Pelabuhan Labuhan Bilik Pada Masa Kolonial Belanda (1862-1939)

(1)

PELABUHAN LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL

BELANDA (1862-1939)

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O l e h

NAMA : Naf’an Rathomi NIM : 070706020

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PELABUHAN LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL BELANDA (1862-1939) SKRIPSI SARJANA

OLEH

NAMA : Naf’an Rathomi NIM : 070706020 Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 195406031983032001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PELABUHAN LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL BELANDA(1862-1939) Yang diajukan oleh :

NAMA : Naf’an Rathomi NIM : 070706020

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap, SU tanggal……….

NIP. 195406031983032001 Ketua Departemen Sejarah,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum tanggal……….

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PELABUHAN LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL BELANDA (1862-1939) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

l e h

NAMA : Naf’an Rathomi NIM : 070706020

Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 195406031983032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian FAKULTAS ILMU BUDAYA USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001


(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh.

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A. Nip. 195110131976031001

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (……….)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (……….)


(7)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, nikmat, hidayah dan inayahNya jualah penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan skripsi ini dengan baik, mulai dari proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan hingga penulisan. Shalawat beriring salam semoga selalu terucap buat junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, semoga mendapat syafaatnya di Yaumil Hisab kelak.

Penulisan skripsi adalah syarat bagi mahasiswa untuk memperoleh suatu gelar sarjana. Demikian juga halnya skripsi merupakan satu kewajiban akademis untuk meraih gelar sarjana di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini, penulis mengangkat sebuah permasalahan yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “Pelabuhan Labuhan Bilik pada Masa Kolonial Belanda (1862-1942)”.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata “Sempurna”, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Amiin…

Medan, Juni 2011 Penulis


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dan selesai tanpa bantuan, dorongan, layanan dan semangat baik itu materil maupun moril dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada sekalian handai tolan yang telah mambantu demi terselesaikannya sebuah tulisan yang sederhana ini. Bantuan itu datang dari berbagai pihak yaitu:

1. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda M. Nur. B dan Ibunda Mahyani Harahap yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan moril dan materil dan do’a restu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya sederhana ini. Tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa dan karya ini mungkin akan hanya ada dalam hayalan penulis semata.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawai.

3. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sejarah serta Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah membantu lancarnya penyelesaian skripsi ini.

4. Dosen pembimbing penulis, Dra. Fitriaty Harahap, SU yang telah memberikan masukan, saran, kritik, nasehat, waktu luang, serta perhatian yang begitu besar kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah mencurahkan perhatian, nasehat, semangat serta kasih sayang sebagai ibu angkat penulis di kampus selama penulis menjadi mahasiswa.


(9)

6. Kepada seluruh staf pengajar Departemen Sejarah yang telah memberikan penulis banyak pencerahan, pengetahuan, pengalaman, pendidikan serta wawasan selama penulis menjadi mahasiswa baik itu di Kampus dan di luar kampus. Tidak lupa juga pada staf TU Departemen Sejarah, Bang Ampera yang telah banyak membantu penulis terutama masalah administrasi selama penulis menjadi mahasiswa.

7. Kepada Kak Mazlina, SE, Bang Afda Rifai, S.Pd dan Adik Fadillah Alfi (Raheel) yang memberi semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan karya sederhana ini. Tidak lupa kepada Atok, Incek, Ibu, Unden, Abah, Atak dan Adek keluarga besar penulis atas bantuan dan dorongan kalian semua.

8. Kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan USU, Kantor Biro pusat Statistik (BPS) Labuhan Batu, Kantor Camat Panai Tengah, Kantor Lurah Labuhan Bilik, Kantor Polisi Sektor Panai Tengah, Kantor Pos Panai Tengah, Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Tanjung Sarang Elang, Puskesmas Panai Tengah dan lainnya yang telah memberikan data dan pelayanan yang sangat memuaskan selama penulis melakukan penelitian.

9. Kepada Nasrul Hamdani, SS, Odi Arma, SS, Hapidz Syahril, Bang Ijal Sitompul serta isteri, Sardani Nasution, Ijal dan lainnya yang telah membantu dan meluangkan waktu, tempat, kenderaan serta informasi bagi penulis selama pengumpulan data penelitian. Terkhusus kepada Sepupu penulis Nirwan Nasution yang bersedia memberi galangan dana tambahan bagi penulis.

10. Kepada senior-senior penulis Ramlan, SS, Firman, SS, M. Afan, SS, Heri Setianto, dan lainnya yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu.


(10)

11. Kepada Ijah’s Family, Om Hermandra Ketaren (Soak), Ibu Khadijah (Nisa), Annisa Kartika Ketaren (Ica), Desi Andika (Eci), Bang Dedi Supriadi (Ciplak), Kak Oriza, Bang Ain, Bang Deni Ginting, Kak Piolina (Pipin), Kak Deby, Bang Wardika, Budi (Gisom), Aka (Tebo), Siti, Fahzur, Anan (Gonan) dan lainnya atas dukungan dan dorongan kalian semua.

12. Kepada rekan-rekan stambuk 2007, Oliday, Budi, Aka, Siti, April, Mohan, Anton, Azmi, Astina, Asima, Ade, Sulis, Sari, Hendrik, Usman, Andrey Staycool, Iwan Pratama, Krisman, Togi, Oky, Soji, Ucil, Okta, Juli, Judika, Bona, David, Eta, Nora, Intan, Andika dan Meisia atas dukungan dan dorongan serta kekompakan kita semua. 13. Kepada seluruh mahasiswa Departemen Sejarah atas dukungan dan perhatian kalian

semua.

14. Kepada rekan-rekan sekampung halaman Dewi, Ajizah, Alan, Budi, Efi, Timah, Inur, Jiah, Iwan, Agus, Iwan Arja, Bang Agus Salim, S.Ag, Hendra, Ifan, Izul, Dedi, Fadillah, Endang, Ijah, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas dukungan dan dorongan semangat kalian semua.

Akhirnya untuk semua orang yang telah membantu langsung maupun tidak langsung penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga kebaikan dan bantuan kalian semua mendapat imbalan dari Tuhan. Amiin…

Medan, Juni 2009 Penulis


(11)

KONFERSI UKURAN

1 ton = 1.000 kilogram (kg.) 1 pikul = 61,761 kg. = 100 kati 1 koyang = 3 pikul

1 ha. = 1,4091 bau (bahu) 1 kilometer (km.) = 1.000 meter (m.) 1 mil laut = 1,852 km. = 1852 m.

1 stuk = 1 buah

1 vaten = 1 zak/karung

1 gantang = ± 2,3-2,7 kg. (beras) = ± 1,7-2,2 kg. (padi) 1 bara = 1 bulatan dua tangan dewasa

1 kodi = 20 buah

1 buk = 1 bal/gulung

Catatan: untuk uang, bangsawan dan masyarakat kerajaan Panai menyatakan bahwa 1 Gulden sama dengan 1 Rupiah.


(12)

DAFTAR ISI

PRAKATA….. ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

KONFERSI UKURAN ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK… .. ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Kajian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian ... 11

BAB II LABUHAN BILIK SEBELUM PENETRASI BELANDA ... 14

2.1 Geografi dan Penduduk ... 14

2.2 Pemerintahan ... 15

2.2.1 Sejarah Singkat Kerajaan Panai ... 15

2.2.2 Pusat Kerajaan Panai ... 18

2.2.3 Sistem Pemerintahan di Kerajaan Panai ... 19


(13)

2.3.1 Perdagangan ... 20

2.3.2 Pertanian ... 21

2.3.3 Transportasi ... 22

2.4 Perbudakan ... 22

2.5 Agama dan Pendidikan ... 23

2.6 Perobatan ... 23

2.7 Peradilan dan Sanksi... 24

2.8 Pajak……….. ... 25

BAB III LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL (1862-1939) ... 26

3.1 Pemerintahan ... 27

3.2 Penduduk….. ... 31

3.3 Infrastruktur ... 33

3.3.1 Transportasi ... 34

3.3.1.1 Transportasi Air ... 34

3.3.1.2 Transportasi Darat ... 35

3.3.2 Perdagangan ... 37

3.3.3 Pertanian ... 38

3.3.4 Industri ... 42

3.3.5 Infrastruktur Lain ... 43

3.4 Pendidikan ... 43

3.5 Kesehatan ... 46

3.6 Keamanan ... 46


(14)

3.8 Pajak dan Pendapatan Negara ... 48

BAB IV KEBERADAAN DAN WILAYAH CAKUPAN PELABUHAN LABUHAN BILIK ... 51

4.1 Letak dan Posisi Pelabuhan Labuhan Bilik ... 51

4.2 Penyerahan Pengelolaan Pelabuhan Labuhan Bilik ... 52

4.3 Wilayah Cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik ... 53

BAB V AKTIVITAS EKSPOR-IMPOR DI PELABUHAN LABUHAN BILIK (1914-1939)…. ... 59

5.1 Komoditas Ekspor-Impor ... 59

5.2 Tujuan dan Asal Ekspor-Impor ... 60

5.3 Kuantitas Ekspor-Impor ... 62

5.3.1 Kuantitas Ekspor ... 62

5.3.2 Kuantitas Impor ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

6.1 Kesimpulan ... 80

6.2 Saran………. ... 83 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk Onderafdeling Labuhan Batu pada Tahun 1931 Tabel 2 : Onderneming-onderneming di Labuhan Batu pada tahun 1924 Tabel 3 : Ondenemingsrubber di Labuhan Batu pada 1931

Tabel 4 : Jumlah Sekolah Belanda dan Siswa di Labuhan Batu pada tahun 1931 Tabel 5 : Daftar Kampung yang Berada di Aliran Sungai Barumun

Tabel 6 : Daftar Kampung yang Berada di Aliran Sungai Kanan Tabel 7 : Daftar Kampung di Aliran Sungai Bilah

Tabel 8 : Komoditas impor berdasarkan satuan yang digunakan

Tabel 9 : Kuantitas Ekspor dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada periode pertama (1914-1926) dalam ton.

Tabel 10 : Perbandingan persentase Ekspor karet perkebunan dan karet rakyat

Tabel 11 : Perbandingan persentase Ekspor dari Pelabuhan Labuhan Bilik per komoditas pada tahun 1914-1930 (%)

Tabel 12 : Kuantitas Ekspor dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada periode kedua (1927-1939) dalam ton

Tabel 13 : Persentase Angka Ekspor Per Komoditas dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada tahun 1927-1939

Tabel 14 : Kuantitas Impor Beras Ke Pelabuhan Labuhan Bilik pada tahun 1914-1939 dalam Kg

Tabel 15 : Kuantitas Impor ke Pelabuhan Labuhan Bilik pada tahun 1915-1928

Tabel 16 : Kuantitas Impor Ke Pelabuhan Labuhan Bilik bagian kedua (1929-1939) dalam satuan Ton.

Tabel 17 : Persentase Impor Beras dari Total Inpor Ke Pelabuhan Labuhan Bilik pada tahun 1929-1939

Tabel 18 : Total Ekspor-Impor di Pelabuhan Labuhan Labuhan Bilik pada Tahun 1924-1939 dalam satuan Ton


(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan I : Bagan Sistem Pemerintahan Kerajaan Panai

Bagan II : Bagan Total Ekspor dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada periode pertama (1914-1926) dalam ton

Bagan III : Bagan Fluktuasi Ekspor Karet dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada Periode Kedua (1927-1939)

Bagan IV : Bagan Total Ekspor dari Pelabuhan Labuhan Bilik pada Periode Kedua (1931-1939)


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Peta Labuhan Bilik Tahun 1927

Lampiran II : Peta Perkebunan di Labuhan Batu Tahun 1935 Lampiran III : Peta Aliran Sungai Barumun dan Bilah Tahun 1938 Lampiran IV : Tabel Jumlah Penduduk tiap kampung per distrik di

Onderafdeling Labuhan Batu pada Tahun 1931

Lampiran V : Tabel Harga Komoditas Ekpsor-Impor di Labuhan Bilik pada tahun 1864, 1870 dan 1873

Lampiran VI : Tabel Daftar Onderneming di Tiga Landschap Wilayah Cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik pada tahun 1927 Lampiran VII : Bagan Ekspor Karet Rakyat dan Impor Beras di Pelabuhan

Labuhan Bilik pada tahun 1920-1939

Lampiran VIII : Tabel Kapal-kapal yang Melakukan Aktivitas di Pelabuhan Labuhan Bilik pada Tahun 1917-1926

Lampiran IX : Foto Bangunan Kolonial Belanda di Kota Labuhan Bilik Lampiran X : Kontrak Belanda dengan Kerajaan Panai, 21 Nopember 1875 Lampiran XI : Kontrak Belanda dengan Kerajaan Panai, 24 Juni 1889 Lampiran XII : Kontrak Belanda dengan Kerajaan Panai, 8 Nopember 1890 Lampiran XIII : AANLEG SPOORWEG SOEMATRA’S OOSKUST

Lampiran XIV : LAADT PALMOLIE 325 TON BINSLEIDING NAAR HET

SCHIP DIENDELIJK ZIECHTBAAR ONDER DE KADE EIGT DE PIJPLEIDING NAAR HET POMPSTATION.

Lampiran XV : RUBBER HERBEREIDINGS FABRIEK VAN HOOK LIE

BALEN BLANKET

Lampiran XVI : DE BILA RIVIER NAAR HET ZUIDEN MET LONGKANG

SLEEP, 1927

Lampiran XVII : SOENGAI BAROEMOEN BIJ BOOM SOEMOET NAAR HET


(18)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pelabuhan Labuhan Bilik pada Masa Kolonial Belanda (1862-1939)” adalah sebuah kajian saejarah yang ditulis melalui sebuah penelitian. Pemilihan topik di atas berdasarkan belum adanya penelitian akan masalah Pelabuhan Labuhan Bilik secara khusus.

Kajian ini merupakan sebuah kajian sejarah yang menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa rekam jejak peninggalan aktivitas-aktivitas pelabuhan, masyarakat, pemerintahan, sosial dan ekonomi pada masa Kolonial Belanda di kota Labuhan Bilik. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebgai sebuah tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan, wilayah cakupan dan aktivitas pelabuhan itu. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Labuhan Bilik (sebagai aspek spasial utama kajian ini) sebelum penetrasi Belanda dan pada masa Kolonial Belanda

Kajian ini menemukan suatu hal yang unik mengenai keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Labuhan Bilik selama masa Kolonial Belanda. Sebuah pelabuhan yang pada awalnya hanya sebuah sandaran kapal semata yang berubah menjadi sebuah pelabuhan yang diperhitungkan di wilayah Sumatera Timur. Selain itu, Pelabuhan Labuhan Bilik merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang mampu bertahan seiring perkembangan Sumatera Timur yang sangat pesat pada paruh pertama abad ke-20.

Pelabuhan Labuhan Bilik oleh Belanda difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor. Jenis komoditas ekspor didominasi oleh hasil perkebunan dan hasil hutan serta hasil pertanian rakyat, sedangkan komoditas impor adalah barang kebutuhan masyarakat dan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan perkebunan. Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik berkaitan erat dengan perkembangan atau perluasan wilayah perkebunan. Seiring dengan meningkatnya permintaan dan harga karet dunia pada tahun 1910-1915 menjadikan komoditas ini sebagai komoditas ekspor utama dari pelabuhan ini. Hal ini juga mempengaruhi komoditas impor terutama beras mengingat petani di wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik adalah petani subsisten. Ketika petani ini mamproduksi karet baik karet hutan maupun karet tanaman, mereka menghentikan penanaman atau produksi padi sehingga impor beras mengalami peningkatan. Keunikan kembali ditemukan ketika Ekspor karet rakyat menurun sejak 1931, impor beras malah meningkat tajam pada tahun 1938. Setelah diteliti, ternyata petani di wilayah ini mengoptimalkan produksi kelapa dan pinang. Hal ini terbukti dengan angka ekspor kelapa dan pinang mengalami peningkatan dan merupakan angka yang tertinggi pada tahun ini selama masa kajian tulisan ini.


(19)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pelabuhan Labuhan Bilik pada Masa Kolonial Belanda (1862-1939)” adalah sebuah kajian saejarah yang ditulis melalui sebuah penelitian. Pemilihan topik di atas berdasarkan belum adanya penelitian akan masalah Pelabuhan Labuhan Bilik secara khusus.

Kajian ini merupakan sebuah kajian sejarah yang menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa rekam jejak peninggalan aktivitas-aktivitas pelabuhan, masyarakat, pemerintahan, sosial dan ekonomi pada masa Kolonial Belanda di kota Labuhan Bilik. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebgai sebuah tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan, wilayah cakupan dan aktivitas pelabuhan itu. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Labuhan Bilik (sebagai aspek spasial utama kajian ini) sebelum penetrasi Belanda dan pada masa Kolonial Belanda

Kajian ini menemukan suatu hal yang unik mengenai keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Labuhan Bilik selama masa Kolonial Belanda. Sebuah pelabuhan yang pada awalnya hanya sebuah sandaran kapal semata yang berubah menjadi sebuah pelabuhan yang diperhitungkan di wilayah Sumatera Timur. Selain itu, Pelabuhan Labuhan Bilik merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang mampu bertahan seiring perkembangan Sumatera Timur yang sangat pesat pada paruh pertama abad ke-20.

Pelabuhan Labuhan Bilik oleh Belanda difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor. Jenis komoditas ekspor didominasi oleh hasil perkebunan dan hasil hutan serta hasil pertanian rakyat, sedangkan komoditas impor adalah barang kebutuhan masyarakat dan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan perkebunan. Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik berkaitan erat dengan perkembangan atau perluasan wilayah perkebunan. Seiring dengan meningkatnya permintaan dan harga karet dunia pada tahun 1910-1915 menjadikan komoditas ini sebagai komoditas ekspor utama dari pelabuhan ini. Hal ini juga mempengaruhi komoditas impor terutama beras mengingat petani di wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik adalah petani subsisten. Ketika petani ini mamproduksi karet baik karet hutan maupun karet tanaman, mereka menghentikan penanaman atau produksi padi sehingga impor beras mengalami peningkatan. Keunikan kembali ditemukan ketika Ekspor karet rakyat menurun sejak 1931, impor beras malah meningkat tajam pada tahun 1938. Setelah diteliti, ternyata petani di wilayah ini mengoptimalkan produksi kelapa dan pinang. Hal ini terbukti dengan angka ekspor kelapa dan pinang mengalami peningkatan dan merupakan angka yang tertinggi pada tahun ini selama masa kajian tulisan ini.


(20)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pelabuhan Labuhan Bilik pada Masa Kolonial Belanda (1862-1939)” adalah sebuah kajian saejarah yang ditulis melalui sebuah penelitian. Pemilihan topik di atas berdasarkan belum adanya penelitian akan masalah Pelabuhan Labuhan Bilik secara khusus.

Kajian ini merupakan sebuah kajian sejarah yang menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa rekam jejak peninggalan aktivitas-aktivitas pelabuhan, masyarakat, pemerintahan, sosial dan ekonomi pada masa Kolonial Belanda di kota Labuhan Bilik. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebgai sebuah tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan, wilayah cakupan dan aktivitas pelabuhan itu. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Labuhan Bilik (sebagai aspek spasial utama kajian ini) sebelum penetrasi Belanda dan pada masa Kolonial Belanda

Kajian ini menemukan suatu hal yang unik mengenai keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Labuhan Bilik selama masa Kolonial Belanda. Sebuah pelabuhan yang pada awalnya hanya sebuah sandaran kapal semata yang berubah menjadi sebuah pelabuhan yang diperhitungkan di wilayah Sumatera Timur. Selain itu, Pelabuhan Labuhan Bilik merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang mampu bertahan seiring perkembangan Sumatera Timur yang sangat pesat pada paruh pertama abad ke-20.

Pelabuhan Labuhan Bilik oleh Belanda difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor. Jenis komoditas ekspor didominasi oleh hasil perkebunan dan hasil hutan serta hasil pertanian rakyat, sedangkan komoditas impor adalah barang kebutuhan masyarakat dan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan perkebunan. Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik berkaitan erat dengan perkembangan atau perluasan wilayah perkebunan. Seiring dengan meningkatnya permintaan dan harga karet dunia pada tahun 1910-1915 menjadikan komoditas ini sebagai komoditas ekspor utama dari pelabuhan ini. Hal ini juga mempengaruhi komoditas impor terutama beras mengingat petani di wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik adalah petani subsisten. Ketika petani ini mamproduksi karet baik karet hutan maupun karet tanaman, mereka menghentikan penanaman atau produksi padi sehingga impor beras mengalami peningkatan. Keunikan kembali ditemukan ketika Ekspor karet rakyat menurun sejak 1931, impor beras malah meningkat tajam pada tahun 1938. Setelah diteliti, ternyata petani di wilayah ini mengoptimalkan produksi kelapa dan pinang. Hal ini terbukti dengan angka ekspor kelapa dan pinang mengalami peningkatan dan merupakan angka yang tertinggi pada tahun ini selama masa kajian tulisan ini.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sumatera Timur (Ooskust van Sumatra atau Sumatra’s Ooskust) merupakan istilah yang berkembang pada abad ke-19 untuk menamakan wilayah di sekitar pantai timur Pulau Sumatera. Di wilayah ini berdiri beberapa kerajaan Melayu yang berhasil menanamkan kekuasaannya dari hegemoninya atas sungai yang merupakan trasnsportasi utama saat itu.1

Sebelum ekpansi Kolonial Belanda atas Sumatera Timur, beberapa kerajaan membangun pelabuhan (dalam pengertian tempat berlabuhnya kapal-kapal) di tepi sungai sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan memerintah, pusat kegiatan ekonomi, dan juga pusat aktivitas kebudayaan, sehingga muncullah beberapa pelabuhan tradisional. Demikian juga halnya dengan Kerajaan Panai yang membangun Pelabuhan di Labuhan Bilik.

Beberapa kerajaan Melayu itu pun mendirikan pusat kerajaannya di tepi sungai baik sungai kecil maupun besar, di antaranya: Kerajaan Langkat dengan pusat kerajaan di kota Tanjung Pura dekat Sungai langkat, Kerajaan Deli dengan pusat kerajaan Labuhan di pinggir Sungai Deli, Kerajaan Serdang dengan pusat kerajaan Rantau Panjang di tepi Sungai Serdang, Kerajaan Bedagai dengan pusat kerajaan Tanjung Beringin di pinggir Sungai Bedagai, Kerajaan Padang dengan pusat kerajaan Bandar Khalifah di dekat Sungai Padang, Kerajaan Asahan dengan pusat kerajaan Tanjung Balai di pinggir Sungai Asahan, Kerajaan Bilah dengan pusat kerajaan Negeri Lama di tepi Sungai Bilah dan Kerajaan Panai dengan pusat kerajaan Labuhan Bilik di pinggir Sungai Panai.

1

J. Kathirittamby-Wells, “Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before the Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, 1993, hlm. 77-96


(22)

Letak pelabuhan yang berada di tepi sungai merupakan pertimbangan bahwa sungai adalah transportasi utama saat itu. Melalui sungai hasil bumi di bagian hulu dibawa ke hilir, untuk selanjutnya diperdagangkan dan diekspor ke luar, terutama ke Penang. Sebaliknya melalui sungai pula barang-barang kebutuhan diimpor dari luar dan dibawa dari hilir ke hulu.2

Letak yang strategis menjadikan Pelabuhan Labuhan Bilik adalah salah satu pelabuhan terpenting di Sumatera Timur. Sebelum perkembangan perkebunan, Labuhan Bilik adalah salah satu pelabuhan tradisional terbesar di Sumatera Timur. Bahkan, peranan ini terus dipegang oleh Labuhan Bilik hingga diambil alih oleh Belawan, sebuah pelabuhan yang sengaja dibuat berkaitan dengan perkembangan Sumatera Timur sebagai wilayah perkebunan. John Anderson dalam catatan perjalanannya ke Sumatera Timur pada tahun 1823, mencatat beberapa komoditas ekspor dari Labuhan Bilik diantaranya padi, rotan, budak, lilin, dan kayu celup

Letak pelabuhan di Labuhan Bilik ini sangat strategis. Pelabuhan ini terletak di tepi Sungai Panai yang berhilir ke Selat Malaka dan berhulu ke Sungai Barumun. Sungai ini termasuk sungai yang bermuara di Selat Malaka, tergolong luas dan dalam, sehingga dapat dilayari oleh kapal-kapal dengan ukuran besar. Selain itu, Labuhan Bilik juga merupakan pertemuan dua sungai yaitu Sungai Barumun dan Sungai Bilah yang sama-sama bermuara ke Sungai Panai.

3

Pertumbuhan Pelabuhan Labuhan Bilik berkaitan dengan posisinya yang berada di aliran Sungai Panai yang merupakan pertemuan dari Sungai Barumun dan Sungai Bilah. Di

.

2

Bambang Triatmodjo, Pelabuhan, Jakarta: Beta Offset, 1992, hlm. 7

3

John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatra in 1823, New York: Oxford University, 1971, hlm. 389-390.


(23)

sepanjang kedua aliran sungai yang terakhir ini banyak terdapat pemukiman-pemukiman penduduk. Di sungai Barumun misalnya kampung Meranti Paham, Cabang Dua, Malindo, Sei Jawi-jawi, Kampung Labuhan Batu, Kota Pinang, Sikampak, dan Gunung Tua. Sementara itu, di aliran Sungai Bilah terdapat Tanjung Halaban, Sei Kasih, Sei Mambang, Sei Tampang, Negeri Lama, Pangkatan, Rantauprapat sampai dengan Marbau. Daerah-daerah ini secara administrasi berada di bawah kekuasaan tiga kerajaan yaitu Kerajaan Panai yang berpusat di Labuhan Bilik, Kerajaan Bilah yang berpusat di Negeri Lama dan Kerajaan Kota Pinang yang berpusat di Kota Pinang. Ketiga kerajaan ini secara historis merupakan kerajaan serumpun yang berasal dari Minangkabau. Selain hubungan kekerabatan, hubungan perdagangan antar wilayah dari ketiga kerajaan ini juga terjalin dengan baik. Daerah-daerah inilah yang merupakan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik dalam kegiatan perdagangan ekspor-impor. Jumlah penduduk pada masa prakolonial untuk ketiga wilayah ini secara spesifik tidak ditemukan. Dari beberapa catatan, di antaranya John Anderson, menyebutkan jumlah penduduk di Aliran Sungai Bilah diperkirakan berjumlah 1.300 orang termasuk orang Batak, sedangkan di aliran sungai Panai terdapat 1.000 orang Melayu, disamping sebagian besar orang Batak4. Dalam catatan J. C. F. Vigelius pada tahun 1866 menyebutkan jumlah penduduk pada tiga kerajaan ini tidak lebih dari 20.000 orang, yang terdiri dari Kerajaan Panai 5.000-6.000 orang, Kerajaan Kota Pinang 8.000 orang dan Kerajaan Bilah 7.000 orang5

Selama masa kolonial, peranan Labuhan Bilik juga sangat penting. Dalam tahun 1920-1934, Labuhan Bilik merupakan pelabuhan ekspor karet rakyat terbesar di Sumatera

.

4

Ibid

5

J. C. F. Vigelius, “Memorie van Overgave van het Bestuur over Afdeeling Panei en Bila”, dalam


(24)

Timur, puncaknya pada tahun 1929 dan 1934 dimana pelabuhan ini mengekspor karet rakyat lebih dari 4.000 ton dan pada tahun 1925-1939, pelabuhan ini mengimpor beras lebih dari 5.000-12.000 ton per tahunnya6

6

Verslag van “De Handelsvereeniging te Medan”, tahun 1916-1939.

. Angka-angka yang tinggi tersebut sebenarnya dapat dimaklumi mengingat bahwa pembangunan jalur darat berupa jalan raya dan jalur kereta api yang dilakukan pihak Belanda di akhir abad ke-19 di Sumatera Timur belum menyentuh daerah Afdeling Asahan bagian Selatan yaitu Onderafdeling Labuhan Batu. Di wilayah ini, transportasi air (sungai) masih menjadi andalan utama untuk penghubung atau pembawa barang hasil bumi dan kebutuhan masyarakat.

Konsentrasi perkebunan yang terfokus pada afdeling Deli en Serdang ditandai dengan perkembangan Pelabuhan Belawan yang menjadi pelabuhan ekspor-impor terbesar di Sumatera Timur pada abad ke-20. Terbukanya jalur darat menyebabkan pengangkutan hasil perkebunan dan hasil pertanian rakyat mengalihkan jalurnya mengingat jalur darat lebih memiliki nilai ekonomis dibanding dengan jalur air. Hal ini menyebabkan pelabuhan-pelabuhan tradisional yang ada di Sumatera Timur mengalami penurunan kegiatan ekspor-impor secara drastis. Pelabuhan yang bertahan dari krisis penurunan aktivitas ekspor-ekspor-impor itu adalah Pelabuhan Labuhan Bilik dan Tanjung Balai. Pelabuhan Tanjung Balai bertahan lebih disebabkan oleh perkembangan daerah itu sebagai sebuah gemeente dan transportasi berupa jalan raya dan jalur kereta api. Sementara itu, kegiatan ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik mengalami pluktuasi, di satu komoditi mengalami penurunan namun hal ini ditutupi oleh meningkatnya komoditi yang lain. Jadi kuantitas ekspor-impor dari Pelabuhan Labuhan Bilik dapat dikatakan masih tetap.


(25)

Adanya kebijakan restriksi karet dan kebijakan akan ekspor yang harus dalam bentuk karet kering menyebabkan ekspor karet dari Pelabuhan Labuhan Bilik yang merupakan ekspor utama mengalami penurunan sejak tahun 1934. Namun, penurunan akan ekspor karet tidak mempengaruhi kuantitas ekspor secara keseluruhan. Hal ini disebabkan seiring dengan menurunnya ekspor karet, di sisi yang lain muncul komoditi ekspor yang baru yaitu

palm-olie yang meningkat drastis dari tahun ke tahun. Sedangkan komoditi yang lain yaitu kopra

dan pinang relatif meningkat.

Kajian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan tentang kuantitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik selama masa Kolonial Belanda dan menganalisa perkembangan kuantitas ekspor-impor itu. Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Labuhan Bilik di samping wilayah-wilayah yang menjadi cakupan dari Pelabuhan Labuhan Bilik.

Pendudukan Kolonial Belanda atas wilayah Labuhan Batu sudah dimulai sejak tahun 1862. Kampung Labuhan Batu menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah ini. Sejak 1894, pusat pemerintahan kemudian di pindahkan ke Labuhan Bilik. Pembangunan atau lebih tepat dikatakan pengembangan Pelabuhan Labuhan Bilik oleh Kolonial Belanda dapat diperkirakan seiring dipindahkannya pusat pemerintahan itu. Namun dalam hal ini, tidak ada data yang valid yang ditemukan akan aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik sampai dengan tahun 1914. Jadi, pembahasan aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik akan dimulai dari tahun ini. Adapun batasan akhir permasalahan adalah tahun 1939 juga disebabkan oleh penemuan data aktivitas ekspor impor di Pelabuhan Labuhan Bilik.


(26)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan argumentasi di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini menfokuskan:

1. Labuhan Bilik sebelum Kolonial Belanda dan pada masa Kolonial Belanda. 2. Keberadaan dan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik.

3. Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik 1914-1939.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah yang akan diungkap dalam kajian ini, maka adapun tujuan dari kajian ini adalah:

1. Menjelaskan keadaan Labuhan Bilik sebelum dan pada masa Kolonial Belanda. 2. Menjelaskan keberadaan dan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik.

3. Menjelaskan dan menganalisa aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik.

Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini yaitu :

1. Bagi disiplin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi Sejarah Labuhan Bilik khususnya dan Sejarah Sumatera Timur pada umumnya.

2. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang sektor maritim di Indonesia khususnya tentang kepelabuhan.

3. Aspek praktis yang mungkin dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk memajukan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek pelabuhan sebagai penghubung jalan maritim dan jalan darat sebagai sarana ekspor-impor wilayah yang menjadi


(27)

cakupannya, sekaligus menunjukkan bahwa berdasarkan letak geografisnya Labuhan Bilik pernah menjadi wilayah yang strategis untuk tujuan tersebut dan dapat dikembangkan.

1.4. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang perkembangan pelabuhan tradisional di Sumatera Timur belum banyak diteliti. Dari beberapa kajian memang ada disinggung tentang peran pelabuhan-pelabuhan itu, tetapi tidak secara spesifik. Edi Sumarno dalam tesisnya berjudul “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur 1863-1942 (1998)”7

Dalam tesisnya ini, Edi Sumarno juga mengungkapkan sifat petani Sumatera Timur adalah petani subsisten

menyinggung tentang peranan pelabuhan-pelabuhan tradisional yang memainkan peranan penting dalam perkembangan pertanian karet rakyat di wilayah ini. Salah satu perannya adalah sebagai pelabuhan ekspor-impor dari dan ke wilayah pedalaman, khususnya pengangkutan karet yang wilayah produksinya berada di sekitar aliran-aliran sungai. Melalui sungai, karet yang diproduksi di pedalaman diangkut dan kemudian diekspor lewat pelabuhan-pelabuhan itu.

8

7

Edi Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942)”, Tesis S-2, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1998.

8

Petani subsisten di sini adalah petani yang tidak menggantungkan pendapatannya pada satu jenis tanaman semata. Dengan kata lain, petani melakukan penggantian atau peralihan tanaman jika hal itu lebih memberi keuntungan bagi mereka. Peralihan dapat terjadi dari pertanian dengan tanaman pangan ke tanaman komersial maupun sebaliknya untuk meraih keuntungan yang lebih besar. D. H. Penny, “The Transition from Subsistence to Commercial Family Farming in North Sumatra”, Ph. D. Dissertation, Cornell University, 1946, hlm. 238-240, lihat juga, Bambang Purwanto, “From Dusun to the Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1880-1940”, Ph. D. Dissertation, University of London, 1992.

. Sifat ini menunjukkan di mana petani melakukan penanaman atau produksi pada suatu tanaman berdasarkan situasi dan kondisi terutama permintaan dan harga akan hasil dari tanaman itu. Dikenalnya tanaman karet sebagai salah satu tanaman komersil


(28)

membuat petani menanam karet atau memproduksi karet berjenis ficus yang ada di hutan. Ketika petani menanam atau memproduksi karet, sebagian besar mereka meninggalkan atau setidaknya mengurangi penanaman padi yang pada sebelumnya merupakan tanaman utama. Hal ini terlihat dari kuantitas ekspor karet dan impor beras. Angka dari ekspor dan impor kedua komoditi itu berjalan sejajar, di mana ketika ekspor karet meningkat maka impor beras juga ikut mengalami peningkatan. Demikian sebaliknya jika ekspor karet menurun maka impor beras juga mengalami penurunan.

Kajian tentang kondisi kerajaan Panai dan kerajaan kecil lainnya di wilayah Labuhan Batu ditulis oleh T. Luckman Sinar Basarsyah II dalam bukunya “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur” (tanpa tahun)9

Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada masa Kolonial Belanda diungkapkan secara mendalam mulai dari awal penetrasi sampai jalannya pemerintahan oleh Belanda. Kontrak dan perjanjian politik antara pihak kerajaan dengan Belanda juga diungkapkan. Tidak ketinggalan pelaksanaan pemerintahan dan kebijakan Belanda yang ingin mengurangi kekuasaaan para raja. Dengan kata lain, segala aspek tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur di bahas dalam buku itu. Dengan demikian, buku Bangun Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur menjadi referensi utama dalam mengungkapkan kondisi kerajaan Panai atau Labuhan Bilik sebelum dan pada masa kolonial Belanda.

. Dalam buku ini, keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur diungkapkan secara jelas dan lugas termasuk Kerjaan Panai dengan Labuhan Bilik sebagai pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur dikaji mulai dari awal berdiri hingga keruntuhannya pada masa terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur tahun 1946.

9

T. Luckman Sinar Basarsyah II, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan di Sumatera Timur, tanpa penerbit, Medan, tanpa tahun.


(29)

Dalam menelusuri langkah-langkah pemikiran teoritis, perlu kiranya mengacu pada karya Bambang Triatmodjo dalam bukunya “Pelabuhan” (1996: 1-15). Dalam buku itu dijelaskan bahwa Pelabuhan adalah bandar yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan untuk pelayanan muatan dan penumpang seperti dermaga, tambatan, dengan segala perlengkapannya. Bambang juga menjelaskan bahwa perkembangan pelabuhan di Indonesia pada awalnya hanya merupakan suatu tepian di mana kapal-kapal dan perahu-perahu dapat merapat dan membuang jangkar untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan perkapalan. Dengan berkembangnya kehidupan sosial ekonomi membuat bentuk dan aktivitas kapal mengalami perkembangan sehingga pelabuhan juga harus menyesuaikan dengan hal itu.

Di lain hal, Bambang juga menyatakan bahwa pelabuhan berfungsi sebagai penunjang aktivitas pelayaran. Indonesia sebagai negara kepulauan/maritim yang mempunyai lebih dari 3.700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling dunia melalui khatulistiwa menjadikan peranan pelayaran adalah sangat penting bagi kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan/keamanan dan sebagainya. Ditinjau dari fungsinya dalam perdagangan nasional dan internasional, pelabuhan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu (1) pelabuhan laut adalah pelabuhan yang bebas dimasuki oleh kapal-kapal bendera asing dengan mematuhi peraturan yang telah di tetapkan, dan (2) pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang disediakan untuk perdagangan dalam negeri dan oleh karena itu tidak bebas disinggahi oleh kapal berbendera asing. Buku ini membimbing penelitian terutama dibidang teoritis dan konsep tentang pelabuhan serta akan dapat menentukan fungsi Pelabuhan Labuhan Bilik.

Sementara itu Adrian B. Lapian dalam bukunya “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17” (2008: 95-112), menggambarkan kondisi pelayaran termasuk pelabuhan


(30)

di nusantara pada abad ke-16 dan 17. Andrian menjelaskan bahwa tempat yang paling baik bagi kapal untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh ke dalam. Faktor gangguan alam dan keamanan serta jaringan dan komunikasi ke pedalaman yang lebih banyak menggunakan sungai menyebabkan pelabuhan yang berada di muara sungai memberikan banyak keuntungan. Dalam buku ini Adrian memberikan contoh beberapa kondisi pelabuhan yaitu kota Palembang, Pelabuhan Surabaya, Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan Ternate, Pelabuhan Malaka, Pelabuhan Jepara, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Banten, dan lainnya.

Dalam bukunya itu, Adrian juga menggambarkan sistem pelayaran dan perniagaan di beberapa pelabuhan nusantara. Barang-barang ekspor dan impor dari beberapa pelabuhan juga dibicarakan, namun Adrian tidak menuliskan jumlah barang-barang tersebut secara terperinci. Jalur-jalur pelayaran nusantara dikupas secara detail, tapi dalam kapasitas nusantara. Tidak kalah pentingnya, faktor-faktor tumbuh kembangnya pelabuhan pada masa itu juga diungkapkan dengan mengacu pada beberapa pelabuhan yang ada. Buku ini memberikan keterangan tentang pelayaran di nusantara dan akan menjadi perbandingan terhadap pelayaran di Pelabuhan Labuhan Bilik serta faktor-faktor tumbuh kembangnya Pelabuhan Labuhan Bilik.

Perniagaan menggunakan pelayaran melalui sarana pelabuhan melibatkan banyak pelaku baik itu individu maupun golongan. Orang-orang yang terlibat dalam pelayaran tersebut dikupas secara mendalam oleh Adrian B. Lapian dalam disertasinya yang dibukukan “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX” (2009). Dalam bukunya yang fenomenal ini, Adrian menggambarkan bagaimana proses hubungan timbal balik dan unsur saling kepentingan antara yang disebutnya sebagai orang laut, bajak


(31)

laut dan raja laut dalam perniagaan dan pelayaran di kawasan laut Sulawesi. Orang laut yang terkadang bisa dikatakan sebagai bajak laut dan atau raja laut; bajak laut yang terkadang juga bisa dikatakan sebagai orang laut dan atau raja laut; dan raja laut dalam suatu kondisi dapat dikatakan sebagai orang laut dan atau bajak laut, memegang peranan yang sangat penting dalam proses perniagaan dalam pelayaran.

Munculnya ketiga istilah golongan tersebut merupakan perbedaan perspektif yang menganggap bahwa dirinya mempunyai kekuasaan atas suatu kawasan laut, baik itu dalam hal perniagaan maupun pelayaran. Batas teritorial kekuasaan tersebut terkadang mengalami tumpang tindih diantara ketiganya. Namun yang terpenting adalah bahwa bagaimana ketiga golongan ini memegang peranan yang sangat penting dan tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan dan hambatan dalam proses perniagaan dan pelayaran pada suatu kawasan laut. Adrian menjelaskan bahwa hal ini juga sebenarnya terjadi hampir diseluruh kawasan laut nusantara. Dengan demikian, kemungkinan di Pelabuhan Labuhan Bilik juga terjadi hal demikian. Buku ini juga akan memberikan pengantar sekaligus pembanding dalam penelitian khususnya di bidang orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas di Pelabuhan Labuhan Bilik.

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian ini mengacu pada proses penelitian sejarah yang dikenal dengan metode sejarah. Dalam metode sejarah ada empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Heuristik yaitu mengadakan pengumpulan sumber sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah


(32)

sumber tertulis, baik primer maupun sekunder, yakni berupa arsip, laporan, dan skripsi, tesis, disertasi, serta buku-buku yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pengumpulan arsip berupa arsip nasional, arsip daerah maupun arsip pribadi. Laporan berupa laporan perjalanan, penelitian dan laporan instansi pemerintah Hindia Belanda. Pengumpulan skripsi, tesis, disertasi yang diterbitkan maupun belum diterbitkan.

Sumber-sumber pustaka yang digunakan dalam penulisan ini didapat dari koleksi-koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional dan Koleksi George L. Hicks LIPI Jakarta serta koleksi Perpustakaan Daerah Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Sumber utama kajian ini adalah laporan perdagangan dari De Handelsvereeniging te Medan. Laporan ini terdiri dari dua jenis yaitu pertama laporan tahunan berjudul Verslag van “De Handelsvereeniging te Medan”, dari tahun 1915-1939, sedangkan yang kedua adalah laporan bulanan, yakni Mededeelingen

van “De Handelsvereeniging te Medan”. Sumber lain berupa Laporan serah terima jabatan

(Memorie van Overgave) para perjabat pemerintah tingkat controleur Onderafdeling Labuhan Batu. Sumber ini merupakan Koleksi ANRI Jakarta, Indeks Folio MvO 1ereel No. 20. sumber lain adalah hasil laporan C. G. Slotemaker dengan judul Bevolkingsrubbercultuur

in Nederlandsch-Indie, VI, Riouw en Onderhoorigheden, Ooskust van Sumatra en Atjeh en Onderhoorigheden tahun 1926.

Di samping sumber utama, terdapat sumber pendukung data dalam kajian ini. Salah satunya adalah majalah Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Voklenkunde van Bataviasch

Genootschap Jilid XVII. Dokumen leksikografi yaitu Staatsblad van Nederlandsch Indie dan Encyclopaedia van Nederlandsch Indie. Sumber lain adalah buku-buku, skripsi, tesis dan


(33)

berjudul Mission to teh Eastcost of Sumatra in 1823. Sementara itu, studi lapangan dilakukan dengan merekam jejak-jejak peninggalan pelabuhan dan bangunan-bangunan Kolonial Belanda di Labuhan Bilik.

Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah dokumen itu memang dibutuhkan, apakah palsu atau asli, utuh atau sudah diubah sebagian. Kritik intern berupa meneliti isi dari data itu untuk menilai kelayakan data akan permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan melalui pengelompokan data dan membandingkannya dengan data yang lain.

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang tampaknya terlepas satu dengan lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan Tahapan yang terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan konstruksi fakta yang terlepas satu sama lain untuk digabungkan menjadi satu perpaduan yang harmonis dan logis. Tahapan ini dilakukan melalui perangkaian fakta-fakta dalam bentuk penulisan sejarah.


(34)

berjudul Mission to teh Eastcost of Sumatra in 1823. Sementara itu, studi lapangan dilakukan dengan merekam jejak-jejak peninggalan pelabuhan dan bangunan-bangunan Kolonial Belanda di Labuhan Bilik.

Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah dokumen itu memang dibutuhkan, apakah palsu atau asli, utuh atau sudah diubah sebagian. Kritik intern berupa meneliti isi dari data itu untuk menilai kelayakan data akan permasalahan penelitian. Hal ini dilakukan melalui pengelompokan data dan membandingkannya dengan data yang lain.

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang tampaknya terlepas satu dengan lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan Tahapan yang terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan konstruksi fakta yang terlepas satu sama lain untuk digabungkan menjadi satu perpaduan yang harmonis dan logis. Tahapan ini dilakukan melalui perangkaian fakta-fakta dalam bentuk penulisan sejarah.


(35)

BAB II

LABUHAN BILIK SEBELUM PENETRASI BELANDA

Labuhan Bilik adalah sebuah nama daerah yang berada di pinggir Sungai Panai. Asal nama Labuhan Bilik tidak diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan beberapa cerita menyatakan bahwa daerah ini dihuni oleh sekelompok orang yang kemudian membentuk sebuah komunitas yang saling berinteraksi sehingga menjadi sebuah kampung. Posisi daerah ini yang berada di pinggir sungai menyebabkan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah ini merupakan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Tidak adanya transportasi darat ke luar dari daerah ini menyebabkan transportasi air menjadi alternatif utama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah ini. Untuk mendukung hal itu, masyarakat kemudian membuat sebuah tempat untuk menambatkan perahu mereka. Tempat tambatan ini kemudian akhirnya disebut sebagai pelabuhan.

Tepat berada di daerah pelabuhan itu, topografi Sungai Panai sedikit menjorok ke dalam dan tidak jauh dari pelabuhan ini terdapat dua buah tanjung di bagian hilir dan satu buah di bagian hulu. Sungai yang menjorok dan diapit oleh tanjung di bagian hilir dan hulu itu menggambarkan seperti sebuah Bilik. Pengertian kata Bilik di sini adalah kamar. Orang-orang luar yang datang atau sekedar lewat dari pelabuhan itu memberi sebutan dan menamakan daerah itu sebagai “Pelabuhan Bilik”. Sebutan ini kemudian lama kelamaan menghilangkan kata ‘Pe’ pada awalnya sehingga penamaan untuk wilayah ini lebih populer dengan nama “Labuhan Bilik”.


(36)

2.1. Geografi dan Penduduk

Posisi dan letak Labuhan Bilik berada di pinggiran aliran Sungai Panai yang merupakan pertemuan antara dua sungai yaitu Sungai Barumun dan Sungai Bilah. Sungai Panai ini berhilir (muara) ke Selat Malaka. Labuhan Bilik berbatasan dengan sebelah Utara dengan Sei Lumut, sebelah Selatan dengan Kampung Cabang Dua, sebelah Barat dengan Kampung Sungai Pejudian dan sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Panai.

Tofografi wilayah Labuhan Bilik berada pada ketinggian 0-6 m dari permukaan laut dengan bentuk wilayah dataran rendah sampai bergelombang. Curah hujan rata-rata 35 hari dengan intensitas 506 mm per tahun. Labuhan Bilik beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terdapat pada bulan September s/d Desember dan musim Kemarau terdapat pada bulan Januari s/d Juli, sedangkan Bulan Agustus adalah masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau di mana pada bulan ini iklim kurang stabil. Labuhan Bilik mempunyai tiga jenis tanah yaitu Lempung Liat, Organosol dan Laterit Air Tanah.

Catatan jumlah penduduk untuk wilayah Labuhan Bilik secara khusus tidak ditemukan. Labuhan Bilik merupakan pusat dari Kerajaan Panai, maka dalam hal ini data yang dipaparkan adalah data penduduk untuk wilayah Kerajaan Panai secara keseluruhan. Berdasarkan catatan John Anderson dalam perjalanannya ke Sumatera Timur pada tahun 1823 menyebutkan bahwa jumlah penduduk untuk Kerajaan panai berkisar 1.000 orang10

10

John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatra in 1823, New York: Oxford University, 1971, hlm. 389-390.


(37)

2.2. Pemerintahan

2.2.1. Sejarah Singkat Kerajaan Panai

Pada awal abad ke-16 berangkatlah rombongan dari Pagaruyung11 melalui Tapanuli Selatan menuju arah pesisir Sumatera Timur. Rombongan ini dipimpin oleh Batara Sinomba dan adiknya Batara Guru Pinayung12. Bersama rombongan juga ikut adik perempuan mereka Puteri Lenggani13. Di dekat Gunung Malea14, Batara Guru Pinayung memisahkan diri karena menikah di Mandailing dan diangkat menjadi Raja di sana yang serta merta bermarga Nasution15. Rombongan B. G. Sinomba melanjutkan perjalanan sampai di Otang Momok atau Kuala Teritis yang oleh marga Tambak Dasopang yang berada di situ, B. G. Sinomba diangkat menjadi raja. Puteranya sekaligus penggantinya hanya disebut “Marhom Mangkat Di Jambu”16

11

Sebab keberangkatan rombongan ini tidak diketahui secara pasti. Dari beberapa kisah diceritakan bahwa sebab keberangkatan adalah pertentangan antara mereka bertiga dengan orang tua mereka sendiri. Karena kecantikan adik perempuan mereka yaitu Puteri Lenggani membuat ayah mereka ingin mempersuntingnya sebagai isteri. Kedua kakak dari Puteri Lenggani menentang hal itu yang kemudian melarikan diri dengan membawa sekaligus adik mereka.

12

Menurut teromba Kota Pinang, Batara Guru Pinayung bernama Sutan Kumala Yang Dipertuan. Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II, Bangun Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun, hlm. 143

13

Menurut teromba Kota Pinang, Puteri Lenggani bernama Puteri Legen. Lihat juga Ibid

14

Menurut teromba Panai, gunung ini berada didekat Si Longganan. Lihart juga Ibid

15

Dalam catatan lain dikatakan Batara Guru Pianyung bermarga Lubis. Lihat, J. B. Neumann, Schets

Der Afdeeling Laboean Batoe, Residentie Sumatra’s Ooskust, 1878, hlm. 50

16

Nama asli dari “Marhom Mangkat Di Jambu” tidak diketahui dan alasan ia digelar demikian karena ia meninggal tepat di bawah sebuah pohon jambu.

yang mendirikan Kampung Aer Merah dan dimakamkan di Pinang Awan. Marhom Mangkat Di Jambu (menurut teromba Panai) mempunyai tujuh orang anak yaitu:


(38)

1. Raja Indar Alam17

2. Raja Segar Alam (nama Suman), turunannya ke Kampong Raja bergelar “Marhom Mangkat di Sungai Toras”.

(nama asli Kain), menurut Teromba Bilah bernama Tohir (Marhom Mangkat Di Kumbul) dan dia inilah cikal bakal raja-raja di Bilah dan Panai.

3. Maharaja Awan bergelar “Marhom Mangkat di Tasik”, turunannya menjadi Raja-raja Kota Pinang.

4. Siti Onggu alias Siti Meja (pr) dibawa oleh rombongan Aceh dan menikah dengan raja Aceh.

5. Siti Kuning (pr), menikah dengan Raja Muda Pidie.

6. Maharaja Hulubalang, menjadi raja di Rantau Binuang (Rokan-riau). 7. Siti Putih (pr), menikah dengan Yang Dipertuan Tambusai18

Raja Indar Alam atau Raja Tohir menikah dengan boru Dalimunthe Poldung dan membuka Kampung Sungai Abal. Puteranya sekaligus penggantinya Raja Yunus (Marhom Mangkat di Gunung Suasa) memiliki empat orang putera yaitu:

.

1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege). 2. Raja Laut, tinggal di Bandar Kudoh.

3. Raja Mashor, tinggal di Air Bilah.

4. Raja Jumahat gelar Sutan Bidar Alam, pendiri Kampung Negeri Lama dan Tanjung Pagus, setelah meninggal digelar “Marhom Mangkat di Aloban”19

17

Dalam catatan lain ada tercatat namanya Raja Indra Alam. Lihat, J. C. F. Vigelius, “Memorie van Overgave van het Bestuur over Afdeeling Panei en Bila”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en

Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, jilid XVII, 1866.

18

Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II, op. cit., hlm. 145.

19

Ibid


(39)

Ke empat anak Raja Yunus, masing-masing mempunyai wilayah kekusaan. Demikianlah Raja Nulong mempunyai kekuasaan di daerah Si Pege yang kemudian menjadi penguasa dan mendirikan Kerajaan Panai sekaligus menjadi raja pertama dari kerajaan itu. Raja Laut mempunyai kekuasaan di Bandar Kudoh, Raja Mashor mempunyai kekuasaan di Air Bilah dan Raja Jumahat mempunyai kekuasaan di Negeri Lama.

Menurut teromba Bilah terjadi perang saudara antara 3 bersaudara yang di Bilah. Raja Jumahat menyerang adiknya Raja Laut hingga lari ke Somut dan mengalahkan Raja Mashor sehingga jadilah ia penguasa tunggal di Bilah sampai keturunannya. Selanjutnya Kerajaan Bilah dikuasai penuh oleh Raja Jumahat dan penggantinya adalah puteranya dan terus secara turun temurun. Berikut adalah silsilah dari raja-raja Bilah.

1. Raja Tohir (Marhom Mangkat di Gunung Suasa)………1630-1700 2. Raja Jumahat gelar Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Aloban)…1720-1760

3. Marhom Sakti………1760-1800

4. Sutan Indar Alam (Marhom Mangkat di Sei Abal)………...1800-1835 5. Tengku Musa Sutan Bidar Alam (Marhom Mangkat di Kota)…………..1835-1865 6. Sutan Adil Bidar Alamsyah (Marhom Mangkat di Negeri Lama)……….1865-20

Sementara itu, Raja Nulong tetap berkuasa dan menjadi Raja di Kerajaan Panai dan digantikan oleh keturunannya secara turun temurun. Berikut adalah silsilah raja-raja dari kerajaan Panai.

1. Raja Nulong (Marhom Mangkat di Si Pege I)……….1670-1700 2. Marhom Mangkat di Si Pege II………...1700-1720 3. Marhom Mangkat di Mesigit………...1720-1775

20


(40)

4. Marhom Saleh………..1775-1790 5. Marhom Sati (Marhom Mangkat di Negri Baru)……….1790-1813 6. Marhom Mangkat di Labuhan Bilik………1813-1856 7. Sutan Gagar Alam (Marhom Sakti)……….1856- ?21

2.2.2. Pusat Kerajaan Panai

Dari silsilah raja-raja kerajaan Panai dapat diperkirakan bahwa pada awalnya pusat Kerajaan Panai adalah di Si Pege. Ini terbukti bahwa raja pertama dan kedua dari kerajaan ini mangkat di situ. Sementara itu raja ketiga mangkat di Mesigit. Besar kemungkinan pusat pemerintahan dipindahkan ke Mesigit setelah mangkatnya raja kedua. Raja kelima diketahui mangkat di Negeri Baru. Di mana letak dari Negeri Baru ini tidak diketahui dan baru raja ke enam (1813-1856) mangkat di Labuhan Bilik. Jadi, pusat kerajaan Panai dipindahkan ke Labuhan Bilik diperkirakan pada 1810-an. Berdasarkan catatan John Anderson dalam ekspedisinya ke Sumatera Timur pada tahun 1823, Kerajaan Panai sudah berpusat di Labuhan Bilik22

Berpindah-pindahnya pusat kerajaan dapat dimaklumi karena berdasarkan kepercayaan pada zaman itu apabila raja mangkat di suatu daerah dan disemayamkan di situ dan selama pusat pemerintahan di daerah tersebut tidak memberikan suatu hal yang menguntungkan bagi kerajaan, maka daerah itu dianggap sial dan pusat kerajaan dipindahkan. Bertahannya Labuhan Bilik sebagai pusat Kerajaan Panai sampai penetrasi

.

21

Ibid

22


(41)

Raja

OK Muda OK Muda Bendahara OK Panai Datuk Paduka

Seundoro

Raja Muda

Bendahara

Rakyat Suku Panai Raja Rakyat Suku Panai Rakyat Suku Melayu Rakyat Suku Haru

Belanda, lebih disebabkan oleh strategisnya Labuhan Bilik terutama dalam hal perdagangan sebagai pendapatan utama dari Kerajaan Panai.

2.2.3. Sistem Pemerintahan Di Kerajaan Panai

Adapun sistem Pemerintahan di Kerajaan Panai adalah penguasa tertinggi yang menjalankan roda pemerintahan mempunyai keputusan mutlak, membuat dan atau mensahkan undang-undang atau suatu peraturan dan yang memutuskan untuk berdamai atau berperang adalah Raja. Dibawahnya sebagai pembantu ada Bendahara (Paman Raja) dan Raja Muda (Adik Raja) yang diangkat oleh Raja. Kemudian di bawahnya lagi ada kepala suku yang lebih dikenal Orang Besar Empat yaitu: Orang Kaya (O.K.) Muda yang mengepalai Suku Panai Raja, O.K. Muda Bendahara yang mengepalai Suku Panai, O.K. Panai yang mengepalai Suku Melayu dan Datuk Paduka Seundoro yang mengepalai Suku Haru. Masing-masing dari mereka mempunya bendera. Manakala raja mangkat, pemerintahan peralihan dipegang oleh O.K. Muda Bendahara dan Datuk Paduka Seundoro memimipin upacara adat pengankatan raja yang baru23

Bagan I : Bagan Sistem Pemerintahan Kerajaan Panai

. Berikut adalah bagan sistem pemerintahan kerajaan Panai:

23


(42)

2.3. Sarana Pendukung 2.3.1. Perdagangan

Sulit dan sedikitnya catatan yang menggambarkan kondisi Labuhan Bilik pada era sebelum kedatangan Kolonial Belanda menyebabkan gambaran mengenai Labuhan Bilik berikut hanya sekedar gambaran umum. Hal ini dapat dimaklumi mengingat budaya menulis dan mencatat untuk orang Melayu pesisir Timur Sumatera sangat minim sekali. Catatan tentang kondisi Labuhan Bilik semata-mata catatan dari orang luar yang berkunjung ke daerah ini.

Perdagangan dilakukan melalui jalur laut dengan menggunakan kapal-kapal. Jenis barang yang diperdagangkan berupa hasil industri kecil dan hasil hutan. Produk kayu yang kaya dari segala jenis merupakan barang perdagangan yang utama. Produk kayu seperti getah, rotan, damar, semambu, kayu garu, kayu celup, balak dan juga kayu untuk industri perkapalan. Selain produksi kayu juga ada diperdagangkan produk pertanian, terutama padi dan kelapa. Selain itu juga garam, linen, alat-alat besi, opium, tembakau, minyak kelapa dan gula asli. Perdagangan akan cula badak dan gading gajah juga ditemukan.

2.3.2. Pertanian

Pertanian utama adalah budidaya padi. Pertanian padi masih dalam bentuk yang sederhana yaitu berupa sawah dengan tadah hujan dan tidak ditemukan adanya sistem irigasi. Namun keberhasilan dari pertanian padi sangat tinggi karena sering hujan dan banyak tanah yang digenangi oleh air yang cocok untuk tanaman padi. Keberhasilan tanaman padi luar biasa dengan hitungan rata-rata satu kali panen seratus bahkan sampai seratus lima puluh kali lipat. Tanaman sayur-sayuran juga banyak ditemukan berupa kacang, terong, mentimun,


(43)

peria, cabai dan lain-lain. Tanaman perkebunan berupa manggis, mangga, nangka, durian, rambe, langsat dan budidaya kelapa. Kacang putih, kacang hijau dan tembakau lebih bersifat untuk dikonsumsi secara sendiri. Tanaman kapas juga ada untuk keperluan pakaian.

Peternakan hampir tidak ada. Sapi dan kerbau hanya sedikit dan kambing lebih umum. Untuk keperluan hari-hari besar dan pesta, sapi dan kerbau biasanya di datangkan dari daerah Kota Pinang dan Padang Lawas. Demikian juga halnya dengan kuda. Sementara itu, budidaya unggas tidak ditemukan dan hanya ada untuk keperluan diri sendiri berupa ayam biasa atau ayam kampung.

Budidaya ikan tidak ditemukan. Keperluan ikan hanya bersal dari penangkapan ikan di sungai dan dilaut dengan menggunakan jaring, perangkap dan lain-lain. Dikenalnya sistem jermal yang berada di mulut sungai ke laut atau di tengah laut merupakan awal kedatangan orang tionghoa yang khusus untuk keperluan itu.

2.3.3. Transportasi

Untuk memperlancar perdagangan dan hubungan ke daerah luar serta transformasi sosial, maka sarana transportasi memegang peranan yang sangat penting. Sesuai dengan kondisi alam, sarana hubungan yang lebih tepat dan efisien adalah sarana transportasi air. Untuk itu, pihak kerajaan mendirikan sebuah pelabuhan sederhana sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal di Labuhan Bilik. Dibangunnya sebuah tempat berlabuh di Labuhan Bilik itu, yang merupakan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dari Kerajaan Panai dan juga sebagai pusat perekonomian, maka Labuhan Bilik menjadi sebuah Kota Tradisonal di wilayah Sumatera Timur. Sarana transportasi darat yang masih sangat sederhana dan tidak dapat menghubungkan wilayah yang berada di luar yurisdiksi Kerajaan


(44)

Panai, menjadikan pelabuhan Labuhan Bilik itu menjadi sangat penting bagi kegitaan ekspor-impor, serta keterhubungan dengan dunia luar.

2.4. Perbudakan

Wilayah Kesulatanan Panai dikenal sebagai penghasil budak. Perbudakan di sini selain untuk dipekerjakan juga untuk dijual ke daerah lain. Jumlah budak mencapai 1500-3000 orang. Sistem perbudakan sangat kejam dan menindas. Budak dipekerjakan untuk pekerjaan rumah dan lapangan. Pemilik atau tuan budak24

Pendidikan lebih bersifat pendidikan agama yaitu pendidikan membaca dan menulis Al-Qur’an dan pendidikan agama kemasyarakatan seperti pendidikan membaca doa dan memiliki hak istimewa atas budaknya secara mutlak sampai mati. Asal budak adalah dari tawanan perang dan orang yang tidak sanggup membayar hutang. Tingginya intensitas peperangan antara kerajaan-kerajaan menyebabkan jumlah perbudakan meningkat dan juga kelas sosial yang berbeda ikut menjadi faktor peningkatan jumlah budak tersebut.

2.5. Agama dan Pendidikan

Agama yang dianut oleh penduduk Kerajaan Panai adalah mayoritas Agama Islam dan tidak ditemukan adanya agama lain untuk penduduk asli (pribumi). Pengaturan akan hukum-hukum agama diserahkan kepada malim agama berbagai kelas yang berdasarkan Al-Qur’an. Jumlah imam dan jemaah haji cukup besar dengan biaya sebesar 7 sampai 10 dolar untuk setiap orang untuk melaksanakan ibadah haji tersebut. Para imam dan haji juga banyak yang membuka pendidikan agama sederhana dan juga menyediakan perawatan pengobatan.

24


(45)

pelaksanaan ibadah-ibadah dalam agama Islam. Pendidikan membaca dan menulis aksara melayu dilakukan oleh orang-orang pendatang yaitu orang-orang mandailing. Masjid dan surau banyak ditemukan bahkan hampir di tiap-tiap kampung. Fanatisme akan agama sangat tinggi tetapi tidak membatasi mereka untuk menjalin hubungan dengan orang lain terutama dalam hal perdagangan. Hubungan perdagangan banyak dilakukan oleh para haji terutama hubungan dengan orang-orang Tionghoa.

2.6. Perobatan

Sistem perobatan masih sangat sederhana dan lebih banyak dalam bentuk doa-doa dan sebagainya. Seruan akan roh dan sejenisnya hampir menjadi suatu keharusan dalam mengobati berbagai penyakit. Penduduk belum mengenal penggunaan vaksinasi. Pengobatan-pengobatan untuk mengusir wabah penyakit dilakukan dengan jamuan-jamuan kampung yang melibatkan seluruh penduduk kampung itu. Untuk jenis penyakit, sfilis merupakan penyakit yang sering ditemukan yang menandakan keganasan penduduk orang-orang melayu itu dalam berhubungan seksual dengan lawan jenis.

2.7. Peradilan dan Sanksi

Peradilan dilakukan di Desa atau kedatuan oleh Orang Kaya kepala suku baik itu peradilan perdata ataupun pidana. Jika kasus yang diadili adalah kasus yang besar dan sulit atau berbelit-belit, maka peradilan diserahkan kepada Dewan Raja Muda. Pelaksanaan peradilan tidak dikenakan bayaran atau biaya, namun hadiah diterima dengan senang hati. Hal ini menyebabkan korupsi kemungkinan besar terjadi.


(46)

Hukuman mati berlaku bagi kejahatan-kejahatan berat walaupun hal ini ditentang oleh beberapa haji, namun tidak dihiraukan. Hukuman mati dilaksanakan dalam bentuk pemenggalan kepala. Denda berupa pembayaran sejumlah uang juga ditemukan bahkan sering memberatkan bagi kaum kalangan bawah. Kekejaman-kekejaman para hakim terlihat dari ketimpangan pemberian hukuman antara kaum bangsawan, kalangan menengah dan bawah. Kalangan bawah sering menerima hukuman yang berat dan tidak setimpal jika dibandingkan dengan hukuman yang diberikan kepada kaum kalangan menengah dan kaum bangsawan. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus melarikan diri. Pemburuan buronan itu dilakukan bahkan diiringi dengan iming-iming hadiah. Sementara itu, sumpah hanya dianggap sebagai permainan belaka dan bukan merupakan suatu kekuatan untuk pembenaran.

2.8. Pajak

Pemungutan pajak dilakukan dalam wilayah yurisdiksi kerajaan. Pajak barang yang keluar masuk dari wilayah yursidiksi itu besarnya ditetapkan oleh tarif yang telah ditentukan oleh pihak kerajaan. Ketetapan itu mengatur barang-barang yang kena pajak dan besarnya untuk setiap komoditas. Untuk linen dan tembakau impor, pajak dikutip langsung oleh pihak kerajaan. Sementara itu, untuk pajak perdagangan garam dan hasil hutan dilaksanakan oleh kepala suku. Untuk pengumpulan hasil hutan, dikenakan biaya 10-20%. Orang asing yang tinggal dan belum menikahi penduduk setempat dikenakan pajak pribadi baik khusus untuk raja maupun untuk kepala lainnya untuk kepentingan umum. Orang asing itu juga dikenakan lagi pajak jika membuat jamban, memanggil penduduk untuk kepentingan pribadi dan sejenisnya. Untuk hal-hal lain belum ada peraturan yang telah ditetapkan secara pasti.


(47)

BAB III

LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL (1862-1939)

Penetrasi Belanda atas wilayah Sumatera Timur sudah terjadi sejak akhir tahun 1830-an sebagai rentet1830-an dari Per1830-ang Padri. Namun, pada tahun 1839 Bel1830-anda menarik pasuk1830-annya dari wilayah ini atas perintah menteri jajahan J. C. Baud.25 Penetrasi Belanda atas wilayah Sumatera Timur baru sungguh-sungguh terjadi di akhir tahun 1850-an yang ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian Pemerintahan Kolonial Belanda dengan Kerajaan Siak yang lebih dikenal dengan Traktat Siak pada tanggal 1 Februari 1858. Dalam perjanjian itu pada bagian dua dinyatakan bahwa Siak dan daerah-daerah taklukannnya26

Membahas perkembangan Labuhan Bilik atau Kerajaan Panai pada masa kolonial perlu memperhatikan beberapa hal yaitu, pertama periodesasi. Terjadi dua buah periode yang termasuk Panai tunduk terhadap Kolonial Belanda.

Setelah Traktat Siak, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian melanjutkan penandatanganan kontrak dengan kerajaan-kerajaan yang ada di daerah Sumatera Timur sebagai lanjutan dari Traktat Siak tersebut. Pertama kali Belanda mendatangi Kerajaan Panai yang berada di Labuhan Bilik. Berdasar pada traktat Siak kemudian Belanda dengan mudah mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Panai pada tahun 1862. Surat Perjanjian ini kemudian diubah/diperbaiki dengan kontrak pada tahun 1875, 1889 dan 1890. Jadi, Kerajaan Panai secara de facto berada di bawah pendudukan Kolonial Belanda Sejak Tahun 1862.

25

K. J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, terj. J. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 24-25

26

Daerah-daerah taklukan Siak dalam traktat ini disebut pada Pasal 2 dalam traktat tersebut. Kontrak


(48)

sangat berkaitan dengan kondisi-kondisi di Labuhan Bilik yaitu sebelum dan setelah perkembangan atau perluasan wilayah perkebunan. Perkembangan atau perluasan perkebunan diperkirakan bermula pada awal 1910-an. Hal ini disebabkan oleh perkembangan permintaan, produksi dan harga karet dunia yang meningkat sejak periode ini. Kedua adalah wilayah kerajaan tetangga yang berkaitan dengan perkembangan Labuhan Bilik. Kerajaan tetangga itu adalah Kerajaan Kota Pinang, Bilah dan Kualuh. Dari segi pemerintahan ketiga kerajaan ini bersama kerajaan Panai digabungkan oleh Belanda menjadi satu wilayah administratif yaitu Labuhan Batu. Dari segi lain misalkan perdagangan, sarana infrastruktur, peradilan dan lainnya, tiga wilayah kerajaan yaitu Panai, Kota Pinang dan Bilah saling berkaitan dan tidak dapat dilepaskan secara satu per satu. Jadi, di satu sisi membahas Labuhan Bilik juga harus membahas ketiga dan atau keempat wilayah kerajaan tersebut. Dengan kata lain, di beberapa kondisi membahas wilayah kerajaan Panai juga membahas wilayah Labuhan Batu secara keseluruhan.

3.1. Pemerintahan

Pemerintah Kolonial Belanda mengikat kerajaan-kerajaan dengan dua sistem kontrak yaitu Politik Kontrak dan Pernyataan Pendek (Korte Velklaring). Politik Kontrak ditandatangani dengan kerajaan-kerajaan besar. Di Sumatera Timur Politik Kontrak dibuat dengan Kerajaan Siak, Langkat, Deli, Asahan, Kualuh, Palalawan (Kampar) dan Riau Lingga pada tahun 1907. Perjanjiang Pendek dibuat dengan kerajaan yang lebih kecil yang dilaksanakan sejak 1898. Di Sumatera Timur, kerajaan yang terikat dengan pernyataan pendek adalah Barusjahe, Bilah, Dolok Silau, Gunung Sahilan, Indrapura, Kuntodarussalam, Silima Kuta, Kuta Buluh, Kota Pinang, Kapanuhan, Rambah, IV Kota Rokan Hilir, Lingga,


(49)

Suka, Sarinembah, Tanah Jawa, Siantar, Pane, Raya, Purba, Panai, Lima Puluh, Pesisir, Boga, Lima Laras, Tanah Datar dan Suku Dua. Jadi, Kerajaan Panai merupakan kerajaan yang terikat dengan pernyataan pendek.

Pernyataan pendek itu pada umumnya berisi: 1. Pengakuan takluk kepada Belanda

2. Negerinya menjadi bahagian dari Hindia Belanda 3. Tidak berhubungan politik dengan negeri asing

4. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Hindia Belanda melalui

Binnenlandsche Bestuursambtenaren (Pamongpraja Belanda seperti kontelir dan

residen)27

Kalaulah pada Politik Kontrak merupakan suatu perjanjian di antara kedua belah pihak yang kira-kira sejajar, maka pada pernyataan pendek lebih merupakan suatu akte tanda takluk.

.

Dalam menjalankan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang terikat dengan pernyataan pendek, Pemerintah Kolonial Belanda membuat sebuah peraturan yang dikenal dengan

Zelfbestuursregelen tahun 1938. Peraturan ini memuat 22 pasal dalam 21 permasalahan.

Peraturan ini secara luas mengatur kekuasaan kerajaan di mana campur tangan Belanda dapat dikatakan tidak terbatas28

Untuk memudahkan dalam mengelola wilayah kekuasaanya Pemerintah Kolonial Belanda kemudian menjadikan empat kerajaan (Panai, Bilah, Kota Pinang dan Kualuh) menjadi satu wilayah administratif dengan nama Labuhan Batu.

.

29

27

T. Luckman Sinar, Bangun Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, t. t., hlm. 273

28

Ibid

29

Labuhan Batu di sini baik sebagai Afdeeling maupun sebagai Onderafdeeling.


(50)

Kolonial Belanda juga menempatkan wakilnya di daerah ini sebagai pengemban pelaksanaan roda pemerintahan sejak tahun 1864. Sebagai tempat pusat pemerintahan di wilayah ini, Pemerintah Kolonial Belanda pertama menempatkannya di Kampung Labuhan Batu. Pada tahun 1894, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Labuhan Bilik sampai tahun 1931. Selanjutnya sejak tahun 1931 sampai akhir kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda, pusat pemerintahan wilayah ini dipindahkan ke Rantau Prapat.

Sebagaimana diungkap di atas, secara administratif Kolonial Belanda menggabungkan empat kerajaan yaitu Kerajaan Panai, Bilah, Kota Pinang dan Kerajaan Kualuh menjadi satu wilayah yang disebut Labuhan Batu. Wilayah Labuhan Batu dalam perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan status. Pada tahun 1864 daerah Siak dan taklukannya (termasuk Labuhan Batu) dijadikan satu afdeeling dari Keresidenan Riouw yang berpusat di Siak.30 Status ini kemudian berubah pada tahun 1873 di mana Siak dan daerah taklukannya dijadikan sebuah keresidenan yaitu Keresidenan Sumatera Timur yang berpusat di Bengkalis yang terdiri dari beberapa afdeeling salah satunya Afdeeling Labuhan Batu31 yang berpusat di Kampung Labuhan Batu. Kemudian pada tahun 1887, pusat dari keresidenan Sumatera Timur dipindahkan dari Siak ke Medan32

30

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1864, No. 48

31

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1873, No. 84

32

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1887, No. 21

. Perpindahan pusat keresidenan ini tidak mempengaruhi status Labuhan Batu sebagai sebuah afdeeling dari Keresidenan Sumatera Timur yang berpusat di Kampung Labuhan Batu. Pada tahun 1894, pemerintah kolonial kemudian memindahkan pusat pemerintahan Afdeeling Labuhan Batu


(51)

dari Kampung Labuhan Batu ke Labuhan Bilik. Selanjutnya pada tahun 1915 terjadi perubahan struktur Keresidenan Sumatera Timur yang dibagi atas lima afdeeling yaitu Deli en serdang, Asahan, Langkat, Simalungun en Karo Landen dan Siak. Sementara itu Labuhan Batu diturunkan statusnya dari afdeeling menjadi onderafdeeling dari Afdeeling Asahan33

Labuhan Batu baik sebagai afdeeling maupun onderafdeeling dibagi atas empat

landschap yang terdiri dari beberapa distrik. Empat landschap itu ialah Landschap Panai,

Bilah, Kota Pinang dan Kualuh. Landschap Panai terdiri atas tiga distrik yaitu distrik Panai Tengah (Labuhan Bilik), Panai Hulu (Labuhan Batu) dan Panai Hilir (Sungai Berombang).

Landschap Bilah terdiri dari empat distrik yaitu Bilah Hilir (Negeri Lama), Bilah Hulu

(Rantau Prapat), Marbau (Marbau) dan Raja Na IX-X (Aek Kota Batu). Landschap Kota Pinang terdiri dari tiga distrik yaitu Kota Pinang (Kota Pinang), Kampung Raja (Kampung Raja) dan Sungai Kanan (Langga Payung). Terakhir Landschap Kualuh terdiri dari tiga distrik yaitu Aer Natas (Bandar Durian), Kualuh Hulu (Tanjung Pasir) dan Kualuh Hilir (Kampung Mesjid)

.

34

Roda pemerintahan dijalankan oleh pihak Kolonial Belanda melalui wakilnya yaitu seorang controleur di pusat pemerintahan. Controleur kemudian dibantu oleh Raja dari masing-masing landschap dan kepala distrik dari masing-masing distrik. Kepala distrik ini pada umumnya diangkat dari keturunan Orang Besar yang kedudukannya sebagai Orang Besar dihapuskan

.

35

33

Gubernemen Besluit, 16 Agustus 1915, No. 3

34

ANRI, MvO Controleur Labuhan Batu M. Boon, 1931, hlm. 9

35

Penghapusan Dewan Orang Besar mulai di lakukan oleh Belanda sejak 1915 guna mengurangi kekuasaan yang terlalu banyak. Dengan menghapuskan Dewan Orang Besar yang beranggotakan Orang Kaya atau Orang Besar dari masing-masing yang mengepalai suatu suku dan atau daerah, kekuasaaan suatu kerajaan hanya tinggal di tangan raja yang dapat dengan mudah dikuasai oleh Belanda. Dewan Orang Besar kemudian digantikan oleh Kepala Distrik, pamongpraja biasa. T. Luckman Sinar, op. cit., hlm. 254.


(52)

bawah perintah dari controleur. Untuk masalah pajak dan pendapatan negara juga di kelola oleh controleur melalui masing-masing departemen yang dibentuk.

3.2. Penduduk

Catatan untuk jumlah penduduk pada masa Kolonial Belanda untuk wilayah Labuhan Batu dicatat oleh controleur pertama Labuhan Batu yaitu J. C. F. Vigelius pada tahun 1866 yang menyebutkan bahwa Penduduk untuk Kerajaan Panai berkisar 5.000-6.000 orang. Sementara itu kerajaan Kota Pinang berkisar 8.000 orang dan kerajaan Bilah berkisar 7.000 orang36. Selanjutnya pada tahun 1930, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan Sensus Penduduk untuk seluruh wilayah Hindia Belanda. Hasil sensus penduduk ini juga dilaporkan oleh Controleur Labuhan Batu H. H. Morison pada laporan serah terima jabatannya pada tahun 1933. Dalam laporan ini disebutkan bahwa penduduk kota Labuhan Bilik pada tahun 1931 berjumlah 1.348 orang37. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk untuk wilayah Labuhan Batu dari masing-masing distrik yang ada di Onderafdeeling labuhan Batu.

36

J. C. F. Vigelius, “Memorie van Overgave van het Bestuur over Afdeeling Panei en Bila”, dalam

Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, jilid XVII, 1866.

37


(53)

Tabel 1

Jumlah Penduduk Onderafdeeling Labuhan Batu pada Tahun 1931

No Daerah Jumlah

1. Distrik Panai Tengah 8.695

2. Distrik Panai Hilir 4.047

Total Landschap Panai 12.742

3. Distrik Bilah Hilir 7.757

4. Distrik Marbau 5.007

5. Distrik Bilah Hulu 7.033

6. Distrik Raja IX-X 5.905

Total Landschap Bilah 25.702

7. Distrik Kota Pinang 7.729

8. Distrik Langga Payung 5.327

9. Distrik Kampung Raja 1.822

Total Landschap Kota Pinang 14.878

10. Distrik Kualuh Hulu 13.537

11. Distrik Kualuh Hilir 10.975

12. Distrik Aer Natas 5.699

Total Landschap Kualuh 30.211

Total Ondertafdeling Labuhan Batu 83.533 Sumber: MvO Controleur H. H. Morison, 1933, Bijlangen II

Dari data di atas dapat dilihat peningkatan data jumlah penduduk pada masa Kolonial Belanda. Berdasarkan catatan J. C. F. Vigelius pada tahun 1866 yang mencatat jumlah penduduk di tiga kerajaan (Panai, Bilah dan Kota Pinang) yang diperkirakan berjumlah 20.000 orang. Sementara itu, berdasarkan tabel di atas, jumlah penduduk dari tiga kerajaan itu adalah berjumlah 53.322 yang berarti meningkat lebih kurang 33.000 jiwa. Dengan demikian angka pertumbuhan penduduk di tiga wilayah ini dari tahun 1866-1931 adalah 2,54


(54)

% per tahun. Tabel penduduk dari tiap-tiap kampung pada masing-masing distrik di Labuhan Batu dapat dilihat pada lampiran IV.

Pada tahun 1933 tercatat data penduduk (asli pribumi) untuk Landschap Panai sejumlah 12.975, Landschap Bilah 25.824, Landschap Kota Pinang sejumlah 19.278 dan

Landschap Kualuh sejumlah 23.77438

Pada periode pertama (sebelum perkembangan/perluasan perkebunan) Pemerintahan Kolonial Belanda sebenarnya tidak berbuat banyak terhadap infrastruktur di wilayah Labuhan Batu. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kepentingan akan hal itu bukanlah kepentingan yang mendesak atau menjanjikan. Namun, setelah perkembangan perkebunan di wilayah ini, barulah kemudian Belanda mulai membangun infrastruktur terutama untuk kepentingan kelancaran pemerintahan dan kepentingan pihak perkebunan. Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun infrastruktur di wilayah Labuhan Batu terutama di Kota Labuhan Bilik sebagai pusat pemerintahan. Letak Labuhan Bilik yang strategis menjadikan alasan bagi pihak Belanda untuk menjadikannya sebagai pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat perekonomian yang membuat perkembangan wilayah ini menjadi satu kota yang diperhitungkan. Untuk itu pihak kolonial membangun sarana infrastruktur di antaranya transportasi, perdagangan, industri dan pertanian serta sarana pemerintahan. Jadi, . Terdapat perbedaan data yang mencolok untuk

Landschap Kualuh di mana terdapat selisih yang lebih kurang 6.400-an. Tidak diketahui

secara pasti data yang mana yang lebih valid. Hal ini dapat dimaklumi dan kemungkinan besar adanya error data.

3.3. Infrastruktur

38

T. Luckman Sinar Basarsyah II, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan, tanpa penerbit , t. t., hlm. 408-409.


(55)

pembangunan infrastruktur itu dimulai sejak perkembangan perkebunan dengan mempertimbangkan kepentingan pihak perkebunan dan kelancaran roda pemerintahan.

3.3.1. Transportasi

Pada akhir abad ke-19, sebagai efek dari perkembangan perkebunan di Keresidenan Sumatera Timur yang dimulai sejak 1863 oleh Jacob Nienhuys, membuat pihak perkebunan dan Pemerintahan Kolonial Belanda membangun sarana transportasi baik transportasi air maupun transportasi darat. Pembangunan ini pada awalnya lebih mengutamakan kepentingan pihak perkebunan sebagai sarana pengangkut hasil perkebunan tersebut. Sebagai contoh Pelabuhan Belawan dibangun yang difungsikan untuk menampung hasil perkebunan yang akan di ekspor ke wilayah luar. Untuk mendukung efektivitas Pelabuhan Belawan, pihak kolonial juga membangun sarana transportasi berupa jalan raya dan jalur kereta api dari berbagai daerah yang berujung ke Pelabuhan Belawan. Pembangunan sarana transportasi darat yang berupa jalan raya dan jalur kereta api pada awal abad 20 sudah hampir menjangkau seluruh wilayah Sumatera Timur kecuali Sumatera Timur wilayah Selatan yaitu

Onderafdeeling Labuhan Batu. Oleh karena itu, di wilayah ini transportasi air maih

memegang peranan melalui pintu gerbang Pelabuhan Labuhan Bilik.

3.3.1.1. Transportasi Air

Untuk mendukung perekonomian di wilayah Labuhan Batu khususnya wilayah kerajaan Panai, Bilah dan Kota Pinang, Pemerintah Kolonial Belanda pada awalnya membangun sebuah pelabuhan sederhana tempat pendaratan kapal di pinggiran sungai Barumun di Hulu Sungai Panai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kampung


(56)

Labuhan Batu. Sulitnya akses kapal ke wilayah ini karena sungai yang kecil menyebabkan pelabuhan ini tidak lama bertahan. Oleh karena itu, pihak kolonial kemudian memindahkan sarana pendaratan kapal ke Labuhan Bilik dengan membangun pelabuhan yang jauh lebih besar dibanding dengan pelabuhan yang ada di Kampung Labuhan Batu. Pemindahan ini lebih disebabkan letak Labuhan Bilik yang lebih strategis yang berada di Sungai Panai dengan sungai yang lebih besar dan dalam yang dapat dilayari oleh kapal-kapal yang lebih besar. Selain itu letak Sungai Panai yang merupakan pertemuan dari dua sungai yaitu Sungai Barumun dan Sungai Bilah juga sebagai faktor pendukung pemindahan itu.

Kapan pemindahan itu dilakukan secara pasti tidak ditemukan data yang valid. Waktu pemindahan ini dapat diperkirakan pada akhir abad ke-19 seiring dipindahkannya pusat pemerintahan Afdeeling Labuhan Batu dari Kampung Labuhan Batu ke Labuhan Bilik pada tahun 1894. Pelabuhan ini difungsikan sebagai pelabuhan ekspor-impor dari dan ke wilayah Labuhan Batu khususnya wilayah yang berada di pinggiran Sungai Barumun dan Sungai Bilah. Pelabuhan ini akhirnya berkembang dengan pesat sebagai salah satu pelabuhan tradisional terbesar di Sumatera Timur.

3.3.1.2. Transportasi Darat

Pembangunan jalan darat pada masa Kolonial Belanda dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu Cultuurswegen (jalan perkebunan), Landschapswegen (jalan pemerintah) dan

Ondernemingswegen (jalan perusahaan). Pembangunan jalan ini tidak hanya dilakukan oleh

pihak Pemerintah Kolonial Belanda, melainkan juga dilakukan oleh pihak perkebunan demi kelancaran aktivitas perkebunannya sendiri.


(57)

Untuk Cultuurswegen pada tahun 1924 sudah terdapat jalan yang menghubungkan kota Medan sampai Rantauprapat. Selain itu, pada tahun ini juga sudah tercatat adanya jalan raya di Kota Labuhan Bilik sepanjang 2,9 KM.

Pembangunan jalan dalam kategori landschapswegen di Labuhan Batu pada tahun 1925 tercatat sebagai berikut.

a. Jalan dari Kampung Mesjid ke Kampung Djawi-djawi sepanjang 16 KM. b. Jalan dari Marbau ke Milano sepanjang 6 KM.

c. Jalan dari Rantauprapat ke Kota Pinang sepanjang 60 KM.

d. Jalan dari Sennah Rubber Ondernemingen ke Negeri Lama sepanjang 4 KM. e. Jalan dari Biyawak ke Pangkatan sepanjang 12 KM.

f. Jalan dari Marbau ke Masihi sepanjang 15 KM.

g. Jalan dari Negeri Lama ke Labuhan Bilik sepanjang 32 KM. h. Jalan dari Labuhan Bilik ke Sungai Berombang sepanjang 12 KM. i. Jalan dari Kampung Mesjid ke Tanjung Mangedar sepanjang 12 KM.

Jadi pada tahun ini sudah terhubung jalan dari Rantauprapat ke Kota Pinang dan Rantauprapat ke Labuhan Bilik melalui Negeri Lama.

Selain itu, Kolonial Belanda juga membangun jalur kereta api. Pada tahun 1928 Kolonial Belanda mengeluarkan Surat Keputusan pada tanggal 4 November 1928 untuk pembangunan jalur kereta api dari Membang Muda ke Rantauprapat melalui Milano. Jalur kereta api Membang Muda-Milano diresmikan pada tanggal 1 Januari 1931 dan jalur Milano-Rantauprapat diresmikan pada tanggal 19 Agustus 1937.39

39

Indera, “Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Matschappij, 1883-1940”, tesis S-2, belum diterbitkan, Universitas Indonesia, 1996, hlm. Lampiran.


(1)

Kantor sekaligus Rumah Syahbandar di Komplek Pelabuhan Labuhan Bilik.

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011

Salah satu gudang di komplek Pelabuhan Labuhan Bilik.


(2)

Salah satu gudang di Komplek Pelabuhan Labuhan Bilik Bekas Dermaga Pelabuhan Labuhan Bilik

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011


(3)

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011


(4)

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011

Kompleks Rumah Sakit Labuhan Bilik Bangunan tampak dari depan


(5)

Bangunan Rumah Sakit di Pinggir sebelah Barat

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011

Bangunan Rumah Sakit di pinggir sebelah Timur

Sumber: Koleksi Pribadi, 2011.


(6)

LAMPIRAN VII : SKETSA KOTA LABUHAN BILIK PADA MASA KOLONIAL

Perumahan Masyarakat. Dermaga Gereja Masjid Komplek Istana Sungai Panai Ruko Permanen 2 lantai. Komplek Pelabuhan Post en Telegraaf Kantoor Jalan Raya

Rumah Etnis Tionghoa Penjuan Candu Tempat Penjemuran Ikan Kantor Urusan Pelayaran Jembatan

Komplek Rumah Sakit Komplek Kantor Kepolisian Sekolah Kantor Urusan Listrik Anak Sungai Panai Komplek Penjara Pabrik Papan Pengadilan Negeri Gudang Pelabuhan Jalan Beton