Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB VI

Bab Enam

Dinamika Konflik antar
Dua Komunitas yang Memiliki
Hubungan Gandong di Pulau Saparua

Pengantar
Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh
tentang konflik yang terjadi antar warga kedua komunitas di pulau
Saparua, diawali dengan kondisi yang mendorong proses pematangan
konflik serta dinamika yang terjadi setelah masuknya Lasykar Jihad
dan Aparat Keamanan [TNI-AD dan Brimob] ke negeri Sirisori Sarani
dan Sirisori Salam.
Ketika konflik sosial melanda Maluku [Januari 1999] dan berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, ternyata isyu agama yang
dilansir sangat memperhitungkan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat. Ini semata-mata karena ciri agama (sebagai akidah) itu
sendiri yang eksklusif dan ekspansif. Karena itu, sekalipun negeri
Sirisori Salam [Islam] dan Sirisosi Sarane [Kristen] memiliki hubungan
gandong, serta antara ngeri Sirisori Salam [Islam] dengan negeri Haria
[Kristen] memiliki hubungan pela, demikian pula antara negeri Sirisori
[Islam-Kristen] dengan negeri Ouw [Kristen] memiliki hubungan pela,

ternyata mereka tidak dapat menghindar dari realitas konflik tersebut.
89

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Intensitas Konflik
Realitas konflik yang terjadi antar kedua komunitas di pulau
Saparua dapat digolongkan dalam tiga kategori 1; pertama, berlangsung
dalam intensitas ‘rendah’ yakni berupa ‘keresahan’; kedua, berlangsung
dalam intensitas sedang, karena sudah terjadi tekanan dan ancaman;
dan ketiga, berlangsung dalam intensitas ‘tinggi’, karena konflik disertai dengan kekerasan fisik, pengrusakan rumah penduduk dan fasilitas
lain, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Dua bulan setelah terjadi konflik Maluku di kota Ambon, aktivitas saling mengunjungi antar warga kedua komunitas tidak berlangsung sebagaimana terjadi sebelumnya, dan nampak semakin menurun
intensitasnya. Warga masing-masing komunitas cenderung memilih
untuk tidak melakukan perjalanan ke luar dari komunitasnya, karena
terputusnya jalur transportasi yang biasanya mereka memanfaatkan
sebelumnya. Banyaknya isyu-isyu bernada provokatif yang dilansir dan
berkembang dalam masyarakat, mengakibatkan mereka mengurungkan
niat untuk melakukan perjalanan.
Sejak saat itu, warga kedua komunitas menjalani kehidupan

sehari-hari penuh dengan kegelisahan yang senantiasa hadir dan
menghantui mereka. Informasi yang setiap saat mereka peroleh dari
anak-anak, sanak-saudara, kerabat yang berada di kota Ambon menggambarkan bahwa telah terjadi pembakaran simbol-simbol keagamaan
[Gereja dan Mesjid], pembakaran terhadap fasilitas-fasilitas publik
[seperti pasar, kantor pemerintah, sekolah-sekolah] serta pembakaran
pemukiman penduduk dari salah satu komunitas, dan banyaknya
korban jiwa yang berjatuhan, menambah kegelisahan mereka.
Keresahan tersebut tentu sangat beralasan karena, anak-anak
mereka yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan di kota Ambon,
sudah tidak lagi mengikutinya secara baik karena situasi yang terjadi
saat itu. Di samping itu, setiap saat terbayang dalam ingatan mereka,
bagaimana dengan keselamatan anak-anak mereka di kota Ambon?,
dan apabila jika hal yang sama terjadi antar kedua komunitas, bagai1

Hasil Penelitian Lapangan, September, 2010.

90

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …


mana kehidupan mereka?, apa yang dapat mereka lakukan?, dan
seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini senantiasa muncul dan
menghantui pikiran mereka sehingga sangat mengganggu aktivitas
keseharian mereka 2. Warga kedua komunitas sudah tidak lagi pergi
untuk melaksanakan aktivitas usaha tani di kebun atau aktivitas sebagai
nelayan di laut seperti sebelumnya, karena dihantui dengan perasaan
takut. Mereka lebih banyak tinggal di rumah, dan setiap saat mengikuti
perkembangan yang terjadi di kota Ambon.
Ketika intensitas konflik semakin tinggi di kota Ambon yang
ditandai dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, realitas
tersebut ternyata mendorong banyaknya warga komunitas Kristen berdatangan dari negeri-negeri tetangga di pulau Saparus ke negeri Sirisori
Sarani. Pengumpulan massa yang sudah terlanjut sangat emosional
tersebut mengakibatkan mereka melakukan pengepungan pemukiman
komunitas Islam pada bulan Maret tahun 19993, namun tidak sampai
menimbulkan terjadinya benturan fisik di antara mereka.
Keresahan tersebut semakin bertambah, ketika terjadi konflik
antara warga dari negeri Ulath [Kristen] dengan warga dari negeri
Sirisori Salam [Islam]4 pada tanggal 15 Juli tahun 1999. Sekalipun
konflik tersebut mengakibatkan enam orang meninggal dan delapan
orang luka berat dan ringan [Suara Maluku, Jumat dan Sabtu, 16,17

Juli, 1999], namun aparat keamanan [Polek Saparua] dapat secara cepat
mengatasi situasi tersebut sehingga tidak merembes lebih luas ke
negeri-negeri tetangga lainnya di pulau Saparua.
Kegelisahan yang dirasakan warga kedua komunitas tersebut
sedikit teratasi ketika utusan saudara gandong 5 mereka [kedua komunitas] dari negeri Tamilou [Islam] di pulau Seram pada awal tahun 2000
datang menjumpai mereka, untuk mempertegaskan kembali ikatan
[hubungan] yang ada pada kedua komunitas.
2 Ungkapan salah seorang informan kunci [WP, 43 tahun, Kristen] Seorang Ibu Rumah
Tangga, pada saat diwawancarai tanggal 23 September 2010.
3 Hasil wawancara, tanggal 24 September 2010 dengan informan kunci AS, 53 tahun
[Islam].
4 Lihat, Sri Yanuarti, dkk. ‘Konflik di Maluku Tenga’, LIPI-Jakarta, 2003
5 Lihat Penjelasannya dalam uraian tentang Budaya Lokal, pada Bab ini.

91

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Satu bulan kemudian, situasi mulai tegang, namun tidak sampai
menimbulkan terjadinya benturan fisik antara kedua komunitas.

Ketegangan mulai memuncak ketika banyaknya anggota Lasykar Jihad 6
[LJ] yang berdatangan dari Ambon, kemudian ditampung oleh warga
komunitas Islam di negeri Sirisori Salam. Kehadiran LJ ini merupakan
indikasi yang sangat kuat bahwa akan adanya penyerangan ke
pemukiman-pemukiman komunitas Kristen yang ada di sekitarnya.
Inisiatif untuk menerima dan menampung anggota LJ seperti ini,
dimaknai oleh komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarani sebagai
upaya untuk mengingkari perjanjian antar kedua saudara gandong yang
telah disepakati bersama 7. Realitas ini mengakibatkan komunitas
Kristen di negeri Sirisori Serani mulai merasa berada di bawah tekanan
dan terancam, namun hal tersebut tidak ditanggapi secara reaktif.
Informasi tentang kedatangan LJ ke komunitas Islam tersebut
ternyata mendorong munculnya solidaritas atas dasar kesamaan agama
yang dianut, sehingga warga komunitas Kristen dari negeri-negeri
tetangga seperti dari negeri Tuhaha, Saparua, Porto dan negeri Haria 8
dan negeri-negeri lainnya di pulau Saparua mulai berdatangan ke
komunitas Krsiten di negeri Sirisori Sarane.
Pengumpulan massa yang sudah terlanjur sangat emosional
seperti ini, ternyata mengakibatkan ketegangan antar kedua komunitas
semakin memuncak. Saat itu, ada ajakan warga komunitas Kristen yang

datang dari negeri tetangga untuk segera menyerang komunitas Islam
di negeri Sirisori Salam. Akan tetapi, ajakan tersebut berulangkali
ditolak oleh komunitas Kristen di negeri Sirisori Serani. Selang dua-tiga
jam kemudian, hadir pula sejumlah anggota masyarakat dari negeri

Para informan kunci dari komunitas Islam tidak mengetahui secara pasti jumlah anggota LJ yang datang saat itu.
7 Hasil wawancara tanggal 25 September 2010, dengan FS, 47 tahun [Kristen].
8 Negeri Haria (Sarane), adalah negeri yang memiliki hubungan pela (dara) dengan
Negeri Sirisori Salam. Hasil wawancara dengan Raja negeri Haria diketahui bahwa
pada saat itu, sebanyak tiga puluh orang anggota masyarakat [laki-laki] di bawah pimpinanNya datang ke negeri Sirisori Sarane [Amalatu] dan bergabung dengan anggota
masyarakat lainnya dari Saparua .
6

92

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

Haria 9, kemudian bergabung dengan anggota masyarakat dari negeri
lain yang sudah berada sebelumnya di negeri Sirisori Sarani. Motivasi
kedatangan mereka [warga dari negeri Haria] semata-mata hanya

untuk melakukan komunikasi dan mencari jalan keluar, tidak untuk
ikut menyerang. Inisiatif tersebut ternyata menemui jalan buntu,
karena tidak ada jalur netral yang dapat mempertemukan mereka
dengan komunitas Islam di negeri Sirisori Salam. Diakui oleh salah satu
informan bahwa, apabila mereka tidak bergabung, pasti masyarakat
Kristen dari negeri-negeri lain di pulau Saparua akan membenci
mereka, bahkan negeri kami [Haria] bisa diserang dan dibakar 10.
Ketegangan dan keresahan kedua komunitas tercoreng ketika
salah seorang warga Kristen dari negeri-negeri tetangga yang datang
kemudian melakukan penembakan terhadap komandan LJ lokal yang
saat itu berada di pesisir pantai negeri Sirisori Salam pada tanggal 9
September 2002. Korban tertembak, seketika meninggal11. Cikal bakal
dari penembakan tersebut ternyata menyulut munculnya kemarahan,
dan sejak saat itu komunitas Islam mulai mmpersiapkan penyerangan
balik ke komunitas Kristen 12. Satu haru kemudian, masuknya sejumlah
speed boad dan motor ikan dari pulau Ambon secara berturut-turut,
dan menyinggahi pesisir pantai negeri Soirisori Salam. Kadatangan
speed boad dan motor ikan tersebut, dipahami oleh warga komunitas
Kristen di negeri Sirisori Sarane sebagai upaya mendatangkan bantuan
untuk melakukan penyerangan terhadap mereka.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama [tepatnya tanggal 21
September tahun 2002], dilakukan penyerangan pertama kali yang
melibatkan LJ dan anggota TNI-AD. Saat itu, selain menggunakan
9 Komunitas Kristen di negeri Haria memiliki hubungan ‘pela’ dengan komunitas Islam
di negeri Sirisori Salam.
10 Hasil wawancara tanggal 3 Oktober tahun 2010 dengan J M M (Raja negeri Haria).
11 Hasil wawancara tanggal 24 September 2010, dengan FS, 47 tahun [Kristen]. Penembakan tersebut bukan dilakukan oleh salah satu anggota dari masyarakat negeri Sirisori
Sarane, tetapi dilakukan oleh anggota masyarakat yang datang dari negeri-negeri
tetangga di pulau Saparua. Namun, Sirisori Salam menganggap penembakan itu dilakukan sendiri oleh anggota masyarakat negeri Sirisori Sarane.
12 Hasil wawancara tanggal 25 September 2010, dengan informan kunci HS, 49 tahun,
[Islam].

93

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

persenjataan dan amunisi [peluru] standar buatan pindad, para perusuh
juga menembaki rumah-rumah penduduk dengan menggunakan lonser
mengakibatkan banyak rumah yang hangus terbakar. Realitas penyerangan tersebut mengakibatkan sebagian besar wanita dan anak-anak
dari komunitas Kristen harus mengungsi ke hutan untuk mengamankan diri, sedangkan laki-laki tetap tinggal untuk menjaga dan mempertahankan negeri mereka.

Ketika terjadi kontak senjata, warga komunitas Kristen dari negeri Sirisori Sarane tidak melihat seorangpun saudara gandong mereka
dari negeri Sirisori Salam 13 yang ikut dalam penyerangan tersebut,
tetapi mereka berhadap-hadapan hanya dengan anggota LJ yang
bergabung dengan anggota TNI-AD. Pada saat itu, anggota TNI-AD ada
yang menggunakan seragam TNI-AD secara lengkap, tetapi ada juga
yang hanya memakai sepatu dan celana berseragam TNI-AD saja,
sedangkan bajunya menggunakan jubah putih panjang. Indikasi keterlibatan anggota TNI-AD secara jelas terlihat dari teknik untuk melakukan penyerangan dan kemampuan mereka dalam menggunakan senjata
berat yang ditembakkan untuk membakar rumah-rumah penduduk.
Untuk mempertahankan diri, sekalipun dengan menggunakan senjata
rakitan [senjata buatan sendiri], namun selama dua hari penuh mereka
harus membantu personel Brimob yang bertugas untuk berhadapan
melawan para perusuh [TNI-AD dan LJ].
Setelah para perusuh selesai melakukan penyerangan kemudian
meninggalkan negeri Sirisori Sarane, ada tiga orang warga komunitas
Kristen berjalan mengelilingi negeri mereka untuk mencari tahu
tingkat kerusakan dan jumlah rumah penduduk yang hancur. Saat itu,
mereka menemukan beberapa buah peluru lonser yang ditembakkan
oleh para perusuh tetapi tidak meledak, serta dua peti peluru lonser
yang belum dibuka untuk digunakan, kemudian diambil dan diserahkan kepada anggota Brimob. Anggota Brimob yang bertugas saat itu,
Anggota masyarakat dari negeri Sirisori Sarane [Kristen] yang dijumpai menuturkan

bahwa mereka sangat mengenal seluruh anggota masyarakat dari negeri Sirisori Salam
(khususnya laki-laki). Pernyataan yang sama dikemukakan oleh salah seorang
informan kunci [AS, 61 tahun] dari negeri Sirisori Salam [Islam] yang mengatakan
mereka hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja dan tidak mau ikut dalam
penyerangan, karena yang diserang adalah saudara sendiri.
13

94

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

mengambil peluru-peluru tersebut kemudian mengamankannya di Pos
Brimob, untuk dapat dijadikan sebagai barang bukti keterlibatan TNI.
Akibat yang timbul dari penyerangan [pertama] tersebut adalah,
enam orang warga komunitas Kristen mengalami luka karena terkena
tembakan, empat orang tercatat meninggal [satu diantaranya adalah
anggota Brimob dari Bali], dan sebagian besar rumah penduduk terbakar. Sedangkan korban meninggal dari para perusuh tercatat sebanyak
delapan puluh tujuh orang anggota LJ, empat orang anggota TNI dari
batalion 603 14 dan satu orang anggota KOPASUS 15. Jumlah anggota LJ
yang meninggal tersebut diketahui secara pasti oleh sebagian besar

warga masyarakat negeri Sirisori Sarane, karena jenazah mereka
tertimbun di dalam sebuah rumah milik salah satu anggota masyarakat
Kristen yang tidak dibakar dan masih ada dalam kondisi utuh hingga
saat ini.
Hasil wawancara dengan salah seorang informan kunci [AP, 39
tahun, Kristen], menuturkan bahwa:
Rumah yang digunakan untuk menampung korban para perusuh [LJ] letaknya persis di depan rumah saudaranya, dan rumah
tersebut hanya satu-satunya rumah yang tidak terbakar pada
saat penyerangan pertama kali. Karena itu, ia dan sejumlah anggota masyarakat berusaha masuk kedalamnya untuk mencari
tahu ada apa sehingga rumah tersebut tidak ikut dibakar.
Setelah masuk, ternyata mereka menemukan jenazah korban
konflik di tampung di dalamnya. Melihat jumlah korban sebanyak itu, mereka saling bertanya antara satu dengan yang lain,
siapa yang menembak dan membunuh para perusuh dalam
jumlah sebanyak itu?. Bagi mereka, dari peta kekuatan pada saat
terjadi kontak senjata, kenyataan yang disaksikan tersebut
merupakan sesuatu yang sangat aneh.

Hasil wawancara tanggal 27 September dengan informan kunci AP, 39 tahun
Kristen.
15 Setelah selesai penyerangan pertama kali, salah seorang anggota KOPASUS memasuki negeri Sirisori Sarane dan melakukan penyamaran, namun penyamaran tersebut diketahui oleh anggoat masyarakat. Karena masyarakat sudah terlanjur tidak mempercayai peran TNI untuk memberikan jaminan keamanan kepada mereka lagi dibarengi dengan perasaan emosional yang masih tinggi, maka tanpa berpikir berbagai
implikasi yang muncul, mereka [masyarakat] mengeksekusinya.

14

95

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Nampaknya para perusuh belum merasa puas terhadap aksi
penyerangan yang telah dilakukan sebelumnya, karena itu pada hari
Sabtu sore, tanggal 6 Oktober tahun 2002 mereka melakukan penyerangan untuk kedua kalinya hingga malam hari. Selesai melakukan
penyerangan, mereka bermalam di dalam rumah Gereja, dan penyerangan dilanjutkan pada hari Minggu pagi, tanggal 7 oktober.
Penyerangan kedua inilah yang mengakibatkan negeri Sirisori
Sarane hancur berantakan, bangunan Gereja, bangunan Sekolah,
Kantor Pemerintah Negeri dan rumah-rumah penduduk seluruhnya
terbakar dan hancur [yang tersisa hanya satu buah bangunan rumah
penduduk saja yang sebelumnya dipergunakan oleh para perusuh
untuk menampung jenazah korban anggota LJ]. Oleh salah seorang
informan kunci [DP,48 tahun, Kristen] mengatakan bahwa, penyerangan kedua ini merupakan penyerangan dengan menggunakan kekuatan
penuh karena saat itu mereka tidak dapat bertahan dan terpaksa harus
mundur ke pegunungan untuk menyelamatkan diri. Dikatakan
selanjutnya bahwa, saat itu mereka berhadapan dengan satu kekuatan
perang yang menggunakan persenjataan otomatis serta memiliki teknik
berperang yang luar biasa tinggi, yang tidak pernah mereka bayangkan
sebelumnya. Sekalipun sudah menghindar dan berusaha menyelamatkan diri ke pegunungan di hutan, namun mereka tetap diikuti dan
ditembak oleh para perusuh dari belakang. Untuk mencegah agar
komunitas Kristen dari negeri Sirisori Sarane tidak kembali memasuki
negeri mereka, para perusuh memasang ranjau 16 dan ranjau-ranjau
tersebut ditemukan oleh anggota masyarakat.
Enam bulan kemudian ketika empat orang komunitas Kristen
berusaha memasuki negeri mereka yang sudah porak-poranda untuk
melihat dan mengetahui tingkat kerusakan yang terjadi, ternyata
rumah milik warga Kristen yang sebelumnya digunakan untuk
menamung jenazah korban LJ pada penyerangan pertama ditemukan
SK, 61 tahun [Kristen] menuturkan bahwa pada saat anggota masyarakat menemukan ranjau-ranjau tersebut, kemudian dilaporkan kepada anggota Brimob yang bertugas pada saat itu. Setelah diteliti, salah seorang anggota Brimob menyatakan kepada
Mantan Pejabat Negeri Sirisori Sarani bahwa jenis ranjau tersebut sama dengan jenis
ranjau yang pernah ia temukan di Timor-Timur.

16

96

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

masih berdiri utuh, sedangkan jenazah LJ sudah tidak ada lagi. Di
samping itu, dua peti peluru lonser serta beberapa buah yang ditembakkan para perusuh tetapi tidak meledak [pada saat penyerangan
pertama] yang diamankan oleh Brimob di pos penjagaan mereka saat
itu, sudah tidak ada lagi. Pos yang pernah ditempati oleh anggota
Brimob yang bertugas di negeri Sirisori Sarani saat itu, sudah hangus
terbakar rata dengan tanah.

Peran Aktor dan Lembaga
Peran aktor 17 dan lembaga 18 dalam konflik yang terjadi antar
kedua komunitas di pulau Saparua merupakan variabel yang unik
karena kehadirannya cenderung berdampak negatif. Dari hasil penelitian lapang di kedua komunitas diketahui bahwa peran aktor dan lembaga sering menyatu dan tumpang-tindih, sering kepentingan individu
[aktor] ‘diatasnamakan’ sebagai kepentingan lembaga namun tidak
dapat sebaliknya. Di samping itu, peranan lembaga sangat signifikan
dalam turut mentukan eskalasi dan intensitas konflik antar kedua
komunitas.
Peristiwa penganiayayaan enam warga komunitas Kristen di
negeri Sirisori Sarani oleh anggota TNI-AD [Kostrad Ujungpandang]
tanggal 21 Juni 1999 tanpa alasan yang jelas. Mereka dipukul hingga
babak-belur. Bukan itu saja, tetapi dalam tiga hari berturut-turut
[tanggal 19,20, dan 21 Juni] anggota TNI-AD tersebut melakukan
pengeboman ikan di pelabuhan negeri Sirisori Sarani [Kristen],
kemudian mereka dilaporkan oleh staf pemerintah negeri kepada
Denpomdam XVI Pattimura di Ambon [Suara Maluku, Rabu 23 Juni
199].
Karena masyarakat menunggu cukup lama dan tidak ada respons
dari Denpomdam XVI terhadap laporan yang telah disampaikan
tersebut, mengakibatkan munculnya resisten yang cukup tinggi, dan

17
18

Anggota TNI dan Brimob, serta Lasykar Jihad.
Pemerintah Daerah, Kodam Pattimura dan Polda Maluku.

97

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

sejak saat itu mereka [TNI-AD] sudah tidak dipercayai lagi oleh
masyarakat19.
Ketika terjadi kontak fisik antara komunitas Kristen di negeri
Ulath dengan komunitas Islam di negeri Sirisori Salam pada tanggal 15
Juli tahun 1999 [mengakibatkan jatuhnya korban jiwa], setelah kejadian tersebut baru PolDa Maluku dan Kodam XVI Pattimura 20 baru
menurunkan tiga peleton aparat keamanan ke Saparua 21.
Sebelum kejadian tersebut, tidak ada pasokan aparat keamanan,
tanggung jawab keamanan hanya dipercayakan kepada beberapa orang
anggota Polisi saja yang bertugas saat itu di Polsek Saparua [Suara
Maluku, Edisi Senin 19 Juli 1999]. Terhadap kenyataan tersebut salah
seorang informan kunci [IO, 57 tahun, Kristen] mengatakan bahwa,
Pemerintah [Pemerintah Daerah, PolDa, dan Kodam] tidak terlalu
memberikan perhatian yang serius terhadap berbagai kejadian yang
muncul dalam masyarakat. Jika sudah ada korban jiwa, baru Pemerintah mulai memberikan sedikit perhatian.
Pada saat aparat BKO [TNI-AD dan Brimob] didatangkan dari
luar Maluku untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat, warga kedua komunitas mulai merasa aman. TNI-AD dari Batalion
603 sebanyak enam puluh enam orang, dimana tiga puluh tiga orang
ditempatkan di komunitas Islam [negeri Sirisori Salam], sedangkan tiga
puluh tiga orang lainnya di komunitas Kristen [negeri Sirisori Sarani].
Bersamaan dengan itu, hadir pula kesatuan Brimob dari Bali sebanyak
enam puluh enam orang, tiga puluh tiga orang anggota ditempatkan di
komunitas Islam [negeri Sirisori Salam] dan tiga puluh tiga orang
lainnya di komunitas Kristen [negeri Sirisori Sarane] 22.

Wawancara tanggal 22 September 2010 dengan salah satu informan kunci AP, 39
tahun [Kristen].
20 KapolDa Maluku saat itu adalah
Kolonel [Pol] Drs Bugis M Saman, sedangkan
Pangdam XVI Pattimura saat itu adalah Brigjen TNI Max Tamaela.
21 Terdiri dari satu peleton dari Batalion Infantri Lintas Udara [Linud] 733/BS, dan dua
peleton Brigade Mobil [Brimob].
22 Hasil wawancara tanggal 23 September 2010 dengan informan kunci MS, 47 tahun
[Islam] dan AP, 39 tahun [Kristen]
19

98

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

Namun, sebelum kehadiran aparat TNI-AD dan Brimob, kelompok Layskar Jihad 23 (LJ) Alzuna Waljamaʼ ah pimpinan Jafar Umar
Talib telah mendahului hadir ke komunitas Islam di negeri Sirisori
Salam. Selain membawa seluruh perlengkapan perang [senjata dan
amunisi standar], kehadiran mereka juga ternyata menyebarkan dan
melakukan indoktrinasi ajaran-ajaran jihad, khususnya tentang makna
‘berjihad’ dengan isyu-isu yang sangat memprovokatif komunitas
Islam. Di samping itu, selain mensosialisasikan ajaran-ajaran yang
radikal agar komunitas Islam di negeri Sirisosi Salam tidak boleh menjalin hubungan dengan orang lain yang berbeda agama, karena mereka
itu dianggap ‘kafir’, LJ juga membagi buku-buku tentang jihad baik
bagi siswa/i Sekolah Dasar [SD], maupun kepada anggota masyarakat24.
Ketika LJ mengajak komunitas Islam untuk melakukan penyerangan terhadap komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarane, ternyata
ajakan tersebut tidak mendapat sambutan positif dari seluruh anggota
masyarakat, bahkan ada anggota masyarakat yang secara keras menentangnya. Realitas ini dapat terjadi karena LJ tidak mengetahui tentang
pertalian hubungan dara yang ada di antara warga kedua komunitas.
Sikap radikalisme kelompok LJ tersebut tercermin dari keputusan
mereka untuk melakukan eksekusi 25 terhadap dua orang pemuda warga
komunitas Islam dari negeri Sirisori Salam yang tidak setuju dengan
keputusan mereka untuk melakukan penyerangan. Eksekusi tersebut
dilakukan di dalam negeri, dan disaksikan oleh kebanyakan warga
komunitas Islam di negeri Sirisori Salam. Kenyataan ini menimbulkan
kebingungan dikalangan masyarakat, dan untuk menghindar dari sikap
arogansi LJ tersebut, tidak ada pilihan lain bagi warga, kecuali meng-

Hasil wawancara tanggal 23 September 2010 dengan informan kunci MS, 47 tahun
[Islam]. Tidak diketahui secara pasti, berapa jumlah anggota Lasykar Jihat yang datang
ke negeri Sirisori Salam
24 Hasil wawancara tanggal 24 September 2010 dengan informan kunci SS, 55
tahun
[Islam]. Buku-buku yang diedarkan tersebut, dua bulan kemudian ditarik kembali oleh
mereka [LJ].
25 Pengakuan salah satu informan kunci AS, 52 tahun [Islam]. Menembak mati kedua
warga masyarakat Negeri Sirisori Salam tersebut karena mereka menentang keputusan
LJ.
23

99

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

ikuti kehendak LJ demi adanya kepastian tentang jaminan keselamatan
jiwa mereka.
Tekanan yang diberikan oleh anggota kelompok LJ tersebut tidak
saja ditujukan semata-mata hanya bagi laki-laki, tetapi perempuan-pun
(terutama anak-anak gadis) senantiasa mendapat perlakuan yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai moral. Karena itu, kebanyakan perempuan
terutama anak gadis dari komunitas Islam harus meninggalkan negeri
mereka dan membuat perjalanan ke Masohi [Ibukota Kabupaten
Maluku Tengah], kota Ambon, atau ke Sulawesi Selatan dan ke pulau
Jawa, dengan maksud untuk menyelamatkan diri mereka dari
kebiadaban anggota kelompok LJ 26.
Tentu sangat sulit untuk membayangkan bagaimana sikap
agresifitas LJ dapat direkam dalam suatu suasana konflik seperti yang
digambarkan di atas; yang dapat dikatakan adalah bahwa konkritisasi
sikap tersebut merupakan satu konstruksi sosial, dengan asumsi bahwa
kejadian itu benar-benar merupakan suau fakta sosial. Terlepas dari
apakah sikap agresif LJ tersebut benar-benar merupakan fakta sosial
atau tidak, yang menarik perhatian di sini adalah bahwa keseluruhan
kejadian di atas, mulai dari memprovokasi dengan menggunakan
ajaran-ajaran jihad untuk melegitimasi upaya mereka sampai dengan
melakukan eksekusi terhadap anggota masyarakat yang menentang
keputusan mereka, mencerminkan berkembangnya suatu anggapan
dalam komunitas Islam di negeri Sirisori Salam yang berhubungan
dengan perkembangan konflik sosial pada saat itu. Mungkin seorang
sejarawan akan langsung menelusuri dasar obyektivitas yang lebih
mendalam lagi mengenai apa yang disebut dengan alasan yang
mendasari kehadiran LJ di negeri Sirisori Salam. Tetapi sebelum hasil
itu dicapai, sosiologi dapat menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi
dalam masyarakat, yakni pengaruh kehadiran LJ terhadap cara berpikir
komunitas Islam di negeri Sirisori Salam, atau cara kenyataan sosial itu
dikonstruksikan, sudah menjadi sangat jelas.

26 Hasil wawancara tanggal 24 September 2010, dengan
[seorang Ibu Rumahtangga] LH, 56 tahun [Islam]

100

seorang informan kunci

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

Pada tanggal 21 September ketika para perusuh berjalan beriring-iringan menyusuri jalan di tepi pantai untuk melakukan penyerangan ke komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarani pertama kali,
maupun yang kedua kali tanggal 6 Oktober 2002, mereka tidak pernah
dicegat atau dihalau oleh anggota TNI dari batalion 603 yang bertugas
di komunitas Kristen [Sirisori Sarane]. Para perusuh dibiarkan begitu
saja memasuki pemukuman komunitas Kristen [negeri Sirisori Sarane]
kemudian melakukan penembakan terhadap warga, dan melakukan
pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk dengan sangat leluasa.
Pada saat yang bersamaan, anggota TNI dari batalion 603 ikut menembak pos Brimob yang berada di komunitas Kristen, kemudian bergabung dengan para perusuh untuk menyerang komunitas Kristen di
negeri Sirisori Sarane. Akibatnya, anggota Brimob berusaha menyelamatkan diri ditengah warga komunitas Kristen, kemudian bergabung
untuk menghalau para perusuh. Keterlibatan aparat TNI-AD yang bergabung dengan LJ untuk melakukan penyerangan saat itu ke pemukiman komunitas Kristen, ternyata menimbulkan dendam dan penyesalan
dari warga komunitas Kristen terhadap TNI-AD 27.
Dari berbagai realitas yang telah digambarkan di atas, dapat dikatakan bahwa aparat TNI-AD berperan sebagai pendorong konflik
antar kedua komunitas, bukan sebagai peredam konflik. Demikian juga
halnya dengan manajemen konflik oleh aparat, jika terlambat, memihak dan sangat represif cenderung justru meningkatkan intensitas
konflik antar kedua komunitas. Seharusnya, intensitas konflik secara
umum dapat diprediksi kemungkinannya, dan sebenarnya Polda dan
Kodam XVI cukup memahami kemungkinan ini. Hanya sering kali
manajemen internal secara strategis tidak tanggap merespons kemungkinan peningkatan intensitas konflik, atau memang ada berbagai
kepentingan lain yang terkait dengan konflik Maluku sehingga konflik
merupakan sebuah ‘rekayasa’ yang direncanakan oleh sebuah skenario.

Hasil wawancara tanggal 25 September 2010 dengan informan kunci AP, 39 tahun
[Kristen].

27

101

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Budaya Lokal
Untuk membuat keseimbangan dan mengatasi terjadinya disfungsi sosial antar warga kedua komunitas, satu tahun kemudian
[tahun 2000], saudara gandong [utusan] kedua komunitas dari negeri
Tamilou [Islam] di pulau Seram datang menemui mereka di pulau
Saparua. Kedatangan ini tentu merupakan cara untuk mengingatkan
kembali hubungann [ikatan] gandong yang telah lama diyakini memiliki sifat sakral. Karena ikatan tersebut selama ini berfungsi sebagai
manajemen sosial untuk mempertahankan solidaritas sosial antara satu
dengan yang lain yang terikat di dalamnya.
Kronologis kedatangan utusan tersebut dituturkan oleh salaah
seorang informan kunci [FS, 59 tahun, Kristen] 28 sebagai berikut: para
utusan tersebut datang hanya dengan satu tujuan, yakni ingin memperoleh jawaban tentang jaminan dari kedua komunitas untuk senantiasa
saling menjaga dan melindungi antara satu dengan yang lain karena
kedua komunitas tersebut adalah adik-kakak yang berasal dari satu
gandong [rahim yang sama].
Setelah tiba, satu hari kemudian, utusan tersebut melakukan
pertemuan adat bertempat di negeri Sirisori Salam dengan mengundang tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat dari kedua komunitas. Dalam pertemuan tersebut, para utusan tersebut mengawalinya
dengan menuturkan kembali sejarah hubungan gandong antara negeri
Tamilou [Islam] di pulau Seram, negeri Hutumuri [Kristen] di pulau
Ambon dan negeri Sirisori [Islam-Kristen] di pulau Saparua. Setelah
itu, diajukan pertanyaan yang cukup prinsip kepada para tokoh kedua
komunitas yang hadir dalam pertemuan tersebut tentang “komitmen
mereka untuk menjaga, memelihara dan melindungi satu terhadap
yang lain”.
Kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut adalah,
mereka [kedua komunitas] berjanji untuk saling melindungi dan tidak
untuk saling menyerang antara satu dengan yang lainnya. Setelah
pertemuan adat tersebut selesai, satu hari kemudian utusan dari negeri
28

Hasil wawancara mendalam tanggal 24 Septemjber 2010.

102

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

Tamilou meninggalkan mereka dan kembali ke pulau Seram kemudian
selanjutnya menuju ke negeri Tamilou.
Nampaknya warga kedua komunitas sangat konsisten dengan
kesepakatan adat yang telah mereka sepakati dalam pertemuan tersebut. Karena itu, sekalipun eskalasi konflik di kota Ambon saat itu
cenderung semakin tinggi, namun mereka tetap senantiasa berusaha
untuk menjaga dan merawat hubungan tersebut. Karena itu, pada saat
beberapa orang warga komunitas Kristen dari negeri-negeri tetangga di
pulau Saparua berdatangan, kemudian melakukan pengepungan ke
komunitas Islam di negeri Sirisori Salam, ternyata mendapat protes dari
sebagian besar warga komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarani.
Kesadaran ini rupanya muncul karena sebelumnya telah ada
kesepakatan adat antar kedua komunitas untuk tidak saling menyerang, dalam arti siapa yang terlebih dahulu melakukan penyerangan
maka ia akan diserang. Kesadaran yang sama juga muncul di kalangan
komunitas Islam di negeri Sirisori Salam, karena itu resiko seberat
apapun mereka siap untuk menerimanya 29.
Reaksi yang cukup keras juga datang dari komunitas Kristen di
negeri Haria terhadap pengepungan yang dilakukan terhadap komunitas Islam di negeri Sirisori Salam. Salah seorang informan [Kristen] dari
negeri Haria menuturkan bahwa:
Saat itu jika negeri Sirisori Salam diserang dan terbakar, maka
masyarakat negeri Haria akan berdiri secara bersama-sama
dengan masyarakat negeri Sirisori Salam untuk melakukan perlawanan balik terhadap negeri-negeri yang menyerang saudara
pela mereka 30

Pada saat terjadi pengepungan, ada beberapa orang anggota
masyarakat dari negeri Ouw yang ikut membantu komunitas Kristen di
negeri Sirisori Sarane. Tanpa mempertimbangkan segala konsekuensi
yang dapat terjadi, keterlibatan tersebut dilatarbelakangi semata-mata
Hasil wawancara tanggal 23 September tahun 2010 dengan informan kunci MS, 47
tahun [Islam].
30 Pernyataan tersebut dapat dipahami, karena antara masyarakat negeri Haria [sarane]
dengan masyarakat negeri Sirisori Salam [Islam] mereka terikat dalam ikatan pela.
29

103

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

oleh karena adanya pertalian hubungan pela dengan komunitas Islam
di negeri Sirisori Salam maupun komunitas Kristen di negeri Sirisori
Sarani. Dalam arti bahwa, mereka pergi membantu bukan untuk
berhadap-hadapan dengan saudara pela [Sirisori Salam]31, tetapi akan
berhadapan dengan anggota LJ [para perusuh]. Pada saat mereka tiba,
saudara pela mereka [komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarane]
melarang mereka untuk tidak boleh melakukan penyerangan. Hal ini
disebabkan karena yang akan diserang adalah saudara pela mereka
sendiri. Karena itu, mereka dianjurkan kembali ke Ouw untuk menjaga
negeri mereka 32.
Ketika situasi sudah mulai kondusif, komunitas Islam di negeri
Sirisori Salam diperhadapkan dengan kesulitan untuk memperoleh
bahan makanan. Sebenarnya, bahan makanan berupa hasil kebun ada
tersedia di kebun mereka, namun saat itu mereka masih merasa takut
untuk pergi mengambilnya. Ketakutan tersebut sangat beralasan
karena tidak ada jarak (istilah lokal: makan masuk keluar) antara kebun
mereka dengan kebun milik warga komunitas Kristen di negeri Sirisori
Sarane.
Kesulitan tersebut dapat teratasi dengan datangnya bantuan
bahan makanan oleh warga komunitas Krsiten dari negeri Ouw 33, yang
diberikan dengan cara melepaskan bahan-bahan makanan tersebut
[berupa hasil-hasil kebun seperti pisang, talas, dan ubi kayu] ke laut
dari speed boad yang berjalan menyusuri tepi pantai depan negeri
Sirisori Salam menuju ke kota Kecamatan Saparua, ketika dilihat
kemudian diambil oleh warga komunitas Islam di negeri Sirisori

Hasil wawancara tanggal 24 September 2010 dengan informan kunci [IP, 47 tahun,
Kristen] dari negeri Ouw.
32 Hasil wawancara tanggal 23 September dengan informan kunci [AP,39 tahun,
Kristen] dari negeri Sirisori Serani.
33 Masyarakat negeri Ouw memiliki hubungan ‘pela’ dengan negeri Sirisori [Salam dan
Sarane]. Dari penuturan salah seorang informan di negeri Ouw [AS, 52 tahun, Kristen]
bahwa para leluhurnya menceriterakan kepadanya bahwa mereka hanya mengenal
negeri Siri Sori. Pada saat Belanda masuk, kemudian negeri Siri Sori pecah menjadi
negeri Siri Sori Salam dan negeri Siri Sori Sarani.
31

104

Dinamika Konflik antar Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong …

Salam 34. Bukan itu saja, tetapi komunitas Kristen di negeri Ouw juga
mengizinkan dan menjamin keselamatan warga komunitas Islam dari
Sirisori Salam ketika meliwati tanjung Ouw untuk membuat perjalanan
dengan speed boad ke Masohi untuk berbagai keperluan.

Kesimpulan
Dari berbagai realitas yang telah digambarkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa aparat TNI-AD dan LJ berperan sebagai pendorong
bukan sebagai peredam konflik antar kedua komunitas. Demikian juga
halnya dengan manajemen konflik oleh aparat, jika terlambat, memihak dan sangat represif cenderung justru meningkatkan intensitas
konflik antar kedua komunitas.
Sepatutnya, intensitas konflik secara umum dapat diprediksi
kemungkinannya, dan sebenarnya PolDa Maluku dan Kodam XVI
Pattimura cukup memahami kemungkinan ini. Hanya sering kali
manajemen internal secara strategis tidak tanggap merespons kemungkinan peningkatan intensitas konflik, atau memang ada berbagai
kepentingan lain yang terkait dengan konflik Maluku sehingga konflik
merupakan sebuah ‘rekayasa’ yang direncanakan oleh sebuah skenario.
Di sisi lain, warga kedua komunitas di pulau Saparua masih
menjunjung ikatan yang ada di antara mereka sehingga budaya mereka
masih fungsional dalam perilaku kolektif dan karenanya konflik dapat
terkendali baik secara struktural maupun kultural.

Hasil wawancara tanggal 25 September 2010, dengan informan kunci AS, 61 tahun
[Islam] dari negeri Sirisori Salam, dan dengan informan kunci FT, 58 tahun [Kristen]
dari negeri Ouw.

34

105