Upaya Hukum Perdata badan hukum perdata

Bab I
Pendahuluan
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang dikenal sebagai penggugat
dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa dirugikan haknya, maka ia akan membuat
surat gugatan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setempat yang berwenang dan
kemudian oleh pengadilan negeri disampaikan kepada pihak tergugat. Dalam hal surat
gugatan yang telah didaftarkan oleh penggugat, maka penggugat dapat melakukan perubahan
gugatan. Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam
hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam hal ini,
baik hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang penggugat untuk
mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap mengedepankan nilai-nilai
hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1
Yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan
hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan
dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undangundang.
Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dua upaya yang
dapat ditempuh:
(1) Upaya hukum biasa, yaitu meliputi:
(a) Verzet;

(b) Banding; dan
(c) Kasasi
(2) Upaya hukum luar biasa:
(a) Derden Verzet; dan
(b) Herziening (Peninjauan Kembali).
(c) Kasasi demi kepentingan hukum
Bab II
Pembahasan
1 Hukum Acara Perdata, http://www.hukumacaraperdata.com/tag/pengajuan-gugatan/page/2/ diakses Sabtu,
tanggal 28/04/2015 pukul 20.31 WIB.

1

A. Upaya Hukum Biasa
1. Verzet
a. Pengertian Verzet
Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan
oleh pengadilan tingkat pertama, yang diajukan oleh tergugat yang diputus verstek
tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke pengadilan yang memutus itu
juga.

Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada
umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dengan putusan verstek
tersedia upaya hukum banding.
Jadi apabila terhadap tergugat dijatuhkan putusan verstek, dan dia
keberatan atasnya, tergugat dapat mengajukan perlawanan (verzet), bukan upaya
banding. Terhadap putusan verstek, tertutup upaya banding, oleh karena itu
permohonan banding terhadapnya cacat formil, dengan demikian tidak dapat
diterima. Dalam Putusan MA ditegaskan bahwa permohonan banding yang
diajukan terhadap putusan verstek tidak dapat diterima, karena upaya hukum
terhadap verstek adalah verzet.
Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti
bahwa tergugat berupaya melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek dengan tujuan agar putusan itu dilakukan
pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan
kontradiktor dengan permintaan agar putusan verstek dibatalkan serta sekaligus
meminta agar gugatan penggugat ditolak.
Dengan demikian, tujuan verzet memberi kesempatan kepada tergugat untuk
membela kepentingannya atas kelalaian menghadiri persidangan di waktu yang
lalu.
b. Dasar Hukum Verzet

Dasar hukum verzet adalah pasal 129 HIR/153 Rbg, yang memberi
kemungkinan bagi tergugat/para tergugat yang dihukum verstek untuk
mengajukan verzet atau perlawanan. Dengan ketentuan, kedua perkara tersebut
(verstek dan verzet) tersebut dijadikan satu dan diberi nomor, sedapat mungkin
perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang melakukan pemeriksaan
perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa harus memeriksa gugatan
yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar
mengacu pada SEMA NO.9 tahun 1964.
2

Apabila telah dijatuhkan putsan verstek dan ternyata penggugat
mengajukan banding, maka tergugat tidak dapat mengajukan verzet, melainkan ia
boleh mengajukan banding. Tetapi, jika penggugat tidak mengajukan banding,
maka tergugat tidak boleh mengajukan banding, melainkan boleh mengajukan
verzet.
c. Syarat Acara Verzet
Menurut pasal 129 ayat (1) dan pasal 83 Rv, yang berhak mengajukan
perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak
diberi hak mengajukan perlawanan, dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak
ketiga. Perluasan atas hak yang dimiliki tergugat untuk mengajukan perlawanan

meliputi ahli warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan
tergugat meninggal dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang tidak hadir
disebut pelawan dan penggugat yang hadir disebut terlawan.
Dalam
praktek
peradilan,
apabila
tergugat

yang

diputus

dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan satu dan
dalam register diberi satu nomor perkara.
Penggugat yang diputus verstek, bisa mengajukan banding, bila ia tidak
diterima oleh karena gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak. Bila
penggugat yang diputus verstek banding, maka tergugat yang tidak hadir tidak
bisa verzet. Tenggang waktu mengajukan perlawanan (verzet) adalah 14 hari
setelah diberitahukan dan diterimanya putusan verstek oleh tergugat. Jika putusan

itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka perlawanan masih diterima
sampai pada hari ke-8 sesudah peneguran atau dalam hal tidak hadir sesudah
dipanggil dengan patut sampai pada hari ke-14, ke-8 sesudah dijalankan surat
perintah.
Kemudian

ketika

perkara verzet disidangkan

dan

tergugat

dikalahkan

dengan verstek lagi maka tergugat tidak dapat mengalah dengan banding. Dalam
praktik verzet ini harus diberitahukan atau dinyatakan dengan tegas dan bila tidak
maka pernyataan verzet bersangkutan dinyatakan tidak dapat diterima.
d. Proses Pemeriksaan Verzet

Ada tiga cara dalam proes pemeriksaan diantaranya:
1) Perlawanan diajukan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek. Agar
permintaan perlawanan memenuhi syarat formil, maka:
a) Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya;
b) Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek sesuai batas
tenggang waktu yang ditentukan; dan
3

c) Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain,
selain daripada penggugat semula.
2) Perlawanan terhadap verstek bukan perkara baru.
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan semula maka perlawanan bukan perkara baru, akan tetapi merupakan
bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan
putusan verstek yang dijatuhkan, keliru atau tidak benar. Sedemikian eratnya
kaitan perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan komposisi pelawan
sama persis dengan tergugat asal dan terlawan adalah penggugat asal.
3) Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kembali.
Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek
sendirinya


putusan verstek menjadi mentah kembali

maka

yaitu

dengan

ekstensinya

dianggap tidak pernah ada sehingga putusan verstek tidak dapat dieksekusi.
Ekstensi putusan verstek bersifat relatif dan mentah selama tenggang
waktu verzet masih belum terlampaui. Secara formil putusan verstek memang
ada, tetapi secara materiil, belum memiliki kekuatan eksekutorial.
e. Bentuk Putusan Verzet
1) Verzet tidak dapat diterima
Dasar alasan bagi hakim menjatuhkan bentuk putusan demikian yaitu :
a) Apabila tenggang waktu mengajukan verzet yang ditentukan Pasal 129
ayat (1) HIR, telah dilampaui;

b) Dalam kasus yang seperti itu, gugur hak mengajukan verzet dengan akibat
hukum: tergugat dianggap menerima putusan verstek sekaligus tertutup
hak tergugat mengajukan banding dan kasasi, dengan demikian
putusan verstek memperoleh kekuatan hukum tetap;
c) Dalam bentuk yang menyatakan verzet tidak dapat diterima, harus
dicantumkan amar berisi penegasan menguatkan putusan verstek, sehingga
amarnya berbunyi:
 Menyatakan pelawan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan


yang salah;
Menyatakan perlawanan (verzet) dari pelawan tidak dapat diterima;



dan
Menguatkan putusan verstek.

2) Menolak verzet perlawanan
Diktum putusan verzet mesti berisi :

a) Menyatakan pelwan sebagai pelawan yang tidak benar;
b) Menolak perlawanan pelawan; dan
4

c) Menguatkan putusan verstek.
3) Mengabulkan perlawanan
Terlawan sebagai penggugat asal, tidak mampu membuktikan dalil gugatan.
Sehubungan dengan itu,diktumnya memuat pernyataan:
a) Menyatakan sebagai pelawan yang benar;
b) Mengabulkan perlawanan pelawan;
c) Membatalkan putusan verstek; dan
d) Menolak gugatan terlawan.
2. Banding
a. Pengertian Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa dari pihak yang merasa
tidak puas dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan dapat diajukan dalam
tenggang waktu 14 hari sejak tanggal putusan itu diberitahukan kepada para pihak
dan diajukan kepada Pengadilan Tinggi (Pengadilan tingkat banding) melalui
Pengadilan tingkat pertama yang memutuskan perkara tersebut. Secara singkat,
banding adalah proses menentang keputusan hukum pada pengadilan tingakat

pertama untuk mendapatkan keadilan.
Latar belakang upaya hukum banding adalah bahwa hakim adalah manusia
biasa yang dikhawatirkan membuat kesalahan dalam menjatuhkan keputusan.
Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan
permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.
b. Dasar Hukum Banding
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura)
dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura).
Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang
Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan
diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan
Madura.
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan
pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan
upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.
c. Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Banding
Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding adalah sebagai berikut:
5

1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara;

2) Diajukan dalam masa tenggang waktu banding;
3) Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding; dan
4) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo;
Untuk pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang
berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak mengajukan banding
(pasal 6 UU No. 20/1947), kecuali kuasa hukumnya.
d. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Banding
Untuk masa tenggang waktu pengajuan banding di tetapkan sebagai berikut: bagi
pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang putusannya
dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya 14 (empat belas) hari
terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan. Sedangkan bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum
Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa
bandinya ialah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari
pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. (pasal 7 UU No. 20/1947).
e. Prosedur Mengajukan Permohonan Banding
1) Dinyatakan di hadapan Panitera Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut
dijatuhkan, dengan terlebih dahulu membayar lunas biaya permohonan
banding;
2) Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No.
20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya;
3) Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan
tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera
dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk
Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata;
4) Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan
paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima;
5) Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di
Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari;
6) Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori
banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori
banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya
sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan
MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975); dan

6

7) Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang
belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding
masih diperbolehkan.

f. Mencabut Permohonan Banding
Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi /Pengadilan
Tinggi Umum, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.
Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi maka:
1) Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan yang bersangkutan;
2) Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan
banding;
3) Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu
banding berakhir; dan
4) Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada PTN.
Sedangkan apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada PTN,
maka:
1) Pencabutan banding disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung
ke PTN;
2) Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA maka pencabutan itu segera
dikirimkan ke PTN;
3) Apabila permohonan banding belum diputus maka PTN akan mengeluarkan
“penetapan”

yang

isinya,

bahwa

mengabulkan

pencabutan

kembali

permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara
banding;
4) Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan;
dan

7

5) Apabila pemohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan”
tersebut. Pencabutan banding itu tidak diperlukan persetujuan dengan pihak
lawan.

3. Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh
salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan
Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas
dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau
membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan di bawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan
tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung
kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai
hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya
(judex juris) sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap
sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.
Sedangkan pengertian pengadilan kasasi ialah Pengadilan yang memeriksa
apakah judex factie tidak salah dalam melaksanakan peradilan. Upaya hukum
kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN dibatalkan
oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia arti kasasi adalah sebagai berikut, “Pembatalan atau pernyataan
tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu, menyalahi atau
tidak sesuai dengan undang-undang”.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hak kasasi hanyalah hak MA,
sedangkan menurut kamus istilah hukum, kasasi memiliki arti sebagai berikut:
“Pernyataan tidak berlakunya keputusan hakim yang lebih rendah oleh MA, demi
kepentingan kesatuan peradilan”.
8

b. Dasar Hukum Kasasi
Kasasi diatur dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No.
8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi, “Kasasi merupakan pembatalan atas keputusan Pengadilanpengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana
menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang
bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana
yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan”.

c. Alasan-Alasan Mengajukan Permohonan Kasasi
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain:
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. Tidak keberwenangan
yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan,
sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan
melebihi yang diminta dalam surat gugatan;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Yang dimaksud disini
adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum
materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang
dilakukan oleh judex factie salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum
yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut
tidak tepat dilakukan oleh judex factie; dan
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.

d. Syarat-Syarat Permohonan Kasasi
9

Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu
sebagai berikut:
1) Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi;
2) Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi;
3) Putusan atau penetapan PA dan PTA/PTU/PTN, menurut huku dapat
dimintakan kasasi;
4) Membuat memori kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985);
5) Membayar panjar biaya kasasi (pasal 47); dan
6) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan.

e. Alasan-Alasan Kasasi
MA merupakan putusan akhir terhadap putusan Pengadilan Tingkat
Banding, atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan. Ada beberapa
alasan bagi MA dalam tingkat kasasi untuk membatalkan putusan atau penetapan
dari semua lingkungan peradilan, diantarannya ialah sebagai berikut:
1) Karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan
3) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
(pasal 30 UU No. 14 /1985).
Suatu penetapan PTA/PTU/PTN?PA yang menurut hukum tidak dapat
dimintakan banding, maka dapat dimintakan kasasi ke MA dengan alasan-alasan
tersebut di atas. Untuk suatu putusan PA yang telah dimintakan banding kepada
PTA/PTU/PTN, maka yang dimintakan kasasi adalah keputusan PTA tersebut,

10

karena adanya banding tersebut berarti putusan PA telah masuk atau diambil alih
oleh PTA/PTU/PTN.

f. Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi
yaitu, 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985).
Apabila 14 (empat belas) telah lewat tidak ada permhonan kasasi yang diajukan
oleh pihak yang bersangkutan maka dianggap telah menerima putusan (pasal 46
ayat (2) UU No. 14/1985). Pemohon kasasi hanya dapat diajukan satu kali (pasal
43 UU No. 14/1985).

g. Prosedur Mengajukan Permohonan Kasasi
1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis
atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut
dengan melunasi biaya kasasi;
2) Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan
hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas
(pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985);
3) Paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera
Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal
46 ayat (4) UU No. 14/1985);
4) Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku
daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasanalasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985);
5) Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan
paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985);
6) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu
14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU
No. 14/1985); dan

11

7) Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30
hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada
Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985).

h. Mencabut Permohonan Kasasi (pasal 49 UU No. 14/1985)
Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh MA maka permohonan tersebut
dapat dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak
lawan, apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka:
1) Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan, baik secara tertulis
maupun lisan;
2) Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan
Kasasi;
3) Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang
waktu kasasi belum habis; dan
4) Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke MA.
Apabila berkas perkara sudah dikirimkan kepada MA, maka:
1)

Pencabutan disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke
MA;

2) Apabila pencabutan disampaikan melalui PA, maka pencabutan segera
dikirimkan kepada MA;
3) Apabila permohonan kasasi belum diputuskan, maka MA akan mengeluarkan
penetapan yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali
perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi; dan
4) Apabila permohonan kasasi telah diputuskan, maka pencabutan kembali tidak
mungkin dikabulkan.
12

13