Pengesahan Peraturan Daerah Pengakuan da

Pengesahan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA)
Rejang di Kabupaten Lebong; Jalan Awal Menuju Pengembalian Hak Masyarakat Hukum Adat
Rejang
Disusun oleh Erwin Basrin1
Pengakuan MHA Rejang dan Tinjauan Yuridis Pengakuan2
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang merupakan salah satu fakta keberagaman bentuk
masyarakat yang pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui, menghormati dan
melindungi keberagaman secara ekplisit terdapat di dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, semboyan ini
menjadi pijakan dalam menyusun UUD 1945. Dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Supomo
mengemukakan “Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie: oleh karena itu di
bawah pemerintah pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya
daerah-daerah, ditetapkan dalam undang-undang.”
Sedangkan Muhammad Yamin menyampaikan bahwa: “Kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia
dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat
diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di
Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di
Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh
Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa”. Gagasan dari Soepomo dan Muhammad Yamin
tersebut dikristalisasi Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 berbunyi: “Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem

Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”. Sedangkan
penjelasan Pasal 18 UUD 1945 khususnya angka II menyebutkan: “Dalam territoir Negara Indonesia
terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa
dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala
peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut”.
Walau keberagaman MHA diakui, dihormati dan dilindungi dalam UUD 1945, namun UU No 5 Tahun
1979 tentang Pemerintah Desa telah menegasinya dengan melakukan penyeragaman Nama, Bentuk,
Susunan dan Kedudukan Pemerintah Desa. Bahwa penyeragaman itu merupakan kekeliruan serius dan
berdampak sangat fatal bagi MHA (termasuk MHA Rejang) dalam segala aspek. Kekeliruan tersebut telah
pula diakui oleh Negara sebagaimana tertuang dalam bagian “Menimbang” butir 5 UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak
sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asalusul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”. Kendati demikian, upaya mengoreksi
1 Catatan ini merupakan Rangkuman Proses Advokasi untuk Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hokum Adat
Rejang di Kabupaten Lebong sejak tahun 2012-2017
2 Sebagian catatan ini diambil dari Naskah Akademik Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat hokum adat

Rejang di Kabupaten Lebong

kekeliruan tersebut belum serius dilakukan oleh Negara, terutama Pemerintah. Bahkan, dengan tetap
menggunakan konstruksi hak menguasai negara (HMN) yang merujuk pada pasal 33 UUD 1945, negara
menguasai wilayah kesatuan masyarakat hukum adat. Termasuk menggunakan UU No 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, negara mengklaim hutan adat sebagai milik negara.
Paska keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang mengoreksi UU No 41 tahun
1999, negara didesak untuk mengakui keberadaan MHA. Dalam pokok pikirannya, MK menyatakan
“Peraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat
Hukum Adat dari Pemerintah Pusat. Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18 B ayat (2) UUD
1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan dalam undang-undang, namun
untuk menghindari kekosongan hukum, maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah
Daerah dibenarkan”. Oleh karena itu, upaya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan MHA
Rejang dan hak asal-usulnya dengan menerbitkan Peraturan Daerah menjadi suatu keniscayaan untuk
tidak memperpanjang masa kelam yang dialami MHA Rejang. Terutama di Kabupaten Lebong yang
dikenal sebagai daerah asal-usul MHA Rejang.
Pemerintah Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat. Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan “Pengukuhan keberadaan
dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah”. Terkait pasal tersebut, dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah merupakan delegasi wewenang yang
diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Konsisten dengan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tersebut, dalam Pembagian Urusan
Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota UU
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Penetapan pengakuan MHA,
kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan
hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota”; lalu Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan “Desa
Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Selain itu, Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan
Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga menyatakan “Gubernur dan bupati/walikota melakukan
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”; dan Pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak menyatakan
“Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui
produk hukum daerah”. Demikian pentingnya peran Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan
Daerah, maka percepatan pengakuan masyarakat hukum adat sangat bergantung pada inisiatif
Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Kebijakan Daerah bisa lahir melalui inisiatif Kepala Daerah atau DPRD
Kabupaten/Kota.
Memperhatikan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 bahwa Peraturan daerah disusun

dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan
tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang
terkait, inisiatif yang akan dilakukan Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota memerlukan dukungan
pakar atau akademisi hukum, dan aspirasi masyarakat atau NGO (pihak lain yang terkait). Singkatnya,

kesepahaman perlu adanya sinergisitas antara Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota, akademisi,
dan masyarakat atau NGO menjadi modal utamanya.
Sebagai Negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam membaca sistem hukum Indonesia
haruslah berangkat dari hierarkhi perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang
diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi
masyarakat hukum adat dalam sistem politik hukum Indonesia, hal yang paling mudah adalah dengan
pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945. Pasal 18 I UUD 1945 secara tersurat menyatakan
pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat berserta hak asal usulnya selama masih hidup dan
tidak bertentangan dengan kebijakan negara.
Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian, sebagai turunan langsung dari
konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat hukum adat berikut
hak-hak dan kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan Negara (kepentingan nasional),
ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif (negara dalam
perundang-undangan), maka keberadaan masyarakat hukum adat beserta kepentingan-kepentingan dan
hak-hak tradisioanalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian

seringkali berujung pada konflik sosial yang pada umumnya melibatkan masyarakat hukum adat di satu
sisi dan negara, yang mana konflik ini berakar pada kontradiksi kepentingan di antara para pihak yang
masing-masing mendasarkan diri pada tatanan normatif yang sama sekali berbeda satu sama lain.
Rekam Jejak Permasalahan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang di Kabupaten Lebong 3
Permasalahan yang dihadapi Masyarakat Hukum Adat Rejang merupakan bagian dari sejarah yang
panjang. Menyadur penjelasan Dr. Saafroedin Bahar dalam Putusan MK No 35 tahun 2012 bahwa secara
umum permasalahan masyarakat hukum adat di Indonesia bermula pada tahun 1494, sewaktu Paus
Alexander VI Borgia mengeluarkan Dekrit Tordesilas. Dekrit ini secara sepihak membagi dunia dalam dua
bagian besar, sebelah Barat pulau Tordesilas dialokasikan untuk kerajaan Sepanyol, dan sebelah
Timurnya dialokasikan untuk kerajaan Portugis.
Berdasar Dekrit Tordesilas 1494 ini kepulauan Nusantara diklaim oleh kerajaan Portugis sebagai kawasan
yang menjadi haknya, yang kemudian diikuti oleh berbagai kerajaan-kerajaan Eropa Iainnya yang datang
kemudian, termasuk kerajaan Belanda, yang secara berangsur sejak tahun 1602 mulai menancapkan
kekuasaannya di kepulauan Nusantara ini.
Untuk menindaklanjuti klaim terhadap seluruh dunia tersebut, Hugo de Groot (Grotius)
mengembangkan teori mare liberum, rex nullius, dan rex regalia, yang menafikan seluruh hak yang ada
terlebih dahulu, termasuk hak dari kesatuan-kesatuan masyarakat adat langsung atau tidak langsung.
Teori rex nullius dan rex regalia menjadi dasar penguasaan secara paksa dari berbagai kawasan di dunia
ini oleh kerajaan-kerajaan Barat, termasuk menjadi rujukan teoretikal dari domein verklaring yang dianut
oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai tanah-tanah yang tidak dikuasai secara langsung oleh

kesatuan masyarakat adat.
Pada tahap awal kelihatannya kerajaan Belanda tidak mengandung maksud untuk menguasai wilayah
kepulauan Nusantara ini sekaligus dan secara langsung, tetapi terbatas untuk menguasai sumber daya
alam serta menjadikan wilayah ini sebagai daerah pemasaran produk-produknya. Dalam hubungan inilah
3 Sebagian catatan ini diambil dari Naskah Akademik Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat hukum adat
Rejang di Kabupaten Lebong

dibentuknya Verenigde Oost Indische Cornpagnie (VOC), sebuah perusahaan dagang. Dengan
keterbatasan sumber daya dari kerajaan Belanda, mereka mengembangkan suatu sistem yang efektif dan
efisien, yaitu membentuk dua jenis wilayah di kepulauan Nusantara ini, yaitu: a) wilayah yang dikuasai
secara langsung (directe bestuurs gebied) yang umumnya ada di daerah perkotaan; dan b) daerah-daerah
yang dikuasai secara tidak langsung (indirecte bestuurs gebied) yang umumnya berada di daerah
perdesaan, yang sebagian besar merupakan kesatuan masyarakat adat, yang berada di bawah
kepemimpinan tradisional adatnya sendiri-sendiri.
Namun berkat pembelaan dua orang tokoh Universitas Leiden, yaitu Prof. Mr C. van Vollenhoven dan Mr.
B.Z.N Ter Haar, eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah ulayat
sebagai atribut dan milik kolektif atau milik komunal dari suatu kesatuan masyarakat adat, diakui oleh
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kedua perintis disiplin hukum adat ini juga menengarai bahwa
bagi kesatuan masyarakat adat, tanah ulayat bukanlah sekedar benda ekonomi, tetapi merupakan bagian
dari keseluruhan kehidupan mereka, dan dipandang mempunyai sifat sakral, magis, dan religius. Jika

pemerintahan kolonial atau perusahaan-perusahaan besar hendak mempergunakan tanah ulayat yang
dimiliki oleh kesatuan masyarakat hukum adat, hal itu tidak dilakukan dengan cara pencabutan hak
(onteigening), tetapi melalui perjanjian sewa-menyewa secara langsung.
Pengakuan langsung terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat ini beserta hak-haknya, termasuk hak
atas tanah ulayat, diteruskan oleh para Pendiri Negara Republik Indonesia pada umumnya, dan para
perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada khususnya. Kesatuan-kesatuan masyarakat adat ini diakui
sebagai daerah yang bersifat istimewa, yang mempunyai hak asal-usul, yang harus dihormati dalam
membuat berbagai kebijakan dan peraturan negara setelahnya. Norma hukum tentang pengakuan
otomatis terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 beserta Penjelasannya.
Pengakuan otomatis dan tidak bersyarat terhadap kesatuan masyarakat adat ini terputus secara tiba-tiba
pada tahun 1960, sewaktu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok
tentang Agraria mengadakan persyaratan untuk pengakuan negara terhadap eksistensi kesatuan
masyarakat adat. Walaupun persyaratan tersebut sudah tercantum jelas sejak tahun 1960, namun tidak
ada program atau upaya sistematis yang dilakukan negara untuk mengatur dan menfasilitasi masyarakat
hukum adat memperoleh pengakuan terhadap eksistensinya.
Lebih dari itu, merujuk pada Pasal 33 Undang Dasar 1945, negara mengembangkan landasan teoretikal
baru untuk menguasai tanah ulayat kesatuan masyarakat adat dengan konstruksi hak menguasai negara
atas tanah. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya,
ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari

kesatuan masyarakat adat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa konstruksi hak menguasai negara
atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring. Jika domein verklaring masih
mengakui adanya hak atas ulayat, maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama
sekali.
Secara umum, hak menguasai negara ini dipraktekkan tidak hanya untuk kepentingan pembangunan
atau pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga untuk kepentingan konservasi atau pelestarian lingkungan
hidup. Secara sepihak negara menetapkan wilayah adat masyarakat hukum adat menjadi kawasan hutan
negara, termasuk wilayah masyarakat hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong. Penetapan secara
sepihak ini mengakibatkan ruang hidup bagi masyarakat hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong
menjadi sangat terbatas. Dari luas wilayah Kabupaten Lebong 192.924 hektar, tercatat 118.749 hektar

merupakan kawasan hutan negara atau sekitar 62 persen dari luas wilayah Kabupaten Lebong.
Penetapan funsi hutan sepihak ini membuat tumpang tindih antara kawasan hutan Negara dengan ruang
kelola Masyarakat Hukum Adat Rejang, hasil analisis data Akar Foundation tahun 2016 tumpang tindih
kawasan hutan negara terdapat di Kawasan CA Danau Menghijau seluas 141,1 hektar, TNKS 98.287
hektar, TWA 2.724,5 hektar, HL Bukit Daun 15.063,2 hektar, HL Rimbo Pengadang 2.487,5 hektar dan HPT
Air Ketahun seluas 45,5 hektar.
Penetapan secara sepihak tersebut telah memicu konflik antara masyarakat hukum adat Rejang dan
negara. Masyarakat Hukum Adat Rejang yang sejatinya merupakan penyandang hak atas tanah-hutan
yang ditetapkan sebagai hutan negara tersebut mengalami perlakuan secara tidak adil. Mereka diusir

dari lahan yang telah mereka garap secara turun temurun, tumbuhan yang ditanam ditebang, bahkan
diberi label sebagai perusak hutan dan pelanggar aturan. Konflik yang belum kunjung terselesaikan
tersebut mengakibatkan MHA Rejang kehilangan sumber penghidupan, material pelaksanaan hukum
adat dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam/hutan.
Menelisik Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong 4
Secara administratif Kabupaten Lebong terdiri atas 13 kecamatan dengan 11 kelurahan dan 100 desa.
Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha (belum termasuk luas kecamatan Padang Bano yang masih
bersengketa dengan Kabupaten Bengkulu Utara). Dari total tersebut seluas 134.834,55 Ha adalah
Kawasan Konservasi dengan peruntukan sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS)
111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha.
Kawasan TNKS ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang
kemudian diperkuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai
kawasan konservasi. Kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 serta kawasan Lindung
Boven Lais adalah hutan yang sejak 1927 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dikenal sebagai hutan
batas Boschwezzen (BW).
Masing-masing konflik kehutanan yang terjadi di Kabupaten Lebong memiliki anatomi konflik yang
berbeda, Kosentrasi konflik dengan TNKS berada di Kecamatan Topos, Rimbo Pengadang, Lebong
Selatan, Lebong Tengah, Lebong Utara, Uram Jaya, Pinang Belapis dan Kecamatan Plabai. Sementara
Hutan Lindung konsentrasinya berada di Kecamatan Rimbo Pengadang, Lebong Selatan, Lebong Tengah
dan Lebong Atas. Sementara Cagar Alam konfliknya terkonsentrasi di Lebong Selatan dan Rimbo

Pengadang. Dengan Luas kawasan hutan mencapai 75% dari total luas wilayah administratif Kabupaten
Lebong, artinya konflik kehutanan ini hampir terjadi di semua desa yang ada di Kabupaten Lebong, dan
beberapa desa administratif masuk dalam kawasan TNKS dan Cagar Alam.
Konflik antara masyarakat adat/lokal di Kabupaten Lebong dengan kawasan Hutan Negara ini terjadi
sejak tahun 1980-an, kawasan-kawasan atau wilayah yang dulunya adalah wilayah adat dikenal dengan
tanah Marga beralih fungsi dari wilayah produktif pertanian masyarakat menjadi kawasan yang
dilindungi untuk kepentingan konservasi kawasan. Penetapan fungsi kawasan ini tidak melibatkan secara
langsung masyarakat yang bersentuhan dengan kawasan. Dengan penetapan fungsi kawasan tersebut
mengakibatkan tercabutnya hak akses dan kontrol masyarakat terhadap wilayah yang dulunya adalah
wilayah kelola rakyat dan wilayah adat yang fungsinya sebagai sumber penghidupan dan identitas
masyarakat adat.
4 Sebagian catatan ini diambil dari Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Budaya serta Praktek Tenurial
Masyarakat Hukum Adat Rejang, Akar Foundation 2016.

Secara umum kronologis Konflik Masyarakat Hukum Ada dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat sebagai
berikut;5
1. Pada tahun 1927 kawasan hutan adat atau tanah Marga oleh Pemerintah Kolonial dijadikan sebagai
kawasan BW, namun dalam proses penetapannya dilakukan sebara bersama antara Pemerintahan
Kolonial Belanda dengan Pemerintahan Adat di bawah kendali federasi sistem kelembgaan Marga.
2. Pada tahun ± 1980-an kawasan BW dan buffer zone kawasan BW dijadikan sebagai Daerah Kawasan

(DK), atau daerah cadangan.
3. Pada tahun ± 1980-an terjadi konflik antara masyarakat adat/lokal di Kabupaten Rejang Lebong
dengan kawasan Hutan Negara (DK). Kawasan-kawasan atau wilayah yang dulunya adalah wilayah
adat dikenal dengan tanah Marga beralih fungsi dari wilayah pertanian produktif milik masyarakat
menjadi kawasan yang dilindungi untuk kepentingan konservasi kawasan. Penetapan fungsi tersebut
mengakibatkan tercabutnya hak akses dan kontrol masyarakat terhadap wilayah yang dulunya adalah
wilayah kelola rakyat dan wilayah adat yang fungsinya sebagai sumber penghidupan dan identitas
masyarakat adat.
4. Pada tahun 1982, kawasan DK berubah fungsinya menjadi kawasan Konservasi atau Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No
736/Mentan/X/1982.
5. Pada tahun 1999, Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 dipekuat berdasarkan
oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kptsII/1999 bahwa kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Jika kita lihat kondisi wilayah desa di Kabupaten Lebong, dalam terminologi lokal kelembagaan ditingkat
lokal sebagai pemangku kawasan disebut dengan Mego atau Petulai atau Kutai sebagai kesatuan kecil
bagian dari unit Petulai. Mego dari hasil riset Akar Foundation, adalah kesatuan kelembagaan yang
terdiri dari beberapa kumpulan setingkat dusun atau kampung yang masing-masing berdiri sendiri
sehingga dibutuhkan satu ikatan persekutuan dalam proses mengatur hubungan masing-masing
komunitas tersebut. Mego atau Margo merupakan kelembagaan yang paling ideal yang memungkinkan
suara-suara komunitas bisa diakomodir dalam proses demokrasi di dalamnya. Mego merupakan
kelembagaan asal usul dari keturunan yang sama berbasis kewilayaan (tenurial-geneologis), meski ada
perbedaan dalam tata aturan lokal. Perbedaan yang ada tidak pada substansi, namun pada tataran
implementasi: ada yang didahulukan dan ada yang dikemudiankan.
Sedangkan petulai, yang diasosiasikan sebagai kesatuan genealogis merupakan kesatuan kekeluargaan
yang timbul dari sistem unilateral (kebiasaannya disusur-gulurkan kepada satu pihak saja) dengan sistem
garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami,
sekalipun mereka berada di mana-mana, Petulai ini adalah gabungan dari Marga-Marga asli Rejang.6
Dari tuturan sejarah yang didapati dari proses asesment di Desa Plabai, Kota Baru Santan, Embong Uram,
Embing I dan Desa Kota Baru, kelima desa ini adalah kesatuan tenurial genealogis yang masuk dalam
kelembagaan Margo bernama Suku IX. Kelima desa ini disebut dengan Kutai, yaitu kesatuan yang berdiri
sendiri dan merupakan bagian dari unit Petulai atau Margo Suku IX. Demikian juga yang terjadi di Desa
Suka sari, Talang Ratu, Bajok, Teluk diyen, Talang Donok dan Talang Donok I adalah kelembagan Kutai
atau dusun setingkat desa adminsitratif yang kemudian membangun federasi dalam sistem kelembagaan
5 Laporan Study Penguasaan Tanah di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, Akar Foundation-Siemenppu
Foundation, 2011-2012
6 Prof. DR. H. Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang

Marga Jurukalang atau Jekalang. Maka Kutai, adalah sistem kelembagaan asli sebagai pembentuk Marga
atau Bango kemudian Petulai.
Pembentukan Kutai atau Dusun di bentuk melalui proses menyebarnya anak Petulai (anak suku),
sehingga melalui anak-anak keturunannya yang dihitung menurut garis keturunan laki-laki (patriakhal)
dengan jalan membuka dusun-dusun baru. Proses membuka dusun/kutai baru ini dalam bahasa Rejang
disebut menyusuk,7 yang pada mulanya hanya berada di Dusun atau Kutai, tapi kemudian meluas ke
wilayah-wilayah Rejang seperti Lais, Bengkulu Tengah dan Kepahiang.
Dari perkembangan di Marga Suku IX dan Marga Jurukalang, asal mula dusun-dusun baru yang mereka
bina, bukan atas dasar ekspansi komunitas tetapi lebih jauh karena kedudukan yang otonom di antara
para lelaki Tuai Kutai dari dusun asal. Tiap-tiap dusun yang telah dibentuk mempunyai hak untuk
mengurus urusannya sendiri dibawah pimpinan Tuai Kutai, yang di beri gelar Depati, Ginde dan saat ini
disebut dengan Kades (Kepala Desa). Kelembagaan Adat berkompromis dengan kelembagaan formal
negara, istilah Kepala Desa yang merangkap menjadi Kepala Adat adalah bentuk kompromis politik
dalam pembagian wewenang kedua kelembagaan, jadilah Kutai bagian dari fungsi dan struktur Negara
dan sebaliknya.
Penyebutan Dusun yang ada saat ini merupakan adopsi dari istilah bahasa Melayu, sedangkan dalam
bahasa Rejang, dusun disebut dengan Kutai. Ada beberapa alasan penting dan bukti-bukti bahwa Kutai
ini merupakan bahasa asli Rejang dalam menyebutkan Dusun, antara lain;
1. Ditemukan dalam beberapa acara Resmi menyebutkan Kutai untuk menggantikan Dusun, ada
banyak istilah yang mengarahkan legitimasi dusun sebagai Kutai, misalnya (Mas Kutai, Pelakeak
Kutai dll);
2. Keputusan yang diambil di tiap-tiap dusun biasanya diambil atas dasar musyawarah dan
mufakat, di dalam prosesnya dipimpin oleh Tuai Kutai;
3. Terdapat denda bagi pelanggaran eksogami yang disebut dengan Mas Kutai dan sampai saat ini
di Jurukalang dan Suku IX masih dilakukan jika terjadi pelanggaran;
4. Perkataan dusun pertama kali dijumpai dalam karangan Marsden tahun 1779 sebagai
terjemahan dari bahasa Inggris ‘village’;
5. Di Plabai, Embong, Bajok, Talang Ratu dan Teluk Diyen sehari-hari lebih sering disebut Kutai
dibanding dengan Dusun. Dusun biasanya hanya untuk menyebutkan wilayah administratif
ketimbang wilayah adat.
Dari riset aksi yang dilakukan oleh Akar Foundation, Kutai adalah salah satu kesatuan hukum masyarakat
Adat asli Rejang yang berdiri sendiri, genealogis dan tempat berdiamnya jurai-jurai, sedangkan Petulai
adalah patrinial eksogami. Sistem kelembagaan ini pada tataran implementasi dijalankan secara
kekeluargaan, pengambilan keputusan dan penyelesaian setiap persoalan selalu dimusyawarahkan di
forum-forum Adat secara bersama-sama oleh tua-tua dusun, cerdik pandai Kepala Suku di bawah
pimpinan Tuai Kutai yang berpedoman pada Hukum Adat yang ditinggalkan oleh leluhurnya yang
dianggap suci.
Sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence)
baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidaknya mengandung
unsur-unsur:
1. Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
7 Ter Haar, asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan Soebekti) Jakarta 1960

2.
3.
4.
5.

Adanya pranata pemerintahan adat;
Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
Adanya perangkat norma hukum adat.
Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur
adanya wilayah tertentu.

Kelima prayarat de facto tersebut merupakan cerminan dari kelembagaan Margo atau Kutai dalam
sistem suku Rejang. Prasyarat ini pula memenuhi pengakuan wilayah adat di tingkat Kutai atau Desa
seperti dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang meyebutkan bahwa Desaadalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional (hutan, huku, kelembagaan dan lain-lain).
Jejak Advokasi Kebijakan Menuju Pengakuan8
Pada tahun 1999 terbit UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. UU yang bercorak desentralisasi ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk
menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional sehingga diakui dalam tata hukum Indonesia.
Peluang desentralisasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten
Rejang Lebong. Kabupaten Rejang Lebong merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Lebong, sebelum
pemekaran tahun 2003. BMA beserta elemen pendukung masyarakat adat termasuk Akar Founadtion
kemudian melakukan kerja-kerja dalam mendorong eksistensi sistem lokal yang dianut oleh sebagian
besar penduduk di Kabupaten Rejang Lebong.
Sepanjang tahun 2006-2007 telah dilahirkan beberapa kebijakan daerah Kabupaten Rejang Lebong
dalam mendukung eksistensi kelembagaan ini, terutama pada penguatan hukum adat Rejang, beberapa
kebijakan tersebut antara lain:
1. Keputusan Bupati Rejang Lebong No 58 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang
2. Keputusan Bupati No 93 tahun 2005 tentang Kumpulan Adat bagi Masyarakat Adat di wilayah
Kabupaten Rejang Lebong
3. Keputusan Bupati No 338 tahun 2005 tentang Pengangkatan Jenang Kutai
4. Peraturan Daerah No 2 tahun 2007 tentang Pemberlakuan Hukun Adat Istiadat Rejang dalam
wilayah Kabupaten Rejang Lebong
5. Peraturan Bupati No 231 tahun 2007 tentang Tugas Jenang Kutai (Hakim Desa), Pedoman
susunan Acara dan Astribut atau Pelengkapan pada Pelaksanaan Kegiatan Adat di Desa dan
Kelurahan dalam Kabupaten Rejang Lebong
Melalui UU No 39 Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten adminsitratif yaitu Kabupaten Lebong yang
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Pasca Pemekaran Kabupaten (tahun 2003)
pengakuan hukum asli/Hukum Adat Rejang belum diakui secara formal oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebong meskipun ditingkat Kampung/Desa tertib Hukum ini masih dijalankan dengan baik
oleh warga dibawah pimpinan Kepala Adat dan Ketua Kutai.
Tahun 2012, Akar Foundation melihat perkembangan desentralisasi sebagai peluang untuk mendorong
pengakuan atas hak-hak adat Rejang di lingkup Kabupaten Lebong. Akar Foundation terlibat beberapa
8 Sebagian catatan ini diambil dari Laporan Advokasi dan Pendampingan Akar Foundation menuju Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat hokum adat Rejang di Kabupaten Lebong, 2012-2016

kali diskusi intensif dengan para pihak di Kabupaten Lebong. Pihak-pihak yang dimaksud adalah para
pihak yang dianggap bisa melakukan percepatan pemberlakuan hukum adat. Bagian Hukum Pemda,
DPRD bersepakat untuk membuat 3 (tiga) Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang pengakuan
instrumen sebagai dasar pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Lebong.
Pada tahun 2012 telah disusun Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang Lembaga Adat,
Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang Hukum Adat dan Rancangan Peraturan Daerah
(RAPERDA) tentang Tulisan Adat (Ka Ga Nga). Dari tiga Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) ini, dua
diantaranya masih dalam proses pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kabupaten Lebong dan
tidak mengalami perkembangan dan bahkan di hentikan dari pembahasan. Dari tiga Ranperda tersebut
hanya Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tentang Tulisan Adat (Ka Ga Nga) yang berlanjut
pembahasannya dan telah disahkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Lebong No 4 tahun 2013
tentang Aksara Ka Ga Nga.
Secara resmi dalam proses mendorong pengkuan masyarakat hukum adat ini pada tahun 2013 Akar
Foundation melakukan kesepakatan dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Lebong dengan
menandatangani perjanjian kerja sama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu
dengan Akar Foundation dan HuMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis) dengan Nomor: 89/ FH-A.1-IV/II/2013 dan Nomor: 55/S.Prog-HuMa/NW/2013. Perjanjian
Kerja Sama yang dimaksud adalah untuk mendukung peningkatan kapasitas instansi dan sumber daya
manusia serta peningkatan kualitas produk hukum di daerah Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Baru, pada tanggal 24 Oktober 2014 Akar Foundation melakukan konsultasi Publik dan mengajukan Draf
Naskah Akademik dan Rancangan Peratura Daerah (Raperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Kepada DPRD Kabupaten
Lebong yang di terima oleh Ketua DPRD, Ketua Komisi II dan Ketua Badan Legislasi DPRD Kabupaten
Lebong yang disaksikan oleh Sekretaris Daerah, Kepala Bagian Hukum, Kepala Bagian Pemerintahan,
Dinas Kehutanan, BAPEDA Kabupaten Lebong, Akademisi dan 9 (sembilan) orang Kepala Desa dan 20
(dua puluh) orang Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX dan Jurukalang Kabupaten Lebong.
Pada pertemuan ini, Draf Raperda ini disepakati menjadi draf Raperda Inisiatif DPRD Kabupaten
Lebong. Untuk percepatan pengakuan ini tentu disepakati pembagian kerja dan aktivitas yang segera
untuk dilaksanakan sebagai bagian dari rencana percepatan pengakuan, tidak hanya konsolidasi dengan
para pihak, tetapi juga perlu perluasan isue ke publik untuk mendukung percepatan pengakuan ini . Pada
prosesnya Draf Ranperda dan Naskah Akademik yang merupakan hasil dari riset aksi dan pemetaan
potensi tata kelola wilayah adat ini selama selama 3 tahun. Dan, dari proses kondolidasi yang dilakukan
di Sebelas Kutai Model di Kutai Embong Uram, Embong I, Kota Baru, Kota Baru Santan dan Plabai Marga
Suku IX dan Kutai Talang Donok, Talang Donok I, Bajok, Teluk Diyen, Talang Ratu dan Suka Sari Marga
Jurukalang serta konsolidasi politik baik di tingkat local maupun nasional, draf Ranperda dan Naskah
akademik ini dilakukan 5 (lima) kali konsultasi publik dan 4 (empat) kali terjadi perubahan.
Akhirnya, pada Selasa 23/5/2017, DPRD Kabupaten Lebong melaksanakan Rapat Paripurna pendapat
akhir fraksi terhadap enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Eksekutif dan Legislatif DPRD. Lima
fraksi yang hadir pada Rapat Paripurna ini yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, Fraksi
Hanura dan Fraksi PKB. Dan, Paripurna ini di hadiri oleh Sekretraris Daerah Kabupaten Lebong, dan unsur
SKPD, Muspida, Tripika dan Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kabupaten Lebong dan 16 orang
anggota DPRD yang dimimpin oleh Azman May Dolan, dan dalam Pidatonya menyatakan bahwa
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di

Kabupaten Lebong disahkan menjadi Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong. Pengakuan ini menjadi titik awal dan sekaligus titik balik dalam
usaha pengembalian hak-hak Masyarakat Hukum Adat Rejang setelah sekian lama secara struktural dan
sistematis diambil alih oleh Negara.