BAB II LANDASAN TEORI A. Bullying 1. Pengertian bullying - Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Self Esteem pada Siswa SMP Korban Bullying

BAB II LANDASAN TEORI A. Bullying

1. Pengertian bullying

  Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud

  menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric

  Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku

  agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.

  Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Rigby (dalam Astuti, 2008), menyatakan bullying merupakan perilaku agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang, dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.

2. Tanda-tanda bullying

  Olweus (2006) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso (2003) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya ancaman akan dilakukannya agresi. Oleh sebab itu, seseorang dianggap menjadi korban bullying bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami

  

bullying , yaitu minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan. Seorang

korban bullying dapat mengalami satu atau beberapa bentuk bullying.

  Ketika hanya satu bentuk bullying yang dialami seseorang, namun frekuensinya minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan, hal itu juga termasuk menjadi korban bullying.

3. Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying

  Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 yaitu: a.

  Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku

  bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk

  daripada korban bullying dan murid yang tidak terlibat dalam perilaku

  bullying (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Pelaku bullying juga

  cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Olweus (dalam Moutappa, 2004) mengemukakan bahwa pelaku bullying cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial dan pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith, & Sweetenham, dalam Moutappa, 2004).

  Menurut Stephenson dan Smith (dalam Sullivan, 2000), tipe pelaku

  bullying antara lain (1) tipe percaya diri, secara fisik kuat, menikmati

  agresifitas, merasa aman dan biasanya populer, (2) tipe pencemas, secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer dan kurang merasa aman, dan (3) pada situasi tertentu pelaku bullying bisa menjadi korban bullying. Selain itu, para pakar banyak menarik kesimpulan bahwa karakteristik pelaku bullying biasanya adalah agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasan, impulsif, dan memiliki kesulitan dalam berempati (Fonzi & Olweus dalam Sullivan, 2000). Menurut Astuti (2008) pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin popular, sering membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah atau di sekitarnya, merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak geriknya sering kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata kasar, dan menyepelekan/ melecehkan.

  b.

  Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut Byrne dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru (dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta memiliki teman dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton & Underwood dkk, dalam Haynie dkk, 2001). Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam (Olweus, dalam Moutappa, 2004).

  Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya merupakan anak baru di suatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang lebih kecil, tekadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang pernah mengalami trauma atau pernah disakiti sebelumnya dan biasanya sangat peka, menghindari teman sebaya untuk menghindari kesakitan yang lebih parah, dan merasa sulit untuk meminta pertolongan. Selain itu juga anak penurut, anak yang merasa cemas, kurang percaya diri, mudah dipimpin dan anak yang melakukan hal-hal untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatiaan orang lain, pengugup, dan peka. Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang orientsinya gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang agamanya dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat, atau memiliki kelebihan. ia dijadikan sasaran karena ia unggul, anak yang merdeka, tidak mempedulikan status sosial, serta tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap mengekspresikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya. Selanjutnya korbannya merupakan anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau fisik, anak yang memiliki ganguan-hiperaktif-defisit-perhatian (attention deficit hyperactive disorder) mungkin bertindak sebelum berpikir, tidak mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya sehingga disengaja atau tidak menggangu bully, anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah. ia diserang karena bully sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu pada saat itu juga.

  c. Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk, 2004). Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simptom depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain (Austin & Joseph; Nansel dkk, dalam Totura, 2003). Schwartz (dalam Moutappa, 2004) menjelaskan bully-victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas, regulasi emosi yang buruk, kesulitan dalam akademis dan penolakan dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Kaukiainen, dkk., dalam Moutappa, 2004).

  d. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat, yaitu pelaku

  (bullies), korban (victim), pelaku sekaligus korban (bulliy-victim) dan pihak yang tidak terlibat (neutral).

4. Bentuk-bentuk bullying

  Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007), yaitu: a. Verbal bullying

  Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling umum dari bullying yang digunakan baik anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya tanpa terdeteksi. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan dapat sangat menyakitkan pada target. Jika verbal

  bullying dimaklumi, maka akan menjadi suatu yang normal dan target

  menjadi dehumanized. Ketika seseorang menjadi dehumanized, maka seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk diserang tanpa mendapatkan perlindungan dari orang di sekitar yang mendengarnya.

  Verbal bullying dapat berbentuk name-calling (memberi nama

  julukan), taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel criticsm (kritikan yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal),

  racist slurs (menghina ras), sexually suggestive (bermaksud/bersifat

  seksual) atau sexually abusive remark (ucapan yang kasar). Hal ini juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan telepon yang kasar, mengintimidasi lewat e-mail, catatan tanpa nama yang berisi ancaman, tuduhan yang tidak benar, rumor yang jahat dan tidak benar.

  b.

  Physical bullying Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah untuk diidentifikasi adalah bullying secara fisik. Bentuk ini meliputi menampar, memukul, mencekik, mencolek, meninju, menendang, menggigit, menggores, memelintir, meludahi, merusak pakaian atau barang dari korban.

  c.

  Relational bullying Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi, relational

  bullying

  adalah pengurangan perasaan „senseā€Ÿ diri seseorang yang sistematis melalui pengabaian, pengisolasian, pengeluaran, penghindaran. Penghindaran, sebagai suatu perilaku penghilangan, dilakukan bersama romur adalah sebuah cara yang paling kuat dalam melakukan bullying. Relational bullying paling sering terjadi pada tahun-tahun pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying terdiri dari 3 bentuk yaitu: fisik, verbal dan relasional. Adapun bentuk bullying yang diteliti dalam penelitian ini adalah ketiga bentuk bullying yakni bullying secara fisik, verbal dan relasional.

5. Dampak bullying

  Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007).

  Menurut Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku

  

bullying , orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat

  atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-cara yang konstruktif.

  Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa.

  Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi.

  Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self

  esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam

  Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian.

  Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009).

  Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi (Hodges & Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam Arseneault, dkk., 2009).

  Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian

  bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi

  tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga.

B. Self Esteem

1. Pengertian self esteem

  Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) self esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu berdasarkan pada seberapa mampu mereka dalam menjalankan tugas, seberapa baik mereka memenuhi standart etis atau agama, seberapa besar mereka merasa dicintai dan merasa diterima oleh lingkungannya, dan seberapa besar pengaruh yang mereka miliki.

  Self esteem merupakan penilaian sesorang terhadap gambaran dirinya

  dalam berbagai aspek kehidupan (Pintrich & Schunk dalam Woolfolk, 2004). Melalui self esteem, seorang remaja dapat mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006). Selain itu Mruk (2006) menyatakan self esteem merupakan keberhargaan (worthiness) atau sikap yang dikiliki individu terhadap dirinya sendiri, yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga.

  Self esteem berkaitan dengan self concept (konsep diri). Akan tetapi self esteem dan self concept memiliki makna yang berbeda. Self concept

  merupakan pengetahuan dan keyakinan seseorang mengenai karakteristik diri, kelebihan, dan kekurangan yang dimilikinya. Self concept berkaitan dengan pertanyaan “siapa diri saya?”. Sementara self esteem merupakan penilaian dan perasaan terhadap nilai dan rasa keberhargaan diri seorang individu, seperti pernyataan “saya bangga dengan prestasi akademik saya”.

  Self esteem

  berkaitan dengan pertanyaan “seberapa baik diri saya sebagai individu?” (McDevitt & Omrod, 2010).

  Woolfolk (2004) menyatakan bahwa perbedaan antara self concept dan

  

self esteem tertetak pada struktur pemahaman diri. Self concept merupakan

  struktur kognitif dari pemahaman diri, sedangkan self esteem adalah struktur afektif dari pemahaman diri. Sebagaimana yang diungkap oleh Pintrich dan Schunk (dalam Eggen & Kauchak, 2007) bahwa self concept merupakan penilaian kognitif terhadap keadaan fisik, sosial, serta kemampuan akademik seorang individu, sedangkan self esteem merupakan reaksi emosional ataupun penilaian terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh seorang individu. Selanjutnya Guindon (2010) menyatakan bahwa

  

self esteem merupakan sikap atau evaluasi (penilaian afektif) individu

terhadap self concept.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa self esteem dan self concept memiliki makna yang berbeda. Self concept merupakan pengetahuan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri. Sementara self esteem merupakan penilaian atau evaluasi yang dibuat individu secara keseluruhan terhadap dirinya sendiri yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga, perasaan mampu dan perasaan diterima oleh lingkungannya.

2. Aspek-aspek self esteem

  Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) aspek-aspek self esteem meliputi: a.

  Perasaan berharga Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu berupa pernyataan yang bersifat pribadi seperti pintar, sukses, dan baik. Rasa berharga individu muncul karena dirinya sendiri dan penilaian orang lain, terutama orang tua. Penilaian ini sangat tergantung pada pengalaman yang dirasakan individu, yaitu apakah individu merasa berharga atau tidak. Individu yang menganggap dirinya berharga serta dapat menghargai orang lain umumnya memiliki harga diri yang positif. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya, dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik.

  b.

  Perasaan mampu Perasaan mampu merupakan perasaan individu pada saat ia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan, perasaan mampu merupakan hasil persepsi individu mengenai kemampuannya yang akan mempengaruhi pembentukan harga diri individu tersebut.

  Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai- nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Mereka biasanya menyukai tugas baru, menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna melainkan tahu keterbatasan diri dan mengharap adanya pertumbuhan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan memberi penilaian yang positif pada dirinya.

  c.

  Perasaan diterima Bila individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan merasa bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnya, maka individu akan merasa dirinya diikutsertakan atau diterima. Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya sebagai bagian dari kelompoknya. Sebaliknya individu akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima. Dari uraian diatas maka aspek-aspek harga diri adalah perasaan berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima.

3. Karakteristik individu dengan self esteem tinggi dan rendah

  Self esteem tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan self

esteem rendah. Menurut Rosenberg dan Owens (dalam Guindon, 2010)

  beberapa karakteristik individu yang memiliki self esteem tinggi dan rendah antara lain: a.

  Self esteem tinggi 1)

  Merasa puas dengan dirinya 2)

  Bangga menjadi dirinya sendiri 3)

  Lebih sering merasa senang dan bahagia 4)

  Menanggapi pujian dan kritik sebagai masukan

  5) Dapat menerima kegagalan dan bangkit dari kekecewaan akibat kegagalan

  6) Memandang hidup secara positif dan dapat mengambil sisi positif dari kejadian yang dialami

  7) Menghargai tanggapan orang lain sebagai umpan balik untuk memperbaiki diri

  8) Menerima peristiwa negatif yang terjadi pada diri dan berusaha memperbaikinya

  9) Mudah untuk bernteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain

  10) Berani mengambil resiko

  11) Bersikap positif pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya

  12) Optimis

  13) Berpikir konstruktif (dapat mendorong diri sendiri) b.

  Self esteem rendah 1)

  Merasa tidak puas dengan dirinya 2)

  Ingin menjadi orang lain atau berada di posisi orang lain 3)

  Lebih sering mengalami emosi yang negatif (stres, sedih dan marah) 4)

  Sulit menerima pujian, tapi terganggu oleh kritik 5)

  Sulit menerima kegagalan dan kecewa berlebihan saat gagal 6)

  Memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif

  7) Menganggap tanggapan orang lain sebagai kritik yang mengancam

  8) Membesar-besarkan peristiwa negatif yang pernah dialaminya

  9) Sulit untuk berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain

  10) Menghindar dari risiko

  11) Bersikap negatif (sinis) pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya

  12) Pesimis

  13) Berfikir yang tidak membangun (merasa tidak dapat membantu diri sendiri)

  Hal yang senada juga dinyatakan oleh Branden (1994) bahwa remaja dengan self esteem rendah memiliki pikiran irasional mengenai dirinya, tidak berani mencari tantangan baru, memiliki perasaan tidak berguna, kurang memiliki aspirasi dan usaha untuk mencapai tujuannya, serta membatasi diri saat berhubungan dengan orang lain.

  Selain itu Sherfield (2004) membedakan individu dengan self esteem tinggi dan self esteem rendah antara lain: a.

  Self esteem tinggi 1)

  Memiliki pandangan yang positif dan konstruktif terhadap dirinya sendiri 2)

  Memiliki keyakinan terhadap kemampuannya sendiri 3)

  Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya 4)

  Menetapkan tujuan yang realistis dan berusaha mencapainya 5)

  Mampu mengembangkan hubungan yang positif

  6) Mampu memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitarnya b.

  Self esteem rendah 1)

  Memiliki pandangan yang negatif dan pesimis terhadap dirinya sendiri 2)

  Merasa tidak mampu untuk melihat keterbatasan dan masalah yang dihadapi Mruk (2006) menyatakan secara umum self esteem dibedakan dalam 3 tingkat yaitu self esteem tinggi, self esteem sedang, dan self esteem rendah.

  Setiap tingkat memiliki karakteristik tertentu yang dapat ditampilkan individu. Meskipun demikian, karakterikstik self esteem sedang jarang dibahas dalam berbagai literatur dan penelitian. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self esteem dalam penelitian ini membagi self esteem menjadi self esteem tinggi dan self esteem rendah.

3. Perkembangan self esteem remaja

  Donnchadha (2000) menyatakan self esteem merupakan sebuah proses dan bukan sebuah produk yang dapat diperoleh secara instan. Self esteem merupakan proses yang terus berjalan sejak individu masih kecil hingga tumbuh menjadi dewasa. Perkembangan self esteem tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sense of self pada individu karena sebelum munculnya self esteem, individu mengawalinya dengan kesadaran terhadap keberadaan dirinya sendiri. Mcdevitt dan Omrod (2008) membagi perkembangan sense of self pada individu menjadi lima tahapan, yaitu

  infancy (lahir-2 tahun), masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), masa kanak-

  kanak pertengahan dan akhir (6-10 tahun), remaja awal (10-14 tahun), dan remaja akhir (14-18 tahun).

  Pada saat seorang individu memasuki remaja awal (10-14 tahun) dan mengalami transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama, akan terjadi penurunan pada self esteem. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi penurunan self esteem pada remaja awal adalah popularitas karena hal tersebut merupakan aspek yang penting pada masa remaja awal (Cornell dkk.; Hart; Harter dkk. dalam McDevitt & Omrod, 2010). Selain itu perubahan lingkungan sekolah yang mencakup perubahan persahabatan, hubungan antara guru dan siswa yang lebih dangkal, dan standar akademik yang lebih ketat semakin memberikan pengaruh negatif terhadap self esteem remaja (Eccless & Midgley; Harter dalam McDevitt & Omrod, 2010). Pada saat yang bersamaan seorang remaja mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif sehingga mereka semakin mampu untuk memahami pandangan orang lain terhadap dirinya (Harter dalam McDevitt & Omrod, 2010). Kemampuan tersebut akhirnya juga membuat remaja berpikir bahwa perhatian setiap orang tertuju kepadanya sehingga membuat remaja sensitif terhadap penilaian yang diberikan oleh orang lain (McDevitt & Omrod, 2010).

  Remaja mengembangkan self esteem lebih luas dan relevan dengan aspek-aspek yang dimilikinya seperti pandangan dirinya terhadap pertemanan, hubungan percintaan serta kompetensinya (Harter, dalam Bos dkk., 2006). Self esteem remaja terbentuk dari hasil evaluasi subjektif atas umpan balik yang remaja terima dari orang sekitar serta perbandingan dengan standar atau nilai kelompoknya (Santrock, 2007). Berkaitan dengan self esteem pada remaja, DuBois dan Tevendale serta Feldman dan Elliot (dalam Boden, dkk., 2008) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa kritis dalam perkembangan self esteem karena self esteem dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja.

  Harter (dalam Carranza, dkk., 2009) menyatakan bahwa self esteem memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan remaja. Remaja dengan self esteem tinggi cenderung berprestasi di sekolah. Simonds, dkk. (dalam Wilburn & Smith, 2005) menjelaskan bahwa remaja dengan self

  esteem tinggi memiliki kemampuan coping yang lebih efektif, sehingga

  kemampuannya dalam menghadapi tantangan serta kesehatan mentalnya tetap terjaga.

  Penelitian yang dilakukan oleh Robin dkk. (dalam Bos, dkk., 2006) menunjukkan bahwa self esteem menurun drastis ketika masa remaja.

  Adanya pikiran yang tidak realistis menyebabkan remaja cenderung mengkritik diri sendiri. Guindon (2010) menjelaskan kritik terhadap diri dapat menimbulkan evaluasi negatif sehingga mempengaruhi self esteem individu. Bos, dkk. (2006) mengungkapkan adanya konsekuensi negatif bila seorang remaja memiliki self esteem rendah antara lain memiliki masalah interpersonal, kegagalan akademis, serta masalah psikopatologi seperti kecemasan, depresi, dan gangguan makan.

  Selain itu adanya masalah self esteem pada seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangannya. Self esteem bagi remaja sangat penting karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja (Andrews; Harter dalam Boden, Ferfusson & Horwood, 2008). Remaja membutuhkan self esteem yang positif agar dapat mencapai keberhasilan dalam berbagai aspek. Penelitian yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem yang cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi instrinsik dan prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Mann dkk. menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang rendah di sekolah (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari segi hubungan sosial, penelitian yang dilakukan Donders dan Verschueren menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah biasanya kurang diterima oleh teman-temannya (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006).

  Robson (dalam Coetzee, 2009) menyatakan remaja yang memiliki masalah self esteem cenderung memiliki masalah interpersonal, mengalami kegagalan akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung, dan merasa depresi. Selain itu mereka juga mengalami kecemasan, merasa terasing, tidak dicintai, menarik diri dari situasi sosial, kurang mampu memecahkan masalah dan sulit mengambil keputusan, cenderung menerima umpan balik negatif sebagai sesuatu yang benar, serta berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem

  Menurut Mruk (2006), self esteem berkaitan dengan penilaian diri (self

  

evaluation ) terhadap kompetensi diri pada bidang yang penting bagi

  remaja tersebut. Apabila lingkungan memberikan penilaian yang negatif terhadap diri remaja, namun remaja memiliki penilaian yang positif mengenai dirinya sendiri, maka kemungkinan self esteem remaja tersebut tetap tinggi. Selain itu self esteem juga dipengaruhi oleh pola asuh orangtua. Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritarif, yaitu memberikan harapan sekaligus batasan (kontrol) yang jelas, dapat mengembangkan self esteem remaja menjadi positif. Sebaliknya orangtua yang terlalu membebaskan atau membatasi remaja dapat mengembangkan

  

self esteem remaja menjadi negatif sehingga dapat memunculkan perilaku

bermasalah.

  Hal senada juga disampaikan oleh Duffy dan Atwater (2002) bahwa pola asuh orangtua merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi

  

self esteem remaja. Remaja dengan self esteem tinggi diasuh oleh orangtua

  yang menerima mereka apa adanya, mampu mengekspresikan afeksi atau kasih sayang, dan membangun aturan-aturan yang tegas namun beralasan.

  Sementara remaja dengan self esteem rendah diasuh dengan aturan-aturan yang terlalu ketat, permisif dan tidak konsisten. Selanjutnya Dekovic dkk.

  (dalam Papalia, 2007) menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang terabaikan dapat menyebabkan mereka memiliki self esteem yang rendah serta berpandangan pesimis terhadap masa depan.

  Penerimaan orangtua terhadap anaknya juga memberikan pengaruh pada self esteem remaja. Kurangnya penerimaan orangtua terhadap kelebihan dan kekurangan remaja akan menurunkan self esteem remaja, sehingga remaja akan membandingkan dirinya dengan keadaan orang lain dan tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Selain itu perilaku orangtua yang kasar dan sering mengkritik remaja akan membuat remaja mempunyai self esteem yang rendah (Kemis dalam Mruk, 2006). Selanjutnya Boss dkk. (2006) juga menyatakan hal yang senada bahwa orangtua yang bersikap tidak responsif dan kurang memberi pengakuan kepada remaja akan membentuk self esteem remaja menjadi rendah, sedangkan orangtua yang membesarkan remaja dengan sikap penuh pengakuan dan tanggapan akan membentuk remaja dengan self esteem tinggi.

  Menurut Mujis dan Reynols (2008) sikap dan perilaku guru juga turut mempengaruhi perkembangan self esteem remaja di sekolah. Cara guru mengoreksi perilaku siswa yang tidak sesuai dengan aturan, seperti pemberian label atau julukan negatif, meremehkan dan merendahkan remaja di depan teman-temannya akan membuat self esteem remaja menjadi rendah. Selain itu remaja yang memperoleh nilai akademik yang tinggi terkadang tidak memiliki harga diri yang tinggi karena guru seringkali mengumumkan nilai ujian didepan seluruh siswa sehingga remaja membandingkan diri mereka sendiri dengan teman-temannya berdasarkan nilai yang diperoleh. Rendahnya self esteem remaja juga dapat dipengaruhi karena guru memberikan hukuman yang berat di depan siswa lain saat remaja melakukan kesalahan atau melanggar disiplin sekolah.

  

Self esteem juga dipengaruhi oleh pengalaman kesuksesan dan

  kegagalan dimasa lalu. Performa remaja di masa lalu dapat berpengaruh terhadap persepsi remaja terhadap dirinya sekarang. Seorang remaja dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki bakat dan kemampuan dalam suatu pelajaran jika dirinya memperoleh kesuksesan dalam pelajaran tersebut di masa lalu (Omrod, 2008).

  Remaja yang mendapatkan penerimaan dan dukungan dari teman sebaya mempunyai self esteem yang tinggi, memiliki lebih sedikit masalah emosional dan prestasi sekolah yang lebih baik (Wentzel dalam Ormrod, 2007). Hal senada juga disampaikan oleh Boss dkk. (2006) bahwa hubungan dengan teman sebaya menjadi pengaruh yang lebih utama bagi seorang remaja. Perasaan terhadap penerimaan dari teman-teman memberikan pengaruh besar terhadap self esteem seorang remaja. Menurut Green dan Way (2005) teman sebaya merupakan faktor yang mempengaruhi self esteem seorang remaja. Apabila remaja merasa teman sebayanya memberikan dukungan, kehangatan, serta kenyamanan dalam berinteraksi dengannya, maka remaja akan memiliki persepsi diri yang lebih positif sehingga meningkatkan self esteem mereka.

  Miller (dalam Duffy & Atwater, 2002) menyatakan self esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari pengalaman normatif masa kecil yang terkait dengan pola asuh orangtua, hingga standar pribadi mengenai diri ideal (ideal self) individu, yang mungkin juga turut dipengaruhi oleh kultur atau budaya tertentu.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi self esteem yaitu penilaian atau pemikiran remaja terhadap dirinya sendiri, pengalaman kesuksesan dan kegagalan yang dialaminya, pengaruh orangtua, teman sebaya, guru dan budaya.

C. Remaja dan Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1. Pengertian remaja

  Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahan-perubahan pada diri individu, baik secara psikologis, fisiologis, seksual dan kogntif serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakat dan perubahan sosial yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri. Masa remaja dimulai pada transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif maupun sosial (Papalia, Old, & Feldman, 2008).

  Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Pada tahap remaja awal (12-15 tahun), remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan- perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Menurut Hurlock (2004), individu yang memasuki masa remaja awal banyak mengalami perubahan- perubahan, baik itu secara fisik maupun psikologis. Remaja awal secara psikologis banyak mengalami perubahan dalam hal nilai-nilai, sikap, dan perilaku serta cenderung dianggap belum matang dibanding dengan remaja akhir.

  Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja awal adalah seorang individu yang berusia 12-15 tahun yang mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan cenderung dianggap belum matang.

2. Pengertian siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

  Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah individu yang sedang menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Sulaeman (1995), siswa SMP secara kronologis berusia antara 12-15 tahun. Batasan usia remaja menurut Monks (2001) adalah antara 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir.

  Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas- batas usia remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai batasan usia remaja karena masa remaja adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam dua periode yaitu: pertama, periode masa puber usia 12-18 tahun, dalam tahap ini anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi, anak mulai bersikap kritis. mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan, plin- plan, suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib. Kedua, periode remaja adolesen usia 19-21 tahun, dalam tahap ini perhatian anak tertutup pada hal-hal realistis, mulai menyadari akan realitas, sikapnya mulai jelas tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya (Putri & Hadi, 2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP berada pada tahap perkembangan remaja awal yang berusia 12-15 tahun.

  3. Tugas-tugas perkembangan remaja

  Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Mubin dan Cahyadi, 2006), adalah sebagai berikut: a.

  Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya, baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.

  b.

  Menerima keadaan fisiknya, dan menerima peranannya sebagai pria atau wanita.

  c.

  Menginginkan dapat berperilaku yang diterima oleh sosial.

  d.

  Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala tindakan dan pandangan.

  4. Ciri-ciri masa remaja

  Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya, namun kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya. Adapun ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2004), antara lain: a.

  Masa remaja sebagai periode yang penting Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik disertai perkembangan mental yang cepat dan penting. Semua perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

  b.

  Masa remaja sebagai periode peralihan Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih menjadi dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang berbau kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan namun bukan juga orang dewasa.

  c.

  Masa remaja sebagai periode perubahan Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku juga menurun. Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain, seperti meningginya emosi, perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

  d.

  Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dikarenakan dua alasan. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa.

  e.

  Masa remaja sebagai masa mencari identitas Erikson mengatakan bahwa bagaimana individu mencari identitas mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

  f.

  Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi cermin bagi citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah kepada stereotipe tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap konsep diri dan sikap remaja. Menerima stereotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

  g.

  Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita yang diciptakan oleh remaja yang tidak realistik dan memandang diri dan orang lain tidak sebagaimana adanya.

  h.

  Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, meminum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.

5. Perkembangan fisik remaja

  Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormon, seperti hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosteron, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan remaja sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormon tersebut menurut Atwater, (1992) adalah ukuran otot bertambah dan semakin kuat, testosteron menghasilkan sperma dan estrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan, munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus di sekitar kemaluan, ketiak dan muka.

  Menurut Sraufe (1996), pada masa remaja terjadi perkembangan dan perubahan fisik yang sangat pesat dalam masa remaja awal, terutama pada tinggi dan berat badan. Terjadinya perubahan fisik pada masa ini menyebabkan remaja harus melakukan penyesuaian terhadap perubahannya tersebut. Pertumbuhan yang pesat pada tubuh remaja yang membuat diri fisik mereka seperti orang dewasa, menyebabkan orang lain akan memperlakukannya seperti peranan orang dewasa dengan segala tanggung jawabnya walaupun mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari segala peranan mereka yang baru. Perkembangan fisik pada masa remaja yang terlalu cepat atau terlalu lambat akan berpengaruh secara psikologis pada diri remaja.