Sejarah Kekhalifahan Termasuk Konsep Kha

SEJARAH KEKHALIFAHAN
(Termasuk Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran)

I.

PENDAHULUAN
Gelar “khalifah” diberikan sebagai pemegang kekuasaan untuk menjadi pemimpin
sekaligus menjalankan pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Abu
Bakar Ash-Shiddiq adalah khalifah pertama sebelum Umar, Utsman, dan Ali yang pada
akhirnya tepilih sebagai pengganti beliau setelah melewati perdebatan tentang siapa yang
lebih berhak meneruskan kepemimpinan umat Islam pada saat itu. Kemudian ada istilah
khalifatullah yang dikumandangkan oleh al-Manshur, sebagai salah satu khalifah bani
Abbasiyah. kemudian para penguasa di Indonesia yang menggunakan gelar sultan dan
menyebut bahwa diri mereka adalah agung dan seorang raja besar yang senantiasa harus
dihormati laksana dewa.
Sebenarnya apa maksud dari gelar-gelar itu dan mengapa mereka menggunakan gelar
itu dalam kekuasaan mereka ? Dalam makalah ini akan dijelaskan pula tentang sejarah
kekhalifahan dan praktik mereka dalam kekuasaannya sebagai seorang pemimpin
Negara.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi Khalifah, Khalifatullah, dan khilafah Menurut Para Ulama
Kata khalifah berasal dari kata khalafa - yakhlifu/yakhlufu - khalfan - wa
khilafatan yang berarti mengantikan, menempati tempatnya, sedangkan kata khalafu
diartikan orang yang datang kemudian atau ganti, pengganti. Dan kata al-khaalifatu
mempunyai pengertian umat penganti, yang berbeda pengertianya dengan alkhaliifatu yang bentuk jama’nya khulafa’ dan khalaaif yang berarti khalifah. Adapun

1

Nurcholis Madjid mengartikan khalifah dengan yang mengikuti dari belakang, jadi
wakil atau pengganti di bumi. Sedangkan menurut M. Quraish Shihab kata khalifah,
berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya berarti belakang, kemudian seringkali
diartikan sebagai pengganti. Karena yang menggantikan selalu berada atau datang
dari belakang, sesudah yang digantikannya. Adapun Dawam Raharjo memberikan
pengertia khalifah dalam al-Qur’an diantaranya: mereka yang datang kemudian,
sesudah kamu, yang di perselisihkan, silih berganti, berselisih dan pengganti.1
Khalifatullah

menurut

Endang


Saifuddin

Anshari

diartikan

sebagai

penerjemah sifat-sifat Allah swt dalam kehidupan dan penghidupan manusia, dalam
batas-batas kemanusiaan. Sedangkan menurut Dawam Raharjo pengertian khalifah
dalam hal kedudukan manusia sebagai pengganti Allah, mempunyai makna:2
1. khalifatullah adalah Adam. Karena Adam simbol bagi seluruh manusia, maka
manusia adalah khalifah
2. khalifatullah adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu khalifah
diemban secara kolektif oleh suatu generasi
3. khalifatullah adalah kepala negara atau kepala pemerintahan
Namun ketiga makna ini yang paling tepat untuk dierapkan sebagai kedudukan
manusia adalah yang pertama, yang memposisikan manusia secara keseluruhan
sebagai khalifatullah. Sedangkan kata khilafah sendiri berarti pemerintahan atau

sistem pemerintahan.3 Sejalan dengan pengertian khilafah di atas dalam pengertian
syariah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW
dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi,
1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam
1 Tafsir Nusantara (konsep Khalifatullah menurut M. Qurai Shihab)
(www.sangrevolusi.blog.com/2011/04/14/abc), lihat juga M. Dawamraharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hal.1 diakses pada tanggal 07 Oktober 2011 jam 20.45 Wib.
2 Ibid.
3 http://tausyiah275.blogsome.com/ diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 08.00 Wib.

2

perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara
Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).4 Ibnu Khaldun mengartikan al-Khilafah
sebagai yang membawa (seluruh) manusia sesuai dengan tuntunan syara’ demi
kemaslahatan ukhrawi dan duniawi mereka. Dalam hal ini dunia tidak terkecuali,
karena seluruh ihwal dunia juga dalam pandangan syara’ dianggap sebagai sarana
untuk meraih kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, hakikat seorang khalifah
adalah sebagai pengganti dari pemilik syara’ (Allah Swt.) yang diserahi amanat
untuk menjaga agama dan politik dunia.5

Membahas makna khalifatullah seperti yang dijelaskan di atas tentu kita akan
teringat dengan kata al-Khulafa ar-Rasyidin yang artinya para pengganti yang
mendapat petunjuk.6 Namun gelar tersebut bukan semata-mata menunjukkan bahwa
mereka adalah pengganti Nabi sebagai penyampai wahyu yang diturunkan dan
sebagai utusan Tuhan yang tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul
(khalifah) hanyalah perjuangan Nabi.7

B. Konsep, dan Karakteristik Khalifatullah
Adapun konsep Khalifatullah sebenarnya sudah tercantum di al-Qur’an yang
termaktub dalam QS. al-Baqaroh ayat 30:

    
     .................. 
Yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…….”

4 http://nurdi.multiply.com/journal/ diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 09.19 Wib.
5 Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2 terj. H.A. Bahauddin (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 1,
2001), hal. 276.
6 H. Darsono dan T. Ibrahim, Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam (Solo: Tiga Serangkai, 2009), hal. 43.

7 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, cet. 1, 2009), hal. 93.

3

Menjadi khalifah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya
dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Status ini bukan hanya disandang Adam
as., namun juga seluruh Nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam
memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa
mereka dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.8
Sedangkan karakteristik yang harus dimiliki seseorang sebagai khalifatullah,
yaitu:
1. Memenuhi tugas yang diberikan Allah
2. Menerima tugas dan melaksanakannya dalam kehidupan perorangan maupun
kelompok
3. Memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama
4. Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.9

C. Sejarah Kekhalifahan
1. Masa al-Khulafa ar-Rasyidin
Sepeninggal Rasulullah Saw. Islam dipimpin oleh al-Khulafa ar-Rasyidin,

yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Daulat al-Khulafa ar-Rasyidin (11-41
H/632-661 M) yang berkedudukan di Madinah al-Munawarah itu, Cuma berkuasa
selama 30 tahun menurut kalender Hijriyah ataupun 29 tahun menurut kalender
Masehi. Akan tetapi masa pemerintahan yang teramat singkat itu sangat
menentukan sekali bagi kelanjutan agama Islam dan bagi perkembangan
kekuatan agama Islam. Pada masa ini para pejabat kekuasaan tertinggi dipilih dan
diangkat berdasarkan pemufakatan dan persetujuan masyarakat Islam, sedangkan
8 Dudung, Kewajiban Menegakkan Khilafah (Tafsir al-Baqarah:30), (www.forum.dudung.net). Lihat juga AlBaghawi, Al-Ma’alim al-Tanzil, Vol 1, hal. 31, al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Vol. 2, 222, al-Qonuji, fath al-Bayan ,
Vol.2, 126.
9 Tafsir Nusantara (konsep Khalifatullah menurut M. Qurai Shihab) (www.sangrevolusi.blog.com).

4

garis kebijaksanaan yang dijalankan dapat dikatakan bersamaan.10 Merujuk
kepada gelar yang mereka gunakan pada waktu itu tentu meimiliki maknanya
tersendiri, seperti halnya Abu Bakar yang memakai istilah khalifatu Rasulillah
(pengganti Rasulullah) untuk membatasi kedudukannya sebagai khalifah,
beberapa literatur menunjukkan, bahkan ia menolak penggunaan gelar
khalifatullah.
2. Masa Bani Umayyah

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani
Umayyah,

pemerintahan

yang

bersifat

demokratis

berubah

menjadi

monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh
melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan, atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia terhadap
anaknya, Yazid. dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia

memberikan interpretasi dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.
Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat
oleh Allah.11
Kekuasaan bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun dengan Damaskus
sebagai Ibu kota Negara. Khalifah yang berkuasa pada masa ini diantaranya
adalah Muawiyah, Abdul Malik, Umar bin abdul Aziz yang terkenal dengan
Umar II karena termasuk khalifah yang benar-benar mewujudkan zaman yang
gemilang pada masanya, lalu ada al-Walid dan Hasyim Ibn abd Malik.

10 H. Fatah Syukur Nc, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 49.
11 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
hal. 42.

5

3. Masa bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,
mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu
pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang

Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan
abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari
kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang
menyatukan dunia Islam.12
4. Masa Kekhalifahan “Bayangan”
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil
menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi
Khalifah al-Mu’tasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah
membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan
Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini
dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim
pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".13
5. Masa Kekaisaran Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya

Kesultanan Usmaniyah, para

pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini
kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan
Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah

Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke
Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
12 http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia, lihat juga Omar Hossino. Classical Islamic Views on Human Nature,
Political Authority, and International Relations, 2006.
13 Ibid.

6

Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed
II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan
bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.14
Menurut Barthold, saat yang mana gelar Khalifah digunakan untuk
kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah
ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada
tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang
dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian
besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah
Crimea (1783). Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran
Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka

akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi
wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara
politik oleh kekuatan Eropa. Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan
Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah
semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan
kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme
Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh
Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada
Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa
lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling
besar dan paling kuat di dunia.

6. Runtuhnya Kekhalifahan
14 Ibid

7

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir,
Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum
nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah
institusi Khilafah Islamiyah pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka (para
khalifah) terdiri dari 5 orang khalifah dari khulafaur raasyidin, 14 khalifah dari
dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih
8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11 orang khalifah. Dari sini pusat
pemerintahan dipindahkan ke Kairo, yang dilanjutkan oleh 18 orang khalifah.
Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30
orang khalifah.15
Sejarah kekhalifahan telah berakhir pada eranya, dan apakah para penguasa
pada zamannya benar-benar menjadi khalifah Allah atau hanya sekedar gelar serta
simbol untuk mengukuhkan dirinya sebagai penguasa agung dalam sebuah negara
atau pemerintahan. Meskipun begitu mereka tetaplah mencatatkan sejarahnya
dalam sebuah buku peradaban Islam yang meninggalkan berbagai hal yang
penting dan bermanfaat bagi umat Islam di seluruh dunia, seperti halnya
peninggalan-peninggalan yang bersifat materi ataupun non materi. Dari bidang
materi tentu saja banyak sekali bangunan yang berdiri dan menjadi peninggalan
sejarah dan diabadikan khazanahnya sampai sekarang ini, seperti istana, masjid,
dan perpustakaan, adapun dari bidang non materi bisa dilihat dari kontribusinya
dalam bidang ilmu pemerintahan dan juga ilmu pengetahuan sebut saja pada masa
bani Abbasiyah tepatnya masa pemerintahan al-Manshur, al-Makmun, dan Harun
al-Rasyid, yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu di
dunia Islam. Al-Manshur contohnya memerintahkan penerjemahan naskah15 Majlis Ta'lim Dzikrullah Maula Aidid, Sejarah Kekhalifahan Islam (alkisahteladan.blogspot.com). 2001.

8

naskah Yunani mengenai filsafat ilmu, sehingga munculah tokoh-tokoh
terkemuka seperti, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina.16

D. Konsep Kekhalifahan dan Doktrin Keagungbinataran
1. Tentang gelar khalifah atau khalifatullah di kalangan pemimpin Islam.
Merujuk kepada gelar yang mereka gunakan pada waktu itu tentu memiliki
maknanya tersendiri, sebagai pemimpin Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut
khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya
disebut khalifah saja.17 Abu Bakar memakai istilah khalifah Rasulillah untuk
membatasi kedudukannya sebagai khalifah, beberapa literatur menunjukkan,
bahkan ia menolak penggunaan gelar khalifatullah. Setelah Abu bakar wafat
umar dibaiat masyarakat saat itu sebagai penggantinya, Umar menyebut dirinya
khalifah khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulillah). Ia juga
memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minun (komandan orang-orang yang
beriman). Begitu juga dengan Utsman dan Ali, gelar khalifah tetap disandang
mereka dalam menjalankan pemerintahanya di kala itu. Pada masa ini penentuan
jabatan didasarkan pada musyawarah, meskipun musyawarah di sini bukan
sesederhana yang kita bayangkan, seperti halnya penunjukan langsung Umar ibn
Khathab oleh Abu Bakar untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin umat
Islam di kala itu, namun masyarakat tetap berperan serta untuk membaiat Umar.
Beralihnya jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan telah
mengubah sistem musyawarah yang selama ini menjadi dasar pemilihan alKhulafa ar-Rasyidun. Sejak saat itu beralihlah kekhalifahan menjadi milik
pemegangnya melalui kekuatan pedang, senjata, politik, dan rekayasa.18 Tidak
16 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 40.
17 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal. 35.
18 Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal. 292.

9

sampai di situ saja, Muawiyah mengangkat putranya sendiri Yazid sebagai putera
mahkota, sehingga tampakklah sistem waris dalam pemerintahan, sehingga
kekhalifahan lebih bertumpu pada politik daripada bertumpu pada agama,
sehingga mereka lebih layak disebut sebagai “raja”. Namun meskipun kelihatan
monarki tapi mereka masih membutuhkan pengakuan dari rakyat.
Ketika para pemimpin menganggap bahwa mereka adalah wakil dari Tuhan
Semenjak berkuasa, para khalifah Abbasiyah menegaskan kedaulatan mereka
berasal dari Tuhan dan mengklaim untuk menegakkan kebenaran di tengah umat
muslim.19 Khalifah Abbasiyah yang pertama telah memakai julukan yang terlalu
bernada eskatologis, al-Saffah, yang pada dirinya menyiratkan sekaligus
kemuliaan dan kebengisan berdarah dalam melaksanakan kebengisan Ilahi.
Demikian juga, nama al-Manshur, merupakan nama julukan seperti itu juga, yang
menyiratkan bahwa khalifah dipilih untuk menerima bantuan Tuhan dalam
kemenangan-kemenangnnya. Penguasa-penguasa marwani sampai akhir telah
dikenal melalui nama-nama tertentu mereka yang sederhana; al-Manshur
menjadikan nama-nama julukan yang hebat sebagai kebiasaan dalam garis
keturunannya dengan memberikan secara resmi satu nama julukan pada
puteranya yang akan ia jadikan pewaris tahtanya. Ia menyebutnya al-Mahdi,
sebuah gelar yang telah digunakan oleh Syi’ah bagi pemulih keadilan Islam yang
diharapkan. Dengan cara ini barangkali, ia telah mensiratkan bahwa puteranya
akan membuat konpensasi bagi cara-cara berdarah dimana sang ayah telah
menegakkan kekuasaannya, tapi tentu saja sebenarnya memberikan catatan

19 Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bag. 1, terj. Gufron (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
hal. 132.

10

bahwa betapapun absolutisme Abbasi merupakan hasil definitif dari harapan dan
rencana orang-orang salih.20
Jadi dapat dikatakan bahwa Selain Abu al-Abbas al-Safah, semua khalifah
Abbasiyyah menganggap bahwa kekuasaannya berasal dari Allah, divine origin,
(Manshur menyatakan. ”Ana Khalifahtullah (’ala al-ard), ’ardlihi: saya adalah
Khalifah Allah di muka bumi-Nya,… Ana Sulthanullah fi (’ala al-ard) ardlihi:
saya adalah Kekuasaan Allah di muka bumi-Nya….dan Ana Dzillullah fi (’ala alard) ardlihi: saya adalah Bayangan Allah di muka bumi-Nya. dan menjadi
penuntun yang sebenarnya bagi kaum muslim. Dengan demikian, sejak masa
kepemimpinan Manshur dalam diri seseorang khalifah terdapat dua jabatan, yaitu
khalifah, sebagai jabatan sakral (disamakan dengan Paus sebagai jabatan
keagamaan, walapun kedudukan khalifah tidak persis seperti jabatan dan tugas
seorang Paus, sebab secara nyata jabatan khalifahtullah diciptakan untuk
kesuksesan politik semata) dan sebagai seorang raja Sizar. Dengan adanya jabatan
sakral itu, maka sejak al-Manshur para khalifah Abbasiyah tidak membutuhkan
pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh khalifah.21 Merujuk dari
gelar khalifatullah yang dipakai oleh al-Manshur, mengapa ia tidak mengakui
dirinya sebagai pengganti khalifah sebelumnya dan langsung menjadi
khalifatullah ? Alasannya karena dia merasa dirinya besar dan tinggi. Jika dia
adalah pengganti khalifah-khalifah sebelumnya yang kurang ajar, betapa
buruknya dia. Tujuannya adalah agar dia menjadi Raja tertinggi sekaligus
Pimpinan religi.

20 Marshal G. S. Hudgson, The Venture of Islam (Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia), terj. Dr.
Mulyadi K, (Jakarta: Paramadina, 2002) hal. 72.
21 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hal.
146-147.

11

Adapun sejarah kekhalifahan pada akhirnya runtuh pada masa kekaisaran
Utsmaniyah, mereka juga menggunakan gelar khalifah tapi lebih digunakan untuk
kepentingan politik semata. Hingga pada saat kevakuman politik sebagai akibat
dari penjajahan Inggris pasca-Perang Dunia I Mustafa Kemal Pasha
memanfaatkan situasi tersebut untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional
dan ia dinobatkan sebagai ketuanya. Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen,
Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan
republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu.
2. Konsep dan Doktrin Keagungbinataran dalam kerajaan Islam di Indonesia
Dalam birokrasi kraton jawa dikenal istilah Ratu-binathara memiliki tiga
macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang
dimaksud dengan wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai
wakil Tuhan. Wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan
wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa, atau
Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan tidak terbatas
dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, sebab dianggap sebagai kehendak
Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah
disebutkan di atas, mendudukkan raja sebagai yang berkuasa untuk memberi
pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada
rakyatnya.22
Konsep keagungbinataraan merupakan konsep kekuasaan raja-raja Mataram.
Bahwa raja Mataram adalah pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang
dan sekaligus sebagai hakim. Demikian kekuasaan raja-raja Mataram begitu
besar, sehingga di hadapan rakyat raja adalah sebagai pemilik segala harta
22 http:/staff.uny.ac.id/Filsafat Jawa dan Kearifan Budaya lokal pdf Diakses tanggal 05 Desember 2011 jam
10.06 WIB.

12

maupun manusia sehingga dikatakan sebagai wenang wisesa ing sanagari,
memiliki kewenangan tertinggi di seluruh negeri. Dalam istilah pewayangan
disebutkan gung binathara, bau dhenda nyakrawati, yaitu sebesar kekuasaan
dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia. Kedudukannya sebagai penguasa
negara raja berhak melakukan apa saja dengan kerajaanya termasuk harta dan
manusia. Kalau yang merasa berhak atas sesuatu itu mempertahankanya, maka
akan diperanginya. Sebaliknya kalau ada orang yang dipandang tidak pantas
berada dalam kedudukannya, dengan mudah raja akan mengambil kedudukan
tersebut, bila perlu dengan membunuhnya, dengan demikian implikasi dari
konsep ajaran keagungbinataraan tersebut bagi rakyat adalah rakyat harus tunduk
dan patuh kepada raja, jika berbicara atau mengajukan usul harus berkali-kali
menyembah-nyembah. Dalam konsep kekuasaan Jawa raja kekuasaan yang besar
tadi diimbangi dengan kewajiban yang dirumuskan dengan kalimat ber budi
bawa leksana, ambeg adil para marta, meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya
terhadap semua yang hidup, atau adil dan penuh kasih. Dengan demikian konsep
kekuasaan raja merupakan keseimbangan antara kewenangan yang dimiliki raja
dengan kewajiban yang sama-sama besar. Ia boleh saja membunuh lawannya asal
syarat rasa keadilan dipenuhinya. Raja boleh saja mengambil istri orang lain asal
diberi ganti rugi yang seimbang. Dengan orang-orang yang berjasa, raja harus
memberikan ganjaran. Dan raja harus menindak orang lain yang bersalah
sekalipun anaknya sendiri bila ternyata melakukan kesalahan. Inilah yang disebut
dengan konsep keagungbinataraan.23
Raja merupakan pemegang kekuasaan yang tertinggi, pusat segala kekuasaan.
Atas kebesarannya, kekayaan yang melimpah, istana yang indah megah, yang
demikian itu, ia sangat dihormati oleh raja-raja lain dan menjadi populer di
23 Ibid.

13

seantero negeri. Oleh karena itu raja-raja dari berbagai negeri dengan kerelaan
mengirimkan upeti, mempersembahkan putri taklukan, memberikan apa saja yang
dibutuhkan raja. Besarnya kekuasaan raja dapat juga dilihat dari acara paseban.
Ukuran besarnya kekuasaan raja dapat dinilai dari banyaknya punggawa yang
datang menghadiri paseban itu. Juga dapat dilihat dari banyaknya jumlah pasukan
dan persenjataan lengkap yang dimiliki. Adapula raja yang takluk tanpa
diperangi, karena pengaruh besarnya kewibawaannya. Besarnya kekuasaan raja
dapat juga dilihat dari kesediaan para punggawa, baik bupati maupun yang
lainnya.24
Sebagian besar kerajaan Islam di Indonesia juga menggunakan gelar Sultan
untuk menyebut pemimpin yang berkuasa saat itu, sebut saja Sultan Iskandar
Muda di Aceh, Sultan Adiwijaya di Pajang, Sultan Agung di Yogyakarta, atau
Sultan Trenggono di Demak. Istilah kerajaan juga tidak lepas dari pemerintahan
yang berkembang saat itu, dimana raja adalah seorang pemimpin besar yang
harus ditaati dan dihormati setinggi-tingginya, seperti halnya dalam doktrin
keagungbinataran yang menyebutkan keagungan seorang raja.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan Jawa di Demak contohnya, menegaskan
bahwa raja adalah pusat alam semesta dan sumber kekuasaan. Atas dasar itulah
raja Jawa juga bergelar susuhunan, gelar yang biasanya digunakan oleh para
pemimpin agama, dan panatagama, pelindung dan pengatur agama.25 Kemudian
dapat pula dijadikan gambaran bahwa, gelar Sultan yang disandang oleh Sultan
Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya yaitu
Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan
sebagai raja (1613 M) dalam usia 20 tahun masih menggunakan gelar
24 Ibid.
25 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 229.

14

Panembahan. Tahun 1624 M ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan.
Selanjutnya ia menerima pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan,
kemudian mengambil gelar lengkapnya Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati
Ing Alogo Ngabdurrahman (secara harfiyah berarti raja yang agung, pangeran
yang sakti, sang panglima perang dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha
Kasih).26 Sebenarnya tradisi Jawa sudah menyediakan gelar yang bahkan lebih
”tinggi” daripada sulthan atau khalifatullah, yaitu Bathara (Dewa) Ingkang
Agung, tetapi Sultan Agung tetap menginginkan gelar dari Mekah, mengapa?
Dapat dijelaskan bahwa hal ini mengandung tujuan politis. Pada saat itu raja-raja
Jawa berkiblat pada Sunan Giri. Sultan Agung mengambil gelar dari Syarif
Mekah untuk mengatasi persaingan dengan Sunan Giri,27 sehingga raja-raja
tersebut memang menyandangkan nama atau gelar untuk menunjukkan betapa
mereka adalah seorang yang besar dan juga memiliki kekuasaan besar dan rakyat
sebagai

pengikut

setianya,

karena

dia

juga

merupakan

wakil Tuhan

“khalifatullah” di muka bumi ini. Disebutkan pula bahwa peperangan demi
peperangan bisa saja dilakukan maskipun terdapat persamaan Agama demi
mempertahankan dan memperluas kekuasaan yang berada di tangan, karena
kepentingan antara kerajaan satu dan kerajaan lain berbeda.
Sebuah kesimpulan bahwa Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah, dan
kerajaan-kerajaan Melayu-Indonesia memberlakukan sistem monarki, kepala
kerajaan bersifat turun-temurun. Dengan demikian berlangsunglah sistem
kekuasaan yang ketat. Dalam sistem kerajaan, berlaku prinsip raja agung
binatara, bahu denda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para
marta (raja besar laksana dewa, pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan
26 Naifahr, Makalah Konsep Khalifatullah dan doktrin Keagungbinataran (Upaya Peningkatan Legitimasi
Kekuasaan), lihat juga Azra, Ensiklopedi, hlm. 91-92.
27 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 91-92.

15

adil terhadap sesama). Itulah yang disebut konsep keagungbinataran. Menurut
konsep itu raja harus memegang kekuasaan yang besar. Raja nan besar
mempunyai daerah yang luas dengan rakyat yang jumlahnya besar.28
3. Antara Penguasa, Rakyat, dan Praktik Kepemimpinan
Tugas seorang penguasa adalah memimpin rakyat dengan amanah. Menurut
Imam Hasan al-Bana seorang kepala Negara punya tugas dan wewenang tertentu.
Hak rakyat terhadap kepala Negaranya adalah mengevaluasi kerja dan tugas
kepala Negara. Bila terbukti melakukan kesalahan dan kegagalan dalam
kepemimpinannya, karena rakyatlah yang mengangkat dan memba’iatnya guna
menduduki jabatan tersebut.29 Hal itu tentu saja bisa dilakukan jika pemimpin
yang memilih adalah rakyatnya, seperti halnya pada masa al-Khulafa arRasyidin, namun apakah rakyat bisa menyentuh dan mencampuri sebuah
kekuasaan yang absolut, ketika sebuah pemerintahan dipimpin oleh seorang raja
yang agung dan turun menurun melahirkan penguasanya ?
Namun tentu saja semua itu kembali ke pemimpin dan penguasa yang
menjalankan pemerintahan tersebut, apakah ia bisa menjalankan pemerintahan
dengan baik, mengayomi rakyat dan melindungi rakyat di bawah kekuasaannya.
Karena menurut Al-Mawardi seorang pemimpin harus adil, berilmu, dan mampu,
tentu saja mampu mengemban amanah, tugas, dan tanggung jawab demi tercipta
pemerintahan yang baik dan bersih dari tindakan kedzaliman.

III.

PENUTUP

28 Ibid., lihat juga G. Moejanto, Dari Cerai-Berai Menuju Persatuan Bangsa, Kompas, Senin, 28 Oktober
2002, hlm. 2.
29 Muhammad Abdul Qodir Abu Faris, Kepemimpinan Negara dalam Islam,
(www.usepsaifurohman.wordpress.com), diakses pada tanggal 09 Oktober 2011.

16

Pada hakikatnya, seorang pemimpin atau khalifah atau juga bisa dikatakan
khalifatullah adalah seseorang yang diserahi amanat untuk menjaga agama dan politik
dunia, diberi kekuasaan untuk mengatur kehidupann rakyatnya supaya sejahtera,
makmur, dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Itulah seyogyanya sebuah
penerapan yang diharapkan dari para pemimpin di masanya agar bisa memposisikan
dirinya sebagai seoarang pemimpin, karena mereka hanya dititipi sebuah amanah
yang tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi tapi juga seluruh rakyat.
Dalam praktiknya, seorang penguasa diantaranya khalifah, khususnya pada
masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidin, mereka cenderung menerapkan sistem kerajaan
di mana seorang pemimpin mempunyai kekuasaan absolut dan turun temurun,
kemudian seterusnya semakin berkembang dan menghapus sistem pemilihan khalifah
yang ditetapkan dengan musyawarah menjadi sesuatu yang bahkan tidak bisa
dicampuri oleh tangan rakyat, walaupun kenyataannya mereka masih pula
menggunakan gelar khalifah tersebut dalam pemerintahan, yang artinya gelar bisa
sama tapi sebuah sistem bisa berbeda. Atau hal itu juga dijalankan oleh kerajaan Islam
di Indonesia dengan konsep keagungbinataran, kebesaran dan keagungan seorang raja
yang sangat dihormati rakyat, bahkan rakyat harus benar-benar menundukkan kepala
mereka ketika bertemu atau berjumpa dengan seorang Raja.
Seharusnya khalifah atau raja yang agung binatara, bisa menggunakan
keagungannya untuk lebih mudah mengatur rakyat yang dipimpinnya, membimbing,
mengarahkan dan bersama-sama menuju kepada bangsa yang besar, luhur beradab
dan mempunyai prinsip kehidupan yang benar. Tidak hanya terlena dengan
kemewahan dan kesenangan sehingga melupakan kehidupan rakyat yang bisa saja
sengsara karena kelalaian mereka. Seperti halnya khalifah Yazid bin Muawiyah yang
suka dengan kemewahan, berpesta pora, berfoya-foya, dan pemuja wanita. Jadi gelar

17

hanya menjadi sebuah gelar, sedang praktiknya tidak sesuai dengan gelar yang
mereka sandang.

Daftar Pustaka

18

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Azra, Azyumardi dkk. 2005. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoevehal.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Darsono, H dkk. 2000. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: Tiga Serangkai.
Fatah, H Syukur Nc. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT pustaka Rizki Putra.
G., Marshal S. Hudgson, The Venture of Islam (Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia),
terj. Dr. Mulyadi K. Jakarta: Paramadina.
http://alkisahteladan.blogspot.com/Sejarah Kekhalifahan Islam diakses pada tanggal 07
Oktober 2011 jam 08.15 Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia/khalifah diakses pada tanggal 03 Oktober 2011 jam
08.15 Wib
http://nurdi.multiply.com/journal/ diakses tanggal 05 Desember 2011 jam 09.19 WIB.
http://tausyiah275.blogsome.com/ diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 08.00 Wib.
Ibrahim, Hasan. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Kalam Mulia.
Karim, M Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Bag. 1, terj. Gufron. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Naifahr. 2010. Makalah Konsep Khalifatullah dan doktrin Keagungbinataran, (Upaya
Peningkatan Legitimasi Kekuasaan.
Purwadi. Filsafat Jawa dan Kearifan Budaya lokal. http://staff.uny.ac.id/ Diakses pada
tanggal 05 Desember 2011 jam 10.06 Wib.
www.forum.dudung.net/Kewajiban Menegakkan Khilafah diakses pada tanggal 07 Oktober
2011 jam 21.00 Wib.
www.sangrevolusi.blog.com/2011/04/14/abc/Tafsir Nusantara (konsep Khalifatullah menurut
M Qurai Shihab) diakses pada tanggal 07 Oktober 2011 jam 20.45 Wib.
www.usepsaifurohman.wordpress.com/Kepemimpinan Negara dalam Islam diakses pada
tanggal 08 Oktober 2011 jam 08.00 Wib.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

19