Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit

Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit
Oleh:
Tyo Prakoso1

Abstrak

:

Dalam

sejarah

Indonesia,

persinggungan-perseteruan

antara

Komunisme dan Islam memiliki cerita yag panjang dan menarik. Dan dalam tubuh SI,
persinggungan-perseteruan itu di mulai. Berbagai tokoh bertegur sapa secara gagasan. SI
menjadi sebuah wadah pertemuan ideologi. Komunisme menampilkan tokoh-tokoh macam

Semaoen, Tan dan Darsono. Sementara Islam menampilkan Tjokroaminoto, Haji Agus Salim
dan Abdoel Moeis. Namun, pada sosok Haji Misbach kita menemui sintesisnya. Sejarah
menjadi menarik. Komunisme dan Islam mestilah dipandang sebagai pergulatan gagasan dan
ide yag berdialektik sesuai zamannya.

Kata Kunci

: Komunisme, Islam, Sarekat Islam, Hindia Belanda, Zaman Bergerak,

Pergulatan, Ideologi, Ide, Pemberontakan, Partai Komunis Indonesia
***

Pengantar: Ada Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit...
Ada hantu di Indonesia. Hantu itu bernama Komunisme.
Sejarah Komunisme di Indonesia begitu panjang dan berdarah. Sebelum pada tahun
1965, sejarah Komunisme Indonesia benar-benar dibabat habis. Panjangnya sejarah
Komunisme di Indonesia, menjadi sebuah kajian yang menarik. Dan, bagian yang paling
menarik ialah bagian ketika ‘ideologi’ Komunisme itu mulai di kenal di –saat itu bernama—
Hindia Belanda. Artinya, serentetan panjang ini bermula pada periode yang kita kenal dengan
“Sejarah Pergerakan Nasional”. Atau, saya lebih senang menyebutnya; “Proses menuju

Indonesia”.
1 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta. Berikut tulisan ilmiah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.

Salah satu momen terpenting ketika membicarakan sejarah Komunisme di Indonesia
adalah proses bersinggungnya dengan Islam. Dalam hal ini, Sarekat Islam (SI). Periode ini
menjadi menarik di telaah, berkaitan langsung dengan awal mulanya paham Komunisme di
kenal. Tentu, sejarah mencatat, organisasi politik Komunisme, dalam hal ini PKI, lahir dari
‘rahim’ SI. Bagian ini memunculkan sebuah persoalan yang begitu menarik untuk di telaah.
Diantaranya, tulisan ini mencoba mengkaji beberapa persoalan itu, yakni bagaimana
proses ideologi Komunisme hadir di Indonesia? Bagaimana proses infiltrasi Komunisme di
Sarekat Islam? Dan, yang terpenting, apakah benar Sarekat Islam di pecah oleh gerakan
Komunisme sehingga tak memiliki kekuatan yang penuh dan kehilangan marwah dalam
menghadapi kolonialisme? Lalu, apakah yang membentuk gerakan revolusioner itu pada
periode-periode tersebut?
Sejumlah pertanyaan dan persoalan itu akan dicoba untuk dibicarakan. Namun yang
harus dititikbawahi ialah penekanan pada telaah Komunisme dan Islam sebagai gerakan
revolusioner di Indonesia pada periode menuju Indonesia.

Hindia Belanda: Menuju Panggung Pergerakan

Pada 1830, Perang Jawa usai. Kas negara Hindia Belanda terkuras. Perang yang
melibatkan tokoh utama Pangeran Diponegoro2 ini menjadi salah satu peristiwa penting.
Bukan hanya menampilkan sosok Diponegoro, yang dianggap dan dipercaya oleh masyarakat
Jawa pada saat itu sebagai penjelmaan seorang “Ratu Adil3” yang dapat menyelamatkan dari
kesengsaraan zaman.
Perang Jawa memberi beban ekonomi yang sangat berat bagi keuangan Hindia
Belanda. Perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830), antara pasukan
Diponegoro melawan Belanda, melibatkan dua juta orang atau sepertiga penduduk Jawa. 200
ribu penduduk Jawa meninggal, dan seperempat lahan pertanian rusak. 4 Dan menghabiskan
anggaran sebesar 25 juta gulden!
2 Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1875 dengan nama Bendoro Raden Mas
Mustahar. Ia anak dari putra sulung Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II dari permaisuri Ratu Kedaton,
keturunan raja Madur. Rekam jejak Diponegoro dan peristiwa Perang Jawa terukir apik oleh tulisan Peter Carey,
seorang sejarawan asal Inggris, dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2014). Selanjutnya ditulis Takdir.
3 Untuk konsep “Ratu Adil” lihat paparan Sartono Kartodirdjo dalam buku Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan,
1984).
4 Op. Cit.. Peter Carey, Takdir.

Perang Jawa menjadi momentum perubahan kebijakan pemerintah kolonial Hindia

Belanda. Dengan terkurasnya kas negara, diperparah dengan keadaan di kawasan Eropa yang
memaksa negara induk Belanda bersiap menghadapi peristiwa Perang Dunia I. Akibatnya,
kas negara semakin ambruadul. Akibatnya, di bawah Gubernur Jenderal, Johannes van den
Bosch, diberlakukannya kebijakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)5.
Sistem tanam paksa, mewajibkan penduduk Jawa menyisihkan 20 persen lahan
pertaniannya untuk ditanami oleh komoditas yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Komoditas yang ditanam tentunya mengikuti pasar dunia. Dengan kebijakan
ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda terselamatkan dari krisis. Disisi lain, semakin
mengantarkan masyarakat Jawa dalam kemiskinan. Dalam, latar ini, pemberontakanpemberontakan sering terjadi. Keadaan sosial masyakat pribumi semakin susah.
Hal ini terekam apik oleh roman Max Havelar karya Eduard Douwes Dekker, dengan
nama pena Multatuli. Roman itu menggambarkan situasi sosial Hindia Belanda saat tu.
Dimana, masyarakat Jawa diperlakukan budak demi kebijakan negeri induk Belanda.
Multatuli mengkritik. Keuntungan dan terlepasnya krisis yang dialami oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengakibatkan jutaan penduduk Jawa menemui jurang kemiskinan
yang parah.
Sementara itu, di parlemen Belanda terjadi pergeseran kekuatan politik. Muncul
kalangan liberal dan usahawan Belanda yang mendorong agar menghapus kebijakan sistem
tanam paksa. Akhirnya, pada tahun 1870, pemerintah kolonial Hindia Belanda
memberlakukan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) yang mengatur kepemilikan dan
penyewaan atas lahan atau tanah.

Artinya, hal ini mendorong masuknya investasi-investasi swasta di Hindia Belanda.
Awalnya memang, Undang-Undang tersebut di harapkan agar mampu melindungi petani.
Namun, apa daya, swastanisasi semakin mencengkeram. Periode ini, dalam catatan sejarah,
kerap di sebut periode liberal. Periode dimana pengintegrasian ekonomi Hindia Belanda
dengan ekonomi dunia. Dalam artian, bagaimana negara koloni didorong untuk terlibat secara
langsung dalam ekonomi dunia. Hal ini, memaksa dan mengakibatkan, tanaman seperti tebu,
kopi, kina dan teh di kembangkan di Jawa dan tembakau di Deli.

5 Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai sistem tanam paksa silakan lihat Robert van Niel Sistem Tanam
Paksa di Jawa, (Jakarta: LP3ES, 2003).

Pada periode ini pula, mulai berdiri perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda.
perusahaan-perusahaan tersebut menyewa lahan-lahan pertanian milik pribumi. Dan, dapat
menentukan jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut. Bagian ini, menbuat semakin
lemahnya pemilikan tanah penduduk pribumi6.
Selain pabrik-pabrik mulai marak di Hindia Belanda, sarana infrastuktur pun mulai
tersedia. Hal ini tentu untuk menopang kegiatan ekonomi yang tengah semarak. Selain jalan
raya yang mulai diperbanyak dan diperpanjang, kini mulai berfungsinya rel dan kereta api.
Rel dan kerata api ini berfungsi untuk kegiatan distribusi sejumlah komoditas pertanian dan
perkebunan, diantaranya ialah tebu.

Pada Agustus 1867, jalur kereta api pertama dibangun sepanjang 27 M yang melayani
rute Semarang-Tanggung. Kemudian, tiga tahun berikutnya, 1870, dibangun lagi jalur kereta
api sepanjang 110 KM yang menghubungkan Semarang dan Surakarta.
Dengan semakin tersedianya infrasruktur ini, tentu kegiatan ekonomi semakin
meningkat. Dan, pemerintah kolonial Belanda semakin jauh dari krisis. Disisi lain,
masyarakat pribumi semakin tertindas. Karena kalah bersaing dengan pabrik-pabrik yang
dimiliki oleh pihak swasta. Kehidpan bagi masyarakat pribumi belum berubah; susah!
Theodore van Deventer, salah seorang kalangan etis asal Belanda, menulis artikel
bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63
Tahun 1899 di Negeri Belanda. Hal ini menjadi sebuah awalan, mulai munculnya suarasuara protes dari kalangan etis yang mendesak agar pemerintah Belanda ‘membayar budi’
kepada negeri jajahan. Berupa, diberlakukannya rakyat negeri jajahan selayaknya. Atas
dasar itu, sebagaimana sejarah mencatat, pada tahun 1901, mulai diberlakukannya
kebijakan Politik Etis. Yang mencoba merealisasikan gagasan politik etis dalam tiga
bidang, yakni irigasi, edukasi dan emigrasi. Kemudian, dikenal dengan istilah “Trilogi van
Deventer”.7
6 Menyoal proses liberalisasi pada periode tersebut, silakan lihat WF. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam
Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
7 Pembahasan Kebijakan Politik Etis atau “Politik Balas Budi” menjadi menarik. Sukarno pernah mengkritik
kebijakan Politik Etis Belanda yang dianggapnya hanya sebagai cara untuk pemerintah Kolonial mendapatkan
para tenaga kerja pribumi terdidik. Mengingat semakin pesatnya swastanisasi di Hindia Belanda, artinya

dibutuhkan tenaga kerja yang banyak dan terdidik.
Dan ini sejalan dengan kebijakan Politik Etis. Disisi lain, kebijakan Politik Etis dianggap sebagai ‘jalan tengah’
pemerintah Kolonial untuk mendamaikan kalangan emansipasi yang menggalakkan kebijakan “Asosiasi” dan
kalangan Pemodal. Untuk pembahasan lebih lanjut lihat Robert van Niel Munculnya Elit Modern Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Bagi sebagian kalangan, diberlakukannya kebijakan Politik Etis ini menjadi sebuah
titik tolak dalam sejarah Hindia Belanda sebagai negara jajahan. Terutama pada bidang
pendidikan. Kita mengenal sosok RA. Kartini 8 pada periode ini. Kartini sebuah simbol,
sekaligus pujaan, bagi kalangan etisi dan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kartini
adalah produk Politik Etis.
Sejarah mencatat, awal abad ke-20 adalah sebuah zaman baru dalam kehidupan
masyarakat di Hindia Belanda, yaitu zaman etis. Dimana semboyan yang kerap
didengungkan ialah “Kemajuan”. Pada periode ini pula, mulai munculnya kalangan
menengah yang dapat mengakses pendidikan Barat9. Selain itu, periode ini pula ditandai
dengan semakin meningkatnya jumlah sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Hal ini sejalan,
dengan gagasan Politik Etis.
Periode ini ialah periode kaum muda. Persinggungannya dengan pendidikan Barat,
membuat Kaum Muda membentuk kesadaran “nasional”. Mereka sebagai kalangan
pribumi di Hindia Belanda, dan bergerak bersama dalam situasi zaman yang mengalami

pergerakan pula. “Embrio Bangsa” ini ditemukan oleh Kaum Muda, dan segera menemui
alat kelembagaannya untuk mengungkapkan kesadaran “nasional”-nya. Alat itu adalah
surat kabar pribumi 10.
Selain munculnya orang-orang seperti Kartini, dalam artian sosok berpendidikan
Barat11, pada periode ini pun ditandai dengan berkembangnya industri di kota-kota besar di
Jawa. Berbanding lurus, dengan semakin banyak lahirnya kelas buruh terdidik yang kelak
menjadi penggerak Komunisme di Hindia Belanda.
Di lain pihak, proses pemiskinan penduduk pribumi terus mendera, karena beban
pajak dan proses pengalihan lahan. Hal ini, menjadi salah satu bentuk alasan mengapa
Sarekat Islam (SI) berkembang pesat pada periode ini.
Sampai disini, situasi zaman terus bergerak! Berbarengan dengan itu, Politik Etis
melahirkan ‘anak haram’-nya. Yakni, para pemuda terdidik dan tercerahkan. Dan sebagian
dari mereka, bergabung dengan SI, kemudian PKI.
8 Untuk pembahasan Kartini lihat Pramoedya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, (Jakarta:Lentera Dipantara,
2003).
9 Lihat Takashi Shiraisi Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997).
Selanjut ditulis Zaman Bergerak.
10 Opcit Shiraisi Zaman Bergerak. Hal. 40.
11 Opcit van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, hal.91


Sarekat Islam yang Memulai...
Sejarah mencatat, Sarekat Islam (SI) adalah organisasi muslim pertama yang memiliki
anggota begitu banyak. Pada zamannya, SI adalah organisasi Islam terbesar di Asia.
Kemunculan SI tak bisa dipisahkan dari peran para jurnalis pribumi dan pedagang batik.
Pada awal abad ke-20, persaingan antara pedagang batik Jawa dan Cina begitu
kentara. Hal ini, menjadi latar belakang terbentuknya Sarekat Dagang Islam 12 (SDI) –
perkumpulan para pedagang batik Jawa—di kota Bogor oleh pencetusnya, salah seorang
jurnalis, RM. Tirto Adhisoerjo13 dan Haji . Perubahan dari SDI menjadi SI, dikarenakan
faktor anggota yang lebih banyak bukan seorang pedagang, melainkan para abdi keraton dan
priyayi.
Atas prakarsa Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto 14, yang bertukar pendapat
mengenai organisasi, pada 10 September 1912, SDI resmi berubah menjadi SI. Untuk itu,
atas bantuan Tirto Adhisoerjo, anggaran dasar organisasi diubah. Kemudian, dengan bantuan
Tirto pula, SI diberitakan berdiri dan didaftarkan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada masa awal SI, pergulatan internal begitu keras. Bak bayi yang baru lahir, proses
tarik-menarik kepentingan begitu kuat. Antara para pedagang batik yang berpusat di
Surakarta dan para abdi keraton. Belum lagi, beberapa jurnalis yang bergiat di Semarang dan
Surabaya. Namun, dalam gulatan itu muncul sosok Tjokroaminoto. Di bawah
kepemimpinannya SI menjadi salah satu organisasi dengan jumlah anggota terbanyak.
Tjokro berhasil membangun SI menjadi organisasi yang bersifat nasional, dan

beragam tingkat sosial. Meskipun, para tokoh-tokoh pucuk organisasi dikuasai oleh kalangan
intelektual dan priyayi. Pesatnya SI, berbarengan dengan mulai mundurnya Boedi Oetomo,
yang dreken sebagai tonggak kebangkitan nasional. BO mengalami kemunduran disebabkan
oleh stagnansi organisasi yang dipelopori oleh para priyayi Jawa itu. Hal ini semakin
mendorong kemajuan SI, bisa dilihat melonjaknya anggota SI. Di sisi lain lain, sosok Tjokro
menjadi harapan bagi penduduk Jawa. Bahkan, sosok Tjokro kerap dipersonafikasi sebagai
Juru Selamat rakyat Jawa atau Ratu Adil.
12 Opcit Shiraishi Zaman Bergerak. Hal. 41-44.
13 Mengenai sosok Tirto Adhisoerjo dan sepak terjangnnya di dunia pers silakan lihat Pramoedya Ananta Toer
Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) dan Shiraisi Zaman Bergerak. Hal. 45
14 Ibid hal. 52-54

Zaman bergerak!
SI menjadi salah satu organisasi yang cukup diperhitungkan. Dengan jumlah yang
cukup besar, SI menjadi perhatikan khusus pemerintah kolonial Hindia Belanda. terlebih,
pada akhir abad ke-19, gagasan tentang Pan Islamisme sampai di Hindia Belanda. Hal ini
yang mendorong, SI tersengat. Dan menjadi faktor SI menjadi ‘agak’ radikal.
Yang menarik, sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap SI. Di bawah
kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg, yang memang dipengarahi pemikiran etis, SI
mendapat tempat dan dukungan. Hal ini tentu berbeda dengan sikap pemerintah kolonial

Hindial Belanda terhadap Indische Party15, yang digawangi oleh Douwes Dekker, Tjipto dan
Soerwardi.
Memang, pada tahun-tahun awal, SI bukanlah organisasi yang secara frontal
menentang pemerintah Hindia Belanda. Hal ini nampak dari ‘kerja sama’ dan hubungan yang
erat antara Tjokro dan Dr. Rinkes, salah satu pejabat birokrat pemerintah kolonial untuk
bagian pribumi.
Harus diakui, di bawah kepemimpinan Tjokro, SI menjelma menjadi organisasi
nasional. Yang memiliki cabang-cabang di sejumlah daerah, bahkan sampai di luar pulau
Jawa. Namun, cabang SI di Semarang memiliki cerita tersendiri. Oleh karena, cabang SI
Semarang yang kelak memainkan peranan penting dalam perpaduan Islam dan Komunisme.
SI terus berkembang, meskipun malu-malu. Di bawah kepemimpinan Tjokro, SI
diantara beberapa pilihan, ingin tetap bersikap moderat terhadap pemerintah kolonial, atau
radikal, yang menyerukan pemerintahan sendiri, bahkan kemerdekaan. Meskipun, pada tahun
1917, kongres di Batavia, sudah terjadi wacana ke arah sana. Namun, lagi-lagi, SI masih
malu-malu. Hal ini membuat sejumlah cabang-cabang kecewa, diantaranya cabang SI
semarang.
Di bagian internal, rupanya, kebijakan pembentukan cabang yang bersifat otonom
memperparah konflik antara SI pusat dan cabang. Di bagian ini pula, SI menjelma menjadi
dapur perdebatan antara Islam dan Komunisme16.

15 Ibid hal. 78
16 Ibid Hal. 343

Hantu Merah!
Hampir berbarengan, ide-ide tentang Komunisme-Sosialisme tiba di Hindia Belanda.
Tentu, dalam bagian ini kita tak bisa menghindar pada satu nama; Henk Sneevliet. Ia seorang
sosialis Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913. Selama di Hindia, Henk
bekerja sebagai wartawan di koran Soerabajaasch Handelsblad, Surabaya. Setelah beberapa
lama di Surabaya,Henk ditawari pekerjaan di Semarang oleh salah satu kawannya, DMG
Koch.
Di Semarang, Henk kembali bergairah. Ia menemukan VSTP, organisasi buruh kereta
api, yang telah berdiri sejak 1908. Tak butuh waktu lama, Henk ‘memanfaatkan’ VSTP untuk
‘berbagi’ pengetahuannya tentang Komunisme. Henk pun turut membantu penerbitan VSTP,
De Volharding. Sejarah mencatat, pada 1914, Henk bersama sekitar 60 kawannya mendirikan
Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), adalah perkumpulan Sosial-Demokrat
Hindia Belanda.
Bersama ISDV, Henk mulai menemukan ‘lahan’-nya. Meskipun, pada tahun 19141916, ISDV hanya perkumpulan yang beranggotakan tak terlalu banyak. Namun,
perkumpulan ini menjadi tempat yang begitu ‘radikal’ pada zamannya. Mengingat, Henk
adalah anggota SDAP (Partai Buruh Sosial demokrat) di negeri Belanda.
Momentum itu tiba. Pada Maret 1917, Henk mendapat berita yang luar biasa.
Revolusi Bolshevik, di Rusia berhasil. Dengan segera ia menyampaikan kabar ini. Henk
menulis sebuah artikel bertajuk “Zegepraal” atau “Kemenangan” yang dimuat di harian De
Indiers, milik Insulinde. Artikel Henk mengajak penduduk Jawa untuk mengikuti apa yang
terjadi di Rusia. Apa yang terjadi di Rusia,di bawah komando Lenin dan Trotsky, semakin
meyakinkan Henk dengan jalan-jalan revolusioner. Dan hal ini, semakin mendorong Henk
untuk membuat partai revolusioner demi memimpin jalannya revolusi proletar di Hindia
Belanda17. Henk terus mengabarkan dan mendidik tentang Komunisme.
Henk menjadi aktor intelektual di balik tokoh-tokoh muda radikal, seperti Semaoen,
Darsono dan Mas Marco Kartodikromo. Atas kerja Henk pula, beberapa Garda Merah di
bentuk; di kalangan buruh sampai petani. Bagi Henk, buruh dan petani adalah sokoguru
revolusi18. Karena aktivitas politiknya, Henk diseret ke pengadilan. Pemerintah kolonial
17 Lihat Ruth T. McVey Kemunculan Komunisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010). Hal. 59
18 Lihat Majalah Historia No.13/2013 edisi tentang Henk Sneevliet.

Hindia Belanda geram. Ia dituduh atas pasal-pasal penghasutan. Henk di bawah ke
persidangan. Persidangan ini menjadi perhatian besar kalangan pergerakan.
Akhirnya, Henk divonis bersalah dan di usir dari Hindia Belanda. Murid
intelektualnya, Semaoen dan Darsono, terpukul. Tetapi, ini menjadi titik tolak dimana kedua
anak muda itu, Semaoen dan Darsono, menjadi penggerak Komunisme di tubuh Sarekat
Islam.
Episode Henk selesai. Tapi cerita belum usai. Kebijakan infiltarsi kalangan ISDV di
tubuh SI dilakoni. Beberapa tokoh ISDV, macam Semaoen, Darsono sampai Marco menjadi
pimpinan di SI Semarang. Marco menjadi pejuang pena di bawah harian Sinar Hindia. Pada
bagian ini, persentuhan dan perseteruan antara Islam dan Komunisme dimulai.
Sosok Semoen19 menjadi aktor utama. Ia pemimpin SI Semarang. Salah satu cabang
SI terkuat dan terkemuka, selain CSI Surabaya, di bawah kepemimpinan Tjokro. SI
Semarang di bawah Semoen radikal. Dalam waktu setahun, keanggotaan SI Semarang
mencapai 20.000 anggota, pada tahun 1917. Semaoen seorang propagandis. Ia penulis yang
berbakat. Ia seorang organisatoris ulung. Tak heran, Semoen murid binaannya Henk.
Pada diri Semaoen, Henk berharap banyak. Pola infiltasi ke tubuh SI menjadi sebuah
gagasan yang sangat brilian. Bak gayung bersambut, radikalisasi SI Semarang, menjadi
tekanan tersendiri bagi CSI dibawah Tjokro. Menarik, sosok Tjokro yang sinkretis, tak
menampik ide-ide yang digaungkan oleh Semaoen dan SI Semarang.
Pada tahun 1916, isu mengenai pembentukan Dewan Rakyat Hindia (Volskraad)
menjadi sebuah cerita tersendiri di tubuh SI. Tjokro memandang Volskraad sebagai jalan
menuju kemerdekaan. Namun, di sisi lain, Semaoen dan SI Semarang mencemoohnya.
Bagian pertama perseteruan antara CSI dan cabang SI Semarang dimulai. Antara
kepemimpinan Tjokro dan sosok Semaoen, antara Islam dan Komunisme.
Satu isu lagi, yang menjadi sebuah persentuhan dan perseteruan antara CSI dan SI
Semarang... antara Islam dan Komunisme, yakni rencana pemerintah kolonial membentuk
pasukan pertahanan milisi sipil warga Hindia Belanda (Indie Werbaar). Sebetulnya, ide ini di
latar belakangi oleh keadaan global, yakni Perang Dunia I. Ketakutan Belandaakan
keterdesakan negaranya. Pemerintah Belanda sadar betul, bahwa membentuk milisi dengan
19 Lihat Dewi Yuliati, Semoen: Pers Boemiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang (Semarang: Bendera,
2000), 53. Selanjtnya ditulis Semaoen.

warga sipil di Hindia Belanda adalah jalan keluar, yang bebas biaya. Namun, ini di tentang
oleh SI Semarang. Baginya, melalui tulisan Semaoen dan Marco, Indie Werbaar adalah cara
pemerintah kolonial menumbalkan rakyat pribumi dalam kepentingan kapitalistik mereka.
Setidaknya, dua isu itu menghadirkan sebuah kenyataan sejarah, yakni perseteruan
antara CSI dan SI Semarang. CSI yang cenderung moderat dan kopetatif dengan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sementara SI Semarang yang cenderung ke-kiri-an.
Selain itu, beberapa persoalan internal SI menjadi bahan perseteruan. Salah satunya,
soal cara kepemimpinan Tjokro. Salah satunya, Darsono, satu dari dua muri Henk ini,
menuduh Tjokro menggelapkan dana organisasi. Dengan gamblang, Darsono menjelaskan di
kongres kedua di Batavia. Tjokro menampik. Tapi, anak muda, Darsono, semakin garang
mengkritik. Ini titik didih perseteruan antara CSI dan SI Semarang20.
Perseteruan terus berlanjut. Semakin memanas. Semaoen dan kawan-kawan SI
Semarang semakin berani melakukan kritik pada CSI. Kali ini, SI Semarang dengan terangterang mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada kongres di bulan Maret 1921, SI
Semarang membuat pernyataan, “Sarekat Islam sepakat bahwa kejahatan penindasan secara
nasional dan ekonomi merupakan produk kapitalisme, karenanya rakyat koloni ini harus
bebas dari kejahatan tersebut, berjuang melawan kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan
kekuatan dan kemampuan, terutama melalui serikat buruh dan tani21”.
Hal ini menunjukkan kecenderungan ke arah ide komunis. Artinya, agitasi dan
propaganda Semaoen dan kawan-kawan SI Semarang berhasil. Tapi, ini juga menjadi puncak
perseteruan. Islam dan Komunisme.
Sebelumnya, pada tahun 1919 adalah cerita tersendiri dalam tubuh SI. Ketika terjadi
peristiwa Afdeling B yang di pimpin oleh Haji Hasan dari Garut. Ia salah satu pemimpin SI
Jawa Barat. Ia dan pengikutnya menolak membayar pajak padi dan beujung pada kerusuhan
berdarah. Peristiwa ini melihatkan sel-sel komunis dalam SI.
Peristiwa Afdeling B berbuntut panjang. Pemerintah kolonial antipati pada SI,
terutama Tjokro. Pada tahun berikutnya, Tjokro di penjara. Ia di vonis bertanggung jawab
atas kerusuhan berdarah itu. Tjokro di penjara. Kepemimpinan di kuasai oleh Haji Agus
Salim, salah satu kader SI Yogyakarta, orang kepercayaan Tjokro.
20 Opcit .. Shiraisi Zaman Bergerak. Hal. 308
21 Opcit ... McVey Kemunculan Komunisme. Hal. 162

Haji Agus Salim, mencanangkan suatu kebijakan ketika Tjokro di tahan. Ia berusaha
untuk membersihkan unsur-unsur komunis pada tubuh SI. Kebijakan ini terkenal dengan
istilah “Disiplin Partai”. Dari dalam penjara, Tjokro menolak kebijakan kawannya itu. I
yakin, sebagai seorang yang sinkretis, bawah Komunisme dan Islam adalah sejalansepengiringan, itu ditulis Tjokro dalam booklet berjudul Islam dan Sosialisme. Tapi, tidak
untuk Haji Agus Salim.
Kongres SI pada Oktober 1921, dengan tegas Haji Agus Salim membersihkan unsurunsur komunis di tubuh SI. Dan, yang terpenting, ia melarang anggota-anggota yang
mengikuti beberapa organisasi selain SI.
Kemudian, SI Semarang menjadi Partai Komunis Indonesia.

Sarekat Islam: Islam dan Komunisme, Tunggang-Menunggangi...
Di awal abad ke-20, dunia tengah mengalami guncangan. Perang dimana-mana, dan
krisis melanda. Tak terkecuali Hindia Belanda. Sebagai negeri jajahan, Hindia Belanda, yang
tereksploitasi secara materil dan non-materil, ditambah krisis yang melanda, memperparah
keadaan kehidupan penduduk pribumi. Arus kapitalisme di Hindia Belanda semakin
memperparah. Dalam keadaan seperti inilah, Henk muncul dengan membawa gagasan dan
ide tentang Komunisme.
Terlebih, pada tahun 1917, angin revolusi proletar menderu dari Rusia. Ini semakin
meyakinkan sejumlah tokoh Sosial-Demokrat, diantaranya Henk, dengan jalan-jalan
revolusioner. Tak terkecuali untuk di Hindia Belanda.
Proses kelahiran SI, mungkin berbarengan dengan keadaan yang menghimpit itu.
memang, SI diprakarsai oleh kalangan intelektual dan pedagang batik, tetapi mayoritas
anggotanya adalah penduduk pribumi yang melarat. Tentu, mereka berharap banyak dengan
SI. Tjokro adalah manifestasi dari juru selamat atau ratu adil.
Di bawah kepemimpinan Tjokro, SI dengan ideologi Islam bukanlah tatanan yang
ideal. Penuh sikap kompromistis dan cenderung moderat. Hal ini nampak dari bagaimana
Tjokro memandang gagasan ‘pemerintah sendiri’ (Self goverment). Jalan pikiran Tjokro yang
parlementer, mempertegas corak ideologi SI itu sendiri. Artinya, SI tak memiliki kepercayaan
diri untuk memerdekakan penduduk pribumi. Artinya, lagi, kesusahan hidup penduduk

pribumi masih harus dialami. Pada titik ini, Komunisme coba di tawarkan. Melalui sosok
Henk dan para murid intelektualnya, Semoen dan kawan-kawan SI Semarang.
Komunisme, dengan Marxisme sebagai pedoman pikiran, terbukti ampuh
membangkitkan kesadaran ketertindasan penduduk pribumi. Benar, tak menjadi soal pengikut
SI Semarang atau PKI mengerti tentang Komunisme/Marxisme atau tidak. Setidaknya, SI
Semarang atau PKI memberikan sebuah harapan kemerdekaan.
Pada titik ini, kita bisa memahami sosok Haji Miscbah. Seorang mubalig yang dikenal
taat beribadah dan kerap mengutip kitab suci, menerima bahwa Komunisme sebagai alat
pembebasan ketertindasan. Baginya, Islam dan Komunisme tak bisa dipisahkan, bagi
kemerdekaan penduduk Hindia Belanda. Oleh sebab itu, Haji Misbah begitu mahir mengutip
ayat Al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad dan mensejajarkan dengan paham-paham
Marxisme22.
SI, di bawah kepemimpinan Tjokro dan Haji Agus Salim memang sebuah cerita yang
unik, sekaligus paradoksal. Atau memang, ‘zaman pergerakan’ adalah paradoks? Yang jelas,
dengan kebijakan disiplin partainya, Haji Agus Salim mencoba membersih SI dari unsur
Komunisme. Tentu, seberapa jauh ketidakpuasan dan pandangan elektik-sinkretik kedua
tokoh itu tersebut dalam memandang Islam dan Komunisme. Lagi-lagi, terdengar paradoks.
Contoh yang menarik tentang tunggang-menunggangi antara Islam dan Komunisme
adalah peristiwa pemberontakan Komunis pada tahun 1926 di Banten. Masuknya
Komunisme di Banten cenderung terlambat. Tetapi, Komunisme justru di terima baik disana,
meskipun sebagian masyarakat Banten muslim yang fanatik.
Menurut Michael C William, Islam-Komunisme di terima baik di Banten, di
karenakan memang tindakan kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. artinya,
Islam-Komunisme di jadi satu alat untuk mempertentangkan pemerintah kolonial23. Hal ini
menjadi menarik, lagi-lagi sebagaimana teah ditelaah diatas, bawah sebetulnya pada masa itu
ajaran Komunisme/Marxisme tak menjadi soal mengerti atau tidak, yang pasti
Komunisme/Marxisme beserta Islam di jadikan alat untuk mempertentangkan pemerintah
kolonial.
22 Opcit... Takashi Zaman Bergerak. Hal. 344
23 Lihat Michael C William Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis di Banten 192,(Yogyakarta: Syarikat,
2003) 6-7.

Jika di Surakarta kita mengenal Haji Misbach, seorang ulama yang taat beribadah
namun menerima Komunisme, maka di Banten ada sosok Kyai Haji Achmad Chatib. Ia
adalah pemimpin dan pemeran penting dalam pemberontakan Komunis di Banten pada tahun
1926. Ia beserta kawannya, Ahmad Basaif dan Tubagus Alipan, menjadi sosok yang
mengombinasikan Islam dan Komunisme di Banten pada pemberontakan tahun 1926.
Ini menunjukkan, Islam-Komunisme, pada suatu masa tertentu dapat beriringan dan
sejalan, tanpa mempertentangkannya.

Dan, Islam-Komunisme...
Pada 23 Mei 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri. PKI menjadi generator jalannya
revolusi di Hindia Belanda. Pada tahun 1926, atau biasa dikenal dengan keputusan Pramban,
November 1925.
Revolusi yang dicanangkan oleh Semaoen dan kawan-kawan memang gagal.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda masih berdiri. Bahkan setelah itu, para komunis dan
setengah-komunis di buang ke Boven Digul. Dan setalah itu, jawara pergerakan di paksa
tiarap untuk mengepalkan tangan untuk meneriakkan kata; “lawan!”.
Komunisme di Indonesia memiliki cerita tersendiri. Dan cerita itu kerap
bersinggungan dengan Islam. Tak heran, jika kita baca riwayat hidup beberapa tokoh
komunis, semisal Tan Malaka atau DN Aidit, yang dianggap komunis tulen, rupanya mereka
(dulu) seorang muslim yang taat. Tan kerap belajar di surau saban magrib. Aidit dikenal
sebagai muazin di surau dekat rumahnya.

Belum lagi, beberapa peristiwa pemberontakkan pada tahun 1926 di sejumlah wilayah. Yang
digerakkan oleh sel-sel Komunise, namun para penggeraknya seorang pemimpin Islam, itu
yang terjadi di Banten.
Kemudian, dalam tubuh SI, dikotomi antara “Putih” dan “Merah” menjadi sebuah
kekeliruan, jika kita tak memperhatiakn konteks zaman. Persolan “Putih” dan “Merah” di
tubuh SI menunjukkan terjadinya proses dialektika sebuah gagasan pada suatu zaman;

pergerakan. Hal ini yang perlu diperhatikan. Bukan perseteruan abadi antara “Putih” dan
“Merah”.
Pada bagian ini, rupanya, sosok Soekarno muncul untuk menerangkan dikotomi
“Putih” dan “Merah” itu melalui tulisannya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang
ditullis secara tiga periode 1926/192724. Soekarno menjelaskan, bahwa ketiga gagasan dan ide
itu mesti dalam satu ‘kapal’, yakni persatuan.
Melalui tulisan Soekarno itu, kita harus melihat, dikotomi antara “Putih” dan “Merah”
bukan sebagai dua entitas ideologis yang selalu bersetereu. Pada suatu masa, mungkin bisa
saja benar, dan itu yang terjadi pada tubuh SI di bawah kepemimpinan Tjokro. Artinya,
sejarah mencatat, bahwa persentuhan dan perseteruan antara Islam dan Komunisme pada
tubuh SI mesti dilihat sebagai proses dialektika zaman. []

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
van Niel, Robert, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
_____________, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: LP3ES, 2003.
McVey, Ruth. T, Kemunculan Komunisme Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu,
2010.
Toer, Pramoedya Ananta, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
____________________, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985.
William, Michael C, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis di Banten 192,
Yogyakarta: Syarikat, 2003.
Kasenda, Peter, Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan
Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014.

24 Lihat Peter Kasenda Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2014). Hal. 14

Shiraisi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Yuliati, Dewi, Semoen: Pers Boemiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang,
Semarang: Bendera, 2000.
Mulyana,Slamet, Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemedekaan jilid 1,
Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008.
Carey, Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Penerbit
Kompas, 201.
K. Pringgodigdo, A, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta : PT. Dian Rakyat,
1994.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, 2008.
Majalah:
Historia No.13/2013 edisi tentang Henk Sneevliet.