Andi Rahman Kualitas Hadis dlm Tafsir alQuran Depag RI

LEMBAR PERNYATAAN

Penulis, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Andi Rahman TTL : Jakarta, 7 April 1980 NIM : 04.2.00.1.05.01.0047 Alamat : Komplek SMP Bina Amal jl. Bungur Utara 77 Pejuang Bekasi

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN DEPAG RI adalah karya penulis sendiri dan bukan

merupakan jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Ciputat, 7 April 2008

Andi Rahman Andi Rahman

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian.

Ciputat, 7 April 2008

Pembimbing,

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA.

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Ketua Sidang/Penguji

Dr. Udjang Tholib, MA. Tgl. ................................

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Sekretaris Sidang,

Fita Fathurokhmah Tgl. .......................

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Penguji I,

Dr. H. Sahabuddin, MA. Tgl. ................................

vi

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Penguji II,

Dr. J.M. Muslimin, MA Tgl. ...............................

vii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Pembimbing,

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Tgl. ............................................

viii

ABSTRAK

Sebagai sebuah kitab suci, Alquran adalah korpus terbuka yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24 surah Muhammad. Dan dari sekian banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk menafsirkan Alquran (QS. Âlu ’Imrân 3:164, al-Nahl 16:44 dan 64, al-Jumu’ah 62: 2). Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis (Tafsîr bi al-ma’tsûr).

Departemen Agama RI menerbitkan Tafsir yang di dalamnya memuat riwayat-riwayat hadis dan yang diindikasikan sebagai hadis. Tesis ini menjawab dua pertanyaan yang muncul: Pertama, apa kualitas hadis-hadis yang disebutkan

dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini terkait penisbatannya (penyandarannya kepada Rasulullah atau selainnya) dan jenis periwayatannya?

Ada 115 riwayat dikaji, dan ini merupakan kajian ilmiah pertama terkait kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qur’an Depag RI. Penulis merujuk sumber-sumber hadis yang primer (masâdir asliyyah) untuk melacak keberadaan hadis beserta sanadnya. Kemudian untuk meneliti kualitas sanadnya, penulis merujuk ke kitab tarâjum al-ruwât yang memuat biografi para perawi hadis, dan kitab al-jarh wa ta’dîl yang memuat penilaian ulama atas masing-masing perawi itu. Sementara dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis mempertimbangkan pendapat ulama yang telah memberikan penilaian atas hadis itu.

Tesis ini menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang ada dalam Tafsir Al- Qur`an Depag RI bervariasi dilihat dari nisbat atau penyandaran periwayatan (marfû’, mawqûf, dan maqtû’), jenis periwayatan (hadis dan asbâb al-nuzûl), dan kualitasnya (sahîh dan da’îf).

Berdasarkan nisbatnya, sebanyak 90 riwayat (78% dari total riwayat yang dikaji) masuk kategori marfû’, 23 riwayat (20%) mawqûf, 1 riwayat (1%) maqtû’, dan 1 riwayat (1%) tidak diketahui penisbatannya. Berdasarkan jenis periwayatannya, sebanyak 84 riwayat (73%) merupakan hadis, dan sisanya sebanyak 31 riwayat (27%) masuk kategori sabab al-nuzûl. Sementara berdasarkan kualitasnya, sebanyak 77 riwayat (67%) sahîh, 12 riwayat (10%) hasan, 23 riwayat (20%) da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu, dan 3 riwayat (3%) tidak diberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.

Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki dalam Tafsir ini berupa kesalahan penisbatan riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat, kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki dalam Tafsir ini berupa kesalahan penisbatan riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat, kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan

Muslim meriwayatkan sebuah hadis, padahal sebenarnya hanya salah satu dari keduanya yang meriwayatkannya, dan penggunaan riwayat yang kurang kuat padahal ada riwayat lain yang dimiliki al-Bukhâri dan atau Muslim, atau riwayat lain yang lebih kuat.

ﲔ ﺨﻴﺸﻟﺍ ﺪﺣﺃ ﻪﺟﺮﺧﺃ ﺎﻣ ﺔﺒﺴﻧ ﺲﻜﻌﻟﺎﺑﻭ ﺮﺧ ﻵﺍ ﻥﻭﺩ ﺎﻤﻬﻨﻣ ﺪﺣﺍﻭ ﱃﺇ ﻥﺎ ﺨﻴﺸﻟﺍ ﻪﺟﺮﺧﺃ ﺎﻣ ﺔﺒﺴﻧﻭ ﰲ ﻯﺮﺧﻷﺍ ﺕﺎﻳ ﻭ ﺮﳌﺍ ﺩﻮﺟﻭ ﻊﻣ ﻑﺎﻌ ﻀﻟﺍ ﺕﺎﻳﻭﺮﳌ ﺍ ﺩﺍﺮﻳﺇ ﺀﺎﻄﺧﻷﺍ ﻩﺬﻫ ﻦﻤﺿ ﻦﻣﻭ . ﺎﻌﻴﲨ ﺎﻤﻬﻴﻟﺇ

. ﺔﺟﺭﺩ ﻯﻮﻗﺃ ﲎﻌﳌﺍ ﺲﻔﻧ

xii

ABSTRACT

Alquran is an open corpus which is available to be studied, analyzed, and interpreted for centuries. Indeed, some verses of Alquran inform us to study Alquran, e.g. al-Nisâ`: 82 and Muhammad: 24. However, some verses of Alquran clearly inform us that Prophet Muhammad PBUH was the only person who was appointed by Allah to interpret Alquran (Âlu ’Imrân:164, al-Nahl: 44 and 64, as well as al-Jumu’ah: 2). The interpretation to the Alquran preserved in traditions or hadiths (Tafsîr bi al-ma’tsûr)

One of the latest exegesis of Alquran was published by Ministry of Religious Affairs, Republic of Indonesia. The Exegesis contains some information considered as hadiths. Taking the facts into account, this thesis analyzes two points in relation to the Exegesis: Firstly, what is the quality of hadiths? Secondly, what is the orientation of the usage of the hadiths according to nisbat (association or affiliation) of the hadiths, and what is the kind or the narrations? One hundred and fifteen narrations (riwâyat) have been studied, and this thesis is the first research ever made that analyzes the quality of hadiths in the Exegesis

This research employs primary hadith sources (masâdir asliyyah) as a tool to locate the hadiths, including their sanad (chain of hadith narrators). The study also uses a set collection of tarâjum al-ruwât and al-jarh wa ta’dîl books to identify the quality of hadiths. In addition, the research also considers the opinions of 'ulamâ (Moslem scholars) who have given invaluable explanations about certain hadiths.

The research then concludes that the narrations which are included in the Exegesis (Tafsir Al-Qur`an Depag RI) indicate some considerations. In terms of nisbat , the narrations was categorized into marfû’, mawqûf, or maqtû’. In terms of the kind of narrations, it’s grouped as hadîth or asbâb al-nuzûl. Based on the quality of narrations, it’s classified as sahîh or da’îf.

The research shows that according to the nisbat, 78% are marfû’, 20% are mawqûf, 1% are maqtû’, and 1% are unknown. According to the kind of narrations, 73% are hadîths, whereas 27% are classified as asbâb al-nuzûl. In terms of the quality of narrations 67% are sahîh, 10% are hasan, 20% da’îf (2 narrations of the da’îf are mawdû’), and 3% are undefined due to the lack of sanad .

The research also finds some weaknesses that might be improved. They include inappropriate nisbat, poor matn quotation, mistake in mentioning the companions. The weaknesses are also related to the most prominent narrators al- Bukhârî and Muslim. Some hadiths was said narrated by only al-Bukhârî, whereas the fact is that was narrated by both al-Bukhârî and Muslim, and vice versa it was mentioned narrated by both al-Bukhârî and Muslim, but actually the hadith is only mentioned by one of them. Some da’îf (weaker) narrations have also been used, while strongest narrations are convincingly available.

xiii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâh wa al-salâh wa al-salâm ’alâ al-habîb Rasûlillâh , sebuah kalimat yang tepat untuk diungkapkan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas segala anugerah dan kerunia-Nya. Tesis ini dapat diselesaikan dengan bantuan banyak pihak, utamanya:

1. Ummî Siti Zubaydah binti Muhammad Natsir, dan almarhum Abî, Abdul Kohar bin Muhammad Anwar, sebagai guru sepanjang hidup bagi penulis.

2. Keluarga dan kerabat penulis, khususnya khâlî Djunaedi bin Muhammad Natsir yang membiayai penulis pada pendidikan menengah hingga strata

satu

3. Dr. KH. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. hafizahullâh, selaku pembimbing penulisan Tesis ini

4. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. hafizahullâh, yang membimbing penulis selama belajar di pesantren Darus-Sunnah

5. Dr. Udjang Tholib MA, Dr. Sahabuddin MA, Dr. J.M. Muslimin MA, selaku penguji Tesis

6. Firdaus Wajdi MA, Prof. Dr. Amany Lubis MA, Prof. Dr. Suwito, MA, dan Dra. Latifah Farray

7. Segenap sivitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sivitas akademika pesantren Darus-Sunnah, keluarga besar Lembaga Pengembangan Insani (LPI), dan Departemen Agama RI c.q.. Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an. Kepada seluruh pihak yang membantu penulisan tesis ini, penulis ucapkan

terima kasih yang disertai untaian doa: ”Anda layak mendapat pahala dari Allah Ta’ala, amin”.

Ciputat, 7 April 2008

Andi Rahman

xx

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Aksara Huruf Arab Huruf Latin

Keterangan

ﺍ Tidak dilambangkan

B ﺏ Huruf “Be”

ﺕ Huruf “Te”

ﺙ Huruf “Te” dan “Es” digabung dengan garis bawah

Ts

Huruf “Je” ﺝ

H ﺡ Huruf “Ha” dengan garis bawah

ﺥ Huruf “Ka” dan “Ha” dengan garis bawah

Kh

D ﺩ Huruf “De”

ﺫ Huruf “De” dan “Zet” dengan garis bawah

Dz

ﺭ Huruf “Er”

ﺯ Huruf “Zet”

ﺱ Huruf “Es”

ﺵ Huruf “Es” dan Ye” dengan garis bawah

Sy

ﺹ Huruf “Es” dengan garis bawah

D ﺽ Huruf “De” dengan garis bawah

ﻁ Huruf “Te” dengan garis bawah

ﻅ Huruf “Zet” dengan garis bawah

ﻉ Tanda koma terbalik di atas menghadap kanan

(Apostrophe )

G ﻍ Huruf “Ge” dengan garis bawah

F ﻑ Huruf “Ef” F ﻑ Huruf “Ef”

ﻕ Huruf “Qi”

ﻙ Huruf “Ka”

ﻝ Huruf “El”

ﻡ Huruf “Em”

ﻥ Huruf “En”

ﻭ Huruf “We”

H ـﻫ Huruf “Ha”

Accent Grave ﺀ

ﻱ Huruf “Ye”

b. Huruf Vokal Tunggal (Monoftong) Tanda

Keterangan Vocal Arab Vokal Latin

Tanda

A Harakat Fathah ـَـ

I Harakat Kasrah ـِـ

Harakat Dammah ـُـ

c. Huruf Vokal Rangkap (Diftong) Tanda

Keterangan Vokal Arab Vokal Latin

Tanda

ﻱ Huruf “A” dan “I” ـَـ

Ai

ﻭ Huruf “A” dan “U” ـ َـ

Au Au

d. Huruf Vokal Panjang (Madd) Tanda

Keterangan Vokal Arab Vokal Latin

Tanda

ﺍ Huruf “A” dengan topi di atas/caret (accent ـَـ

circonflexe)

ﻱ Huruf “I” dengan topi di atas/caret (accent ـِـ

circonflexe)

Huruf “U” dengan topi di atas/caret (accent ﻭ ـُـ

circonflexe)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya penafsiran, serta banyaknya metode dan pendekatan guna memahami Alquran merupakan bukti bahwa kitab suci ini adalah korpus terbuka yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Alquran ibarat sumber mata air yang tidak akan pernah kering di mana semakin banyak orang mengambil air dari sumber itu, pancaran airnya justru semakin deras.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah menamakan Alquran

sebagai “jamuan Allah” atau ma`dubah Allâh (HR. al-Hâkim, al-Dârimî, dan al- Bazzâr) 1 . Semua orang diundang untuk mendatangi jamuan itu dan menikmati

hidangannya. Banyak orang yang mendatangi jamuan itu dengan hati lapang. Banyak pula orang yang mau menghadiri jamuan dengan mengendapkan syak wasangka dan tuduhan buruk. Tidak sedikit di antara mereka tidak mau menghadiri bahkan bersikap apriori terhadap undangan itu.

Para penikmat Alquran memiliki sifat dan tingkat intelektualitas yang berbeda sehingga mengakibatkan “cita rasa” masing-masing orang juga berbeda.

Lebih dari pada itu, karakteristik bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran, 2 cenderung multi intepretasi. Sebuah kata dalam bahasa Arab dapat memiliki

makna lebih dari satu (musytarâk), dan satu ungkapan dapat memiliki pengertian yang beragam bahkan terkadang bertolak belakang. Dari sini, timbulnya keragaman tafsir Alquran menjadi sebuah keniscayaan.

1 Muhammad bin ‘Abdillâh al-Hâkim, al-Mustadrak ‘Âlâ al-Sahîhayn, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1990), cet. I, vol. I, h. 741; ’Abdullâh bin ’Abdurrahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî,

(Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), cet. I, vol. II. h. 521 dan 523; Ahmad bin ’Amr al- Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, (Beirut: Muassasah ’Ulûm al-Qurân, 1409 H), cet. I, vol. V, h. 423. Semuanya dari sahabat ’Abdullâh bin Mas’ûd. Al-Haytsamî mengomentari hadis ini yang melalui jalur sanad al-Bazzâr bahwa seluruh perawinya tsiqat.

Lihat: ’Alî bin Abû Bakar al-Haytsamî, Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), vol. I, h. 129.

2 Dalam banyak tempat dinyatakan bahwa Alquran berbahasa Arab, misalnya dalam surah Yûsuf 12:2, al-Ra'd 13:37. Pada surah al-Nahl 16:103, dinyatakan bahwa Alquran berbahasa Arab yang

terang. Pernyataan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih sebagai bahasa Alquran juga terdapat dalam surah al-Syu'ara` 26:195, al-Zumar 39:28, Fussilat 41:3, al-Syûrâ 42:7, al- Zukhruf 43:3, dan al-Ahqâf 46:12.

Keragaman penafsiran ini tidak mendapat hambatan normatis dari Agama. Bahkan lebih dari sekedar kebolehan, penafsiran Alquran merupakan sebuah perintah. Dalam Alquran kita dapati banyak ayat yang memerintahkan kita mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24

surah Muhammad. 3 Dalam pemaknaan yang luas, penafsiran Alquran termasuk dalam kategori

ijtihad yang juga memiliki asas legalitasnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyebutkan jika seseorang berijtihad dan tepat, maka ia mendapat dua pahala. Sementara jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (Muttafaq ’alayh

dari ’Amr bin al-’Âsh) 4 . Kata “ijtihad” dalam hadis ini mengisyaratkan kriteria

kelayakan orang yang akan menafsirkan Alquran, yaitu orang yang memiliki ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kegiatan penafsiran Alquran. Sementara orang yang tidak memiliki ilmu yang cukup, tidak berhak menafsirkan Alquran. Rasulullah bersabda,

“Siapa yang menafsirkan Alquran tanpa ilmu, maka hendaknya ia menentukan tempatnya di neraka” 5 . (HR. Al-Tirmidzî dari Ibn ’Abbâs)

Penafsiran adalah upaya memahami maksud sebuah ucapan yang tidak lugas. Dalam banyak kasus, ucapan yang lugas dan sederhanapun masih perlu penafsiran ketika pihak yang mengucapkannya memiliki ucapan atau pendapat lain yang bertolak belakang. Dalam konteks ucapan yang belum jelas atau adanya lebih dari dua ucapan dari satu pengucap yang substansinya berbeda, diperlukan kejelasan maksud dari si pengucap. Untuk menghindari kerancuan dan

3 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82)

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?!” (QS. Muhammad 47:24)

4 Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Kitab al-I’tisâm Bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bab Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), cet. III, vol. VI, hal. 2676; Muslim,

Sahîh Muslim , Kitab al-Aqdiyah Bab Bayân Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-’Arabî), tth., vol. III, hal. 1342

5 Muhammad bin ’Îsâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Kitab Tafsîr al-Qurân ’An Rasûlillâh Bab Mâ Jâa Fî al-LadzîYufassir al-Qurân bi Ra’yihî, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî), tth, vol

V, hal. 199. Al-Tirmidzî menilai hadis ini hasan sahîh.

ambiguitas, kita dapat melakukan konfirmasi dan bertanya langsung kepada pihak yang mengucapkannya, atau kepada pihak lain yang diberikan otoritas untuk menjelaskan maksud ucapan tadi.

Pihak yang paling mengatahui maksud dari sebuah ucapan, tentulah pengucapnya. Oleh karena itu, pihak yang paling mengatahui maksud dan penafsiran Alquran adalah Allah Ta’ala. Dari sini, penafsiran sebuah ayat Alquran dengan ayat Alquran lain, merupakan penafsiran yang—menurut penulis—paling tepat. Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah tidak menghalangi manusia menafsirkan firman-Nya, Ia bahkan memerintahkan hamba-

hamba-Nya untuk mengkaji dan menafsirkan ayat-ayat-Nya. 6 Dan dari sekian

banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk

menafsirkan Alquran. 7 Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penafsiran ayat-ayat Alquran dengan berdasarkan ayat-ayat Alquran lainnya, dan penafsiran ayat dengan hadis adalah penafsiran—masih menurut pendapat penulis—yang paling baik. Model penafsiran ini dikenal dengan Tafsir bi al-Ma`tsûr (tafsir ayat Alquran berdasarkan ayat Alquran lain dan hadis).

Dari sekian banyak kitab tafsir yang beredar di masyarakat luas, sebagian menggunakan metode bi al-ma`tsûr. Salah satu tafsir yang menggunakan metode

6 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran?! Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82)

7 Berikut beberapa ayat yang menyatakan Rasulullah mendapatkan mandat untuk menyampaikan wahyu Ilahi, dan menerangkannya kepada manusia:

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar- benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Âlu ’Imrân 3:164)

“Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl 16:44)

”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. al-Nahl 16:64)

”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumu’ah 62: 2) ”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumu’ah 62: 2)

menilai dan standar apa yang dijadikan alat ukurnya. Lepas dari penilaian subyektivitas kita, kehadiran Tafsir Depag RI perlu diapresiasi, terutama karena ia hadir di masyarakat yang masih sedikit mampu membaca tafsir-tafsir klasik berbahasa Arab. Bahwa isinya memiliki kesesuaian dengan konteks waktu dan masyarakat Indonesia kontemporer, Tafsir ini akan menjadibacaan yang akan banyak dikaji masyarakat luas.

Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, metode yang digunakan Tafsir Depag RI adalah bi al-ma`tsûr. Namun, sebagaimana tafsir-tafsir yang lain,

pendekatan dan metode yang digunakan pastilah tidak satu. Ungkapan bahwa tafsir ini menggunakan metode bi al-ma`tsûr tidak menafikan penggunaan metode lain (yang dikenal sebagai tafsir bi al-ra`y). Ungkapan bahwa sebuah tafsir menggunakan metode bi al-ma`tsûr atau bi al-ra`y menerangkan bahwa metode atau pendekatan itu yang paling dominan digunakan. Terkait dengan Tafsir Depag RI, metode bi al-ra`y tetap digunakan dengan proporsional.

Metode bi al-ma`tsûr yang digunakan menjadikan Tafsir ini menyebutkan banyak hadis dan riwayat-riwayat sebagai dasar penafsiran dan argumentasinya. Dalam tesis ini penulis menyoroti hadis-hadis itu, di mana sebagian besarnya tidak disebutkan kualitas kesahîhannya (validitas nisbat hadis kepada Rasulullah). Ketiadaan penyebutan kualitas hadis ini menimbulkan keraguan atas validitasnya sebagai hadis.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tidak semua ungkapan yang dinyatakan sebagai hadis, adalah benar-benar hadis. Hadis da’îf dan bahkan palsu, banyak beredar luas di tengah masyarakat yang secara common sense tidak mengetahui cara memverifikasi dan menilai kesahîhan hadis. Sementara ketika kualitas sebuah hadis belum dipastikan kesahîhannya, maka argumentasi dan penafsiran yang berdasarkan hadis itu juga tidak dapat dipastikan kebenarannya.

8 M. Shohib Tahar, ”Telaah Tentang Tafsir Al-Qur`an Departemen Agama RI”, dalam jurnal Lektur Keagamaan , (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat

Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), vol. 1, no. 1, hal. 57

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana di paparkan di atas, muncul permasalahan mendasar yang menjadi pokok penelitian ini: Apakah hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Qur`an Depag RI kualitasnya sahîh?

Dari permasalahan pokok tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan khusus (minor research questions) yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana metodologi penulisan Tafsir Al-Qur`an Depag RI?

2. Apa definisi hadis?

3. Apa kriteria (syarat) hadis sahîh?

4. Apa hukum penggunaan hadis yang tidak sahîh dalam menafsirkan

Alquran dan dalam penetapan hukum?

5. Apa kualitas

yang terdapat dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI?

hadis-hadis

6. Bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI?

Point pertama penulis paparkan dalam bab III sub bab b. Point kedua hingga keempat telah dibahas oleh ulama hadis, dan penulis singgung sekilas dalam bab II. Penulis membatasi penelitian ini pada dua pertanyaan: Pertama, apa kualitas hadis-hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, terkait penisbatan dan jenis periwayatannya?

Mengingat besarnya Tafsir yang menjadi objek penelitian dan banyaknya hadis yang terdapat dalam Tafsir itu, penulis membatasi penelitiannya pada surah al-Fâtihah, dan al-Baqarah. Dalam dua surah ini, penulis mengkaji 115 (seratus lima belas) riwayat hadis atau yang diindikasikan sebagai hadis.

Kedua surah yang penulis jadikan sample, kurang lebih merupakan sepersepuluh dari total seluruh ayat Alquran. Kajian terhadap dua surah ini diharap dapat memberikan gambaran singkat yang akurat terkait kualitas hadis yang ada dalam Tafsir ini. Pemilihan dua surah ini, juga berdasarkan pendekatan klasifikatif, di mana surah al-Fâtihah termasuk kategori Makkiyah, sementara al- Baqarah masuk kategori Madaniyah. Yang tidak kalah penting, adalah bahwa dua Kedua surah yang penulis jadikan sample, kurang lebih merupakan sepersepuluh dari total seluruh ayat Alquran. Kajian terhadap dua surah ini diharap dapat memberikan gambaran singkat yang akurat terkait kualitas hadis yang ada dalam Tafsir ini. Pemilihan dua surah ini, juga berdasarkan pendekatan klasifikatif, di mana surah al-Fâtihah termasuk kategori Makkiyah, sementara al- Baqarah masuk kategori Madaniyah. Yang tidak kalah penting, adalah bahwa dua

C. Rumusan Masalah

Dengan beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok penelitian dalam dua pertanyaan: Pertama, apa kualitas hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al- Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, terkait penisbatan dan jenis periwayatannya?

D. Tujuan Penelitian

Penulis menyebutkan literatur yang dijadikan sumber rujukan bagi hadis- hadis yang tidak disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, serta memberikan analisa kualitas kesahîhannya. Hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.

Tesis ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah dalam kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan tafsir dan hadis. Tesis ini juga diharapkan dapat mendorong dan menyemarakkan kajian hadis dan Ilmu hadis.

E. Signifikansi Penelitian

Maraknya penyimpangan ajaran agama Islam, seringkali disebabkan kesalahan penafsiran atas Alquran yang dilakukan individu penafsir. Dengan berdasarkan hadis da’îf atau bahkan palsu, penyimpangan-penyimpangan itu mendapatkan justifikasi. Takhrîj hadis adalah mekanisme untuk menyeleksi hadis yang beredar di tengah masyarakat, dan untuk memilah antara hadis yang sahîh dan yang da’îf (termasuk yang palsu).

Tesis ini bermanfaat untuk menjelaskan kualitas hadis yang tercantum dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sehingga pembaca dapat mengetahui keabsahan penafsiran yang dibangun berdasarkan hadis-hadis itu.

F. Kajian Pustaka

Buku-buku atau kitab keislaman yang diterbitkan dan dicetak pada tahun- tahun belakangan kebanyakan sudah mencantumkan tahqîq (kajian dan penjelasan yang terkadang bersifat anotatif) yang ditulis dalam catatan kaki. Tahqîq ini berisi penjelasan hal-hal yang ada dalam buku atau kitab itu yang dianggap perlu mendapat penjelasan lebih, misalnya kata atau ungkapan yang sulit dipahami atau kekhilafan penulis yang salah dalam menyampaikan data, atau penulisan hadis dan ucapan orang yang oleh penulis tidak disebutkan sumber rujukannya. Takhrîj hadis adalah salah satu bentuk tahqîq.

Upaya menakhrîj hadis yang ada dalam karya tulis tertentu, terutama buku

atau kitab yang menjadi bacaan masyarakat luas, bukanlah merupakan hal yang baru. Tidak sedikit dari para ulama dan sarjana yang menulis karya ilmiah yang khusus berkaitan dengan takhrîj hadis dalam buku atau kitab tertentu.

Takhrîj hadis mendapatkan perhatian yang besar sebagai sebuah respon atas maraknya kegiatan pemalsuan hadis dan penyebaran hadis palsu yang menjadi fenomena umum di setiap kurun waktu. Sadar akan pentingnya memilah dan membedakan antara hadis yang sahîh dan yang da’îf, para ulama menakhrîj hadis yang tertulis dalam kitab-kitab yang beredar di masyarakat.

Sebagai sebuah buku yang akan dibaca dan dijadikan rujukan masyarakat umum, upaya menakhrîj hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qurân Depag RI menjadi sebuah keharusan.

Ada beberapa kajian atas Tafsir Al-Qur’an Depag RI baik yang berbentuk artikel lepas maupun tesis, misalnya Pluralisme Agama Dalam Al-Qur`an: Telaah Terhadap Tafsir Departemen Agama yang ditulis oleh Jauhar Azizy (tesis UIN Jakarta, 2007), ”Telaah Tentang Tafsir Al-Qur`an Departemen Agama RI” yang ditulis oleh M. Shohib Tahar dalam jurnal Lektur Keagamaan (Jakarta, 2003), ”Menimbang Tafsir Depag RI: Telaah Penafsiran Surah Al-Fatihah” dalam www.stainsalatiga.ac.id yang ditulis oleh Adang Kuswaya, ”Pengamatan Sekilas Terhadap Al-Qur`an Dan Tafsirnya” dalam Menabur Pesan Ilahi yang ditulis oleh

M. Quraish Shihab, dan ”Al-Qur`[a]n al-Karim wa Tafsiruh (Al-Qur`an Dan Tafsirnya Depag RI)” sebuah artikel yang ditulis Nurul Huda. 9

Masing-masing penulis tersebut di atas mengulas isi dan profil Tafsir dengan bobot kajian yang berbeda. Jauhar Azizy dan Adang Kuswaya menitikberatkan kajiannya pada isi dan tema yang dibahas dalam Tafsir. M. Shohib Tahar mengulas profil dan metodologi Tafsir. Sementara Nurul Huda dan M. Quraish Shihab mengulas isi dan metodologinya.

M. Shohib Tahar menyatakan bahwa hingga kini belum ada buku atau karya tulis ilmiah yang mengkaji kesahîhan hadis yang ada dalam Tafsir Al-

Qur`an Depag RI, baik yang menggunakan pendekatan takhrîj maupun lainnya. 10

Dengan demikian, kiranya tesis ini merupakan karya ilmiah pertama yang meneliti kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Depag RI.

G. Metodologi Penelitian

Objek kajian dalam tesis ini bervariasi, mulai dari hadis yang disebutkan secara lengkap dan telah dinilai kualitasnya, hingga ungkapan yang tidak secara lugas dinyatakan sebagai hadis namun diindikasikan sebagai hadis. Ada juga riwayat yang dinyatakan sebagai hadis namun tanpa dijelaskan secara eksplisit matan hadisnya, sanad, mukharrij (kitab sumber), dan kualitasnya.

Dalam melakukan kajian, penulis menggunakan kajian perpustakaan (library research) dengan menetapkan hal-hal berikut:

1. Jika dalam Tafsir disebutkan bahwa “Rasulullah bersabda,” atau bahwa “dalam sebuah riwayat disebutkan begini atau begitu", tanpa secara eksplisit menjelaskan matan hadisnya, maka penulis mencari matan hadis itu beserta mukharrijnya.

2. Jika disebutkan matan hadisnya saja, maka penulis mencari mukharrijnya

9 www.nuhamaarif.blogspot.com, tanggal 23 Agustus 2006 10 Wawancara dengan M. Shohib Tahar, sekretaris Tim Revisi Tafsir Depag RI, pada tanggal 4

Juni 2006. Informasi ini juga penulis peroleh dari Ali Mustafa Yaqub, wakil ketua Tim, dua hari sebelumnya.

3. Hadis yang telah disebutkan mukharrijnya akan dilakukan pengecekan ke kitab yang disebutkan untuk memastikan bahwa hadis yang dimaksud tersebut benar-benar ada dalam kitab itu.

4. Setelah hadis diketahui mukharrijnya dan didapatkan sanadnya, penulis melakukan kajian untuk mengetahui kualitas sanadnya.

5. Jika mukharrij hadisnya al-Bukhâri dan atau Muslim, maka penulis menilainya sahîh karena adanya kesepakatan ulama yang menyatakan bahwa seluruh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim atau

salah satu di antara keduanya kualitasnya sahîh. 11

6. Jika hadisnya terdapat dalam sunan arba’ah (Abû Dâwud, al-Nasâî, al-

Tirmidzî, dan Ibn Mâjah) atau kitab hadis lainnya yang sudah masyhur seperti Musnad Ahmad, Sahîh Ibn Hibbân, Sahîh Ibn Khuzaimah, Mustadrak al-Hâkim , dan Sunan al-Dâruqutnî, maka kualitas hadisnya sesuai dengan kekuatan hadis tersebut dilihat dari hasil kajian sanad dan matan mengikuti kaedah umum kritik hadis.

7. Jika ada ulama hadis yang telah memberikan penilaian atas kualitas hadis, maka penulis menyebutkan penilaian itu sebagai pembanding dan bahan

pertimbangan. 12

11 Mahmûd al-Tahhân berkata, "Terdapatnya hadis dalam salah satu al-Sahîhayn (Sahîh al-Bukhâri dan Sahîh Muslim) dapat dipastikan bahwa hadis itu sahîh. Tidak perlu dilakukan kajian atas

sanadnya" Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr al-Qurân al- Karîm, 1979), cet. ll, hal. 210. Ibn al-Salâh berkata, "Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî atau Muslim termasuk hal-hal yang dipastikan kesahîhannya…" Ibn Salâh, 'Ulûm al-Hadîts, (Aleppo: al-Maktabah al-'Ilmiyah), tth., hal. 25 Ibn Katsîr berkata, "Aku sependapat dengan Ibn al-Salâh dalam hal ini" Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr al-Qurân al-

Karîm, 1979), cet. ll, hal. 211 12 Al-Suyûtî berkata, “Ambillah penilaian hadis berdasarkan penetapan dari seorang hâfiz (pakar

hadis), atau dari penilaian koletor hadis yang memiliki kualifikasi dan berkompeten”.

Muhammad Mahfûz al-Termasî, Manhaj Dzawî al-Nazar Syarh Manzûmah ’Ilm al-Atsar, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H), hal. 19 Kebanyakan riwayat sudah mendapat penilaian dari ulama, baik dari penulis atau kolektor (mukharrij) riwayat itu sendiri, maupun dari ulama lain yang hidup setelahnya. Namun adanya perbedaan standar penilaian yang dimiliki masing-masing ulama, dan keterbatasan sumber informasi, tidak jarang penilaian itu mengundang koreksi dan kritik dari ulama lain. Kasus penilaian palsu yang diberikan Ibn al-Jawzî dalam al-Mawdûât yang dikritik oleh al-’Irâqî, yang kemudian mendapatkan otokritik dari al-Suyûtî adalah contohnya. Pada masa belakangan, ulama

8. Jika hadisnya ada di dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis da’îf seperti Târîkh Bagdâd dan Târîkh Ibn ‘Asâkir, maka penulis mengkaji sanadnya dengan mencoba menganalisa argumentasi keda’îfan hadis itu

9. Terkait dengan riwayat yang masuk kategori Asbâb al-Nuzûl (peristiwa atau kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran), penulis menggunakan riwayat-riwayat yang dikumpulkan al-Wâhidî dalam kitab Asbâb al-Nuzûl. Penulis memilih riwayat asbab nuzul yang akan ditakhrîj dengan pertimbangan ketersediaan informasi terkait sanad hadisnya.

10. Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî,

Ibn Hibbân, al-Bayhaqî, dan Ibn al-Jawzî, dan pendapat ulama mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zayla’î al-Haytsamî, Ibn Hajar, al- Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Penulis juga mengutip pendapat ulama kontemporer seperti al-Albânî, Ahmad Syâkir, dan al-Arna’ût.

11. Penulis melakukan kajian kritik sanad dan matan dengan menggunakan kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan oleh al- Tahhân dan ulama lain.

12. Dalam melakukan kajian terhadap seorang rawi, penulis mendasarkan penilaian kepada data-data yang terdapat dalam kitab tarâjum (biografi) seperti Tahdzîb al-Kamâl dan Mîzân al-I’tidâl.

13. Jika ada perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa ta’dîl mengenai kualitas seorang rawi, maka penulis melakukan ijtihad dan komparasi pendapat-pendapat itu.

14. Setelah menentukan kualitas sebuah hadis, jika diperlukan penulis akan mencoba mencarikan mutâbi’ dan syawâhid-nya (hadis yang substansi matannya sama namun sanadnya berbeda dengan hadis yang sedang dikaji)

seperti al-Albânî dan al-Arnaût adalah contoh bahwa penilaian atas sebuah hadis senantiasa perlu untuk dilakukan.

15. Jika ada hadis atau perawi hadis yang terulang, penulis tidak melakukan kajian ulang, dan cukup memberikan rujukan tempat pembahasannya di halaman yang telah memuat kajian itu.

16. Dalam melakukan penukilan dan penulisan ulang hadis atau ungkapan yang disinyalir sebagai hadis dari Tafsir Depag RI, penulis akan menuliskannya sebagaimana tertulis dalam Tafsir itu, tanpa melakukan penyesuaian dengan transliterasi yang penulis tetapkan.

H. Sistematika Penulisan

Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif

tentang isi tesis ini, penulis menganggap perlu mengungkapkan sistematika penulisan tesis ini sebagaimana berikut:

Bab I berupa Pendahuluan yang mengungkap beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulisan tesis ini. Permasalahan-permasalahan itu diidentifikasi dan dirumuskan serta diberi batasan agar penulisan tesis terarah dan sesuai tujuan. Dan untuk menghindari adanya tumpang tindih antara tesis ini dengan karya tulis ilmiah lain, diperlukan sebuah kajian pustaka yang berisi penjelasan apakah kajian yang ada dalam tesis ini sudah pernah ditulis oleh orang lain. Kemudian demi tercapainya tujuan dan signifikansi tesis ini, diperlukan metodologi penulisan yang sesuai dengan kaedah penulisan karya ilmiah. Pendahuluan ini diakhiri dengan uraian sistematika penulisan tesis yang dimaksudkan memberikan gambaran umum dari isi Tesis.

Bab II tentang Takhrîj hadis yang berisi hal-hal terkait dengan kegiatan penakhrîjan hadis. Penulis memberikan gambaran singkat dan signifikan seputar sejarah dan perkembangan kajian matan dan sanad hadis, definisi dan sejarah perkembangan takhrîj hadis, metode yang digunakan dalam penakhrîjan hadis, beberapa prinsip dasar takhrîj, dan manfaat takhrîj hadis.

Bab III memberikan gambaran singkat dan komprehensif tentang profil Tafsir al-Qur`an Depag RI, metodologi penulisannya, dan gambaran umum terkait penyebutan atau pengutipan hadis dalam Tafsir ini. .

١٢

Bab IV yang merupakan inti dari tesis ini berisi takhrîj hadis-hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sebagaimana batasan dan rumusan yang telah disebutkan sebelumnya, dengan disertai analisa yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.

Bab V yang menjadi penutup tesis ini berisi kesimpulan berupa jawaban- jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang telah disebutkan dalam sub Bab Perumusan dan Pembatasan masalah pada Bab I. Perlu juga disampaikan saran- saran yang dapat menyempurnakan hasil dari tesis ini. Dan sebagai pelengkap penulisan Tesis, pada bagian akhir disebutkan lampiran yang berkaitan dengan tesis ini.

BAB II TAKHR ÎJ HADIS

Diskursus yang berkembang selama ini terkait dengan kajian hadis adalah seputar keotentikan hadis, dan kajian atas kesahîhan atau keda’îfan hadis. Sependek pembacaan penulis, sejarah hanya mencatat sedikit sekali polemik yang mengarah pada keraguan atas kehujjahan hadis, atau isu penolakan terhadap otoritas hadis dalam hukum dan syariat Islam. Penolakan beberapa orang terhadap otoritas hadis secara keseluruhan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap

eksistensi hadis dan khazanah keilmuan Islam lainnya. 13 Hal ini dikarenakan

lemahnya argumentasi yang digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai sebuah kekonyolan.

Dengan mengurut kronologis sejarah, kita akan dapati adanya klaim penolakan hadis sebagai hujjah dari beberapa golongan atau sekte pada abad ke I hingga III H, dan masa kontemporer sekarang ini. Namun klaim itu beserta argumentasinya terbantahkan.

Dalam sejarah kita dapati fakta bahwa pada masa sahabat sudah ada orang-orang yang dipersangkakan menolak kehujjahan hadis. Namun sebenarnya mispersepsi terkait data sejarah terkait adanya sikap penerimaan kabar yang diasosiasikan kepada Rasulullah, dan perbedaan penetapan kriteria hadis yang diterima menurut masing-masing kelompok, telah menimbulkan kesan adanya penolakan terhadap hadis sebagai hujjah.

Misalnya pada pertengahan abad I Hijriah, kita dapati klaim yang menyatakan bahwa golongan Khawârij menolak hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat yang menyetujui proses arbitrase antara ’Alî bin Abû Tâlib dengan Mu’âwiyah. Namun di waktu yang sama, mereka masih menerima hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang menurut penilaian mereka masih ”belum murtad”.

Al-Sibâ’î menuturkan bahwa Khawârij—dengan berbagai kelompoknya yang berbeda-beda itu—sebelum terjadinya perang saudara antar sahabat, mereka

13 Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) cet. II, hal. 196

menganggap semua sahabat Nabi sebagai orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka kemudian mengafirkan ‘Alî, ‘Utsmân, orang-orang yang mengikuti ‘Perang Unta’, dua utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan perdamaian (tahkîm), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua orang utusan perdamaian tadi. Dengan demikian mereka menolak hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah terjadinya fitnah.

Namun pendapat al-Sibâ’î ini perlu ditinjau kembali, sebab yang jelas kitab-kitab tulisan orang Khawârij telah punah bersamaan dengan punahnya golongan itu, kecuali golongan ‘Ibâdiyah yang masih termasuk golongan Khawârij. Berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh kelompok ini (‘Ibâdiyah), kita

dapati bahwa mereka menerima hadis Nabi, dan mereka meriwayatkan hadis yang diriwayatkan melalui sahabat ‘Alî, ‘Utsmân’ ’Âisyah, Abû Hurayrah, Anas bin Mâlik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa seluruh golongan Khawârij menolak Hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi, baik

sebelum maupun sesudah peristiwa tahkîm, adalah tidak benar. 14 Berdasarkan tulisan-tulisan al-Sya’fi’î, al-Khudarî menarik kesimpulan

bahwa golongan yang menolak hadis secara keseluruhan adalah Mu’tazilah. Al- Sibâ’i tampaknya juga cenderung kepada pendapat ini. Namun sebenarnya— seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Sibâ’i—ada kesimpangsiuran dalam keterangan para ulama tentang sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah, apakah mereka menerimanya secara keseluruhan, atau malah menolaknya secara keseluruhan,

atau hanya menerima yang mutawâtir dan menolak yang âhâd. 15 “Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber tadi—golongan

Mu’tazilah juga seperti umumnya umat Islam, menerima hadis Nabi. Memang mereka mungkin mengkritik sejumlah hadis yang berlawanan dengan teori madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan”.

Demikian ujar M.M. Azami. 16 Golongan Syî’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya

kelompok Itsnâ ‘Asyariyah yang merupakan madzhab resmi negara Iran hingga

14 M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 42-43 15 M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 43-44 16 M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 45

sekarang. Mereka menerima dan memakai hadis Nabi. Hanya saja ada anggapan bahwa mayoritas sahabat—setelah Nabi wafat—sudah murtad, kecuali sekitar tiga sampai sebelas orang saja. Maka timbul dugaan mereka tidak mau menerima hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Mereka hanya menerima

hadis yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bayt (keturunan Rasulullah). 17 Walau al- Suyûti sempat mencatat pengingkaran ekstrimis Syi’âh (al-Râfidah) dan kaum

zindiq terhadap kehujjahan hadis secara totalitas. 18 Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa sejak masa lalu umat Islam

sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi. Hanya saja di antara mereka ada yang menerimanya dengan

beberapa syarat, seperti tiga kelompok yang telah disebutkan di atas. Pensyaratan terhadap penerimaan hadis juga ada dalam madzhab Mâlikî yang mensyaratkan tidak adanya pertentangan hadis dengan ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk kota Madinah). Demikian juga madzhab Abû Hanîfah yang mensyaratkan tiga hal: Tidak bertentangan dengan qiyâs, tidak ditentang sendiri oleh perawinya, dan tidak masuk dalam kategori ta’umm bihî al-balwâ (menyangkut hal ihwal masyarakat).

Kondisi yang mengesankan adanya penolakan terhadap kehujjahan hadis ini, lenyap pada akhir abad ketiga. Penolakan ini muncul kembali pada abad

ketiga belas hijriyah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan barat 19 . Sesudah abad kedua hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan

kelompok muslim mana yang tidak menerima hadis sebagai hujjah. Sementara mereka yang menolak hadis tempo dulu, tepatnya pada abad kedua hijriyah, sudah tidak ada lagi. Sesudah abad kedua itu, sampai kira-kira sebelas abad berikutnya tidak terdengar adanya orang yang menolak hadis sebagai hujjah. Barulah setelah negara-negara barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka menyebarkan benih- benih busuk untuk melumpuhkan kekuatan Islam. pada saat itu di Irak muncul orang yang menolak hadis.

17 M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 45-46 18 ’Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Suyûtî, Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bî al-Sunnah, (Beirut:

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,1987), cet. I, hal. 14 19 M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 46

Di Mesir kondisi yang mengesankan adanya penolakan hadis muncul pada masa Muhammad ‘Abduh. Ini menurut kesimpulan Abû Rayyah, apabila hal itu benar. Pada tahun 1929, Ahmad Amin menulis buku Fajr al-Islâm di mana ia membahas hadis Nabi seraya mencampuradukkan antara yang benar dan yang batil. Sebuah pembahasan yang justru membuat orang ragu terhadap keotentikan

hadis. 20 Para orientalis sudah lama mencurahkan perhatian untuk meneliti ilmu-

ilmu keislaman. Pada awalnya kajian mereka berkisar pada sejarah dan sastra Islam. Mereka mulai meneliti hadis Nabi pada abad XIX, dan barangkali orang yang pertama kali meneliti hadis adalah Ignaz Goldziher yang pada tahun 1890