amanat_marga_tamat. 1600KB Mar 29 2010 05:00:10 AM

___________________________________________________________________________

Cerita silat karya Gu Long (1962), dengan judul asli: Hu Hua Ling, atau dalam Bahasa
Inggris: Flower-Guarding Bell. Disadur ke dalam Bahasa Indonesia oleh Gan KL, dengan
judul: Amanat Marga.

Jilid 01
Angin menderu, awan berarak mengelilingi lereng bukit Jong-liong-nia yang merupakan
lereng pegunungan Hoa. Bukit yang memanjang terjal dengan jurang yang dalam, puncaknya
yang menegak dipandang dari jauh serupa sebilah pisau mengilat yang menembus awan di
tengah langit.
Cahaya fajar menyimak awan, kabut pun mulai menipis. Di puncak Jong-liong-nia itu, di
bawah tugu peringatan pujangga Han-bun-kong berdiri seorang gadis rupawan dengan
gayanya yang indah sedang memandang jauh ke arah jalan yang menuju ke atas bukit dengan
kening bekernyit.
Tidak lama kemudian, benarlah di jalan pegunungan itu muncul beberapa sosok bayangan
orang. Wajah si nona cantik berubah berseri, lalu mendengus perlahan penuh rasa benci dan
dendam.
Sekejap kemudian beberapa sosok bayangan itu sudah melayang tiba dan berhenti di depan si
nona cantik.
Nona itu mengerling sekejap, lalu berucap dengan dingin, "Ikut padaku!"


Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

1

Dengan suatu gerakan indah ia melompat mundur beberapa tombak jauhnya, tanpa
memandang lagi ia terus melayang ke atas menuju ke puncak selatansana .
Pendatang itu seluruhnya terdiri dari lima orang, seorang di antaranya lelaki kekar berbaju
hitam, bermuka berewok, berbaju ringkas dan membawa pedang, alis tebal dan mata besar, ia
berkata kepada seorang nyonya muda berbaju merah di sampingnya dengan tertawa, "Hah,
latah benar nona cilik tadi, tampaknya lebih angkuh daripada waktu engkau masih muda."
"Masa?" si nyonya muda berpaling dengan tersenyum.
"Sudah tentu benar," seru lelaki baju hitam dengan tertawa. "Bilamana orang memperistrikan
dia, tanggung akan lebih runyam daripada aku Liong Hui. Hahaha!"
Suara tertawanya menggema angkasa, mengandung rasa kasihan atas diri sendiri dan juga
penuh rasa puas.
Si nyonya muda bersuara aleman dan mendekap ke dada si berewok, rambutnya tertebaran
tertiup angin dan bertaut dengan jenggot pendek si lelaki kekar.
Di tengah gelak tertawa, seorang pemuda berbaju merah dan berbadan kurus yang menyusul
tiba mendadak berdehem dan berucap, "Suhu datang!"

Seketika si berewok berhenti tertawa dan si nyonya baju merah juga berdiri tegak kembali.
Tertampaklah muncul seorang kakek berjubah satin, muka memakai kerudung kain sutera
tipis warna hitam. Di belakangnya mengikut dua lelaki kekar lain dan juga berbaju hitam
mulus, berdandan ringkas dan membawa golok.
Kedua orang ini menggotong sepotong barang sepanjang satu tombak dan lebarnya antara tiga
kaki, berbentuk lonjong, tapi tertutup oleh sehelai kain pancawarna sehingga tidak jelas
kelihatan sesungguhnya barang apa yang mereka usung ini.
Melihat si kakek, si berewok, nyonya muda baju merah dan pemuda kurus tadi sama berdiri
dengan sikap hormat dan tidak berani bersuara lagi.
Sesudah berhenti, si kakek menyapu pandang sekejap dengan sinar matanya yang tajam, lalu
bertanya dengan suara tertahan, "Di mana dia?"
"Sudah naik ke atas," jawab si berewok dengan hormat.
Si kakek mendengus, "Ayo berangkat!"
Segera ia mendahului menuju ke atas puncak gunung, ujung jubahnya tersingkap oleh tiupan
angin sehingga kelihatan sarung pedangnya yang berwarna hijau terbuat dari kulit ikan hiu.
Si nyonya muda yang tertinggal di belakang berucap perlahan, "Ai, hari ini ayah ..." dia tidak
meneruskan ucapannya.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com


2

Si pemuda kurus tadi berpaling memandang dua orang muda-mudi sekejap, ia terkesima
sejenak, lalu berkata. "Simoay (adik perempuan keempat) dan Gote (adik kelima), boleh
kalian menunggu di bawah gunung saja."
Habis berkata ia lantas menyusul si berewok dan si nyonya muda. Kedua muda-mudi saling
pandang sekian lama dan tiada yang bicara apa pun.
Puncak selatan merupakan puncak tertinggi di Jong-liong-nia, hampir seluruhnya tertutup
oleh gumpalan awan, angin meniup kencang, sejak dahulu kala jarang ada manusia
berkunjung ke sini.
Namun sekarang sang surya baru terbit, puncak utama pegunungan Hoa yang terkenal ini
telah banyak didatangi orang. Tertampak empat perempuan setengah umur dengan rambut
sudah mulai beruban dan berbaju hijau singsat berdiri berjajar di bawah pohon cemara tua,
wajah setiap orang tampak prihatin.
Ketika si nona cantik tadi melayang tiba segera ia mendesis, "Itu dia sudah datang!"
Baru lenyap suara, dari bawah puncak lantas berkumandang seruan orang, "Janji sepuluh
tahun yang lalu tidak pernah dilupakan Liong Po-si, mengapa Sip-tiok-li tidak menyambut
kedatangan kenalan lama?"
Suaranya tidak keras, namun setiap katanya berkumandang dengan jelas.
Keempat perempuan berbaju hijau itu saling pandang sekejap, tapi tidak ada yang bergerak.

Sedangkan si nona cantik hanya mendengus saja, lalu berduduk santai di atas batu hijau di
samping pohon cemara.
Baru saja suara orang tadi lenyap, di atas puncak sudah muncul bayangan si kakek yang tinggi
besar dan berwibawa itu, dengan sorot mata tajam ia menyapu pandang kelima orang
perempuan di bawah pohon, lalu bertanya, "Apakah tempat ini puncak Hoa-san yang
tertinggi? Apakah kalian anak murid Tan-hong?"
Dengan tak acuh si nona cantik menjawab, "Betul!"
"Dan di manakah Tan-hongYap Jiu-pek?" tanya pula si kakek sambil melangkah maju.
Perlahan si nona cantik berbangkit, ia mengawasi si kakek beberapa kejap dari atas ke bawah
dan dari bawah kembali ke atas, lalu menjengek, "Apakah engkau ini Put-si-sin-liong Liong
Po-si?"
Put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan, Liong Po-si, yaitu si kakek berjubah satin itu
tampak melenggong, mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, bagus,
bagus! Tak tersangka hari ini di dunia Kangouw masih ada orang berani menyebut namaku
langsung di depanku!"
Si nona cantik tertawa dingin, ucapnya dengan sikap pongah, "Bagus, bagus! Tak terduga hari
ini di dunia Kangouw ada orang berani menyebut nama guruku di hadapanku."

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com


3

Melengak juga si kakek, mendadak ia mendekati keempat perempuan berbaju hijau, ia tuding
si nona cantik dan bertanya, "Apakah dia muridYap Jiu-pek?"
Keempat perempuan berbaju hijau memandangnya tanpa berkedip dan menjawab berbareng,
"Betul!"
Serentak Liong Po-si berpaling dan menegur dengan gusar, "Sepuluh tahun yang lalu gurumu
berjanji akan bertemu denganku di sini, mengapa sekarang dia tidak muncul, sebaliknya
menyuruhmu bersikap kurang sopan kepada kaum Cianpwe?"
"Hm, betapa pentingnya janji pertemuan juga takkan dipenuhi lagi oleh guruku," kata si nona
dengan dingin.
"Memangnya kenapa?" bentak Liong Po-si dengan gusar.
"Guruku telah wafat tiga bulan yang lalu," jawab si nona dengan perlahan. "Sebelum
meninggal beliau memberi pesan agar kuwakili pertemuan ini, tapi beliau tidak pernah
memberitahukan padaku bahwa engkau ini kaum Cianpwe apa segala."
Dia bicara dengan tenang, nadanya dingin tanpa emosi, sama sekali tidak ada tanda duka
seorang murid lagi menyampaikan berita tentang meninggalnya sang guru.
Kembali Liong Po-si melengak, kain sutera yang mengerudungi mukanya tampak bergetar,
jenggot perak di bawah dagunya juga rada gemetar.
Keempat perempuan berbaju hijau juga saling pandang lagi sekejap, tapi tetap tidak bersuara.

Dalam pada itu si berewok, si nyonya muda dan pemuda kurus berlima juga sudah menyusul
tiba. Kedua lelaki berbaju hitam menaruh perlahan barang yang mereka usung itu, lalu
menyurut mundur dengan sikap hormat.
Si berewok alias Liong Hui mendekati Liong Po-si, dengan suara perlahan ia tanya,
"Bagaimana, ayah?"
Mendadak Liong Po-si menghela napas dan berkata, "Yap Jiu-pek sudah mati!"
Dengan menyesal ia lantas membalik tubuh dan melangkah pergi.
Sorot mata si nona cantik yang dingin itu memancarkan cahaya yang aneh, mendadak ia
menengadah dan tertawa dingin, "Hah, sayang, sungguh sayang! Tak tersangka tokoh paling
gagah yang termasyhur di dunia Kangouw Put-si-sin-liong ternyata cuma begini saja setelah
kulihat."
Serentak Liong Po-si berhenti di tempat. Alis Liong Hui juga menegak, dampratnya gusar,
"Apa katamu?"
"Apa kataku tiada sangkut pautnya denganmu," jawab si nona ketus, "Di sini tidak ada hak
bicara bagimu."

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

4


Tentu saja Liong Hui tambah gusar, tapi Liong Po-si telah memutar balik dan menegur si
nona, "Kau bilang apa tadi?"
Dengan tenang si nona menjawab, "Apa yang ditetapkan dalam perjanjian guruku denganmu
sepuluh tahun uang lalu mengenai pertemuan ini?"
Liong Po-si tampak kecewa, jawabnya, "Yang menang akan ditetapkan menjadi pemimpin
dunia Kangouw selamanya, dan yang kalah .... Ai, kalauYap Jiu-pek sudah mati, biarpun
orang she Liong dapat merajai dunia Kangouw ...."
"Meski guruku sudah wafat, apakah engkau pasti dapat merajai dunia Kangouw?" mendadak
si nona memotong dengan ketus.
"Memangnya hendak kau tantang diriku untuk bertanding?" tanya si kakek.
"Hm, biarpun ada maksudku demikian, mungkin engkau juga tidak sudi bergebrak
denganku," sahut si nona.
"Memang betul," ujar Liong Po-si.
"Selama berpuluh tahun kira-kira ada berapa kali engkau bertanding dengan guruku?" tanya si
nona mendadak.
"Berapa kali, sukar dihitung lagi."
"Dan pernahkah engkau menangkan beliau setengah atau satu jurus?"
"Tapi juga tidak pernah kalah."
"Nah, kalau kalah dan menang tidak pernah terjadi dan engkau lantas ingin merajai dunia
Kangouw, apakah di dunia ini ada urusan segampang ini?"

Liong Po-si melenggong, "Yap Jiu-pek sudah mati, masakah harus kutantang orang mati
untuk bertanding?"
"Hm, meski guruku sudah meninggal, tapi beliau meninggalkan satu seri ilmu pedang, bila
engkau tidak mampu mengalahkan ilmu pedang ini, hendaknya segera engkau membunuh diri
di puncak Hoa-san ini dan setiap anak murid Ci-hau-san-ceng selanjutnya dilarang
berkecimpung di dunia Kangouw."
Belum lagi Liong Po-si menjawab, mendadak si berewok Liong Hui bergelak tertawa dan
berteriak, "Dan bagaimana kalau ayahku menang?"
Sama sekali si nona tidak menghiraukannya, melirik pun tidak, ucapannya seolah-olah tidak
terdengar olehnya.
Liong Hui tertawa keras dan berseru pula, "Jika ayahku kalah diharuskan segera membunuh
diri, bila ayah menang, memangnyaYap Jiu-pek itu dapat mati sekali lagi? Apalagi jelas-jelas
kau tahu ayahku tidak sudi bergebrak dengan kaum muda, apa gunanya biarpunYap Jiu-pek
meninggalkan ilmu pedang segala?"

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

5

"Diam?" mendadak Liong Po-si membentak. Lalu ia mendekati si nona cantik dan berucap

dengan suara tertahan, "Selama sepuluh tahun ini, apakah dia telah menciptakan pula seri
ilmu pedang baru?"
"Betul," jawab si nona.
Mencorong sinar mata Liong Po-si, tapi lantas menghela napas lagi dan berkata, "Biarpun ada
ilmu pedang mahasakti, kalau tidak dimainkan oleh orang yang menguasai keuletan yang
cukup, memangnya dapat mengalahkanku begitu saja?"
Perlahan ia menunduk, tampaknya sangat kecewa.
Dengan ketus si nona berkata pula, "Jika ada orang yang keuletannya sebanding denganmu,
lalu dengan ilmu pedang tinggalan guruku untuk bergebrak denganmu, bukankah hal itu
serupa halnya guruku bertempur sendiri denganmu?"
Sorot mata Liong Po-si tambah buram, ucapnya dengan hampa, "Sejak 17 tahun yang lalu
segenap jago dunia persilatan kelas top berkumpul di Wi-san, kecuali gurumu dan aku,
semuanya gugur dalam pertarungan di Wi-sansana . Sekarang bila ingin mencari seorang yang
mempunyai kekuatan sebanding denganku, untuk itu mungkin perlu menunggu tiga ataulima
puluh tahun lagi."
"Untuk menguasai ilmu pedang dengan baik memang diperlukan kekuatan latihan yang
cukup, kurang salah satu di antaranya takkan mampu menjadi jago kelas tinggi, dalil ini
cukup jelas, sebab itulah setelah pertemuan Wi-san, tiada lagi jago lain yang mampu
mengungguli Tan-hong dan Sin-liong. Biarpun di antara angkatan muda ada juga yang
mendapatkan penemuan mukjizat dan memperoleh ilmu gaib, tapi tetap juga tiada seorang

pun yang berkekuatan melebihi Tan-hong dan Sin-liong, betul tidak?"
"Ya, memang," sahut si kakek.
"Sepuluh tahun yang lalu, apakah kekuatan guruku sebanding denganmu?"
"Umpama ada selisih juga tidak ada artinya."
"Tapi selama sepuluh tahun ini guruku tidak pernah melupakan janji pertarungan denganmu
di sini, beliau giat berlatih siang dan malam."
"Memangnya aku tidak begitu?" ujar si kakek.
"Jika begitu keadaannya, bila sekarang kalian berhadapan, bukankah kekuatan kalian juga
tetap tidak berbeda banyak?"
"Ya, kecuali di dalam sepuluh tahun ini gurumu (perempuan) bisa mendapatkan obat mukjizat
yang dapat menambah kekuatannya dengan cepat, kalau tidak pati tidak dapat melebihiku."
Setelah menghela napas, mendadak ia berpaling dan berkata kepada si berewok, "Nah, anak
Hui, ketahuilah bahwa bertambahnya kekuatan latihan seorang serupa halnya kawanan burung
membuat sarang dan manusia membangun gedung, harus setingkat demi setingkat maju

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

6

secara teratur, sedikit pun tidak dapat dipaksakan, pantang tinggi hati dan ingin maju dengan

cepat, fondasi harus terpupuk dengan kuat, kalau tidak, biarpun bangunan gedung sudah
berdiri, jelas tidak tahan lama. Memang ada juga obat-obat mukjizat yang dapat menambah
kekuatan, tapi obat ajaib demikian sukar dicari. Banyak juga orang Kangouw yang ingin
menemukan obat mukjizat demikian sehingga menimbulkan macam-macam peristiwa
menyedihkan."
Liong Hui menunduk dan mengiakan.
"Apalagi, pertarungan di antara jago kelas tinggi, waktu, tempat dan si pelaku sendiri adalah
faktor yang menentukan," kata Liong Po-si pula.
"Tapi kalau guruku berhasil menciptakan satu seri ilmu pedang tanpa ciri, bukankah dengan
mudah dapat mengalahkanmu?" kata si nona cantik.
"Di dunia ini mutlak tidak ada Kungfu yang tanpa ciri kelemahan," ujar Liong Po-si. "Namun
bila ciri di antara ilmu pedang gurumu itu tidak dapat kutemukan, atau satu jurus serangannya
membuatku tak berdaya untuk mematahkannya, maka jelas aku akan kalah."
"Janji pertemuanmu dengan guruku belum terlaksana dan guruku lantas wafat, sungguh di
alam baka pun beliau tak bisa tenang," ucap si nona cantik.
"Hm, memangnya tidak kurasakan sebagai penyesalan selama hidupku ini?" jengek Liong Posi.
Nona itu menengadah, katanya pula, "Sebelum wafat guruku pernah berkata kepadaku bahwa
di dalam sepuluh tahun ini engkau pasti juga akan menciptakan Kungfu baru untuk
menghadapi beliau."
"Haha, memang cumaYap Jiu-pek saja benar-benar sahabat yang tahu perasaanku," seru
Liong Po-si dengan tertawa, namun tertawa yang pedih dan mengharukan.
Tiba-tiba si nona berkata pula, "Tapi kau pun tidak perlu risau karena Kungfu yang kau latih
selama ini tidak berguna lagi. Sebelum wafat guruku sudah memikirkan satu cara bagimu
bilamana engkau ingin menentukan kalah-menang dengan beliau."
Suara tertawa Liong Po-si seketika berhenti, ia pandang si nona dengan tajam.
Nona cantik itu tidak menghiraukannya, katanya lagi, "Begini caranya, jika boleh kututuk tiga
Hiat-to tubuhmu, yaitu Koat-bun-hiat di bagian bahu, Sin-cong-hiat di punggung dan Yangkoan-hiap di dekat pinggul, dengan begitu tertutuplah urat nadi Tok-im yang dapat
mengekang sebagian tenagamu, dengan kelihaianmu tentu tertutuknya ketiga Hiat-to itu
takkan membahayakan jiwamu, tapi tenagamu dapatlah susut menjadi cuma tujuh bagian saja
dan berarti sama kuatnya denganku, lalu akan kugunakan ilmu pedang guruku untuk
bergebrak sendiri denganmu."
Dia bicara kian kemari, akhirnya yang dituju ternyata begini. Liong Po-si jadi melengak lagi.
Didengarnya si nona bcrkata pula, "Cara ini adalah pesan guruku sebelum wafat, bilamana
tidak kau terima, tentu juga aku tak dapat memaksa."

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

7

Mendadak pemuda berewok Liong Hui berseru, "Huh, kau bicara seperti permainan anak
kecil saja, mana boleh pertandingan dilakukan secara begitu."
Si nyonya muda berbaju merah yang berdiri agak jauhsana mendadak melompat maju dan
menjengek, "Hm, jika begitu, bila kugunakan ilmu silat ayahku untuk bergebrak
denganmukan juga sama saja."
Nona cantik itu mendengus dan melengos, mendadak ia menengadah dan menghela napas,
katanya, "Wahai Suhu,kansudah kukatakan dia pasti takkan terima caramu ini, tapi engkau
tidak percaya, sekarang terbukti dugaan Suhu memang salah."
Lalu ia mendekati keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohonsana dan berucap,
"Ayolah kita pergi, apa alangannya membiarkan Ci-hau-san-ceng merajai dunia persilatan."
"Nanti dulu!" bentak Liong Po-si mendadak.
Si nona menoleh dan mengejek, "Jika engkau tidak mau menepati janji terhadap orang mati,
tentu juga aku tidak menyalahkan dirimu. Anggap saja memang tidak pernah ada perjanjian
sepuluh tahun yang lalu itu."
Liong Po-si menengadah dan bergelak tertawa lantang, serunya, "Selama berpuluh tahun,
entah sudah berapa kali aku menyerempet bahaya dan belum pernah kupikirkan soal mati dan
hidup, lebih-lebih tidak pernah ingkar janji terhadap siapa pun. Meski Yap Jiu-pek sudah
mati, namun janji tetap janji, jika dia telah meninggalkan pesan cara bertanding denganku,
mana boleh kuingkar janji padanya."
Keruan Liong Hui dan si nyonya muda terkejut, cepat mereka berseru, "Ayah! ...."
Tapi Liong Po-si terus menarik kain kerudungnya.
Sekilas pandang terkesiap juga hati si nona cantik. Dilihatnya wajah orang penuh bekas luka
silang-menyilang, biarpun dipandang di siang hari tetap juga menimbulkan rasa seram.
Dengan suara berat Liong Po-si berkata kepada Liong Hui, "Selama hidup ayahmu sudah
mengalami beratus kali pertempuran besar atau kecil dan belum pernah kalah, betapa pun
tangguhnya lawan tetap dapat kutundukkan dia dengan pedangku, semua itu adalah karena
dadaku lapang, tekadku yang bulat, tidak ada sesuatu yang kutakuti, tapi bila satu kali aku
ingkar janji, tentu dadaku tidak lagi selapang itu, dan bisa jadi sudah lama kumati."
Sinar matanya menjadi buram, dia seperti tenggelam dalam lamunan masa lampau.
Cahaya sang surya yang baru terbit menembus kabut tipis dan menyinari wajahnya yang
penuh bekas luka sehingga garis-garis bekas luka itu bersemu merah.
Perlahan ia meraba dahi sebelah kanan, di situ ada sejalur luka pedang memanjang dari dahi
kanan hingga ujung mata, bila miring lagi sedikit ke kiri tentu mata kanan itu sudah lama
cacat.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

8

"Empat puluh tahun yang lalu, di benteng Giok-lui-koan ...." dia bergumam perlahan dan
seakan-akan terbayang kembali adegan dahulu ketika dia berhadapan dengan Ko Siau-thian,
itu tokoh utama Go-bi-pay yang berjuluk Coat-ceng-kiam atau si pedang tanpa kenal ampun,
dengan sejurus "Thian-ce-keng-hong" atau pelangi menghias ujung langit, pedang Ko Siauthian telah meninggalkan bekas luka pada dahinya itu, sekarang dirabanya dengan perlahan,
rasanya masih dapat merasakan penderitaan waktu kulit dagingnya tersayat pedang dahulu.
Mendadak ia menengadah dan bersuit, lalu bergelak tertawa dan berteriak, "Wahai Ko Siauthian, meski aku tidak mampu menangkis jurus seranganmu Thian-ce-keng-hong itu, tapi
engkau sendiri masakah mampu lolos dari pedangku? ...."
Suara tertawanya berubah lemah, tapi waktu tangan menyentuh tiga garis bekas luka di dahi
kanan, kembali terkenang olehnya kejadian lain, waktu itu dia berkelana menjelajah dunia, dia
berhadapan dengan Pah-san-kiam-kek, melawan jago keluarga Pang dan juga mengunjungi
Siau-lim-si, di mana-mana dia menantang bertanding, setiap kali menyerempet bahaya, tapi
selalu lolos dari elmaut dan akhirnya menang, semua itu mendatangkan julukan baginya
sebagai Put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan. Teringat olehnya 30 tahun yang lalu
orang Bu-lim mengadakan pesta di Sian-he-nia untuk mengukuhkan julukannya, di mana,
berkumpul kesatria dari segenap penjuru, pesta yang meriah dan juga membanggakan,
terkenang pada kejadian dulu itu, tanpa terasa tersembul senyuman pada ujung mulutnya.
Perlahan ia mengelus jenggotnya sehingga menyentuh setitik bekas luka tusukan pedang,
inilah akibat serangan Sam-hoa-sin-kiam atau si pedang sakti tiga bunga, luka ini paling
ringan, tapi juga paling berbahaya pada waktu itu.
"Kiu-ih-hui-eng (si elang sembilan sayap) Tik Bong-peng sungguh tokoh paling sulit dihadapi
selama hidupku ...." demikian Liong Po-si bergumam pula perlahan, "tapi betapa lihai ilmu
pedangnya tetap tidak dapat lolos di bawah pedangku."
Lalu dia meraba lagi bekas luka di tepi mata kanan, itulah tusukan pedang jago Kun-lun-pay.
Malahan bagian iganya juga terdapat bekas luka pedang Bu-tong-pay, diam-diam ia mengakui
kebaikan hati orang Bu-tong, hanya menyerang tubuh tanpa merusak wajahnya, sebab itulah
Liong Po-si sendiri juga tidak membunuh lawannya, tapi siapa yang menyangka dalam
pertarungan di Wi-san itu, ketiga sesepuh Bu-tong-pay yang berhati welas asih itu juga tewas.
Terkenang kepada semua kejadian masa lampau itu, tanpa terasa Liong Po-si menghela napas
panjang lagi. Bahwa dalam pertarungan di Wi-san itu hampir segenap jago inti dunia
persilatan telah tewas seluruhnya, sebaliknya Liong Po-si sendiri tidak mengalami cedera apa
pun, memangnya apa sebabnya?
"Hal ini lantaran segala ilmu silat di dunia ini telah kuuji dan kupelajari, maka tidak ada lagi
sesuatu Kungfu yang mampu melukaiku!"
Ia memandang jauh puncak di gunung seberangsana , mendadak timbul semacam perasaan
kosong yang sukar dijelaskan. Ingin menang tidak bisa adalah hal yang menyedihkan, minta
kalah tidak dapat juga mengharukan. Segala kejadian masa lampau seolah-olah awan yang
mengambang di udara itu melayang lewat dalam benaknya ....
Mendadak suara elang berkumandang dari bawah gunung menyadarkan lamunan Put-si-sinliong Liang Po-si. Suasana di atas puncak terasa sunyi senyap, sorot mata tajam si nona cantik

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

9

lagi menatapnya, seperti sedang menunggu, seperti juga hormat dan kagum, tapi juga seperti
meremehkan.
Sekonyong-konyong Liong Po-si tertawa lantang sambil membentangkan kedua tangannya,
terdengar suara "trang-tring" nyaring, belasan kancing emas jubahnya sama rontok jatuh ke
tanah.
Terkesiap si berewok Liong Hui, serunya, "Ayah, buat apa? ...."
"Jika tidak kulayani ilmu pedang tinggalan Yap Jiu-pek, selain dia mati tidak tenteram di
alam baka, aku pun akan menyesal selama hidup," kata Liong Po-si dengan tertawa.
Si nona cantik mendengus, perlahan ia mengeratkan tali pinggang dan siap tempur.
"Tapi ... tapi hal ini kurang adil, Ayah ...." seru Liong Hui pula.
"Kau tahu apa?" bentak Liong Po-si. Mendadak ia tertawa lagi. "Hahaha, selama hidupku
dijuluki Put-si (tak termatikan), bilamana sudah tua harus mati di bawah pedang orang lain,
rasanya juga menggembirakan bagiku."
Cepat Liong Hui menyurut mundur ketika melihat tangan sang ayah bergerak, jubah satin
berwarna ungu mendadak terlempar ke atas serupa segumpal awan terbang ke angkasa, lalu
semampir di pucuk cemara.
"Koat-bun, Sin-cong, Yang-koan ...." dengan ketus si nona cantik menyebut nama ketiga
Hiat-to.
Liong Po-si mendengus, ia lantas memutar punggungnya ke arah Liong Hui, katanya dengan
tenang, "Anak Hui, apakah masih ingat gerakan Ho-cui-keng (tenaga cocokan bangau)?"
"Masih," jawab Liong Hui dengan ragu.
"Nah, gunakangaya Ho-cui-keng untuk menutuk ketiga Hiat-to yang disebutnya itu," ucap
Liong Po-si.
"Tapi ... ayah ...."
"Cepat!" bentak si kakek.
Liong Hui ragu sejenak pula, akhirnya ia mengertak gigi dan memburu maju ke belakang sang
ayah, tangan kanan terangkat, jari telunjuk dan jempol terangkap serupa paruh burung bangau
dan perlahan menutuk Koat-bun-hiat di bagian pundak.
Si nyonya muda berbaju merah menghela napas, ia berpaling ke arah lain, sekilas terlihat
barang yang tertutup oleh kain satin yang diusung kedua orang berbaju hitam tadi, serentak ia
berpaling kembali dan dilihatnya si berewok Liong Hui belum lagi melancarkan tutukannya,
rupanya baru terjulur sampai setengah jalan tangan Liong Hui lantas bergemetar dan tidak
sanggup turun tangan lebih lanjut.
Liong Po-si melirik ke belakang dan mendamprat, "Manusia tak ... becus!"

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

10

Cukup bengis dia memaki, tapi ketika mengucapkan "becus", suaranya berubah menjadi
lunak.
Liong Hui meluruskan kembali kedua tangannya dan menghela napas, ucapnya, "Ayah,
kupikir urusan ini agak ganjil ...."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang melayang tiba, kiranya
si pemuda belia dan tampak lemah lembut dan selalu mengikut di belakang pemuda kurus
berbaju hitam itu bersama seorang anak dara tadi.
"Untuk apa kau datang kemari, Gote?!" seru Liong Hui dengan kening bekernyit.
Pemuda lemah itu menjawab dengan lugas, "Jika Toako tidak sanggup turun tangan, biarlah
Siaute saja menggantikan engkau."
"Apa kau gila?" bentak Liong Hui dengan mendelik.
Pemuda lemah itu memandang lurus ke depan dengan air muka kaku.
Put-si-sin-liong membalik tubuh dan mengawasi anak muda itu beberapa kejap, lalu berkata
dengan gegetun, "Ai, selama ini kuanggap kau terlalu lemah lembut serupa anak perempuan,
tak tersangka di luar kau halus tapi keras di dalam, serupa diriku pada waktu muda, jika sekali
ini aku dapat ...." mendadak ia terbatuk, lalu menyambung, "Baiklah, jika kau pun paham
gerakan Ho-cui-keng, boleh lekas kau turun tangan."
Liong Hui lantas melangkah mundur dengan menunduk seperti tidak ingin melihat apa yang
bakal terjadi.
Maka terdengarlah suara "tek-tek-tek" perlahan tiga kali, Liong Po-si lantas menghela napas
lega, lalu menarik napas lagi dalam-dalam disusul dengan suara mendering dan cahaya
pedang yang menyilaukan mata.
Dalam pada itu si nyonya muda lantas mendekati Liong Hui, dibisikinya, "Untuk apa kau
sedih, toh ayah tidak pasti kalah."
Mendadak Liong Hui mengangkat kepalanya, seperti mau bicara, tapi urung.
Terlihat si nona cantik tadi telah menerima sebatang pedang dari salah seorang perempuan
berbaju hijau tadi, disentilnya batang pedang dengan dua jarinya, "tring", terdengar suara
nyaring bergema.
Liong Po-si juga sedang memandang pedang sendiri yang bercahaya hijau, sampai sekian
lama ia tidak bergerak, hanya jarinya saja yang meraba-raba batang pedang serupa seorang
ibu sedang membelai anak kesayangannya.
Kemudian dia menanggalkan sarung pedang yang masih tergantung di pinggangnya, ia
membalik dan menyerahkan sarung pedang itu kepada si pemuda lemah tadi.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

11

Pemuda yang berwajah putih cakap itu mendadak terkilas rasa kejut dan heran, cepat ia
sambut pemberian sarung pedang itu.
"Mulai hari ini, pedang Yap-siang-jiu-loh (embun musim rontok di atas daun) ini adalah
milikmu," demikian kata Liong Po-si.
Dengan sinar mata mencorong pemuda itu memegang sarung pedang dan melangkah mundur,
lalu dia berlutut dan menyembah tiga kali kepada Liong Po-si.
Air muka si berewok Liong Hui berubah hebat, alisnya yang tebal terkerut, dia seperti mau
bicara, tapi si nyonya baju merah telah menarik ujung bajunya, keduanya saling pandang
sekejap, lalu menunduk diam.
"Jangan sia-siakan pedang ini!" demikian pesan Liong Po-si.
Pemuda lembut itu lantas berbangkit, mendadak ia mendekati benda panjang yang tertutup
oleh kain satin itu, perlahan ia menjulurkan sarung pedang untuk menyingkap kain penutup
pancawarna itu. Maka tertampaklah benda itu ternyata sebuah peti mati terbuat dari kayu
cendana.
Liong Po-si menatap anak muda itu tanpa berkedip, tanyanya dengan suara berat, "Adakah
yang ingin kau katakan?"
Pemuda itu kembali berlutut lagi perlahan dan menyembah tiga kali terhadap peti mati itu,
mendadak ia melolos sebilah belati berbentuk naga, dengan ujung belati ia menusuk ujung jari
sendiri, darah lantas mengucur keluar, ia kebaskan tangannya sehingga beberapa titik darah
menetes di atas peti mati.
Air muka Liong Po-si yang kereng mendadak tersembul senyuman puas, ucapnya, "Bagus,
bagus!"
Habis itu barulah ia mendekati si nona cantik tadi.
"Anda menyiapkan peti mati dengan harapan akan kalah, Put-si-sin-liong memang tidak malu
disebut sebagai jago perkasa nomor satu di dunia persilatan," kata si nona dengan tersenyum.
Sampai di sini barulah nona ini memperlihatkan senyumannya, senyum yang manis bagai
bunga yang mekar semarak, senyum yang memikat dan sukar untuk dilukiskan.
Pemuda lemah tadi telah menggantungkan sarung pedang kulit ikan hiu pada pinggangnya,
mendadak sorot matanya memancarkan cahaya aneh menatap wajah si nona cantik, lalu
selangkah demi selangkah didekatinya dengan perlahan.
Nona itu mengerling, sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa terasa si nona terkesima,
sesudah pemuda itu berada di depannya barulah ia menegur, "Kau mau apa?"
Liong Po-si juga lantas berkata, "Di sini sudah tidak ada lagi urusanmu, kenapa tidak
mengundurkan diri saja!"

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

12

Namun anak muda itu tidak menjawab, mendadak kedua tangannya terpentang, telapak
tangan kiri menghantam iga si nona, sebaliknya telapak tangan kanan memukul iga kiri Putsi-sin-liong Liong Po-si.
Sungguh luar biasa kecepatan dan ketepatan kedua serangan pemuda ini, si nona cantik dan
Liong Po-si sama terkesiap, mereka tidak menyangka mendadak bisa diserang.
Pada saat mereka melenggong itulah tangan si pemuda lemah sudah menyambar tiba, cepat si
nona cantik menangkis dengan sebelah tangan, "plok", kedua tangan beradu.
Liong Po-si terpaksa juga menangkis, ia menggeser dan angkat sebelah tangannya, ia pun
beradu tangan dengan muridnya itu.
Di tengah suara adu pukulan itu, si berewok Liong Hui memburu maju sambil membentak,
"Apa kau gila, Gote?"
Tapi segera terlihat pemuda lembut itu menarik kembali tangannya dan menggeser mundur,
lalu berkata dengan hormat, "Suhu, nona ini tidak berdusta!"
"Maksudmu, kekuatanku sekarang telah seimbang dengan dia?" tanya Liong Po-si, mendadak
ia bergelak tertawa dan berkata pula, "Haha, bagus, bagus, baru sekarang ketemukan lawan
yang sama kuat!"
Liong Hui tampak tercengang sejenak, katanya kemudian kepada pemuda lembut, "Kiranya
tujuanmu cuma untuk menguji kekuatan perempuan itu apakah sebanding dengan Suhu atau
tidak?"
"Ya, begitulah," sahut anak muda itu dengan menunduk.
"Jika maksudnya bukan untuk mencoba, mana dia bisa menyerang guru sendiri,kan mubazir
pertanyaanmu itu," ujar Liong Po-si dengan tertawa cerah.
Kakek yang gagah dan kereng ini, meski sekarang menghadapi pertempuran yang pasti sangat
berbahaya, namun hatinya justru terasa sangat gembira, entah lantaran menemukan lawan
yang "sama kuat" atau karena merasa tindakan muridnya itu sangat cocok dengan seleranya?
Liong Hui tampak kikuk dan mundur teratur sambil melirik sekejap kepada pemuda lembut
itu.
Si nyonya muda berbaju merah tertawa dan berkata, "Usia Gote masih muda belia, tak
tersangka sudah mempunyai kecerdasan dan kekuatan sehebat ini."
Liong Po-si berucap dengan gegetun, "Sesudah lama baru ketahuan hati manusia, setelah
perjalanan jauh baru tahu tenaga kuda. Untuk mengetahui watak dan kecerdasan seorang juga
baru kelihatan bilamana menghadapi keadaan genting."
Pemuda lembut tadi menunduk. Sedangkan Liong Hui saling pandang sekejap dengan si
nyonya muda.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

13

Anak dara yang berdiri berdampingan dengan si pemuda lembut tadi tampak tersenyum
senang dan bangga.
Baru sekarang pandangan si nona cantik berpindah dari wajah si pemuda lembut, lalu
menjengek, "Nah, sesudah dicoba, bolehkah dimulai sekarang?"
"Tentu saja," kata Liong Po-si sambil mengayun pedangnya sehingga menerbitkan suara
dering nyaring dan mengakibatkan rontoknya lidi cemara yang menjatuhi tubuh keempat
perempuan berbaju hijau ringkas itu.
Meski tenaga dalam Liong Po-si sudah susut banyak, tapi tetap selihai ini, tanpa terasa
keempat perempuan itu saling pandang dengan terkesiap.
Tapi si nona cantik anggap seperti tidak tahu, ucapnya ketus, "Jika boleh mulai, silakan Anda
ikut padaku!"
Liong Po-si jadi melenggong lagi, "Masakah bukan di sini?"
"Ya, di sini bukan tempat yang baik untuk bertanding," segera si nona cantik seperti hendak
membalik kesana .
"Sebab apa?" tanya Liong Po-si.
"Jika kubunuh dirimu, tentu anak murid-mu akan menuntut balas padaku, padahal pengaruh
Ci-hau-san-ceng di dunia persilatan sangat besar, sebaliknya guruku cuma menerima seorang
murid seperti diriku saja, bila mereka menuntut balas padaku, tentu aku tidak mampu
melawannya, betul tidak?"
"Dengan sendirinya engkau tidak mampu melawan!" bentak Liong Hui
"Hm, hanya mengandalkan sedikit kepandaianmu ini kau kira dapat mengalahkan guru
kami?" jengek si nyonya muda mendadak.
Liong Po-si melirik kedua anak muridnya itu sekejap, diam-diam seperti merasa menyesal,
segera ia berkata, "Tentu maksudmu ingin merahasiakan ilmu pedangmu untuk berjaga
bilamana anak muridku menuntut balas padamu setelah berhasil kau bunuh diriku, begitu?"
"Betul," jawab si nona cantik. "Pada waktu Suhu mengajarkan ilmu pedang ini padaku,
kecuali menugaskanku membunuhmu, ada juga orang lain yang harus kubunuh, mana boleh
kuperlihatkan ilmu pedang ini di depan umum sehingga orang sempat mempelajari ciri
kelemahan ilmu pedangku ini?"
"Ya, betul juga, bilamana aku menciptakan sesuatu Kungfu baru, tentu aku pun akan
merahasiakannya," ujar Liong Po-si dengan mengangguk. Mendadak ia menghela napas
panjang, dan menatap tajam si nona cantik, lalu bertanya sekata demi sekata. "Menjelang
wafatnya gurumu, apakah dia masih begitu benci padaku?"
"Bila benci dan dendam sudah mendalam, apa bedanya waktu hidup atau sudah mati?" jengek
si nona.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

14

"Haha, apa bedanya ... apa bedanya ...." mendadak Liong Po-si menengadah dan bersuit, lalu
membentak, "Baik, di mana tempatnya? Ayo, akan kuikuti!"
Tanpa bicara lagi si nona cantik lantas, membalik tubuh dan melangkah pergi.
Mendadak si berewok Liong Hui membentak, "Nanti dulu!"
Tapi si nona tetap melangkah ke depan seperti tidak mendengar. Tiba-tiba terdengar kesiur
angin lewat, tahu-tahu si pemuda lembut sudah mengadang di depannya.
Bekernyit juga kening si nona cantik, ia menoleh memandang Liong Po-si sekejap.
Segera Put-si-sin-liong Liong Po-si membentak, "Kalian mau apa lagi?"
Si nyonya muda melompat maju dan berkata, "Betapa pun kita harus berjaga segala
kemungkinan, apabila mereka telah mengatur perangkap disana , bukankah Suhu akan
terjebak?"
Liong Po-si menjadi sangsi, ia memandang sekejap si nona cantik.
Si nona cantik batas menatapnya dengan dingin seakan-akan sedang berkata, "Pergi atau tidak
tcrserah padamu ...."
Sebelum Liong Po-si berkata pula, cepat si nyonya muda mendahului bicara, "Sampai saat ini
belum juga kami minta petunjuk akan nama nona yang terhormat, sungguh kurang sopan."
Dia bicara dengan lemah lembut dan tersenyum pula sehingga mau tak mau orang harus
menjawab pertanyaannya.
Meski air muka si nona tetap dingin, tidak urung ia menjawab singkat, "Namaku Yap Manjing."
"Sungguh nama yang bagus," ujar si nyonya muda dengan tersenyum. "Dan namaku Kwe
Giok-he, nama kampungan, tapi ... ai, apa boleh buat."
Dalam keadaan demikian dan di tempat seperti ini dia justru bicara tetek bengek, tampaknya
Liong Po-si merasa tidak sabar, tapi agaknya dia sangat sayang kepada nyonya muda itu,
maka dia tidak mencegahnya.
Si berewok Liong Hui tampaknya juga sangat hormat dan juga jeri terhadap nyonya muda itu.
Hanya si pemuda lembut saja tetap kelihatan kaku tanpa emosi, tidak bicara juga tidak
tertawa.
Terdengar nyonya muda itu menyambung lagi, "Nona Yap, meski kita tidak pernah bertemu
sebelum ini, namun nama gurumu sudah lama kami dengar, ditambah lagi nona Yap sendiri
ternyata begini cantik dan menyenangkan, sebab itulah segala apa yang diucapkan nona Yap
telah kami turuti semua."
Si nona cantik alias Yap Man-jing hanya mendengus saja tanpa menanggapi.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

15

Maka Kwe Giok-he meneruskan lagi, "Cuma syarat yang dikemukakan nonaYap tadi betapa
pun kami rasakan agak kurang baik ...."
"Kurang baik apa? Urusan ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, mengapa engkau ikut
campur?" jengekYap Man-jing dengan ketus.
Namun Kwe Giok-he tetap tersenyum cerah dan berkata, "Jika benar nonaYap tidak
menghendaki kami melihat rahasia ilmu pedang gurumu, seharusnya hal ini kau bicarakan
jauh sebelumnya, mengapa mesti menunggu sampai sekarang baru dikemukakan olehmu.
Sungguh aku tidak habis mengerti akan dalil ini."
Yap Man-jing memandangnya beberapa kejap, lalu menjengek, "Hm, apa benar kau minta
kukatakan terus terang?"
"Sebabnya kutanya kepada nona memang berharap engkau suka memberitahukan apa
alasannya, kalau tidak untuk apa kuikut bicara?" ujar Kwe Giok-he dengan tersenyum.
Perlahan Yap Man-jing mengerling sekejap, setiap orang yang hadir di sini seolah-olah sudah
dipandangnya semua, lalu menjengek, "Sebabnya hal ini tidak kukemukakan tadi adalah
lantaran kulihat di antara kalian yang berada di sini tidak ada seorang pun yang dapat melihat
ciri kelemahan ilmu pedangku,"
"Dan mengapa sekarang harus kau kemukakan?" tanya Kwe Giok-he.
Seperti tidak sengajaYap Man-jing melirik sekejap si pemuda lembut, lalu berkata, "Sebabnya
kukemukakan syaratku ini adalah lantaran tiba-tiba kulihat di antara anak murid Put-si-sinliong ternyata bukan orang goblok semua, sedikitnya ada satu di antaranya terhitung pintar."
Air muka Kwe Giok-he rada berubah, tapi segera ia tersenyum lagi dan berkata, "Terima
kasih atas pujian nonaYap . Pantas Sip-tiok-li mati begitu dini dengan hati lega, sebab dia
mempunyai seorang murid baik sebagai nona."
Kata berjawab, gayung bersambut, kontan Kwe Giok-he membalas ucapan orang dengan
sama tajamnya, namun tetap ramah tamah dan tersenyum manis.
Air mukaYap Man-jing tampak berubah juga, ia mendengus terus hendak melangkah pergi.
Dengan tersenyum Kwe Giok-he memandang bayangan punggung orang, agaknya dia merasa
senang karena dapat mengalahkan orang dengan perang lidah.
Siapa tahu mendadak Liong Po-si menghela napas dan memandangnya dengan sorot mata
buram, ucapnya, "Alangkah baiknya bilamana anak Hui memiliki setengah kecerdasanmu."
Giok-he menunduk dengan tersenyum, tapi Liong Po-si lantas menambahkan, "Cuma sayang
engkau terlampau pintar."
Habis ini segera ia berteriak, "Tunggu dulu, nonaYap !"
Sekali lagiYap Man-jing berhenti, katanya tanpa menoleh, "Ikut pergi atau tidak terserah
kepada keputusanmu, buat apa banyak bicara lagi."

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

16

Liong Po-si berdehem, lalu berkata pula, "Selama hidupYap Jiu-pek terkenal jujur, kuyakin
anak muridnya pasti juga bukan manusia pengecut. Selama hidupku tidak pernah gentar
terhadap apa pun, andaikan disana terdapat sesuatu perangkap juga bukan soal bagiku."
Mendadak Yap Man-jing berpaling, meski tetap dingin air mukanya, tapi tampak
menampilkan rasa kagum dan hormat.
"Hanya saja pedangku ini sudah mendampingiku selama beberapa puluh tahun, meski bukan
senjata wasiat segala, namun juga pernah banyak mengalahkan berbagai tokoh ternama dunia
persilatan," demikian Liong Po-si bicara lebih lanjut dengan bangga dan juga setengah
terharu. "Maka bilamana hari ini aku tidak dapat pulang dengan hidup, kuharap nona dapat
menyerahkan kembali pedangku ini kepada muridku Lamkiong Peng."
Suaranya yang kereng kini telah berubah menjadi rada duka dan sedih, suara duka demikian
belum pernah didengar oleh anak muridnya, sampai si pemuda lembut, Lamkiong Peng, juga
tercengang.
"Dan bila aku yang tidak kembali dengan hidup, kuharap juga kau serahkan pedangku Lionggim-sin-im (ringkik naga suara malaikat) ini kepada mereka," tiba-tiba si nona cantikYap
Man-jing juga meninggalkan pesan sambil menunjuk keempat perempuan berbaju hijau tadi.
"Baik," sahut Liong Po-si.
Serentak Yap Man-jing melangkah kesana sambil berkata, "Ayo berangkat!"
Sekilas ia lirik lagi Lamkiong Peng sekejap.
Tanpa ragu lagi Liong Po-si lantas ikut berangkat. Tapi baru saja lewat di samping Lamkiong
Peng, mendadak ia menyurut mundur lagi selangkah dan menepuk pundak anak muda itu,
seperti mau bicara, tapi urung. Ia cuma tersenyum saja, lalu menghela napas perlahan, ketika
dia melangkah ke depan lagi, dalam sekejap lantas menghilang di balik gumpalan awan.
Jilid 02__________________________
Meski bayangan sang guru sudah menghilang, Lamkiong Peng masih berdiri mematung
sambil memandangi awan yang mengambang di udara itu, meski wajahnya kaku dingin,
namun sorot matanya memancarkan perasaan hangat.
Terdengar Kwe Giok-he yang berdiri di belakangnya lagi bergumam, "Yap-siang-jiu-loh ...
Liong-gim-sin-im ...." Tak tersangka antara Suhu dan Tan-hongYap Jiu-pek memang terjalin
...."
Tiba-tiba Liong Hui berdehem, katanya, "Urusan pribadi Suhu sebaiknya jangan kita
bicarakan."
Dia mendekati Lamkiong Peng dan berdiri diam sejenak sambil mengelus janggut, lalu
memutar balik dan berduduk di atas batusana serta mengelamun memandangi awan yang
mengapung di udara.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

17

Kwe Giok-he juga memandang Lamkiong Peng sejenak, mendadak ia menggapai dan
memanggil, "Kemari, Simoay!"
Anak dara yang berdiri agak jauh itu mendekat dengan menunduk, langkahnya kelihatan
enteng dan gesit, jelas tidak lemah Kungfunya, tapi gerak-geriknya kelihatan malu-malu
serupa gadis pingitan, sama sekali tidak ada ciri khas sebagai anak murid Ci-hau-san-ceng
atau perkampungan Ci-hau yang disegani.
Dengan tangan memainkan ujung baju seperti anak gadis yang takut-takut ia menyapa,
"Adaapa, Toaso (kakak ipar)?"
Giok-he tersenyum dan berkata, "Gote datang belakangan tapi menonjol paling atas sehingga
mewarisi pusaka Yap-siang-jiu-loh dari Suhu, kau gembira atau tidak?"
Anak dara yang memang malu-malu itu tambah likat, mukanya yang putih lantas bersemu
merah, kepala menunduk terlebih rendah.
Pemuda kurus yang sejak tadi diam saja mendadak menimbrung, "Bukan saja Simoay merasa
gembira, aku juga sangat senang!"
Dengan wajah berseri Kwe Giok-he memandang mereka kian kemari, lalu berkata, "Kalian
sungguh dua sejoli yang setimpal, sampai kata hati keduanya juga sama. Pantas orang
Kangouw suka merangkai Ciok Tim dan So-so menjadi satu dan menyebut mereka sebagai
Liong-bun-siang-kiam (sepasang pedang keluarga Liong), cuma sayang ...."
Sampai di sini ia lantas berhenti dan cuma berdehem perlahan saja sambil melirik Lamkiong
Peng.
Ciok Tim, pemuda kurus itu juga memandang ke arah Lamkiong Peng, di antara mata alisnya
samar-samar kelihatan menampilkan rasa iri, tapi dengan lantang ia lantas berseru, "Tapi
selanjutnya bila ditambah Gote, mungkin orang Kangouw akan menyebut kami sebagai
Liong-bun-sam-kiam (tiga pedang keluarga Liong)!"
"Rupanya engkau belum tahu," kata Giok-he dengan tertawa, "meski belum lama Gote masuk
perguruan kita, tapi keluarga Lamkiong dari daerah Kanglam sudah lama terkenal sebagai
keluarga hartawan, maka sudah lama juga orang Bu-lim sama memberi suatu nama julukan
kepada Gote sebagai Hu-kui-sin-liong (si naga sakti kaya dan jaya)!"
"Toaso memang berpengetahuan banyak dan berpengalaman luas," kata Ciok Tim dengan
tertawa ewa, "Siaute sendiri jarang berkelana di dunia Kangouw, pengetahuanku kalau
dibandingkan Toaso sungguh selisih terlalu jauh."
Tiba-tiba si berewok Liong Hui menimbrung, "Memang pernah kudengar disebutnya nama
Hu-kui-sin-liong, tapi itu cuma sanjung puji dari kalangan Piaukiok (perusahaan pengawalan)
yang ada hubungan erat dengan grup keluarga Lamkiong, masa kau anggap sungguhsungguh?"
"Baik, baik, kau lebih tahu dan aku tidak tahu," gerutu Giok-he sambil melotot.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

18

Mestinya Liong Hui hendak omong lagi, tapi demi melihat air muka sang istri yang kurang
senang itu, seketika ia urung bicara.
Semua orang menjadi bungkam, hanya angin mendesir dan dedaunan gemersik, awan yang
mengambang di udara melayang kian kemari serupa urusan dunia persilatan yang selalu
berubah dengan suka dukanya.
Sampai sekian lamanya keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu jaga tetap berdiri di
bawah pohon cemara, hanya terkadang mereka melirik ke arah anak murid Ci-hau-san-ceng
ini, agaknya dapat mereka rasakan juga di antara anak murid keluarga Liong ini terdapat
pertentangan dan saling curiga, sebab itulah di antara kerlingan mereka terkadang juga
menampilkan rasa menghina dan mencemoohkan.
Sudah cukup lama juga, mendadak Liong Hui berbangkit dan memandang cuaca, ucapnya
dengan suara tertahan, "Rasanya kepergian Suhu sudah ... sudah lebih setengah jam!"
Kwe Giok-he menjawab, "Engkau selalu tidak sabaran, pantas Suhu tidak mau mewariskan
Yap-siang-jiu-loh kepadamu. Coba kau lihat, sedikit pun Gote tidak kelihatan gelisah."
Mau tak mau berubah juga air muka Liong Hui, ucapnya dengan tergegap, "Toh sesama
saudara sendiri, diwariskan kepada ... kepada siapakan sama saja."
"Hm, tentu saja sama," jengek Giok-he.
Lamkiong Peng tampak adem ayem saja, ia tersenyum dan mendekati Kwe Giok-he, katanya
dengan tersenyum, "Toaso, apakah kau tahu sebab apa aku tidak gelisah?"
Meski dia bicara dengan tersenyum, namun ucapannya tegas dan mantap.
Giok-he tersenyum dan menjawab, "O, dari ... dari mana kutahu?"
Mendadak Liong Hui menyela, "Masa kau tahu hati Gote tidak gelisah? Sebelum jelas kalahmenang Suhu, setiap orang pasti gelisah."
"Setiap orang memang gelisah, cuma aku saja tidak," ujar Lamkiong Peng.
Seketika air muka Ciok Tim dan Liong Hui berubah, Kwe Giok-he lantas mendengus,
sedangkan Ong So-so, si anak dara, juga mengernyitkan dahi dan memandang anak muda itu
dengan heran.
Perlahan Lamkiong Peng menutur, "Sebabnya aku tidak gelisah adalah karena aku lebih
daripada yakin bahwa Suhu pasti takkan kalah!"
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohon sama mendengus dan melengos
kesana .
Giok-he juga mendengus, Liong Hui lantas bertanya, "Berdasarkan apa kau berani
memastikannya? Setelah tenaga dalam Suhu susut sebanyak itu, sungguh hampir tidak ada
kesempatan menang bagi beliau, apalagi genduk sheYap itu kelihatan sangat licin dan licik."

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

19

"Sebenarnya dalam hal menganalisis sesuatu urusan biasanya Gote sangat meyakinkan, tapi
apa yang kau katakan tadi rasanya sukar dipercaya orang!" tukas Ciok Tim tiba-tiba, dia
selalu bicara dengan perlahan, setiap kalimat diucapkan secara teratur seakan-akan khawatir
salah omong.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menjawab, "Pukulanku tadi selain berhasil menguji
kebenaran keterangan nona sheYap itu dan memang tidak berdusta kepada Suhu, juga dapat
kuketahui gerak tubuh Suhu jauh lebih cepat daripada nona itu."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung dengan perlahan, "Waktu itu kulancarkan serangan
sekaligus kepada mereka berdua, nona sheYap itu berdiri di sebelah kananku, meski tangan
kanannya memegang pedang, tapi tanpa bergeser dia dapat menangkis pukulanku dengan
tangan kiri ...."
Dengan telapak tangan kiri ia memberi contoh, lalu menyambung, "Tapi waktu itu Suhu
berdiri di sebelah kiriku, tangan kanan beliau juga memegang pedang, waktu kupukul dengan
sendirinya beliau tidak dapat menangkis dengan pedang yang dipegangnya pada tangan
kanan, sebab itulah beliau baru berputar untuk menangkis seranganku dengan telapak tangan
kiri."
Dia bicara dengan teratur dan jelas sehingga tanpa terasa keempat perempuan berbaju hijau
itu pun berpaling dan ikut mendengarkan dengan cermat.
"Dalam keadaan begitu," demikian Lamkiong Peng menyambung, "gerak tangan Suhu jelas
lebih banyak satu kali dan pada waktu menangkis pukulanku seharusnya juga lebih lambat
sejenak daripada nona she Yap itu, namun pada waktu empat tangan beradu, suara yang
timbul terjadi berbareng tanpa ada perbedaan mana lebih dulu, dari kejadian ini bukankah
terbukti gerak tangan Suhu memang lebih cepat daripada nona Yap itu. Walaupun selisihnya
tidak banyak, tapi pertarungan di antara jago kelas tinggi, selisih sedetik saja dapat
menentukan kalah dan menang, apalagi Suhu sudah berpengalaman beratus kali tempur, maka
kubilang beliau tidak mungkin kalah."
Uraian Lamkiong Peng ini membuat si anak dara alias Ong So-so tersenyum cerah, Ciok Tim
juga mengangguk-angguk, Kwe Giok-he bertopang dagu dan termenung. Malahan Liong Hui
lantas berkeplok tertawa, "Haha, betul, memang ditimbang dari sudut mana pun, tidak nanti
Suhu bisa kalah."
Dengan telapak tangannya yang lebar ia tepuk pundak Lamkiong Peng dengan keras sambil
berseru, "Gote, engkau memang hebat, sekarang Toako juga tidak perlu cemas lagi."
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu sama mendengus, yang berdiri di
ujung kiri lantas bertanya kepada teman di sebelahnya, "Leng-cu, apakah kau cemas?"
Leng-cu menggeleng kepala dan ganti bertanya kepada kawan di sebelahnya lagi, "Apakah
kau cemas, Wat-cu?"
"Aku juga tidak cemas!" jawab Wat-cu.
"Jika begitu Ho-cu tentu juga tidak perlu cemas," ujar Leng-cu.

Amanat Marga > karya Gu Long > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

20

"Aku memang tidak cemas sedikit pun," kata Ho-cu dengan tertawa. "Barangkali An-cu yang
lagi cemas."
"Aku pun tidak cemas," kata An-cu yang berdiri di ujung kanan, "Tapi apa sebabnya aku tidak
cemas tidak dapat kuberi tahukan kepada kalian."
Keempat orang lantas saling pandang, lalu sama mendekap mulut dan tertawa cekikak dan
cekikik.
Dengan mendongkol mendadak Liong Hui menjengek, "Hm, kalau tidak mengingat kalian ini
orang perempuan, tentu akan kuberi hajar adat!"
Serentak keempat perempuan itu berhenti tertawa, kontan An-cu balas menjengek, "Hm,
kalau tidak mengingat kau ini orang lelaki, pasti kuberi hajaran setimpal!"
Tidak kepalang gusar Liong Hui, sambil membentak mendad