PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA MATERI KUBUS DAN BALOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS VIII SMP ISS JATIPURNO WONOGIRI.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu yang penting bagi kemajuan bangsa. Hal inilah yang menyebabkan seringnya matematika dijadikan indikator dalam menentukan maju tidaknya suatu pendidikan disuatu negara. Hal tersebut cukup menjadi alasan, sebab matematika selalu diajarkan di setiap jenjang pendidikan serta dipelajari hampir di dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Secara umum, pengetahuan atau wawasan yang dipelajari dalam matematika dapat disederhanakan menjadi 4 yaitu, aljabar, analisis, geometri, dan aritmetika. Adapun pengembangan ilmu dari keempat hal tersebut banyak digunakan sebagai ilmu terapan sehari-hari, seperti statistika, ekonomi, akuntansi, dan lain-lain. Mengingat peran matematika yang sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika. Hal ini terlihat dengan pengaturan program pendidikan menurut standar-standar minimal dalam pendidikan di Indonesia. Standar-standar yang ditetapkan juga terus diubah sesuai dengan perkembangan kurikulum pendidikan.
Dalam kurikulum 2006 (KTSP) pembelajaran matematika di SMP bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:
(2)
2
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pertanyaan matematika.
3. Memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Hal di atas, senada dengan standar proses matematika yang telah ditetapkan oleh NCTM (2000). Pada standar proses pembelajaran matematika disebutkan bahwa dalam belajar matematika siswa belajar mengenai pemecahan masalah, pemberian alasan dan pembuktian, komunikasi, koneksi/hubungan, serta penyajian informasi.
Kemampuan koneksi matematis adalah hal yang penting, sebab matematika merupakan ilmu yang tersetruktur dan terorganisasi, antara teorema satu dengan yang lainnya saling berhubungan sehingga membentuk pengetahuan yang lebih besar. Menurut James dan James (Erman Suherman: 2003), matematika adalah ilmu logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang terbagi dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geomerti. Materi dalam matematika saling terkait satu sama lain dari unit satu ke unit lainnya, oleh karena itu kemampuan seseorang dalam mengkoneksikan antar unit matematika sangat diperlukan dalam memecahkan masalah matematika.
Selain kemampuan koneksi matematis, kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sama pentingnya,
(3)
3
sebab dalam setiap proses pembelajaran maupun penyelesaian masalah, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada soal pemecahan masalah yang bersifat rutin maupun tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, dan komunikasi dapat dikembangkan dengan baik. Pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika, tetapi juga merupakan ketrampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah siswa dan situasi-situasi pembuatan keputusan, dengan demikian kemampua pemecahan masalah membantu seseorang secara baik dalam kehidupannya sehingga permasalahan yang kontekstual dapat membuat siswa terbiasa untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan hal-hal di atas maka kegiatan pembelajaran di kelas hendaknya tidak mengesampingkan aspek pemecahan masalah dan koneksi matematis. Namun berdasarkan observasi yang dilakukan di SMP ISS Jatipurno, pembelajaran matematika justru banyak menggunakan penyampaian langsung. Artinya siswa masih kurang diberikan fasilitas untuk mengkonstruksikan pemahamannya atas konsep yang ia pelajari. Banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami pengertian dan proses mendapatkannya. Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan digunakan atau dimanfaatkan. Siswa memiliki
(4)
4
kesulitan untuk secara mendalam fakta-fakta atau bagian-bagian lain dari matematika sebab materi yang selama ini diajarkan adalah sesuatu yang abstrak. Proses pembelajaran dan pengajaran matematika belum dikaitkan dengan situasi nyata yang ada disekitar siswa dengan kata lain tidak kontekstual. Selain itu kegiatan dan soal-soal untuk mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa juga masih kurang. Hal demikian dapat menyebabkan terganggunya keefektifan dari pembelajaran matematika.
Agar pembelajaran matematika dapat efektif, maka seorang guru harus mensituasikan proses pembelajaran dikelas dengan tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih bahan ajar dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Dalam PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 20 diisyaratkan bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran, yang dipertegas melalui Peraturan Menteri Pendidikan nasional (Permendiknas) Nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan guru pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Salah satu elemen dalam RPP adalah adanya sumber belajar berupa bahan ajar.
Salah satu bentuk bahan ajar adalah lembar kegiatan siswa (LKS). Lembar kegiatan siswa (LKS) berisi petunjuk-petunjuk untuk siswa dalam menyelesaikan masalah baik secara individu maupun berkelompok (Abdul Majid, 2008: 176). Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R.E Kaligis ( 1993
(5)
5
:40) LKS digunakan untuk mengembangkan ketrampilan proses, mengembangkan sikap ilmiah, serta membangkitkan minat siswa terhadap apa yang dipelajarinya. Dengan menggunakan LKS siswa diharapkan akan tertarik untuk belajar dan lebih memahami materi yang dipelajarinya. Mengingat fungsi LKS tersebut, diharapkan guru bisa mengembangkan LKS yang bisa membuat siswa lebih tertarik terhadap pembelajaran khususnya matematika.
Dalam teori belajar Jean Piaget disebutkan bahwa pengalaman belajar menentukan seberapa besar pengetahuan yang dimiliki siswa. Oleh karena itu seorang guru hendaknya mengembangkan bahan ajar yang dapat memfasilitasi pengalaman belajar, sehingga pemahaman siswa terhadap suatu materi atau konsep dapat terkonstruksi dengan baik. Konsep yang telah dipahami tersebut selanjutnya bisa digunakan sebagai dasar memahami konsep-konsep yang tingkatannya lebih kompleks sehingga siswa mampu mengkoneksikan konsep-konsep yang telah diketahui dengan konsep baru serta mampu menggunakannya memecahkan suatu masalah matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah adalah pendekatan kontekstual.
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang menghubungkan konsep dengan konteksnya, sehingga siswa memperoleh sejumlah pengalaman belajar bermakna berupa pengetahuan dan ketrampilan. Pendekatan ini menghubungkan materi dengan pengalaman sehari-hari siswa, masyarakat, dan pekerjaan yang melibatkan aktivitas. Adapun prinsip-prinsip
(6)
6
yang mendasari pendekatan kontekstual yaitu, kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, refleksi, pemodelan dan, penilaian autentik.
Pada kenyataannya, beberapa guru belum mengembangkan bahan ajar secara mandiri, misalnya saja lembar kegiatan siswa (LKS). Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru mata pelajaran matematika di SMP ISS Jatipurno, bahan ajar matematika yang digunakan di kelas adalah LKS yang dibeli dari penerbit. Selain itu, guru matematika juga belum mengembangkan bahan ajar sendiri dikarenakan kesibukan mereka dalam mengajar.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di SMP ISS Jatipurno pada semester genap tahun ajaran 2014/2015, LKS yang digunakan masih kurang mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah. Berikut cuplikan isi LKS yang digunakan:
Gambar 1. LKS yang digunakan dalam pembelajaran di kelas Jika diamati, materi di atas disampaikan dengan sangat singkat, kalimat yang digunakan tidak mengkonstruksi pemahaman siswa secara benar. Siswa belum dibiasakan untuk menyelesaikan permasalahan dengan caranya sendiri dan tidak dibiasakan untuk mengkonstruksikan konsep-konsep dalam
(7)
7
matematika. Sehingga sebagian besar siswa hanya hafal dengan materi matematika tetapi tidak bisa mengetahui keterkaitan atau hubungan antara konsep dan kurang mampu dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, LKS yang digunakan juga kurang memberikan permasalahan kontekstual dalam penyajian materi dan sedikit memuat soal-soal koneksi dan pemecahan masalah matematis.
Salah satu materi matematika yang diajarkan di tingkat SMP adalah materi tentang kubus dan balok. Materi ini sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, yaitu tentang bentuk-bentuk seperti rumah, gedung, dan sebagainya, sehingga jika pembelajaran dilakukan dengan tingkat kebermaknaan yang rendah akan mengakibatkan siswa mudah lupa dengan konsep yang telah dipelajari. Menurut Ahmad Fauzan (2014) banyak siswa yang tahu tentang rumus akan tetapi banyak pula yang tidak bisa menggunakan rumus tersebut ketika dibutuhkan.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru matematika SMP ISS Jatipurno Wonogiri, diperoleh informasi bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalah berkaitan dengan materi kubus dan balok. Selain itu siswa juga masih kesulitan dalam menyelesaikan soal atau masalah kubus dan balok serta menghubungkan konsep-konsep kubus dan balok dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Padahal materi ini sangatlah penting, sebab merupakan materi prasyarat untuk materi berikutnya yaitu prisma dan limas.
(8)
8
Selain itu, keaktifan siswa didalam pembelajaran matematika juga masih kurang. Pembelajaran yang dilakukan hendaknya menciptakan suasana yang membuat siswa aktif untuk berani menemukan proses penyelesaian dari beberapa permasalahan.
Berdasarkan uraian tersebut, dipandang perlu dikembangkannya bahan ajar berupa LKS dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa kelas VIII SMP ISS Jatipurno, Wonogiri. Sasaran utama dari pengembangan LKS ini adalah kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa. Hal ini dikarenakan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah merupakan penting dalam matematika. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ADDIE yang terdiri dari lima tahap, yaitu Analysis (Analisis), Design (Perancangan), Development (Pengembangan), Implementation (Implementasi), dan Evaluation (Evaluasi). Model ini dipilih karena langkah-langkahnya sistematis dan sederhana dibandingkan dengan model lain.
B. Identifikasi Masalah
1. Guru belum mengembangkan bahan ajar secara mandiri.
2. Belum tersedianya bahan ajar matematika yang mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah di SMP ISS Jatipurno Wonogiri.
(9)
9
3. Siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal-soal kehidupan sehari-hari ke dalam matematika.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk memperoleh kedalaman dalam penarikan kesimpulan, maka diperlukan adanya pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Pengembangan bahan ajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengembangan LKS (Lembar Kegiatan Siswa).
2. LKS akan dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.
3. Pengembangan LKS bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
4. LKS yang dikembangkan terfokus pada materi bangun ruang sisi datar kelas VIII dengan rincian:
a. Standar Kompetensi
5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, dan limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan ukurannya.
b. Kompetensi Dasar
5.1Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok, prisma, dan limas serta bagian-bagiannya
5.2Membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas.
5.3Menghitung luas permukaan dan volume kubus,balok, prisma, dan limas.
(10)
10 D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan bahan ajar dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa?
2. Bagaimana kualitas bahan ajar dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa yang ditinjau dari aspek kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan bahan ajar dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
2. Mendeskripsikan kualitas bahan ajar dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
F. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan di atas, maka manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
(11)
11 1. Bagi guru:
a. Bahan ajar yang dihasilkan dapat dijadikan panduan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
b. Sebagai bahan pertimbangan pembuatan perangkat pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran. 2. Bagi Siswa:
a. Dapat memberi kontribusi dalam inovasi pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan dan kreativitas belajar siswa.
b. Dapat merangsang siswa untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan fenomena yang ada di kehidupan sehari-hari.
3. Bagi Peneliti:
a. Melatih dalam menghasilkan bahan ajar yang sesuai dengan syarat-syarat pembuatan bahan ajar.
b. Mengetahui keefektifan dan respon siswa terhadap bahan ajar tersebut. 4. Bagi peneliti yang lain:
a. Penelitian ini dapat menjadi masukan terkait dengan bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.
b. Penelitian ini juga dapat memberikan contoh bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran matematika.
(12)
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman/pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku (Herman Hujodo, 2003: 83). Menurut Sugihartono, dkk (2007: 74) belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun ciri-ciri tingkah laku yang dikategorikan sebagai belajar menurut Sugihartono dkk (2007: 74-75) adalah sebagai berikut:
1) Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar 2) Perubahan bersifat kontinu dan fungsional 3) Perubahan bersifat positif dan aktif
4) Perubahan bersifat permanen
5) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah 6) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Menurut Nana Sudjana (1989: 5), perubahan dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.
(13)
13
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses interaksi individu yang dilakukan untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan, serta meningkatkan kemampuan atau kompetensi personal guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ada tiga proses kognitif yang harus terjadi dalam belajar. Tiga proses ini yakni, proses memperoleh informasi baru, proses mentransformasikan informasi yang diterima dengan informasi yang telah dimilikinya, serta menguji relevansi informasi baru dengan ketepatan pengetahuan. Ketiga proses kognitif tersebut terjadi pada saat kegitan atau proses belajar.
Kegiatan atau proses belajar sangat terkait dengan pembelajaran. Hal ini karena, pembelajaran berkaitan dengan pengkondisian suasana belajar. Menurut Nasution (Sugihartono, 2007: 80), pembelajaran merupakan suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik – baiknya dan menghubungkannya dengan siswa sehingga terjadi proses belajar. Sedangkan menurut Sudjana (Sugihartono, 2007: 80), pembelajaran merupakan setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan siswa melakukan kegiatan belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan diadakannya pembelajaran adalah untuk memfasilitasi adanya kegitan belajar. Fasilitas yang dimaksud dapat berupa pengkondisian suasana kelas maupun alat pendukung kegiatan belajar. Dengan suasana kelas yang baik, serta alat belajar yang mendukung tentu akan membuat proses belajar atau kegiatan belajar
(14)
14
menjadi lebih baik. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat mengkondisikan suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga siswa dapat aktif serta antusias dalam mengikuti pembelajaran.
Agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan pula berbagai metode supaya siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara nyaman sehingga mendapatkan hasil yang optimal. The teacher need to develop various methods of teaching, various learning resources, and various interaction/communication (Marsigit, 2012). Maksudnya guru harus senantiasa mengembangkan metode dan bermacam – macam cara berkomunikasi dalam pembelajaran. Misalnya dengan tidak selalu menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran (teacher centered).
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan dalam pembelajaran di sekolah adalah matematika. Matematika dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang sulit oleh siswa. Padahal matematika sudah dikenalkan sejak pembelajaran di sekolah dasar (SD). Sebagian dari siswa berpendapat bahwa matematika adalah hal yang abstrak dan hanya dipenuhi dengan angka-angka dan rumus. Hal mungkin dikarenakan kurangnya mengkaitkan matematika dengan pengalaman yang dialami oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari (Herman Hudojo, 1988: 2).
Menurut Johnson dan Rising (1972), matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa
(15)
15
simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Sedangkan menurut Ruseffendi (Erman Suherman, 2003: 18), matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Dapat disimpulkan bahwa dalam tujuan belajar matematika adalah mengasah pola pikir dan penalaran, serta kemampuan matematis.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh guru untuk memberikan fasilitas agar siswa dapat mengasah pola pikir dan penalaran, serta kemampuan matematisnya dalam memecahkan masalah.
2.Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual (CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses ketelibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Wina Sanjaya, 2013: 255). Senada dengan hal tersebut Johnson (2002: 25) mengemukakan:
‘’The Contextual Teaching and Learning system is an educational that aim to help student see meaning in academis material they studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of the personal, social, and cultural circumtances’’.
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran kontekstual merupakan sistem pendidikan yang bertujuan untuk membantu para siswa menemukan makna dari materi pelajaran yang mereka pelajari
(16)
16
dengan cara mengaitkan pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya mereka.
Menurut Wina Sanjaya (2013: 262-267) ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Ketujuh komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Kontrukstivisme
Komponen ini merupakan dasar dari pendekatan kontekstual. Hal utama yang menjadi perhatian adalah pada pembangunan pengetahuan siswa. Kontrukstivisme merupakan peoses dalam pembangunan konsep-konsep matematika dalam pikiran siswa yang didapat secara berangsur-angsur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu pengetahuan.
Dalam proses ini pembangunan pengetahuan dilakukan secara sedikit demi sedikit, yang hasilnya bukanlah konsep-konsep atau kaidah yang siap digunakan akan tetapi harus dikonstruksi dengan menemukan atau memecahkan suatu permasalahan.
b. Bertanya
Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah
(17)
17
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Pembelajaran yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menuntun siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dapat mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
c. Menemukan
Komponen menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan.
d. Masyarakat Belajar
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain . Dalam kelas dengan pendekatan kontekstual, penerapan komponen masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok-kelompok yang anggotanya sedapat mungkin heterogen dalam segala hal.
Menurut Johnson (2002: 75), manfaat dari kerjasama yaitu para siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana , dan mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan membantu
(18)
18
mereka mengetahui bahwa saling mendengar akan menuntun pada keberhasilan.
e. Pemodelan
Pemodelan adalah adanya model yang dapat ditiru dalam sebuah pembelajaran ketampilan atau pengetahuan. Model yang dimaksud dapat berupa cara menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu ataua masalah yang dapat dilakukakan oleh guru maupun siswa. Adapun tujuan dari pemodelan ini adalah agar dapat menjadikan contoh bagi siswa lainnya.
f. Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Kegiatan refleksi dapat berupa merangkum materi apa saja yang telah dipelajari oleh siswa pada saat itu.
g. Penilaian Autentik
Penilaian adalah proses pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Penilaian bukan hanya sekedar untuk mencari informasi tentang hasil belajar siswa tetapi juga untuk mengetahui bagaimana prosesnya. 3. Kemampuan Koneksi Matematika
Koneksi matematika berasal dari kata Mathematical Connection dalam bahasa inggris, yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM dan
(19)
19
dijadikan sebagai salah satu standar kurikulum. Menurut National Council Teacher Mathematics (Ruspiani, 2000: 10) koneksi matematis dapat dibedakan menjadi dua yaitu, 1) koneksi matematis merupakan hubungan antara dua representasi yang ekuivalen dalam matematika dan prosesnya yang saling berkorespondensi, 2) koneksi matematis merupakan hubungan antara matematika dengan situasi masalah yang berkembang di dunia nyata atau pada disiplin ilmu lain.Alasan betapa pentingnya kemampuan koneksi matematis menurut NCTM (1989: 354)
… their ability to use a wide range of mathematical representations, their access to sophisticated technology, the connection they make with other academic disciplines, especially the science the social sciences, give them greater mathematical power.
Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan berbagai representasi matematika, keahliannya dalam bidang teknologi, serta membuat keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain, memberikan mereka daya matematika yang lebih besar.
Bruner (Ruspiani, 2000: 19) menyatakan bahwa dalam matematika setiap konsep itu berkaitan satu sama lain seperti dalil, antara teori dan teori, antara topik dengan topik , antar cabang matematika. Oleh karena itu agar siswa lebih berhasil dalam belajar matematika, maka siswa harus lebih banyak diberikan kesempatan untuk melihat keterkaitan-keterkaitan itu. Selanjutnya Erman Suherman, dkk (2003: 65) menyatakan,
Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral. Artinya dalam setiap memperkenalkan suatu konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari, dan sekaligus untuk mengingatkannya kembali.
(20)
20
Berdasarkan hal-hal diatas maka koneksi matematis memang perlu digunakan dalam pengembangan dan perbaikan proses pembelajaran matematika. Tanpa koneksi, para siswa harus belajar dan mengingat terlalu banyak ketrampilan dan konsep yang terisolasi bukannya mengenali prinsip umum yang relevan dari beberapa pengetahuan. Ketika ide-ide matematika setiap hari dikoneksikan pada pengalamannya, baik di dalam maupun di luar sekolah, maka para siswa akan menjadi sadar tentang kegunaan dan manfaat dari matematika
Penerapan dalam pembelajaran koneksi matematis disusun dalam indikator-indikator yang relevan , diantaranya sebagaimana yang telah dijelaskan Ulep, dkk. (2000: 296) sebagai berikut:
Menyelesaikan masalah dengan menggunakan grafik, hitungan numerik, aljabar, dan representasi verbal.
Menerapkan konsep dan prosedur yang telah diperoleh pada situasi baru.
Menyadari hubungan antar topik dalam matematika.
Memperluas ide-ide matematik.
Sementara itu, menurut NCTM (2000), indikator untuk koneksi matematika untuk kelas 6-8 adalah sebagai berikut:
Mengetahui dan menggunakan hubungan diantara ide-ide matematika.
Mengerti dan menunjukkan bagaimana ide-ide matematika saling berhubungan dan membangun satu dengan yang lain untuk menghasilkan keterkaitan secara menyeluruh.
Mengetahui dan menerapkan matematika dalam konteks diluar matematika.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa koneksi matematika mengacu pada pemahaman yang mengharuskan siswa dapat memperlihatkan hubungan internal dan eksternal matematika.
(21)
21
Hubungan internal matematika meliputi hubungan antar topik matematika, sedangkan hubungan eksternal matematika meliputi hubungan matematika dengan disiplin ilmu lain dan dengan kehidupan sehari-hari.
Adapun indikator koneksi matematis yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu,1) kemampuan siswa dalam mengetahui hubungan antar konsep atau prinsip matematika, 2) kemampuana siswa dalam mengetahui bagaimana konsep/prinsip dalam matematika saling terhubung, 3) kemampuan siswa dalam menggunakan hubungan antar konsep matematika untuk menyelesaikan masalah matematika.
4. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Dalam matematika, masalah memuat soal atau situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah bagi seseorang, bagi orang lain mungkin merupakan hal yang rutin. Dalam hal itu tidak setiap soal dapat disebut masalah. Menurut Sumardyono (2007: 1) ciri-ciri suatu soal disebut masalah paling tidak memuat 2 hal yaitu:
1. Soal tersebut menantang pikiran (challenge)
2. Soal tersebut tidak langsung diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine).
(22)
22
Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan seseorang dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya berdasarkan strategi yang telah ia rencanakan sebelumnya. Oleh sebab itu kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang penting bagi manusia.
Hatfield (2007) menjelaskan tentang kemampuan pemecahan masalah sebagai berikut.
…The ability to understand problem, relate it to a similar problem or past experience, speculate about the possible solution, and carry through until the problem is solved is basic to human survival.
Artinya kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan memahami masalah, menghubungkannya masalah yang sama atau pengalaman yang lalu, memprediksi penyelesaian yang mungkin dan menyelesaikannya sampai masalah tersebut terpecahkan .
Dalam NCTM (1989) disebutkan bebarapa indikator dari kemampuan pemecahan masalah untuk anak kelas TK-12 yaitu, menggunakan dan mengadaptasikan berbagai strategi untuk memecahkan masalah, menyelesaikan masalah dalam matematika dan konteks lainnya, serta memonitor dan merefleksi proses pemecahan masalah matematis.
Sedangkan Johnson (2002: 201) mengemukakan 4 langkah pemecahan masalah dengan menjawab 4 pertanyaan berikut , yaitu: (1) apa masalahnya (2) apa hasil yang saya cari; (3) Solusi apa saja yang mungkin dan apa alasan yang mendukungnya; (4) Apa kesimpulannya. Pendapat tersebut hampir sama dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang
(23)
23
disampaikan oleh Polya. Menurut Polya (Suherman, dkk, 2003: 91), solusi pemecahan masalah memuat 4 langkah fase penyelesaian, yaitu: (a) memahami masalah, (b) merencanakan penyelesaian, (c) menyelesaikan masalah sesuai rencana, (d) melakukan pengecekan ulang.
Senada dengan dua pendapat diatas, dalam kurikulum 2006 (KTSP) pembelajaran matematika di SMP dijelaskan bahwa kemampuan pemecahan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh
Dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan beberapa indikator untuk pemecahan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Memahami masalah yang diukur melalui menuliskan unsur yang diketahui dan ditanyakan dalam suatu masalah.
2. Merencanakan penyelesaian masalah yang diukur melalui perkataan langkah-langkah yang dilakukan atau menuliskan rumus-rumus apa saja yang digunakan.
3. Menyelesaikan masalah yang diukur dari kebenaran langkah-langkah penyelesaian masalah yang dilakukan.
4. Memeriksa kembali solusi masalah yang diukur dari kesimpulan akhir penyelesaian masalah.
Untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan beberapa strategi pemecahan masalah. Adapun beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu
(24)
24
strategi Act it Out, membuat diagram atau gambar, menemukan pola, membuat tabel, tebak dan periksa, kerja mundur, menggunakan kalimat terbuka, menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah, menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan serta mengubah sudut pandang. Berikut penjelasan yang lebih rinci mengenai beberapa strategi pemecahan masalah.
1. Strategi Act it Out
Strategi Act it Out adalah strategi dalam memvisualisasikan masalah melalui gerakan-gerakan fisik atau benda-benda konkrit. Dalam pelaksanaan gerakan fisik ini akan mempermudah siswa dalam menemukan hubungan antara komponen-komponen yang tercakup dalam suatu permasalahan.
2. Membuat diagram atau gambar
Membuat diagram atau gambar bertujuan untuk memudahkan pemunculan masalah secara lebih konkret dan sederhana. Dalam hal ini, pembuatan diagram ataupun gambar tidak perlu sempurna, bagus, ataupun terlalu detail.
3. Menemukan Pola
Banyak masalah matematika yang terjadi memiliki pola-pola tertentu, misal seperti permasalahan yang terjadi pada deret, maupun barisan bilangan. Adanya kemungkinan masalah matematika tersebut berhubungan dengan pola tertentu harus divisualisasikan baik melaui
(25)
25
gambar atau model matematika, sehingga menyelesaikan masalah matematika akan menjadi lebih mudah.
4. Membuat Tabel
Membuat tabel akan memudahkan dalam penemuan pola yang tersembunyi dalam permasalahan matematika. Pembuatan tabel sangat bermanfaat, selain karena menghemat tempat, informasi yang tidak lengkappun akan teridentifikasi.
5. Tebak dan Periksa
Menyelesaikan masalah matematika terkadang biasa dilakukan dengan menebak-nebak jawaban. Akan tetapi prosedur pemeriksaan jawaban kembali sangat diperlukan mengingat jawaban yang diajukan mungkin hanya merupakan suatu insting atau keberuntungan semata.
6. Kerja Mundur
Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang diketahui itu sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul diawal.
7. Menggunakan Kalimat Terbuka
Masalah matematika sering disajikan dengan kalimat-kalimat yang tidak terbuka. Hal inilah yang terkadang membuat suatu masalah terlihat lebih sulit. Penggunaan kalimat terbuka bertujuan agar hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat lebih terlihat jelas.
(26)
26
8. Menyelesaikan masalah yang mirip atau lebih mudah
Untuk menyelesaikan masalah matematika yang rumit kadang dapat dilakukan dengan mencoba masalah serupa yang lebih mudah atau sederhana.
9. Menentukan yang diketahui, yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan
Penting sebelum menyelesaikan masalah untuk mengetahui hal-hal yang perlu diketahui, serta hal yang ingin diketahui. Jika hal- hal tersebut sudah jelas maka akan lebih mudah untuk mengambil langkah yang paling cepat untuk menyelesaikan masalah.
10.Mengubah Sudut Pandang
Seringkali kegagalan dalam menemukan penyelesaian masalah terjadi karena terpaku melihat masalah dari sudut pandang yang sama. Oleh karena itu ketika menyelesaikan suatu permasalahan ada baiknya menggunakan sudut pandang lain dalam menyelesaikannya.
5. Bahan Ajar
a. Pengertian Bahan Ajar
Menurut National Center for Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency Based Training (Abdul Majid, 2009: 174) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan ajar yang dimaksud bisa berupa tulisan maupun bahan tidak tertulis.
(27)
27
Menurut Chomsin S. Widodo dan Jasmadi (2008: 40) bahan ajar merupakan seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran, metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan komponen pembelajaran yang dibuat oleh guru sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara sistematis sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
b. Jenis Bahan Ajar
Bahan ajar dibuat untuk memudahkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut Abdul Majid (2009: 174) setidaknya bahan ajar dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
1) Bahan ajar cetak (printed) antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket. 2) Bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam dan
compact disk audio.
3) Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video copact disk, film.
4) Bahan ajar interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif.
Selain itu suatu bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran paling tidak mencakup beberapa unsur berikut ini:
1) Petunjuk belajar (petunjuk siswa/guru) 2) Kompetensi yang akan dicapai
3) Informasi pendukung 4) Latihan-latihan
5) Petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja 6) Evaluasi
(28)
28
Adapun tugas-tugas atau aktivitas siswa dalam suatu bahan ajar menurut Deiderich (Munadi Yudhi: 2013) adalah sebagai berikut. 1)Visual activities, yang termasuk didalamnya misalnya, membaca,
memperhatikan gambar, memperhatikan demonstrasi, percobaan dan pekerjaan orang lain.
2)Oral activities, seperti menyatakan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskuri, interupsi. 3)Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian,
percakapan, diskusi, musik, pidato/ceramah.
4)Writing activities, seperti mencatat poin-poin yang penting yang didengarnya, menulis karangan, cerita menyusun angket.
5)Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6)Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, beternak.
7)Mental activities, sebagai contoh, menanggapi mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
8)Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
Menurut Chomsin S. Widodo dan Jasmadi (2008: 42) dalam mengembangkan suatu bahan ajar harus memperhatikan beberapa kaidah pengembangan seperti berikut:
1) Bahan ajar harus disesuaikan dengan siswa yang sedang mengikuti proses belajar mengajar.
2) Bahan ajar diharapkan mampu mengubah tingkah laku siswa. 3) Bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik diri.
4) Program belajar mengajar yang akan dilangsungkan.
5) Di dalam bahan ajar telah mencakup tujuan kegiatan pembelajaran yang spesifik.
(29)
29
6) Guna mendukung ketercapaian tujuan, bahan ajar harus memuat materi pembelajaran secara rinci, baik untuk kegiatan dan latihan 7) Terdapat evaluasi sebagai umpan balik dan alat untuk mengukur
tingkat keberhasilan siswa. 6. Bahan Ajar LKS
a. Pengertian Lembar Kegiatan Siswa
Menurut Abdul Majid (2009: 176) Lembar kegiatan siswa (student work sheet) adalah lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Lembar kegiatan yang dimaksud biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas. Menurut Depdiknas (2008: 25) LKS adalah lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan siswa. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa LKS adalah tugas yang harus dikerjakan oleh siswa berupa lembaran-lembaran yang berisi petunjuk untuk menemukan/memperoleh pengetahuan dari materi yang sedang dipelajari.
b. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Menggunakan LKS
Depdiknas dalam panduan pelaksanaan materi pembelajaran SMP (2008: 42-45) alternatif tujuan pengemasan materi dalam bentuk LKS adalah:
1) LKS membantu siswa untuk menemukan suatu konsep
2) LKS membantu siswa menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan
3) LKS berfungsi sebagai penuntun belajar 4) LKS berfungsi sebagai penguatan
(30)
30
5) LKS berfungsi sebagai petunjuk praktikum
Penggunaan LKS dalam pembelajaran juga dapat memudahkan guru dalam mengelola kelas. Pada keadaan ini guru adalah sebagai fasilitator bukan sebagai sumber belajar. Dengan adanya hal tersebut akan tercipta kondisi belajar yang berpusat pada siswa (student center) karena siswa dituntut berperan secara aktif dalam pembelajaran yang dilakukan.
c. Langkah-langkah Penyusunan LKS
Dalam penyusunan LKS harus memperhatikan langkah-langkah tertentu. Berdasarkan Depdiknas (2008:23-24) dalam penyusunan LKS terdapat langkah-langkah sebagai berikut:
1) Analisis Kurikulum
Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi yang akan memerlukan bahan ajar LKS. Hal ini dilakukan dengan cara melihat materi pokok dari materi yang akan diajarkan, kemudian kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.
2) Menyusun Peta Kebutuhan LKS
Peta kebutuhan LKS sangat diperlukan guna mengetahui jumlah LKS yang harus ditulis dan urutan LKS juga dapat dilihat.
3) Menentukan Judul-judul LKS
Judul LKS ditentukan atas dasar Kompetensi Dasar-Kompetensi Dasar, materi pokok yang terdapat dalam kurikulum.
(31)
31 4) Penulisan LKS, meliputi:
a) Perumusan KD harus dikuasai
Rumusan KD pada LKS langsung diturunkan dari standar isi. b) Menentukan alat penilaian
c) Penyusunan materi d. Syarat Pengembangan LKS
Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R.E Kaligis (1992:41-46), agar LKS yang dikembangkan baik, maka LKS yang disusun harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Syarat Didaktik
LKS harus mengikuti asas-asas pembelajaran efektif, seperti: a. Memperlihatkan perbedaan individu sehingga dapat digunakan
oleh seluruh siswa dengan kemampuan yang berbeda.
b. Menekankan pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga berfungsi sebagai petunjuk bagi siswa untuk mencari informasi bukan sebagai alat pemberi informasi.
c. Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa sehingga dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis, menggambar, berdialog dengan temannya, menggunakan alat, menyentuh benda nyata dan sebagainya. d. Mengembangkan kemampuan komunikasi social, emosional,
moral, dan estetika pada diri anak, sehingga tidak hanya ditujukan untuk mengenal fakta dan konsep akademis.
(32)
32
e. Pengalaman belajar yang dialami siswa ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi siswa.
2. Syarat Konstruksi
Berhubungan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran dan kejelasan dalam LKS yang meliputi:
a. Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan anak.
b. Menggunakan struktur kalimat yang jelas
c. Memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
d. Pembelajaran dilaksanakan dengan berbagai metode supaya siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara nyaman sehingga mendapatkan hasil yang optimal. The teacher need to develop various methods of teaching, various learning resources, and various interaction/communication (Marsigit, 2012). Maksudnya guru harus senantiasa mengembangkan metode dan bermacam – macam cara berkomunikasi dalam pembelajaran. Misalnya dengan tidak selalu menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran (teacher centered).
e. Menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka, pertanyaan dianjurkan isian jawabannya merupakan hasil dari pengolahan informasi, bukan mengambil dari perbendaharaan pengetahuan yang tak terbatas.
(33)
33
f. Mengacu pada sumber belajar yang masih dalam kemampuan dan keterbacaan siswa.
g. Menyediakan ruang yang cukup untuk memberi keluasan siswa untuk menulis maupun menggambar hal-hal yang ingin siswa sampaikan dengan memberi bingkai tempat menulis dan menggambar jawaban.
h. Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek. i. Gunakan lebih banyak iustrasi daripada kata-kata.
j. Memiliki tujuan yang jelas serta bermanfaat sebagai sumber motivasi.
k. Mempunyai identitas untuk mempermudah administrasi, misalnya kelas, mata pelajaran, topik, nama atau nama-nama anggota kelompok dan sebagainya.
3. Syarat Teknis
Menekankan pada tulisan, gambar dan penampilan yang dipaparkan sebagai berikut:
a. Tulisan, tulisan dalam LKS harus memperhatikan hal-hal seperti:
1. Menggunakan huruf cetak dan tidak menguunakan huruf latin
2. Menggunakan huruf tebal yang agak besar untuk topik. 3. Membuat bingkai untuk membedakan pertanyaan dan
jawaban.
(34)
34
b. Gambar, penggunaan gambar dalam LKS harus mendukung kejelasan konsep.
c. Penampilan, ukuran lembar kegiatan siswa, desain, tata letak dan ilustrasi harus dibuat menarik.
e. Kualitas LKS
Kelayakan suatu LKS dievaluasi berdasarkan syarat-syarat LKS yang baik dan kriteria yang baik suatu produk pengembangan. Penilaian terhadap LKS selain memperhatikan syarat-syarat pengembangan LKS juga memperhatikan kriteria kualitas LKS. Nieveen dan Van den Akker dalam Rochmad (2012: 68) mengemukakan bahwa LKS yang dikembangkan perlu memperhatikan kriteria kualitas. LKS dinyatakan berkualitas apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.
a. Kevalidan
Aspek kevalidan merupakan kualitas LKS dilihat dari materi yang terdapat pada LKS. Validitas LKS ditentukan berdasarkan validitas rasional yaitu validitas yang diperoleh dengan berpikir secara logis (Anas Sudijono, 2007: 164). Oleh karena itu kevalidan LKS dapat diukur dengan penilaian para ahli. LKS dikatakan valid jika LKS dinyatakan layak digunakan dengan revisi atau tanpa revisi oleh validator dan skor rata-rata penilaian memenuhi kriteria minimal valid. Kelayakan tersebut dinilai berdasarkan kesesuaian dengan pendekatan kontekstual, proses pembelajaran, dan kualitas isi materi LKS menurut Hermawan (Endang Widjajanti, 2010: 5-6), serta
(35)
35
kesesuaian dengan syarat didaktik, kontruksi, dan teknis (Hendro Darmojo dan Jenny R. E Kaligis, 1992: 41-46).
b. Kepraktisan
Nieven (Rochmad, 2012: 70) mengemukakan bahwa kepraktisan LKS dapat dilihat dari tingkat kemudahan dan keterbantuan dalam menggunakan LKS. Tingkat kepraktisan LKS yang dikembangkan dapat dilihat dari respon siswa dan guru terhadap pembelajaran menggunakan LKS. LKS dinyatakan praktis jika siswa maupun guru terhadap kemudahan dan keterbantuan penggunaan LKS yang dikembangkan memenuhi kriteria minimal praktis
c. Keefektifan
Aspek keefektifan LKS merupakan kriteria kualitas LKS ditinjau dari capaian hasil belajar siswa(Rochmad, 2012: 71). Dalam penelitian ini, tingkat keefektifan LKS dapat diukur dari hasil tes kemampuan koneksi matematis dan tes kemampuan pemecahan masalah materi kubus dan balok di akhir pembelajaran. LKS dinyatakan efektif jika hasil persentase tes kemampuan koneksi matematis dan tes kemampuan pemecahan masalah siswa lebih dari 60% dengan kriteria efektif.
Hal-hal tersebut diatas menjadi panduan menentukan karakteristik LKS yang baik. Oleh karena itu, terdapat enam aspek sebagai karakteristik LKS yang dikembangkan. Keenam aspek tersebut yaitu aspek didaktik, aspek proses pembelajaran, aspek konstruktif,
(36)
36
aspek kelayakan, aspek teknis dan aspek kesesuaian LKS dengan pendekatan kontekstual.
7. Model Desain Pengembangan Bahan Ajar
Menurut Endang Mulyatiningsih (2012 : 161) penelitian dan pengembangan bertujuan untuk menghasilkan produk baru melalui proses pengembangan. Dalam mengembangkan media pembelajaran matematika ini, perlu diterapkan prosedur pengembangan media. Ada berbagai macam model pengembangan yang dapat dipilih yaitu model pengembangan Bord dan Gold, ASSURE, ADDIE, Luther, dan sebagainya.
Model desain pengembangan adalah suatu sistem atau metode yang harus ada dalam suatu penelitian pengembangan. Sugiyono (2012: 29) mengatakan model desain penelitian dan pengembangan merupakan metode penelitian dan pengembangan suatu produk dan menguji produk tersebut. Salah satu desain model pengembangan adalah ADDIE.
Benny A Pribadi (2009: 125) mengatakan bahwa model ADDIE merupakan salah satu desain sistem pembelajaran yang memperlihatkan tahap-tahap dasar sistem pembelajaran yang sederhana dan mudah dipelajari. Model ini, sesuai dengan namanya, terdiri dari lima tahap yaitu (A)nalysis, (D)esain, (D)evelopment, (I)mplementation, dan (E)valuation.
Menurut Endang Mulyatiningsih (2012: 199), model ADDIE dapat digunakan untuk berbagai bentuk pengembangan produk seperti model, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar sehingga dapat digunakan juga dalam pengembangan lembar kegiatan
(37)
37
siswa (LKS). Berikut ibi penjelasan dari kelima tahap desain model pengembangan ADDIE.
a. Analisis (Analysis)
Tahap analisis adalah kegiatan untuk menetapkan tujuan dari pengembangan produk yang dikembangkan. Langkah pada tahap analisis ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan, kurikulum, dan situasi dilapangan.
b. Perancangan (Design)
Tahap perancangan adalah tahapan terpenting pada pengembangan, yang perlu dilakukan dalam tahap perancangan adalah merancang produk yang diharapkan, mengumpulkan referensi, dan gambar-gambar yang relevan, dan menyusun instrumen penilaian produk yang dikembangkan.
c. Pengembangan (Development)
Tahap pengembangan meliputi kegiatan pengembangan rancangan, penyuntingan, validasi, dan revisi produk untuk mencapai tujuan produk yang diharapkan.
d. Implementasi (Implementation)
Tujuan utama dari tahap implemetasi adalah merealisasi produk yang dikembangkan. Langkah implementasi sering diasosiasikan dengan uji coba. Untuk memperoleh masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan bahan ajar yang dikembangkan dengan uji coba terbatas.
(38)
38 e. Evaluasi (Evaluation)
Tahap evaluasi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk memberikan nilai terhadap produk yang dikembangkan. Pada dasarnya, evaluasi dapat dilakukan pada pelaksanaan kelima langkah dalam ADDIE.
8. Materi Kubus dan Balok untuk SMP kelas VIII
Materi kubus dan balok terdapat pada standar kompetensi geometri dan pengukuran untuk kelas VIII. Adapun standar kompetensi tersebut yaitu memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, dan limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan ukurannya. Sedangkan untuk kompetensi dasarnya antara lain: (1) Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok, prisma, dan limas serta bagian-bagiannya, (2) Membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas), (3) Menghitung luas permukaan dan volume kubus,balok, prisma, dan limas.
Berikut penjelasan mengenai materi kubus dan balok. a. Kubus
(39)
39 1) Unsur-unsur kubus
a) Mempunyai 6 bidang sisi berupa persegi yang kongruen yaitu : Sisi ABCD, EFGH, Sisi ABFE dan DCGH, Sisi ADHE dan BCGF.
b) Mempunyai 3 kelompok rusuk yang sejajar, masing-masing kelompok ada 4 rusuk berupa ruas garis yang sama panjang yaitu :
CG DH BF AE EH FG BC AD GH EF DC
AB// // // , // // // , // // //
c) Mempunyai 12 diagonal sisi yaitu :
FH EG BD AC DE AH DG CH CE BG BD
AC, , , , , , , , , , ,
d) Mempunyai bidang diagonal berupa persegi panjang sebanyak 6 yaitu : BCHE,ADFG,ABGH,DCEF,ACGE,BDHF
e) Mempunyai 8 titik sudut yaitu : A, B, C, D, E, F, G, H f) Mempunyai 4 diagonal ruang yaitu : AG,BH,CE,DF 2) Jaring-jaring kubus
(40)
40 3) Luas permukaan kubus
Luas Persegi
Luas permukaan kubus = Luas jaring-jaring kubus = 6 luas persegi = 6rr
4) Volume kubus Volume kubus r3
b. Balok
1) Unsur-unsur balok
a) Mempunya 6 sisi yang terdiri dari 3 kelompok sisi yang sejajar dan kongruen yaitu : Sisi ABCD, // EFGH ,Sisi ABFE // DCGH, Sisi ADHE // BCGF.
b) Mempunyai 3 pasang rusuk yang sejajar dan sama panjang yaitu:
CG DH BF AE EH FG BC AD GH EF DC
AB// // // , // // // , // // //
c) Mempunyai 12 diagonal sisi yaitu :
FH EG BD AC DE AH DG CH CE BG BD
(41)
41
d) Mempunyai bidang diagonal sebanyak 6 yaitu : BCHE,ADFG,ABGH,DCEF,ACGE,BDHF
e) Mempunyai 8 titik sudut yaitu : A, B, C, D, E, F, G, H f) Mempunyai 4 diagonal ruang yaitu : AG,BH,CE,DF 2) Jaring-jaring balok
3) Luas permukaan balok
Luas balok 2 Luas tutup + 2 Luas sisi samping + 2 Luas sisi depan
) 2
( ) 2 ( ) 2
( pl lt pt
) (
2 pllttp
4) Volume balok
Volume balok
(42)
42 B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dalam skripsi pada tahun 2013 dengan judul penelitian “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Pada Materi Bangun Ruang". Penelitian tersebut merupakan penelitian quasi ekperimen. Penelitian eksperimen ini dilakukan di SMP Negeri 3 Gorontalo pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 dengan rancangan post test only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Gorontalo. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Teknik Cluster Simple Random Sampling Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa tes essay. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematika siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan koneksi matematika siswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran konvensional pada materi bangun ruang.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nuruniyah dalam skripsi pada tahun 2012 dengan judul penelitian Efektivitas Pendekatan Kontekstual dalam Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan
Kepercayaan Diri Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Mlati. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan menggunakan desain penelitian control group pretest-posttest design. Instrumen yang digunakan adalah tes tertulis untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan angket untuk mengukur kepercayaan diri peserta didik. Hasil dari analisis data
(43)
43
ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan ditinjau dari kepercayaan diri peserta didik, akan tetapi pembelajaran kontekstual lebih efektif daripada pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan ditinjau dari kepercayaan diri peserta didik.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Harnita Dwi Afriyanti dalam skripsi tahun 2009 dengan judul penelitian Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Kontekstual Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 3 Gamping. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan 2 siklus yang masing-masing terdiri dari 4 pertemuan. Instrumen penelitian ini adalah lembar observasi serta tes tertulis kemampuan pemecahan masalah siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang dilihat dari nilai rata-rata kelas yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 61,78 dan pada siklus II meningkat menjadi 78,50.
C. Kerangka Berpikir
Matematika adalah suatu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat peranan matematika, maka pelajaran matematika disemua jenjang pendidikan khususnya sekolah menengah, siswa perlu dituntut untuk mengembangkan kemampuan koneksi
(44)
44
matematis dan pemecahan masalah. Untuk mengembangkan kedua kemampuan tersebut diperlukan bahan ajar yang tepat.
Dalam dunia pendidikan, bahan ajar merupakan komponen yang penting untuk menunjang keberhasilan suatu pembelajaran. Ada beberapa jenis bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran, salah satunya ialah Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Lembar kegiatan siswa (LKS) yang digunakan oleh siswa pada umumnya berisi rangkuman materi dan soal latihan. Berdasarkan kajian pustaka yang membahas mengenai syarat penyusunan Lembar Kegiatan Siswa (LKS), struktur LKS secara umum adalah judul, mata pelajaran, semester, tempat, petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, indikator, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-langkah kerja, serta penilaian.
Selain memuat syarat penyusunan Lembar Kegiatan Siswa (LKS), LKS juga perlu menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Bahan ajar terutama LKS yag ada pada saat ini belum membantu siswa memahami konsep yang ada, hanya mengutamakan pada pengerjaan soal-soal dan diberikan rumus-rumus cepat. Hal ini tentunya dapat kurang melatih kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa. Di samping itu hal yang diutamakan dalam suatu pembelajaran adalah prosesnya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya suatu LKS dengan pendekatan tertentu yang mampu membimbing siswa dalam menemukan suatu konsep serta mengembangkan ketrampilan proses, salah satunya menggunakan pendekatan kontekstual .
(45)
45
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang menghubungkan konsep dengan konteksnya, sehingga siswa memperoleh ketrampilan proses dan sejumlah pengalaman belajar yang bermakna.
Dengan adanya keterampilan proses yang baik, siswa dapat membangun hubungan diantara konsep yang telah ia peroleh. Siswa juga tidak bergantung pada rumus-rumus yang sudah ada, melainkan siswa mampu melahirkan gagasan atau ide-ide yang berbeda untuk menjawab soal latihan yang ada. Hal tersebut mengindikasi terjadinya berkembangnya kemampuan koneksi dan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran.
(46)
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau Research and Development dengan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, dan Evaluation). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar berbentuk LKS pada materi kubus dan balok dengan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa SMP kelas VIII dan mengetahui kualitas bahan ajar yang dikembangkan.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada pengembangan bahan ajar berupa LKS dengan pendekatan kontekstual pada materi kubus dan balok untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah ini adalah siswa kelas VIII SMP Ibu Soetarmi Soeharmanto (ISS) Jatipurno, Wonogiri dengan mengambil salah satu kelas untuk uji coba. Pemilihan subjek penelitian ini dilakukan secara acak dari 4 kelas.
C. Desain Penelitian
Untuk menghasilkan suatu produk yang baik, diperlukan perancangan dan pengembangan yang cermat. Oleh karena itu dalam mengembangkan bahan ajar berbentuk LKS pada materi kubus dan balok dengan pendekatan
(47)
47
kontekstual untuk memfasilitasi kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis siswa SMP kelas VIII, peneliti menggunakan model pengembangan ADDIE (Endang Mulyatiningsih, 2012: 183) sebagai berikut..
Berikut ini merupakan penjelasan dari tiap tahapan pengembangan dengan menggunakan model ADDIE.
1. Tahap Analisis (Analysis)
Pada tahap analisis ini, dilakukan analisis kebutuhan bahan ajar, analisis kurikulum dan analisis situasi.
a. Analisis kebutuhan bahan ajar
Gambar 2. Tahapan Pengembangan Model ADDIE A
Analysis
Analisis kebutuhan bahan ajar, analisis kurikulum, analisis situasi
D Design
Menentukan pendekatan pembelajaran, menyusun kerangka LKS, peta kebutuhan LKS, serta
menyusun lembar instrumen penilaian LKS.
D Development
Menyusun LKS sesuai dengan pendekatan
pembelajaran yang dipilih dan melakukan validasi sebelum diujicobakan.
I
Implementation
Mengujicobakan LKS, membagikan angket respon siswa dan guru, serta melakukan tes kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah.
E Evaluation
Melakukan evaluasi terhadap LKS yang telah diujicobakan
(48)
48
Analisis bahan ajar dilakukan dengan mengidentifikasi bahan ajar yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran matematika khususnya dalam materi kubus dan balok. Hasil identifikasi akan digunakan sebagai dasar dalam pengembangan bahan ajar.
b. Analisis kurikulum
Analisis kurikulum ini dilakukan dengan mengidentifikasi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang berkaitan dengan materi kubus dan balok untuk mengetahui indikator-indikator yang harus dicapai oleh siswa. Hal ini dilakukan agar pengembangan bahan ajar yang dilakukan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
c. Analisis situasi
Analisis situasi ini dilakukan dengan melakukan observasi metode pembelajaran yang digunakan dikelas serta keadaan siswa pada saat pembelajaran yang akan dijadikan subjek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pendekatan atau metode apakah yang bisa digunakan dalam mengembangkan bahan ajar.
2. Tahap Perancangan (Design)
Pada tahap ini LKS yang akan dikembangkan mulai dirancang sesuai hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya. Selanjutnya, tahap perancangan dilakukan dengan menentukan unsur-unsur yang diperlukan dalam pengembangan LKS. Unsur-unsur tersebut meliputi: penyusunan peta kebutuhan dan kerangka LKS. Selain itu, LKS yang dikembangkan disesuaikan dengan pendekatan kontekstual. Oleh karena
(49)
49
itu, LKS dengan pendekatan kontekstual yang dikembangkan juga harus memenuhi 7 komponen pendekatan kontekstual yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik.
Selanjutnya, LKS yang dikembangkan juga disusun untuk melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah. Hal ini dilakukan dengan memberikan soal-soal koneksi matematis dan pemecahan masalah pada tiap kegiatan LKS. Untuk menyusun soal-soal tersebut, dikumpulkan beberapa referensi yang digunakan dalam penyusunan dan pengembangan materi dalam bahan ajar LKS.
Langkah selanjutnya yaitu menyusun instrumen yang digunakan untuk menilai LKS yang dikembangkan. Instrumen disusun dengan memperhatikan syarat kelayakan penilaian LKS yaitu kesesuaian LKS dengan pendekatan kontekstual, proses pembelajaran, kualitas isi materi LKS, kesesuaian dengan syarat didaktik, kesesuaian LKS dengan syarat konstuksi, dan kesesuaian LKS dengan syarat teknis. Instrumen yang disusun berupa lembar penilaian LKS dan angket respon siswa dan guru. Selanjutnya, instrumen yang disusun akan divalidasi untuk mendapatkan instrumen penilaian yang valid.
3. Tahap Pengembangan (Development)
Pada tahap pengembangan ini, peneliti mengembangkan LKS sesuai dengan rancangan LKS yang ada pada tahap perancangan. Adapun
(50)
50
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pengembangan LKS ini adalah sebagai berikut.
a. Penulisan LKS
Penulisan LKS dilakukan dengan tujuan diperolehnya produk awal LKS dengan pendekatan kontekstual tentang kubus dan balok.
b. Penyuntingan LKS
Draft LKS yang telah disusun kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Jika terdapat kesalahan atau kekurangan pada draft LKS yang telah disusun tersebut, selanjutnya draft LKS direvisi dan dikonsultasikan kembali kepada dosen pembimbing hingga akhirnya diperoleh draft LKS yang sudah dapat divalidasi kepada ahli materi dan ahli media.
c. Validasi LKS
Setelah dilakukan penulisan LKS, selanjutnya dilakukan validasi LKS oleh validator yaitu oleh ahli materi dan ahli media. Validator memberikan penilaian terhadap LKS yang dikembangkan, sehingga diketahui kelebihan dan kekurangan LKS yang dikembangkan. Hasil dari tahap validasi ini digunakan sebagai perbaikan dan penyempurnaan draft LKS sebelum diujicobakan.
Penilaian LKS dilakukan dengan pengisian lembar penilaian oleh ahli tentang aspek kesesuaian LKS dengan pendekatan kontekstual, aspek proses pembelajaran, aspek kualitas isi materi LKS, aspek kesesuaian LKS dengan syarat didaktif, aspek kesesuaian LKS
(51)
51
dengan syarat konstruktif, dan aspek kesesuaian LKS dengan syarat teknis. Lembar penilaian yang digunakan disesuaikan dengan pedoman penilaian BNSP yang telah dilakukan penambahan seperlunya oleh penulis dan telah divalidasi oleh ahli.
d. Revisi LKS
Setelah dilakukan validasi LKS proses selanjutnya adalah revisi LKS. Revisi LKS dilakukan dengan memperbaiki dan menyempurnakan bagian-bagian dari LKS sesuai masukan dan saran para ahli. Setelah LKS diperbaiki maka LKS telah siap untuk diujicobakan.
4. Tahap Implementasi (Implementation)
Setelah dilakukan validasi LKS dan para ahli telah menyatakan lembar kegiatan siswa yang dikembangkan telah layak digunakan, maka tahap selanjutnya adalah implementasi LKS yang telah dikembangkan pada pembelajaran matematika materi kubus dan balok pada siswa kelas VIII SMP ISS Jatipurno, Wonogiri. Sekolah ini termasuk dalam kategori sedang. Dari tahap ini didapatkan data untuk mengetahui kepraktisan LKS berdasarkan lembar angket respon siswa dan guru.
5. Tahap Evaluasi (Evaluation)
Tahap setelah dilakukan implementasi LKS pada pembelajaran adalah tahap evaluasi produk. Dalam tahap evaluasi dilakukan analisis kualitas LKS ditinjau dari kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan LKS yang dikembangkan.
Kevalidan LKS didapat dari penilaian oleh ahli materi dan ahli media pada tahap pengembangan. Sedangkan kepraktisan dan keefektifan
(52)
52
LKS masing-masing didapat dari hasil pengisian angket respon siswa dan guru serta hasil tes kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa pada tahap implementasi.
Pada tahap ini juga dilakukan revisi yang terakhir terhadap LKS yang dikembangkan. Hal ini bertujuan agar LKS yang dikembangkan dapat digunakan lebih luas lagi.
D. Jenis Data
Jenis data yang terkumpul selama proses penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang diperoleh yaitu data berupa deskripsi komentar dan saran dari validator yang dideskripsikan kemudian dibuat kesimpulan secara umum. Data tersebut diperoleh untuk merevisi produk yang dikembangkan. Hasil analisis validasi ahli merupakan masukan, tanggapan, kritikan, dan saran yang digunakan sebagai acuan dalam perbaikan bahan ajar yang dikembangkan. Sedangkan data kuantitatif yaitu berupa skor hasil penilaian bahan ajar oleh validator dan dari angket respon siswa, dan guru serta skor dari tes kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
E. Instrumen Penelitian
Sugiyono (2012: 128), menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dengan adanya instrumen ini akan mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian pengembangan agar dapat mencapai hasil yang baik. Dalam penelitian pengembangan ini akan digunakan beberapa instrumen penelitian yaitu sebagai berikut.
(53)
53 1. Lembar Penilaian LKS
a. Lembar penilaian LKS untuk ahli materi
Lembar penilaian LKS ini diberikan kepada 1 dosen sebagai ahli materi. Manfaat dari instrumen ini adalah untuk mengetahui nilai kevalidan LKS yang dikembangkan berdasarkan aspek kesesuaian LKS dengan pendekatan kontekstual, aspek proses pembelajaran, aspek kualitas isi materi LKS, dan aspek kesesuaian LKS dengan syarat didaktif.
Angket penilaian LKS ini disusun dengan 5 alternatif jawaban yaitu sangat baik (skor 5), baik (skor 4), cukup baik (skor 3), kurang baik (skor 2) dan sangat kurang baik (skor 1). Adapun kisi-kisi penilaian ahli materi terhadap LKS yang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kisi-kisi Penilaian LKS untuk Ahli Materi
No Aspek yang Dinilai Indikator Penilaian Banyak Butir Pernyataan 1.
Kesesuaian LKS dengan Pendekatan Kontekstual
Memuat Komponen-kompunen pendekatan kontekstual.
7 2. Proses Pembelajaran Kesesuaian dengan
tujuan penyusunan 3
3. Kualitas materi LKS
Kesesuaian dengan SK dan KD
4
Keakuratan Materi 4
Teknik Penyajian 3
4. Kesesuaian LKS dengan syarat didaktif
Kesesuaian dengan kemampuan siswa
2 Kegiatan merangsang
kemampuan siswa.
2
(54)
54
b. Lembar penilaian LKS untuk ahli media
Lembar penilaian LKS ini diberikan kepada 1 dosen sebagai ahli media. Manfaat dari instrumen lembar penilaian LKS ini adalah untuk mengetahui nilai kevalidan LKS yang dikembangkan berdasarkan aspek kesesuaian LKS dengan syarat konstruktif dan aspek kesesuaian LKS dengan syarat teknis.
Angket penilaian LKS ini disusun dengan 5 alternatif jawaban yaitu sangat baik (skor 5), baik (skor 4), cukup baik (skor 3), kurang baik (skor 2) dan tidak baik (skor 1). Adapun kisi-kisi penilaian ahli media terhadap LKS yang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kisi-kisi Penilaian LKS untuk Ahli Media
No Aspek yang Dinilai Indikator Penilaian Banyak Butir Pernyataan
1.
Kesesuaian LKS dengan syarat konstruktif
Ketepatan penggunaan bahasa dan kalimat
2 Memperhatikan
pemilihan pertanyaan dengan sumber belajar
5 Memiliki manfaat,
tujuan, dan identitas
3
2.
Kesesuaian LKS dengan syarat teknis
Desain cover LKS 4
Ketepatan penggunaan tulisan, gambar, dan bingkai
3 Ukuran LKS dan
Ketepatan tata letak
6
(55)
55 2. Angket Respon
Angket respon yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam yaitu angket respon siswa dan angket respon guru.
a. Angket respon siswa
Angket respon siswa diberikan kepada siswa pada akhir penelitian pengembangan. Instrumen ini bertujuan untuk menilai kepraktisan LKS berdasarkan respon dan tanggapan siswa terhadap LKS yang telah dikembangkan.
Angket respon siswa disusun dengan 5 alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (KS) dan Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Selain itu, dalam penulisan angket respon siswa ini terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Adapun kisi-kisi instrumen untuk angket respon siswa adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Kisi-kisi Angket Respon Siswa
No Aspel yang dinilai Indikator No Butir 1. Kemudahan Kemudahan penggunaan
LKS
1(+), 2(+), 3 (-), 4(+), 6 (+), 8(-) 2. Keterbantuan Keterbantuan
pembelajaran melalui LKS.
5(+), 7(+), 9(+), 10(+), 11(+), 12(+), 13(+), 14(+), 15(+)
Total Butir Pernyataan 15
b. Angket Respon Guru
Angket respon guru digunakan untuk menilai kepraktisan LKS yang telah dikembangkan berdasarkan respon dan tanggapan guru. Angket respon siswa disusun dengan 5 alternatif jawaban yaitu Sangat
(56)
56
Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (KS) dan Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Selain itu, dalam penulisan angket respon siswa ini terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Adapun kisi-kisi instrumen untuk angket respon guru adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Kisi-kisi Angket Respon Guru
No Aspek yang dinilai Indikator No Butir 1. Kemudahan Kemudahan penggunaan
LKS
1(+), 2(+), 3 (-), 4(+), 6 (+), 8(-) 2. Keterbantuan Keterbantuan
pembelajaran melalui LKS.
5(+), 7(+), 9(+), 10(+), 11(+), 12(+), 13(+), 14(+), 15(+)
Total Butir Pernyataan 15
3. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar diberikan kepada siswa pada akhir penelitian sebagai penentu nilai kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Sebelum instrumen tes ini diimplementasikan, dilakukan penilaian terlebih dahulu oleh validator instrumen dan ahli materi.
Soal tes masing-masing terdiri dari 4 soal yang mewakili indikator pencapaian kompetensi. Dari hasil tes didapatkan persentase ketuntasan klasikal siswa untuk menentukan kriteria keefektifan LKS kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah siswa.
(57)
57 a. Tes Kemampuan Koneksi Matematis
Tes kemampuan koneksi matematika digunakan untuk mengukur keefektifan LKS yang dikembangkan ditinjau dari hasil tes kemampuan koneksi matematis. Tes yang diajukan berbentuk uraian dengan bobot penilaian disesuaikan dengan bobot kesukaran masing-masing item soal dan disesuaikan dengan indikator kemampuan koneksi matematis.
Indikator kemampuan koneksi matematis pada tes kemampuan koneksi matematis meliputi mengenali hubungan antar konsep/ prinsip matematika, memahami bagaimana konsep/prinsip dalam matematika saling berhubungan, dan menggunakan hubungan antar konsep/ prinsip matematika dalam menyelesaikan soal aplikasi matematika.
b. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Tes kemampuan pemecahan masalah merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur keefektifan LKS yang dikembangkan ditinjau dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah. Tes yang diajukan berbentuk uraian dengan bobot penilaian disesuaikan dengan bobot kesukaran masing-masing item soal dan disesuaikan dengan indikator pemecahan masalah.
Indikator pemecahan masalah pada tes kemampuan pemecahan masalah disesuaikan dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang meliputi memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah,
(1)
61
1) Menghitung rerata skor dengan rumus sebagai berikut.
n x X n i i
1 KeteranganX : rerata skor instrumen n : banyak butir pernyataan
i
x : skor pada butir pernyataan ke- i
2) Mengkonversi skor rerata instrumen menjadi nilai kualitatif berdasarkan kriteria penilaian skala 5 menurut S Eko Putro Widyoko (2009) pada Tabel 6. Merujuk pada Tabel 6, maka hasil angket respon oleh siswa dan guru dapat dikategorikan sebagai berikut. Tabel 9. Rentang Skor Angket Respon Siswa dan Guru
Rentang Skor Kriteria
2 , 4
X Sangat praktis
2 , 4 4
,
3 X Praktis
4 , 3 6
,
2 X Cukup praktis
6 , 2 8
,
1 X Kurang praktis
8 , 1
X Sangat kurang praktis
c. Analisis Data Hasil Belajar
Data hasil belajar diperoleh dari tes kemampuan koneksi matematis dan tes pemecahan masalah. Instrumen tes kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa berbentuk uraian dengan bobot penilaian disesuaikan dengan tingkat kesukaran item soal. Penilaian hasil tes didasarkan pada rubrik penilaian yang telah ditentukan. Pada penelitian ini rubrik yang digunakan sesuai dengan
(2)
62
indikator kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah.
Pengolahan skor hasil tes kemampuan koneksi matematis dan kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan pada Penilaian Acuan Patokan (PAP) yaitu, nilai telah ditentukan sebagai acuan tercapainya ketuntasan (Anas Sudijono, 2007: 312). Ketuntasan pada penelitian ini didasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang tetapkan oleh sekolah yaitu 70 untuk mata pelajaran matematika. Berikut langkah penentuan keefektifan LKS berdasarkan tes kemampuan koneksi matematis dan pemecahan masalah.
1) Menghitung skor yang didapat oleh setiap siswa.
2) Menentukan nilai yang dicapai setiap siswa dengan rumus sebagai berikut.
3) Menghitung banyaknya siswa yang lulus KKM atau mendapat nilai lebih dari atau sama dengan 70.
4) Menghitung persentase ketuntasan klasikal dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
persentase ketuntasan klasikal
banyaknya siswa yang lulus KKM
banyaknya siswa
5) Persentase ketuntasan kemudian dapat dikategorikan menurut kriteria penilaian oleh S. Eko Putro Widoyoko (2009: 242) pada Tabel 10.
(3)
63
Tabel 10. Kriteria Ketuntasan Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematis dan Pemecahan Masalah
Persentase Ketuntasan Kriteria
Sangat efektif
Efektif
Cukup efektif
Kurang efektif
Sangat kurang efektif Keterangan:
= persentase ketuntasan klasikal 2. Analisis Data Kualitatif
Data kualitatif diperoleh dari masukkan atau tanggapan dari validator. Data-data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Tanggapan atau masukan dari validator yang bersifat membangun dan dianggap tepat untuk pengembangan bahan ajar digunakan sebagai bahan perbaikan pada tahap revisi LKS.
(4)
118
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. ___________.(2009). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Anonim. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departenen Pendidikan Nasional.
Ahmad Fauzan. 2014. Analyzing Mathematical Literacy Of Junior High School
Students In West Sumatra. Di akses melalui http://eprints.uny.ac.id/11554/1/ME-25%20Ahmad%20Fauzan.pdf
Anas Sudijono. (2007). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Benny A. Pribadi. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Chomsin S. Widodo dan Jasmadi. (2008). Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kompas Gramedia.
Depdiknas. (2005). Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005.
Depdiknas. (2006). Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Sekolah Menengah Pertama Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengan Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
Eko Putro Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.
Endang Mulyatiningsih. (2012). Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Endang Widjajanti. (2008). Kualitas Lembar Kerja Siswa. Makalah. Disampaikan pada Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat di Ruang Sidang Kimia FMIPA UNY, 22 Agustus 2008.
(5)
119
Harnita Dwi Afriyanti. (2009).Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Kontekstual Siswa Kelas VIII E SMP negeri 3 Gamping.Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Hatfield,Mary M. (2007). Mathematics Methods for Elementary and Middle School Teachers. John Wiley & Sons, Inc.
Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis. (1992). Pendidikan IPA II. Jakarta: Depdikbud.
Herman Hudojo. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_____________. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.
Jerome Bruner. (2011). Discovery Learning (Burner). Diakses pada tanggal 08 Juni 2014, http://www.learning-theories.com/discoverylearning-burner.html.
Johnson dan Rising. (1972). Math on Call : A Mathematics Hanbook, Great Source
Johnson, Elaine B.(2002). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (Alih Bahasa : Ibnu Setiawan). Bandung: MLC.
Nana Sudjana. (1989). Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
NCTM. (1989). Standard For Grades 9-12. Virginia: NCTM.
Marsigit. (2011). Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Dipresentasikan pada: Seminar Nasional Pengembangan Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika Sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Sabtu, 8 Oktober 2011 di Universitas Negeri Semarang.
Munadi Yudhi. (2013). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada Pers.
Peraturan Menteri Pendidikan nasional (Permendiknas) Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Principles and Standards for School Mathematics, V. a: National Council of Teacher of Mathematics, 2000 dari http://www.nctm.org/standards/default.aspx?id=58. Diakses pada tanggal 24 November 2014
(6)
120
Rachmawati. (2013). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Pada Materi Bangun Ruang. Gorontalo: FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.
Rochmad. (2012). Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Jurnal Kreano. Volume 3, nomor 1. Diakses dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kreano/article/view/2613 pada tanggal 31 Mei 2015.
Ruspiani. (2000). Kemampuan siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis PPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan
Siti Nuruniyah. (2012).Efektivitas Pendekatan Kontekstual dalam Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kepercayaan Diri Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Mlati.Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Pendidikan.Bandung:Alfa Beta.
Sumardyono. (2007). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Berbasis Masalah, Paket Pembinaan Penataran. Yogyakarta: PPPG
Theresia Widyantini. (2013). Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Sebagai Bahan Ajar. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Upik Pramita Dewi. (2012). Pengembangan Bahan Ajar Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing (Guided Discovery) untuk siswa kelas VIII Semester I. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Ulep, dkk. (2000). High School mathematics I &II, Sourcebook on Practical Work For Teacher Trainers. Quezon City: SMEMDP.
Wina Sanjaya.(2008). Pembelajaran dalam Implementasi Berbasis Kompetensi. Kencana: Jakarta.
____________.(2013). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pembelajaran. Kencana: Jakarta.