KEBIJAKAN ORDONANSI HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA TANUN 1869-1932 M.

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

Rina Farihatul Jannah NIM: A0.22.12.095

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kebijakan Ordonansi Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia Tahun 1869-1932 M”. Adapun fokus penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia? (2) Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia? (3) Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji?.

Dalam skripsi ini menggunakan pendekatan historis dan politik dengan metode penelitian historis, yang teknik pengumpulan datanya mengacu pada sumber-sumber tertulis, seperti arsip-arsip dan buku-buku yang berhubungan dengan pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda, khususnya yang membahas kebijakan pemerintah Belanda terhadap haji. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori kekuasaan Robert M. Maclver, untuk menganalisis kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dalam menjalankan kebijakannya di Indonesia, khususnya kebijakan ordonansi haji (1869-1932 M.).

Dari hasil penelitian yang dilakukan menemukan bahwa (1) Umat Islam Indonesia yang hendak pergi ke Mekkah harus memenuhi berbagai peraturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Seperti, kewajiban mempunyai pas jalan haji, mempunyai uang 500 gulden, menggunakan tiket pergi-pulang, melalui embarkasi haji, melaporkan kepulangannya dan mengikuti ujian haji. (2) Politik haji terbagi menjadi dua fase. Fase pertama (1800-1889), pemerintah Belanda berusaha membatasi dan cenderung mempersulit umat Islam karena menganggap orang yang telah berhaji akan menjadi fanatik dan akan mempelopori pemberontakan. Fase kedua (1889-1932), pemerintah Belanda tidak lagi mempersulit pelaksanaan haji, ini karena pengaruh C. Snouck Hurgronje dan munculnya berbagai organisasi sosial keagamaan (3) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya kebijakan ordonansi haji, yaitu faktor ekonomi, sosial dan politik.


(6)

ix

ABSTRACT

Thesis entitled “Policy Pilgrim Ordinance in the Dutch Colonial Period in

Indonesia Year 1869-1932 M”. The focus of the research will be discussed in this paper are (1) How the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia? (2) How to use the political pilgrimage Dutch colonial government in the face of Moslems in Indonesia? (3) Why are the Dutch colonial government established pilgrim ordinance policy?.

In this paper takes a historical approach and the political methods of historical research, the data collection technique refers to written sources, such as archives and books related to the pilgrimage to the Dutch colonial period in Indonesia, especially discusses government policy Dutch against pilgrim. While the theory used is the theory of power Robert M. Maclver, to analyze the power of the Dutch colonial government in implementing its policies in Indonesia, particularly the pilgrim ordinance policy (1869-1932 M).

The result reseach to conclution (1) Indonesia Moslems who wented to go to Mecca must meet various regulations and requirements set by the Dutch government. As such, the obligation has a fitting way pilgrim, should have the money as much as 500 guilders, using a round-trip ticket, through the pilgrim embarkation, reported his return and take exams pilgrimage. (2) Pilgrim political is divided into the two phases. The first phase (1800-1889), the Dutch government sought to limit and tend to complicate the Indonesia Moslems because Dutch assumption that the person who has the pilgrimage would become fanatics and will spearhead a rebellion. The second phase (1889-1932), Dutch government no longer complicate the implementation of the pilgrim, is due to the influence of C. Snouck Hurgronje and the emergence of various social and religious organizations. (3) There are several factors that affect emerge pilgrim ordinance policy, that is ecomic, social and political.


(7)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian... 11

H. Sistematika Bahasan... 17

BAB II : SEJARAH HAJI DI NUSANTARA A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji... 19

1. Pengertian Haji ... 19

2. Syarat Haji ... 21

3. Rukun Haji ... 21

4. Wajib Haji ... 23


(8)

xiv

6. Makna dan Hikmah Haji ... 26

B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang di Indonesia ... 30

1. Permulaan Haji Nusanatara ... 30

2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara ... 32

BAB III: SEJARAH HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia ... 36

1. Haji Di Masa VOC ... 36

2. Haji Di Masa Kolonial Belanda ... 42

3. Sarana dan Transportasi Haji Pada Masa Kolonial Belanda ... 54

B. Politik Islam dan Politik Haji ... 62

1. Politik Islam Pemerintah Kolonial Belanda ... 62

2. Politik Haji Pemerintah Kolonial Belanda ... 68

BAB IV: KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA TERHADAP HAJI A. Kebijakan Ordonansi Haji ... 81

B. Pelaksanaan Ordonansi Haji ... 89

C. Dampak Ordonansi Haji Bagi Perjalanan Haji Umat Islam Indonesia ... 91

D. Reaksi Umat Islam Indonesia Terhadap Ordonansi Haji ... 94

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara. Dalam Islam, ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima dan menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu menjalankan, dalam arti mampu secara materi maupun non materi. Perjalanan haji sudah sejak lama dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara, diperkirakan sejak pertama Islam masuk ke pulau Nusantara, kaum Muslim di pulau ini sudah melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Akan tetapi, belum ditemukan sumber secara valid tentang waktu pertama kali umat Islam Nusantara datang ke Mekkah.

Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain itu, Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada tahun 1346 M.1

Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang

1

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 73.


(10)

paling tua yang dapat diketahui tentang keberangkatan umat Islam Nusantara ke Mekkah, adalah pada tahun 1521 M. ketika Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.2

Sejarah perjalanan ibadah haji di pulau Nusantara terus berjalan dengan damai, sampai kedatangan Belanda yang mendarat di Banten pada tahun 1569 M. Kedatangan Belanda sebenarnya banyak mempengaruhi sejarah perjalanan haji umat Islam di pulau Nusantara, akan tetapi tidak bisa merubah niat kaum Muslim Nusantara untuk pergi menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Sejak pertama kali kedatangannya, Belanda berusaha menancapkan eksistensiya di pulau Nusantara dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1602, Belanda mendirikan sebuah perusahaan perusahaan yang dikenal nama Verenigde Oost-Indische Comgnie (VOC).3 Sikap VOC terhadap kaum Muslim di pulau Nusantara tidak sebaik sikap penduduk pribumi dalam menyambut kedatangan mereka. Sikap yang ditunjukan VOC terhadap kaum Muslim di Nusantara khususnya mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji terasa sangat sentimen, terbukti pada tahun 16614 VOC

2

Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204. Lihat pula Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106.

3

M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 48.

4


(11)

melarang para calon jamaah haji menumpang dikapal milik VOC dan juga melarang haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia.5

Penemuan mesin uap oleh James Watt pada akhir abad ke-18, yang kemudian oleh Robert Fulton dipergunakan untuk menggerakkan sarana angkutan air berdampak pada sarana transportasi yang dipakai oleh para jamaah haji, yang sebelumnya mengandalkan kapal layar dan memerlukan waktu selama tiga tahun, beralih memakai kapal laut bermesin uap.6 Apalagi setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 membuat perjalanan haji semakin cepat dan juga dapat menghemat biaya, sehingga jumlah jamaah haji dari Indonesia ke Mekkah semakin bertambah banyak.7

Akibat dari semakin banyaknya jumlah jamaah haji yang datang ke Mekkah, tidak sedikit dari para jamaah haji pulang dengan membawa ajaran ortodoks setelah menunaikan ibadah haji atau setelah sekian lama bermukim di tanah suci. Lambat laun ajaran tersebut berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia.8 Berdasarkan kenyataan ini, Belanda beranggapan bahwa ibadah haji adalah penyebab penduduk pribumi menjadi fanatik dan akan menentang pemerintah Belanda, sehingga akan membahayakan kedudukannya di tanah air. Oleh sebab itu, pihak pemerintah Belanda

5

Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19 (Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984), 234.

6

Majid, Berhaji, 55-56.

7

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1980), 36.

8


(12)

mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang dapat membatasi dan mempersulit ibadah haji.9 Salah satu diantaranya adalah mengeluarkan kebijakan tentang ordonansi haji.

Secara historis, Belanda sudah sejak lama membatasi dan mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1810, Gubenur Jendral Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para calon jamaah haji, yang disebutnya sebagai pastor Islam, harus mempunyai pas jalan, apabila mereka ingin pergi dari satu tempat di Jawa ke tempat lain.10 Peraturan ini diperkuat pada tahun 1825,11yaitu ketika pemerintah Belanda mengeluarkan Resolutie pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9. Resolusi ini diarahkan pada pembatasan kuota dan mengawasi gerak-gerik jamaah haji. Salah satunya adalah ditetapkannya ongkos naik haji (ONH) sebesar f.110, termasuk paspor haji yang wajib dimiliki oleh setiap jamaah.12 Selain itu, usaha pihak Belanda untuk mengawasi jamaah haji diperkuat pula dengan dibukanya konsulat Belanda di Jeddah tahun 1872.13

Akan tetapi peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda ini tidak sepenuhnya ditaati oleh umat Islam Indonesia yang hendak melaksanakan ibadah haji. Umat Islam beranggapan bahwa peraturan ini merugikan dan memberatkan umat, maka mereka mencari

9

Ibid.

10

Steenbrink, Beberapa Aspek, 235.

11

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1825 dan Resolutie 18 Oktober 1825 No. 9.

12

Majid, Berhaji, 83-84.

13

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Cet VII (Jakarta: LP3ES, 1994), 32.


(13)

jalan lain untuk pergi ke Mekkah.14 Banyak diantara para jamaah haji yang pergi atau pulang haji mengunakan embarkasi Singapura atau Malaka.15 Atas dasar Resolusi pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang dirasakan masih banyak kekurangan, maka pemerintah kolonial Belanda menyempurnakan Resolusi tersebut dengan mengeluarkan ordonansi haji pada tahun 1831, 1859, 1875, 1881, 1898, 1902, 1909, 1911, 1915, 1922, 1923, 1927, 1932 dan 1937. Kebanyakan dikeluarkannya ordonansi haji pasca Resolusi 1825 adalah sebagai penyempurnaan dari ordonansi-ordonansi yang sebelumnya.

Kelahiran ordonansi haji pada tahun 185916dilatar belakangi banyaknya penyalahgunaan gelar haji serta banyaknya jamaah haji Indonesia yang menetap di Mekkah dan tidak kembali ke tanah air setelah selesai menunaikan ibadah haji. Sedangkan ordonansi tahun 1872 mengatur tentang pengangkutan pribumi dan penetapan embarkasi hanya dilakukan pada pelabuhan Batavia, Surabaya, Semarang, Padang serta Ulee Lheue.17 Namun pada tahun 1898 pelabuhan-pelabuhan tersebut dibatasi hanya pada dua pelabuhan saja untuk pelabuhan embarkasi haji, yaitu pelabuhan Batavia dan Padang.18

Ordonansi tahun 1922 berisi tentang Ketentuan haji yang menetapkan tentang keharusan jamaah haji memiliki tiket kapal yang

14

Putuhena, Historiografi Haji, 139.

15

Majid, Berhaji, 83.

16

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1959 No. 42.

17

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1972 No. 179.

18


(14)

harus di beli dari agen haji (Pelgrimsagent).19 Ketetapan ini merupakan penyempurnaan dari ordonansi haji 1898 yang tidak mencantumkan ketentuan tentang tiket kapal.20 Dengan adanya agen haji (Pelgrimsagent), jamaah haji dapat lebih mudah memperoleh tiket kapal dan caloh haji dapat dibatasi gerak-geriknya.

Berbeda dengan ordanansi-ordonansi sebelumnya, kelahiran ordonansi 1927 dipicuh karena suasana kemenangan Ibnu Saud di Mekkah. Akibat peristiwa tersebut, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir akan kemungkinan agitator politik pribumi lari ke luar negeri dengan melakukan ibadah haji. Pemerintah kolonial Belanda merasa takut kedudukannya di Indonesia terancam hilang karena umat Islam mempunyai penguasa baru. Untuk membendung kemungkinan itu maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi haji pada tahun 1927.

Sedangkan ordonansi haji pada tahun 1932 memberi dasar hukum atas pemberian izin bagi organisasi bonefit umat Islam Indonesia, untuk menyelenggarakan pelayaran haji.21 Kebijakan ordonansi haji kali ini tidak lepas dari peran organisasi keagamaan Muhammadiyah. Berdasarkan kongres ke-17 di Minangkabau pada tahun 1930, Muhammadiyah

19

Staatsblad van Nederlansch-Indie Tahun 1922 No. 698.

20

Putuhena, Historiografi Haji, 175.

21


(15)

merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membangun pelayaran haji sendiri bagi jamaah haji Indonesia.22

Begitulah sepenggal sejarah perhajian Indonesia yang dapat penulis sampaikan. Namun yang akan dibahas pada penelitian ini menekankan pada kebijakan ordonansi di masa kolonial Belanda. Hal ini menarik diteliti, karena mengapa persoalan agama ditarik ke ranah kebijakan perpolitikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang jelas-jelas menyatakan netral agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia? 2. Bagaimana politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda

dalam menghadapi umat Islam di Indonesia?

3. Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji?

C. Tujuan Penelitian

Segala aktivitas yang dilakukan, pasti tidak terlepas dari tujuan atau maksud yang hendak dicapai, begitu juga dalam penelitian ini seperti yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi dalam buku Metodologi Research, bahwa suatu research khususnya dalam ilmu pengetahuan emperik pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji

22

Ali Mufrodi, Haji Indonesia Dalam Perspektif Historis, disampaikan dalam peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, 14.


(16)

suatu kebenaran pengetahuan.23 Begitu pula dengan penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia.

2. Untuk mengetahui politik haji yang digunakan pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.

3. Untuk mengetahui alasan/penyebab pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif bagi semua orang, baik dari segi keilmuwan akademik maupun dari sisi praktis: 1. Dari Sisi Keilmuwan Akademik

a. Sebagai wacana dan informasi tentang sejarah umat Islam di Indonesia, khususnya sejarah perhajian di Indonesia.

b. Menambah khazana ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah kebudayaan Islam serta memperkaya historiografi Indonesia

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut dalam kajian yang sama.

2. Dari Sisi Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi/masukan yang penting serta berguna bagi kehidupan masyarakat.

23


(17)

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Berkaitan dengan judul yang dibahas, maka dalam melakukan rekontruksi sejarah, pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah mengunakan pendekatan historis dan pendekatan politik. Penggunaan pendekatan historis ini diharapkan bisa menampilkan kronologi sejarah secara runtut, karena suatu realitas itu tidak berdiri sendiri melainkan ada hal-hal yang mempengaruhinya.24 Sedangkaan pendekatan politik digunakan untuk mengetahui penyebab pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi haji bagi umat Islam di Indonesia, yang berdampak terhadap semakin sulitnya umat Islam Indonesia untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena peraturan-peraturan yang harus dipenuhi oleh calon jamaah haji sebelum pergi ke Mekkah.

Selain menggunakan pendekatan historis dan politik, penelitian ini juga menggunakan teori kekuasaan. Menurut Robert M. Maclver kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau golongan untuk mengendalikan prilaku orang lain secara langsusng atau tidak langsung. Secara langsung dilakukan dalam bentuk memaksa, sedangkan secara tidak langsung berupa penyusunan segala inflastruktur kekuasaan yang dapat dilakukan melalui proses rekayasa.25

24

D.N. Aidit, Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis (Jakarta: Jajasan Pembaharuan, 1962), 127.

25

Deden Fathurrahman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik (Malang: UMM Press, 2002), 22-23.


(18)

Kekuasaan ini dilakukan melalui adanya pola hubungan dimana terdapat pihak yang menjadi posisi sentral pemerintahan dan pihak lain yang harus tunduk atau taat. Dalam hal ini, yang berkuasa dan menempati posisi sentral adalah Belanda dan pihak yang diperintah adalah rakyat pribumi. Di kasus ordonansi haji ini yang harus tunduk pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda adalah umat Islam. Sebagai penguasa, Belanda mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berdampak menyenangkan atau tidak kepada rakyat pribumi.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang haji di Indonesia memang bukan hal yang baru dalam penelitian, kerena sebelumnya sudah ada beberapa orang yang menulis tentang haji di Indonesia. Diantaranya seperti penelitian-penelitian berikut:

1. M. Shaleh Putuhena, “Historiografi Haji Indonesia”, yang terbit tahun 2007. Tulisan M. Shaleh Putuhena menjelaskan mengenai praktek pelaksanaan haji umat Islam di Indonesia sejak abad XV hingga pertengahan pertama abad XX. Selain itu, M. Shaleh Putuhena juga memaparkan perhajian baik dalam aspek politik, sosial maupun budaya.

2. M. Dien Majid, “Berhaji Di Masa Kolonial”, yang terbit pada tahun 2008. Tulisan karya M. Dien Majid menjelaskan tentang perkembangan pelayaran yang digunakan oleh jamah haji Indonesia.


(19)

Dalam tulisan M. Dien Majid juga menjelaskan mengenai berbagai fasilitas yang diperoleh jamaah haji di dalam kapal milik pemerintah kolonial Belanda.

3. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, yang terbit tahun 1996. Tulisan karya Aqib Suminto mengulas secara jelas mengenai perpolitikan pemerintahan Belanda terhadap umat Islam. Dalam tulisan Aqib Suminto lebih menitik beratkan sepak terjang Belanda dalam mengatasi pribumi yang beragama Islam dalam berbagai hal, termasuk mengenai ibadah haji yang dibahas sebagai bagian dari banyak masalah.

Karya-karya di atas tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dikaji oleh penelitian dalam hal fokus dan pembahasannya. Penelitian ini berusaha mencari titik lain dari pelaksanaan haji di Indonesia. Fokus dan pembahasan penelitian ini adalah menitik beratkan pada pelaksanaan haji, politik haji dan kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia.

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu Mothodos yang berarti cara atau jalan. Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekontruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahap yang harus ditempuh dalam metode Sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan


(20)

historiografi.26 Melalui metode ini, penelitian diarahkan untuk selalu mengutamakan aspek rasionalitas agar diperoleh hasil yang dapat dipercaya, terhadap data yang ditemukan. Melalui tahapan metode sejarah ini, penulis berusaha menjelaskan tentang kebijakan odonansi haji yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat Islam di Indonesia. Adapun tahapan-tahapan metode penelitian sejarah dijelaskan sebagai berikut:

1. Heuristik (Mencari dan Mengumpulkan Sumber atau Data)

Adalah kegiatan mengumpulkan berbagai sumber atau data sejarah yang mempunyai hubungan dengan penulisan penelitian ini. Adapun pengertian sumber sejarah adalah segalah sesuatu yang bisa dipergunakan sebagai alat atau bahan untuk merekontruksi, mendeskripsikan atau melukiskan kembali peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Terkait dengan judul penelitian ini adalah kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda Belanda, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, sehingga teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah mengunakan library reseach, yaitu dengan cara mengkaji, menelaah atau memerikasa berbagai sumber atau data yang terkait, baik itu sumber atau data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari studi perpustakaan.

26

Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 43.


(21)

Sumber primer dari penelitian ini adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda tentang ditetapkannya ordonansi haji bagi umat Islam di Indonesia. Sumber primer yang berupa arsip ini didapat dari badan Perpustakaan dan Kearsip provinsi Jawa Timur. Sumber primer yang diperoleh adalah sebagai berikut:

a. Arsip Nasional Republik Indonesia, Revolutie van den Geuverneur-Greneral van Nederlandsch Indie, 18 Oktober 1825 No. 9.

b. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1859 No. 42.

c. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1872 No. 179.

d. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1898 No. 294.

e. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1922 No. 698.

f. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1927 No. 286.

g. Arsip Nasional Republik Indonesia, Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1932 No. 554 Pasal 22a.

Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini berupa buku-buku literatur yang berkaitan dengan pelaksanaan haji, politik haji dan


(22)

kebijakan ordonansi haji di Indonesia. Sumber sekunder yang diperoleh setelah melakukan penelusuran dari buku-buku literatur adalah sebagai berikut:

a. Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.

b. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

c. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.

d. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Cet VII, Jakarta: LP3ES, 1994.

e. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1980.

f. Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19, Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984.

g. M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta: CV Sejahtera, 2008.

h. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2007.


(23)

Setelah data terkumpul, maka yang harus dilakukan adalah menyeleksi, menilai, menguji untuk mendapatkan keabsahan sumber. Verifikasi ini digunakan untuk menentukan otensititas (keaslian sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi) sumber sejarah.27 Verifikasi ini terdiri dari:

a. Kritik Ekstern (Otentitas)

Yaitu suatu usaha meneliti atau menguji keaslian sumber yang telah diperoleh, sehingga validitas sumber tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

b. Kritik Intern (Kredibilitas)

Yaitu suatu usaha setelah mengetahui asli atau tidaknya data atau dokumen yang didapatkan selanjutnya di teliti kebenarannya dan kesesuaiannya dari isi data tersebut.28 Dalam artian apakah data tersebut bisa memberikan informasi yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini dilakukan kritik intern, dengan cara membaca, mempelajari, memahami dan menelaah secara mendalam berbagai sumber yang telah didapatkan. Langkah berikutnya adalah membandingkan antara isi sumber yang satu dengan yang lain guna menemukan keabsahan sumber dan

27

Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu, 47.

28

Dudung Abdurrahman, Motode Penelitian Sejarah, Cet II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58-64.


(24)

mengambil data yang bisa dipercaya. Melalui kritik tersebut, diharapakan agar penulisan skripsi ini dapat menggunakan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran juga disebut analisis sejarah, analisis berarti menguraikan. Analisis sejarah adalah menguraikan sumber-sumber atau data-data yang telah dikumpulkan, dikritik, dibandingkan kemudian disimpulkan agar dapat dibuat penafsiran sehingga bisa diketahui kausalitas dan kesesuaian dengan masalah yang dibahas.

Upaya yang dilakukan pada tahap ini adalah menganalisis peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan dengan maksud agar dapat menguasai masalah yang dibahas. Selanjutnya dilakukan sistesis sebagai penyatuan data yang telah diperoleh sesuai dengan kerangka penulisan. Tahap ini dimaksudkan untuk mencari runtutan peristiwa sejarah kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia tahun 1869-1932 M. yang juga mengunakan bantuan pendekatan historis dan politik.

4. Historiografi

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah. Historiografi adalah penulisan, pemaparan atau pelaporan dari hasil


(25)

penelitian.29 Pada laporan penelitian ini penulis berusaha menuangkan fakta-fakta yang diperoleh dari berbagai sumber yang diperoleh, baik itu sumber primer maupun data sekunder sehingga bisa menghasilkan karya ilmiah yang bisa diperhitungkan dalam khazana keilmuan khususnya yang berkaitan dengan historiografi Islam.

H. Sistematika Bahasan.

Agar bisa memudahkan pemahaman dalam penelitian ini, maka diperlukan sebuah sistemasi terhadap isi dengan membagi dalam beberapa bab dan masing-masing bab akan dibagi lagi menjadi beberapa bagian. Dalam penelitian ini terdiri lima bab, adapun sistematika bahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika bahasan. Intinya bab ini merupakan pengantar secara sekilas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penulisan penelitian ini. Pembahasan mengenai metodologi juga diuraikan dengan menggunakan beberapa teori sebagai bahan landasannya.

Bab II merupakan langkah awal pembahasan yang berisi penjelasan mengenai sejarah haji di Nusantara sebelum kedatangan Belanda, di bab ini juga akan menjelaskan mengenai tinjauan umum haji

29


(26)

yang meliputi: pengertian haji, syarat haji, rukun haji, macam-macam pelaksanaan haji dan makna haji.

Bab III ini akan menjelaskan mengenai haji di masa kolonial Belanda termasuk pada masa VOC serta politik Islam dan politik haji yang digunakan Belanda dalam menghadapi umat Islam di Indonesia.

Bab IV ini akan menjelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pelaksanaan haji. Di bab ini akan menguak penyebab pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakan ordonansi haji, bagaimana pelaksanaannya dan dampak dari ditetapkannya ordonansi haji terhadap umat Islam di Indonesia, termasuk juga reaksi umat Islam Indonesia terhadap kebijakan ordonansi haji.


(27)

BAB II

SEJARAH HAJI DI NUSANTARA

Masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu. Dari masa ke masa, tercatat bahwa perjalanan umat Islam dari Nusantara ke Tanah Suci terus mengalami peningkatan. Sebelum membahas tentang sejarah permulaan haji di Nusantara terlebih dahulu penulis paparkan tentang berbagai hal penting terkait dengan ibadah haji dalam tuntunan agama Islam.

A. Tinjauan Umum Tentang Ibadah Haji 1. Pengertian Haji

Ibadah menurut pendapat para ulama terbagi menjadi tiga. Pertama adalah ibadah badaniah yang bersifat mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah maliah yang bersifat mahdhah yaitu seperti zakat. Ketiga, ibadah yang terdiri dari ibadah badaniah dan maliah yaitu seperti haji.1 Di sini yang menarik adalah haji yang merupakan perpaduan antara ibadah badaniah dan maliah. Menurut bahasa, kata haji berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti berziarah, berkunjung atau berwisata suci.2 Sedangkan menurut istilah, haji

1

Nabilah Lubis, Menyingkap Rahasia Ibadah Haji (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 31.

2

Muhammad Sholikhin, Keajaiban Haji dan Umrah: Mengungkap Kedahsyatan Pesona Ka’bah Dan Tanah Suci (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), 2.


(28)

adalah berziarah ke Ka’bah di Mekkah untuk beribadah kepada Allah

SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di

Muzdalifah dan Mina, melontar jamarat dan tahalul.3

Dalam istilah fikih, haji memiliki makna perjalanan seseorang

ke Ka’bah guna menjalankan ritual-ritual ibadah haji dengan cara dan

waktu yang telah ditentukan.4 Sedangkan menurut Undang-undang 17 tahun 1999 tentang menyelenggaraan ibadah haji mendefinisikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima yang merupakan kewajiban bagi yang mampu menunaikannya.5 Jadi dapat disimpulkan

bahwa haji adalah perjalanan seseorang berkunjung ke Ka’bah untuk

melakukan serangkaian ibadah kepada Allah SWT pada waktu dan cara yang telah ditentukan, yang merupakan rukun Islam kelima serta hukumnya wajib bagi yang mampu menjalankannya.

Adapun umrah, menurut bahasa berarti ziarah atau berkunjung. Sedangkan menurut istilah adalah berkunjung ke Ka’bah untuk beribadah kepada Allah SWT dengan melakukan ihram, thawaf, sa’i dan tahalul.6 Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara haji dan umrah terletak pada waktu dan teknis pelaksanaannya. Haji mempunyai waktu khusus dan tidak diperbolehkan berpindah ke waktu lain, berbeda dengan umrah yang tidak mempunyai waktu yang khusus

3

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji Perempuan Menurut Para Ulama Fikih

(Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2013), 13.

4

Sholikhin, Keajaiban Haji, 2.

5

Lihat Ayat 3 Pasal 1 Bab I Undang-Undang nomor 17 Tahun 1999.

6


(29)

dan bisa dilaksanakan sepanjang tahun. Teknis pelaksanaannya pun berbeda, haji mempunyai ritual seperti wukuf, menginap dan melontar jamarat, namun dalam umrah tidak ada ritual-ritual tersebut. Semua ulama sepakat bahwa hukum haji wajib bagi setiap umat Islam yang mampu secara fisik maupun materi, baik itu laki-laki maupun perempuan dan hanya sekali seumur hidup. Apabila lebih dari sekali hukumnya menjadi sunah. Sedangkan umrah mempunyai status hukum wajib, yaitu ketika umrah dalam haji dan selain umrah dalam haji hukumnya hanya sunah.7

2. Syarat Haji.

a. Beragama Islam. Orang kafir tidak wajib bahkan tidak sah untuk melaksanakan haji.

b. Baligh. Telah sampai usia seseorang pada tahap kedewasaan, umumnya telah berusia limabelas tahun ke atas, sehingga tidak wajib bagi anak-anak untuk melaksanakan haji.

c. Berakal sehat. Orang gila tidak wajib melaksanakan haji. d. Merdeka. Dalam arti bukan hamba sahaya.

e. Istitha’ah. Mampu secara jasmani, rohani, ekonomi, maupun keamanan dalam perjalanan.

3. Rukun Haji

Rukun haji adalah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak bisa digantikan dengan yang lain,

7


(30)

meskipun dengan denda (dam).8 Jadi tidak sah hajinya apabila meninggalkan rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji. Rukun haji ada enam yaitu:

a. Ihram (niat). Yaitu menyengaja untuk berhaji dengan disertai memakai pakaian yang tidak berjahit dan menutup kepala bagi laki-laki. Sedangkan bagi perempuan memakai pakaian yang berjahit dan tidak boleh menutup muka serta tangan.

b. Wukuf di Arafah. Orang yang sedang mengerjakan haji itu wajib berada di Padang Arafah pada waktu yang ditentukan, yaitu dimulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Cara pelaksanaan wukuf adalah dengan berdiam diri sambil berdoa sampai waktu magrib. c. Thawaf. Yaitu mengelilingi Ka’bah. Thawaf rukun ini dinamakan

Thawaf Ifadah. Thawaf Ifadah adalah thawaf rukun haji yang dilakukan setelah melempar jamarat aqabah pada hari Idhul Adha dan hari tasyriq. 9Adapun syarat thawaf yaitu: Pertama, menutup aurat. Kedua, suci dari hadas dan najis. Ketiga, Ka’bah hendaknya beradah di sebalah kiri orang yang thawaf. Keempat, permulaan thawaf dari Hajar Aswad. Kelima, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali.

8

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 23.

9

M. Yudhie Haryono et.al., Haji Mistik: Sepertinya Tiada Haji Mabrur Di Indonesia (Bekasi: Penerbit Nalar, 2002), 99.


(31)

d. Sa’i. Yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah. Adapun syarat-syarat sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, dimulai dari bukit Safa dan diakhiri di bukit Marwah. Kedua, sa’i dilakukan sebanyak tujuh kali. Ketiga, waktu sa’i sebaiknya sesudah thawaf. e. Tahalul. Yaitu mencukur atau menggunting rambut, setidaknya

tiga helai.

f. Tertib. Yaitu melakukan ketentuan manasik sesuai dengan tata urutan dan aturan yang sudah ditentukan.

4. Wajib Haji

Wajib haji adalah suatu rangkaian amalan yang perlu dikerjakan dalam ibadah haji dan apabila tidak dilaksanakan sah hajinya namun harus diganti dengan membayar denda (dam). Adapun yang termasuk Wajib haji adalah sebagai berikut:10

a. Ihram dari Miqat (batas waktu dan tempat yang ditentukan). Miqat ada dua: Pertama miqat zamani yaitu ketentuan masa dari awal bulan Syawal sampai terbit fajar Hari Raya Haji (tanggal 10 Dzulhijjah). Kedua yaitu miqat makani (ketentuan tempat), di mana jamaah haji dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia miqat makaninya adalah Yalamlam, yakni nama sebuah bukit di wilayah Tihamah, namun umumnya jamaah haji memulai berihram di bandara internasional Jeddah.

b. Mabit (bermalam) di Muzdalifah setelah wukuf di Padang Arafah.

10


(32)

c. Melontar jamarat aqabah pada Hari Raya Haji, yaitu setelah lewat tengah malam 10 Dzulhijjah sampai subuh 11 Dzulhijjah.

d. Melontar tiga jamarat, yaitu Jamarat Ula, Jamarat Wustha dan Jamarat Aqabah yang dilontarkan pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

e. Mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah)

f. Thawaf wada’ (thawaf meninggalkan Mekkah)

g. Menjauhkan diri dari segala larangan atau yang diharamkan. Adapun yang dilarang ataupun diharamkan selama mengerjakan ibadah haji adalah:1) Memakai wangi-wangian. 2) Rafats (berkata kotor, keji, cabul, bercumbu mesra atau berhubungan badan dengan suami-istri). 3) Fasiq (melakukan dosa besar seperti mencuri, meminum minuman keras atau melakukan dosa-dosa kecil secara terus menerus). 4) Jidal (berbantah-bantahan secara emosional dan tak bermanfaat). 5) Berburu atau membunuh binatang. 6) Memotong atau merusak tanaman di tanah haram. 7) Meminang, menikah atau melaksanakan akad nikah. 8) Memotong kuku, rambut dan meminyakinya.

5. Macam-macam Pelaksanaan Haji

Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji dibagi menjadi tiga macam yaitu sebagai berikut:


(33)

a. Haji Tamattu’. Kata tamattu’ mempunyai arti bersenang-senang.11 Haji tamattu’ adalah haji yang dilakukan setelah melakukan ihram untuk umrah terlebih dahulu di bulan-bulan haji, setelah selesai melakukan rangkaian ibadah umrah lalu tahallul. Kemudian untuk haji, berihram haji di Mekkah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Jadi ada jeda waktu beberapa hari antara umrah yang dilakukan dengan haji yang dilakukan sesudahnya. Dalam jeda waktu tersebut bisa bersenang-senang, tidak berpakaian ihram namun dikenakan wajib membayar denda (dam). Denda (dam) yang harus dibayar adalah menyembelih seekor kambing untuk disedekahkan kepada fakir miskin.12

b. Haji Ifrad. Kata ifrad mempunyai arti menyendirikan.13 Haji ifrad adalah niat ihram untuk haji terlebih dahulu kemudian baru melakukan ihram untuk umrah dan tidak diwajibkan untuk membayar denda (dam). Haji ifrad adalah haji yang lebih afdhal.14 c. Haji Qiran. Kata qiran mempunyai arti berteman atau bersamaan.15

Haji qiran adalah niat melaksanakan ihram untuk umrah dan haji secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan. Pelaksanaan haji qiran ini, akan dikenakan denda (dam) seperti

11

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 25.

12

Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan Tuhan Ka’bah Pemersatu Umat Islam (Jakarta: Asdi Mahasatya, 1992), 227.

13

Ahmad Kartono dan Sarmidi Husna, Ibadah Haji, 56.

14

Sudarsono dan Susmayati, Mengenal Keesaan, 228.

15


(34)

pelaksanaan haji tamattu’, yaitu dengan menyembelih seekor kambing ataupun domba.

6. Makna dan Hikmah Haji

Ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan kewajiban bagi yang mampu menunaikannya, yang dimaksud di sini adalah mampu secara materi maupun fisik. Ibadah haji mempunyai makna dan hikmah bagi seluruh umat Islam. Makna haji bagi umat Islam adalah merupakan respon terhadap panggilan Allah SWT. dengan lantunan bacaan yang mengandung nilai esensial doa.16 Oleh karena itu, haji merupakan representasi diri umat Islam di hadapan Allah SWT. Makna yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji tercermin dari simbol-simbol ritual haji itu sendiri seperti ihram, wukuf, thawaf, sa’i, melempar jamarat dan tahalul.

Makna melaksanakan ihram dalam haji adalah agar orang yang melaksanakan ibadah haji berada pada puncak ketundukan dan kerendahan dihadapan Allah SWT.17 Pada saat melaksanakan ihram semua orang menggunakan pakaian seragam, yaitu berpakaian serba putih dan tidak berwarna-warni. Tidak bisa dipungkiri bahwa pakaian bisa dijadikan simbol pembeda bagi pemakainya. Pembeda tersebut dapat mengantarkan pada perbedaan status sosial, ekonomi atau

16

Majid, Berhaji, 36.

17


(35)

profesi.18 Dengan memakai pakaian ihram yang berwarna putih dan tidak berjahit akan memunculkan kesadaran tentang persatuan, persamaan dan persaudaraan dalam diri orang yang berihram. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yang membedakan hanya iman dan takwanya saja di hadapan Tuhannya.

Makna melaksanakan wukuf dalam haji adalah supaya umat Islam dapat belajar untuk saling mencari unsur kesamaan di antara perbedaan yang ada. Ketika manusia dari seluruh dunia Islam berkumpul maka kesadaran ukhuwah islamiyah dalam diri mereka akan terbuka. Wukuf di Arafah juga menjadi miniatur pertemuan umat Islam di Padang Mahsyar nanti. Di bawah terik matahari, jutaan umat dari beragam wilayah, bangsa dan bahasa tumpah ruah di Padang Arafah, berdesakan, berdoa sambil berjalan mengikuti pimpinannya merupakan gambaran kelak pada hari kiamat.

Thawaf merupakan bentuk ketundukan umat kepada Tuhannya. Thawaf tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, jagat raya pun mengambil bentuk perputaran seperti thawaf. Bumi, bulan dan seluruh planet masing-masing berputar seraya telah tunduk pada ketentuan Penciptanya. Selain itu, thawaf menggambarkan larut dan leburnya manusia bersama manusia lainnya menuju kepada Allah SWT.19

18

Quraish Shihab, Haji Bersama M. Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998), 107.

19


(36)

Sa’i secara etimologi diartikan sebagai perjalanan, sedangkan secara terminologi diartikan perjalanan dalam ritual haji sebanyak tujuh kali dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah.20 Makna dari

melaksanakan sa’i adalah sebagai berikut: Pertama, belajar dari

perjuangan Sayyidah Hajar. Hajar berjuang mencari air dimulai dari bukit Shafa yang sacara harfiah mempunyai arti kesucian dan ketegaran. Ini merupakan lambang bahwa untuk mencapai hidup, seseorang harus berusaha dan usahanya harus dimulai dengan kesucian serta ketegaran dan harus diakhiri di Marwah yang berarti kepuasan, penghargaan dan murah hati.21 Kedua, pasrah kepada Allah. Berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali merupakan sebuah lambang bahwa dalam kehidupan ini seseorang harus memiliki sifat optimis bahwa pertolongan Allah akan menghampiri orang-orang yang sabar dan taqwa kepada Allah.

Mabit di Muzdalifah dan Mina. Hakikat mabit di Muzdalifah dan Mina adalah agar jamaah haji mencari dan mempersiapkan batu untuk dilontarkan ke jamarat, yang bermakna melontar setan dan menggambarkan apa yang akan dihadapi jamaah haji begitu pulang dari Tanah Suci. Di Mina juga dilakukan penyembelihan binatang kurban, dilambangkan dengan menyembelih binatang karena nafsu sering berkolusi dengan setan untuk menjerumuskan manusia.22 Maka

20

Sholikhin, Keajaiban Haji, 153.

21

Shihab, Haji, 116.

22


(37)

dari itu, menyembelih binatang bermakna bahwa yang seharusnya disembelih adalah nafsu kebinatangan yang terdapat pada diri manusia.

Melontar jamarat pada hakikatnya adalah kesatuan ibadah anggota badan, lisan dan hati. Kaki dan tangan untuk melempar, lisan untuk berdzikir dan hati selalu ingat kepada Allah. Tujuan dari melontar jamarat adalah membiasakan untuk senantiasa memuji Allah, selalu berdzikir dan berdoa. Selain itu, melontar jamarat adalah lambang dari permusuhan umat Islam terhadap setan dan sekaligus bertekad untuk melawannya.23 Yang terakhir adalah tahalul (menggunting rambut, bercukur atau menggundulkannya), tahulul dijadikan lambang keamanan dan perdamaian. Rambut yang biasanya hitam, diibaratkan sebagai dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia.24 Memotong rambut ibarat menanggalkan dosa-dosa itu dari diri orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, semakin banyak yang dipotong semakin baik. Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan haji adalah sebagai berikut:

a. Menumbuhkan rasa persaudaraan dan sikap solidaritas yang tinggi sesama umat Islam sedunia.

b. Persamaan dan perwujudan yang sama dan tidak membedakan antara satu dengan yang lain dengan latar belakang status sosial ekonomi yang berbeda-beda.

23

Ibid., 122. Lihat pula Sholikhin, Keajaiban Haji, 164-165.

24


(38)

c. Menumbuhkan jaringan ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, pertahanan, keamanan dan politik.

B. Perjalanan Haji Sebelum Belanda Datang Di Indonesia 1. Permulaan Haji Nusantara

Belum ditemukan data atau sumber yang valid tentang siapa dan kapan pertama kali umat Islam Nusantara pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Diperkirakan sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Nusantara, umat Islam di pulau ini sudah melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Mengingat haji merupakan rukun Islam dan merupakan kewajiban bagi semua umat Islam bagi yang mampu menjalankannya

Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan bahwa, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Selain itu, Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M. Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, di pantai Malabar pada tahun 1346 M.25

Dari data di atas, belum dapat diketahui waktu pasti umat Islam Nusantara pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sumber yang

25

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 73.


(39)

paling tua yang dapat diketahui tentang keberadaan umat Islam Nusantara di Mekkah adalah berdasarkan laporan Lewis Barthema (Ludivico Varthema) pada tahun 1503, yang dikenal sebagai “gentlemen of Rome”, yang mengadakan perjalanan haji ke Mekkah dengan menyamar sebagai seorang Muslim. Ia melihat banyak jamaah haji dari greater India (India Besar atau Anak Benua India) dan Lesser East India (India Timur Kecil atau Nusantara).26 Inilah laporan yang paling awal yang menyebutkan kehadiran jamaah haji yang berasal dari Nusantara.

Namun ada kemungkinan mereka bukan jamaah haji yang sengaja berangkat dari Nusantara untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi padagang dan pelayar yang berlabuh di Jeddah dan berkesempatan untuk melaksanakan haji, mengingat sejak abad ke-15 dimulai kebangkitan kembali perdagangan di Laut India. Menurut sebuah sumber Venesia, pada tahun 1565 dan 1566, masing-masingnya lima kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) berlabuh di pelabuhan Jeddah.27 Ada kemungkinan bahwa pelayar dan pedagang dari lima kapal tersebut juga berkesempatan untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sumber-sumber tradisional Jawa menyebutkan bahwa, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah berkunjung ke Mekkah

26

Ibid., 37.

27


(40)

untuk menunaikan ibadah haji.28 Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekkah pada tahun 1521 M. setelah Pasai, yaitu kota kelahirannya ditaklukan oleh Portugis. Keberangkatan Syarif Hidayatullah ke Mekkah tidak hanya untuk melaksanakan ibadah haji, namun juga sebagai diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani supaya mengusir Portugis dari Pasai. Pada waktu itu Mekkah telah berada dalam kekuasaan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara menjalin hubungan politiko-religius dengan Turki Utsmani.29 Penguasa Turki Utsmani dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi umat Islam seluruh dunia, sesuai dengan politik klasik Islam. Jadi sudah biasa kerajaan Islam meminta legitimasi atau bantuan militer kepada penguasa Turki Utsmani. Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka yang pertama kali melaksanakan ibadah haji ke Mekkah adalah pedagang, pelayar dan utusan sultan (diplomat). Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai angkatan perintis haji Indonesia.

2. Sarana Transportasi Permulaan Haji Nusantara

Secara umum, pada waktu itu perjalanan ke Mekkah dibagi menjadi dua, yaitu rute jalan darat dan rute jalan laut. Rute perjalanan dari Nusantara ke tanah Arab (Mekkah) hanya dapat menggunakan rute jalan laut. Rute perjalanan melalui laut dapat dikelompokkan

28

Achmad Taqiyudin et.al., Antara Mekkah dan Madinah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), 204.

29

Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 106 dan Azra,


(41)

menjadi tiga rute pelayaran. Pertama, umat Islam yang berasal dari Hindia Belanda, Straits Setlement, British Indie, Afganistan, Persia berangkat melalui selat Bab el-Mandab. Kedua, umat Islam yang berasal dari Mesir, Sudan, Somalia, Prancis, Erytria dan Yaman datang melalui Laut Merah. Ketiga, umat Islam yang berasal dari Tunisia, Asia kecil, Siria dan Maroko datang dari Utara.30

Bagi bangsa-bangsa yang mendiami Asia Tenggara, seperti Indonesia berhaji bukanlah perkara yang mudah, karena jauhnya perjalanan dari negeri di kawasan ini ke Timur Tengah. Penduduk negeri ini harus mengarungi lautan yang luas dan rute pelayaran yang panjang.31 Sebelum terusan Suez dibuka, perjalanan haji menggunakan kapal layar harus ditempuh dengan waktu yang lama. Perjalanan haji bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.32 Perjalanan yang memakan waktu cukup panjang ini dikarenakan harus menyesuaikan irama lajunya angin untuk menggerakan kapal layar.

Selain menghabiskan waktu yang cukup panjang dalam perjalanan, mereka juga harus siap dengan resiko apapun sebab berhadapan langsung dengan kondisi alam yang tidak menentu, deburan ombak, badai dan gelombang yang siap menghantam kapanpun. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan

30

M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), 46.

31

Ali Mufrodi, Haji Indonesia Dalam Perspektif Historis, disampaikan dalam peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, 5.

32


(42)

penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai yang tidak dikenal.33 Banyak dari mereka juga yang meninggal di tengah perjalanan akibat kekurangan bekal makanan dan tidak kuat menghadapi rintangan serta tantangan perjalanan laut. Tidak hanya itu, kehadiran perompak atau bajak laut juga siap menghalau dan merampas harta benda mereka. Aktivitas militer Portugis juga belakangan dilaporkan menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan calon jamaah haji yang akan pergi ke Mekkah.

Pada periode permulaan haji, para jamaah calon haji dari Nusantara tidak menggunakan kapal layar khusus haji. Kapal-kapal haji adalah kapal-kapal pengangkut barang yang tidak dilengkapi dengan akomodasi untuk penumpang. Perjalanan haji ke Tanah Suci pada umumnya ditempuh dengan menggunakan kapal dagang milik domestik maupun kapal dagang asing, seperti milik orang-orang Arab, Persia, Turki dan India.34 Melalui kapal dagang itulah para calon jamaah haji berangkat ke Tanah Suci dan kembali lagi ke Nusantara.

Waktu itu belum dijumpai kapal yang berlayar dari Nusantara ke Jeddah, maka terpaksa calon jamaah haji harus mengganti kapal dari pelabuhan dagang satu ke pelabuhan dagang yang lain di Nusantara dan berakhir di pelabuhan Aceh. Dari Aceh mereka menunggu kapal yang akan berlayar ke India, kemudian menunggu

33

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 48.

34


(43)

lagi kapal yang akan berlayar ke Hadramaut, Yaman atau langsung berlayar ke Jeddah.35 Selain itu, di tengah perjalanan mereka menyinggahi berbagai pelabuhan besar di pantai Malaya, Jazirah India dan Arab untuk membongkar barang dan menambah perbekalan.36

Pada masa awal, perjalanan haji dari Nusantara tidak memerlukan biaya yang cukup besar. Ini dikarenakan mereka menumpang di kapal dagang dan tidak perlu membayar tiket kapal. Oleh karena itu, fasilitas yang mereka peroleh pun seadanya, tidak jarang mereka ditempatkan di tempat barang atau bahkan ditempatkan di tempat ternak.37 Pengeluaran terbesar mereka adalah biaya untuk makan dalam perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Bagi para saudagar, biaya haji diperoleh dari perdagangan yang dilakukan di Jeddah atau di Mekkah. Sedangkan bagi utusan atau ulama penuntut ilmu, mereka mendapatkan biaya dari sultan yang mengutusnya.

35

Ali Mufrodi, Haji Indonesia, 10.

36

C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 163.

37


(44)

BAB III

HAJI PADA MASA KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA

A. Sejarah Pelaksanaan Haji Pada Masa Kolonial Belanda Di Indonesia 1. Haji Di Masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne)

Nusantara adalah kepulauan penghasil rempah-rempah. Pada saat itu, rempah-rempah merupakan komoditas yang paling dicari dan diminati oleh pasar dunia. Malaka dikenal sebagai pintu gerbang menuju Nusantara. Para pedagang asing yang hendak masuk atau keluar pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pasti melewati dan singgah terlebih dahulu di pelabuhan Malaka.

Kejayaan Malaka sebagai pelabuhan besar menuju pulau rempah-rempah terdengar sampai ke Benua Eropa. Raja Portugis mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka.1 Orang-orang Portugis datang ke Malaka karena telah mendapat laporan dari pedagang-pedagang Asia. Mereka mendapat laporan bahwa Malaka merupakan pelabuhan transito yang banyak didatangi pedagang dari segala penjuru angin dan mempunyai kekayaan yang sangat besar.2

1

M. C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 33.

2

Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 335.


(45)

Pada tahun 1511 Malaka berhasil ditaklukan oleh Portugis.3 Setelah keberhasilan Portugis menguasai Malaka, datanglah orang-orang Belanda yang mewarisi aspirasi-aspirasi dan strategi Portugis. Karena sebelum datangnya Portugis, perdagangan tidak menggunakan kekuatan bersenjata. Orang-orang Belanda membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal dan dukungan keuangan yang lebih baik serta kombinasi antara keberanian dan kekejaman yang sama.4

Pada bulan Juni 1596 kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk pertama kalinya tiba di Banten. Sejak kedatangannya, Belanda berusaha menancapkan eksistensinya di pulau Nusantara dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang perdagangan. Pada bulan Maret 1602, akhirnya Belanda membentuk sebuah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau yang sering dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagne).5

Sikap VOC terhadap umat Islam di Nusantara khususnya mereka yang akan pergi menunaikan ibadah haji terasa sangat sentimen. Memang pada umumnya, VOC melarang para calon haji ikut kapal VOC dan kadang-kadang juga melarang haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia.6 Tetapi pada akhirnya politik yang diterapkan VOC terhadap umat Islam yang hendak pergi ke Mekkah

3

Ibid.

4

M. C. Ricklef, Sejarah, 37.

5

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 70-71.

6

Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19 (Jakart: P.T. Bulan Bintang, 1984), 234.


(46)

tidaklah konsisten. Sikap VOC terhadap Islam dan jamaah haji sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan perdagangan dan kepentingan politik. Khususnya dalam rangka untuk mendapatkan simpati dari Sultan Mataram.

Sejak awal, hubungan antara VOC dengan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Mataram) tidaklah begitu baik. Pada tahun 1614 pihak VOC mengirim seorang duta untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma atas pengangkatannya sebagai raja. Namun, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma malah memperingatkan duta tersebut bahwa persahabatan yang diingikan VOC tidak akan terlaksana apabila VOC berusaha merebut Tanah Jawa.7 Mataram merupakan kerajaan pemasok beras dan VOC sangat membutuhkan beras Jawa, yang tanpa itu Belanda dan sekutu-sekutunya tidak dapat hidup.8 Selain itu, VOC juga memerlukan kayu dari wilayah kekuasaan Mataram untuk membuat kapal-kapal VOC.

Pada 24 September 1646 M./13 Ramadhan 1056 H. VOC mengadakan perjanjian perdamaian dengan Amangkurat I, Raja Mataram (penganti Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma). Pada perjanjian itu disepakati bahwa kerajaan Mataram bermaksud mengirim ulamanya ke Mekkah dan Madinah untuk meningkatkan

7

M. C. Ricklef, Sejarah, 68-69.

8


(47)

pengetahuan agamanya, maka mereka dapat diangkut dengan kapal VOC.9 Dalam perjanjian ini juga VOC mengembalikan uang yang telah dirampas dari seorang utusan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma yang sedang melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun 1642.10 Utusan tersebut naik kapal layar Inggris namun dihadang oleh Belanda di perairan Batavia.

Pada tahun 1664, atas permintaan sultan Banten VOC mengizinkan seorang imam Muslim naik kapal VOC untuk melakukan perjalanan ke Mekkah. Namun pada tahun yang sama VOC tidak mengizinkan tiga orang Bugis yang pulang dari Mekkah untuk mendarat di Batavia dan memutuskan agar mereka di buang ke Tanjung Harapan.11 Sikap baik hati VOC mengabulkan permintaan sultan Banten mungkin juga agar VOC mendapat simpati dari sultan Banten, mengingat Banten merupakan sumber lada yang utama, yang bahkan dalam dunia perdagangan menjadi lebih penting daripada rempah-rempah Maluku.12

Sikap VOC yang memperbolehkan seorang imam Muslim Banten yang akan melakukan perjalanan ke Mekkah dengan naik kapal VOC sebenarnya bertentangan dengan ordonansi agama yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Reyneirs pada tanggal 7 Maret dan

9

Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), 119.

10

M. C. Ricklef, Sejarah, 107.

11

Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Terj. Soedarso Soekarno dan Theresia Slamet (Jakarta: INIS, 1997), 5.

12


(48)

28 November 1651. Inti dari ordonansi agama tersebut berisi larangan terhadap aktivitas seluruh agama non Protestan seperti, Islam, Yahudi dan Katolik Roma, baik di negeri Belanda maupun di wilayah negeri jajahan Belanda, Indonesia.13 Larangan untuk mempraktikan aktivitas agama selain Protestan masih tetap diberlakukan oleh Gubernur Jendral Campoeijs sampai tahun 1691 M. dan ibadah haji merupakan bagian dari aktivitas ritual agama Islam yang menurut ordonansi agama 1651 dilarang.

Untuk pertama kalinya, pada tahun 1674 seorang pangeran Jawa juga naik haji menggunakan kapal VOC. Ia adalah Abdul Qahhar yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Ia merupakan putra dari Sultan Ageng Tirtayasa (Banten).14 Namun, pada 27 Februari 1778 M./27 Safar 1192 H. VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung Buitenzorg (Bogor) yang masing-masing ingin mengirim seorang ulamanya ke Mekkah.15 Tidak lama kemudian, pada 26 Oktober 1790 seorang jamaah haji bersama pembantunya dengan menumpang kapal VOC berangkat ke Malabar lalu melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Pada kesempatan lain juga VOC mengizinkan dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal VOC untuk berangkat ke Surat tanpa harus membayar dan dari sana

13

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2012), 175.

14

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 42.

15


(49)

mereka dapat berangkat ke Mekkah.16 Tidak diketahui secara pasti alasan VOC menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung Buitenzorg (Bogor). Juga tidak diketahui alasan VOC mengizinkan dua orang utusan yang berasal dari Periangan naik kapal VOC.

Demikian sikap VOC terhadap jamaah haji tergantung pada keadaan politik di Kepulauan Nusantara dan kepentingan-kepentingan VOC. Ada kalanya mereka membolehkan calon jamaah haji naik kapal dagang VOC dan ada kalanya mereka melarang calon jamaah haji untuk naik kapal VOC bahkan melarang mereka yang pulang dari Mekkah untuk mendarat di Batavia.

Pada abad XVII dan XVIII, tidak ada berita dengan kapal apa orang haji seperti Arsyad Banjar pulang dari Mekkah dan tiba di Batavia pada tahun 1186 H./1773 M.17 Maklum pada abad XVII dan XVIII terjadi kekacauan monopoli perdagangan dan perpolitikan di Nusantara. Kapal dagang milik asing seperti milik orang-orang Arab, Persia, Turki dan India tidak ada kabarnya lagi dalam pengangkutan jamaah calon haji dari Nusantara seperti abad-abad sebelumnya. Hanya ada data yang menyebutkan tentang kapal layar Inggris saja, yang

16

Ibid.

17

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 331.


(50)

ditumpangi oleh delegasi Sultan Agung Mataram ke Mekkah untuk mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekkah pada tahun 1641.18

Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan suasana politik tidak kondusif untuk melakukan perjalanan haji, namun selama abad XVII dan XVIII masih banyak juga penduduk Nusantara yang pergi ke Mekkah untuk berhaji dan menimbah ilmu di sana. Seperti Abdurrauf Singkel (1615-1693 M.), Muhammad Yusuf Maqassari (1627-1699 M.), Abdus Samad al-Palimbani (1704-1789 M.), Arsyad Banjar (1710-1812 M.), dan lain-lain. Maka dengan sendirinya terbentuk masyarakat pribumi yang menetap (mukimin) di Mekkah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada abad XVII dan XVIII, pada umumnya umat Islam Indonesia yang mengunjungi Tanah Suci pada waktu itu, adalah para diplomat utusan sultan dan para musafir penuntut ilmu, yang kemudian memanfaatkan keberadaannya di sana sambil menunaikan ibadah haji.

2. Haji Di Masa Kolonial Belanda

Setelah Jendral Speelman meninggal dunia, VOC memasuki masa-masa sulit bahkan hampir gulung tikar karena semakin banyaknya hutang. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, sikap imoral

18

Ali Mufrodi, Haji Indonesia Dalam Perspektif Historis, disampaikan dalam peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003, 10-11.


(51)

terjadi di kalangan para pejabat VOC. Maka pada 31 Desember 1799 secara resmi VOC dibubarkan.19 Setelah VOC dibubarkan, kekuasaan VOC di Indonesia diambil alih langsung oleh pemerintah Belanda.

Pada dasarnya sikap VOC maupun pemerintah Belanda sama saja terhadap umat Islam di Indonesia, khususnya mereka yang akan menjalankan rukun Islam yang kelima. Sikap VOC maupun pemerintah Belanda sama-sama ingin membatasi dan bahkan cenderung mempersulit umat Islam Indonesia untuk pergi ke Mekkah. Pada tahun 1810, Gubernur Jendral Marsekal Herman Willem Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para calon haji, yang disebutnya sebagai pastor Islam atau Muhammadaansche Priesters, harus mempunyai dan memakai pas jalan apabila mereka ingin pergi dari satu tempat di Jawa ke tempat yang lain.20 Alasan dikeluarkannya peraturan pemakaian pas jalan atau paspor ini adalah sebagai bentuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Hindia Belanda.

Kedudukan Gubernur Jendral Daendels digantikan oleh Gubenur Jendral Thomas Stamford Raffles, setelah pemerintah Inggris mengambil alih wilayah Indonesia (1811-1816 M). Sama seperti Deandels, Raffles juga menganggap agama Islam sebagai unsur yang cukup berbahaya. Sejak tahun 1811, melalui surat edaran, Raffles

19

Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 1.

20

Steenbrink, Beberapa Aspek 235. Lihat pula C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 169. Para jamaah yang kembali dianggap sebagai semacam pendeta oleh pemerintah Belanda.


(52)

memperingatkan para gubernur akan bahaya para “sayid atau pastor

pribumi”.21

Deandels dan Raffles menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekkah sebagai bahaya politik. Anggapan ini berdasarkan pengetahuan mereka yang masih minim tentang Islam.

Kebijakan pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada seperempat pertama abad XIX dimulai dengan dikeluarkannya Resolusi tahun 1825, yang diarahkan pada pembatasan kuota jamaah haji. Sebab dikeluarkannya Resolusi 1825 berawal dari laporan Residen Batavia bahwa sekitar 200 orang pribumi yang berasal dari Residen Batavia dan residen lainnya menghadap polisi dengan maksud untuk memintah pas jalan dan sekaligus melaporkan perjalanan haji ke Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaik Umar Bugis.22 Berdasarkan peristiwa tersebut maka dikeluarkanlah Resolusi Gubernur Jenderal pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9 yang intinya mengizinkan naik haji menggunakan kapal Magbar dan menetapkan bahwa setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk pembayaran pas jalan atau paspor haji.23 Mulai saat itu pula, syaikh haji dari Mekkah mulai mengadakan kampanye haji di Indonesia.

Para calon haji yang tidak mempunyai pas jalan akan dikenakan denda dengan membayar 1000 gulden, jumlah uang yang

21

Ibid.

22

Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia,8.

23

Arsip Nasional RI, Resolusi 18 Oktober 1925 No. 9. Lihat pula Putuhena, Historiografi, 126 dan Majid, Berhaji, 89.


(53)

sangat besar pada masa itu. Peraturan tahun 1825 kemudian diubah pada tahun 1831, yaitu dengan mengurangi denda dari 1000 gulden menjadi 220 gulden (dua kali lipat harga pas jalan).24 Namun peraturan ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Daerah di luar Jawa dan Madura pada umumnya belum sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda.

Setelah kebijakan yang ditetapkan sebelumnya gagal, karena banyak calon jamaah haji yang menghindar dari ketentuan Belanda dengan berangkat dari Sumatra maupun daerah luar Jawa dan Madura. Maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru, yaitu dengan mengeluarkan ordonansi haji tahun 1859.25 Padahal pada tahun 1855 pemerintah Belanda menyatakan netral terhadap agama.26 Inti dari ordonansi tahun 1859 adalah sebegai berikut:27 pertama, harus mempunyai pas jalan yang diperoleh dari penguasa setempat. Kedua, harus mencukupi kebutuhan keluarga yang akan ditinggalkan. Ketiga, harus melaporkan kepulangannya kepada penguasa setempat. Keempat, diharuskan mengikuti ujian haji dan apabila lulus ujian akan diberikan setifikat haji dan diperbolehkan menggunakan pakaian haji.

24

Arsip Nasional RI, Resolusi 26 Maret 1831 No. 31, yang dikutip Majid, Berhaji, 91. Lihat pula Steenbrink, Beberapa Aspek, 236.

25

Ordonansi haji pada tahun 1859 ini lebih ketat daripada peraturan haji yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebelumnya.

26

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 26-27.

27


(54)

Namun apabila tidak lulus ujian haji maka dikenakan denda dari 25 gulden sampai 100 gulden untuk tiap-tiap pelanggaran.28

Peraturan ini dimuat dalam lembaran Negara Hindia Belanda (Staatblad van Nederlandsch-Indie) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan China. Meskipun peraturan ini baik karena mensyaratkan calon jamaah harus mampu dalam ekonomi untuk menjalankan haji juga harus menjamin keperluan keluarganya selama ditinggal haji. Namun peraturan ini merupakan bagian dari usaha Belanda menghalangi ibadah haji, terutama bila diperhatikan dari pelaksanaannya. Jamaah diharuskan menyimpan uang di kas keresidenan sebesar 500 real dan diberi tanda bukti penyimpanan. Sekembalinya dari haji mereka bisa mengambilnya kembali.29 Namun tidak dijelaskan bagaimana mencairkan uang mereka kembali. Selain itu, mereka juga diharuskan memperlihatkan sekurang-kurangnya membawa uang 500 gulden kepada bupati setempat di daerah tempat tinggalnya atau para pegawai yang diberi tugas di kapal yang akan membawa ke Mekkah.

Jumlah 500 gulden sangat besar bagi calon haji dan kenyataannya banyak calon haji yang tidak ingin memperlihatkan uangnya yang sebenarnya kepada pegawai kapal maupun

28

Ketetapan tentang denda yang harus dibayar pada ordonansi 6 Juli 1859 No. 42 dicantumkan kembali pada ordonansi tahun 1902 no. 381. Lihat Staatblad van Nederlandsch-Indie 12 Agustus Tahun 1902 No. 318.

29


(55)

rekannya sesama jamaah. Maka mereka meminjam uang kepada para agen peminjaman uang untuk diperlihatkan kepada pegawai yang bersangkutan. Sesudah diperlihatkan kepada sang pegawai, lalu uang tersebut dikembalikan. Tentu saja tanpa sepengetahuan pegawai yang bersangkutan.30

Selain mengeluarkan kebijakan tentang penyelenggaraan ibadah haji, usaha pihak Belanda untuk mengawasi jamaah haji diperkuat dengan didirikannya konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1872.31 Padahal pada waktu didirikannya konsulat Belanda di Jeddah belum ada kapal yang menghubungkan secara langsung antara Indonesia dan Jeddah. Angkutan para jamaah haji Indonesia dipegang oleh kapal asing seperti Arab dan Inggris.32 Pembukaan konsulat Belanda di Jeddah juga sekaligus menjadi tempat berlindung para jamaah haji di Indonesia dari berbagai macam kesulitan yang mereka temui selama tinggal di Arab.33 Setelah adanya konsulat Belanda di Jeddah, para jamaah haji yang berasal dari Indonesia harus menunjukkan pas jalan mereka untuk diberi cap oleh konsul lalu pas jalan tersebut ditukar dengan visa,34 pas jalan yang suah diberi cap

30

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1945, Cet VII (Jakarta: LP3ES, 1994), 32.

31

Ibid.

32

Jacob Vredenbergt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya Di Indonesia”, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia, 37.

33

C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid X, Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta:INIS, 1994), 82.

34

Staatblad van Nederlandsch-Indie 6 Juli 1859 No. 42. dalam art. 3 menjelaskan kewajiban jamaah haji meminta visa bagi yang mempunyai pas jalan apabila Konsulat Belanda sudah didirikan.


(56)

nantinya saat pulang ke Indonesia harus diperlihatkan kepada bupati atau pemerintah setempat. Konsulat Belanda di Jeddah ditempatkan di bawah Departeman Luar Negeri dan harus mengirimkan laporannya ke Den Haag. Dari Departeman Luar Negeri, laporan dari konsulat Belanda dikirim ke Departemen Koloni, kemudian baru dilaporkannya ke Gubenur Jenderal.35

Selama abad XIX, pegawai konsulat Belanda di Jeddah pada umumnya tidak dipersiapkan secara khusus, mereka tidak bisa menguasai bahasa Arab maupun Indonesia, apalagi harus diganti setiap dua atau tiga tahun sekali. Oleh karen itu, ada saja konsul yang mencari keuntungan dan korupsi. Akibatnya pernah ada rumah konsul yang diserbu oleh para haji yang akan kembali ke Indonesia karena kecerobohan konsul menghilangkan tiket haji, paspor haji dan sebagainya.36 Selain itu wilayah konsul pada abad XIX terbatas di daerah Jeddah saja karena umumnya pada abad XIX konsul Belanda di Jeddah adalah bukan orang Muslim, sehingga dilarang masuk ke Tanah Suci dan hanya terbatas di Jeddah saja. Berbeda dengan abad berikutnya yang melibatkan orang pribumi sebagai bagian dari konsulat Belanda di Jeddah. Seperti Haji Agus Salim yang pernah menjabat sebagai sekretaris drogman pada Konsulat Jeddah.37

35

Steenbrink, Beberapa Aspek, 246.

36

Ibid., 245.

37


(57)

Sejak pertengahan kedua abad XIX, jumlah umat Islam Indonesia yang pergi menunaikan ibadah haji semakin bertambah banyak. Ini akibat dibukanya terusan Suez tahun 1869 dan digunakannya kapal uap atau kapal api sebagai kapal haji. Bahkan yang biasanya umat Islam Indonesia yang naik haji adalah kaum laki-laki, kini kaum perempuan serta anak-anak pun dilaporkan ikut serta melaksanakan haji.38 Catatan mengenai jamaah haji perempuan Indonesia dibuat pada dekade akhir adad XIX.

Pada tahun 1882-an pemerintah Belanda memberikan peluang kepada para bupati memungut premi 2,50 gulden per-kepala sebagai hasil pemberangkatan jamaah haji di wilayahnya ke Mekkah dengan menggunakan kapal Nederlandsch dan Rotterdamsche.39 Namun pada tahun 1889, sirkuler 1882 yang mengizinkan para pejabat pribumi mengambil premi ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku lagi karena banyak menimbulkan masalah.

Perkembangan jumlah jamaah haji Indonesia pada abad XIX dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, semakin banyak umat Islam Indonesia yang memahami kedudukan ibadah haji dalam agama Islam, sehingga merasa mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya. Pemahaman tentang kewajiban haji ini merupakan hasil dari semakin banyak berkembangnya pendidikan Islam di Tanah

38

Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid IX, 164.

39

Ketentuan ini diperkuat dengan dikeluarkannya sirkuler Sekretaris Pertama Gubernemen khusus pada butir 8, 6 Juni 1882 No. 906B lihat Majid, Berhaji, 57.


(1)

3. Latar belakang pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan ordonansi haji disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, jumlah umat Islam Indonesia yang pergi ke Mekkah semakin bertambah banyak, sehingga berakibat pada jumlah uang yang mengalir dari Indonesia ke negeri Arab meningkat dan dalam jumlah yang cukup besar. Ini artinya mengurangi keuntungan negara Belanda karena uang di negeri jajahannya mengalir ke tempat lain. Kedua, pemerintah Belanda ingin membatasi jumlah umat Islam Indonesia yang ingin pergi menunaikan ibadah haji karena menurut pemerintah kolonial Belanda, para haji yang kembali ke Tanah Air pasca menunaikan ibadah haji akan menanamkan benih fanatisme dan kefanatikan, sehingga dapat menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Ketiga, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir bahwa jamaah haji Indonesia dapat bertemu dengan sesama Muslim dari seluruh dunia Islam dan tidak mustahil akan menumbuhkan kesadaran untuk melawan pemerintah Belanda. Keempat, agar dapat menekan jumlah para jamaah haji pribumi yang bermukim di Mekkah. Kelima, disebabkan ribuan jamaah haji yang kembali dari Mekkah membawa penyakit menular dan dikawatirkan akan menyebar di Tanah Air. Keenam, adanya reaksi dari umat Islam Indonesia untuk memperbaiki sarana dan fasilitas pengangkutan haji.


(2)

B. Saran

Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima, yang wajib hukumnya bagi yang mampu secara materi maupun fisik. Dalam penulisan skripsi terkait kebijakan haji pada masa kolonial Belanda ini, terbatas pada pembahasan pelaksanaan haji di masa kolonial Belanda, kebijakan politik haji dan ordonansi haji. Untuk itu pada bagian akhir ini, sebagai saran akan bermanfaat bagi perkembangan selanjutnya, yaitu:

1. Diharapkan kepada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora agar lebih memperbanyak literatur sejarah, khususnya sejarah umat Islam pada masa kolonial Belanda di Indonesia.

2. Diharapkan kepada perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya untuk memperbanyak dan melengkapi berbagai literatur sejarah, terutama sejarah yang berkaitan dengan sejarah haji di Indonesia dan kebijakan politik haji di Indonesia.

3. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar lebih memperdalam lagi penelitiannya mengenai kebijakan ordonansi haji pada masa kolonial Belanda di Indonesia untuk menyempurnakan lagi hasil penelitian ini.

Dengan mengucap syukur alhamdulillahi rabilalamin penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya, tulisan ini belum bisa dikatakan sempurna. Walaupun secara maksimal telah diupayakan kesempurnaannya, namun masih banyak kekurangan,


(3)

kelemahan, dan banyak celah yang masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu, penulis tidak menutup mata dan telinga untuk mendengar dan menerima tegur sapa atau kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan hasil penelitian ini.

Tiada seorang pun yang sukses tanpa bantuan orang lain dan tiada seorang pun sukses tanpa membutuhkan orang lain. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu dan memberikan semangat demi terselesaikannya penulisan penelitian ini. Mudah-mudahan amal baik semuanya memperoleh balasan dari Allah SWT.

Akhirnya hanya kepada Allahlah penulis mengharap dan memohon ridho-Nya, dan penulis berdo’a mudah-mudahan tulisan ini mempunyai manfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.,


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Arsip:

Arsip Nasional RI. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1859 No. 42. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1875 No. 161. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1881 No. 158 ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1898 No. 294. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1902 No. 318 ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1909 No. 396. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1911 No. 277, 334. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1915 No. 641. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1922 No. 698. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1923 No. 587. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1927 No. 286. ______________. Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1932 No. 552. Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 1999.

Sumber Buku:

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Aidit, D.N. Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. Jakarta: Jajasan Pembaharuan, 1962.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa

Pendudukan Jepang. Terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi

Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.


(5)

Douwes, Dick dan Nico Kaptein. Indonesia dan Haji. Terj. Soedarso Soekarno, Theresia Slamet. Jakarta: INIS, 1997.

Fathurrahman, Deden dan Wawan Sobari. Pengantar Ilmu Politik. Malang: UMM Press, 2002.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset, 1980.

Hamid, Abd Rahman dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011.

Haryono, M. Yudhie, et.al. Haji Mistik: Sepertinya Tiada Haji Mabrur di

Indonesia. Bekasi: Penerbit Nalar, 2002.

Hurgronje, C. Snouck. Islam di Hindia Belanda. Terj. S. Gunawan. Jakarta: PT Bhratara Karya Aksara, 1983.

__________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V. Terj. Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS, 1996.

__________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII. Terj. Soedarso Soekarno. Jkarta: INIS, 1993.

__________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX. Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.

__________. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X. Terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.

Jannah, Miftahul. “Politik Hindia Belanda Terhadap Umat Islam Indonesia”. Skripsi, UIN Sunan Ampel Fakultas Adab dan Humaniora, Surabaya, 2014. Kartodirdjo, Sartono. Metodologi Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.

__________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium

Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kartono, Ahmad dan Sarmidi Husna. Ibadah Haji Perempuan Menurut Para

Ulama Fikih. Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2013.

Lapindus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam Bag. 3. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Lubis, Nabilah. Menyingkap Rahasia Ibadah Haji. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.


(6)

Mufrodi, Ali. Haji Indonesia dalam Perspektif Historis. Disampaikan dalam Peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945. Jakarta: LP3ES, 1994.

Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

__________. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Putuhena, Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKis, 2007.

Ricklef, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.

Shihab, Quraish. Haji Bersama M. Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1998. Sholikhin, Muhammad. Keajaiban Haji dan Umrah: Mengungkap Kedahsyatan

Pesona Ka’bah dan Tanah Suci. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013.

Steenbrink, Kareel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.

Sudarsono dan Susmayati. Mengenal Keesaan Tuhan Ka’bah Pemersatu Umat

Islam. Jakarta: Asdi Mahasatya, 1992.

Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. Bandung: PT Grafindo Media Pratama, 2009.

Taqiyudin, Achmad et.al. Antara Mekkah dan Madinah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tanpa Tahun.

Tim Penyusun Buku PWNU Jatim. Peranan Ulama dalam Perjuangan

Kemerdekaan. Surabaya: Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur,

1995.

Sumber Internet:

http://kesultanankadriah.blogspot.co.id/2012/07/kerajaan-saudi-dan-sejarahnya. (01 Februari 2016)