Melihat Peta Politik dan Dakwah Muhammadiyah

Melihat Peta Politik dan Dakwah
Muhammadiyah
Ketidaksuksesan pasangan Amien-Rais dan Siswono Yudho Husudo dalam Pilihan Presiden putaran I 5
Juli lalu, tidak perlu membuat kader Muhammadiyah berlarut-larut dalam kekecewaan.Tentu semua itu
ada hikmahnya bagi Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah, Muhammadiyah menjadi tahu
posisinya di dalam peta konstalasi politik Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Terlebih bagi wilayah tertentu, keterlibatan persyarikatan dalam berpolitik dengan menggunakan
jaringannya ini tidak hanya dalam Pilpres saja tetapi telah dilakukan dalam pemilihan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang hasilnya ada yang sukses tetapi ada yang gagal juga.
Dengan mengetahui posisi Muhammadiyah di dalam konstalasi politik ini, maka Muhammadiyah akan
bisa memposisikan dirinya secara tepat dalam melakukan gerakananya.Dengan demikian gerakannya
akan lebih efektif dan efisien, sehingga tujuan dakwahnya akan lebih cepat tercapai. Tetapi jika setelah
mengetahui posisinya kemudian bersikap pesimis tentu akan sebaliknya hasilnya, gerak dakwahnya akan
sedikit terhambat dan bahkan bisa terhenti.
Di dalam melihat peta politik ini, bisa kita gunakan teori domination Max Weber. Mendasarkan konsep
Max Weber dalam menjelaskan birokrasi dengan menggunakan teori domination, maka diungkapkan ada
tiga bentuk dominasi yang bisa ditemui, ialah tradisional, kharismatik dan legal formal rasional
domination. Dengan menggunakan dasaran konsep ini, sebetulnya masyarakat yang dibentuk
Muhammadiyah dalam dakwahnya adalah masyarakat legal formal rasional domination. Suatu
masyarakat yang prilakunya didasarkan pada hal-hal yang legal, formal dan rasional ketimbang
berdasarkan tradisi dan karisma.

Capres dan Cawapres yang didukung Muhammadiyah, yang juga merupakan salah satu kader terbaik
Muhammadiyahpun termasuk Capres dalam kategori legal formal rasional domination. Artinya, capres
dan cawapres ini betul-betul memenuhi syarat sebagai pimpinan dalam era reformasi ini. Caprescawapres Amien-Siswono bukan hanya berlatar belakang kalangan intelektual, tetapi juga memiliki visi
dan misi yang jelas, tahu apa yang yang akan dikerjakan tahap demi tahap. Capres ini juga reformis serta
bersih dari KKN dan sebagainya. Dari figur seperti inilah yang saat ini dibutuhkan oleh Indonesia, untuk
memecahkan permasalahan yang demikian kompleks
Sedangkan capres yang masuk dalam kategori kharismatik seperti yang dimiliki Presiden Pertama
Soekarno, dalam Pilpres kali, ini adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kekuatan kharisma ini
indikatornya tidak jelas dan bahkan irasional. Tetapi umumnya orang tertarik pada figur yang kharismatik
ini berdasakan sikap orang yang bersangkutan.Orang tertarik pada figur SBY karena sikapnya yang
flamboyant yang dapat mengendalikan dirinya. Tetap santun meski mendapat perlakukan yang kurang
menyenangkan.

Sementara Capres yang masuk dalam kategori tradisional adalah Megawati Soekarno Putri. Megawati
Soekarnoputri yang mewakili pemilih tradisional dianggap telah kehilangan kharisma Soekarno, tetapi
dikarenakan secara tradisional sebagian pemilih sudah terpaku pada pameo: pejah gesang nderek Mega
maka Megawati masih memiliki kepercayaan sebagai Soekarnois. Ini juga didukung oleh pasangannya
yang juga dari kaum tradisional Islam. Kelompok pemilih tradisional ini juga ada pada diri pasangan
Capres-Cawapres Wiranto-Sholahuddin Wachid, tetapi sayangnya Wiranto bukan dari internal Golkar
yang merupakan partai yang mendukungnya.

Dari hasil sementara penghitungan suara capres-cawapres tatkala tulisan ini dibuat, maka kelihatan
sekali bahwa sebagian besar masyarakat kita belum mencapai tahap rasional. Bila tahap rasional ini, ada
maka suara Amien-Siswono tentu paling tidak ada di rangking II. Kenyataannya, perolehan sementara
hanya menempatkan Amien-Siswono pada rangking ke-4. Keadaan ini membuktikan jika para pemilih
Indonesia masih bertumpu pada tradisional domination dan juga pengaruh kharismatik. Dimana
mendudukkan suara SBY (kharismatik) pada rangking pertama serta pasangan Megawati Soekarno Putri
dan Wiranto (tradisional) pada rangking II dan III.
Secara guyon tetapi boleh juga ditanggapi serius dalam suatu perbincangan santai beberapa anggota
Redaksi Suara Muhammadiyah, Muhammadiyah untuk bisa memimpin bangsa ini sudah harus
menyiapkan sejak dini, orang-orang yang kharismatik-rasional. Gabungan dari rasional yang dimiliki
umumnya kader Muhammadiyah dan kharismatik yang dimiliki orang tersebut karena sikap, pembawaan
dan penampilan figur yang bersangkutan. Orang yang wajahnya menarik dan tidak pernah menyakiti hati
siapapun disamping punya ketegasan, tentu tidak gampang.

Dengan tersingkirnya calon dukungan Muhammadiyah ini, bisa saja peran politik
Muhammadiyah yang sudah ada di tengah bergeser ke pinggiran lagi jika tidak ada
pembicaraan lebih lanjut dengan pasangan Capres-cawapres yang masuk putaran kedua.
Sebab Secara peran politik, Muhammadiyah saat ini terasa lebih baik. Muhammadiyah tidak
lagi di pinggiran tetapi sudah di tengah. Pada kepemimpinan Gus Dur yang menjadi
Mendiknas Dr HA Yahya Muhaimin (personil PP Muhammadiyah) dan kini dalam

Pemerintahan Megawati yang menjadi Mendiknas Prof HA Malik Fadjar (Wakil Ketua PP
Muhammadiyah), bahkan mantan Ketua PP Muhammadiyah terpilih sebagai Ketua MPR-RI
dan maju sebagai Capres. Selain itu, sejumlah tokoh Islam juga ikut di mainstream.
Akankah kita kembali ke pinggiran lagi dan harus berjuang kembali menuju ke tengah?
Jawaban yang pasti akan kita dapat pasca Pilpres putaran kedua nanti.
Meskipun demikian, apapun hasilnya yang penting bagaimana mengambil hikmahnya bagi
perkembangan persyarikatan dan menentukan gerak langkah persyarikatan di masa yang
akan datang. Dari hasil secara nasional memang suara yang mendukung calon dari
Muhammadiyah memang bisa dikatakan jeblok, namun dari tingkat Propinsi dan
Kota/Kabupaten masih ada yang dimenangkan oleh calon dukungan dari Muhammadiyah.
Dari sini bisa dilihat peta politik dengan jelas.
Pada daerah-daerah yang dimenangkan oleh capres Amien-Siswono ini, kader-kader
Muhammadiyah yang memang ikhlas dapat berada di pusat pemerintahan. Ini bisa
diupayakan, mengingat pada tahun-tahun mendatang Gubernur, Bupati dan Walikota akan
dipilih langsung oleh Rakyat. Kesempatan yang sama juga terbuka bagi masyarakat yang
pemilih rasional dan kharismatiknya lebih besar ketimbang pemilih tradisionalnya. Untuk

daerah yang terakhir ini Muhammadiyah harus mempunyai kader yang kharismatik-rasional
meskipun hanya tingkat lokal.
Jabatan Gubernur, misalnya, terbuka untuk Propinsi Nangro Aceh Darusalam dan Sumatera

Barat. Sedangkan jabatan Bupati, misalnya, terbuka untuk Kabupaten Sleman Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan jabatan Walikota, misalnya, tetap terbuka untuk Kota
Yogyakarta. Daerah-daerah tersebut pada pemilihan presiden kali ini dimenangkan oleh
Capres dan Cawapres Amien-Siswono.
Tetapi langkah-langkah demikian bisa berlangsung jika demokrasi bisa berjalan dengan baik. Karenanya,
kita harus bisa menghilangkan penghalang demokrasi, agar demokrasi berjalan baik. Menurut mantan
Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr HM Amien Rais, penggalang Demokrasi di negara Indonesia ini ada
lima macam.
Pertama, Orang-orang yang dihinggapi sindrom minoritas. Orang-orang minoritas tidak pernah home
dengan demokrasi yang sungguh-sungguh. Karena demokrasi akan menguntungkan mayoritas, untuk
Indonesia mayoritas muslim. Oleh sebab itu, dalam perjalanannya snipper-snipper politik akan selalu
menembakkan isu-isu yang menyangkut masalah-masalah parpol dan pilar demokrasi lainnya. Dengan
isu yang ditembakkan tersebut mereka berusaha memojokkan parpol dan DPR yang mereka tuduh hanya
mementingkan golongannya masing-masing. Padahal dalam kehidupan demokrasi, parpol merupakan
pilarnya.
Kedua, Ada sementara grup-grup militer (tidak semuanya) yang tidak pro demokrasi mencoba
mengincar demokrasi. Mereka tidak yakin demokrasi merupakan panggilan masa depan. Selain itu,
dalam alam demokrasi yang sungguh-sungguh maka militer tersubordinasi sipil.
Ketiga, Masa yang banyak yang uneducated (tidak terdidik). Mereka tidak tahu demokrasi dan karenanya
mudah terprovokasi. Masa yang demikian akan sangat mengganggu kesehatan demokrasi. Keempat,

Orang-orang yang berpikir otoriter (otoritarian mind). Orang ini agar bisa bertindak praktis, maka
otoriter itu jauh lebih baik. Dengan demikian tujuan akan cepat tercapai. Kelima, Radical Islamic Group.
Selain peta politik, hasil Pilpres yang lalu juga dapat diolah sebagai peta dakwah. Bukan saja peta dakwah
secara nasional, tetapi juga propinsi, kabupaten dan bahkan secara detil dapat digunakan untuk
membuat peta dakwah sampai ke Ranting-Ranting Muhammadiyah..Karena suara-suara pilpres tentu
bisa diketahui sampai tingkat TPS yang jumlah pemilihnya tidak lebih dari 300 orang.
Dari TPS yang dimenangkan Amien-Siswono, bisa dibilang dakwah Muhammadiyah (baik secara langsung
maupun tidak langsung) bisa diterima. Jika kemenangan kurang dari 50 persen, maka dakwah di tempat
tersebut bisa digalakkan lagi. Namun jika kemenangan lebih dari 50 persen maka tempat tersebut bisa
dijadikan basis (sumber kader maupun sumber dana) bagi dakwah Muhammadiyah di tempat-tempat
yang lain. Demikian seterusnya untuk tingkat lebih atas lagi, untuk tingkat Desa (Ranting), Kecamatan
(Cabang), Kabupaten (Daerah) dan Propinsi (Wilayah). Semoga bermanfaat (lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah

Edisi 15 2004