusiaan saja. Aparat sudah menjaga keamanan warga, baik pada
siang maupun malam hari di pos-pos penjagaan, karena itu tidak ada

Hasil wawancara tanggal 22 Oktober 2010, dengan salah satu informan kunci IT, 61
tahun, Islam. Informan sudah tidak ingat secara jelas TNI-AD dari batalion mana yang
datang kemudian mendirikan pos keamanan di perbatasan negeri Tulehu.
3 Pengakuan salah satu informan kunci IT, 61 tahun [Islam].

2

109

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

salahnya jika warga menyediakan makanan dan minuman [jaminan]
kepada aparat4.
Warga komunitas Kristen di negeri Waai saat itu seolah-olah

tidak terlalu menghiraukan realitas konflik yang sementara terjadi di
kota Ambon. Karena itu, aktivitas keseharian baik sebagai petani di
kebun maupun sebagai nelayan di laut tetap mereka laksanakan seperti
biasa, sekalipun frekwensinya tidak seperti beberapa bulan sebelumnya.
Pada saat itu, komunitas Kristen di negeri Waai tidak pernah
berpikir bahwa mereka akan diserang oleh komunitas Islam yang
berada di negeri-negeri tetangga. Keyakinan tersebut muncul karena
selama ini tidak pernah ada permusuhan antara mereka satu dengan
yang lainnya. Yang terjadi justeru sebaliknya, warga kedua komunitas
yang berada di ketiga negeri (Tulehu, Waai dan Liang) senantiasa
berusaha untuk membangun kehidupan berdampingan secara harmonis dalam berbagai konteks hubungan sosial, tanpa mempersoalkan
perbedaan agama yang ada di antara mereka. Namun, perkiraan mereka
ternyata meleset jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya.
Ketika intensitas konflik semakin tinggi di kota Ambon yang
ditandai dengan terjadinya pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk dan sarana-sarana peribadatan, beberapa orang warga komunitas
Islam dari pulau Haruku, Saparua dan dari pulau Seram datang ke
negeri Tulehu. Menurut IT, 61 tahun, Islam, mengatakan bahwa pada
saat berkumpul, kemudian mereka mengatur rencana penyerangan ke
komunitas Kristen di negeri Waai. Lebih lanjut dikatakan bahwa, pada
saat itu ada beberapa orang tua di negeri Tulehu yang berusaha

mencegah untuk tidak menyerang basudara[Saudara] Kristen di negeri
Waai, namun usaha tersebut tidak dihiraukan sama sekali oleh mereka.
Pada tanggal 23 dan 24 Pebruari tahun 1999, mereka melakukan
penyerangan untuk pertama kali selama dua hari berturut-turut.
Akibatnya, empat orang meninggal, dan dua orang mengalami luka4 Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010 dengan informan kunci, BW, 57 tahun
[Kristen]

110

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

luka karena terkena tembak 5. Korban luka tembak tersebut, dicurigai
oleh warga dilakukan oleh aparat keamanan. Menurut kesaksian salah
sorang informan kunci [BW,57 tahun, Kristen] bahwa, saat itu mereka
[komunitas Kristen] tidak melihat para perusuh dari komunitas Islam
yang melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata api.
Sejak saat itu, mereka mulai meragukan sikap netralitas aparat
TNI-AD untuk memberikan jaminan keamanan kepada mereka.
Keraguan tersebut cukup beralasan karena, aparat TNI-AD yang menjaga keamanan di perbatasan kedua negeri [Tulehu-Waai] tidak menghalau dan atau mencegah mereka [para perusuh]. Yang terjadi justru
sebaliknya, para perusuh dibiarkan masuk dan menyerang warga

komunitas Kristen.
Sebagaimana dituturkan oleh salah satu informan kunci tokoh
masyarakat dari negeri Waai [UM, 69 tahun, Kristen] bahwa:
Masyarakat negeri Waai sangat kecewa dengan sikap aparat
keamanan yang membiarkan para perusuh secara leluasa masuk
kemudian melakukan penyerangan dan menembak mati anggota masyarakat di depan mata aparat keamanan, tanpa melakukan pencegahan.

Penyerangan tersebut terjadi diluar dugaan warga komunitas
Kristen di negeri Waai 6, karena itu mereka hanya bertahan saja dan
tidak melakukan perlawanan secara berarti. Sikap seperti itu diambil
karena mereka [komunitas Kristen di negeri Waai] begitu percaya
bahwa aparat keamanan yang semula diharapkan dapat memberikan
jaminan keamanan, tetapi malah sebaliknya dalam pelaksanaan justeru
memberi peluang bagi para perusuh melakukan penyerangan. Melihat
sikap aparat keamanan yang tidak netral tersebut, mendorong warga
komunitas Kristen untuk berpikir kembali tentang peran TNI-AD.
Sejak saat itu, komunitas Kristen mulai merasa tertekan dan
terancam. Mereka menjalani hari-hari kehidupan dengan penuh
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2010 dengan informan kunci UM, 69 tahun,
Kristen.

6 Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010 dengan informan kunci, DB, 47 tahun
[Kristen].
5

111

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

keresahan, karena munculnya berbagai isyu bahwa akan ada penyerangan kembali. Aktivitas warga sebagai petani maupun sebagai
nelayan, sudah tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Mereka merasa
sangat khawatir untuk pergi melakukannya, apa lagi pada malam hari
di laut sebagai nelayan.
Rupanya para perusuh tidak merasa puas dengan penyerangan
pertama yang dilakukan pada bulan Pebruari, karena itu pada tanggal
18 Agustus 1999 komunitas Kristen di negeri Waai kembali diserang
untuk kedua kalinya. Penyerangan tersebut datang dari komunitas
Islam di negeri Liang, mengakibatkan dua orang meninggal 7. Aparat
TNI-AD yang bertugas menjaga keamanan di perbatasan kedua negeri
[Liang-Waai], tidak berusaha menghalau atau mencegah mereka [para
perusuh], namun dibiarkan masuk dan menyerang warga komunitas

Kristen.
Akibat dari adanya sikap pembiaran aparat keamanan tersebut,
komunitas Kristen tidak percaya lagi kepada mereka [TNI-AD]. Sikap
resistensi tersebut ditunjukkan dengan cara warga komunitas Kristen
tidak lagi menyediakan makanan dan minuman bagi aparat yang bertugas di negeri Waai. Sejak saat itu, komunitas Kristen di negeri Waai
mulai mempersiapkan senjata primitif buatan sendiri [panah, tombak,
parang] termasuk bom rakitan, yang dapat dipergunakan untuk menjaga dan mempertahankan diri apabila ada penyerangan dari para
perusuh.
Pada awal bulan Mei tahun 2000 yang ditandai dengan masuknya
Lasykar Jihad [LJ] ke kota Ambon kemudian menyebar ke pemukimanpemukiman Islam di pulau Ambon, menyebabkan stagnannya proses
rekonsiliasi yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Daerah. Kehadiran LJ ke komunitas Islam di negeri Tulehu 8 menimbulkan perubahan peta kekuatan pada kedua komunitas yang bertikai. Pola konflik
7 Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010 dengan informan kunci, DB, 47 tahun
[Kristen].
8 Hasil wawancara tanggal 22 Oktober 2010, dengan informan kunci IT, 61 tahun,
Islam. Informan tidak mengetahui secara pasti jumlah LJ yang datang ke negeri Tulehu
kemudian bergabung dengan warga komunitas Islam lokal dan menyerang komunitas
Kristen di negeri Waai.

112


Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

pada saat itu sudah mengalami perubahan, antara lain dengan sudah
menggunakan senjata dan amunisi standar, senjata berat, bom dan
teknik berperang yang sangat tinggi.
Selain membawa perlengkapan perang, LJ juga menggunakan
ajaran-ajaran Jihad untuk melegitimasi isyu-isyu provokatif yang mereka sosialisasikan kepada komunitas Islam lokal9. Akibatnya, mereka
terprovokasi dan beberapa orang ikut dalam penyerangan tersebut 10.
Salah seorang informan kunci [IT, 61 tahun, Islam] mengatakan
bahwa:
Sebenarnya orang luar yang memanfaatkan negeri Tulehu
sebagai jalur masuk untuk menyerang komunitas Kristen di
negeri Waai. Kami [komunitas Islam di negeri Tulehu] tidak
tahu harus berbuat apa lagi, karena yang datang ke negeri kami
adalah masyarakat sipil bersenjata. Kebanyakan dari mereka
bukan orang Maluku, ada yang berasal dari Jawa, Sumatera, dan
lain-lain yang kami tidak tahu berasal dari mana. Hanya
beberapa orang lokal saja yang berasal dari negeri-negeri salam
[Islam] di pulau Seram, Haruku dan dari pulau Saparua. Kami
juga tidak mengetahui tentang target penyerangan, tetapi orang

luar yang mengetahuinya. Beberapa orang anggota masyarakat
kami juga terlibat dalam penyerangan ke negeri Waai, karena
mereka terprovokasi dengan isyu-isyu yang disampaikan
khususnya tentang ukuah islamiah, dimana antara sesama
muslim harus saling membantu”.

Kehadiran LJ di komunitas Islam, khususnya di negeri Tulehu
ternyata meningkatkan semangat militansi dikalangan pemuda Islam
lokal.
Pada tanggal 15 Mei tahun 2000, ada upaya provokasi dari
sekelompok pemuda Islam di negeri Liang yang menyampaikan kepada
komunitas Kristen di negeri Waai bahwa, untuk menyambut obor
perdamaian dari pulau Seram, maka setiap negeri harus diwakili oleh
15 orang pemuda. Saat itu, telah dilakukan koordinasi kemudian sudah
Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010, dengan informan kunci MO, 63 tahun,
Islam.
10 Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010, dengan informan kunci DT, 59 tahun,
Islam.
9

113

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

selesai melakukan upacara adat dengan 15 orang pemuda dari komunitas Kristen untuk ikut serta. Namun, bersamaan dengan itu salah
seorang warga komunitas Kristen [Bapak, Zeth Bakarbessy] ditemukan
meninggal karena dibunuh di kebunnya yang letaknya diperbatasan
dengan negeri Liang. Kejadian ini menimbulkan amarah dari komunitas Kristen, kemudian mereka membatalkan keikutsertaan para pemuda untuk menyambut obor perdamaian tersebut.
Dalam situasi emosional warga seperti itu, tiba-tiba satu buah
mobil angkot dari arah Tulehu dengan delapan orang penumpang yang
melewati Waai hendak menuju negeri Liang. Pada saat mobil angkot
tersebut sampai di Waai, kemudian diberhentikan oleh warga, dan
serentak dengan itu pula warga mengeksekusi para penumpang dan
sopirnya, kemudian mobil tersebut dibakar11.
Pada tanggal 6 Juli tahun 2000, komunitas Kristen di negeri Waai
kembali diserang untuk ketiga kalinya. Diawali dengan pembakaran
terhadap gedung Gereja Katolik yang berada di perbatasan antara
negeri Waai dengan Dusun Mamoking-negeri Tulehu, sehingga
pengiriman pasukan keamanan ke Waai dinilai sangat terlambat [Suara
Maluku, Jumat 7 Juli 2000]. Penyerangan tersebut dilakukan pada
pukul 07.00 WIT secara besar-besaran dari tiga arah, yakni dari
Tulehu, dari Liang dan dari Laut. Akibatnya, 31 orang meninggal, 7
orang mengalami luka terkena tembakan serta sebagian besar rumah
penduduk, empat buah gedung Gereja dan lainnya sudah hangus
terbakar.
Salah seorang informan kunci [DB, 47 tahun, Kristen] mengatakan bahwa, para perusuh menggunakan senjata berat pada saat
penyerangan tersebut. Bangunan gedung Gereja dan rumah-rumah
penduduk ditembak dengan mortir berkali-kali, akibatnya terbakar.
Hanya 61 buah bangunan rumah penduduk saja yang masih utuh,
sedangkan sembilan puluh persen lainnya sudah terbakar rata dengan
tanah.

11

Hasil wawancara tanggal 26 Oktober 2010, dengan BW, 57 tahun [Kristen].

114

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

Pada saat itu seluruh warga harus mengungsi ke hutan tepatnya
di kaki gunung Salahutu, untuk menyelamatkan diri [Suara Maluku, 7
Juli 2000]. Sekalipun berada di tempat pengungsian di hutan, namun
pada hari minggu biasanya mereka kembali untuk menunaikan ibadah
minggu di bangunan gedung Gereja yang sudah terbakar.
Pada hari Sabtu tanggal 8 Juli, komunitas Kristen di kota Ambon
dan dari pulau Haruku mengantarkan bantuan kepada mereka di
hutan. Bantuan tersebut berupa terpal, lampu petromax dan bahanbahan makanan. Tiga hari kemudian dua buah kapal perang [milik
TNI-AL] dan satu buah motor Landen datang mengangkut warga yang
sakit dan orang-orang tua untuk dibawa ke Ambon12.
Sekalipun sudah mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri,
namun aparat keamanan selalu berusaha untuk mengetahui keberadaan warga komunitas Kristen di lokasi pengungsian. Pada saat salah
seorang warga 13 hendak menuju ke negeri Waai untuk mencari jenazah
saudaranya [kakak] yang hilang pada saat penyerangan tersebut, ia
bertemu dengan aparat keamanan [TNI-AD] dan menanyakan tentang
jumlah warga komunitas yang berada di lokasi pengungsian. Menurut
aparat “jika banyak maka ada 65 orang aparat keamanan [TNI-AD]

yang akan naik ke tempat pengungsian untuk membantu sekaligus
menjaga komunitas Kristen di hutan”.
Setelah kembali dari negeri ke lokasi pengungsian di hutan,
kemudian ia menyampaikan keinginan aparat keamanan tersebut
kepada beberapa orang warga komunitas Kristen. Terhadap kenyataan
tersebut, seorang informan kunci [UM, 49 tahun, Kristen] mengatakan
bahwa, keinginan aparat seperti itu sangat dicurigai sebagai upaya
untuk mencari-tahu jalan masuk menuju ke lokasi pengungsian.
Kecurigaan tersebut ternyata benar. Pada hari minggu pagi
tanggal 30 Juli, jam 10.00 WIT, para perusuh menyerang komunitas
Kristen untuk keempat kalinya di lokasi pengungsian di hutan. Hujan
mortir, granat, bom dan rentetan tembakan senjata organik terus
12
13

Hasil wawancara tanggal 26 Oktober 2010, dengan BW, 57 tahun [Kristen].
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2010, dengan WP, 51 tahun [Kristen].

115

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

menggempur. Pada saat itu, orang-orang tua dibunuh, dan warga lari
bersembunyi untuk menyelamatkan diri 14.
Penyerangan tersebut berawal dari datangnya sejumlah warga
komunitas Islam dari negeri Liang dan Tulehu ke negeri Waai hendak
mencuri ‘senk’ bekas di atas rumah penduduk yang sudah porakporanda akibat serangan tanggal 6 Juli lalu [Suara Maluku, Senin 31 Juli
2000]. Namun kedatangan mereka ternyata diketahui oleh sejumlah
pemuda di negeri Waai yang tidak rela barang miliknya diambil begitu
saja. Hal ini mengakibatkan terjadinya kejar-mengejar cukup seru
sebelum warga komunitas Islam memilih pulang ke negeri Liang dan
Tulehu. Namun kepulangan warga tersebut hanya bersifat sementara.
Terhitung beberapa saat kemudian mereka kembali melakukan penyerangan ke komunitas Kristen di negeri Waai.
Akibat penyerangan tersebut, 23 orang dinyatakan meninggal
dan 28 orang lain mengalami luka berat terkena tembakan. Korbankorban tersebut belum dapat dievakuasi, disebabkan karena para
perusuh masih menduduki kawasan tersebut. Menurut Yambormias 15
bahwa akibat lain dari penyerangan tersebut adalah, warga komunitas
Kristen telah mengungsi lagi semakin jauh ke puncak bukit. Sebab,
pegunungan yang selama ini dijadikan sebagai lokasi pengungsian,
sudah tidak aman lagi. Namun demikian, masih ada oknom aparat yang
mengejar sampai ke pegunungan kemudian melepaskan tembakan
kepada kami [Suara Maluku, Rabu 2 Agustus 2000].
Setelah Yambormias dan sejumlah tokoh masyarakat negeri Waai
membeberkan kejadian riil yang terjadi di hadapan para petinggi
Darurat Sipil, Kapolda Maluku [Brigjen Pol Drs. Firman Gani, saat itu]
mengambil jalan tengah untuk mengirimkan satu kompi pasukan
Brimob ke negeri Waai. Menurut salah seorang informan [JH, 63 tahun
Kristen] bahwa, setelah aparat Brimob tiba kemudian dibantu oleh
warga yang masih kuat fisiknya untuk melakukan penyisiran berhasil
menemui 14 orang lansia [berusia antara 74-82 tahun] yang sudah

14
15

Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010, dengan DB, 47 tahun [Kristen].
Pendeta Jemaat Waai, saat itu.

116

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

tidak mampu berjalan lagi. Ketika berpapasan dengan aparat, mereka
berpikir pasti akan ditembak, mereka pasrah. Namun ternyata tidak,
mereka ditahan baik-baik kemudian diturunkan oleh aparat dan ditempatkan untuk sementara di kantor Gereja yang sudah hangus terbakar, menunggu dievakuasi. Kemudian aparat kembali dan menemui
1985 orang dari hutan-hutan belantara dan perbukitan, kemudian
dievakuasi ke posko penampungan sementara di negeri Suli. Sedangkan
sekitar 2000 orang warga masih berkeliaran di hutan-hutan yang
sedang terus dicari aparat untuk dievakuasi [Suara Maluku, Sabtu 5
Agustus 2000].

Sumber: http://www.oocities.org/ambon67/noframe/waairefg.htm. dikunjungi 10 Juli

2011.

Gambar proses evakuasi warga desa Waai yang harus berjalan
menembusi hutan, gunung dan sungai selama 2-5 hari. Tercatat ada 12
warga yang meninggal di perjalanan, 10 di antaranya adalah kelompok
usia lanjut sedangkan dua di antaranya adalah anak-anak yang tidak
117

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

mampu lagi bertahan dalam cuaca dingin-hujan, lapar dan kelelahan
fisik. Hingga kini sebagian besar Pengungsi Waai yang berjumlah
6000-an jiwa ditampung di rumah-rumah warga maupun gudang
pelabuhan Desa Passo.
Warga yang masih kuat fisiknya, terus berjalan untuk menyelamatkan diri kemudian bertemu dengan sejumlah warga komunitas
Kristen dari negeri Passo dan negeri Suli yang datang untuk membantu
mengevakuasi mereka. Sekalipun harus ditempuh dengan berjalan kaki
menuruni jalan-jalan perbukitan dan hutan belantara selama kurang
lebih 4-5 jam menuju Passo, namun mereka merasa selamat dari
kejaran para perusuh 16. Diakui oleh informan tersebut bahwa, tragedi
kemanusiaan ini hendaknya menjadi renungan direlung hati masyarakat Maluku yang sebelumnya terprovokasi dengan konspirasi pihak
ketiga. Apalagi kehidupan “basudara Salam-Sarani” termasuk jalinan
masyarakat negeri Waai dan Tulehu yang hanya berbada agama.

Peran Aktor dan Lembaga
Pada saat aparat BKO [TNI-AD] didatangkan dari luar Maluku,
kemudian mendirikan pos-pos penjagaan untuk memberikan jaminan
keamanan kepada masyarakat, warga kedua komunitas mulai merasa
aman. Namun, ketika komunitas Kristen diserang pertama kali oleh
komunitas Islam dari negeri Tulehu [pada tanggal 23 dan 24 Pebruari
tahun 1999], aparat keamanan tidak melaksanakan fungsi mereka
sebagai penjaga keamanan. Aparat keamanan membiarkan para perusuh dengan bebas menyerang komunitas Kristen di negeri Waai.
Satu hari kemudian, beberapa orang tokoh masyarakat Kristen
dari negeri Waai melapor kepada Gubernur Maluku, Kepala Kepolisian
Daerah Maluku 17 dan Pangdan VIII Trikora 18 tentang ‘adanya pembiaran’ dari aparat keamanan, dan dugaan keterlibatan oknum aparat
Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010, dengan DB, 47 tahun [Kristen].
KapolDa Maluku saat itu adalah Kol. Karyono Soemadinoto.
18 Pangdam VIII Trikora saat itu adalah Mayjen Amir Sembiring. Wilayah kerja Kodam
VIII Trikora saat itu meliputi Maluku dan Irian Jaya.
16

17

118

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

dalam penyerangan tersebut. Namun, laporan tersebut tidak mendapat
sambutan positif dari mereka, hanya dikatakan akan dikirim pasukan
tambahan19. Kuatnya dugaan warga terhadap keterlibatan aparat dapat
dilihat dari jenis luka yang dialami warga karena terkena tembakan.
Pada hal, komunitas Islam ketika melakukan penyerangan saat itu
hanya menggunakan senjata-senjata tajam tradisional, seperti tombak,
parang, dan panah dan bom rakitan 20.
Setelah penyerangan tersebut, tidak ada pasokan aparat keamanan dari kota Ambon. Tanggung jawab keamanan hanya dipercayakan
kepada beberapa orang anggota aparat keamanan TNI-AD yang ditugaskan di wilayah tersebut. Tindakan pembiaran dari aparat kembali
terjadi ketika komunitas Islam melakukan penyerangan untuk kedua
kalinya pada tanggal 18 Agustus tahun 1999. Aparat keamanan dari
TNI-AD yang bertugas membiarkan komunitas Islam berjalan dari
negeri Liang meliwati pos penjagaan mereka di daerah perbatasan.
Tidak ada reaksi apa pun dari mereka untuk mencegah para perusuh.
Akibatnya, para perusuh dengan leluasa masuk kemudian menyerang
komunitas Kristen di negeri Waai.
Informasi yang diperoleh dari salah seorang informan kunci [FT,
59 tahun, Kristen] mengatakan bahwa, sejak saat itu warga komunitas
Kristen sudah sangat resistensi kepada aparat keamanan, dan tidak lagi
menaruh kepercayaan kepada mereka. Sebaiknya, warga harus mengamankan diri sendiri. Pemerintah juga tidak terlalu memberikan perhatian terhadap berbagai kejadian yang muncul dalam masyarakat. Jika
sudah ada korban jiwa, baru Pemerintah mulai memberikan sedikit
perhatian.
Senada dengan itu, informan lain [DB, 47 tahun, Kristen] sangat
mencurigai adanya kerja sama antara aparat keamanan dengan Lasykar
Jihad [LJ]. Menurutnya, ketika LJ hadir di negeri Tulehu [bulan Mei
tahun 2000] dengan membawa perlengkapan perang [senjata dan
19 Hasil wawancara tanggal 25 Oktober 2010 dengan DB, 47 tahun [Kristen]. Informan
kunci adalah salah seorang tokoh masyarakat yang ikut menyampaikan laporan
penyerangan kepada Pemerintah Daerah, KapolDa, dan Pangdam VIII Trikora, saat itu.
20 Hasil wawancara tanggal 25 Oktober dengan JW, 53 tahun [Kristen].

119

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

amunisi standar, bom dan lain-lain], tidak sedikit-pun ada upaya dari
aparat keamanan untuk mencegah mereka [LJ]. Malah, mereka
dibiarkan untuk memprovokasi warga [komunitas Islam lokal] dengan
ajaran-ajaran jihad, kemudian menyusun rencana penyerangan.
Melihat realitas tersebut, salah seorang informan kunci [IT, 61 tahun,
Islam] mengatakan bahwa:
Pada saat itu kami [warga] tidak bisa melarang dan tidak
berdaya untuk mengusir mereka [LJ]. Sebetulnya, yang bisa
melarang mereka adalah tentara [TNI]. LJ melakukan provokasi
dan intimidasi warga komunitas Islam lokal. Prakarsa penyerangan datang dari anggota LJ, bukan dari komunitas Islam
lokal.

Kecurigaan warga sebagaimana tersebut di atas, terbukti pada
saat penyerangan ketiga kali yang dilakukan pada pagi hari jam 07.00
WIT tanggal 6 Juli tahun 2000. Warga komunitas Kristen cukup mengenal dan mengetahui serta dapat membedakan kemampuan menggunakan senjata standar antara warga sipil dengan aparat keamanan.
Beberapa anggota aparat keamanan yang bertugas dijumpai oleh
warga sudah mengenakan baju putih panjang dan menyamar sebagai
anggota LJ. Mereka ikut menembak warga komunitas Kristen, kemudian menembak rumah-rumah penduduk, empat buah gedung Gereja,
dan lima buah gedung Sekolah dengan menggunakan mortir hingga
terbakar [Suara Maluku, Sabtu 8 Juli 2000]. Penyerangan tersebut
mengakibatkan warga komunitas Kristen harus mengungsi ke hutan
untuk menyelamatkan diri.
Ketika informasi penyerangan tersebut disampaikan kepada
Gubernur Maluku 21 selaku Penguasa darurat Sipil di Maluku saat itu,
beliau tidak mau memberikan komentar. Dengan nada kesal ia mengatakan bahwa, selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah, ia sudah berikan
kewenangan pelaksanaan lapangan kepada Pangdam dan sudah diberi
payung hukum untuk bertindak tegas, namun yang terjadi di lapangan
lain [Suara Maluku, Jumat, 7 Juli 2000]. Setelah selesai penyerangan,
21

Dr. Ir. Saleh Latuconsina, sebagai Gubernur Maluku, saat itu.

120

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

kemudian baru Pangdam XVI Pattimura 22 mengatakan pihaknya
sedang mengirim dua kompi pasukan ke Waai, yaitu dari Armed 13
dan dari Yonif 403 [Suara Maluku, Jumat, 7 Juli 2000].
Kondisi keamanan di negeri Waai kembali mencekam, karena
diserang kembali oleh komunitas Islam, LJ dan oknum aparat keamanan pada tanggal 30 Juli 2000. Usai diterima oleh Gubernur
Maluku selaku Penguasa Darurat Sipil Maluku, Kapolda Maluku
[Brigjen Pol. Firman Gani] dan Komandan Sektor [Kolonel A Siswanto]
saat itu, A.J. Yambormias 23 mengatakan bahwa akibat serangan yang
dilakukan perusuh yang disertai oknom aparat keamanan, warga
komunitas Kristen kembali menjadi korban [Suara Maluku, Rabu 2
Agustus 2000]. Sekalipun warga sudah semakin jauh ke puncak bukit,
namun ada oknom aparat yang mengejar mereka dan melepaskan
tembakan. Bahkan satu dari empat buah terpal bantuan Satkorlak
Maluku yang diberikan guna membuat tenda-tenda darurat bagi warga,
hancur terkena bom [Suara Maluku, Rabu 2 Agustus 2000].
Yambormias membantah pernyataan Pangdam XVI Pattimura
[Suara Maluku, 1 Agustus 2000] kala itu yang mengatakan bahwa, dua
kompi bantuan telah sampai ke negeri Waai. Menurutnya, “tidak
benar”. Salah seorang informan kunci [DB, 47 tahun, Kristen], mengatakan bahwa, saat itu tidak ada sama sekali aparat keamanan yang
sampai ke daerah kami.
Menurut Yambormias, bantuan aparat keamanan yang dikatakan
Pangdam dikirim ke Waai, hanya sebatas negeri Suli dan Tulehu, dan
mereka melakukan swiping senjata tajam di sana. Senada dengan itu,
salah seorang petugas Bantuan Komunikasi Maranatha [BANKOM]
mengatakan bahwa, bantuan itu tidak sampai ke Waai. Mereka hanya
sampai ke perbatasan antara negeri Suli dan Tulehu saja [Suara Maluku,
Rabu 2 Agustus 2000]. Keterlibatan oknom aparat TNI-AD [Suara
Maluku, Jumat 4 Agustus 2000] yang bergabung dengan LJ dan warga
komunitas Islam lokal kemudian melakukan penyerangan saat itu ke

22
23

Brigjen TNI I Made Yasa, sebagai Pangdam XVI Pattimura, saat itu.
Pendeta Jemaat Waai, saat itu.

121

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

pemukiman komunitas Kristen, ternyata menimbulkan dendam yang
luar biasa dari warga komunitas Kristen.
Salah seorang informan kunci [AB, 59 tahun, Kristen] yang
adalah purnawirawan TNI-AD dari Rindam Suli mengatakan bahwa
sejak penyerangan pertama pada Pebruari 1999 hingga yang keempat
kali tanggal 30 Juli 2000, ia melihat Pratu Irsan dan Serda Ali Jodi [dari
Rindam Suli] bersama seorang anggota Brimob PolDa Maluku bernama
Samardin Ohorela, ikut serta dalam penyerangan berkali-kali ke
komunitas Kristen di negeri Waai.
Pada penyerangan tanggal 30 Juli, Pratu Irsan yang saat itu
bersama perusuh, tertembak pada bagian dada dan saat ini sedang
dirawat di RST Ambon, sementara Serda Ali Jodi tertembak di lutut,
dan dirawat di rumah keluarganya di Tulehu [Suara Maluku, Jumat 4
Agustus 2000] .

Budaya Lokal
Kedatangan LJ ke komunitas Islam di negeri Tulehu pada bulan
Mei tahun 2000, menimbulkan kebingungan dari komunitas Islam
lokal di negeri Tulehu. Ini disebabkan karena LJ hadir dengan membawa serta perlengkapan perang, seperti senjata otomatis dan amunisi
standar dalam jumlah yang relatif cukup banyak, kemudian memprovokasi warga, dan juga mengatur rencana untuk menyerang komunitas
Kristen di negeri Waai. Melihat kondisi tersebut, salah seorang informan kunci [IT, 61 tahun, Islam] mengatakan bahwa:
Mereka sempat memberitahukan komunitas Kristen di negeri
Waai untuk segera pergi meninggalkan negeri mereka, karena
yang akan datang dan melakukan penyerangan adalah masyarakat dari luar, dengan menggunakan senjata lengkap.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apa yang menjadi pertimbangan sehingga mereka [komunias Islam] terdorong untuk memberitahu komunitas Kristen di negeri Waai tentang rencana penyerangan tersebut? Pertanyaan seperti ini tentu cukup sulit untuk di
jawab, namun dari data lapang yang diperoleh dapat diberikan jawaban
sebagai berikut.
122

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

Ketika negeri Tulehu banyak didatangi oleh LJ dan komunitas
Islam lokal [dari pulau Haruku, Saparua dan dari pulau Seram], ada
kegelisahan dari sebagian warga komunitas Islam di negeri Tulehu
tentang saudara mereka [komunitas Kristen] di negeri Waai. Mereka
tidak menginginkan kondisi seperti ini terus-menerus, hari ke hari,
dijalani tanpa ada kepastian tentang nasib saudara mereka di negeri
Waai. Kami [komunias Islam lokal] di negeri Tulehu tidak menginginkan konflik terjadi, karena yang merasakan kesusahan dan
kesengsaraan adalah orang Maluku, bukan orang luar 24. Kami di negeri
Tulehu mempunyai hubungan kekerabatan dengan masyarakat di
negeri Waai. Karena itu, apa yang basudara rasa, kami juga merasakan 25. Atas dasar hubungan itu maka, pada saat penyerangan, biasanya
ada sejumlah anak-anak muda dari negeri Tulehu yang ikut, bukan
untuk menyerang basudara di negeri Waai, tetapi pada saat itu jika ada
basudara [saudara] yang bisa dibantu, mereka harus membantu untuk
mengevakuasi basudara ke luar dari negeri Waai26.
Realitas ini dibenarkan oleh salah seorang informan kunci [Ibu
Anto, 49 tahun, Kristen] ketika komunitas Kristen diserang tanggal 30
Juli di hutan. Menurutnya, ketika ia bersama Suami dan Mertuanya
berjalan menyusuri hutan naik-turun perbukitan untuk mencari jalan
menuju ke Passo guna menyelamatkan diri, tiba-tiba mereka bertiga
bertemu dengan LJ dan tiga orang pemuda Islam dari negeri Tulehu.
Pada saat itu, langsung Suami dan Mertuanya dibunuh oleh LJ,
sedangkan Ibu Anto sempat diselamatkan oleh para pemuda tersebut.
Kata Ibu Anto kepada para pemuda tersebut bahwa, kalau mau bunuh

saya, bunuh sekarang agar saya bisa mati di antara Suami dan
Mertuanya. Kemudian tiga orang pemuda tersebut menghampiri Ibu
Anto dan bertanya, Ibu fam [marga] apa, sahut Ibu Anto, saya marga
‘Matakupan’. Serentak dengan itu, para pemuda tersebut mengatakan
bahwa mereka akan membantu, asalkan Ibu tidak boleh berbicara apaapa. Setelah itu, Ibu Anto dipakaikan ‘Jilbab’ oleh mereka agar tidak
mencurigakan LJ, kemudian diturunkan ke negeri Liang dan dari Liang
Hasil wawancara tanggal 26 Oktober 2010, dengan UT, 58 tahun [Islam].
Hasil wawancara tanggal 22 Oktober 2010, dengan IT, 61 tahun [Islam].
26 Hasil wawancara tanggal 24 Oktober 2010, dengan DT, 59 tahun [Islam].
24

25

123

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Ibu Anto dibawa ke Hitu, seterusnya dari Hitu menuju Poka, dan dari
Poka menyeberang ke Batu Merah dan seterusnya dibawa ke
Galunggung [Markas Jihad]. Pada saat tiba di Galunggung, sebelum
kembali ke negeri Tulehu, ketiga pemuda tersebut kembali mengingatkan Ibu Anto, agar tidak boleh berbicara apa-apa yang dapat
menimbulkan kecurigaan dari anggota LJ. Ibu Anto memberikan
jaminan kepada ketiga orang pemuda tersebut dengan mengatakan
bahwa, ia tidak akan lakukan itu agar tidak dicurigai oleh LJ.
Ketika tiba di Galunggung, Ibu Anto bertemu dengan salah satu
warga komunitas Kristen dari negeri Waai juga, yakni Ibu Maria. Ibu
Maria mengalami nasib yang sama seperti yang dialami oleh Ibu Anto.
Pada saat bertemu, mereka bersikap seolah-olah tidak saling mengenal
antara satu dengan yang lain. Menurut Ibu Antobahwa, hanya dengan
cara seperti ini saja yang dapat dilakukan agar tidak menimbulkan
kecurigaan dari anggota LJ yang ada saat itu. Jika tidak, mungkin
mereka berdua sudah dibunuh.
Dua hari kemudian, Ibu Anto bertemu dengan salah seorang
anak [kurang lebih berumur antara 11-12 tahun] di markas LJ. Anak
tersebut menghampirinya kemudian ia memperkenalkan identitas
dirinya secara lengkap kepada Ibu Anto, bahwa ia beragama Kristen.
Setelah itu, Ibu Anto secara jujur dan polos menuturkan kisah perjalanannya hingga sampai di markas LJ di Galunggung. Setelah mendengar informasi yang dituturkan oleh Ibu Anto, kemudian ia langsung
ke pusat kota dan menyampaikannya kepada aparat keamanan.
Serentak dengan itu pula, aparat keamanan dengan pengawalan ketat
pergi menuju markas LJ dan menyelamatkan sekaligus mengeluarkan
Ibu Anto dari Galunggung dan dibawa ke pemukiman komunitas
Kristen di kota.

Kesimpulan
Konflik sosial antar dua komunitas yang diawali pada tanggal 23
Pebruari 1999, dan berlangsung lebih dari satu tahun, dan terjadi
dalam intensitas yang tinggi.

124

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Berbeda Hubungan Gandong…

Jika dicermati secara saksama, tingginya intensitas konflik karena
Lasykar Jihad dan aparat keamanan [pihak ketiga] ikut di dalamnya.
Oknom aparat TNI-AD dan Polisi berperan sebagai pendorong konflik
antar kedua komunitas, bukan sebagai peredam konflik. Demikian juga
halnya dengan manajemen konflik oleh aparat, jika terlambat, memihak dan sangat represif cenderung justru meningkatkan intensitas
konflik antar kedua komunitas.
Seharusnya, intensitas konflik antar kedua komunitas secara
umum dapat diprediksi kemungkinannya, dan sebenarnya PolDa
Maluku dan Kodam XVI cukup memahami kemungkinan ini. Hanya
sering kali manajemen internal secara strategis tidak tanggap merespons kemungkinan peningkatan intensitas konflik.

125