Cara Kerja moto dc Hermeneutik

Cara Kerja Hermeneutik :
Pada intinya hermeneutika memiliki berbagai macam metodologi dalam perjalanannya
sebagai disiplin ilmu penafsiran, meski demikian dalam tulisan ini penulis hanya akan fokus
membahas dua macam cara kerja hermeneutis sebagaimana yang diungkapkan oleh Mudja
Raharjo yaitu hermeneutika intensional ala Hirsch dan hermeneutikan efektual ala Gadamer.
Hermeneutika Intensional merupakan turunan dari hermeneutika romantis Schleirmacher dan
Wilhelm Dilthey yang berpandangan bahwa mode kerangka kerja hermeneutika jenis ini ialah
menemukan makna asli yang dikehendaki pengarang. Sementara dalam pandangan
hermeneutika efektual menurut Gadamer bahwa sebuah teks tidak sementinya dicari makna
yang diletakkan oleh pengarang di dalamnya, sebab itu sama dengan memenjarakan makna
teks, sejatinya bahwa teks harus tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai dengan
kreativitas sang penafsir teks itu sendiri. Asusmi Gadamer ini diperkuat oleh Paul Ricoeur
bahwa pembaca pada intinya tidak terlibat dalam tindakan penulis dalam tulisannya dan
penulis pun tidak terlibat dalam pembacaan para pembaca.Dengan demikian, teks pada
intinya telah mengganti hubungan dialog langsung antara penggagas (pengarang) dengan
penafsir (pembaca teks), kenyataan ini pula yang memungkinkan bagi lahirnya interpretasi
teks yang berbeda antara pengarang (sumber teks) dengan penafsir (pembaca teks).
Pandangan Gadamer tentang teks juga diperkuat oleh Von Homboldt bahwa teks (bahasa)
adalah sarana terbatas dengan keguanaan tak terbatas. Maka dari itu teks (bahasa) harus
dipahami sebagai wujud yang mampu berkembang biak secara tak terbatas dengan
menggunakan elemen-elemen yang terbatas (fakta yang teramati). Seirama dengan

pandangan paradigma kritis bahwa manusia dalam memahami teks harus menyelam ke dalam
teks agar ia mampu menyingkap makna yang terkandung dibaliknya. Pernyataan ini
mempertegas asumsi sebelumnya bahwa dalam pandangan hermeneutika efektual, bahasa
(teks) tidak boleh dibingkai hanya pada pengertian sebagaimana yang dimaksudkan
pengarang, melainkan ia harus terbuka untuk menerima arus interpretasi dari setiap pembaca
dan penerima teks itu sendiri.
Dari kedua tawaran metodis hermeneutika tersebut penulis dapat menangkap pesan bahwa :
1.

Pandangan Hermeneutika intensional lebih menekankan pemaknaan hanya pada

maksud yang dikehendaki oleh pengarang (sumber teks itu sendiri), hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya anomali makna antara kedaunya (pengarang dan penafsir).

2.

Pandangan Hermeneutika efektual lebih menekankan pada kebebasan penafsir dalam

mengelaboris makna teks yang diterima sehingga memungkinkan lahirnya pemaknaan baru
yang bisa jadi berbeda dengan kehendak sang pegnarang (sumber teks itu sendiri).

Ruang lingkup :
Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahanperubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan
pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan
pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam
enam kategori hermeunitika sebagai berikut :
a)

Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an
oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang
teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah
berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah
dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam
penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab
Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria.
Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya
untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir.
Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori tafsir untuk
mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.


b)

Hermeunitika sebagai Metode Filologi
Dalam laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan dalam memperlakukan
teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan rasionalisme dan filologi
pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus
juga diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-sama
memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu artinya, metode hermeunitika
sebagai penafsiran kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti
filologi. Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian hermeunitika ini berasal dari
seorang

teolog

modern

yang

penafsiran demitologisasinya dan


bernama
Wilhelm

Rudolf
Dilthey

Bultman

dengan

konsep

dengan

konsep historical

understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim, seperti Ahmad
Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.

c)


Hermeunitika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah melangkah
lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang
dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir.
Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas
situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain
harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi
pengalaman sang pengarang.

d)

Hermeunitika sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften
Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk
memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak
semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua
bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karyakarya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses.
Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti
atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa
sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada

saat sejarawan yang bersangkutan hidup.

e)

Hermeunitika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak terkait
dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan metodologi bagi
ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis dari cara
beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa
pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.

f)

Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran
Setelah hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai
pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode
filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali
diskursus hermeunitika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia
mengatakan, hermeunitika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran
terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks. Hermeunitika

juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara
membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeunitika membuka makna yang
sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol.

Langkah pemahaman Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama,
langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh
simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir
dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Kunci Dari Hermeneutika :
Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat
berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir.
Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang
ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu,
tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola
kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah,
sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan
memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat
menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali

terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran
atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut
dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).

Paling tidak ada tiga sumbangan penting pemikiran Gadamer bagi dunia pendidikan.
Pertama, keterbukaan terhadap yang lain. Hal ini bisa ditengarai dari konsep pemahaman
Gadamer yang meniscayakan meleburnya latar belakang penafsir dalam dunia makna
sehingga melahirkan pluralitas penafsiran. Di sinilah pentingnya keterbukaan terhadap yang
lain dalam bingkai saling menghormati dan saling menghargai.
Kedua, tidak fanatik terhadap paham atau mazhab yang dianut. Hal ini bisa dilihat dari sikap
Gadamer yang tidak pernah melegitimasi sebuah penafsiran sebagai sesuatu yang benar.
Sebab, menurut Gadamer, setiap pemahaman dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sang
penafsir sehingga penafsiran dan pemahaman akan sebuah teks menjadi sangat beragam.
Ketiga, semangat pendidikan untuk perubahan. Hal ini terinspirasi oleh proses pemahaman
dan pembacaan terhadap teks yang menurut Gadamer tidak akan pernah berhenti. Proses ini

meniscayakan sebuah pembaruan yang terus-menerus terhadap pengetahuan. Dengan
semangat ini, seharusnya pendidikan bukan untuk mempertahankan status quo, tetapi untuk
mencapai kemajuan di segala bidang.
Hermeneutika dalam Pendidikan.

B. Variasi Hermeneutika menurut Lefevere

Lefevere (1977: 46-47) memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Ketiga
varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutika tradisional (romantik);
kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis. Perlu dikemukakan, di
satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa
manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain,
ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu,
selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian
sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis.

1. Hermeneutika Tradisional
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher,
kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian
dikenal dengan “hermeneutika tradisional” atau “romantik”. Mereka berpandangan, proses
versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain
dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere, 1997: 47). Pada konteks ini
dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada
“pemahaman pengalaman pengarang” atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey
menekankan pada “ekspresi kehidupan batin” atau makna peristiwa-peristiwa sejarah.

Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran
reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977: 47) karena
dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif.
Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap
proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut
konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang
definitif.

Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara
pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu
alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis
(geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu
dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan
kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada
ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena
menurut Eagleton (1983) “dunia” karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi
Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami
oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah
tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara

pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena
pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian,
teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran
subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983:
59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa
semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang
diungkapkan.
Kelemahan yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana
diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang
menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya “menghidupkan kembali”
(mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak
mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi
struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang
dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara
intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49).
Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran
teks sastra.
2. Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia
mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan
penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus
dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang

merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49).
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan
hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan
berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara
tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan
pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama
lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa
pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi,
tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain,
sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa
pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa “penjelasan” dan pemahaman”
dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun
ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai
sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut
sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini
dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah
yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana
pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa
penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48).
Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan
bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan
bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan.
Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya
adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan “penjelasan”
dengan “pemahaman”-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia
menganggap penting “penjelasan” dan “pemahaman” untuk menjelaskan prinsip interpretasi
dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan
poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel
mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika
ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar
belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi

pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi
ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang
mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan
hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini
menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang
hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan.
Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai
metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat
dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks
semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup
dipahami dalam dirinya sendiri.
3. Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh
Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof
Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat
terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai konsep metodologis,
melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri
yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan
konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer
menolak konsep hemeneutika sebagai metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah
pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan masalah aplikasi yang
berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar
biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere.
Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik
dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas
kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih
mementingkan “rekreasi”. Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna
terhadap teks itu sebagai jalan “reproduktif”, tetapi sebagai jalan “produktif”.
Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa yang

dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra
yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti
yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbedabeda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung
sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang
bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan
sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia,
yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison,
1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang
berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer
mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam
hermeneutika tradisional.
C. Apa yg bisa disumbangkan hermeneutika untuk Pendidikan ?
Dengan mempertimbangkan variasi hermeneutika di atas, maka secara umum, ada 3 tujuan
hermeneutika yang bisa dikembangkan untuk mengkritisi proses dan teori pendidikan.
1. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami,
2. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman,
3. Hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman.
Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman manusia sedikitnya
melibatkan 3 unsur:
1. Unsur pengarang (author).
2. Unsur teks (text).
3. Unsur pembaca (reader).
Ke-3 elemen pokok inilah yang dalam study hermeneutika disebut Triadic Structure.
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode
penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks,
untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses
pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan.

Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian teks kitab suci, maka
persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks teks kitab suci tsb hadir di
tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan di-dialog-kan dengan
dinamika realitas historisnya.
Metode hermeneutika pada dasarnya dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan
interpretasi terhadap kitab suci hindu, budha, yahudi, kristen, islam, dll karena kesemua kitab
suci tersebut memiliki unsur-unsur yang sama yaitu : pengarang, teks, dan pembaca.
Dengan menguasai metode hermeneutika, diharapkan setiap pembaca (reader)dapat
menangkap pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam teks (text) secara utuh sebagaimana
yang diharapkan oleh penulis (author)
Iklan