Naskah Esai Juara 1 Lomba Cipta Esai Kar
Naskah Esai Juara 1 Lomba Cipta Esai Karnaval Sastra
Crack Code Bahasa “Walikan” Malang sebagai Refleksi Kritis
Resistansi Bahasa Daerah di Era “Westernisasi”
Penulis: Komang Budi Mudita
Indonesia adalah negara dengan total populasi manusia sejumlah 250 juta jiwa dan
merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi keempat di dunia setelah Cina, India,
dan Amerika serikat (Worldbank, 2013). Tingginya populasi manusia didukung kondisi
geografis yang kaya pulau, menyebabkan Indonesia kaya akan budaya, suku, maupun bahasa.
Data Etnologue tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 707 bahasa daerah dan
merupakan 10 persen dari total 7.102 bahasa di dunia. 707 bahasa daerah tersebut digunakan
oleh setidaknya 221 juta orang penduduk Indonesia (Etbologue dalam Budiwiyanto, 2015).
Meskipun Indonesia kaya akan bahasa daerah, sayangnya di tahun 2010 tercatat 146
bahasa daerah di indonesia terancam punah dan 12 diantaranya telah punah (Moseley dalam
Budiwiyanto, 2015). Tingginya tingkat kepunahan bahasa ini disebabkan oleh rendahnya
penutur bahasa tersebut. Bahasa Jawa memiliki penutur kurang lebih 75,2 juta jiwa, bahasa
Sunda 27 Juta jiwa, bahasa Melayu 20 juta jiwa dan bahasa lainnya yang bahkan berada
dibawah satu juta jiwa, dan beberapa bahasa hanya memiliki penutur 10 jiwa hingga hanya 1
jiwa (Crystal dalam Cece Sobarna, 2007). Padahal prinsip daya tahan suatu bahasa adalah use
of the linguistic system by an unisolated community of native speakers (Stewart dalam
Muhammad darwis, 2011:4), dimana pengurangan penutur suatu bahasa akan berimplikasi
pada tingkat kerentanan suatu bahasa untuk punah.
Muhammad Darwis (2011: 3) mengambil analogi spesies biologi, Krauss (1992)
dalam mangategorikan daya hidup bahasa menjadi 3 tingkatan. Tingkat pertama yaitu
moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibu. Tingkat
kedua yaitu endangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari atau
diperoleh oleh anak-anak, tetapi sudah tidak digunakan pada abad yang akan datang. Ketiga,
safe, yaitu bahasa yang secara resmi didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang
sangat banyak. Menurut Darwis kondisi yang saat ini terjadi adalah bahasa daerah sudah
tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak maupun usia dewasa dalam kelompok etnik
masing-masing (Muhammad Darwis, 2011: 4).
Rendahnya minat masyarakat khususnya pemuda dan anak-anak dalam menggunakan
bahasa daerah dipengaruhi oleh banyak hal. Darwis menemukan faktor kemunculan TK
(Taman Kanak-kanak) di pedesaan yang notabene menggunakan bahasa Indonesia menjadi
pemicu utama minimnya minat anak-anak menggunakan bahasa daerah (Muhammad Darwis,
2011: 4). Faktor lainnya yang sangat jelas terlihat yaitu pengaruh globalisasi yang membuat
masyarakat lebih berpikir global dan berorientasi internasional daripada lokal. Hal ini
membuat sekolah-sekolah di Indonesia lebih memilih menggunakan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal dari pada bahasa daerah. Bahkan nilai bahasa Inggris menjadi penentu dalam
seleksi perguruan tinggi maupun seleksi kerja.
Tingginya prioritas penggunaan bahasa nasional dan bahasa internasional dalam
lingkungan akademik dan pekerjaan, sebenarnya dilatarbelakangi banyak hal. Tuntutan
Indonesia terhitung sejak 1 Januari 2016 telah resmi memasuki pasar bebas Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) dan saat ini Indonesia dikabarkan akan memasuki TPP (TransPasific Partnership) yang digagas oleh Amerika Serikat. Menghadapi MEA dikabarkan 1000
supir taxi Pilipina dan orang-orang Tailand belajar bahasa Indonesia (Tribunnews.com, 2016
dan beritasatu.com, 2014). Melihat kondisi tersebut banyak orang Indonesia yang mulai
berlomba-lomba menguasai bahasa internasional. Apalagi melihat program nawa cita yang
diusung presiden Indonesia, Joko Widodo, dimana ia menargetkan peningkatan ekonomi
sebesar 7 persen tahun 2019 (Liputan6.com, 2016). Alhasil Mayarakat akan lebih terpaksa
belajar bahasa asing daripada bahasa daerah.
Menjadikan bahasa daerah sebagai anak tiri di daerah maupun dalam pelajaran
sekolah sebenarnya tidak sejalan dengan peraturan yang ditetapkan Undang-undang. Undangundang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 42 ayat
(1) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan
melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia.” Pemerintah jelas berusaha untuk melindungi bahasa daerah
sebagai kearifan lokal yang harus dijaga dan dibangun dalam pola pikir masyarakat setiap
saat, agar tidak terjadi dead language atau kepunahan bahasa daerah.
Usaha-usaha dalam menjaga keutuhan bahasa daerah baik dari pihak pemerintah
maupun akademisi sudah sangat banyak dilakukan. Beberapa diantaranya meliputi:
Menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah; Melakukan
pelatihan, penelitian, dan seminar bahasa daerah, oleh pemerintah daerah maupun akademisi
(mahasiswa dan dosen); Serta menyediakan program studi bahasa daerah di perguruan tinggi.
Memasukkan bahasa daerah kedalam kurikulum wajib, membuat bahasa daerah harus
dipelajari oleh siswa. Ekspektasi dari kegiatan ini adalah, bahasa daerah dapat digunakan
sehari-hari dan tetap bertahan di masyarakat. Namun sayangnya, yang terjadi adalah, siswa
bertendensi melupakan bahasa daerah di luar konteks pelajaran dan tidak menjadikan bahasa
daerah sebagai prioritas utama. Begitupun seminar dan pembukaan program studi bahasa
daerah peminatnya sangat rendah, dan tidak bisa menjamin informasi dapat terdistribusi
dengan baik ke seluruh masyarakat. Sehingga beberapa upaya tersebut dirasa sangat tidak
efektif sebagai bentuk usaha revitalisasi bahasa daerah.
Salah satu harapan yang tersisa dari rapuhnya dan rentannya bahasa daerah yaitu
masih ada beberapa bahasa daerah dengan penutur diatas satu juta jiwa, bahkan berpuluhpulu juta jiwa. Hal ini sebenarnya menjadi sebuah refleksi bagi para ahli dan masyarakat
Indonesia. Bahasa ini seperti bahasa Jawa khususnya di Malang, masih menjadi bahasa yang
tetap bertahan di era globalisasi bahkan era westernisasi yang kini diadapi Indonesia. Konteks
era globalisasi hanya melunturkan batas-batas geografis suatu negara, namun konteks
westernisasi sudah mengarah pada ranah penyerapan suatu budaya, gaya hidup, dan aktivitas
sosial dari negara Barat. Inilah klimaks dari ancaman budaya yang sebenarnya di hadapi
Indonesia saat ini. Namun beberapa bahasa daerah masih bisa bertahan dan mampu melawan
arus westernisasi yang melanda Indonesia, poin kunci inilah yang seharusnya dapat menjadi
solusi yang efektif dalam menghadapi degradasi bahasa daerah yang kian masif terjadi.
Daerah Malang, Jawa timur menggunakan bahasa Jawa yang memiliki dialek Jawa
Timuran dan bahasa Madura. Selain dialek tersebut, ada pula dialek khas Malang yang
disebut sebagai "Boso Walikan" (malangkota.go.id). Bahasa Walikan memiliki ciri khas yaitu
menggunakan kata-kata secara terbalik, seperti arek-kera, sedia-aides, sego-oges, pecel-lecep,
mabuk-kubam, dan lainnya. Bukan hanya pembalikan huruf-huruf dalam kata tetapi juga
meliputi perubahan letak fonem seperti fonem /i/ dan /u/ pada kata ‘bingung’ yang kemudian
berubah menjadi ‘ngingub’ (Icuk Prayogi, 2013:2). Menurut penutur asli bahasa Walikan,
inversi kata-kata ini sangat bebas dan terbentuk karena kesepakatan bersama, hal ini
disebabkan oleh beberapa kata yang sulit diucapkan jika dibalik konstruksinya.
Sejarah linguistis bahasa Walikan sebenarnya sudah digunakan pada masa
kolonialisasi oleh bangsa asing di Indonesia. Menurut beberapa literatur bahasa ini digunakan
Kelompok Gerilya Kota (GRK) Malang pada zaman agresi militer II setelah kemerdekaan.
Penggunaan bahasa ini dilatarbelakangi oleh penyusupan mata-mata Belanda untuk
mengusust keberadaan Laskar Mayor Hamidi Rusdi, yang gugur pada tanggal 8 Maret 1949.
Demi menjamin kerahasiaan informasi, para pejuang kala itu membuat suatu identitas bahasa
Walikan, guna mengenali sesamanya. Dan identitas inilah yang sampai saat ini terus
digunakan oleh arema, atau sebutan anak muda untuk 'Orang Malang' (Icuk Prayogi, 2013: 3
bandingkan Yunan Salimow (2009) dan Halomalang.com (2015)).
Eksistensi bahasa Walikan tetap bertahan di era westernisasi disebabkan oleh
dukungan yang sangat besar dari semua pihak. Munculnya rubrik Ebes Ngalam dalam Harian
Malang Post menunjukkan ada identitas kultural yang coba disampaikan dan dipertahankan
oleh masyarakat, hal ini juga menunjukkan peminat bahasa Walikan sangat tinggi (Nurdiani
Galuh M., 2010). Selanjutnya kontinuasi peran pemuda, anak-anak, dan orang tua yang tidak
pernah berhenti menggunakan bahasa Walikan, membuat eksistensi bahasa Walikan
mengalahkan bahasa asing yang masuk ke dalam area masyarakat.
Usia anak-anak adalah usia yang sangat baik untuk menanamkan nilai-nilai moral dan
budaya pada dirinya. Dalam sosiologi anak-anak akan mengalami masa preparatory stage
(tahap persiapan, usia 1-5 tahun) dan play stage (tahap meniru, usia 6-12 tahun) yang akan
memungkinkan anak-anak untuk merekognisi hal-hal yang akan membentuk kebiasaan
mereka. Selanjutnya game stage (tahap mulai menyadari tindakan, usia 13-17 tahun) dan
generalized stage (Tahap penerimaan norma kolektif, usia 17 tahun ke atas) akan membuat
anak-anak memahami arti penting penggunaan bahasa daerah dan mampu menjadi agen
sosialisasi yang baik terhadap generasi yang baru dalam suatu masyarakat. Inilah teori
normatif yang sebenarnya aplikatif dalam masyarakat Malang, dan telah terintegrasi dengan
baik melalui pemahaman semua tingkat generasi.
Pihak mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan iron stock tidak kalah
penting dalam afirmasi bahasa Walikan. Dalam konteks agent of change mahasiswa daerah
Malang bukan sekelompok penggagas nilai dan norma yang memperisai daerah Malang dari
pengaruh westernisasi. Mahasiswa Malang memposisikan diri sebagai sekelompok
generalized stage masyarakat intelek, yang menggunakan bahasa Walikan sehari-hari dan
menjaga keutuhan bahasa Walikan tersebut melalui penelitian, sosialisasi masyarakat
langsung, dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya keutuhan bahasa daerah. Dalam
konteks social control mahasiswa tidak bertindak sebagai agen keamanan yang menggunakan
senjata dalam mengontrol kehidupan sosial, melainkan menggunakan intelektual sebagai
penguat masyarakat dan keutuhan sosial tanpa menolak pengaruh positif yang bisa diterima
dari luar daerah. Bahkan sampai saat ini sudah banyak paguyuban-paguyuban yang digagas
mahasiswa Malang dalam menjaga keutuhan bahasa daerah. Tindakan-tindakan mahasiswa
dalam ranah agent of change dan social control sebenarnya sudah menunjukkan bahwa
mahasiswa malang adalah iron stock yang berpotensi menjadi pemimpin-pemimpin masa
depan dan mempu mempertahankan bahasa daerah Malang.
Itulah poin-poin penting yang seharusnya digunakan dalam melestarikan bahasa
daerah. Refleksi eksistensi bahasa Walikan seharusnya mampu menjadi contoh guna
mempertahankan keutuhan bahasa daerah lainnya yang diprediksi akan mengalami
kepunahan. Langkah pertama jika berkaca pada kesuksesan bahasa Walikan yaitu mulai
menggunakan bahasa daerah sehari-hari, utamanya dari keluarga kecil. Bahasa daerah akan
lebih mudah dipahami dan mejadi kebiasaan bila intensifitas penggunaanya tinggi, dan hal ini
sangat sesuai dengan lingkungan rumah, dimana anak-anak biasanya menghabiskan 60-80%
waktunya dirumah. Selanjutnya intensifitas penggunaan bahasa daerah oleh pemuda. Jika
melakukan analogi pada bahasa daerah dengan bahasa Walikan, maka kita bisa melihat
bahwa pengaruh arema akan eksistensi bahasa daerah sangat besar, bahkan lebih besar dari
pengaruh pemerintah daerah. Arema menggunakan bahasa daerah di lingkungan sosial
masyarakat, media sosial, sekolah, kampus, bahkan terkesan menimbulkan fanatisme yang
tinggi. Alhasil bahasa daerah dapat bertahan ditengah arus westernisasi dan globalisasi.
Langkah inilah yang seharusnya menjadi cerminan bagi daerah lainnya.
Meskipun penggunaan bahasa daerah wailikan terkesan fanatis, hal ini sangat
dipercaya tidak akan menimbulkan etnosentrisme bahkan primordialisme. Pasalnya
lingkungan akadik formal, seminar, maupun acara formal, masyarakat Malang tetap
menggunakan bahasa Indonesia, dan bahkan tidak sedikit juara debat bahasa Inggris di kota
Malang tetap menggunakan bahasa Malang dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini
menunjukkan bahwa mencintai kearifan lokal bukan sebuah hal yang memperkecil
kesempatan untuk bisa meningkatkan taraf hidup. Bahkan Malang tetap menerima
penghargaan baik nasional maupun interansional meskipun seluruh aspek kehidupan
masyarakat Malang masih mengintegrasikan kultur yang ada. Tahun 2016 Malang
mendapatkan penghargaan Global Water Award oleh uni Emirat Arab (malang.merdeka.com,
2016) bahkan jika dilihat tahun 2015 Malang mendapatkan penghargaan oleh Lembaga
Kebudayaan Nasional Indonesia karena keaktifannya dalam hal budaya (bakesbangpol,
2015).
Demikianlah kondisi yang terjadi pada Indonesia saat ini, saat ancaman penggulingan
rezim tidak lagi menjadi urgensi dalam agenda rapat negara, kini saatnya degradasi budaya
khususunya bahasa, terancam akan punah dan hilang dari peradaban. Penggunaan bahasa
daerah semakin hari semakin minim digunakan, perlu mendapat perhatian serius dari semua
pihak agar tetap menjadi local genius yang mengandung nilai-nilai sejarah dan memiliki daya
jual tersendiri. Inilah tujuan penulis menmbongkar kode (crack code) rahasia dari bahasa
Walikan, agar mampu menjadi refleksi guna mempertahankan bahasa daerah di era
westernisasi. Dari keseluruhan gagasan ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna
meningkatkan penggunaan bahasa daerah secara efektif. Hal pertama yaitu penggunaan
bahasa daerah harus dintensifkan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat, untuk mendukung terciptanya penggunaan bahasa daerah. Dukungan pemerintah
khususnya Menteri Pariwisata dan kebudayaan, Pemerintah daerah, serta komunitaskomunitas peduli bahasa daerah perlu mendukung program-program pengembangan budaya
baik yang dilakukan pihak swasta maupun mahasiswa. Dengan integrasi pihak-pihak yang
terkait serta penanaman penggunaan bahasa daerah sejak dini, niscaya suatu bahasa daerah
tidak akan punah begitu saja. Jika 5 dari 10 orang mampu menggunakan bahasa daerah, maka
tahun 2010 bukan 12 bahasa yang punah, tetapi hanya 6 saja, dan relevansinya akan sangat
tinggi jiga 9 dari 10 orang mampu menggunakan bahasa daerah setiap harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Daring
Bakesbangpol. (2015). Abah Anton Terima Penghargaan Karena Aktif di Bidang Kebudayaan.
Malangkota.id: http://bakesbangpol.malangkota.go.id/2015/08/25/abah-anton-terimapenghargaan-karena-aktif-di-bidang-kebudayaan/. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Budiwiyanto, Adi. (2015). Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah yang
Terancam Punah di Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1823. Diakses Tanggal 5 Mei 2016.
Darwis, Muhammad. (2011). Nasib Bahasa daera di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan.
https://core.ac.uk/download/files/644/25485327.pdf. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Destryawam, Dennis. (2016). Hati-hati ya, Filipina Sydah ada 1.000 Sopir Belajar Bahasa Indonesia.
Tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/01/11/hati-hati-ya-filipina-sudahada-1000-sopir-belajar-bahasa-indonesia. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Edi Hardum, Siprianus. (2014). Menghadapi MEA, Orang Thailand dan Filipina Belajar Bahasa
Indonesia. Beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/ekonomi/233735-hadapi-mea-orangthailand-dan-filipina-belajar-bahasa-indonesia.html. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Galuh Permatasari, Nurdiani. (2010). Efektifitas Terpaan Bahasa Walikan dalam Rubrik Ebes Ngalam
di Malang Pos sebagai Pencitraan Korane Arek Malang. Jurnal UMM:
http://eprints.umm.ac.id/5613/1/EFEKTIFITAS_TERPAAN_BAHASA_WALIKAN_DALA
M_RUBRIK_EBES_NGALAM_DI_MALANG_POS.pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Halomalang.com. (2015). [Ngalamers Harus Tahu] Sejarah Boso Walikan.
http://halomalang.com/serbaserbi/ngalamersharustahusejarahbosoWalikan. Diakses tanggal 5
Mei 2016.
Pemerintah Kota Malang. Sejarah Kota Malang: Bahasa. http://malangkota.go.id/sekilasmalang/sejarah-malang/. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Shalimow, Yunan. (2009). Bahasa Walikan Malang, Saksi Bisu Zaman Perjuangan.
http://www.shalimow.com/anekabisnis/bahasaWalikanmalangsaksibisuzamanperjuangan.html
. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Wahyu Permana, Rizky. (2016). PDAM Kota Malang mendapat penghargaan internasional.
Malang.merdeka.com: http://malang.merdeka.com/kabar-malang/pdam-kota-malangmendapat-penghargaan-internasional-1604190.html. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Jurnal
Deandre A. Espere. (2013). Bahasa Walikan Malangan and the Building of Indo-Javanese Urban Spaces.
Planum. The Journal of Urbanism, Vil. 2, No. 21, ISSN 1723-0993. Amerika: The University
of the South America.
Jackson, nicolas dan Rahmat. (2013). Decoding Basa Walikan- A Preliminary Analysis of Yogyakarta
'Reverse' language. International Journal of Indonesian Studies, Vol 1. FPKIP Universitas
sebelas Maret Surakarta.
Prayogi, Icuk. (2013). Proses Pembentukan Slang Malang. Jurnal Sasindo: Vol 1, No 1. Semarang: IKIP
PGRI Semarang.
Rachmawati, Iin. (2012). Lawikan Kera Ngalam di Tengah Arus Globalisasi. Jurnal Lakon, UNAIR: Vol
1, No 1. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sobarna, Cece. (2007). Bahasa Sunda Sudah di Ambang Pintu Kematiankah?. Jurnal Makara, Sosial
humaniora, Vol. 11, No. 1. Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.
Crack Code Bahasa “Walikan” Malang sebagai Refleksi Kritis
Resistansi Bahasa Daerah di Era “Westernisasi”
Penulis: Komang Budi Mudita
Indonesia adalah negara dengan total populasi manusia sejumlah 250 juta jiwa dan
merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi keempat di dunia setelah Cina, India,
dan Amerika serikat (Worldbank, 2013). Tingginya populasi manusia didukung kondisi
geografis yang kaya pulau, menyebabkan Indonesia kaya akan budaya, suku, maupun bahasa.
Data Etnologue tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 707 bahasa daerah dan
merupakan 10 persen dari total 7.102 bahasa di dunia. 707 bahasa daerah tersebut digunakan
oleh setidaknya 221 juta orang penduduk Indonesia (Etbologue dalam Budiwiyanto, 2015).
Meskipun Indonesia kaya akan bahasa daerah, sayangnya di tahun 2010 tercatat 146
bahasa daerah di indonesia terancam punah dan 12 diantaranya telah punah (Moseley dalam
Budiwiyanto, 2015). Tingginya tingkat kepunahan bahasa ini disebabkan oleh rendahnya
penutur bahasa tersebut. Bahasa Jawa memiliki penutur kurang lebih 75,2 juta jiwa, bahasa
Sunda 27 Juta jiwa, bahasa Melayu 20 juta jiwa dan bahasa lainnya yang bahkan berada
dibawah satu juta jiwa, dan beberapa bahasa hanya memiliki penutur 10 jiwa hingga hanya 1
jiwa (Crystal dalam Cece Sobarna, 2007). Padahal prinsip daya tahan suatu bahasa adalah use
of the linguistic system by an unisolated community of native speakers (Stewart dalam
Muhammad darwis, 2011:4), dimana pengurangan penutur suatu bahasa akan berimplikasi
pada tingkat kerentanan suatu bahasa untuk punah.
Muhammad Darwis (2011: 3) mengambil analogi spesies biologi, Krauss (1992)
dalam mangategorikan daya hidup bahasa menjadi 3 tingkatan. Tingkat pertama yaitu
moribund, yaitu bahasa yang tidak lagi dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibu. Tingkat
kedua yaitu endangered, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih dipelajari atau
diperoleh oleh anak-anak, tetapi sudah tidak digunakan pada abad yang akan datang. Ketiga,
safe, yaitu bahasa yang secara resmi didukung oleh pemerintah dan memiliki penutur yang
sangat banyak. Menurut Darwis kondisi yang saat ini terjadi adalah bahasa daerah sudah
tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak maupun usia dewasa dalam kelompok etnik
masing-masing (Muhammad Darwis, 2011: 4).
Rendahnya minat masyarakat khususnya pemuda dan anak-anak dalam menggunakan
bahasa daerah dipengaruhi oleh banyak hal. Darwis menemukan faktor kemunculan TK
(Taman Kanak-kanak) di pedesaan yang notabene menggunakan bahasa Indonesia menjadi
pemicu utama minimnya minat anak-anak menggunakan bahasa daerah (Muhammad Darwis,
2011: 4). Faktor lainnya yang sangat jelas terlihat yaitu pengaruh globalisasi yang membuat
masyarakat lebih berpikir global dan berorientasi internasional daripada lokal. Hal ini
membuat sekolah-sekolah di Indonesia lebih memilih menggunakan bahasa Inggris sebagai
muatan lokal dari pada bahasa daerah. Bahkan nilai bahasa Inggris menjadi penentu dalam
seleksi perguruan tinggi maupun seleksi kerja.
Tingginya prioritas penggunaan bahasa nasional dan bahasa internasional dalam
lingkungan akademik dan pekerjaan, sebenarnya dilatarbelakangi banyak hal. Tuntutan
Indonesia terhitung sejak 1 Januari 2016 telah resmi memasuki pasar bebas Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) dan saat ini Indonesia dikabarkan akan memasuki TPP (TransPasific Partnership) yang digagas oleh Amerika Serikat. Menghadapi MEA dikabarkan 1000
supir taxi Pilipina dan orang-orang Tailand belajar bahasa Indonesia (Tribunnews.com, 2016
dan beritasatu.com, 2014). Melihat kondisi tersebut banyak orang Indonesia yang mulai
berlomba-lomba menguasai bahasa internasional. Apalagi melihat program nawa cita yang
diusung presiden Indonesia, Joko Widodo, dimana ia menargetkan peningkatan ekonomi
sebesar 7 persen tahun 2019 (Liputan6.com, 2016). Alhasil Mayarakat akan lebih terpaksa
belajar bahasa asing daripada bahasa daerah.
Menjadikan bahasa daerah sebagai anak tiri di daerah maupun dalam pelajaran
sekolah sebenarnya tidak sejalan dengan peraturan yang ditetapkan Undang-undang. Undangundang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pasal 42 ayat
(1) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan
melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia.” Pemerintah jelas berusaha untuk melindungi bahasa daerah
sebagai kearifan lokal yang harus dijaga dan dibangun dalam pola pikir masyarakat setiap
saat, agar tidak terjadi dead language atau kepunahan bahasa daerah.
Usaha-usaha dalam menjaga keutuhan bahasa daerah baik dari pihak pemerintah
maupun akademisi sudah sangat banyak dilakukan. Beberapa diantaranya meliputi:
Menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah; Melakukan
pelatihan, penelitian, dan seminar bahasa daerah, oleh pemerintah daerah maupun akademisi
(mahasiswa dan dosen); Serta menyediakan program studi bahasa daerah di perguruan tinggi.
Memasukkan bahasa daerah kedalam kurikulum wajib, membuat bahasa daerah harus
dipelajari oleh siswa. Ekspektasi dari kegiatan ini adalah, bahasa daerah dapat digunakan
sehari-hari dan tetap bertahan di masyarakat. Namun sayangnya, yang terjadi adalah, siswa
bertendensi melupakan bahasa daerah di luar konteks pelajaran dan tidak menjadikan bahasa
daerah sebagai prioritas utama. Begitupun seminar dan pembukaan program studi bahasa
daerah peminatnya sangat rendah, dan tidak bisa menjamin informasi dapat terdistribusi
dengan baik ke seluruh masyarakat. Sehingga beberapa upaya tersebut dirasa sangat tidak
efektif sebagai bentuk usaha revitalisasi bahasa daerah.
Salah satu harapan yang tersisa dari rapuhnya dan rentannya bahasa daerah yaitu
masih ada beberapa bahasa daerah dengan penutur diatas satu juta jiwa, bahkan berpuluhpulu juta jiwa. Hal ini sebenarnya menjadi sebuah refleksi bagi para ahli dan masyarakat
Indonesia. Bahasa ini seperti bahasa Jawa khususnya di Malang, masih menjadi bahasa yang
tetap bertahan di era globalisasi bahkan era westernisasi yang kini diadapi Indonesia. Konteks
era globalisasi hanya melunturkan batas-batas geografis suatu negara, namun konteks
westernisasi sudah mengarah pada ranah penyerapan suatu budaya, gaya hidup, dan aktivitas
sosial dari negara Barat. Inilah klimaks dari ancaman budaya yang sebenarnya di hadapi
Indonesia saat ini. Namun beberapa bahasa daerah masih bisa bertahan dan mampu melawan
arus westernisasi yang melanda Indonesia, poin kunci inilah yang seharusnya dapat menjadi
solusi yang efektif dalam menghadapi degradasi bahasa daerah yang kian masif terjadi.
Daerah Malang, Jawa timur menggunakan bahasa Jawa yang memiliki dialek Jawa
Timuran dan bahasa Madura. Selain dialek tersebut, ada pula dialek khas Malang yang
disebut sebagai "Boso Walikan" (malangkota.go.id). Bahasa Walikan memiliki ciri khas yaitu
menggunakan kata-kata secara terbalik, seperti arek-kera, sedia-aides, sego-oges, pecel-lecep,
mabuk-kubam, dan lainnya. Bukan hanya pembalikan huruf-huruf dalam kata tetapi juga
meliputi perubahan letak fonem seperti fonem /i/ dan /u/ pada kata ‘bingung’ yang kemudian
berubah menjadi ‘ngingub’ (Icuk Prayogi, 2013:2). Menurut penutur asli bahasa Walikan,
inversi kata-kata ini sangat bebas dan terbentuk karena kesepakatan bersama, hal ini
disebabkan oleh beberapa kata yang sulit diucapkan jika dibalik konstruksinya.
Sejarah linguistis bahasa Walikan sebenarnya sudah digunakan pada masa
kolonialisasi oleh bangsa asing di Indonesia. Menurut beberapa literatur bahasa ini digunakan
Kelompok Gerilya Kota (GRK) Malang pada zaman agresi militer II setelah kemerdekaan.
Penggunaan bahasa ini dilatarbelakangi oleh penyusupan mata-mata Belanda untuk
mengusust keberadaan Laskar Mayor Hamidi Rusdi, yang gugur pada tanggal 8 Maret 1949.
Demi menjamin kerahasiaan informasi, para pejuang kala itu membuat suatu identitas bahasa
Walikan, guna mengenali sesamanya. Dan identitas inilah yang sampai saat ini terus
digunakan oleh arema, atau sebutan anak muda untuk 'Orang Malang' (Icuk Prayogi, 2013: 3
bandingkan Yunan Salimow (2009) dan Halomalang.com (2015)).
Eksistensi bahasa Walikan tetap bertahan di era westernisasi disebabkan oleh
dukungan yang sangat besar dari semua pihak. Munculnya rubrik Ebes Ngalam dalam Harian
Malang Post menunjukkan ada identitas kultural yang coba disampaikan dan dipertahankan
oleh masyarakat, hal ini juga menunjukkan peminat bahasa Walikan sangat tinggi (Nurdiani
Galuh M., 2010). Selanjutnya kontinuasi peran pemuda, anak-anak, dan orang tua yang tidak
pernah berhenti menggunakan bahasa Walikan, membuat eksistensi bahasa Walikan
mengalahkan bahasa asing yang masuk ke dalam area masyarakat.
Usia anak-anak adalah usia yang sangat baik untuk menanamkan nilai-nilai moral dan
budaya pada dirinya. Dalam sosiologi anak-anak akan mengalami masa preparatory stage
(tahap persiapan, usia 1-5 tahun) dan play stage (tahap meniru, usia 6-12 tahun) yang akan
memungkinkan anak-anak untuk merekognisi hal-hal yang akan membentuk kebiasaan
mereka. Selanjutnya game stage (tahap mulai menyadari tindakan, usia 13-17 tahun) dan
generalized stage (Tahap penerimaan norma kolektif, usia 17 tahun ke atas) akan membuat
anak-anak memahami arti penting penggunaan bahasa daerah dan mampu menjadi agen
sosialisasi yang baik terhadap generasi yang baru dalam suatu masyarakat. Inilah teori
normatif yang sebenarnya aplikatif dalam masyarakat Malang, dan telah terintegrasi dengan
baik melalui pemahaman semua tingkat generasi.
Pihak mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan iron stock tidak kalah
penting dalam afirmasi bahasa Walikan. Dalam konteks agent of change mahasiswa daerah
Malang bukan sekelompok penggagas nilai dan norma yang memperisai daerah Malang dari
pengaruh westernisasi. Mahasiswa Malang memposisikan diri sebagai sekelompok
generalized stage masyarakat intelek, yang menggunakan bahasa Walikan sehari-hari dan
menjaga keutuhan bahasa Walikan tersebut melalui penelitian, sosialisasi masyarakat
langsung, dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya keutuhan bahasa daerah. Dalam
konteks social control mahasiswa tidak bertindak sebagai agen keamanan yang menggunakan
senjata dalam mengontrol kehidupan sosial, melainkan menggunakan intelektual sebagai
penguat masyarakat dan keutuhan sosial tanpa menolak pengaruh positif yang bisa diterima
dari luar daerah. Bahkan sampai saat ini sudah banyak paguyuban-paguyuban yang digagas
mahasiswa Malang dalam menjaga keutuhan bahasa daerah. Tindakan-tindakan mahasiswa
dalam ranah agent of change dan social control sebenarnya sudah menunjukkan bahwa
mahasiswa malang adalah iron stock yang berpotensi menjadi pemimpin-pemimpin masa
depan dan mempu mempertahankan bahasa daerah Malang.
Itulah poin-poin penting yang seharusnya digunakan dalam melestarikan bahasa
daerah. Refleksi eksistensi bahasa Walikan seharusnya mampu menjadi contoh guna
mempertahankan keutuhan bahasa daerah lainnya yang diprediksi akan mengalami
kepunahan. Langkah pertama jika berkaca pada kesuksesan bahasa Walikan yaitu mulai
menggunakan bahasa daerah sehari-hari, utamanya dari keluarga kecil. Bahasa daerah akan
lebih mudah dipahami dan mejadi kebiasaan bila intensifitas penggunaanya tinggi, dan hal ini
sangat sesuai dengan lingkungan rumah, dimana anak-anak biasanya menghabiskan 60-80%
waktunya dirumah. Selanjutnya intensifitas penggunaan bahasa daerah oleh pemuda. Jika
melakukan analogi pada bahasa daerah dengan bahasa Walikan, maka kita bisa melihat
bahwa pengaruh arema akan eksistensi bahasa daerah sangat besar, bahkan lebih besar dari
pengaruh pemerintah daerah. Arema menggunakan bahasa daerah di lingkungan sosial
masyarakat, media sosial, sekolah, kampus, bahkan terkesan menimbulkan fanatisme yang
tinggi. Alhasil bahasa daerah dapat bertahan ditengah arus westernisasi dan globalisasi.
Langkah inilah yang seharusnya menjadi cerminan bagi daerah lainnya.
Meskipun penggunaan bahasa daerah wailikan terkesan fanatis, hal ini sangat
dipercaya tidak akan menimbulkan etnosentrisme bahkan primordialisme. Pasalnya
lingkungan akadik formal, seminar, maupun acara formal, masyarakat Malang tetap
menggunakan bahasa Indonesia, dan bahkan tidak sedikit juara debat bahasa Inggris di kota
Malang tetap menggunakan bahasa Malang dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini
menunjukkan bahwa mencintai kearifan lokal bukan sebuah hal yang memperkecil
kesempatan untuk bisa meningkatkan taraf hidup. Bahkan Malang tetap menerima
penghargaan baik nasional maupun interansional meskipun seluruh aspek kehidupan
masyarakat Malang masih mengintegrasikan kultur yang ada. Tahun 2016 Malang
mendapatkan penghargaan Global Water Award oleh uni Emirat Arab (malang.merdeka.com,
2016) bahkan jika dilihat tahun 2015 Malang mendapatkan penghargaan oleh Lembaga
Kebudayaan Nasional Indonesia karena keaktifannya dalam hal budaya (bakesbangpol,
2015).
Demikianlah kondisi yang terjadi pada Indonesia saat ini, saat ancaman penggulingan
rezim tidak lagi menjadi urgensi dalam agenda rapat negara, kini saatnya degradasi budaya
khususunya bahasa, terancam akan punah dan hilang dari peradaban. Penggunaan bahasa
daerah semakin hari semakin minim digunakan, perlu mendapat perhatian serius dari semua
pihak agar tetap menjadi local genius yang mengandung nilai-nilai sejarah dan memiliki daya
jual tersendiri. Inilah tujuan penulis menmbongkar kode (crack code) rahasia dari bahasa
Walikan, agar mampu menjadi refleksi guna mempertahankan bahasa daerah di era
westernisasi. Dari keseluruhan gagasan ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna
meningkatkan penggunaan bahasa daerah secara efektif. Hal pertama yaitu penggunaan
bahasa daerah harus dintensifkan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat, untuk mendukung terciptanya penggunaan bahasa daerah. Dukungan pemerintah
khususnya Menteri Pariwisata dan kebudayaan, Pemerintah daerah, serta komunitaskomunitas peduli bahasa daerah perlu mendukung program-program pengembangan budaya
baik yang dilakukan pihak swasta maupun mahasiswa. Dengan integrasi pihak-pihak yang
terkait serta penanaman penggunaan bahasa daerah sejak dini, niscaya suatu bahasa daerah
tidak akan punah begitu saja. Jika 5 dari 10 orang mampu menggunakan bahasa daerah, maka
tahun 2010 bukan 12 bahasa yang punah, tetapi hanya 6 saja, dan relevansinya akan sangat
tinggi jiga 9 dari 10 orang mampu menggunakan bahasa daerah setiap harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Daring
Bakesbangpol. (2015). Abah Anton Terima Penghargaan Karena Aktif di Bidang Kebudayaan.
Malangkota.id: http://bakesbangpol.malangkota.go.id/2015/08/25/abah-anton-terimapenghargaan-karena-aktif-di-bidang-kebudayaan/. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Budiwiyanto, Adi. (2015). Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah yang
Terancam Punah di Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1823. Diakses Tanggal 5 Mei 2016.
Darwis, Muhammad. (2011). Nasib Bahasa daera di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan.
https://core.ac.uk/download/files/644/25485327.pdf. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Destryawam, Dennis. (2016). Hati-hati ya, Filipina Sydah ada 1.000 Sopir Belajar Bahasa Indonesia.
Tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/01/11/hati-hati-ya-filipina-sudahada-1000-sopir-belajar-bahasa-indonesia. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Edi Hardum, Siprianus. (2014). Menghadapi MEA, Orang Thailand dan Filipina Belajar Bahasa
Indonesia. Beritasatu.com: http://www.beritasatu.com/ekonomi/233735-hadapi-mea-orangthailand-dan-filipina-belajar-bahasa-indonesia.html. Diakses tanggal 4 Mei 2016.
Galuh Permatasari, Nurdiani. (2010). Efektifitas Terpaan Bahasa Walikan dalam Rubrik Ebes Ngalam
di Malang Pos sebagai Pencitraan Korane Arek Malang. Jurnal UMM:
http://eprints.umm.ac.id/5613/1/EFEKTIFITAS_TERPAAN_BAHASA_WALIKAN_DALA
M_RUBRIK_EBES_NGALAM_DI_MALANG_POS.pdf. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Halomalang.com. (2015). [Ngalamers Harus Tahu] Sejarah Boso Walikan.
http://halomalang.com/serbaserbi/ngalamersharustahusejarahbosoWalikan. Diakses tanggal 5
Mei 2016.
Pemerintah Kota Malang. Sejarah Kota Malang: Bahasa. http://malangkota.go.id/sekilasmalang/sejarah-malang/. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Shalimow, Yunan. (2009). Bahasa Walikan Malang, Saksi Bisu Zaman Perjuangan.
http://www.shalimow.com/anekabisnis/bahasaWalikanmalangsaksibisuzamanperjuangan.html
. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Wahyu Permana, Rizky. (2016). PDAM Kota Malang mendapat penghargaan internasional.
Malang.merdeka.com: http://malang.merdeka.com/kabar-malang/pdam-kota-malangmendapat-penghargaan-internasional-1604190.html. Diakses tanggal 5 Mei 2016.
Jurnal
Deandre A. Espere. (2013). Bahasa Walikan Malangan and the Building of Indo-Javanese Urban Spaces.
Planum. The Journal of Urbanism, Vil. 2, No. 21, ISSN 1723-0993. Amerika: The University
of the South America.
Jackson, nicolas dan Rahmat. (2013). Decoding Basa Walikan- A Preliminary Analysis of Yogyakarta
'Reverse' language. International Journal of Indonesian Studies, Vol 1. FPKIP Universitas
sebelas Maret Surakarta.
Prayogi, Icuk. (2013). Proses Pembentukan Slang Malang. Jurnal Sasindo: Vol 1, No 1. Semarang: IKIP
PGRI Semarang.
Rachmawati, Iin. (2012). Lawikan Kera Ngalam di Tengah Arus Globalisasi. Jurnal Lakon, UNAIR: Vol
1, No 1. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sobarna, Cece. (2007). Bahasa Sunda Sudah di Ambang Pintu Kematiankah?. Jurnal Makara, Sosial
humaniora, Vol. 11, No. 1. Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.