Proyeksi Keamanan di Asia Pasifik dalam

Selasa, 29 April 2014

Thomas Riyanto
120130201019
Defence Management/Cohort 5
Security in the Asia Pacific

Proyeksi Keamanan di Asia Pasifik dalam Dua Puluh Lima Tahun Ke Depan:
Sebuah Tinjauan Paham Realisme

I.

Pendahuluan.

Perkembangan lingkungan strategis di seluruh kawasan di muka bumi,
semenjak berakhirnya Perang Dingin, menjadikan timbulnya berbagai
ancaman yang lebih kompleks dari sekadar perang antar blok ideologi
bersenjatakan nuklir. Salah satu faktor pemicu perkembangan lingkungan
strategis tersebut adalah globalisasi, yang tidak saja mendorong timbulnya
kerjasama antarnegara dalam menghadapi tantangan dan ancaman,
melainkan juga dapat mendorong terjadinya persaingan antarnegara dalam

berbagai dimensi, seperti dimensi ekonomi, politik dan pertahanan.
Munculnya aktor bukan negara (non-state actors) dalam konteks keamanan
global juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya perubahan
lingkungan strategis, di mana spektrum ancaman terhadap keamanan suatu
negara menjadi semakin sukar diterka.
Setelah terjadinya Krisis Moneter Asia pada tahun 1997 dan insiden
serangan Sebelas September terhadap beberapa target sipil di tanah AS,
ancaman terhadap negara dan masyarakatnya bukan lagi berkaitan dengan
negara (state bound)1. Keamanan terhadap suatu negara bukan lagi
merupakan suatu tujuan (end) yang harus dicapai oleh negara yang
bersangkutan, namun lebih hanya sebagai suatu cara (means) untuk
mencapai tujuan keamanan yang utama, yaitu keamanan individu (human
security)2. Ancamanpun bergeser dari ancaman yang hanya berbentuk militer
(ancaman tradisional) terhadap suatu negara menjadi ancaman militer
sekaligus nirmiliter (non-military/non-traditional threats) bukan saja terhadap
suatu negara namun juga terhadap kelompok, masyarakat, maupun individu
dalam negara tersebut. Hal yang sangat jelas digambarkan oleh Paris (2001,
h. 96)3 dalam sebuah matriks jenis ancaman terhadap obyek dari keamanan
itu sendiri.
Kawasan Asia Pasifik sendiri merupakan wilayah yang sangat menarik

ditinjau dari segi pertahanan maupun keamanan. Hal ini nampak dari
banyaknya negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), China, Rusia,
Jepang, dan India, yang terlibat dan saling berinteraksi di dalam berbagai hal
yang berkenaan dengan masalah keamanan di wilayah ini. Hal ini
dimungkinkan terjadi mengingat bahwa negara-negara tersebut memiliki
wilayah kedaulatan yang saling bersinggungan di wilayah Asia Pasifik.

Dengan demikian, dalam mengejar dan mengamankan kepentingan
nasionalnya sering muncul konflik antarnegara, sehingga menimbulkan
ketegangan dan bahkan dapat berkembang menjadi konflik kawasan4.
Terlebih dengan terdapatnya beberapa hal yang menandai terjadinya
perkembangan lingkungan strategis di kawasan ini, seperti bangkitnya China
dan India sebagai ‘Raksasa Asia’ yang memiliki kemampuan untuk
memproyeksikan kekuatan militer hingga ke luar dari batas negara mereka,
kepentingan-kepentingan yang saling bersinggungan di antara negaranegara Asia Tenggara dan Asia Timur di Laut China Selatan, usaha yang
keras dari AS dalam mengembangkan wilayah pasifik paska Perang Dingin
untuk menandingi bangkitnya kawasan Eropa5.
II.

Keamanan Asia Pasifik dan Pandangan Realisme.


Tantangan dan ancaman yang terjadi di kawasan Asia Pasifik juga
berkembang menjadi sangat kompleks seiring dengan tren yang terjadi
secara global paska Perang Dingin. Terdapat beberapa faktor yang
mendorong kompleksitas ancaman di kawasan ini. Secara demografi, Asia
Pasifik dihuni oleh beragam etnis dan suku bangsa, dengan jumlah penduduk
mencapai 4,3 milyar jiwa yang sama artinya dengan 61 % dari jumlah
penduduk dunia6. Sementara seperempat dari perdagangan dunia, termasuk
minyak, melalui kawasan ini, di mana sebagian besar terjadi di wilayah Laut
China Selatan, Selat Singapura, serta Selat Malaka7. Demikian halnya
permasalahan yang timbul dikarenakan terjadinya territorial dispute, terutama
di perairan Laut China Selatan dan Kepulauan Spratly. Modernisasi
persenjataan negara-negara di Asia Pasifik , yang memberi kesan terjadinya
perlombaan persenjataan, juga turut berkontribusi terhadap kompleksitas
ancaman terhadap keamanan di kawasan tersebut.
Dengan mempertimbangkan semua isu keamanan yang terjadi di Asia
Pasifik, dan analisa perkembangannya dengan menggunakan pendekatan
hubungan internasional secara Realisme, maka dapat diprediksikan proyeksi
keamanan di kawasan Asia Pasifik pada masa 25 tahun yang akan datang.
Penggunaan pendekatan dengan teori Realisme didasarkan pada alasan

bahwa walaupun tren perkembangan ancaman bergeser kearah nontradisional, tetap saja ancaman militer berupa konflik bersenjata akan tetap
terjadi. Sementara eksistensi sebuah negara tetap berada pada episentrum
dari isu keamanan yang berkembang di kawasan.
Dalam pandangan Realisme, negara adalah pusat dari kajian yang
berkisar di seputar isu keamanan, walaupun keamanan individu adalah
tujuan akhir. State-centrism secara luas termaktub dalam hampir semua teori
hubungan internasional8 dan tetap menjadi pusat kajian dalam membahas isu
–isu mengenai keamanan. Pandangan Realsime juga menganggap Struktur
dari sebuah sistem internasional sebagai suatu penjelasan yang cukup
terhadap semua aspek hubungan internasional yang terjadi Ketidak
tersediaan otoritas pusat dalam menyelesaikan perselisihan (structural

anarchy) dapat menyebabkan terjadinya security dilemma9..Dalam sistem
anarki ini, kekuasaan negara adalah variabel kunci dari kepentingan, karena
hanya melalui kekuasaan sajalah negara dapat mempertahankan dirinya dan
berharap untuk survive10. Menurut Mearsheimer (1994)11, disebutkan bahwa
terdapat empat asumsi cara pandang kaum Realis terhadap negara.
Pertama, tujuan utama dari tiap negara adalah untuk bertahan hidup. Kedua,
Realis menganggap bahwa negara adalah aktor yang rasional. Ketiga,
dikarenakan tiap negara memiliki kemampuan militer masing-masing, maka

tak ada satu negarapun yang tahu dengan pasti niat dari negara
tetangganya. Keempat, negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer
yang besar yang mampu menentukan segalanya, dengan kata lain hubungan
internasional ditentukan oleh Great Power.
Dari pandangan realisme di atas, dapat disimpulkan bahwa ancaman
serta isu keamanan di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh campur tangan
negara-negara besar atau Great Power. Keberadaan Amerika Serikat di
kawasan ini, yang ditandai dengan kehadiran sepanjang tahun US Pacific
Command (USPACOM) dan US Seventh Fleet Pacific di wilayah perairan
Jepang, Korea, dan Asia Tenggara melalui serangkaian latihan bersama
dengan negara-negara Asia Pasifik, membawa pengaruh yang signifikan
terhadap stabilitas keamanan di wilayah rawan konflik di semenanjung Korea,
serta Laut China Selatan. Beberapa berpendapat bahwa kehadiran AS
tersebut berakibat mendatangkan tantangan dari kekuatan lain, China.
Bangkitnya kekuatan militer China, menempati ranking kedua Military
Spending Growth pada SIPRI yearbook 2014 setelah AS dan di atas Rusia,
menjadikan negara tersebut sebagai kekuatan penyeimbang di kawasan
pasifik. Peran China dalam menahan petualangan nuklir Korea Utara,
mendukung pengembangan nuklir Iran, serta menjaga tetap ‘hangatnya’
keadaan di Laut China Selatan tidak bisa dianggap remeh. Sementara India,

yang mulai kembali membangun armada militernya berdasarkan kekuatan
nuklir, menjadi salah satu kekuatan nuklir baru di kawasan Asia Selatan.
Demikian juga bangkitnya kembali Rusia di bawah kontrol Presiden Vladimir
Putin, yang berkeinginan membawa Rusia kembali ke masa kejayaan Uni
Sovyet, mulai memalingkan pandangannya kembali pada kawasan Asia
Pasifik. Dengan menjalin hubungan yang kuat dengan China, Rusia juga
berupaya untuk menjadi kekuatan penyeimbang bagi hegemoni AS di
Pasifik12. Smentara Jepang juga berusaha untuk memainkan peran positif
melalui ‘soft power’ untuk melindungi kepentingan nasionalnya di seluruh
Asia Pasifik, misalnya dengan menginisiasi organisasi anti perompakan
ReCAAP (Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed
Robbery against Ships in Asia) yang berlokasi di Singapura.
Beberapa tantangan yang terjadi di kawasan Asia Pasifik saat ini
seperti berikut. Pertama, perdagangan bebas dalam bentuk APTA (Asia
Pasific Trade Agreement/Bangkok Agreement) yang kemudian diperbaharui
menjadi TPP (Trans-Pacific Partnership) yang merupakan pendahlu bagi
FTAAP (Free Trade Area of Asia Pacific). Hal yang sama terjadi di kawasan

Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (ASEAN Free Trade Agreement). Kedua,
regional community di Asia Pasifik, seperti ASEAN Community yang berdasar

pada political-security, economic dan socio-cultural. Ketiga, Global War on
Terror yang diprakarsai AS dengan naratif kuat ‘either with us or against us’
(memihak kami, atau menentang kami). Keempat, perselisihan batas wilayah,
misalnya batas laut di wilayah perairan Laut China Selatan serta wilayah
perbatasan baik di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maupun perbatasan darat.
Kelima, Transnational Organised Crime (TOC) dalam bentuk jaringan
internasional penyelundupan narkoba, human trafficking, money loundry, dan
sebagainya. Keenam, meningkatnya populasi penduduk yang berakibat pada
banyaknya tenaga kerja berakibat menjadi murahnya tenaga kerja dan
meningkatnya angka pengangguran. Ketujuh, kelangkaan energi terutama
energi fosil yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak, batubara, gas, dan
sebagainya. Kedelapan, Perubahan iklim dan bencana alam sebagai akibat
dari berkuangnya hutan hujan tropis dan kebakaran hutan.
Dari sudut pandang Realisme, terdapat dua pendapat dalam
memitigasi tantangan-tantangan tersebut di atas. Pandangan dari realis
ofensif dan dari realis defensif. Dalam pandangan realis ofensif, tantangantantangan tersebut di atas dapat dimitigasi dan di-manage oleh kekuatan
militer suatu negara. Pengerahan militer dalam Operasi Militer Selain
Perang/OMSP (Military Operation Other Than War/MOOTW) dengan
kapabilitas yang interoperabel dipandang mampu untuk mengatasi tantangan
maupun ancaman baik yang bersifat militer maupun nirmiliter dalam konteks

non-tradisional. Sebagai akibatnya, modernisasi alat utama sistem senjata
(alutsista) merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap negara
dalam rangka untuk ‘bertahan hidup (survival)’. Dengan demikian kesan
perlombaan persenjataan di kawasan Asia Pasifik menjadi nyata, sama
seperti pandangan realis ofensif yang menyatakan bahwa suatu negara akan
berusaha untuk memaksimalkan kekuatannya secara relatif terhadap negara
lain13. Di lain pihak, dalam pandangan realis defensif, menekankan pada
stabilitas dan sistem balance of power, dengan cara pendistribusian kekuatan
secara seimbang antarnegara memastikan berkurangnya resiko konflik
bersenjata. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan kerjasama dan
koordinasi terutama di bidang pertahanan.
III.

Proyeksi Keamanan Asia Pasifik 25 Tahun Mendatang.

Berdasarkan paham realisme, maka dapat diperkirakan beberapa hal
yang tetap ada pada isu mengenai keamanan di kawasan Asia Pasifik hingga
25 tahun mendatang. Pertama, hegemoni kekuatan besar di kawasan ini
akan tetap ada. Baik itu AS, China, Rusia, Jepang, maupun India hingga dua
puluh lima tahun mendatang akan tetap mendominasi kawasan ini. Amerika

Serikat dan Jepang di satu sisi dan China, Rusia (dan mungkin India) di sisi
lain masih akan memainkan perannya dalam konsep balance of power sesuai
dengan pandangan realis defensif. Kedua, modernisasi dan peningkatan

anggaran belanja militer akan tetap terjadi hingga dua puluh lima tahun
mendatang. Selama realis memandang bahwa setiap negara memiliki
kemampuan militer yang menyebabkan ketidak menentuannya situasi, maka
selama itu pula terjadi semua negara akan tetap memajukan angkatan
bersenjatanya. Ungkapan si vis pacem para bellum (jika menginginkan damai
bersiaplah perang) merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan
hal tersebut. Ketiga, sengketa perbatasan baik di laut maupun di darat,
terutama perselisihan di perairan Laut China Selatan, akan tetap berlangsung
hingga seperempat abad mendatang. Sesuai dengan teori structural anarchy,
maka sekalipun terdapat hukum dan institusi internasional, belum tentu hal
tersebut yang menentukan sebuah negara melakukan sesuatu tindakan
dalam penyelesaian masalah. Sebaliknya, hal-hal yang menyangkut
kepentingan dan hubungannya dengan kekuasaanlah yang menentukan
tindakan suatu negara. Hukum internasional hanya merupakan gejala yang
menggambarkan perilaku negara dan bukan sebagai sebab utama14.
Keempat, Terorisme, Insurjensi, dan TOC akan tetap ada, selama nafsu,

kebanggaan, serta pencarian kemahsyuran (lust, pride, and quest for glory)
masih merupakan bagian dari sifat manusia (Waltz, 1991; Donelly, 2005) 15.
Kelima, tantangan persaingan dalam kerangka perdagangan bebas, akan
semakin memperuncing kemungkinan konflik, di mana negara dengan
kekuatan ekonomi dan militer yang kuat akan semakin mendominasi negara
yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang lemah. Dengan berlakunya
perjanjian perdagangan bebas, maka globalisasi akan semakin kental
menyelimuti Asia Pasifik. Batas negara akan menjadi sangat kabur,
menyebabkan perselisihan batas negara pun semakin menajam.
Aktor yang bermain dalam isu keamanan di Asia Pasifik pun tetap
bersumber pada negara. Aktor bukan negara (non-state actors) yang
merupakan tren yang timbul pada era setelah Perang Dingin, yang diwarnai
oleh ancaman bersifat non-tradisional dan nirmiliter, hanya akan menjadi
‘pelengkap penderita’. Tujuan dari suatu negara dalam pandangan Realisme,
di mana negara akan berupaya untuk bertahan dari setiap ancaman, akan
mendorong upaya-upaya untuk mengeliminir keberadaan non-state actors.
Apa yang terjadi pada kelompok radikal Jemaah Islamiyah, yang dianggap
sebagai organisasi terorisme terbesar di Asia Tenggara, merupakan contoh
bagaimana hegemoni suatu negara bisa menekan kemunculan suatu aktor
bukan negara untuk menjadi besar.

Pada akhirnya semua hal yang menyangkut proyeksi keamanan Asia
Pasifik 25 tahun ke depan akan seperti ‘lingkaran setan’ yang tak terputus,
dan bersumber pada hegemoni atau dominasi kekuatan dari negara-negara
besar di kawasan ini dan semakin dipengaruhi oleh globalisasi dan kemajuan
teknologi di bidang persenjataan dan informasi.

IV.

Kesimpulan.

Kawasan Asia Pasifik merupakan wilayah yang unik di mana baik
secara demografi maupun ekonomi, sosial budaya dan politik-keamanan,
menyimpan banyak potensi konflik. Isu keamanan pun banyak didominasi
oleh negara-negara besar yang mempengaruhi perkembangan lingkungan
strategis di kawasan ini, seperti AS, China, Rusia, Jepang, dan India. Tren
ancaman dan konflik yang bergeser dari tradisional menjadi non tradisional
dan nirmiliter paska Perang Dingin semakin menjadikan kompleks
permasalahan di Asia Pasifik. Negara memainkan peranan penting dalam
setiap isu mengenai keamanan meskipun aktor non negara mewarnai tren
keamanan tersebut.
Dalam dua puluh lima tahun ke depan, ancaman serta isu keamanan
di Asia Pasifik akan tetap seperti yang terjadi saat ini. Namun demikian, akan
terjadi perkembangan yang signifikan terutama dengan berlakunya perjanjian
perdagangan bebas yang akan semakin memperkuat globalisasi dan
terjadinya peningkatan persaingan antar negara. Walaupun akan terjadi
persaingan antar negara, pertumbuhan yang akan terjadi baik secara
ekonomi maupun politik tidak akan terlepas dari hegemoni negara-negara
besar tersebut di atas.

ENDNOTES:
1

Singh, H., Comprehensive Security in Asia Pacific Region: Conceptualisation and Overview,
Proceedings of International Conference on Comprehensive Security in the Asia Pacific
Region, Keiko University, Tokyo, 2009, h. 4.
2
Pettman, R., ‘Human Security as Global Security: Reconceptualising Strategic Studies’,
Cambridge Review of International Affairs 18 (2005):137-150, h. 145.
3
Paris, R., ‘Human Security: Paradigm Shift or Hot Air?’, International Security, 26 (2): 87102, h. 96.
4
Kementerian Pertahanan, Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 8/2012
tentang Kaji Ulang Strategi Pertahanan (Strategic Defence Review) 2011, Berita Negara
Republik Indonesia No. 359, Jakarta, 2012, h. 7.
5
Singh, Ibid, h. 7.
6
Data per Oktober 2011 yang dirilis oleh UNESCAP (United Nations Economic and Social
Commision for Asia and the Pacific), diunduh dari http://www.unescap.org/news/asia-pacificreaches-demographic-milestone-world-population-hits-7-billion pada 28 April 2014 pukul
22.10.
7
Data diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Strait_of_Malacca pada 28 April 2014 pukul
22.30.
8
rd
Burchill, S., et. al., ‘Theories of International Relations’, 3 Ed., Palgrave Macmillan, New
York, 2005, h. 30.
9
Holsti, Ole R. "Theories of international relations." Making American Foreign Policy. New
York: Taylor and Francis Group (2006): 313-344, h. 317.
10
Slaughter, A. M., ‘International Relations, Principal Theories’, Max Planck Encyclopedia of
Public International Law, 2011, h. 1.
11
Ibid.
12
Lihat ‘China to Join Russia for Largest Naval Drills With Foreign Partners’
http://www.guardian.co.uk/world/2013/jul/02/china-russia-joint-naval-drill diunduh pada 28
April 2014 pukul 23.15.
13
Slaughter, A. M., Ibid, h. 2.
14
Ibid.
15
Lihat Burchill, et. al. Ibid, h. 31.