PEMIKIRAN HADIS MAHMUD ABU RAYYAH MAKALAH Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Tafsir dan Pemikiran Hadis Kontemporer
PEMIKIRAN HADIS
MAHMUD ABU RAYYAH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah
Tafsir dan Pemikiran Hadis Kontemporer
DOSEN PEMBIMBING;
DR. FUAD THOHARI, M.A
DISUSUN OLEH;
HASRUL
(NIM: 21150340000010)
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M/1437 H
A. Pendahuluan
Wacana pemikiran hadis sedikit berbeda dengan al- Qur’an, Hadis mendapatkan proporsi lebih besar dalam diskusi keotentikannya dibandingkan dengan al-Quran. Hadits seringkali dipersoalkan, bahkan ada yang menolaknya sekalipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran agama Islam (al-Quran). Sebagian masih beranggapan bahwa
1
hadits sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Diskusi ini menguak kembali di permukaan di kalangan para akademisi pada beberapa abad terakhir ini. Diantaranya, muncul di beberapa wilayah India pada abad ke-18 M, kemudian
2 berkembang pesat di Timur Tengah khsususnya di Mesir pada abad ke-19 M.
Berdasarkan perjalanan sejarah hadis, penolakan terhadap hadis-hadis Nabi telah muncul pada masa Sahabat, kemudian berkembang pada abad ke-2 H/7 M, dan akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad ke-3 H/8 M. Pada masa-masa tersebut dikenal sebagai periode awal penolakan Hadis-hadis Nabi yang dikenal dengan Ingkar Sunnah klasik. Imam Syafi’i telah memainkan perannya dalam menundukkan kelompok pengingkar Sunnah klasik. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional dan ilmiyah, para pengingkar Sunnah klasik akhirnya tunduk dan menyatakan menerima Hadis. Karenanya, Imam al- Syafi’i kemudian diberikan julukan sebagai Nashir al-Sunnah
3 (pembela Sunnah).
Diakui atau tidak, pesatnya perkembangan wacana keislaman khususnya dalam bidang hadis, tidak terlepas dari maraknya gagasan-gagasan para orientalis. Ketika hampir seluruh bagian dunia Islam terjerat dalam cengkraman kolonialisme bangsa Eropa, ide dan pemikiran mereka membuka mata dan menggerakkan para cendikiawan muslim untuk melakukan pembelaan atas fakta sebenarnya yang sering kali disamarkan oleh para orientalis. Meskipun pada akhirnya tidak dapat dipungkiri pula banyak yang
4
ikut terjebak dalam keraguan yang mereka tawarkan. Ini merupakan cikal bakal lahirnya penolakan terhadap hadis di masa sekarang yang biasa disebut ingkar sunnah modern.
Menurut Ali Mustafa Ya’qub, Ingkar Sunnah modern muncul dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar Sunnah klasik. Ingkar Sunnah klasik muncul di bashrah, Irak maka Ingkar Sunnah modern muncul di Kairo, Mesir. Ingkar Sunnah klasik bersifat perorangan, adapaun Ingkar Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok. Salah satu tokoh yang dianggap pemegang tongkat estafet Ingkar Sunnah di Mesir ialah Mahmud Abu Rayyah lewat bukunya, Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (sorotan
5
terhadap Sunnah Muhammadiyah). Melalui buku tersebut, Abu Rayyah menuliskan beragam pemikirannya dalam memandang Hadis-hadis Nabawi yang kebanyakan diarahkan untuk menolak otentisitas dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam. Studi inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam karya ilmiah ini. 1 Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 131-132 2 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj. Jaziar R dan Entin S.M dari judul asli 3 “Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought” (Bandung: MIzan, 2000), Cet. I, h. 48 4 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 43-44 Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli
“Jawabi’ fi Wajhi al- Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 63-64; Lihat juga, Isa Ismail dan Yusof, Anti Hadis jarum Yahudi (Malaysia: Thinker’s Library, 1996), Cet. I, h. 5-6
B. Biografi Mahmud Abu Rayyah
1. Latar Belakang Pendidikan Mahmud Abu Rayyah
Mahmud Abu Rayyah dilahirkan di Kafr al-Mandara, di sebuah kota yang bernama Aja, provinsi Dakahlia di Mesir pada tanggal 15 desember tahun 1889 M,
6 Sebagian mengatakan bahwa Abu Rayyah bertepatan 21 rabi’ al-tsani 1307 H.
7
dilahirkan pada tahun 1887 M, dan dikatakan pula tahun 1889 M. Namun, tahun kelahirannya yang lebih masyhur adalah tahun 1889 M dan meninggal tahun 1970
8
dalam usia 81 tahun. Ibunya meninggal ketika ia masih dalam buain, kemudian ia tumbuh dibawah pengasuhan dan pendidikan ayahnya dan saudara-saudaranya. Perjalanan pendidikannya dimulai di tanah kelahiran sendiri dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan juga ilmu lainnya sampai akhirnya memperoleh gelar sarjana
9 pada tahun 1940 M di Mansoura University.
Pada tahun 1957 M, Abu Rayyah melanjutkan pencarian ilmunya di kota Giza, sebuah kota tempat berdirinya sphinx dan piramida-piramida di Mesir. Tercatat bahwa Abu Rayyah pernah belajar di Madrasah Al- Da’wah wa al-Irsyad, lembaga dakwah yang didirikan oleh Rasyid Ridha pada tahun 1912 di Kairo. Ia juga pernah mengikuti berbagai kursus di sebuah sekolah tinggi teologi di dalam negeri. Kekaguman yang luar biasa terhadap Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha telah ia simpan sejak masa mudanya sehubungan dengan gagasan-gagasan Abduh dan Ridha tentang penolakan terhadap taqlid khususnya taqlid terhadap madzhab. Abu Rayyah tertarik untuk melakukan penelitian tanpa perlu secara otomatis tunduk kepada teori-teori para ulama atau sarjana yang lebih senior. Merasa tidak puas atas sikap pasif (jumud) para ulama atau sarjana masa itu, serta tidak adanya imajinasi atau inspirasi dalam diri mereka, menjadi tujuan utama Abu Rayyah untuk menerobos rintangan taqlid ini yang dalam
10 pandangannya merupakan penyebab terjadinya kemunduran dalam Islam.
Setelah mengabdikan masa mudanya untuk studi kesusastraan Arab, Abu Rayyah menemukan beberapa hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
11
yang penafsirannya membuat ia heran. Beliau memiliki kesan bahwa Nabi tidak 6 mungkin pernah mengucapkan kata-kata remeh dan kasar seperti itu, tidak memiliki
Murthadho al- Radwa’, Bersama Para Pembaharu di Mesir (T,t: T.p., 1232 H), Cet. I, dalam Wikipedia: https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title= ةير_وبأ_دومحم 7 Mus’idul Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar Sunnah? Dalam Yang membela dan Yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012), h. 100. 8 Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku ‘Adwa ala al-Sunnah al-
Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, h. 273. 9 Artikel 10
“Min A’lami al-Fikri al-Hadis; Abu Rayyah, dalam http://www.adawaanews.net
11 G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung: Mizan, 1999), h. 59.Salah satu redaksi Hadis tersebut ialah;
َرَبْدَأ ِة َلََّصلِل َيِدوُن اَذِإ َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ َلوُس َر َّنَأ َة َرْي َرُه يِبَأ ْنَع ِجَرْعَ ْلْا ْنَع ِداَن ِ زلا يِبَأ ْنَع ٌكِلاَم اَن َرَبْخَأ َلاَق َفُسوُي ُنْب ِ َّاللَّ ُدْبَع اَنَثَّدَح
ِهِسْفَن َو ِء ْرَمْلا َنْيَب َرِطْخَي ىَّتَح َلَبْقَأ َبيِوْثَّت لا ىَضَق اَذِإ ىَّتَح َرَبْدَأ ِة َلََّصلاِب َبِ وُث اَذِإ ىَّتَح َلَبْقَأ َءاَدِ نلا ىَضَق اَذِإَف َنيِذْأَّتلا َعَمْسَي َلَ ىَّتَح ٌطا َرُض ُهَل َو ُناَطْيَّشلا
)يراخبلا هاور( .ىَّلَص ْمَك ي ِرْدَي َلَ ُلُج َّرلا َّلَظَي ىَّتَح ُرُكْذَي ْنُكَي ْمَل اَمِل اَذَك ْرُكْذا اَذَك ْرُكْذا ُلوُقَي Artinya: “dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika panggilan
shalat (adzan) dikumandangkan maka setan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar
suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan
setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk
kepada hati seseorang seraya berkata, 'Ingatlah ini dan itu'. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga
seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya.” (H.R. Imam Al-
12
retorika sebagaimana yang sering dijumpainya dalam berbagai tulisan. Berangkat dari anggapan tersebut, Abu Rayyah kemudian menuangkan pandangan- pandangannyanya dalam Ilmu Hadis, walaupun demikian ia banyak menyandarkan argumen-argumennya dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.
2. Buku dan Karya-karya Ilmiah Mahmud Abu Rayyah
Mahmud Abu Rayyah merupakan salah seorang penulis modern berkebangsaan Mesir yang banyak mengemukakan pandangannya mengenai ilmu Hadis. Diantara
13
buku dan karya-karya ilmiah Abu Rayyah ialah: a.
Hadis Muhammad (artikel) b.
ةنووسلا ىوولع ءاوووضأ ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa’a al-Hadis (
) ثيدحلا نع عافض وا ةيدمحملا c.
) Syekh al-Madi’rah; Abu Hurairah; ( ةريره وبأ : ةريضملا خيش
d. ) Al-Sayyid al-Badawy ( يودبلا ديسلا
e. ) Hayat al-Qurra’ ( ىرقلا ةايح
f. ) Rasail al-Rafi’iy ( يعفارلا لئاسر g.
) Shoihah Jamaluddin al-Afghani ( يناغفلأا نيدلا لامج ةحيص h.
Jamaluddin al-Afghani; Tarihihi wa Risalatihi i. Muhammad wa al-Masih Akhawani; Din Allah Wahid ala Alsanah al-Rusul ( ه ننيد
)
لسّرلا ةنسلأ یلع دحاو ; ناوَخأ حيسملاو دمحم j.) Qishshah al-Hadist al-Muhammady ( يدمحملا ثيدحلا ةصق k.
) Wa ma Laki’hi min Ashhabi al-Rasul ( لوسرلا باحصأ نم هيقل امو
Pada 1945, ia pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Hadis Muhammad yang memuat pemikirannya tentang hadis yang menyalahi kepercayaan para ulama Al- Azhar. Maka, terjadilah polemik dengan mereka, di antaranya dengan Abu Syahbah yang menyarankan agar ia meralat tulisannya. Akan tetapi, dengan keteguhan pendiriannya, Mahmud Abu Rayyah tidak mengindahkannya, bahkan menolaknya
14 dengan artikel kedua yang tetap mempertahankan pendiriannya.
Abu Rayyah terkenal karena dua karya kontroversialnya, yaitu
Adwa’ ‘Ala al- Sunnah al- Muhammadiyyah ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa’a al- Hadis dan Syekh al-Madirah; Abu Hurairah yang mendapatkan banyak tanggapan dari
para cendekiawan muslim. Pemikirannya yang terpengaruh oleh orientalis terlihat jelas dalam buku-bukunya tersebut. Di antara orientalis yang menjadi rujukan Abu Rayyah adalah Ignaz Goldziher, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis dengan
15
karya monumentalnya, Muhammadanische Studien. Buku
‘Adwa ala al-Sunnah al- Muhammadiyyah inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam tulisan ini untuk 12 mengungkapkan pemikiran Abu Rayyah dalam Hadis.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 59-60; Lihat juga, Mus’idul Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar Sunnah? Dalam yang membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, t.t), h. 101. 13 14 Wikipedia: https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title= ةير_وبأ_دومحم Zaedmannan, Pemikiran Hadis Kontemporer Mahmud Abu Rayyah, Makalah, Dipostoing tanggal 24
Oktober 2013. 15 Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi
C. Pemikiran Hadis Abu Rayyah dalam
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah
Pemikiran Abu Rayyah yang banyak mengkritisi hadis sebagaimana yang ia kemukakan dalam bukunya
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah mengantarkannya
dalam golongan Inkar Sunnah, yaitu golongan yang menginkari Hadis Nabi Saw sebagai hujjah dan sumber kedua ajaran Islam. Ia termasuk golongan Inkar Sunnah Modern dari Mesir yang disejajarkan Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin (w. 1954 M), Ahmad Subhi Mansur dan Musthafa Mahmud. Jika mengikuti pembagian Inkar Sunnah
16
oleh al-S yafi’i, Abu Rayyah masuk dalam kelompok yang menginkari sunnah secara
17 keseluruhan.
1. Kitab ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah karya Abu Rayyah
Diantara karyanya yang fenomenal, yaitu
‘Adwa ala al-Sunnah al- Muhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) yang terbit tahun 1958
M, sekitar 395 halaman. Latar belakang penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh semangat modernisasi Abu Rayyah untuk mengubah keadaan umat Islam pada waktu itu, yang terlelap oleh sikap jumud. Hal inilah yang membuatnya merasa perlu adanya penelitian terhadap hadis tanpa perlu secara otomatis tunduk atau patuh mengikuti teori-teori para ulama sebelumnya (mutaqaddimin), dengan menerobos taqlid yang
18 menurutnya hal inilah yang menyebabkan kemunduran dalam Islam.
Kitab ini merupakan hasil kajian dan penelitiannya mengenai sejarah Sunnah, keraguan-raguannya terhadap keshahihannya dan pandangannya yang mengecilkan
19
arti penting Sunnah di mata umat Islam. Abu Rayyah memang menjadikan sejarah sebagai pendekatan dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis. Namun pada akhirnya, buku ini justru menyulut kemarahan para cendekiawan ortodoks karena pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai bersebrangan, terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah. Sehingga mereka tergugah untuk
20 memberikan tanggapan dan sanggahan atas tuduhan-tuduhan di dalamnya.
Abu Rayyah dalam bukunya tersebut menyajikan satu bab khusus untuk yang memuat kritikannya terhadap Abu Hurairah yang kemudian menjadi satu buku
21
tersendiri yang berjudul “Syekh al-Madi’rah; Abu Hurairah” (ةرويره ووبأ :ةريوضملا يوش). 16 Selain itu, buku ini berisi dari beberapa bab diantaranya; membahas tentang sebagian
Ingkar Sunnah menurut Imam Al- Syafi’i terbagi tiga kelompok; (1) Golongan yang menolak Sunnah
secara keseluruhan, (2) Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnnah itu sesuai dengan petunjuk al-
Quran, (3) Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad mereka hanya menerima Sunanh yang berstatu
mutawatir. Imam Al- Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis (Kairo: Da’r al-Ma’arif, 1393 H), Juz 7, h. 7-12 17 Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132; Lihat juga, Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif
Mahmud Abu Rayyah ; “Telaah Atas Kitab Adwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”, Skripsi; Fakultas
Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 20; Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu
Rayyah dalam Buku “Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, UIN
Sunan Kalijaga, Vol. 9, No. 2, h. 274. 18 19 G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung : Mizan, 1999), h. 59.Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al- 20 Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72 21 Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela Dan Yang Menggugat, h. 102.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit kitab yang diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan perbuatan Nabi Saw, namun merupakan suatu rekayasa orang-orang yang hidup se- zaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih
22
jauhnya menurutnya, Hadis Ahad tidak boleh diberlakukan pada komunitas muslim
23
sepanjang zaman. Materi-materi dua buku karya Abu Rayyah tersebut tidak keluar
24
dari sumber-sumber berikut: a.
Pendapat-pendapat imam Mu’tazilah yang dinukil dari mereka; b. Pendapat-pendapar radikal dari syi’ah yang secara terang-terangan dinyatakan dalam karangan-karangan mereka; c.
Pendapat-pendapat para orientalis yang termuat dalam buku-buku mereka, khususnya
Da’irah al-Ma’arif (ensiklopedia) dan Dirasah al-Islamiyyah karya
Ignaz Goldziher; dan d. Cerita-cerita yang disebutkan dalam beberapa buku sastra yang penulisnya diragukan kejujuran dan pengetahuannya akan fakta-fakta
Kitab
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menurut Shalahuddin Maqbul
Ahmad sangat digemari musuh-musuh Islam, hingga salah satu kedutaan asing di Kairo membeli sebagian besar naskahnya untuk dikirim ke perpustakaan-perpustakaan barat. Hal itu supaya buku tersebut sampai kepada orang-orang yang dendam kepada Islam, Rasul dan para sahabatnya, dan dijadikan sandaran untuk mengeluarkan
25 kebohongan dan kebatilan.
2. Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah
Secara umum sebagaimana yang termaktub dalam bukunya, ‘Adwa ala al-
Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa’a al-Hadis ( نووع عافووض وا ةوويدمحملا ةنووسلا ىوولع ءاوووضأ ثيدحلا), berikut pandangan-pandangan Abu Rayyah terhadap Hadis Nabawi.
a.
Al-Sunnah dan Posisinya dalam Islam Abu Rayyah dalam mendefinisikan al-sunnah tidak jauh beda dengan para
Muhaddisin sebelumnya. Dia mengartikan Sunnah secara etimologi dengan al-
26
thariqah ( Adapun secara terminologi ةقيرطلا) dan al-sirah (ةريسلا) yang berarti jalan.
27
juga mengikuti definisi sebagaimana ulama pada umumnya, menurutnya: .
ريرقت وأ لعف وأ لوق نم ،بىنلا لىإ فيضأ ام Artinya: Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa 22 perkataan, perbuatan, dan ketetapannya.
Hadis Ahad juga popular dengan sebutan khabar wahid, ialah hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir . 23 Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayy ah dalam Buku “Adwa ala al-Sunnah al- Muhammadiyyah dalam Hunafa . h. 278. 24 Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi
Wajhi al- Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72, Lihat juga, Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132-133. 25 Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah, h. 73; Lihat juga, Abdul Majid Khon, , (Jakarta : Kencana, 2011), h. 89-90.
Pemikiran Modern Dalam Sunah 26 Mahmud Abu Rayyah, ‘Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt.), h. 11
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua, dibagi oleh Abu Rayyah menjadi dua, al-Sunnah al-
‘Amaliyyah dan al-Sunnah al-Qauliyyah. Keduanya
memiliki posisi tersendiri, al-Sunnah al-
’Amaliyyah memiliki otoritas lebih
dibandingkan dengan al-Sunnah al-Qauliyyah, karena yang pertama jelas dilakukan
28
secara langsung oleh Rasulullah Saw menurut Abu Rayyah. Pandangan Abu Rayyah tidak ada pertentangan dengan ulama pada umumnya mengenai kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Namun, pemahamannya yang menempatkan
“al-sunnah al’amaliyah” memiliki otoritas lebih dibandingkan
dengan
“al-sunnah al-qawliyah” memiliki konsekuensi dalam pemahaman antara Sunnah dan Hadis.
Kata Sunnah yang diartikan dengan aqwal (perkataan), af’al (perbuatan), dan taqrir (pengakuan) tidak pernah dikenal oleh seorang pun di masa Rasulullah Saw atau di abad pertama hijriah. Pengena lan dan penggunaan arti aqwal, af’al, dan taqrir untuk kata Sunnah, dimulai sejak masa pembukuan Hadis. Sehubungan dengan adanya penggunaan arti secara bahasa bagi kata Sunnah, disamping adanya ayat al-Quran dan sebagian Hadis yang sesuai dengan arti bahasa itu, maka orang yang mengingkari Hadis qauliyah yang diriwayatkan oleh seorang perawi, membuatnya sebagai alasan, bahwa Sunnah yang patut diikuti adalah Sunnah fi’liyah saja, bukan Sunnah Qauliyah. Karena penggunaan kata Sunnah atas perkataan-perkataan Nabi tidak pernah dikenal di masa beliau dan para Sahabatnya, kata qauliyah ini termasuk baru. Oleh karena itu, mereka tidak mau menerima aqwalun Nabi (perkataan Nabi). Mereka hanya mau menerima af’al (perbuatan) Nabi. Mereka berangapan bahwa Rasulullah Saw mengajak berpegang pada Sunnahnya, sedangkan yang dimaksud dengan Sunnah di masa hidup beliau adalah
29 perbuatannya, bukan perkataannya.
Sehubungan dengan pandangan Abu Rayyah di atas, maka memahami al-
Sunnah al- ‘Amaliyyah yang dipandang memiliki otoritas lebih daripada al-Sunnah al-Qauliyyah akan nampak bias. Sebab cara pandang demikian dapat melemahkan al-Sunnah al-Qauliyyah dan bisa saja berujung pada penolakan kehujjahannya
dalam penetapan hukum. Cara pandang demikian juga akan melahirkan persepsi bahwa Sunnah telah ada pada zaman Nabi, adapun Hadis (Qauliyah) baru muncul belakangan karena belum dikenal dalam konsep Sunnah pada zaman Nabi. Ini tentu sangat berbahaya karena konsep inilah yang digunakan orientalis dalam memaknai perkembangan Sunnah atau Hadis dalam Islam.
Menurut Ignaz Goldziher, Sunnah lahir sebagai aktivitas umat Islam pada periode kemapanannya. Untuk itu, Hadis (Sunnah) telah banyak yang dipalsukan
30
dan diragukan keotentikannya. Begitu pun Joseph Schacht menganggap Sunnah 28 sebagai tradisi yang hidup dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti
Mahmud Abu Rayyah, 29 ‘Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt.), h. 12-15.
Abbas Mutawalli Hammadah, Sunnah Nabi; Kedudukannya menurut al-Quran terj. A. Abdussalam dari judul asli “Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri” (Bandung: Gema Risalah Press, 1997),
Cet. II, h. 28 30 Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
31
kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum. Para ulama pun memberikan sanggahan atas pendapat para orientalis tersebut, di antaranya M.M. Azami dalam bukunya
“On Schacht’s Origins of Muhammad Jurisprudence” yang
secara khusus ditujukan untuk Josep Schacht. Menurut Azami, kata Sunnah telah digunakan dalam puisi pra-Islam, demikian pula dalam al-Quran dengan arti yang sama, yaitu jalan, aturan, atau prilaku hidup. Kemudian setelah ilmu Fiqih terbentuk, kata Sunnah dalam Islam khusus digunakan dalam arti praktek Agama
32
yang sudah mapan yang sudah tidak menggunakan arti kewajiban. Sehingga, Islam menyempitkan pengertian Sunnah dengan mengkhususkannya pada jalan dan prilaku Rasulullah Saw yang berhubungan dengan masalah Agama dan akhlak. Di sisi lain, ulama Hadis menekankan hubungan organik antara Hadis dan Sunnah,
33
yaitu satu dan sebangun. Bukan terpisah, apalagi hanya rekontruksi para ulama setelah Nabi sebagaimana pandangan para orientalis.
Konsep Sunnah Abu Rayyah di atas menunjukkan bahwa ia dalam praktiknya menerima legalitas Sunnah atau Hadis sebagai sumber hukum. Atau paling tidak menerima beberapa Hadis Nabawi dengan kedudukannya sebagai dalil. Hanya saja, pandangan beliau yang nampak dalam pemikiran-pemikirannya tentang Hadis yang akan diuraikan di bawah menunjukkan indikasi kuat, meragukan bahwa menolak keberadaan Sunnah atau Hadis dalam Islam. Oleh karenanya, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Abu Rayyah ditempatkan sebagai pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Sebagai contoh bahwa Abu Rayyah berpendapat bahwa al- Quran sudah membahas seluruh masalah yang dihadapi manusia. Karenanya, Islam
34
tidak perlu lagi kepada Hadis. Pandangan ini memberikan indikasi kuat bahwa Abu Rayyah dapat diklaim sebagai pengingkar Sunnah secara keseluruhan.
b.
Tadwin al-Hadis Abu Rayyah dalam
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menegaskan
bahwa Sunnah atau Hadis belum ada yang ditulis pada zaman Nabi. Berbeda
35
dengan al-Quran yang sudah dan telah selesai ditulis pada zaman Nabi. Abu Rayyah memperkuat gagasannya dengan menyebutkan beberapa Hadis yang melarang penulisan Hadis, hadis tersebut di antaranya:
« ىنَو سننيىع ىنص َلانَق َ ننَتَب ننَمَو نَع اوننْبْنت كَت َلا َّها َلونََِّْ َّنَأ ِّ ننْ ُا ا ي عنََ ىَأ ننَع - - َلاننَق ْسْبنن ه اَأ حَاننَََّّ َلاننَق َّ ننَىَع َ َ ننَب نننَمَو َبَرننَا َلاَو ننَع اوْ ننَاَو ْسننَْ َي ىَنف نَ رننْق لا َرنن نيَي ننَع - - ) ىهم هاوِّ( .» 31 ِّاَّنلا َن م ْهَ َع قَم أَّوَنبَنتَني ىَنف اً َعَنتْم
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammad Jurisprudence Joseph Schacht terj. Asrofi Shodri dari judul asli “On Schacht’s Origins of Muhammad Jurisprudence” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. I, h. 35 32 M.M. Azami, 33 On Schacht’s Origins of Muhammad Jurisprudence, h. 40-44
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj. Jaziar R dan Entin S.M dari judul asli 34
“Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought” (Bandung: MIzan, 2000), Cet. I, h. 130
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 55.Artinya:
“Dari Abu Said Al Khudri RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku! Barang siapa menulis dariku selain Al Qur'an, maka sebaiknya ia menghapusnya. Sampaikanlah apa-apa yang telah kalian peroleh dariku dan itu tidak berdosa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja (Hammam berkata, 'Menurut dugaan saya, beliau bersabda, dengan sengaja) maka hendaklah ia mendapatkan tempat duduknya di
36
(H.R. Muslim)
dalam neraka.”
Abu Rayyah pun berpendapat bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak valid, sulit dipercaya sebab pencatatan hadis dilakukan pasca Nabi dan pembukuannya pasca sahabat. Hingga dia juga meragukan kitab al-Shadiqah karya ‘Abdullah bin ‘Amr, dengan ungkapan bahwa karya tersebut sangat tidak berguna. Kemudian menuduh Ibnu Shihab al-Zuhri melakukan penulisan hadis karena unsur paksaan dari Bani Umayyah dengan men gutip ungkapan Ibnu ‘Abd al-Bar bahwa
37 al-Zuhri menolak untuk mencatatkannya hingga para penguasa mendesaknya.
Dalam
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, tampaknya Abu Rayyah
hanya menyodorkan Hadis-hadis yang melarang penulisan Hadis saja. Ia tidak menyebut Hadis-hadis yang justru menyuruh para Sahabat untuk menulis Hadis. Bahkan jumlah Hadisnya lebih banyak dibandingkan dengan yang melarangnya. Di antara Hadis yang memerintahkan untuk menulis Hadis ialah:
: ، َّها : ، نب َلاَق َلاَقَنف اوْ َّ ََتَ اجي َخ س يَىَع َّْها َّىَص اَن نيَىَع نَع أَّونَنبَنتَني لَو َ َّىَََو ْلوََِّْ َبَرَخ ع فاَِّ : ، َّنّ إ َّها : ، َلانَقَنف َك ن م ْت ىْنق َّيَىَع انَهْنبْنت كَنَنف
ن م َ َ َب َءاَي شَأ ْعَ هَن َلوََِّْ َي َ َّنَهَج ْهَ َع قَم نَم )نيابرطلا هاوِّ( . اوْبْنت با َبَرَا لاَو
Artinya:
“Dari Rafi’ ibn Khudaij, bahwa ia berkata, kami bertanya kepada Rasulullah Saw: ‘Wahai Rasulullah, kami mendengar banyak hal darimu. Apakah
38 kami boleh menuliskannya?’ Beliau menjawab: ‘tulislah dan tak mengapa’.”
(H.R. A-Thabrani)
)يِّاخبلا هاوِّ( .» بَلأ « ، ، - اهاَش اوْبْنت با ْسَّنَأ نَع َةَر نيَرْه وْبَأ اَنَن َّ َا َةَ َىََ وْبَأ اَنَن َّ َا َي َيَ
39 Artinya: (H.R. Al-Bukhari) “Tuliskanlah untuk Abu Syah.”
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib mengkompromikan dua jenis Hadis di atas yang sama-sama Shahih dengan metode nasikh-mansukh. Larangan penulisan Hadis terjadi pada awal Islam karena khawatir terjadi percampuran antara al-Quran dan Hadis. Namun tatkala kaum Muslimin telah mengenal al-Quran dengan baik serta bisa membedaknnya dengan Hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga,
40 36 hukum larangan itu terhapus, mejadi dibolehkkan.
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya’, t.t), Juz 4, h. 2298, Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad, Al-Darimi, Al- Nasa’i, Al-Tirmidzi, dan lain-lain 37 G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 59-60; Lihat juga, Mahmud Abu Rayyah, ‘Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo:
Dār al-Ma‘ārif, tt.), h. 22 38 39 Al-thabrani, Al- Mu’jam al-Kabir (T.t.p.: T.p, t.t), Juz 4, h. 373 40 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Darr Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), Juz 2, h. 857
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya
Sebagian besar ulama masa kini menolak pendapat Abu Rayyah. Mereka beranggapan bahwa periwayatan secara lisan, berdasarkan daya ingat orang Arab yang luar biasa dan pencatatan sebagainya selama berabad-abad lamanya, yang pada akhirnya terwujudlah al-Bukhari dan Muslim, merupakan metode yang hampir tidak ada cacatnya untuk melestarikan Sunnah. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya menyebutkan, siapa yang menyatakan bahwa tiada satupun Hadis Nabi yang dicatat pada zaman Nabi, merupakan pernyataan dari seorang yang sangat awam pengetahuannya di bidang Hadis dan sejarah penulisan Hadis. Pada zaman Nabi, cukup banyak Hadis Nabi yang secara resmi ditulis. Dikatakan resmi karena Nabi sendiri yang menyuruh Sahabat tertentu untuk menulisnya. Sebagian dari Hadis yang secara resmi dicatat pada zaman Nabi itu adalah surat-surat Nabi ke berbagai
41 daerah, perjanjian Hudaibiyyah, dan piagam Madinah.
Adapun, tuduhan terhadap al-Zuhri sama sekali tidak menggugurkan otentisitas hadis dan tidak menunjukkan adanya indikasi dorongan untuk memalsukan hadis, tetapi justru menunjukkan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian hadis berjalan berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak
42 mengizinkan adanya ruang keraguan lagi.
c.
Kritik Konsep ‘Adalah al-Shahabah Abu Rayyah memandang para sahabat itu tidak lebih dari sekedar manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Karenanya mereka juga perlu diteliti identitasnya, apakah mereka memenuhi persyaratan sebagai rawi yang memiliki kredibilitas
(‘adalah wa al-Dhabt) atau tidak. Ia pun menuturkan, “para ulama
Hadis telah menetapkan keharusan dilakukannya penelitian terhadap identitas para periwayat Hadis, tetapi keharusan itu berhenti ketika mereka berhadapan dengan periwayat Hadis yang berasal dari generasi sahabat. Mereka tidak mau menelitinya dengan alasan bahwa para sahabat itu seluruhnya adil, dan karenanya tidak perlu diteliti atau dikritik. Aneh benar prinsip mereka ini, padahal para sahabat sendiri
43
saling kritik- mengkritik di kalangan mereka”.
44 Abu Rayyah juga memberikan keterangan mengenai hadis “man kadzaba”
bahwa kata
muta’ammidan (ا دووِ مَعَتُم) dalam hadis tersebut tidak terdapat dalam
riwayat versi sahabat-sahabat besar, yang di antaranya adalah tiga dari empat Khalifah Rasyidin. Riwayat Hadis tersebut yang memakai kata (
ا دووِ مَعَتُم) adalah sahabat-sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah dan lainnya. Abu Rayyah
45 41 mengatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj (yang membuat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), Cet. I, h. 31-32 42 Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012), h. 104-106 43 Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-
Muhammadiyyah au difa’ an al-Hadis (Mesir: Darr al- Ma’arif, t.t), h. 42-43 44 . Salah satu Hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan Abdullah bin Umar ialah:
ِّاَّنلا َن م ْهَ َع قَم أ ىَنب : َلاَق ىَو سيىع ىص َّ بَِّنلا َّنَأ وار َع ن ب بَع نَع 45 َّوَنبَنتَني ىَنف اً َعَنتْم َّيَىَع َ َ َب نَمَو ، َبَرَا َلاَو ، َلي ئاَر َ إ نَّب نَع اوْ َاَو ًةَيَ وَلَو نَّع اوْغ
Idraj adalah memasukkan kata-kata yang sebenarnya bukan hadis ke dalam susunan hadis. Idraj bisa hadis menjadi lemah). Menurutnya, idraj dilakukan para ulama dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena dengan tak sengaja telah mereka- reka Sunnah Nabi, atau mereka yang telah mereka-reka hal-hal tentang Nabi dengan alasan memajukan jalan Islam. Semua ini ditujukan Abu Rayyah untuk
46 menyatakan bahwa al-kidzb telah terjadi dikalangan para sahabat.
Argumen lain yang coba dikemukakan oleh kaum modernis, termaksuk Abu Rayyah untuk membuat tidak berlakunya
ta’dil kolekstif para Sahabat adalah
sehubungan dengan iktsar al-Hadis atau batas kewajaran dalam meriwayatkan Hadis. Alasan ini menaroh curiga terhadap adanya kepalsuan yang tidak disengaja, ketika seorang Sahabat meriwayatkan sedemikian banyak Hadis. Sehingga,
47 kekeliruan-kekeliruan nyaris tak dapat dihindarkan.
Menanggapi beberapa pandangan Abu Rayyah yang sangat tajam terhadap para Sahabat yang merusak integritas moral mereka, para ulama memandangnya sebagai fitnah yang keji. Bagaimana mungkin orang-orang yang sangat memperhatikan Nabi Saw, sehingga rela menghitung ubannya, dituduh menyebarluaskan kebohongan tentang Nabi? Dengan nada yang sama, Al-
Siba’i menyatakan bahwa menisbahkan kebohongan kepada Sahabat tidak logis karena pemalsuan Hadis akan segera dikenali oleh Sahabat lain. Adapun terkait dengan tuduhan terkait beberapa prilaku Sahabat, seperti saling kritik-mengkritik di kalangan mereka, maka hal ini dapat dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Misalnya, ada sebuah sumber riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah pernah menuduh bohong kepada Abu al-Darda. Suatu ketika Abu al-Darda berkhotbah ia berkata,
“apabila sudah masuk waktu shalat Shubuh, maka tidak boleh shalat Witir.” Mendengar ungkapan ini, Aisyah berkomentar, “bohong Abu al-Darda, karena nabi Saw pernah shalat Witir sementara waktu Shubuh sudah masuk”.
Namun, komentar Aisyah ini tentulah tidak dimaksudkan untuk menuduh Abu al- Darda sebagai orang berbohong, melainkan ia hanya keliru saja dalam memahami masalah waktu shalat Witir. Jadi, kata bohong dalam dialog tersebut tidak dapat diartikan secara haqiqi (sebenarnya), melainkan harus diartikan secara majazi
48 (kiasan), yaitu keliru.
Begitupun beberapa Sahabat yang telah dianggap munafik, pendusta, dan berbuat maksiat, maka harus dipahami perspektifnya masing-masing. Sebagai contoh terdapat tiga orang Sahabat yang dianggap Munafik karena tidak menyertai perang Tabuk, yaitu
Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin al- Rabi’. Surah al-Taubah ayat 117 menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat mereka. Bahkan bukan hanya itu, Allah telah menerima taubat para sahabat secara
49 46 keseluruhan, baik dari kelompok Anshar maupun Muhajirin.
Mahmud Abu Rayyah, 47 ‘Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt.), h. 37-38.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 84-85; Lihat juga, Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj.
Jaziar R dan Entin S.M dari judul asli“Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought” (Bandung: MIzan, 2000), Cet. I, h. 113 48 Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 120.
Kemudian mengenai Idraj dalam Hadis yang dikemukakan Abu Rayyah di atas mengenai kata
muta’ammidan (ا دووِ مَعَتُم), sama sekali kurang tepat jika
menganggapnya sebagai alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena dengan tak sengaja telah mereka-reka Sunnah Nabi. Alasan pertama yang dapat dikemukakan bahwa perbedaan semacam ini banyak terjadi dalam Hadis, khsususnya Hadis-hadis yang diriwayatkan secara bi al-Makna. Dal hal ini tidak mengurangi sedikit pun akan keotentikannya. Periwayatan semacam ini diperbolehkan selama tidak menyebabkan perubahan makna dan pergeseran hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan konteks Hadis di atas, kata
muta’ammidan (ا دوِ مَعَتُم) jika dianggap sebagai idraj justru dapat menjadi
syarah (penjelas) dari pesan Hadis tersebut. Idraj yang dimaksudkan untuk menafsiri kata yang gharib dalam Hadis sebagian ulama ada yang
50 membolehkannya.
d.
Kritik terhadap Abu Hurairah Dalam bukunya
‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, salah satu Sahabat
Nabi yang menjadi fokus kritikan Abu Rayyah, ialah Abu Hurairah. Sebelum Abu Rayyah, yang pertama kali melakukan kritik atas Sahabat ini ialah seorang Syi’ah Lebanon, A. Syarafuddin. Sehingga, Abu Rayyah merupakan penulis kedua yang melancarkan serangan pribadi terhadap Abu Hurairah. Beliau memaparkan kritikan atas Abu Hurairah dengan panjang lebar, mengkhususkan satu bab penuh untuk membahasnya, yaitu halaman 167 sampai dengan halaman 198. Kemudian bab tersebut dia kembangkan menjadi bab tersendiri, yang berjudul
“Syekh al-
51 ).
Madi’rah; Abu Hurairah” (
ةريره وبأ :ةريضملا خيش
1) Nama dan Nasab Abu Hurairah
Abu Rayyah memulai kritikannya kepada Abu Hurairah dengan nama namanya yang berbeda-beda. Namanya tidak dikenal pada masa pra Islam dan pada masa Islam. Al-Nawawi mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Rayyah bahwa nama Abu Hurairah adalah Abdur Rahman bin Sakhr. Al-Qatb al-Halaby mengatakan bahwa Abu Hurairah disatukan dengan nama bapaknya, Al-Zahabi mengatakan hal sama dan nama itu terkenal dengan nama Abdur Rahman bin Sakhr. Sebelum masuk Islam Abu Hurairah bernama Abd Syam, Abd Ghanam. Sementara al-Waqidi mengatakan bahwa nama Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amr, Abd Syam, Umair bin Amir atau Abd Umar.nDiantara sekian banyak nama Abu Hurairah menurut Umar bin al-Fallas yang paling shahih adalah Abd. Umar dan Bani Ghanam. Dalam hal ini Abu Rayyah mencukupkan dengan menyebut kunyah atau julukannya yaitu Abu Hurairah. Selain perbedaan nama, Abu Hurairah juga tidak diketahui secara jelas
52 50 asal muasal serta sejarahnya sebelum masuk Islam. 51 Lihat, Ali Nayef Syuhud, Al-Mufashashal fi Ulum al-Hadis (T.t.p: T.p, t.t), Juz 1, h. 207.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 90-91 52 Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al- Muhammadiyyah au difa’ an al-Hadis (Mesir: Darr al-
2) Persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi
Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati Nabi, terdapat satu satu misi yang penting dilakukannya yaitu mendapatkan makanan. Dalam bukunya
“Syaikh al-Madirah”, ia secara tegas menyatakan
bahwa Imam Bukhari meriway atkan hadits yang menyebutkan
“bi syiba’ bathnihi
) untuk mengenyangkan
” atau “lisyiba’ bathnihi” ( ) (
ِهووِنْطَب ِعَبووِشِل ِعَبووِشِب perutnya. Dengan analisa bahasanya, Abu Rayyah memahami bahwa Abu
53 Hurairah mendekati Nabi karena motivasi materil saja. Abu Rayyah juga
berusaha menurunkan nilai Abu Hurairah dengan menguraikan tentang reputasi Abu Hurairah sebagai orang yang rakus, seperti yang disebutkan oleh Al- Tsa’labi dalam bukunya yang berjudul Tsimar al-Qulub fi al-Mudaf wa al-
Mansub . Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah rakus kalau
sedang makan, dan terutama menyukai madirah (hidangan yang berupa susu dan
54 daging). Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syaikh al-Madirah.
3) Peran Abu Hurairah dalam Meriwayatkan Hadis