Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB IV

Bab Empat

ORANG AMBON DALAM
DINAMIKA SEJARAH

Pengantar
Untuk mengkonstruksikan orang Ambon dalam dinamika
sejarah secara objektif, banyak dibantu oleh hasil-hasil karya dari Z.J.
Manusama, Rijali, R.Z. Leirissa, Paramita R. Abdurachman, G.E.
Rumphius. F.L. Cooley dan Ziwar Effendi yang pernah melakukan
penelitian di Maluku Tengah [khususnya yang berkaitan dengan aspek
sejarah]. Di samping itu, tuturan sejarah dari tokoh-tokoh masyarakat
juga menjadi penting dalam menggambarkan realitas social tersebut.
Catatan sejarah yang dikemukakan di sini bukanlah hasil dari
suatu penelitian mengenai sumber sejarah. Diasumsikan bahwa
otensitas data sejarah yang dikemukakan oleh para penulis asing tersebut di atas tidak diragukan lagi. Kritik ekstern untuk melihat otensitas
data sejarah sudah dibuat oleh beberapa penulis tersebut di atas ikut
memperkuat asumsi di atas. Akan tetapi, nampaknya kritik intern dilihat dari sosiologi pengetahuan perlu diberikan sedikit. Karena catatan
sejarah yang dikumpulkan di sini terutama dibuat dalam rangka memberikan latar belakang dinamika sosial kehidupan orang Ambon, maka
seleksi terhadap berbagai informasi yang diperoleh dilakukan juga
diwarnai oleh kebutuhan ini. Oleh sebab itu, beberapa catatan sejarah

ikut dimasukkan di sini, sekalipun secara substansial belum ada kepastian hubungannya dengan proses reintegrasi sosial, hanya penulis menduga bahwa hubungan itu ada, karena ada kecenderungan kearah itu.
41

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Catatan Sejarah: Kontak dengan Dunia Luar
Tahun 1475 sampai tahun 1675 telah terjadi beberapa peristiwa
yang membawa pengaruh-pengaruh besar dari luar, pengaruh-pengaruh tersebut sangat menggoncang serta mengakibatkan terjadinya
perubahan sosial yang luas dalam kehidupan masyarakat-masyarakat
kecil di pulau Ambon dan kepulauan Lease. Cooley [1962] mencatat
bahwa ada 2 (dua) dorongan atau motif utama yang menjadi penyebab,
yakni: rempah-rempah yang sangat digemari dan dibutuhkan oleh
orang-orang luar 1, serta agama-agama yang didatangkan dari luar
Maluku. Menurutnya, dalam mengejar dorongan-dorongan utama tersebut, banyak motif tambahan menampakkan diri pula, seperti politik
kekuasaan, keunggulan militer, perkembangan pendidikan dan lainnya.
• Kontak dengan Kesultanan Ternate dan Tidore
Hasil penelitian Cooley [1962] di Alang sebuah Desa di pulau
Ambon menunjukkan bahwa, pengaruh penting yang pertama adalah
agama Islam yang datang ke Maluku Tengah sebagian besar dari
Maluku Utara. Kurang lebih tahun 1480 kekuasaan kesultanan Ternate

dan Tidore meluas ke selatan dengan membawa agama Islam ke negerinegeri di pesisir utara pulau-pulau di Maluku Tengah. Proses pengislaman itu berlangsung sampai pertengahan abad ketujuhbelas, walaupun secara lebih pelan-pelan setelah kedatangan Portugis dan Belanda
yang membawa agama Kristen. Dengan demikian, proses pengislaman
tidak dapat diselesaikan dan berhenti. Menurut Cooley [1962] tidaklah
mudah untuk memberikan dokumentasi yang lengkap mengenai proses
pengislaman yang terjadi serta akibat-akibatnya, namun ada beberapa
perubahan sosial-kultural yang terjadi disebabkan masuknya agama
Islam, yakni praktik pemotongan kepala [kepala manusia] guna memenuhi kewajiban-kewajiban adat pada saat perkawinan dan pembangunan-pembangunan tertentu telah dilarang oleh pihak Islam dengan
segala konsekuensi perubahan yang nampak dalam bidang adat, misalnya tuntutan penyerahan harta kawin sebagai ganti penyerahan kepala
Lihat, R.Z. Leirissa “Tiga Pengertian Istilah Maluku Dalam Sejarah”. dalam Bungan
Rampai Sejarah Maluku. Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional – LIPI, Jakarta, 1973.

1

42

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

manusia dari pihak pengantin laki-laki kepada orang tua pengantin
perempuan. Cooley mencatat bahwa dalam bidang kekerabatan, ada
bukti-bukti tertentu bahwa di Ambon, Lease dan Seram sebelum

kedatangan pengaruh-pengaruh dari luar, sistem kekerabatan disusun
berdasarkan garis keibuan (matrilineal), kemudian mengalami
perubahan hingga sekarang penduduk yang mendiami seluruh pulau
Ambon, Lease dan Seram mengikuti garis kebapaan (patrilineal).
Perubahan ini mungkin saja adalah akibat pengaruh dari luar,
khususnya agama Islam yang kemudian diperkuat oleh agama Kristen
dan kebudayaan Eropa yang semuanya menganut secara tegas garis
kebapaan dalam sistem kekerabatannya. Tentu saja, perpindahan dari
agama suku ke agama Islam telah membawa perubahan-perubahan lain
juga, terutama dalam lembaga-lembaga keagamaan, tetapi juga dalam
lembaga lain seperti ekonomi rakyat, nilai-nilai dan sebagainya.
• Kontak dengan Portugis
Sebelum proses Islamisasi itu dapat terselesaikan, telah muncul
kekuasaan Portugis di Ambon pada permulaan abad ke-enam belas.
Menurut Paramitha R Abduerachman [1972], kekuasaan tersebut telah
berlangsung dari tahun 1512 sampai dengan 1605, lebih dari sembilan
puluh tahun lamanya dan menampakkan pengaruhnya terutama dalam
bidang perdagangan rempah-rempah yang dibarengi dengan penyebaran agama Kristen, terutama misi Katolik kepada penduduk asli.
Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa sebelum datang ke
pulau Ambon, semula pusat operasi Portugis di Maluku Utara, namun

setelah hubungannya dengan Sultan Ternate mulai memburuk [kurang
lebih tahun 1570], maka dipindahkannya ke Maluku Tengah. Dalam
perkembangan lebih lanjut, terjadilah konflik antara Maluku Utara
[kesultanan Ternate] melawan Portugis di Ambon, dan perbedaan
agama merupakan salah satu penyebab utama sehingga ribuan orang
Kristen telah menjadi korban. Paramita R. Abdoerachman [1972]
menyatakan bahwa hal ini disebabkan antara lain, oleh karena untuk
mengembangkan dan melindungi usaha-usaha Portugis dalam bidang
perdagangan dan keagamaan, maka Portugis tidak segan-segan menggunakan siasat serta kekuasaan politik militer. Ia mencatat ada dua hal
43

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

penting yang perlu dijelaskan; pertama, usaha-usaha misi Katolik
terutama yang dilakukan oleh Pr. Fransiskus Xaverius pada tahun 1546,
maka agama Kristen Katolik telah diterima oleh sebagian dari penduduk di Ambon-Lease [Muller-Kruger,1959] 2, yang berarti agama suku
atau agama asli diganti dengan agama Kristen dengan segala implikasi
dan konsekwensi lain dari kebudayaan asli itu. Pada hal dalam kebudayaan asli, agama merupakan unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan dari adat, bahasa, dan lain segi dari kebudayaan; kedua, untuk
memudahkan kepentingan perdagangan dan terutama pengawasan,
Portugis menempuh kebijakan untuk menurunkan penduduk asli di

pulau Ambon dan Lease dari negeri-negeri lama [tempat tinggal pertama yang letaknya di pegunungan] ke tempat-tempat baru di pesisir
pantai. Proses perpindahan ini, ternyata membawa perubahan sosial
yang sangat luas dan penting, terutama dalam susunan masyarakat.
Dari perspektif sosiologis, kebijakan perpindahan tersebut dapat digambarkan sebagai realitas yang amat radikal, karena telah menggoncangkan manusia Ambon dan meninggalkan pengalaman-pengalaman
dalam kejiwaan mereka. Demikian pula dalam interaksi sehari-hari
antara orang-orang Portugis dengan orang Ambon dalam berbagai
konteks hubungan sosial, telah membawa perubahan sebagai konsekuensi dari pemasukan unsur-unsur kebudayaan Portuguis ke dalam
kebudayaan Ambon, misalnya nama-nama dari beberapa mata rumah 3.
Sekalipun kehadiran Portugis di Ambon khususnya dan Maluku
pada umumnya kurang dari seratus tahun lamanya, dan diganti dengan
kehadiran Belanda yang berlangsung jauh lebih lama, namun persentuhan kebudayaan Ambon dan kebudayaan Portugis telah mengakibatkan perobahan dan perkembangan yang cukup mendalam dan abadi
sifatnya. Menurut Paramitha R Abdoerachman [1972] bahwa, karena
2 Muller-Kruger, Th., “Sedjarah Gereja di Indonesia”. Jakarta, 1959. hal.26. Muller
mencatat bahwa dari laporan yang disampaikan oleh Pater Marta hingga puncak
kekuasaan Portugis di Maluku, jumlah orang Kristen di Ambon kurang lebih 47.000
orang. Bandingkan dengan catatan dari sumber yang sama dari Paramitha R.
Abdoerachman [1972].
3 Mata rumah tersebut seperti: de Fretes, de Costa, de Lima, Gomis, Gasperz dan
lainnya. Hal ini nampak juga dalam beberapa istilah dalam bahasa melayu Ambon
yang dipergunakan sehari-hari seperti banku, jendela, kampong, kartu, lampu, dan

lainnya.

44

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

itu tidak sedikit orang Portugis yang kawin dengan gadis Ambon dan
dengan demikian muncullah suatu golongan Portugis-Mestizo yang
menjadi pembawa kebudayaan Portugis di Maluku.
• Kontak dengan Belanda
Pada abad tujuhbelas ditandai dengan kedatangan Belanda di
Maluku. Menurut R Z Leirissa [1972] bahwa kedatangan Belanda
adalah untuk mendapatkan monopoli perdagangan cengkih di Maluku
Tengah antara tahun 1615 dan 1652, bukan bidang keagamaan
[Kristen] yang dipentingkan melainkan bidang perdagangan, seperti
yang dilakukan oleh misi Katolik sebelumnya. Belanda segera mulai
memperluas kekuasaannya atas dasar-dasar yang telah diletakkan oleh
Portugis dalam bidang perdagangan, politik dan militer. Menurut C.P.F
Luhulima [1971], di dalam waktu tujuh puluh tahun [1605-1675]
Belanda berhasil mempertahankan suatu tujuan politik-ekonomi yang

juga dikejar Portugis tanpa berhasil, yakni menguasai secara mutlak
perdagangan rempah-rempah.
Untuk mencapai tujuan utama tersebut guna memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya dari daerah Maluku, Belanda tidak
segan-segan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: pertama,
pusat produksi rempah-rempah terutama cengkih dipindahkannya dari
Maluku Utara 4 ke Maluku Tengah yang lebih gampang dikontrol dan
dipertahankan secara geografis dan politik; kedua, dalam rangka
kebijakan politik-ekonomi yang sama, maka proses penurunan negerinegeri dari gunung ke pesisir pantai diselesaikan, kecuali dibeberapa
negeri di jazirah Leitimor [pulau Ambon] yang tinggal di pegununganpegunungan sampai sekarang. Proses perpindahan tersebut telah
menyebabkan perubahan agama dari kepercayaan asli masuk agama
Kristen, dan perubahan dalam adat-istiadat karena erat hubungannya
dengan tempat [wilayah] dan kepercayaan asli. Cooley [1962] menyatakan bahwa kiranya tidak berkelebihan kalau masa 1605-1675 itu
digambarkan sebagai suatu periode di mana masyarakat-masyarakat
4 Di Maluku Utara, Belanda menghadapi saingan dalam perdagangan menghadapi
Inggeris dan Spanyol serta perlawanan gigih dari penduduk asli dan pemimpinpemimpin mereka.

45

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku


negeri di Maluku Tengah mengalami kegoncangan yang besar sebagai
akibat penurunan dari pegunungan ke pesisir pantai tersebut; ketiga,
politik Belanda mengadakan hongitochten-nya guna mendirikan dan
mempertahankan kekuasaannya yang mutlak atas rempah-rempah.
Hongitochten ini tidak lain daripada ekspedisi-ekspedisi perang atau
operasi pembersihan [extirpasi] terhadap mereka yang tidak mentaati
peraturan Belanda yang mengharuskan supaya produksi rempahrempah dijual kepada companie saja. Kebijakan politik Belanda yang
berlaku saat itu adalah setiap tahun negeri-negeri harus menyediakan
sekian banyak kora-kora [perahu perang] lengkap dengan tenaga
pendayung untuk membentuk pasukan yang dipimpin oleh Gubernur
di Ambon dan dipergunakan untuk memukul negeri-negeri yang
menjual rempah-rempah kepada Inggeris dan pihak-pihak lain. Apabila
dijumpai masyarakat yang melanggar aturan maka kebun-kebun
cengkih dan pala miliknya dirusakkan dan para pelanggar diusir atau
dibunuh. Akibat dari pada hongitochten terhadap kehidupan negerinegeri di Maluku Tengah adalah tidak begitu disenangi oleh mereka
yang terpaksa turut. Anak-anak negeri yang pergi tidak semuanya
kembali. Ada yang gugur, ada yang hilang dan ada yang melarikan diri.

Sistem Pemerintahan

Dari berbagai sumber sejarah, diketahui bahwa jauh sebelum
masuknya budaya dan agama Islam serta masuknya budaya Barat yang
membawa agama Kristen pada abad limabelas dan enambelas, di
Maluku sudah ada kesatuan-kesatuan masyarakat dengan stuktur dan
pemerintahan yang teratur. Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa wilayah kebudayaan yang meliputi pulau-pulau, Seram,
Buru, Ambon dan Lease memiliki ciri yang menonjol yakni setiap
negeri adalah wilayah otonom yang dikepalai oleh seorang raja atau
upu latu sebagai primus inter pares. Wilayah ini dinamakan oleh
Huliselan [2009] sebagai wilayah budaya raja-raja.
Menurut Z.J. Manusama [1973] bahwa setelah terjadinya migrasi
orang-orang dari Seram ke pulau Ambon dan Lease, maka dengan
susah payah oleh nenek-moyang orang Ambon telah dibentuk
46

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

masyarakat-masyarakat kecil yang baru di pegunungan-pegunungan
pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Masyarakat-masyarakat
kecil tersebut sangat sederhana terdiri dari beberapa keluarga saja yang
menduduki suatu tempat tertentu. Kelompok kecil ini dikepalai oleh

seorang upu atau latu. Dia diakui kedudukannya sebagai pemimpin
tertinggi oleh karena kekuatan yang unggul, baik dalam perang
maupun dalam “charisma”. Dia dibantu dalam urusan pertahanan oleh
seorang yang disebut malessi [panglima pasukan] dan dalam urusan
keagamaan dibantu oleh seorang maweng [imam-dukun] yang mengurus segala hal yang berhubungan dengan “dunia yang tak kelihatan
itu”. Oleh karena kebanyakan penduduk asli yang mendiami pulau
Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut datang dari pulau Seram, maka
pola-pola kemasyarakatan dan kebudayaan yang berkembang sangat
mirip dengan apa yang terdapat di Seram Barat dan Selatan. Itu lah
sebabnya mengapa sampai sekarang pulau Seram disebut oleh orang
Ambon sebagai Nusa Ina [pulau Ibu] dan dianggap sumber pokok
daripada baik manusia Maluku maupun pola-pola dasar dari masyarakat dan kebudayaannya [Cooley, 1962].
Lama-kelamaan karena perkembangan dari dalam [kedatangan
banyaknya orang serta peperangan antara kelompok-kelompok pendatang baru dan penduduk yang sudah ada] suatu proses pertumbuhan
dan perubahan terjadi di mana masyarakat-masyarakat kecil tersebut
bertambah besar atau bergabung satu dengan yang lain sehingga
terbentuklah satuan-satuan yang lebih besar yang disebut aman. Salah
seorang di antara para upu muncul sebagai yang terkuat dan terpandai;
dan dialah yang menjadi latu [yang berkuasa]. Upu-upu lain diberi atau
memperoleh jabatan sebagai Soa. Soa adalah bagian dari masyarakat

negeri [hena] yang lebih besar, yang terdiri dari beberapa rumahtau
[mata rumah] yaitu golongan kekerabatan [darah] yang mengikuti garis
keturunan kebapaan. Masing-masing Soa diwakili dalam berbagai
bidang fungsional oleh malessi, maweng dan pejabat-pejabat lain.
Inilah susunan masyarakat pokok yang terdapat pada masa lalu di pulau
Ambon dan Saparua, termasuk Haruku dan Nusalaut [Cooley, 1962].

47

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Cooley [1962] mencatat bahwa akibat pengaruh-pengaruh yang
datang dari luar [Maluku Utara, khususnya] dan mungkin dari pulau
Jawa dan Irian Jaya, telah berkembang masyarakat-masyarakat yang
lebih majemuk lagi, yang di pulau Ambon di sebut Uli [artinya, suatu
kelompok aman menjadi satuan pemerintahan dan kemasyarakatan]
yang dalam urusan-urusan umum dipimpin oleh seorang Upulatu [yang
kemudian disebut raja] dan dalam urusan-urusan perang dipimpin oleh
seorang Kapitan [gelaran mana mencerminkan pengaruh dari Jawa dan
Portugis], dibantu oleh pemimpin dari masing-masing aman yang
secara umum disebut orang kaya. Di kepulauan Lease, ulisiwa dan
ulilima lazim disebut patasiwa dan patalima [pata artinya bagian].

Pengelompokan Masyarakat
Menurut Huliselan [2009], jauh sebelum masuknya budaya dan
agama Islam serta masuknya budaya Barat yang membawa agama
Kristen pada abad limabelas dan enambelas, di Maluku sudah ada
kesatuan-kesatuan masyarakat dengan struktur dan pemerintahan yang
teratur. Lebih lanjut dikatakan Huliselan bahwa, setiap wilayah kebudayaan terdiri dari berbagai sub-etnik dengan beraneka ragam budaya
yang hampir sama sampai dengan memiliki karakteristik tersendiri.
Sub-sub etnik membentuk struktur dan sistem pengelompokan masyarakat yang berbeda satu dengan lain baik di dalam wilayah kebudayaan
itu sendiri, maupun antar wilayah kebudayaan. Misalnya di Pulau
Seram terdapat tiga kelompok besar yaitu: (1) Kelompok orang-orang
Seram Timur; (2) Kelompok Alune di Seram Barat dan Seram Tengah;
dan (3) Kelompok Wemale di Seram Tengah. Kemudian kelompokkelompok ini menyebar mendiami kepulauan Lease, Ambon dan Buru.
Kelompok Alune juga disebut sebagai Pata Alune dan kelompok
Wemale disebut Pata Wemale. Pata Alune kemudian menyatakan diri
sebagai patasiwa yaitu satu persekutuan adat bagi orang-orang yang
memiliki adat yang sama, dan Pata Wemale menyatakan diri sebagai
patalima yaitu satu persekutuan adat bagi orang-orang yang memiliki
adat yang sama pula. Atau dapat dikatakan bahwa, masing-masing
menganut kepercayaan [adat] sendiri-sendiri dalam bermasyarakat
maupun berhubungan dengan Alam dan Tuhannya.
48

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

Perbedaan antara kedua persekutuan ini sangat jelas kelihatan
dalam sistem penamaan kelompok masyarakat di wilayah adat Seram,
Ambon dan di pulau Lease. Dalam persekutuan patasiwa, kelompok
yang terkecil dinamakan Luma Tau atau Mata Ruma, satu atau
beberapa mata ruma membentuk satu uku dan paling banyak sembilan
uku membentuk satu aman (Kampung atau Negeri) dan semua aman
berada dalam satu persekutuan, yaitu Patasiwa atau Uli Siwa [untuk
pulau Ambon dan pulau Lease]. Sebaliknya dalam persekutuan Pata
Lima kelompok yang terkecil dinamakan Mata Ruma atau Luma Tau
dan paling banyak lima membentuk satu uku; beberapa uku dan paling
banyak lima uku membentuk satu Hena (Kampung atau Negri). Aman
dan Uli berada dalam satu persekutuan yang disebut Patalima dan Uli
Lima [untuk pulau Ambon dan pulau Lease].
Pola-pola pengelompokan di atas memperlihatkan adanya perbedaan antara budaya Seram, Lease dan Ambon dengan budaya masyarakat kepulauan lainnya di Maluku. Bagi orang-orang Ambon, pembedaan telah dibangun pada tingkat kelompok yang lebih rendah yaitu
aman dan hena. Aman berasal dari kata ama yang berarti Ayah dan
hena berasal dari kata ina yang berarti Ibu. Itu berarti pata siwa
mengklasifikasikan diri mereka sebagai Laki-laki dan pata lima sebagai
Perempuan. Pembedaan ini kemudian mempunyai pengaruh yang luas
terhadap berbagai segi kehidupan masyarakatnya pada tingkat aman
dan hena.
Jika ditelusuri secara saksama, maka dapat dikatakan bahwa
kelompok patasiwa dan patalima tersebut menganut pandangan hidup
monodualistis [Huliselan, 2009] yang mengganggap bahwa suatu
kesempurnaan adalah hasil dari dua yang berbeda. Hal ini nyata dari
bagaimana mereka memandang kosmosnya. Orang-orang patasiwa dan
patalima membagi kosmologi mereka atas dua bagian besar yaitu Langit
dan Bumi (Tanah). Langit disapa sebagai Upu Lanite (Tuan atau Tuhan
Langit) dan Bumi atau Tanah sebagai Ina Ume (Ibu atau Tuhan Bumi/
Tanah). Klasifikasi Langit dan Tanah atau Laki-laki dan Perempuan
telah menjadi dasar klasifikasi terhadap berbagai hal yang berkaitan
dengan kehidupan keagamaan dan religi mereka. Gunung (laki-laki)

49

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

versus pantai (perempuan); Lautan (laki-laki) versus dataran
(perempuan) dan lainnya. Dengan demikian patasiwa dan aman adalah
laki-laki serta patalima dan hena adalah perempuan. Dualistis oposisi
seperti ini memberikan pengertian bahwa bukan Siwa [Siuw] atau
Lima [Lim] yang menentukan jenis kelaminnya, tetapi nilai perempuan
dan laki-laki dari fisik manusia telah diambil sebagai satu sistem nilai
budaya dalam mengklasifikasi masyarakat dan dunianya dan ini telah
dipakai sebagai pedoman hidup para pendukungnya.
Perempuan dan laki-laki adalah dua unsur yang berbeda tetapi
satu membutuhkan yang lain, satu tergantung pada yang lain dan satu
tidak bisa hidup tanpa yang lain, dengan demikian yang satu tidak bisa
eksis didunia tanpa yang lain. Perpaduan keduanya adalah suatu kesempurnaan. Dalam kepercayaan asli dapat diketahui bahwa terbentuknya dunia dan lahirnya manusia adalah hasil pertemuan antara dua
unsur yaitu langit [yang laki-laki] dan bumi [yang perempuan].
Pandangan ini mengandung nilai bahwa perbedaan menjamin adanya
keseimbangan kosmos, karena satu membutuhkan yang lain dan satu
tergantung kepada yang lain. Oleh karena itu, maka untuk mencapai
keseimbangan kosmos perlu adanya keharmonisan hubungan atau
relasi antar dua yang berbeda [langit dan tanah atau laki-laki dan
perempuan].

Patasiwa membutuhkan patalima. Dengan demikian, kebudayaan yang tumbuh dalam masyarakat kedua persekutuan ini adalah
kebudayaan yang saling menjaga keseimbangan hubungan antar
keduanya. Artinya dalam nilai budaya yang dikandung oleh kedua
persekutuan ini, tidak ada nilai-nilai yang satu harus menguasai atau
menundukan yang lain atau yang satu harus menghancurkan yang lain,
karena itu dapat merusak keseimbangan kosmos.
Dalam menjaga tatanan keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
konsep dan nilai pembentukan uku dan hena atau aman yang didirikan
atas tiga pilar utama yaitu berdasarkan teori yang sama, leluhur yang
sama dan memiliki religi yang sama. Artinya orang-orang yang mendiami satu uku dan hena atau aman mengaku bahwa mereka berasal
dari tanah yang sama dan sekaligus memilikinya, berasal dari leluhur
50

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

yang sama sekaligus pelindungnya dan mendukung kepercayaan atau
adat istiadat yang sama sekaligus melaksanakannya. Oleh karena itu
didalam satu hena atau aman tidak boleh didiami oleh orang yang
berbeda Pata. Masing-masing mempunyai teritori sendiri, leluhur
sendiri dan adat-istiadat sendiri. Orang akan tersinggung kalau tanahnya diambil, orang akan tersinggung kalau leluhurnya di hina dan
orang akan tersinggung kalau adatnya direndahkan atau dilanggar.
Sesuai dengan pandangan dan sistem nilai yang dianut maka
segala pelaksanaan adat yang berdampak pada kekerasan satu kepada
yang lain harus dilihat dalam teritori tatanan nilai budaya patasiwa dan
patalima. Segala kekerasan dalam pemenuhan tuntutan adat seperti
mengayau tidak bisa dilihat sebagai konflik antar keduanya. Patasiwa
harus mengayau pada patalima dan sebaliknya tidak bisa dilihat sebagai
satu konflik parmanen dalam pengertian moderen. Keduanya saling
membutuhkan dalam menunaikan adat mereka. Pelanggaran atas tanah
milik juga tidak bisa mendorong orang untuk saling menghancurkan
atau menundukan atau menguasai karena satu membutuhkan yang lain
dalam pemenuhan adat yang lebih tinggi yaitu mangayau. Patasiwa
tidak mungkin mengayau dalam dirinya sendiri [yaitu orang sesama
patasiwa] demikian pula sebaliknya. Karena itu, untuk keperluan
tersebut perlu ada orang lain yang sanggup memberi atau menyediakan
kelengkapan adat. Di sinilah letak keseimbangan itu.
Dalam perjalanan kehidupan mereka, ternyata nilai-nilai budaya

patasiwa dan patalima tidak mampu bertahan atas gempuran nilai-nilai
baru yang datang melalui kekerasan dan paksaan. Jadi dapat dikatakan
bahwa nilai-nilai budaya satu masyarakat dapat mengalami perubahan
apabila pendukungnya dipaksa melalui kekerasan untuk menganut
nilai baru. Nilai baru yang dimaksud disini adalah nilai kekuasaan dan
penaklukan atas kelompok yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam
perjalanan sejarah yang dialami oleh kelompok patasiwa dan patalima.
Pada abad empatbelas ketika bangsa Arab mendatangi Maluku
melalui Cina untuk berdagang rempah-rempah. Bersama dengan itu
mereka juga menyebar agama Islam dan berhasil mengislamkan
kelompok patalima, sebaliknya kelompok patasiwa pada umumnya
51

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

berdiam di pegunungan dan tetap pada kepercayaan aslinya. Ini
menunjukkan bahwa nilai adanya perbedaan ingin tetap dipertahankan
dalam kehidupan bersama kedua kelompok. Di sini tidak ada pemaksaan atau kekerasan yang digunakan dalam penyebaran agama islam.
Seiring dengan itu muncul kekuatan baru yaitu kesultanan
Ternate dan Tidore yang ingin memperluas kekuasaan dan pengaruhnya di wilayah patasiwa dan patalima. Kalau kelompok persekutuan
patasiwa dan patalima merupakan satu persekutuan adat yang tidak
memiliki seorang pemimpin sebagai satu kesatuan politik dan tidak
memiliki ambisi perluasan kekuasaan dan pengaruh satu terhadap yang
lain, ini berbeda dengan kesultanan sebagai satu kesatuan politik
dengan ambisi penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan.
Kedatangan kedua kesultanan ini telah merubah berbagai sistem
nilai dalam kebudayaan orang-orang patasiwa dan patalima. Patalima
bersekutu dengan kesultanan Ternate yang mengembangkan agama
Islam dan untuk tetap mempertahankan perbedaan maka patasiwa
bersekutu dengan kesultanan Tidore dengan tetap mempertahankan
kepercayaan aslinya. Tanpa sadar kedua kelompok ini telah masuk
dalam satu sistem nilai baru yang berbeda dengan yang mereka anut
selama ini yaitu nilai menguasai, ingin menaklukkan, ingin berkuasa
sendiri, dan ingin memiliki kosmos sendiri dalam arti tidak ingin
berbagi dengan orang lain. Keseimbangan kosmos yang dijaga selama
ini melalui penegakan adat, lenyap.
Dengan nilai-nilai baru yang diadopsi dari Ternate dan Tidore,
terjadilah perang terbuka di antara keduanya yang dimotori oleh
kesultanan Ternate dan Tidore. Satu berupaya menghancurkan yang
lain, satu berusaha merebut teritorial yang lain dan satu memaksakan
kepercayaan kepada yang lain, Peperangan atau permusuhan yang
muncul bukan lagi di antara dua belahan yang berbeda yang selalu
diikat oleh adat untuk menjaga keseimbangan kosmos, tetapi di antara
dua belahan yang masing-masing ingin menguasai kosmos untuk dirinya sendiri, olehnya harus ditaklukkan bahkan bila perlu dimusnahkan. Elemen langit dan tanah; elemen laki-laki dan perempuan sebagai
nilai dasar pembentukan bumi dan manusia tidak lagi menjadi bagian
52

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

dalam tatanan nilai kedua kelompok. Dengan lenyapnya nilai menjaga
keseimbangan dan keharmonisan kosmos maka bersamaan dengan itu
pula lenyaplah pengaruh kelompok tengah sebagai katup pengaman
antara keduanya.
Kedatangan bangsa Portogis pada abad enambelas di Maluku
disamping untuk berdagang rempah-rempah juga untuk menyiarkan
agama Kristen Katolik. Pada tahun 1512 ketika Fransisco Serrao tiba di
Maluku [Hitu], sementara terjadi peperangan antara orang-orang
Ternate dan Hitu, melawan orang-orang Seram dan Tidore [peperangan antara patasiwa dan patalima saat itu telah berjalan lebih dari serátus tahun] [R.Z. Leirissa,1972]. Walaupun pada kenyataannya Ternate
sudah menguasai sebagian besar daerah, tetapi untuk menguasai secara
mutlak mereka [Orang Ternate dan Hitu] meminta bantuan Portogis
untuk memerangi musuh mereka dan ini berhasil. Persekutuan ini
ternyata karena usaha monopoli rempah-rempah dan penyiaran agama
Kristen Katolik oleh Portogis.
Portogis bersekutu dengan patasiwa yang kemudian memeluk
agama Kristen Katolik. Dua kelompok baru lahir yaitu Patalima dan
Ternate yang memeluk agama Islam di satu pihak dan Patasiwa dan
Portogis yang memeluk agama Kristen Katholik yang saling menguasai
dan menghancurkan [perang antara keduanya berlangsung dari tahun
1538 – 1605]. Pada saat inilah identitas berdasarkan Agama Islam dan
Kristen mulai dipakai sebagai pembeda juga pemaksaan untuk menganutnya.
Peperangan sengit di antara kedua kelompok berjalan sampai
abad tujuhbelas dengan kedatangan bangsa Belanda yang tujuan
utamanya adalah berdagang rempah-rempah, namun dibalik itu sekaligus juga menyiarkan agama Kristen Protestan. Belanda membantu
Ternate dan Patalima melawan Portugis dan Patasiwa. Kekalahan
Portugis mendorong Belanda untuk menguasai perdagangan rempahrempah. Untuk itu maka persekutuan dengan Ternate dan Patalima
hancur dan terjadi peperangan antara Belanda melawan Ternate dan
Patalima. Belanda dibantu oleh Patasiwa dan akhirnya mereka
[Belanda] menguasai Maluku [Cooley, 1962].
53

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Pada masa yang penuh kekacauan mulai dari masuknya pengaruh Ternate dan Tidore, kemudian disusul oleh Portugis dan Belanda,
telah mengacaukan tatanan budaya masyarakat Maluku. Konsep hidup
harmonis dalam perbedaan demi menjaga keseimbangan kosmos
hilang, diganti dengan kekerasan, permusuhan dan penaklukkan.
Akibatnya, nilai-nilai budaya patasiwa dan patalima tidak mampu
bertahan lagi. Karena kekerasan dan pemaksaan maka terjadilah orang
dipaksa untuk mengganti Pata dan Agama [kepercayaan] sehingga
patasiwa dan patalima tidak dapat dipakai lagi sebagai identitas utama
kelompok. Aman dan hena yang berlokasi di pegunungan [perbukitan]
dipaksa turun membuat permukiman di pesisir pantai dan berganti
nama menjadi negeri.

Struktur Kekerabatan Orang Ambon
Perjalanan sejarah masyarakat Seram, Ambon dan Lease memperlihatkan bahwa nilai-nilai budaya mereka beratus-ratus tahun
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya asing yang tentu sebagiannya telah diambil alih menjadi miliknya. Nilai budaya yang hilang
justeru nilai yang sangat pokok dan hakiki bagi masyarakat yang
beragam yaitu nilai hidup berdampingan secara bersama dalam satu
kosmos.
Peperangan demi peperangan, permusuhan demi permusuhan,
dan kehidupan saling membunuh yang berjalan kurang lebih 300
tahun [mulai kedatangan Ternate, Tidore sampai dengan abad pertama
dan kedua penjajahan Belanda] merupakan abad-abad kegelapan.
Olehnya uraian pada bagian ini lebih dititik-beratkan pada orangorang Ambon untuk lebih memahami berbagai perubahan nilai dan
perbedaan yang muncul akibat masa kegelapan itu. Adanya permusuhan yang disertai dengan penyiaran agama telah menjadi dasar
pembentukan kelompok dan kesatuan hidup bagi orang-orang Ambon.
Bukan saja agama telah dipakai sebagai identitas, tetapi juga untuk
membuat segregasi antar Negeri. Hena atau Negeri yang merupakan
kelompok teritorial, geneologis dan religius tetap bertahan. Itu berarti
bahwa masyarakat satu negeri memiliki teritori yang sama, berasal dari
54

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

leluhur yang sama dan memeluk agama yang sama [Islam atau Kristen].
Di sinilah terjadi segregasi atas dasar agama. Masyarakat yang
mendiami satu Negeri adalah hanya mereka yang memeluk satu agama
[Islam atau Kristen). Mereka yang berbeda agama walaupun berasal
dari satu mata rumah dari negeri itu, harus berpindah mendiami negeri
yang ada anggotanya menganut agama lain dari mayoritas penduduk
dan dapat bermukim di negerinya tetepi pada lokasi lain yang ditentukan.
Masa-masa kegelapan di Ambon, dan Lease [termasuk Seram]
yang membuat masyarakat menderita dan memecah masyarakat seluma tau [mata rumah] dan masyarakat se Aman, Hena [negeri],
ternyata telah menyadarkan para pemimpin [tua-tua Adat] untuk
mengenal jati diri mereka melalui pengenalan kembali nilai-nilai
budayanya. Pengenalan diri kembali ini ternyata telah melahirkan
ikatan-ikatan baru yang didasarkan atas persaudaraan, persahabatan
dan tolong-menolong lintas agama. Para tua adat mulai mencari lagi
kerabat-kerabat mereka yang terpisah oleh karena perbedaan agama
atau akibat peperangan untuk kembali menjalin hubungan persaudaraan. Bersamaan dengan itu, tumbuh ikatan-ikatan persaudaraan yang
didasarkan pada nilai tolong-menolong antar sesama. Ini semua lahir
sebagai upaya peredam konflik dan keinginan untuk hidup berdampingan secara damai.
Ikatan-ikatan baru tersebut dikenal dengan nama Pela, Bongso,
Adi-Kakak dan Gandong, yang lahir sebagai upaya peredaan ketegangan dan penghentian kekerasan antar sesama anak negeri sebagai upaya
mengharmoniskan kembali kosmos, ketika nilai-nilai budaya patasiwa
dan patalima tidak mampu dipakai lagi untuk satu kehidupan yang
seimbang dalam kosmos.
Apa makna nilai dari ikatan-ikatan baru ini bagi kehidupan
kebersamaan?
• Bongso [bungsu], adalah satu istilah [term] kekerabatan yang menunjukkan status seseorang sebagai anak bungsu atau adik bungsu
dalam satu keluarga batih. Anak atau adik dalam keluarga di Seram,
Ambon dan Lease adalah sosok yang disayangi. Masyarakat dua
55

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

negeri atau lebih yang terikat dalam ikatan bongso saling menyapa
satu dengan yang lain sebagai bongso. Makna yang terkandung
dalam ikatan ini adalah saling menyayangi dan melindungi,
layaknya orang tua kepada anak bungsunya atau kakak terhadap
adik bungsunya;
• Gandong [sekandung], adalah satu istilah [term] kekerabatan yang
digunakan untuk menyatakan hubungan persaudaraan antar anakanak yang lahir dan berasal dari satu kandungan (rahin Ibu). Ada
perbedaan jelas antara saudara sekandung dan bukan. Dalam adat
[Seram, Ambon dan Lease] relasi antara saudara sekandung lebih
erat dari relasi antar saudara yang bukan sekandung. Hubungan
antar saudara sekandung sangat erat dan selalu dalam suasana saling
menyayangi, saling melindungi dan saling tolong-menolong.
Negeri-negeri yang terkait dalam ikatan gandong, akan saling
menyapa gandong satu pada yang lain apabila bertemu;
• Adi-Kaka [Adik-Kakak], adalah satu istilah [term] kekerabatan yang
digunakan oleh orang Seram, Ambon dan Lease untuk menjelaskan
hubungan atau relasi antara dua orang atau lebih yang berkerabat
baik dalam satu keluarga luas maupun keluarga batih dari garis Ibu
maupun Ayah, di mana yang lebih tua dianggap sebagai Kakak dan
sebaliknya Adik. Hubungan adi-kakak antara dua negeri merupakan
hubungan kerabat [ikatan kerabat] yang saling menghormati dan
menjaga, yang tua [kakak] kepada yang lebih muda [adik] dan
sebaliknya disertai hubungan tolong-menolong antar kedua negeri.
Anggota masyarakat negeri yang dianggap sebagai kaka akan menyapa adi kepada anggota masyarakat negeri yang dianggap sebagai
adik dan sebaliknya;
• Pela, adalah sejenis ikatan persaudaraan antar individu, individu
dengan kelompok atau antar kelompok. Pengertian pela sebagai
persaudaraan lebih luas cakupannya dari “bongso”, Adi-Kaka dan
Gandong, karena dia meliwati batas-batas kekerabatan atau
hubungan geneologis. Pela dapat terjadi antara dua negeri atau
lebih. Negeri-negeri yang terikat dalam ikatan pela berada dalam

56

Orang Ambon dalam Dinamika Sosial

ikatan saling membantu, dan masyarakatnya saling menyapa “pela”
satu pada yang lainnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa ada dua nilai persaudaraan
yang dibangun dalam kebudayaan Seram, Ambon dan Lease oleh pendukungnya untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di antara
mereka dan ingin hidup bersama sebagai orang bersaudara. Bongso,
Gandong dan Adi-Kaka adalah ikatan berdasarkan hubungan geneologis. Ikatan ini mengingatkan kita pada ikatan Aman dan Hena yang
telah hancur itu. Ikatan Pela adalah ikatan persaudaraan yang lebih
luas mencakup kelompok-kelompok yang tidak memiliki hubungan
geneologis. Dalam konteks ini yang diharapkan adalah ketenteraman,
kedamaian dan keharmonisan hidup walaupun mereka berbeda.
Bongso, Gandong, Adi-Kaka dan Pela ternyata telah mampu
meredam nilai-nilai perbedaan, pertentangan dan permusuhan dan
membangkitkan lagi nilai-nilai persaudaraan, keluarga, kebersamaan,
persatuan, saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi,
saling mempercayai, dan saling membantu. Hubungan ini ditegakan
melalui nilai-nilai kekerabatan yang mengandung arti tidak mungkin
anggota sekerabat [adik dan kakak, saudara sekandung] akan saling
membunuh saling menghancurkan dan saling memerangi. Bagaimana
nilai kerukunan ini telah diwujudkan dapat kita lihat dari nilai-nilai
tolong-menolong untuk sama-sama membangun negeri melalui sumbangan tenaga maupun materi dari satu negeri pada negeri yang lain,
misalnya dalam membangun Mesjid, Gereja, Baileu 5, dan lainnya. Dan
lebih penting dari ini lagi bahwa ada rumah-rumah khusus yang
disediakan negeri yang ber-pela kepada pela-nya yang beragama lain
untuk menjalankan ibadah di rumah tersebut. Inilah nilai hidup
bersama dan saling menghargai akan agama masing-masing yang amat
tinggi nilainya yang tidak ada taranya.

5 Baileu adalah rumah adat yang dipergunakan masyarakat suatu negeri sebagai tempat
dilakukan pertemuan dan pelaksanaan acara-acara adat.

57

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Kesimpulan
Dinamika sejarah yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa
masuknya para penjajah selain dengan tujuan untuk memperluas
wilayah kekuasaan politik dan menerapkan monopoli perdagangan
rempah-rempah [cengkih dan pala] di Maluku, sekaligus menyiarkan
agama samawi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang luar
biasa dalam kehidupan orang Ambon.
Orang Ambon mulai meninggalkan struktur sosial lama [pata,
hena, uli] dan mulai menggunakan struktur baru [agama, negeri] dan
lainnya. Saat itu lah, agama mulai dipakai sebagai pembeda antara
orang Ambon satu dengan yang lainnya. Konflik antar kelompok yang
terjadi kala itu, merupakan strategi yang diciptakan untuk mengamankan kepentingan politik kolonial.

58