Zaman Feodal Akhir Sejarah Jepang

Zaman Feodal Akhir Sejarah Jepang
Zaman Edo / Zaman Tokugawa (1603-1867)
Oleh : I Made Wirawan Saputra
Vegy Januarika
1. Pendahuluan
Zaman Edo adalah salah satu pembagian periode pada sejarah jepang yang dimulai sejak
shogun pertama Tokugawa Ieyasu mendirikan keshogunan Tokugawa di Edo yang berakhir
dengan pemulihan kekuasaan kaisar dari tangan shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu sekaligus
mengakhiri keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun. Zaman Edo juga disebut
sebagai awal zaman modern di Jepang.
Keshogunan Tokugawa adalah pemerintahan diktator militer feodalisme di jepang yang
didirikan oleh Tokugawa Ieyasu dan secara turun temurun dipimpin oleh shogun keluarga
Tokugawa.
Masa pemerintahan keshogunan Tokugawa inilah yang disebut dengan zaman Edo,
karena pada masa itu ibu kota jepang terletak di Edo atau sekarang Tokyo. Keshogunan
Tokugawa dimulai pada tanggal 24 Maret 1603 dengan pengangkatan Tokugawa Ieyasu sebagai
Sei-i Taishogun (Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi) dan berakhir ketika Tokugawa
Yoshinobu mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar Taisei Hōkan pada tanggal 9 Novemeber
1867.
2. Perang Sekigahara
Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran yang terjadi antara pihak Toyotomi

Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu pada tanggal 21 Oktober 1600 di Sekigahara, distrik
Fuwa, provinsi Mino, Jepang. Pertempuran melibatkan pihak yang dipimpin oleh
Tokugawa Ieyasu dan Ishida Mitsunari sehubungan perebutan kekuasaan sesudah
wafatnya Toyotomi Hideyoshi.
a. Perselisihan di dalam pemerintahan Toyotomi
Pemerintahan Toyotomi yang berhasil menjadi pemersatu Jepang menyangkal
keberadaan pertentangan tajam antara faksi bersenjata bentukan pemerintah dan pihak
birokrat yang terdiri dari pejabat pengatur kegiatan beragama, ekonomi dan
pemerintahan. Faksi bersenjata terdiri dari komandan militer pro klan Toyotomi yang
pernah diturunkan di garis depan perang penaklukan Joseon. Bentrokan langsung antar
faksi bersenjata dan pihak birokrat dapat dicegah oleh Toyotomi Hideyoshi dan adik
kandungnya yang bernama Toyotomi Hidenaga.
Pertentangan menjadi semakin panas setelah pasukan ditarik mundur dari Joseon
dan wafatnya Toyotomi Hidenaga pada tahun 1591. Di akhir hayatnya, Toyotomi

Hideyoshi mengambil sumpah setia para pengikut loyal yang terdiri dari dewan lima
menteri dan lima orang pelaksana administrasi untuk membantu pemerintahan yang
dipimpin oleh Toyotomi Hideyori. Pertentangan di kalangan militer pengikut Hideyoshi
mencuat kepermukaan sejak wafatnya Toyotomi Hideyoshi pada bulan agustus 1958 di
istana Fushimi.

Tokugawa Ieyasu merupakan salah satu anggota dari dewan lima menteri yang
menjadi tokoh berpengaruh . Ieyasu mengatur pembagian wilayah untuk para daimyo
berikut nilai kokudaka untuk setiap wilayah. Ieyasu juga menghapus pelarangan ikatan
perkawinan di antara keluarga para daimyo yang berlaku di zaman pemerintahan
Hideyoshi. Maeda Toshiie yang bertentangan dengan Tokugawa Ieyasu juga diharuskan
menandatangani perjanjian non-agresi dengan Ieyasu.
Setelah Maeda Toshiie wafat di bulan maret tahun berikutnya (1599), bentrokan
bersenjata terjadi antara faksi birokrat pimpinan Ishida Mitsunari dan faksi bersenjata
pimpinan kelompok Kato Kiyomasa, Fukusima Masayori dan 7 komandan militer.
Kemudian berakhir dengan dipecatnya Ishida sebagai anggota pelaksana pemerintahan
dan dikenakan tahanan rumah di istana Sawayama.
Kekuatan penentang Tokugawa Ieyasu tamat dengan habisnya karir politik Ishida
Mitsunari dan kepulangan para anggota dewan lima menteri ke daerah masing-masing.
Tokugawa Ieyasu yang tidak lagi mempunyai lawan politik memimpin pasukan dari
istana Fushimi untuk berangkat ke Osaka dan memimpin pemerintahan dari istana Osaka.
Tokugawa Ieyasu kemudian berusaha merebut kekuasaan pemerintah dengan cara
memanfaatkan pertentangan antara faksi militer dan faksi birokrat di dalam pemerintah
Toyotomi yang semakin melemah.
b. Pemicu peperangan
Akibat terungkapnya rencana pembunuhan Tokugawa Ieyasu yang didalangi

Maeda Toshinaga (putra pewaris Maeda Thosiie), anggota dewan lima pelaksana
pemerintahan yang terdiri dari Asano Nagamasa, Ono Harugana, dan Hijikata Katsuhisa
ikut menjadi tersangka sehingga dipecat dan dikenakan tahanan rumah. Pasukan
Toyotomi yang di bawah perintah Ieyasu berusaha memenangkan Maeda Toshinaga yang
dituduh sebagai dalang pemberontakan. Atas tuduhan pemberontakan ini, Maeda
Toshinaga menunjukkan bahwa dirinya merupakan pengikut pemerintah Toyotomi yang
setia dengan memberikan ibu kandungnya Hoshun-in (Matsu) kepada Ieyasu untuk
disandera.
Memasuki tahun 1600, Tokugawa Ieyasu menggunakan kesempatan kaburnya
Fujita Nobuyoshi (mantan pengikut klan Uesugi) untuk mengkritik Uesugi Kagekatsu
penguasa Aizu yang telah memperkuat diri secara militer. Ieyasu juga memperingatkan

kemungkinan Uesugi Kagekatsu bertujuan menyerang Kyoto sekaligus meminta
Kagekatsu untuk datang ke Kyoto untuk menjelaskan duduk persoalan.
Penasehat Kagekatsu yang bernama Naoe Kanetsugu menolak tuduhan Ieyasu,
tapi pasukan pemerintah Toyotomi mulai menyerang posisi Kagekatsu. Tokugawa Ieyasu
yang ditunjuk sebagai penglima gabungan pemimpin pasukan para daimyo yang loyal
terhadap Toyotomi untuk menuju ke wilayah Uesugi di Aizu.
Sepeninggal Ieyasu yang berangkat ke Aizu, Ishida Mitsunari yang selesai
dikenakan tahanan rumah kembali berkelompok dengan Otani Yushitsugu, anggota

dengan pelaksana administrasi Mashida Nagamori dan Ankokuji Enkei. Kelompok
Mitsunari mendapat dukungan militer dari pasukan Mori Terumoto yang bersama-sama
membentuk Pasukan Barat. Kelompok Mitsunari berencana untuk menyandera istri dan
anak-anak para daimyo pengikut Ieyasu sebelum mengangkat senjata lawan pasukan
Ieyasu.
Ieyasu menyadari pergerakan militer Mitsunari sewaktu berada di Oyama
(provinsi Shimotsuke) berdasarkan laporan pengikutnya yang bernama Torii Mototada
yang tinggal di istana Fushimi. Ieyasu yang sedang dalam perjalanan untuk menaklukkan
Uesugi Kagekatsu di Aizu segera membatalkan rencana menyerang Kagekatsu. Ieyasu
lalu mengadakan pertemuan dengan para daimyo pengikutnya mengenai strategi
menghadapi Ishida Mitsunari. Pertemuan ini dikenal dengan perundingan Oyama.
Daimyo seperti Sanada Masayuki dan Tamaru Tadamasa melepaskan diri dari pasukan
Ieyasu, tapi sebagian besar daimyo ternyata memutuskan untuk terus mendukung Ieyasu.
Pasukan Ieyasu kemudian menuju ke arah barat untuk kembali ke Kyoto.
c. Bentrokan bersenjata
Pada Tanggal 12 Juli, Ishida Mitsunari, Mashita Nagamori dan Ankokuji Ekei
mengadakan pertemuan rahasia di istana Sawayama. Dalam pertemuan ini disepakati
permohonan untuk menunjuk Mori Terumoto sebagai panglima tertinggi. Pada hari yang
sama, Ishida Mitsunari dan kelompoknya menyiapkan pos-pos pemeriksaan di dekat
sungai Aichi untuk menghentikan pasukan yang bermaksud bergabung dengan pasukan

klan Tokugawa.
Pada tanggal 17 Juli, Mitsunari menyatakan perang terhadap Ieyasu dengan
mengepung istana Fushimi yang dijaga pengikut Ieyasu bernama Torii Mototada.
Mitsunari memperingatkan Motodata agar menyerah. Mototada menolak dan kemudian
Mitsunari menggempur istana Fushimi. Pasukan Mototada bertempur dengan sengit
sebelum menyerah pada tanggal 1 Agustus.
Selanjutnya, basis-basis kekuatan militer Tokugawa seperti istana Tanabe, Anotsu
dan Matsusaka berturut-turut berhasil direbut oleh pasukan Mitsunari di bulan Agustus
1600.

Sementara itu pasukan Tokugawa terus maju ke arah barat melalui jalur Tokaido
tanpa dipimpin oleh Ieyasu yang sedang berada di Edo. Mereka berhasil menaklukkan
istana Gifu yang dikuasai Oda Hidenobu pada tanggal 23 Agustus. Ieyasu yang sedang
berada di Edo mengirimkan surat kepada para daimyo. Ieyasu memanfaatkan Todo
Takatora dan Kuroda Nagamasa untuk membujuk daimyo yang setia kepada Toyotomi
agar tidak bergabung denga pasukan Mitsunari. Setelah mengetahui jatuhnya istana Gifu,
Ieyasu dengan segan memimpin 30.000 prajurit melalui jalur Tokaido menuju Osaka.
Putra ketiga Ieyasu yang bernama Tokugawa Hidetada diserahi tugas memimpin
pasukan utama Tokugawa yang terdiri dari 38.000 prajurit. Hidetada sedang membawa
pasukan melewati jalur Nakasendo berusaha menaklukkan Istana Ueda yang

dipertahankan oleh Sanada Masayuki tapi gagal. Pasukan Hidetada yang mendapat
perlawanan dari pasukan Masayuki terlambat sampai ke pertempuran Sekigahara. Akibat
datang terlambat Ieyasu menghukum Hidetada untuk menunggu tiga hari sebelum
menghadapnya. Daimyo wilayah han Ogo bernama Makido Yasunari dihukum kurungan
karena dituduh bertanggung jawab atas keterlambatan pasukan Tokugawa dan baru
dilepas beberapa tahun kemudian.
d. Pertempuran dimulai
Kedua belah pihak saling diam berhadapan di tengah kabut tebal. Pada saat kabut
menipis, Ii Naomasa dan pasukan kecil pimpinan Matsuidaira Tadayoshi yang berada di
samping pasukan Fukushima bermaksud lewat menerobos. Fukushima Masanori yang
sudah dijanjikan Ieyasu untuk memimpin penyerangan utama menjadi terkejut. Masanori
memanggil pasukan yang mencoba menerobos agar berhenti, tapi dijawab “Mau lihat
situasi” sambil langsung menuju ke depan. Pasukan kecil yang dipimpin oleh Tadayoshi
secara tiba-tiba menembak ke arah gugus pasukan Ukita Hideie yang merupakan
kekuatan utama klan Toyotomi.
Pasukan Ukita yang dijadikan sasaran juga langsung balas menembak. Sekigahara
menjadi medan pertempuran sengit. Pasukan Fukushima yang terdiri dari 6.000 prajurit
dan pasukan Ukita yang terdiri dari 17.000 prajurit saling desak dan saling bunuh tanpa
bisa maju selangkah pun juga.


Lokasi pertempuran Sekigahara sekarang
Pasukan Kuroda Nagamasa yang terdiri dari 5.400 prajurit dan pasukan
Hasokawa Tadaoki yang terdiri dari 5.100 pasukan secara bersama-sama mengincar
pasukan Ishida Matsunari dan membuka serangan besar-besaran. Pasukan Shima sakon
dan Gamo Satoie yang berada di pihak Mitsunari juga tak mau kalah. Ota Gyuichi yang
mengalami sendiri pertempuran Sekigahara menulis sebagai berikut: “Kawan dan lawan
saling mendorong, suara teriakan di tengah letusan senapan dan tembakan panah, langit
bergemuruh, tanah tempat berpijak berguncang-guncang, asap hitam membubung, siang
bolong pun menjadi gelap seperti malam, tidak bisa membedakan kawan atau lawan,
pelat pelindung leher (pada baju besi) menjadi miring, pedang ditebas kesana kemari.”
e. Pasca Sekigahara
Pertarungan ini berakhir dengan kemenangan di klan Tokugawa yang dipimpin
oleh Ieyasu.
Seusai Pertempuran Sekigahara, Mitsunari tertangkap oleh pasukan Tanaka
Yoshimasa pada tanggal 21 September 1600 serta tawanan yang lain diarak berkeliling
kota di Osaka dan Sakai sebelum dieksekusi di tempat bernama Rokujogawara yang
terletak di pinggir sungai Kamo.
Semua peristiwa yang terjadi dibalas dengan setimpal oleh Ieyasu. Bagi daimyo
yang memberontak mendapatkan hukuman sedangkan bagi daimyo yang bersih dalam
pertempuran mendapatkan hadiah berupa tambahan wilayah kekuasaan yang luas. Bagi

para daimyo yang bukan merupakan pengikut Tokugawa Ieyasu sebagian besar diusir ke
provinsi-provinsi yang terdapat di sebelah barat Jepang.
3. Sistem Bakuhan
Baku dalam “bakuhan” berarti “tenda” yang merupakan singkatan dari bakufu
(pemerintah militer atau keshogunan). Dalam sistem bakuhan, daimyo menguasai daerahdaerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanah kepada pengikutnya. Sebagai
imbalan, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung daimyo secara militer.
Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo ditunjuk
sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah
berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan
kebijakan dalam negeri. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang
memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri. Shogun juga
memiliki banyak provinsi dan berperan sebagai daimyo di provinsi yang dikuasainya.
Keturunan keluarga tokugawa disebar sebagai daimyo di seluruh pelosok jepang untuk
mengawasi daimyo lain agar tetap setia dan tidak bersekongkol melawan shogun.

Masih untuk mengontrol para daimyo. Ieyasu mengeluarkan peraturan yang
dikenal dngan nama Buke Shohatto pata tahun 1615, yakni suatu ketentuan-ketentuan
khusus yang harus dipatuhi oleh para daimyo. Peraturan ini berlaku secara efektif sejak
pemerintahan shogun ke-3, Iemitsu. Isi terpenting peraturan ini adalah mencabut nama
keluarga daimyo yang tidak mematuhi aturan ini dan para daimyo dilarang membangun

maupun memerbaharui benteng-benteng di daerah tanpa melaporkannya kepada bakufu.
Keshogunan Tokugawa berhak menyita atau memindahtangankan wilayah di
antara para daimyo. Sistem sankin kotai mewajibkan daimyo bertugas secara bergiliran
mendampingi shogun menjalankan fungsi pemerintahan di Edo. Daimyo harus memiliki
rumah kediaman sebagai tempat tinggal kedua sewaktu bertugas di Edo. Anggota
keluarga daimyo harus tetap tinggal di Edo sebagai penjaga rumah sewaktu daimyo
sedang pulang ke daerah, sekaligus sebagai sandera kalau daimyo bertindak diluar
keingin shogun.
Daimyo dari keturunan Tokugawa dan daimyo secara turun temurun merupakan
pengikut setia klan Tokugawa disebut Fudai Daimyo. Sedangkan daimyo yang baru setia
kepada klan Tokugawa setelah bertekuk lutut dalam pertempuran sekigahara disebut
Tozama Daimyo. Golongan yang selalu mendapat perlakuan khusus disebut Shimpan
Daimyo, karena berasal dari tiga cabang inti keluarga Tokugawa yang disebut Tokugawa
Gosankei (tiga keluarga terhormat Tokugawa) yang masing-masing dipimpin oleh purta
Tokugawa Ieyasu:
1. Tokugawa Yoshinao, penguasa han Owari generasi pertama
2. Tokugwa Yorinobu, penguasa han Kishu generasi pertama
3. Tokugawa Yorifusa, penguasa han Mito generasi pertama
Lambang keluarga Tokugawa berupa Mitsuba Aoi (tiga helai daun Aoi) hanya
boleh digunakan garis keturunan utama keluarga Tokugawa dan Tokugawa Gosankei.

Putra-putra lain Tokugawa Ieyasu hanya diberi nama keluarga Matsuidara dan tidak
mendapat nama keluarga Tokugawa.
Keshogunan Tokugawa memiliki sekitar 250 wilayah han yang jumlahnya turun
naik sesuai keadaan politik. Peringkat wilayah han ditentukan pemerintah berdasarkan
total penghasilan daerah dalam setahun berdasarkan unit koku. Penghasilan minimal yang
ditetapkan shogun untuk seorang daimyo adalah 10.000 koku. Daimyo yang memegang
wilayah makmur dan berpengaruh mempunyai penghasilan sekitar 1 juta koku per tahun.
Peraturan lain yang dikeluarkan oleh bakufu adalah tentang pengaturan istana
Kyoto. Peraturan yang dikeluarkan oleh Shogun ke-2, Hidetada ini dikenal dengan nama
Kinchu Narabini Kuge Shohatto. Inti dari peraturan ini adalah ketidakbolehan kaisar
untuk melibatkan diri dalam kehidupan politik, tetapi ia harus memperdalam ilmu dan
kebudayaan Jepang, seperti puisi waka. Kenaikan pangkat para bangsawan istana (kuge)
harus atas izin bakufu dan para daimyo dilarang memasuki atau menghadap langsung

kaisar di istana Kyoto. Secara jelas tujuan dari diberlakukannya peraturan ini ialah untuk
mengawasi kaisar dalam kegiatan politik, termasuk untuk menghindari agar kaisar tidak
berkomplot dengan para bangsawan istana dan para daimyo.
Kemudian dapat disimpulkan bahwa sistem bakuhan adalah sistem pemerintahan
yang berdasarkan mekanisme pemerintahan semi otonomi atau desentralisasi yang mana
pemerintahan bakufu bertindak sebagai pemerintah pusat, sedangkan han sebagai daerah

administratif di bawahnya, atau setingkat propinsi.
4. Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial dicanangkan oleh Oda Nobunaga dan Toyotomi
Hideyoshi. Dimana pemerintah Tokugawa secara tegas membagi masyarakat Jepang
menjadi empat kelas yaitu kelas militer (bushi), kelas petani (nomin), kelas pengrajin
(kosakunin) dan terakhir kelas pedagang (shonin). Tingkatan kelas ini kemudian dikenal
dengan Shinokosho, yang kemudian dilaksanakan secara keras dan kaku.

Sistem

stratifikasi tersebut ditetapkan secara resmi dan tegas oleh Tokugawa Ieyasu.
Di bawah kelas-kelas dalam Shinokosho masih ada kelas terendah yang disebut
eta dan hinin atau kaum budak yang tidak dihargai harkat kemanusiaannya.

Shi No Ko Sho

6.00% 3.00% 6.00%

Bushi
Nomin
Kosakunin dan Shonin
Eta dan Hinin

85.00%

Dengan adanya ketentuan mengenai pembagian kelas tersebut maka seseorang
tidak dapat pindah ke tingkatan yang lebih tinggi walaupun ia memiliki kemampuan dan
bakat. Termasuk untuk mengadakan perkawinan campuran adalah sebuah larangan.
Seseorang memperoleh tingkatan kelas di dalam masyarakat hanya berdasarkan
keturunan saja. Tujuan pemerintah Tokugawa adalah agar kelas-kelas di dalam
masyarakat tidak dapat mengumpulkan kekuatan untuk mengadakan pemberontakan
terhadap pemerintah tokugawa.

Masing-masing kelas sosial itu pun terdiri lagi atas sub-subkelas. Kelas militer
yang merupakan lapisan teratas terdiri dari shogun. Lapisan berikutnya adalah Hatamoto
atau Gokenin kemudian Asigaru atau Chugen. Kelas petani terdiri dari dua lapisan utama,
yakni honbyakusho (tuan-tuan tanah atau petani yang memiliki tanah luas sendiri) dan
Mizunomihyakusho (petani penyakap, termasuk petani miskin, buruh tani atau semacam
petani gurem di jawa).
Bakufu mengontrol para petani melalui susunan/struktur mekanisme bakufu, yakni
membentuk unit-unit desa terkecil yang disebut gonin gumi (rukun tetangga yang terdiri
dari lima buah rumah tangga). Merekalah yang bertindak menjaga sistem keamanan
lingkungan, mengumpulkan pajak dan melaporkan penyelewengan-penyelewengan di
desa kepada kepala desa yang biasanya dijabat oleh Honbyakusho. Kepala desa
menyampaikan laporan-laporan ini ke atasannya sampai tingkat han, dan akhirnya ke
pemerintah pusat bakufu.
Seperangkat peraturan lain juga dikeluarkan untuk mengontrol petani. Petani
dilarang berpindah tempat tinggal, dilarang menjual sawah atau ladang dengan tanamantanaman lain kecuali tanaman yang ditentukan bakufu, wajib menyetor pajak yang
jumlahnya ditentukan, dan yang terpenting adalah petani diharuskan hidup berhemat.
5. Keadaan Ekonomi yang Buruk
Berdampak dari akibat terburuk Sankin Gotai ialah goyahnya perekonomian dan
sistem keuanganhan dan bakufu. Keadaan ini sangat terasa pada masa pemerintahan
Tokugawa Tsunayoshi, sebagai akibat langsung dari merosotnya hasil pertambangan
emas dan perak. Untuk menanggulangi hal itu, pemerintah pusat membuat mata uang
yang lebih banyak dengan cara merendahkan nilai intrinsic mata uang. Akibatnya, uang
emas murni dicampur dengan perak, uang perak dicampur dengan tembaga. Namun
ternyata usaha ini menimbulkan masalah baru, yaitu kerumitan pada sistem tukarmenukar dan pasar. Ditambah daimyo di daerah han-nya mengeluarkan kebijaksanaan
keuangan sendiri-sendiri, seperti mencetak uang kertas yang hanya berlaku bagi han-nya
Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya inflasi yang merajalela akibat naik
turunnya harga barang yang tak terkendalikan. Kondisi ekonomi buruk ini mempunyai
pengaruh yang amat buruk terhadap kehidupan para petani dan pedagan kecil. Bahkan
ada beberapa han yang hampir bangkrut. Untuk mengatasi keuangan yang buruk ini, para
daimyo terkadang meminjam uang kepada pedagang-pedagang kaya yang bermarkas di
Osaka. Kondisi inilah nantinya yang akan mengakibatkan posisi pedagang kaya semakin
kuat, sehingga menciptakan ketergantungan para daimyo kepada mereka.
Dalam kondisi ekonomi dan keuangan yang memburuk, terutama pada masa
pemerintahan shogun ke-6, Ienobu, dan shogun ke-7, Ietsugu, tampillah seorang sarjana
Konfusianisme yang telah lama mengabdi kepada bakufu. Dia bernama Arai Hakuseki.

Dia menganjurkan agar barang-barang impor dibatasi. Namun, usahanya ini gagal, karena
dia tenggelam dalam upacara-upacara ritual konfusianistik yang menghamburkan banyak
biaya, dalam rangka untuk mengembalikan kewibawaan shogun. Usahanya baru berhasil
pada pemerintahan shogun ke-8 yang bernama Yoshimune. Dia menganjurkan dan
member contoh kepada semua lapisan masyarakat agar hidup sederhana. Dia juga
mengubah sistem dan cara pemungutan pajak tanah, yakni pajak tanah yang pada
mulanya ditetapkan sesuai dengan naik-turunnya hasil panen, diubah menjadi pajak tetap
tahunan. Hakuseki melihat, bahwa cara pertama mengakibatkan kebocoran-kebocoran
keuangan yang dilakukan oleh para petugas pemungut pajak, dengan memanipulasi
musim sebagai besar kecilnya jumlah pajak yang dipungut. Sebagai contoh, ada laporan
panen gagal, padahal panen berhasil baik, sehingga pajak tidak perlu disetor ke pusat,
namun para petugas pajak tetap memungutnya. Yang paling merasa dirugikan dengan
peraturan pajak baru ini adalah para petani. Untuk sementara keuangan bakufu berhasil
dipulihkan.
Namun, pada masa pemerintahan shogun ke-11, cadangan keuangan bakufu
kembali memburuk. Seorang daimyo dari Shirawaka bernama Matsudaira Sadanobu yang
juga merupakan pengikut Arai menganjurkan agar para daimyo hidup hemat dan melunasi
hutang-hutangnya kepada pengusaha besar. Dia juga memperketat larangan pada petani
pergi ke kota untuk mencegah hancurnya sistem ekonomi desa dan menumpuknya
kemiskinan di kota-kota. Kedua cara penganggulangan krisis keuangan dan ekonomi ini
tidak berhasil, lebih-lebih akibat seringnya bencana alam, di samping pemerataan
penghasilan tidak terjamin, akibat sistem kelas yang sangat kaku. Pembaharuanpembaharuan yang diusulkan oleh Arai Hakuseki dikenal dengan pembaharuan Kyoho
sedangkan pembaharuan yang diusulkan oleh Matsudaira Sadanobu dikenal dengan
pembaharuan Kansei.
6. Kebudayaan Zaman Genroku
Perkembangan Jokamachi, struktur kelas (Shikonosho) yang ketat pada zaman
Edo mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tajam. Di kota-kota lahir
golongan-golongan kaya baru yang kebanyakan berasal dari kelas pedagang. Pada masa
pemerintahan shogun ke-5 tsunayoshi, dilakukan pengendoran-pengendoran pengawasan
terhadap para daimyo yang pada awal terbentuknya pemerintahan bakufu pengawasan
terhadap mereka dilaksanakan secara refresif.
Masa Tsunayoshi ini dikenal dengan zaman Genroku atau masa ketenangan dan
kedamaian. Kehidupan duniawi betul-betul mencapai puncaknya pada masa ini, sehingga
lahirlah karya-karya sastra bermutu tinggi. Karya Ihara Saikaku yang berhasil dengan
cemerlang melukiskan gejolak dan romantika kehidupan kota, khususnya kota Osaka dan
Kyoto, yang merupakan pusat kebudayaan pada masa itu. Selain karya bermutu tinggi,

ilmu pengetahuan, karya seni dan drama juga berkembang dengan pesat. Ilmu
Konfusianisme, Kokugaku (Studi Nasional) pun juga berkembang pesat. Demikian juga
dengan sekolah-sekolah yang dikenal dengan Terakoya.
Haiku, karya-karya sastrawan terkenal diantaranya; Matsuo Basho dan drama
boneka karya Chikamatsu Monzaemon. Karya-karya sastra pada masa ini mempunyai
ciri-ciri khas, yakni bersifat egalitarian yang membedakannya dengan hasil-hasil budaya
pada zaman Muromachi maupun Azuchi Momoyama.
Gaya lukisan yang muncul pada masa ini adalah apa yang disebut Uki yo-e, yakni
lukisan cukilan kayu dan lukisannya yang terkenal adalah Hishikawa Moronobu. Gaya
lukisan yang berkembang cepat pada abat ke-18 dan ke-19 adalah lukisan gaya Nishiki-e,
yakni lukisan cetakan warna-warni yang sangat popular bahkan sampai ke Eropa.