PERSPEKTIF MASYARAKAT ISLAM DAN MASYARAKAT KONGHUCHU TERHADAP UPACARA TINGKEBAN DI DESA SEDENGANMIJEN KECAMATAN KRIAN SIDOARJO.

(1)

PERSPEKTIF MASYARAKAT ISLAM DAN MASYARAKAT

KONGHUCHU TERHADAP UPACARA TINGKEBAN

DI DESA SEDENGANMIJEN KECAMATAN KRIAN

SIDOARJO

Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program sarjana

strata satu (S-1) ilmu ushuluddin dan filsafat

Oleh:

Nursyahbani Putri Al-iltizam Nim: E32212032

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

VII Abstrak

Kebudayaan di negara kita yaitu di Indonesia harus perlu terus dijaga, dibina dan dikembangkan. Kebudayaan Indonesia adalah suatu cermin dari identitas dan kepribadian bangsa Indonesia. Demikian pula tradisi sebagian dari hasil buddaya serta cipta, rasa dan karya manusia Indonesia perlu adanya pelestarian dan pengembangan lebih lanjut. Salah satu tradisi yang masih hidup subur dalam masyarakat jawa diantaranya adalah tradisi upacara tingkeban. Tradisi tersebut merupakan kebiasaan turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Upacara tingkeban bukan hanya sekedar sebagai tradisi melainkan sebagai suatu sistem religi. Yang dilakukandi sebuah desa Sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo.bahwa upacara tingkeban sampai sekarang masih dilaksanakan dan dilestarikan.

Yang ada hakekatnya dalam pelaksanaan upacara tingkeban mengandung aspek religi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, domumentasi dan kajian literatur. Sebagai obyek penelitan adalah masyarakat masyarakat desa sedanganmijen, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Waktu pelaksanaan penelitian ini di mulai dari bulan November s/d Juli 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif Agama Islam dan Agama Konghucu di dalam upacara tingkeban pada masyarakat desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo dan untuk mengetahui tatacara upacara tingkeban pada masyarakat desa sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upacara tingkeban di desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo dilaksanakan untuk orang mengandung 7 (tujuh) bulan pada kehamilan pertama. Upacara tingkeban menurut Islam adalah upacara di mana selamatan antara ibu dan anak waktu kehamilan berusia tujuh bulan. Dan menurut konghucu adalah upacara yang dianugrahi akannya kehamilan pada dirinya.

Fungsi upacara tingkeban pada masyarakat desa sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo adalah agar anak yang dikandungnya kelak apabila lahir mendapat keselamatan, terpelihara, terhindar dari bahaya, aman sentausa, tidak mendapat gangguan apapun juga.


(7)

XI DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... I PENGESAHAN ... II PERSEMBAHAN ... III MOTTO ... IV KATA PENGANTAR ... V ABSTRAK ... VII DAFTAR ISI ... IX

BAB I : PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II : LANDASAN TEORI A. KAJIAN TEORI 1. Budaya tentang Tingkeban ... 12


(8)

3. Tingkeban Dalam Perspektif Islam Dan Konghucu ... 18

4. Penelitian Terdahulu ... 22

BAB III : PENYAJIAN DATA A. Gambaran umum lokasi ... 25

B. Letak Geografis ... 26

C. Letak Demografi ... 27

D. Kondisi Umum ... 28

a. Ekonomi ... 28

b. Sosial ... 29

c. Agama ... 31

E. Tradisi Tingkeban Masyarakat Sedenganmijen ... 32

1. Bentuk dan proses bagi masyarakat beragama Islam ... 32

2. Bentuk dan proses bagi masyarakat beragama Konghucu .. 39

BAB IV : ANALISA DATA A. Tingkeban sebagai tradisi mewarisi nilai luhur ... 41

B. Tanggapan masyarakat Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo ... 44

BAB V : PENTUTUP A. Kesimpulan ... 50


(9)

XIII

C. Penutup ... 52

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... LAMPIRAN-LAMPIRAN ...


(10)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Sidoarjo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung sampai melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, Sedemikian rumitnya ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia.


(11)

2

Menurut Clifford Greertz tingkeban merupakan perayaan yang paling utama diantara perayaan yang lainnya seperti Telonan yaitu Tiga bulan masa kehamilan dalam proses kehamilan. Slametan utama ini diselenggarakan pada bulan ketujuh dari masa kehamilan. Tingkeban biasanya sebagai ibu, si ayah atau keduanya pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan).1 Meskipun masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara tingkeban, tetapi mereka masih kurang dapat memahami arti dan makna upacara tersebut, sehingga upacara tingkeban tidak lebih dari ritualitas yang terjadi dalam masyarakat untuk mengumumkan umur kandungan sebagai sambutan kelahiran anak.

Adat merupakan suatu fenomena yang hidup dan ditaati oleh masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi Tingkeban yang merupakan bagian upacara adat Jawa yang masih berlaku pada masyarakat Sidoarjo. Hal tersebut adalah salah satu contoh tradisi kebudayaan yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Mereka yakin dengan melakukan ritual atau tradisi ini akan terhindar dari celaka dan akan menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur atas nikmatnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan pemuka agama (ulama) dan tokoh-tokoh masyarakat di dusun Ngalik, desa Sedenganmijen, kecamatan Krian, Sidoarjo. Pada tanggal 16 November 2015, diperoleh informasi bahwa telah terjadi perbedaan pendapat pelaksanaan Upacara Tingkeban. Sebagian tokoh

1

Greertz Cliiford, Abangan,Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48


(12)

masyarakat berpendapat bahwa upacara tingkeban merupakan ritual yang perlu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan agama Islam dan cenderung mengarah keperbuatan syirik. Namun ada juga sebagian tokoh agama Islam dan beberapa masyarakat beranggapan bahwa upacara tingkeban perlu dilaksanakan sebagai sarana ibadah untuk berdo‟a kepada Allah SWT agar ibu dan bayi yang dikandungnya diberi kesehatan dan keselamatan, serta sebagai upaya mendidik anak di dalam kandungan karena upacara tingkeban itu mengandung berbagai nilai-nilai kebudayaan leluhur Islam.2 Dan menurut pendapat Agama Konghucu tingkeban adalah sama halnya sarana keselamatan atas bayi yang dikandungnya.

berdasarkan pemaparan di atas, penulis memilih judul “Perspektif masyarakat Islam dan masyarakat Konghucu terhadap upacara tingkeban di desa sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo” tersebut karena merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Tradisi ini muncul sebelum Islam masuk ke Indonesia dan sampai saat ini tradisi tersebut masih berjalan di desa sedenganmijen kecamatan krian Sidoarjo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang di atas, maka selanjutnya kami dapat merumuskan beberapa pertanyaan untuk lebih memfokuskan bahasan dalam penelitian itu.

2

Gus iwan , Wawancara, Desa sedenganmijen kecamatan Krian Sidoarjo, Pada tanggal 16 November 2015


(13)

4

1. Bagaimana pandangan agama Islam dan Konghucu terhadap upacara tingkeban di desa sedengamijen kecamatan krian sidoarjo ?

2. Bagaimana makna tradisi ritual keagamaan bagi masyarakat di Desa Sedenganmijen, Kecamatan Krian, Sidoarjo ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai keislaman tradisi tingkeban pada masyarakat Jawa di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Adapun secara pragmatis penelitian ini ditujukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui pandangan ajaran Islam dan Konghucu terhadap tingkeban di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo Jawa Timur.

2. Untuk mengetahui makna tradisi ritual keagamaan bagi masyarakat di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo dan warga sekitarnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat atau kontribusi sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan


(14)

khususnya yang berkaitan dengan masalah kebudayaan yang masih ada di desa tersebut.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. 3. Bagi Masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap

masyarakat yang beragama Islam maupun non-Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai keislaman dan menghormati agama lain yang terdapat pada tradisi ritual tingkeban.

4. Bagi Peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) disebut juga sebagai metode entrographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian Bagi “Perspektif Masyarakat Islam Dan Masyarakat Konghucu Terhadap Upacara Tingkeban Di Desa Sedenganmijen


(15)

6

Kecamatan Krian Sidoarjo” ini, adalah pendekatan dengan metode penelitian kualitatif deskriptif.

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu suatu penulisan yang berdasar pada data-data kejadian masa lampau yang sudah menjadi fakta. Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Karena penelitian ini bersifat penelitian lapangan, maka teknik pengumpulan data menggunakan metode sebagai berikut :

a. Observasi

Metode ini menjadi awal bagi penyusun untuk mengamati dan meneliti fenomena-fenomena, fakta-fakta yang akan diteliti.3 Dalam hal ini, penyusun mengadakan pengamatan secara langsung terhadap kondisi sosio-historis wilayah penelitian serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek penelitian.

3

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM),136


(16)

b. Wawancara

Pengambilan data dengan metode ini dilalui dengan proses tanya jawab, yang dilakukan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.4

Agar data penelitian ini dapat diperoleh secara lengkap dan sempurna, maka peneliti mengadakan wawancara langsung dengan pihak pemerintah desa dan tokoh agama setempat. Wawancara ini dilakukan dengan cara saling memahami, saling pengertian tanpa adanya suatu tekanan, baik secara mental maupun fisik, membiarkan objek penelitian berbicara secara jujur dan transparan. Sehingga data yang diperoleh cukup akurat dan valid, serta bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

c. Dokumentasi

Selain menggunakan tekhnik observasi serta wawancara, data dalam penelitian ini juga dapat dikumpulkan dengan cara dokumentasi, yaitu mempelajari dokumen-dokumen yang relevan dengan tujuan penelitian. Dalam bentuk dokumentasi tersebut utamanya berkenaan dengan: “Perspektif masyarakat Islam Dan masyarakat Konghucu Terhadap Upacara Tingkeban Di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo”

4

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta.cv), 231


(17)

8

d. Kajian Literatur

Kajian literatur merupakan penggalian data yang berkenaan dengan hubungan dengan “Perspektif masyarakat Islam Dan masyarakat Konghucu Terhadap Upacara Tingkeban Di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo” dari sumber buku yang terkait. Hal ini dilakukan untuk menambah wawasan tentang hal yang sedang diteliti dan untuk menganalisis fakta yang terjadi dengan teori-teori yang terkait dengan penelitian tersebut. Dengan demikian, skripsi ini bisa menjadi karya tulis yang berbobot.

2. Analisis Data

Setelah data terkumpul semuanya, selanjutnya data dari hasil observasi, interview dan angket dilakukan verifikasi dan klasifikasi sesuai kebutuan yang ada. Kemudian data tersebut dianalisa dan setelah itu diambil kesimpulan sebagai hasil akhir penelitian.

Tentang model ini dikemukakan dalam buku miles dan huberman. (Qualitative data analisis, 1986) dan sudah ada terjemahan bahasa indonesianya. Pada dasarnya model analisa data ini didasarkan pada pandangan paradigmanya yang positivisme. Hal ini ditegaskan oleh kedua penulis itu pendahulunya.

Analisa data itu dilakukan dengan mendasarkan diri pada penelitian lapangan apakah suatu atau lebih dari satu situs. Jadi serang analisis sewaktu


(18)

endak mengadakan analisis data harus menellaah terlebih dahulu apakah pengumpulan data yang telah dilakukannya satu situs dan dua situs atau lebih dari dua situs. Atas dasar pemahaman tentang adanya situs penelelitan itu kemudian diadakan pemetaan atau deskrispi tentang data itu kedalam apa yang dinamakan matriks. Analisis data mereka jelas menggunakan matriks.

Dengan memanfaatkan matriks yang dipetakan maka penelitian mulai mengadakan analisis apakah mengbandingkan, melihat urutan ataukah menelah hubungan sebab-akibat sekaligus. Ulasan selanutnya apabila pembaca ingin memperlajari model ini sebaiknya menekuni isi buku kedua penulis tersebut.5

3. Keabsahan data :

Dalam penelitian, setiap hal data harus dicek keabsahannya agar hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat dibuktikan keabsahannya.

Untuk pengecekan keabsahan data ini teknik yang dipakai oleh peneliti adalah trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.6 Pemeriksaan yang dilakukan oleh peneliti antara lain dengan :

a. Trianggulasi data, yaitu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, data hasil wawancara dengan

5

Prof. Dr. Lexy . Moleong, M.A metodelogi penelitatian Kualitatif, (bandung: PT remaja rosdakarya cetakan keduapuluhenam, febuaruri 20009) , 307-308

6


(19)

10

dokumentasi dan data hasil pengamatan dengan dokumentasi. Hasil perbandingan ini diharapkan dapat menyatukan persepsi atas data yang diperoleh.

b. Trianggulasi metode, yaitu dengan cara mencari data lain tentang sebuah fenomena yang diperoleh dengan menggunakan metode yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dibandingkan dan disimpulkan sehingga memperoleh data yang bisa dipercaya.

c. Trianggulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan kebenaran suatu fenomena berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, baik dilihat dari dimensi waktu maupun sumber yang lain.

F. Sistematika pembahasan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai isi dan pembahasan, maka skripsi ini yang disusun menurut kerangka sistematik sebagai berikut :

Bab I adalah bagian pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, Metode penelitian sistematika pembahasan.

Bab II menjelaskan tentang kajian teoritik penelitian terdahulu dan makna agama


(20)

BAB III menjelaskan tentang penyajian data berupa keberadaan suatu Tradisi Ritual Tingekeban (Gambaran umum masyarakat Di dusun ngalik desa sedenganmijen, Kecamatan Krian, SIDOARJO yang meliputi letak geografis dan kondisi umum masyarakat dari segi ekonomi, sosial, budaya serta agama dan kepercayaan) dan Tradisi Tigkeban mayarakat sedenganmijen (Bentuk dan proses pelaksanaan, Tempat dan waktu)

Bab IV merupakan tentang analisa data berupa Tingkeban sebagai kepercayaan atau Tradisi, Dan Tanggapan masyarakat desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo.


(21)

12 BAB II

Landasan Teori

A. Kajian Teori

Pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, peneliti membutuhkan beberapa referensi yang digunakan untuk menelaah obyek kajian yang digunakan untuk menelaah obyek kajian yang terkait dengan judul “Prespektif masyarakat Islam dan masyarakat Konghucu terhadap upacara tingkeban di desa sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo”, adapun kajian pustaka konseptual dalam judul ini antara lain :

1. Budaya Tentang Tingkeban

Tradisi tingkeban adalah suatu kebiasaan turun menurun yang dilakukan pada upacara tujuh bulan kehamilan pertama bagi wanita yang mengandung. 1 Meskipun zaman telah berkembang sedemikian modern dan mengikuti pereknomian disetiap sebagian warga masyarakat sedenganmijen. Acapkali masih jumpai warga masyarakat desa sedengamijen menggelar upacara-upacara tradisi yang diselenggarakan dengan tujuan tertentu. Seperti misalnya upacara tingkeban yang digelar oleh sebuah keluarga sebagai bagian dari rangkain persiapan kelahiran anak pertamanya.

1

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indnesia, Surabaya, departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989


(22)

Penulisan pada ritual tingkeban itu tersendiri menggunakan pendekatan “adaptasi kultural” untuk mengamati memahami serta menjelaskan mengenai kebudayaan yang tekandung dalam masyarakat, yaitu dengan cara mempelajari beraneka ragam budaya manusia dan mencoba memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan.

Dalam sebuah hadist yang menjelaskan tentang budaya “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem Agama saja, Islam adalah satu kebudayaan yang lengakap” demikian yang diungkapkan oleh H.A. Gibb dalam bukunya Wither islam. Adapun hadist lainya tentang budaya dasar :

“Dari Abu Sa‟id Al Khudri Radiallahuanha berkata : saya mendengar Rasullah Shollallohu „Alaihi Wa Salam Bersabda: siapa yang melihat kemungkaraan Maka Rubahlah dengan tangan, kita tak mampu maka rubalah dengan lisanya, kita tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya Iman (Riwayat Muslim).2

Sedangkan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Akulturasi yang dikemukan oleh Koentjaraningrat. Penulis menggunakan teori ini guna untuk menyatakan bahwa penelitian-penelitian yang menyangkut proses sosial akan terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebuadyaan asing tersebut lambat laun diakomondasikan dan di integrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaan sendiri.

2

Imam Al—mundziri, Ringkasan Shahih Muslim (Jakarta:Pustaka Amani,2003) , 24


(23)

14

Di dalam kehidupan sehari-hari yang dibicarakan orang-orang tenang budaya tradisi atau kebudayaan tersebut dikehidupan sehari-hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan.Kebudayaan merupakan ciptaan manusia selaku anggota masyarakat, maka tidak ada yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, masyarakat sebagai wadah dan pendukung dari kebudayaan.

Kata budaya menurut perbendarahaan bahasa Jawa berasal dari kata “budi dan “daya”. Dua kata yang digabungan menjadi satu kata baru membentuk pengertian baru dinamakan jarwodosok. Pemadatan dua kata menjadi satu kata bermaksud untuk menyatukan arti kata tersebut kedalam satu arti baru yang mudah diingat. Agar kata bentukan tersebut mudah diucapkan, cara yang ditempuh ialah dengan mengambil salah satu suku kata dari kata pertama digabung dengan salah satu suku kata kedua. Terbentuklah kata baru yang maknanya baru, namun tidak terlepas dari pengertian kata-kata semula.

Gerrtz melihat Agama dalam perspektif kebudayaan sebagai pola untuk melakukan tindakan (pattern for behavior) dan menjadi sesuatu yang hidup dalam diri manusia terwujud dalam kehidupan sehari-hari dengan demikian, Agama merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindaan manusia. Menurut Clifford Greertz menjelaskan bahwa Tingkeban merupakan perayaan yang paling utama diantara perayaan yang lainnya (seperti Teloonan, Tiga bulan masa kehamilan) dalam proses kehamilan perempuan. Slametan utama ini


(24)

diselenggarakan pada bulan ketujuh dari masa kehamilan. Tingkeban biasanya si ibu, si ayah atau keduanya pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan). 3

Prof.Dr.Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah, bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Jadi kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. P.J. Zoetmulder dalam bukunya Cultuur, Cost en West berpendapat bahwa asal kata “budaya” itu perkembangan dari kata majemuk “budi-daya” (daya dari budi kekuatan dari akal).

Masyarakat Jawa atau tepatnya suku Jawa, secara antropologi budaya adalah orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-menurun. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Menurut Clifford Geertz yaitu dalam usaha melancarkan intergrasi seperti itu dari sisi antropologis dan dengan cara demikian mencapai sebuah gambaran yang lebih pasti tentang manusia, saya ingin mengajukan dua gagasan. Yang pertama dari gagasan-gagasan itu adalah bahwa kebudayaan paling baik dilihat tidak sebagai kompleks-kompleks pola-pola tingka laku konkret, misalnya adat-istiadat, kebiasaan-kebisaan, tradisi-tradisi, kumpulan-kumpulan kebiasaan, seperti yang pada umumnya dilakukan sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol yaitu rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-intruksi (apa yang disebut sebagai program-program” oleh para ahli komputer), untuk mengantur tingkah

3

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48


(25)

16

laku. Gagasan kedua adalah bahwa manusia persis merupakan hewan yang paling tergantung mati-matian pada mekanisme-mekanisme kontrol di luar kulit yang bersifat ekstragenetis itu, program-program kultural itu, untuk mengantur tingkah lakunya.

Masyarakat sedenganmijen pada dasarnya adalah masyarakat yang masih mempertahankan budaya dan tradisi ritualnya. Misalnya dalam masa kehamilan, kelahiran, masa perkawinan. Salah satu tradisi dalam adat jawa yaitu tingkeban yang termasuk dalam peristiwa kelahiran. Dalam penyelenggaran ritual ini ada beberapa rangkaian yang harus dilaksanakan diantaranya siraman dan slametan. Dalam slametan banyak dijumpai adanya sjen-sajen yang mempunyai makna dan simbol yang terkandung didalamnya.

Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Sehingga tidaklah berlebihan ika ada ungkapan,” begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol. Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.

2. Simbol dan makna dalam tingkeban

Berbicara tentang makna dan simbol, maka keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Pada hakkatnya pengetahuan manusia adalah pengetahuan yang simbolis. Fungsi utama dari simbol-simbol itu adalah untuk mempermudah berkomunikasi. Komunikasi manusia tidak hanya dengan sesamanya melainkan


(26)

juga dengan sesamanya, melainkan juga dengan makhluk di luar dirinya, yang bersifat supranatural atau goib, demi menjaga keseimbangan dalam alam hidupnya. Ketika manusia berkomunikasi dengan sesama selalu diungkapkan dengan kata-kata, sebagai salah satu bentuk dari tindakan simbolik. Akan tetapi kalau manusia itu berkomunikasi dengan mahkluk yang lain atau yang ritual maka tindakan komunikasinya adalah secara simbolik.4 Dengan demikian simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dengan religi, sebab religi merupakan suatu sistem dan simbol-simbol dimana manusia berkmunikasi dengan alam didunia. Dengan kata lain dengan melalui upacara/ selametan maka manusia bisa mengekpersian gagasan-gagasan lewat tindakan-tindakan simbolik.5

Sebuah simbol dari perspektif SAUSSUREAN adalah sejenis tanda dimana hubungan antara penanda dan pertanda seakan-akan bersifat arbiter konsekuensinya. Gabungan kesejarahan mempengaruhi pemahaman kita. Saussure menerangkan sebagai berikut “ salah satu karakteristik dari simbol adalah bahwa simbol tak pernah benar-benar arbiter. Hal ini bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda simbol keadilan yang berupa timbangan tak dapat digantikan oleh simbol lainnya seperti kendaraan (kereta) misalnya.6

Di dalam tingkeban terdapat macam simbol-simbol yang diantaranya 3 macam variasi. Pertama terdapat suguhan untuk para tamu diantaranya : tumpeng, sego

4

Soselisa, Makna simbolik beberapa sajen slametan tingkeban, sebuah kajian mengenai prinsip kesimbangan dalam knsep pemikiran jawa (yogyakarta: Fakhultas universitas gajah mada,1987), 2

5

Geertz cliford. Abangan santri priyayai dalam masyarakat jawa, (jakarta: pustaka Jaya, 1983), 22

6

Arthur asa berger, Tanda tanda dalam kebudayaan kompentorer,(Yogyakarta: Pt Tiara Wacana Yogya, 2000 23


(27)

18

golong, iwel-iwel, clorot, sego kabuli, rujak legi atau yang disebut Rujak Gobet. Kedua terdapat disiraman calon ibu, seperti : air kembang setaman yakni air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil. Dan ketiga atau simbol utamanya terdapat di kelapa gading muda (cengkir gading).

Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual tingkeban demikian, memang tampak bahwa masyarakat desa sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat desa sedenganmijen menganggap tingkeban sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi budaya selamatan ritual tingkeban adalah:

(1) untuk mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan

(2) untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, oraono apo-apo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alamsekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) menunjukkan karaktermasyarakat desa sedenganmijen yang berpikir asosiatif.

3. Tingkeban Dalam Perspektif Islam Dan Konghucu

Merupakan perayaan yang paling utama diantara perayaan yang lainnya (seperti Teloonan, Tiga bulan masa kehamilan) dalam proses kehamilan perempuan. Slametan utama ini diselenggarakan pada bulan ketujuh dari masa


(28)

kehamilan. Tingkeban biasanya si ibu, si ayah atau keduanya pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan).7

Tradisi tingkeban adalah suatu kebiasaan turun menurun yang dilakukan pada upacara tujuh bulan kehamilan pertama bagi wanita yang mengandung. 8 Meskipun zaman telah berkembang sedemikian modern dan mengikuti pereknomian disetiap sebagian warga masyarakat sedenganmijen. Acapkali masih jumpai warga masyarakat sedengamijen menggelar upacara-upacara tradisi yang diselenggarakan dengan tujuan tertentu. Seperti misalnya upacara tingkeban yang digelar oleh sebuah keluarga sebagai bagian dari rangkain persiapan kelahiran anak pertamanya.

Menurut ulama di Desa Sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo, terkait tingkeban seperti penghormatan si ibu dan si jabang bayi. Maksudnya segala bentuk jamuan yang disuguhkan dan dihidangkan dalam waktu-waktu tertentu, seperti saat pernikahan, khitan, kelahiran atau atau hal-hal lain yang ditujukan sebagai wujud rasa kegembiraan itu dinamakan walimah haml, hanya saja kata walimah biasanya diidentikkan dengan hidangan dalam acara pernikahan (walimatul 'arus). 9

Dewasa ini banyak orang Islam yang masih melaksanakan upacara selamatan yang merupakan peninggalan nenek moyang yang dilatarbelakangi oleh ajaran-ajaran non Islam. Tradisi yang sudah menjadi budaya masyarakat itu sulit untuk

7

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

8

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indnesia, (Surabaya :departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989)

9


(29)

20

dihilangkan, terutama dalam masyarakat sedeganmijen. Bagi orang desa sedenganmijen, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematian. Salah satu tradisi ritual dalam adat Jawa yaitu tingkeban yang termasuk dalam peristiwa kelahiran.

Tradisi -tradisi dalam masyarakat Islam yang seringkali dicap sebagai Bid‟ah, karena alasan masalah itu tidak ada pada zaman Rosulullah dan zaman salaf (angkatan pertama), atau karena tradisi itu hasil cangkokan tradisi masyarakat pra-Islam di Indonesia, adalah banyak sekali, seperti: Selametan, upacara-upacara pernikahan, kematian, kelahiran bayi, membangun rumah dan lain-lain. Ada diantara tradisi tersebut sudah diisi penuh dengan nilai-nilai Islam, meskipun namanya masih tetap atau sebagian penampilannya belum berubah penuh, seperti “selamatan” yang sudah dihilangkan sesajennya, diganti dengan shodaqoh makanan, diisi dengan membaca ayat-ayat Al-Qur‟an dan do‟a kepada Allah s.w.t.

“Menurut Imam Al-Ghozali menyatakan: Tidak semua bid‟ah itu dilarang, yang dilarang adalah yang bertentangan secara pasti dengan As-Sunnah yang jelas (sunnah tsabitah) atau menghilangkan ketentuan syara‟yang masih tetap ada ilalnya (dasar alasannya), malah perbuatan bid‟ah itu kadang-kadang menjadi wajib dalam suatu keadaan apabila terjadi perubahan berbagai macam sebab yang mendoronganya.”10

10

Muhammad Tholhah Hasan , Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet 3, 232


(30)

Namun disisi agama Konghuchu sedikit serupa dengan pandangan Islam akan tetapi bentuk jamuan yang disuguhkan atau dihidangkan tersebut dengan memuja para dewa-dewi di tempat peribadahan tridama (kelenteng). Dengan melihat kalender cina dan kalender jawa untuk menunggu hari baik supaya bisa di jamuan dan disuguhkan.

Pembahasan mengenai asal-usul manusia (kehamilan) menurut agama Khonghucu, tidak banyak dijelaskan. Pada kitab suci Su Si pun tidak ditemui adanya pembahasan mengenai asal-usul manusia. Pembahasan mengenai hal ini dibahas pada Kitab Li Ji atau Li Chi (kitab kesusilaan),yang merupakan bagian dari Kitab Ngo King atau Wu Ching.

Manusia dalam agama Khonghucu berasal dari kedua orangtua, dianugerahi sifat-sifat mulia dan agung sejak lahir oleh Thian. Manusia juga diberikan perintah suci dalam menyampaikan ajaran agamanya kepada seluruh umat Khonghucu. Perintah suci tersebut akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Thian. Oleh karena itulah maka manusia ditempatkan dalam kedudukan tertinggi.

Pada kitab Li Ji, salah satu dari tiga kitab Li Jing (kitab kesusilaan) disuratkan: “Qi atau semangat itulah pernyataan adanya roh. Bo atau daya-daya hidup itulah pernyataan adanya nyawa. Tujuan pengajaran agama mengharmoniskan lahiriah dan rohaniah manusia. Semua yang dilahirkan akan mengalami kematian, yang mati itu akan kembali ke tanah, inilah yang dinamai berhubungan dengan nyawa, tulang, daging, semua jasad yang


(31)

22

berwatak yin (negatif) akan kembali ke tanah/bumi. Sedangkan semangat akan berkembang naik bergemilang (kembali kepada Tian) diiringi harum dupa yang semerbak. Itulah pernyataan adanya roh.” 11

4. Penelitian Terdahulu

Sepanjang pengatahuan peneliti, peneliti pernah menjumpai sebuah karya ilmiah yang berupa skripsi dan artikel. Oleh karena itu peneliti mempertegas adanya perbedaan karakter yang terdapat pada peneltian ini, diantaranya :

Sumantarsih dalam skripsinya “Islam Dalam Dwi Sri Tradisi Jawa” yang menyatakan bahwa dalam masyarakat agraris (terutama di Jawa), tradisi penghormatan terhadap kehadiran Dewi Sri masih berlangsung sampai sekarang. Simbolisme penghormatan terhadap Dewi Sri tampak dalam ritus-ritus perkawinan (midodareni), tata ruang bangunan, dan ritus-ritus-ritus-ritus pertanian. Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka acuan berpikir bagi orang Jawa khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup yaitu perkawinan, memperlakukan rumah dan tanah pertaniannya. Dalam struktur berfikir, mereka percaya bahwa asal-usul benih kehidupan berasal dari dunia atas (dewa) yang diberikan kepada dunia bawah (manusia). Supaya benih kehidupan tetap terjaga keberlangsungannya maka harus dijaga hubungan dunia atas dengan dunia bawah dengan melalui ritus-ritus. Ritual atau

11

Setianda Tirtarasa,” Mengenal Agama Khonghucu dan Masalah Korupsi,” dalam Tjhie Tjay,Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama Khonghucu, (Jakarta: Departemen komunikasi dan informatika, 2006),121


(32)

slametan yang masih dilaksanakan terkait dengan penghormatan kepada Dewi Sri antara lain adalah Tingkeb Tandur dan Methik.

Ritual yang dilakukan ketika padi berumur dua bulan oleh sebagian masyarakat petani adalah slametan Tingkeb Tandur. Ritual Tingkeb Tandur dilaksanakan oleh masyarakat petani dilatarbelakangi oleh kondisi lahan di desa tersebut yang rawan terhadap bencana banjir dan kekeringan. Perspektif Agama Islam yang terdapat di dalam tradisi ini sangat sedikit yaitu penghormatan manusia kepada Tuhan yang maha esa dengan pengucapan rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan kepada yang maha kuasa. Perwujudan syukur terhadap nikmat yang telah diberikan merupakan salah satu contoh ajaran Islam yang dilakasanakan dalam tradisi ini.12

Agustin Dwi Mardikaningtyas dalam skripsinya “Prosesi Adat Mitoni Ditinjau Dari Aspek Pendidikan Moral” yang menyatakan bahwa rangkaian upacara tingkeban yang dianggap penting adalah upacara shaman. Untuk menemukan ajaran etikanya akan terlihat dari makna simbol-simbol yang terdapat dalam alas-alas yang dipergunakan. Asal muala upacara mitoni disebabkan karena manusia merasa ada krisis dalam hhidup invidualnya. Dalam kehidupan manusia terdapat beberapa taraf yaitu kelahiran, masa desawa, perkawinan, meninggal. Taraf yang satu dengan taraf yang lain dinamakan dengan taraf peralihan. Pada taraf perahlian ini disebut dengan masa krisis. Masa hidupnya manusia itu

12


(33)

24

mengalami banyak krisi yang menjadi objek perhatiannya dan seringkali amat menakutkan.13

13

Madikaningtyas dwi agustin, Prosesi Adat Mitni Ditinjau Dari Aspek Pendididkan Moral. Skripsi, Uinversitas Muhammmadiyah Surakarta 2008


(34)

25 BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Gambaran Umum Lokasi

Desa Sedenganmijen adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Krian adalah kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. Krian teletak di 20 km sebelah barat daya Surabaya. Di desa sedenganmijen adalah desa yang dimana wilayahnya terkecil dalam segi perekonomian. Dikarena banyak warga disekitar minim ada penghasilan meskipun letak desa tersebut terjangkau oleh pengusaha-pengusaha yang melewati jalur tersebut.


(35)

26

Gambar 1.2 letak posisi kecamatan krian

B. Letak Geografis

Desa sedengamijen adalah salah satu desa yang di kelilingi oleh pusat-pusat industri, luas wilayah desa sedenganmijen sekitar 133,355 H, desa sedenganmijen terbagi menjadi empat desa batas wilayah dan 4 batas ibukota atau kotamadya. Diantaranya penjelasan diatas batas-batas sebagai berikut :

a. Batas wilayah terdiri dari :

1. Sebelah utara : desa gamping 2. Sebelah selatan : desa simogirang 3. Sebelah barat : desa tropodo 4. Sebelah timur : desa tanggul b. Batas 4 ibukota kabupaten/kotamadya :

1. Sebelah Timur : Surabaya 2. Sebelah Selatan : Sidoarjo


(36)

3. Sebelah Barat : Mojokerto 4. Sebelah Utara : Gresik

Berdasarkan dari data monografi desa, secara keseluruhan luas wilayah Desa sedenganmijen adalah 133,355 ha yang meliputi 4 Desa seperti hal yang sudah disebut di atas. Luas jarak dari pusat pemerintah kecamatan 3 km, dan jarak dari ibukota kabupaten 18 km. Yang terdiri dari petanahan, sungai, sawah dan lain-lain (lapangan, kuburan, dan ladang).1

Lokasi desa Sedengamijen kecamatan Krian juga sangat strategis dari sisi transportasi, karena merupakan salah satu jalur transportasi utama (Jalan Negara) dari Surabaya-Jakarta melalui jalur selatan (Madiun-Solo-Semarang/Jogja- Bandung-Jakarta). Selain itu, jalur kereta api Surabaya-Bandung-Jakarta juga melewati daerah ini. Terdapat pula jalur bypass Krian untuk memperlancar transportasi yang melewati Krian.

C. Letak Demografi

Dari hasil data kependudukan penelitian yang saya peroleh dilihat dari demografi di Desa Sedenganmijen, pada awal tahun 2009-2016 sebagai berikut :

A. Jumlah penduduk menurut : 1. Jenis kelamin :

a. Laki-laki :1967 orang

1


(37)

28

b. Perempuan : 1953 orang 2. Kewarganegaraan

1. WNI : Laki-laki : 1967 orang Perempuan : 1953 orang 2. WNA : Laki-laki : -

Perempuan : - Jumlah : -

Dari keterangan di atas penduduk yang menetap di wilayah Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo. Jumlah keseluruhannya adalah sekitar 3920 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari 1060 KK(kepala keluarga).

D. Kondisi Umum

a. Ekonomi

Dengan lokasi strategis yang memberi banyak keuntungan bagi Krian, terutama dalam segi ekonomi, karena sebagai salah satu kawasan satelit bagi Surabaya. Banyak sekali perusahaan yang berdiri di lokasi Krian dan sekitarnya, sehingga mampu menjalankan roda perekonomian masyarakat.

A.Jumlah penduduk berdasarkan mata pencarian: a. Karyawan :


(38)

2) ABRI : 15 orang 3) Swasta : 170 orang 4) Tani : 112 rang 5) Wiraswasta pedagang : 181 orang 6) Pertukangan :25 orang 7) Buru tani : 14 orang 8) Jasa : 2 orang

b. Sosial

Didalam segi sosial banyak yang mempengaruhi untuk masyarakat Sedenganmijen dan sekitarnya diantaranya dalam hal kesehatan, pendidikan dan organisasi. Dalam kesehatan warga sedenganmijen cukup antusias dalam program yang dibuat pemerintah dan program yang diadakan pihak kelurahan seperti dua anak cukup.

Lalu didalam kondisi pendidikan di Desa Sedenganmijen terdapat beberapa lembaga pendidikan umum dan pendidikan khusus, diantaranya sebagi berikut:

A. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan a. Lulusan pendidikan umum

1) Taman kanak-kanak : 98 orang 2) Sekolah dasar : 80 orang 3) SMP/SLTP : 45 orang


(39)

30

4) SMA/ SLTA : 35 orang 5) Akademik D1-D3 : 1 orang 6) Sarjana (S1-S3) : 19 orang B. Lulusan pendidikan keagamaan Islam

1) Pondok pesantren : 15 rang 2) Madrasah : 41 orang

Meskipun lembaga pendidikan terlihat sangat terbatas sebagaimana disebutkan diatas, namun karena Desa Sedenganmijen termasuk dalam kategori desa yang telah modern. Dikarenakan dekat usaha atau industri terbesar di wilayah sekitar Krian. Maka keterbatasan dalam pendidikan tidak menyurutkan niat masyarakat Desa Sedenganmijen untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Gambaran organisasi pemerintahan di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo adalah sebagai berikut:

1. Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) 2. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

3. Organisasi kewanitaan. Yang memiliki struktur sendiri dan mendukung terhadap pemerintahan desa, diantaraanya organisasi PKK dan dana organisasi Koperasi Wanita.

Selain dari itu, di desa Sedengamijen ini terdapat juga organisasi-organisasi keagamaan yang akan dapat dilihat di bagian segi keagamaan.


(40)

c. Agama

Masyarakat desa Sedenganmijen terkenal religius, karena di kelurahan Serdenganmijen pada malam hari kamis malam jum’at mengadakan pengajian.Yang diikuti semua jajaran dari Kepala Desa (Kades) sampai pengurus-pengurus di balai. Disamping itu juga diikuti desa, dan wajiub diikuti masyarakat sedenganmijen turut serta dalam pengajian itu.2

Mengenai masalah keagamaan di Desa Sedenganmijen bisa dikatakan sangat baik. Hal itu bisa di buktikan adanya idelogi dan politik, seperti :

a. Jumlah Organisasi sosial (yayasan dan sebagainya) : 2 organisasi b. Jumlah organisasi kemasyarakat : 4 organisasi c. Jumlah tokoh masyarakat dan politik : 38 orang d. Jumlah organisasi profesi : 4 organisasi

Seperti halnya adanya kegiatan tahlilan yang dilakukan masyarakat desa Sedenganmijen. Karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa sedenganmijen dalam setiap menghadapi peristiwa kematian, syukuran, walimahan, dan sebagainya. Disamping itu kegiatan yasinan masyarakat desa sedenganmijen.Yasinan merupakan hal yang bermanfaat bagi kehidupan beragama maupun kehidupan sosial bagi masyarakat sekitar yang mengadakannya.

Adapun jumlah penduduk menurut Agama/ penghayat di wilayah Desa sedenganmijenkecamatan krian sebagai berikut:

2


(41)

32

1. Agama Islam : 3907 Orang 2. Agama Kristen : 7 Orang 3. Agama Katholik : 4 Orang 4. Agama budha : 1 orang 5. Agama konghucu : 10 orang

Disini juga terdapat terbagi organisasi-organisasi politik seperti : Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR, Demokrat. Disamping itu juga terdapat organisasi keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama’ (NU), dan Muhammadiyah (MD). Tak kalah pentingnya organisasi pendidikan keagamaan seperti, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) juga memiliki peran yang besar dalam memberikan pemahaman tentang agama pada masyarakat. Karena program pokok dari TPQ yang paling utama adalah mengajar ngaji bagi masyarakat Sedenganmijen yang belum bisa membaca Al-Qur’an.

E. Tradisi Tingkeban Masyarakat Sedenganmijen

1. Bentuk dan proses pelaksanaan bagi masyarakat yang beragama

Islam dan Konghucu

Prosesi tingkeban di desa Sedengamijen menurut warga sekitar dilakukan dengan penghitungan Jawa yang tepat bagi si ibu dan jabang bayi. Misalnya pada


(42)

setiap hari wage, karena diasumsi wage itu hari yang tepat bagi si ibu dan jabang bayi tidak bisa lepas dari empat unsur alam seperti air, api, tanah dan udara. Setelah dilakukan penghitungan Jawa barulah pelaku yang di tingkeban tersebut melakukan tradisi.

Tapi menurut mbah paimin tingkeban didesa Sedenganmjien melalui penghitungan Jawa, yang berdasarkan 2 (dua) bahasa atau disebut hariannya :

Pertama, tingkeban sawah dilakukan pada hari kamis keliwon.Maksudnya waktu produksi panen biasanya dilakukan untuk tingkeb sawah atau tingkeb pari. Karena disaat produksi panen disawah maka berlimpah hasil cocok tanaman dengan tepatnya waktu walimah hamil Kedua, tingkeban biasa dilakukan pada hari rabo wage. Maksudnya dihari ini biasanya tidak mempunyai aktivitas yang disekitarnya seperti tingkeban sawah. Berdasarkan hari yang terdapat diatas harinya baik untuk dilakukan tingkeban akan tetapi dilihat struktur sekitar wilayah tersebut dan tradisi keluarganya.3

Tingkeban istilah lainnya adalah “Pasungan” salah satu tradisi mayarakat didesa Sedenganmijen. Terkadang salah satu tradisi mempunyai istilah tersendiri dikalangan sesepu keluarga besarnya. Misalnya tingkeban tanduk dengan cara tingkeban dengan tumbuhan pari atau padi. Dengan masyarakat beragama Islam.

Agama Konghucu prosesi tingkeban sama akan tetapi pententuan tanggal. Mereka melihat adanya dua kalender untuk cara penghitungannya dikalender Cina dan Jawa.

3


(43)

34

Setelah banyak beberapa sesaji yang disiapkan untuk melakukan sebuah tradisitingkeban bahan-bahan yang digunakan untuk disuguhkan antara lain tumpeng, sego golong, iwel-iwel, clorot, sego kabuli, rujak legi atau yang disebut Rujak Gobet. Untuk proses memulaidari suatu ritual Tingkeban menunggu para undangan dari sanak keluarga sudah hadir. Maka acara ritual tingkeban dimulai, yang di sambutan tuan rumah. Setelah ramah tamah oleh sambutan tuan rumah dilakukan langkah selanjutnya di awali upacara sungkeman. Upacara sungkeman yang dilakukan oleh calon ibu kepada orangtua, mertua dan suami. Sungkeman ini dimaksud untuk memohon doa restu sebagai ungkapan kesadaran akan adanya tugas besar yaitu melahirkan anak, mendidik dan membesarkannya.

Setelah sungkeman, dilanjutkan dengan acara siraman. si calon ibuyang akan di tingkebanakan dimulai memamandikannya. Yang di mitoni tersebut disebut Tingkeban, dengan air kembang setaman yakni air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil. Tingkeban ini dimulai pelaksanaanya apabila usia kehamilan seseorang ibu berusia 7 (tujuh) bulan dan usia kandungan tersebut yang pertama kali di kandungnya. 4

Pembersihan yang dilakukan dengan cara menyiram tersebut bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga bila kelak si calon ibu melahirkan, tidak mempunyai beban moral sehingga bila kelak si calon ibu lancar. Acara siraman dapat dilakukan di luar rumah (bila dilakukan acara besar-besaran) atau di kamar mandi (jika tidak memilik dana).

4


(44)

Sesuai siraman, calon ibu kemudian mengeringkan badan dan berbalut kain warna putih. Dilanjutkan upacara brojolan yang terdiri dari beberapa tahap

yaitu tahap “meluncurkan telur”, sang suami memasukan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) sang calon ibu, yang dimasukkan dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksnakan ditempat siraman sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa arah melintang.

Tahap selanjutnya adalah “membuka atau memutus benang, atau lilitan

benang, atau janur”. Calon ibu dibawa ke tempat yang telah disiapkan, kemudian

seutas lawe atau janur akan dililitkan pada perut calon ibu. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah menggunakan sebatang keris, kemudian dibuang jauh-jauh dengan maksud agar kelahiran bayi nantinya berlangsung lancar. Makna yang terkandung didalamnya adalah menjauhkan calon ibu dari marabahaya, yaitu dengan membuang segala rintangan yang akan menghalangi persalinannya kelak.

Setelah membuka atau memutus lawe, dilanjutkan dengan memasukkan sepasang kelapa gading muda (cengkir gading) yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.5

Upacara ini dilakukan oleh nenek calon bayi (ibu dari calon ibu) dan diterima oleh nenek besan. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembadra melambangkan bila si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya

5


(45)

36

dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal bagi orang Jawa. Maknanya jika kelak bayi yang lahir adalah laki-laki maka diharapkan akan tampan, bijaksana, pintar dan mempunyai sifat luhur seperti Kamajaya, dan jika kelak bayi yang lahir adalah perempuan, diharapkan cantik lahir dan batin, cerdas dan mempunyai sifat-sifat luhur seperti Dewi Kamaratih.

Seusai diterima oleh nenek besan, cengkir gading selanjutnya dimasukkan dalam sebuah gentong. Sang calon ayah akan mengaduk-aduk gentong isi kelapa tersebut sambil menghadap ke arah hadirin (seperti mengaduk kupon undian), setelah itu mengambil satu buah kelapa. Menurut mitos, jika yang diambil gambar Kamajaya maka kelak anaknya akan lahir laki-laki, sedangkan bila yang diambil gambar Kamaratih maka kelak anaknya perempuan. Setelah itu, cengkir gading tersebut dibelah oleh calon ayah yang melambangkan bahwa telah dibukakan jalan bagi anaknya untuk dapat lahir sesuai jalannya.

Memasuki upacara ganti tujuh busana, dilakukan dengan menggunakan kain panjang dan kemben sebanyak tujuh buah dengan motif yang berbeda. Motif kain panjang dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Sesuai tradisi, setiap kali sang calon ibu mengenakan kain dan kemben, akan ditanyakan pada para hadirin apakah busana yang dikenakan sudah pantas atau belum. Atas pertanyaan tersebut, para hadirin dimohon menjawab bersama-sama

“belum pantas” sebelum sang calon ibu mengenakan kain yang ketujuh.6

6


(46)

Adapun makna dari ketujuh kain dan kemben yang digunakan untuk berganti busana sang calon ibu diuraikan sebagai berikut:

1) Kain Sidomukti; jenis kain ini melambangkan kebahagiaan,

“kamuktèn”, atau kesejahteraan yang diharapkan akan dimiliki oleh anak yang

akan lahir nanti. Kain ini biasanya diapakai dalam upacara resmi yang melambangkan kebesaran pangkat dan karir seseorang. Kain ini juga sebagai ungkapan akan harapan yang mendalam, agar kehadiran anak tersebut akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang tua, keluarga, dan sesamanya,

2) KainWahyu Temurun; melambangkan turunnya benih kehidupan, yaitu anugerah Tuhan atas benih seorang anak dalam kandungan seorang ibu. Hal ini juga mengandung harapan agar dalam kehidupan anak tersebut akan selalu dipenuhi berkat melimpah,

3) Kain Sidoasih; melambangkan cinta suami istri sebagai dasar utama dalam menghadapi suka duka perjalanan hidup. “Asih” berarti cinta dan belas kasih. Kain ini melambangkan pengharapan orang tua bagi anak-anaknya, agar menjadi manusia yang memiliki kasih terhadap sesame,

4) Kain Sidodrajat; mengandung harapan agar anak yang akan lahir nanti, akan mempunyai derajat yang tinggi dan dihormati dalam masyarakatnya,

5) Kain Sidodadi; mengandung harapan agar anak yang akan dilahirkan menjadi orang yang sukses,


(47)

38

6) Kain Babon Angkrem; melambangkan sesuatu yang berjalan dengan normal. Hal ini mengandung harapan agar proses persalinan yang akan dihadapi nanti dapat berlangsung secara alamiah, dan

7) Kain Tumbar Pecah; seperti “ketumbar” yang ditumpahkan dari

tempatnya, demikianlah pralambang dari jenis kain ini. Makna di dalamnya mengandung harapan bahwa persalinan akan berjalan dengan lancar dantanpa adanya suatu halangan.Penggunaan atau pemilihan motif kain dan kemben yang digunakan oleh calon ibu dalam upacara tingkeban dapat berbeda-beda atau bervariasi tergantung pada makna yang terkandung di dalamnya.

Dan acara yang diakhiri dengan berjualan rujak dan makan bersama. Sebelumnya, pasangan calon ibu dan ayah telah berganti pakaian, dan mempersiapkan diri untuk berjualan rujak. Kepada para hadirin dibagikan dhuwit-dhuwitan dari kreweng atau uang-uangan dari tanah liat yang telah dibentuk sedemikian rupa, sehingga dapat puladijadikan souvenir. Uang-uangan tersebut

digunakan untuk “membeli” rujak kepada pasangan calon ibu dan ayah. Rujak

yang disajikan dibuat dari tujuh macam buah-buahan.

Tradisi jualan rujak melambangkan harapan agar anak yang dilahirkan nanti dapat meneladani ketekunan orangtuanya, khususnya sang ibu dalammemberikan kesegaran kepada sesama, yang dilambangkan dengan segarnya rujak yang telah dibuat dari tujuh macam buah-buahan. Terkadang rujak di siapkan juga untuk acara pengajian bila dilakukan acara besar-besaran. Rangkaiaan diatas adalah dimana tradisi tingkeban si sisi dalam agama islam.


(48)

2. Bentuk dan proses bagi masyarakat beragama Konghucu

Melainkan rangkaian perayaan suatu ritual di agama konghucu sangat sederhana sekali. Pertama-pertama, menemukan hari yang pas pada dua kalender Jawa dan Cina. Untuk supaya di berkahi sang pencipta. Lalu setelah menemukan tanggal yang pas, di pagi hari semua keluarga besar akan melaksanakan suatu ibadat di tri dharma “teng swie sio”.Untuk pengormatan kepada para dewa-dewi atas diberikan karunia sebuah anak. Dan waktu sore atau malam harinya akan membuat acara syukuran untuk keluarga besar. berupa nasi tumpeng dan makan-makan untuk wujud rasanya bersyukur atas tuhan berikan tersebut.7

Dalam tradisi tingkeban terkadang sekali warga desa Sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo, upacara makan bersama juga menjadi bagian yang penting dari rangkaian upacara tingkeban karena dengan makan bersama semua yang hadir diajak mensyukuri rejeki dan anugerah dari Tuhan.

Meskipun zaman telah berkembang sedemikian modern dan mengikuti perekonomian masayarakat disetiap desa sedenganmijen kecamatan krian sidoarjo. Acapkali masih dijumpai warga masyarakat sedengamijen menggelar upacara-upacara tradisi yang diselenggarakan dengan tujuan tertentu. Seperti misalnya upacara tingkeban yang digelar oleh sebuah keluarga sebagai bagian dari rangkain persiapan kelahiran anak pertamanya.

Pada dasarnya upacara tingkeban yang diadakan di desa Sedenganmijen Krian Sidoarjo adalah realisai tradisi nenek moyang.Yang dikenal secara

7


(49)

40

mendalam dikalangan masyarakat dengan istilah mengikuti orang terdahulu. Dimana pelaksanannya tersebut merupakan upaya pelestarian apa yang yang dikerjakan dalam generasi tua telah mentradisi turun menurun sampai sekarang, akan tetapi kadangkalahnya ritual tradisi tersebut melihat perekonomian setiap satu keluarga.


(50)

41 Bab IV

Analisa Data

A. Tingkeban sebagai Tradisi Mewarisi Nilai Luhur Umat Islam

Tradisi tingkeban merupakan salah satu kegiatan. Kebiasaan di suatu Desa Sedenganmijen kecamatan Krian Sidoarjo. Sekian banyak tradisi dan budaya yang ada di berbagai kalangan masyarakat Sidoarjo yang bernafaskan keislaman.

Tradisi ritual tingkeban mengandung makna mewarisi nilai luhur, etika, dan norma-norma agama. hal tersebut menjadi salah satu tradisi yang dilakukan oleh kepala keluarga baru.Bila mempunyai anak pertama di desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo. Pada pembahsan tingkeban anggota keluarga yang lebih tua (sesepuh) memberikan arahan kepada anggota keluarga yang baru. Supaya pelaksanaan suatu tradisi tingkeban menjadi indah. Dan tidak hanya dilestarikan saja akan tetapi mempunyai daya tarik untuk mewarisi nilai luhur dari keluarga besarnya.

Pada saat hamil warga desa sedenganmijen masih meyakini ada mitos. Mitos tersebut seperti ibu hamil dilarang membunuh hewan kasus diyakni nanti anaknya bisa cacat kalo membunuh hewan. Lalu biasanya benda yang bertolak balak seperti dom bundel, ketokan kuku harus dibawa biar tidak kena ibu tersebut.1

Kisah-kisah mitos tersebut membuat orang sedenganmijen pada zaman dahulu semakin terikat dengan dunia ghaib atau mistis. Orang sedenganmijen percaya

1


(51)

42

bahwa ada hubungan antara manusia yang tinggal dari alam nyata atau dari dunia ghaib yang kita tidak bisa melihat dari kasat mata. Oleh karena itu, agar tidak saling mengganggu, perlu jalinan hubungan melalui tradisi upacara yang kita anut. Leluhur itu selalu dikaitkan dengan silsilah yang bermuara kepada para pembuka tanah dahulu “cikal bakal desa”. Oleh karena kalangan masyarakat Sedenganmijen, terutama kalangan yang kurang terpelajar (buta huruf), tidak terbiasa mencatat secara cermat urutan kelahiran itu (melainkan dengan hanya mengandalkan daya ingatan saja), maka masyarakat Sedenganmijen menganggap siapa leluhurnya itu hanya perkiraan saja. Lalu yang menonjol memitoskan para leluhur itu. Oleh sebab itu silsilah leluhur seringkali punah dan tidak terlacak lagi, bahkan kuburannya pun tidak pernah dikenali lagi.

Dalam prakteknya, apa yang disebut “leluhur” itu sudah jarang yang dipahami sebagaimana istilah “leluhur” seperti yang terumus dalam pustaka kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Kebanyakan dalam memaknai atau memahami istilah “leluhur” lebih berisfat praktis, yakni anggota keluarga lapis senior entah dari alur nucler family (keluarga inti) seperti yang dirunut oleh R.M.Wisnoe Wardhana atau dari alur extended family (keluarga batih) yang lebih luas dan lebih variatif. Kebanyakan bukan karena tidak ambil pusing (cuek) tentang pengertian “leluhur” itu melainkan orang Jawa kebanyakan berkeinginan pada sifat praktisnya.

Pada saat ini rumusan tersebut dirasakan sangat ideal, dan sebagian ada yang mulai kurang begitu memperhatikan, misalnya kebiasaan “menghubungi arwah orang-orang yang telah meninggal dengan melakukan upaya cara adat”. Sekarang


(52)

ini yang lebih ditekankan adalah ajaran apa yang masih dapat dijabarkan atau dimodifikasi untuk hidup dan kehidupan zaman ini. Ajaran itu dapat saja semula berupa penuh simboolik, atau tulisan karya sastra yang ada pada benda semacam batu, kayu dan semacamnya, atua berupa ungkapan tradisonal yang bersifat verbal.

Terkadang status sosial yang kadang-kadang masih dicoba untuk dibangun kembali berdasar warna yang bercampur dengan sistem sosial pada masa kemajuan dewasa ini. Seperti halnya yang nampak dipermukaan saat ini adalah adanya pemakaiankembali tradisi budaya lama dalam pernikahan, tingkeban (tuju bulan kehamilan). Tedhak siten (bayi turun tanah yang pertama) dan sebagainya.

Makna simbolik yang ada pada perayaan tradisi dan budaya simbol-simbol di desa Sedenganmijen. Setelah masuknya Islam ke Jawa maka terjadi pengayaan simbol menjadi lebih beragama dan cenderung ditafsirkan sesuai budaya Islam, misalnya, menurut padangan masyarakat terkait berbagai hidangan dan perlengkepan dalam upacara, tafsirnya sebagai cotohnya : ingkung, yakni ayam yang dimasak secara utuh diberi mumbu tidak pedas dan santan. Ingkung bagi orang Jawa melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan atau masih suci. Lalu “tumpeng” yakni nasi putih berbentuk kerucut tanpa lauk pauk, melambangkan sebuah penghargapan kepada Tuhan supaya permohonannya terkabul. Dan sedangkan “kemenyan” meupakan sarana permohonan pada waktu orang mengucapkan dupa, kemenyan yang dibakar akan menimbulkan asap berbau harum. Namun kemeyang sendiri mulai ditinggalkan dan masih dianut oleh Agama lain seperti Agama Konghucu.


(53)

44

Di wilayah Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo menggenal Tingkeban sebagai nilai leluhur yang tidak bisa dilestarikan karena sebagian besar atau kecil warga Sedenganmijen tidak bisa melestarikan budaya tradisi tersebut. Dikarenakan di Zaman modern sekarang nilai leluhur budaya tradisi semacam Tingkeban hampir punah. disebabkan tidak ada penerus yang melestarikan kecuali sesepuh dari keluarga besar tersebut.

Jadi ritual tingkeban itu memiliki manfaat yang luar biasa. Yaitu mempersatukan perbedaan pendapat didalam satu keluarga besar, menumbuhkan rasa kebersamaan diantara para masyarakat. Dari ritual tingekeban ini juga tidak bisa kita pungkiri akan muncul juga keyakinan baru seperti benda benda yang digunakan utuh tingkeban.

B. Tanggapan Masyarakat Sekitar Desa Sedenganmijen Kecamatan

Krian Sidoarjo

Hasil wawancara masyarakat terhadap tradisi tingkeban ini adalah untuk meminta keselamatan pada saat melahirkan dan meminta keberkahan pula pada fase kehamilan berikutnya. Siapa yang tidak mau akan didoakan? Pasti semua orang akan menerima dengan baik. Walaupun banyak masyarakat setempat yang kurang paham akan apa arti dan maka dari tingkeban itu sendiri, mereka melakukannya atas dasar tradisi yang sudah turun temurun, walau tradisi tersebut kian lama kian menurun ritual yang dilaksanakannya.


(54)

Dari beberapa informan di bawah ini, sebagian besar melakukan tingkeban hanya karena tradisi dan kebiasaan adat istiadat setempat saja dan tidak megetahui apa makna dan alasannya, baik apa arti hidangan dan apa arti kegiatan yang sedang mereka lakukan.

1. Tanggapan warga sekitar

Menurut remaja salah satu warga di desa Sedenganmijen kecamatan Krian Sidoarjo. Yan bernama kartika berpendapat bahwa, suatu ritual tradisi semacam Tingkeban mengikuti kata orang tua. Terkadang siraman cuman dimandikan kembangan saja tidak mengikut tradisi. Kalau mengikuti budaya tradisi zaman dahulu harus ada simbol-simbol dan membutuhkanbiaya besar. Tapi zaman modern sekarang cuma simbol intinya saja yaitu pengajian yang tertuju pada surat Yusuf dan surat Maryam.2

Terkadang seorang ibu sebelum berbuah menjadi janin. Si ibu melakukan hatam al Quran rutinitas sehari-hari. Supaya anak yang dikadungnya akan bisa menjadi hafidz dan kepandaian akan mengenal al Quran.

Menurut Ratmini ia mengaku akan melakukan apapun pada saat tradisi tingkeban tersebut sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh si dukun bayi. Beliau pernah bercerita, supaya jalannya licin saat melahirkan, dianjurkan untuk meminum lenga klentik dengan daun lumbu di depan pintu. Nguntal (memakan dengan cepat) terur ayam kampung mentah, agar dingin. Semua dilakukannya

2


(55)

46

karena atas dasar si dukun bayi yang menyuruhnya dan ia percaya, walau tanpa dasar yang jelas ia melakukan hal tersebut.3

Dukun bayi di desa Sedeganmijen sudah banyak yang meninggal dunia dan keberadaannya didunia modern banyak tidak memahami (langka dan bahkan nyaris tidak ada, karena sudah tertutup dengan adanya Bidan maupun dokter), jadi peneliti tidak bisa mengungkapkan makna dari hal aneh yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

2. Tanggapan para kiai dan agama di desa Sedenganmijen

Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah (manusia) dan yang disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang menyembah (manusia, umat) mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata (misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-lain) bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat membuktikan bahwa ia atau mereka beragama dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus melakukan doa-doa, mampu menaikkan puji-pujian kepada Tuhan yang ia sembah. Bersedia melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan perhatian kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain sebagainya.

Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama (yang tertulis maupun tidak tidak tertulis). Ajaran-ajaran tersebut antara lain; siapa Sang Ilahi yang

3


(56)

disembah umat beragama, dunia manusia, hidup setelah kematian, hubungan antar manusia, hidup dan kehidupan moral serta hal-hal (dan peraturan-peraturan) etis untuk para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran tersebut manusia atau umat beragama mengenal Ilahi sesuai dengan sikonnya sehari-hari. Sekaligus mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta lingkungan hidup dan kehidupannya. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci. Kemudian dalam perkembangan, para pemimpin agama mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja menjadi suatu kerumitan untuk umatnya dan bukan membawa kemudahan agar umat mudah menyembah Ilahi.

Keberhasilan syiar agama di suatu daerah, tidak hanya ditentukan oleh kualitas ajaran agama itu sendiri, tetapi yang lebih penting, bagaimana ajaran itu disampaikan kepada calon pemeluknya. Di Sedenganmijen, syiar agama termasuk proses yang unik, menarik sekaligus cukup dinamis. Meski sudah berlangsung tahunnya, toh masih meninggalkan sejumlah persoalan sampai saat ini.

Sebagai masyarakat Sedenganmijen, yang salah satu cirinya ditandai dengan kekhasaan nilai-nilai lokal, membuat masyarakat ini sulit menerima kebiasaan maupun ajaran-ajaran yang datang belakangan. Keyakinan lama tidak lantas tergantikan oleh ajaran baru. Justru yang sering terjadi adalah perpaduan beragam nilai, tanpa disadari membentuk bangunan baru.

Dijelaskan bahwa syiar Islam pada prinsipnya selalu menyikapi tradisi lokal masyarakatnya, yang sebagian di antaranya dipadukan menjadi bagian dari tradisi Islami. Prinsip itu didasarkan atas pada kaidah lokal masyrakatnya. Terkadang


(57)

48

kita mengenalkaidah ushul fiqih, yang berbunyi; “Menjaga nilai-nilai lama yang baik, sembari mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.”

Akan tetapi menurut salah satu warga yang menjaga dikelenteng. Menyikapi adanya suatu tradisi kepercayaan harus dilakukan secara hikmat. Supaya pemahaman keagamaan itu diterima.4

Semua agama mengenal ritual, karena setiap agamamemiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuanpelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan.Disamping itu ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Hampir semua masyarakat yang melakukan ritualkeagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan.

Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karenaitu, ritual didefinisikan sebagai perilaku yang diatur secara ketat.Dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilakusehari-hari, baik cara melakukan maupun maknanya. Apabiladilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akanmendatangkan keberkahan, karena percaya akan hadirnya sesuatuyang sakral.

4


(58)

3. Menurut konghucu

Menurut konghucu tentang budaya tingkeban yang ada pada Islam. Sama saja melainkan cara ritual atau tradisi keagamaan masing-masing. Di konghucu dengan cara pergi ketempat peribadatan tersebut. Meskipun cara ritual atau tradisi berbeda di suatu agama. Harus memahami agama satu dengan lainnya.5

Karena di dalam Pada kitab Li Ji, salah satu dari tiga kitab Li Jing (kitab kesusilaan) disuratkan: “Qi atau semangat itulah pernyataan adanya roh. Bo atau daya-daya hidup itulah pernyataan adanya nyawa. Tujuan pengajaran agama mengharmoniskan lahiriah dan rohaniah manusia. Semua yang dilahirkan akan mengalami kematian, yang mati itu akan kembali ke tanah, inilah yang dinamai berhubungan dengan nyawa, tulang, daging, semua jasad yang berwatak yin (negatif) akan kembali ke tanah/bumi. Sedangkan semangat akan berkembang naik bergemilang (kembali kepada Tian) diiringi harum dupa yang semerbak. Itulah pernyataan adanya roh.”

Pembahasan mengenai asal-usul manusia (kehamilan) menurut agama Khonghucu, tidak banyak dijelaskan. Pada kitab suci Su Si pun tidak ditemui adanya pembahasan mengenai asal-usul manusia. Pembahasan mengenai hal ini dibahas pada Kitab Li Ji atau Li Chi (kitab kesusilaan),yang merupakan bagian dari Kitab Ngo King atau Wu Ching.

5


(59)

50 BAB V

PENUTUP

Dari deskripsi panjang yang dilakukan dalam mengananlisa tentang ritual Perspektif Masyarakat Islam Dan Masyarakat konghucu Terhadap Upacara Tingkeban Di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo, maka penulisan bisa menyimpulkan sebagaimana sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Terdengar perbeda pendapat dikalangan masyarakat muslim dan masyarakat kongucu. Perbedaan pendapat di Desa Sedenganmijen kecamatan Krian Sidoarjo terkait masalah tingkeban. Mereka melakukan ritual upacara tingkeban terkadang sembunyi-sembunyi. Dikarenakan kalau melakukan aktivitas ritual tingkeban dizaman sekarang banyak meninggalkan tradisi dari suatu ritual tingkeban itu sendiri. Berbeda dengan Agama konghucu yang masih menggenal tradisi meskipun sederhana.

2. Ruang lingkup dari ritual upacara tingkeban di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo berdasarkan tujuan dan perannya didalam suatu wilayah tersebut. Tujuannya dari ritual tersebut supaya masih mengenal tradisi dari nenek moyang mereka. Seharusnya sesorang yang masih menggenal tradisi berperan untuk menggenalkan tradisi


(60)

kepada penerus. Supaya tradisi ritual upacara tingkeban di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo tidak ditinggalkan pada zaman sekarang.

3. Aktivitas yang membedakan dalam suatu tradisi disebabkan faktor yang penurunnya ritual yang diadakan di wilayah Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo. Perbedaan tradisi yang di wilayah Kota Sidoarjo dengan kota-kota lain yang disebabkan sesorang mempunyai makna tersendiri. Disamping itu faktor tradisi berpengaruh dalam penyampaian ritual itu. Karena setiap tradisi yang ada dalam dari ritual tingkeban di suatu wilayah cukup berbeda-beda. Maka kami sering membedakan tradisi dalam suatu wilayah di Sidoarjo dan sekitarnya.

B. Saran-saran

1. Kepada para masyarakat yang mempunyai ritual di suatu wilayahnya. Adanya perbedaan tradisi dalam upacara tingkeban jangan sampai membicarakan konflik intern maupun eksteren. Jadikan perbedaan itu sebagai keanekaragaman yang ada dalam masyarakat. Walaupun di wilayah ini belum ada pengolahan secara menyeluruh kepada penerus dizaman modern sekarang ini.

2. Kepada KADES (Kepala Desa), seharusnya memberian mtivasi kepada warga untuk memberikan pemahaman yang lebih serius tentang tradisi tingkeban supaya tidak ditinggalkan.


(61)

52

3. Kepada seluruh jajaran yang ada di fakultas ushuluddin dan filsafat khususnya Jurusan perbandingan agama, untuk memberikan pemahaman kepada warga desa arti sebuah toleransi dan kerukunan keagamaan. Dikarena pemahaman tersebut terkadang belum cukup mengerti pada wilayah pedesaan.

C. Penutup

Sekiranya tiada kata yang pantas dalam penulis dan bersyukur kepada Allah kepada rahmatnya. Sehingga penulisan dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun ada rintangan yang cukup berat, oleh karena itu apabila pembaca mendapat kekurangan puasan dalam membaca skripsi ini maka penulis mohon maaf yang sebesar-beasrnya.

Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini peneliti menyadarikekayaan dan ketidaksempurnaan asil penelitian inikritik dan saran bersifat membangun sangat dieperlukan agar lebih mendekati kesempuraan.


(62)

Daftar Keperpustakaan

Ali sadikin, Muhammadiyah itu nu (Yogyakarta: Noura Books, 2014)), hlm 17

Abdul Aziz, dkk (ed), Mushaf Al-Quran terjemahan terj. Yayasan penyelenggara penerjemah Al-Qur’an (jakarta : Al-Huda, 2002), hlm 517

Greertz Cliiford, Abangan,Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM),136

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta.cv), 231

Prof. Dr. Lexy . Moleong, M.A metodelogi penelitatian Kualitatif, (bandung: PT remaja rosdakarya cetakan keduapuluhenam, febuaruri 20009) , 307-308

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 178.

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indonesia, Surabaya, departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989

Imam Al—mundziri, Ringkasan Shahih Muslim (Jakarta:Pustaka Amani,2003)

, 24

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

Soselisa, Makna simbolik beberapa sajen slametan tingkeban, sebuah kajian mengenai prinsip kesimbangan dalam knsep pemikiran jawa (yogyakarta: Fakhultas universitas gajah mada,1987), 2

Geertz cliford. Abangan santri priyayai dalam masyarakat jawa, (jakarta: pustaka Jaya, 1983), 22

Arthur asa berger, Tanda tanda dalam kebudayaan kompentorer,(Yogyakarta: Pt Tiara Wacana Yogya, 2000 23


(63)

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indonesia, (Surabaya :departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989)

Muhammad Tholhah Hasan , Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet 3, 232

Setianda Tirtarasa,” Mengenal Agama Khonghucu dan Masalah Korupsi,” dalam Tjhie Tjay,Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama

Khonghucu,(Jakarta: Departemen komunikasi dan informatika, 2006),121 Madikaningtyas dwi agustin, Prosesi Adat Mitni Ditinjau Dari Aspek Pendididkan Moral. Skripsi, Uinversitas Muhammmadiyah Surakarta 2008


(64)

(1)

50 BAB V

PENUTUP

Dari deskripsi panjang yang dilakukan dalam mengananlisa tentang ritual Perspektif Masyarakat Islam Dan Masyarakat konghucu Terhadap Upacara Tingkeban Di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo, maka penulisan bisa menyimpulkan sebagaimana sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Terdengar perbeda pendapat dikalangan masyarakat muslim dan masyarakat kongucu. Perbedaan pendapat di Desa Sedenganmijen kecamatan Krian Sidoarjo terkait masalah tingkeban. Mereka melakukan ritual upacara tingkeban terkadang sembunyi-sembunyi. Dikarenakan kalau melakukan aktivitas ritual tingkeban dizaman sekarang banyak meninggalkan tradisi dari suatu ritual tingkeban itu sendiri. Berbeda dengan Agama konghucu yang masih menggenal tradisi meskipun sederhana.

2. Ruang lingkup dari ritual upacara tingkeban di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo berdasarkan tujuan dan perannya didalam suatu wilayah tersebut. Tujuannya dari ritual tersebut supaya masih mengenal tradisi dari nenek moyang mereka. Seharusnya sesorang yang masih menggenal tradisi berperan untuk menggenalkan tradisi


(2)

51

kepada penerus. Supaya tradisi ritual upacara tingkeban di Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo tidak ditinggalkan pada zaman sekarang.

3. Aktivitas yang membedakan dalam suatu tradisi disebabkan faktor yang penurunnya ritual yang diadakan di wilayah Desa Sedenganmijen Kecamatan Krian Sidoarjo. Perbedaan tradisi yang di wilayah Kota Sidoarjo dengan kota-kota lain yang disebabkan sesorang mempunyai makna tersendiri. Disamping itu faktor tradisi berpengaruh dalam penyampaian ritual itu. Karena setiap tradisi yang ada dalam dari ritual tingkeban di suatu wilayah cukup berbeda-beda. Maka kami sering membedakan tradisi dalam suatu wilayah di Sidoarjo dan sekitarnya.

B. Saran-saran

1. Kepada para masyarakat yang mempunyai ritual di suatu wilayahnya. Adanya perbedaan tradisi dalam upacara tingkeban jangan sampai membicarakan konflik intern maupun eksteren. Jadikan perbedaan itu sebagai keanekaragaman yang ada dalam masyarakat. Walaupun di wilayah ini belum ada pengolahan secara menyeluruh kepada penerus dizaman modern sekarang ini.

2. Kepada KADES (Kepala Desa), seharusnya memberian mtivasi kepada warga untuk memberikan pemahaman yang lebih serius tentang tradisi tingkeban supaya tidak ditinggalkan.


(3)

52

3. Kepada seluruh jajaran yang ada di fakultas ushuluddin dan filsafat khususnya Jurusan perbandingan agama, untuk memberikan pemahaman kepada warga desa arti sebuah toleransi dan kerukunan keagamaan. Dikarena pemahaman tersebut terkadang belum cukup mengerti pada wilayah pedesaan.

C. Penutup

Sekiranya tiada kata yang pantas dalam penulis dan bersyukur kepada Allah kepada rahmatnya. Sehingga penulisan dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun ada rintangan yang cukup berat, oleh karena itu apabila pembaca mendapat kekurangan puasan dalam membaca skripsi ini maka penulis mohon maaf yang sebesar-beasrnya.

Dengan berakhirnya penulisan skripsi ini peneliti menyadarikekayaan dan ketidaksempurnaan asil penelitian inikritik dan saran bersifat membangun sangat dieperlukan agar lebih mendekati kesempuraan.


(4)

Daftar Keperpustakaan

Ali sadikin, Muhammadiyah itu nu (Yogyakarta: Noura Books, 2014)), hlm 17

Abdul Aziz, dkk (ed), Mushaf Al-Quran terjemahan terj. Yayasan penyelenggara penerjemah Al-Qur’an (jakarta : Al-Huda, 2002), hlm 517

Greertz Cliiford, Abangan,Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM),136

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta.cv), 231

Prof. Dr. Lexy . Moleong, M.A metodelogi penelitatian Kualitatif, (bandung: PT remaja rosdakarya cetakan keduapuluhenam, febuaruri 20009) , 307-308

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 178.

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indonesia, Surabaya, departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989

Imam Al—mundziri, Ringkasan Shahih Muslim (Jakarta:Pustaka Amani,2003)

, 24

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

Soselisa, Makna simbolik beberapa sajen slametan tingkeban, sebuah kajian mengenai prinsip kesimbangan dalam knsep pemikiran jawa (yogyakarta: Fakhultas universitas gajah mada,1987), 2

Geertz cliford. Abangan santri priyayai dalam masyarakat jawa, (jakarta: pustaka Jaya, 1983), 22

Arthur asa berger, Tanda tanda dalam kebudayaan kompentorer,(Yogyakarta: Pt Tiara Wacana Yogya, 2000 23


(5)

Greertz Cliiford, Abangan Santri Dan Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan kedua 1983), 48

W.J.S poerwarminta, kamus umum bahasa indonesia, (Surabaya :departemen pendidikan dan kebudayaan, 1989)

Muhammad Tholhah Hasan , Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet 3, 232

Setianda Tirtarasa,” Mengenal Agama Khonghucu dan Masalah Korupsi,”

dalam Tjhie Tjay,Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama Khonghucu,(Jakarta: Departemen komunikasi dan informatika, 2006),121

Madikaningtyas dwi agustin, Prosesi Adat Mitni Ditinjau Dari Aspek Pendididkan Moral. Skripsi, Uinversitas Muhammmadiyah Surakarta 2008


(6)