BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada Peserta Didik Kelas IX SMP Pangudi Luhur Salatiga

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Perilaku Bullying

2.1.1 Pengertian Bullying

  American Psychological Association (2013) mengartikan Bullying sebagai :“a

form of aggressive behavior in whichsomeone intentionally and repeatedly

causesanother person injury or discomfort. Bullyingcan take the form of physical

contact, wordsor more subtle actions”.

  Pengertian tersebut bermakna sebagai suatu bentuk perilaku agresif yang dilakukan seseorang secara berulang yang menyebabkan kecederaan atau ketidaknyamanan pada orang lain. Secara umum diartikan sebagai perilaku mengganggu dan kekerasan. Jika makna iniyang digunakan justru tidak tepat sebab perilaku tersebut lebih dari sekedar mengganggu dan kekerasan, oleh sebab itu sampai menunggu adaptasi bahasa mungkin agak tepat jika kita menggunakan perkataan Buli saja. Banyak pakar memasukan berbagai elemen untuk mendefinisikan perilaku buli (Quistgaard, 2009, Craig & Pepler, 1999) yaitu;

  a. Perilaku buli melibatkan ketidakseimbangan kuasa. Anak-anak yang Melakukan buli atau pembuli mempunyai kuasa lebih dengan faktor seperti umur, ukuran badan,dukungan rekan sebaya, atau mempunyai status yang lebih tinggi.

  b. Perilaku buli selalunya merupakanaktivitas yang diulang-ulang yaitu seorang anak itu disisihkan lebih dari sekali, danlazimnya dalam keadaan yang kronik.

  c. Perilaku buli dilakukan dengan tujuanuntuk memudaratkan korban

  d. Perilaku buli termasuk agresivitas fisik,penghinaan lisan, penyebaran fitnah, atau gosip, dan ancaman penyisihan dari kelompok sebaya.

  Olweus (Krahe, 2005) mendefinisikan “Bullying sebagai perilaku negatif dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, sehingga korbannya terus menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi”.

  Olweus (1993) menspesifikan perilaku repititif dalam hal ini mengecualikan perilaku atau kejadian-kejadian yang tidak serius yang kadang-kadang terjadi dan tidak menyinggung perasaan korban, kejadian tersebut hanya sebagai lelucon saja dan tidak dianggap sebagai perilaku bullying, selain itu, perilaku bullying selalu dilakukan berulang kali karena menimbulkan perasaan senang pada pelaku karena berhasil membuat korban malu, terluka baik secara psikologis atau fisik, dan terintimidasi, sehingga pelaku mengulang-ulang perilaku tersebut. Perilaku bullying menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakseimbangan kekuatan dari pelaku yang kuat secara fisik atau mentalnya.

  Dalam penyalahgunaan kekuasaan kriteria yang diberikan tidak hanya individu yang berbadan besar, akan tetapi bisa juga individu yang berbadan kecil tetapi kuat secara fisik (memiliki keahlian bela diri) dan kuat secara mentalnya, individu yang lebih tua secara umur (senior kepada junior di sekolah), mahir dalam berkata-kata (verbal), memiliki status sosial tinggi (ketua geng di sekolah), kepada korban yang dianggap lemah secara fisik dan mentalnya, seperti individu yang berfisik kecil dan lemah atau bisa juga individu yang memiliki fisik terlalu besar (gendut) akan tetapi pemaludan penakut, individu yang menutup diri dan sulit bergaul, individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, individu yang canggung (sering salah bicara, bertindaka, atau berpakaian). Sedangkan, ketidakseimbangan kekuatan, Olweus (1993) menyatakan bahwa

  “it’is not bullying when two student of about the same stranger or power argue

or fight” (Bukan sebuah bullying apabila dua siswa yang memiliki persamaan kekuatan berdebat atau berkelahi) dari penjelasan Olweus (1993) terlihat bahwa ketidakseimbangan kekuatan terjadi bila perilaku bullying tersebut dilakukan individu atau sekelompok orang kepada satu orang individu yang dianggapnya lemah, apabila individu atau kelompok tersebut memiliki kekuatan yang sama maka bukan disebut dengan bullying.

  Bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau

  kekuasaan yang dilakukan oleh seorang/sekelompok orang. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tetapi bisa juga kuat secara mental. Korban

  

bullying tidak mampu membela atau mempertahankan diri karena lemah secara fisik dan

atau mental (Sejiwa, 2008).

  Dari beberapa pendapat Ahli di atas, maka penulis dan meyimpulkan bahwa perilaku bullying adalah perilaku seseorang yang secara sengaja mengandalkan kekuatannya kepada korban yang lebih lemah atau tidak memiliki keseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korban bully yang dilakukan pelaku secara berulang kali pada korban. Sehingga pelaku bullying merasa lebih kuat dari korbannya karena menganggap korban lemah dan tidak berdaya. Bullying dapat berbentuk perilaku kontak fisik langsung maupun kontak fisik tidak langsung, bullying kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menendang) sedangkan kontak fisik tidak langsung (mendiamkan, mengucilkan).

2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Bullying

  Berdasarkan bentuknya menurut Olweus (2003) bullying dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional atau mental.

  1. Verbal Bentuk bullying ini berhubungan dengan verbal atau kata-kata. Perilaku yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah, memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip yang negatif dan membentak.

  2. Fisik

  Bentuk bullying ini yang paling terlihat karena bersifat langsung dan terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku. Contoh perilakunya seperti memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer, menimpuk, menendang, dan berbagai ancam kontak fisik lainnya.

  3. Relasional atau Mental Bentuk bullying ini berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat merusak hubungan dengan orang lain. Perilaku yang termasuk dengan sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok, pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis, merendahkan dan penuh ancaman.

  Dari beberapa bentuk perilaku bullying tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying dapat terjadi melalui verbal atau menggunakan kata-kata yang bersifat menyakiti, fisik secara langsungyang dapat menyemtuh atau melukai korban dan relasional atau mental yang dapat merusak hubungannya dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Bullying

  Banyak ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan perilaku Bullying .Olweus (dalam Rudi, 2010) menyebutkan terdapat faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi pelaku dalam perilaku Bullying diantaranya:

  1. Pelaku pernah menjadi korban Bullying Terjadinya perilakuBullying bisa dikarenakan pelaku pernah menjadi korban

  bullying , pelaku menaruh rasa dendam, benci, dan marah terhadap kejadian masa

  lalunya, sehingga pelaku melampiaskan dendam dan rasa marah atas perilaku yang didapatkannya di masa lalu kepada orang lain yang lemah.

  2. Balas dendam Motif balas dendam terhadap kejadian masa lalu yang pernah menimpa pelaku

  bullying bisa menjadi salah satu faktor penyebab bullying marak terjadi, pelaku

  merasa pernah mengalami perlakuan yang menyakitkan dan kasar dari orang lain yang telah melakukan bullying terhadapnya.

  3. Menunjukan eksistensi diri Pelaku bisa juga ingin mendapatkan pengkuan dari lingkungan disekitarnya sebagai sosok individu atau kelompok yang dianggap kuat, berkuasa dibandingkan orang lain disekitar lingkungannya.

  4. Ingin mendapatkan pengakuan Pelaku ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan bahwa dirinya adalah orang yang kuat dan memiliki kekuasaan dilingkungannya.

  5. Menutupi kekurangan yang dimilikinya Pelaku bullying melakukan perilaku bullying bisa juga dikarenakan menutupi kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya agar tidak dianggap lemah oleh orang lain.

  Berdasarkan faktor-faktor penyebab bullying tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa seorang pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sehingga menimbulkan keinginan untuk balas dendam terhadap korban untuk menunjukkan eksistensi dirinya dan menutupi kekurangan yang dimiliki agar pelaku mendapat pengakuan dari orang lain atau lingkungan sekitarnya bahwa dirinya adalah orang yang kuat.

2.1.4 Karakteristik Bullying Sebagai pelaku bullying juga mempunyai beberapa karakteristik perilaku.

  Biasanya pelaku dalam melakukan bullying disertai dengan pola reaksi cemas maupun agresif. Para pelaku sering mengalami masalah dengan konsentrasi dan prestasi belajar di kelas. Tidak jarang beberapanya dapat masuk sebagai golongan hiperaktif (Olweus, 1993). Pelaku bullying cenderung menunjukkan beberapa karakteristik sebagai berikut:

  a. Adanya kebutuhan untuk berkuasa, mendominasi, dan menaklukkan siswa lain dengan caranya sendiri.

  b. Impulsif dan mudah marah.

  c. Menunjukkan sedikit empati bagi siswa yang menjadi korban.

  d. Sering menantang dan agresif terhadap orang dewasa, termasuk orang tua dan guru.

  e. Sering terlibat dalam kegiatan antisosial atau pelanggaran aturan lain seperti vandalisme, kenakalan remaja (delinquency), dan penggunaan narkoba.

  Dari beberapa karaktersitik bullying ini penulis dapat menyimpulkan bahwa pelaku bullying merasa berkuasa dan mendominasi orang yang dianggap lemah dengan perilaku yang ditampilkan mudah marah dan menjukkan sedikit empati pada korban sering menantang dan sering terlibat dalam kegiatan antisosial ataupelanggaran aturan.

2.2 Kecerdasan Emosi

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosi

  Daniel Goleman (2002) dengan merujuk kepada Oxford English Dictionary mendefenisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran,perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap- luap”. Menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

  Hurlock (2006) menjelaskan bahwa temperamen merupakan karakteristik individu secara potensial telah dimiliki dari sejak lahir. Adapun tempramen yang dimaksud adalah anak yang emosional, pemarah, sensitif, dan lepas kendali (Budiman, 2006).

  Sejumlah teoretikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat tentang golongan itu. Calon-calon utama dan beberapa anggota golongan tersebut adalah:

  a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesel hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barang kali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis.

  b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.

  c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik.

  d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang sekali, batas ujungnya, mania.

  e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, baikti, hormat, kasmaran, kasih.

  f. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

  g. Jengkel: hina, jijik, mual, muak, benci, tidak suka, mau muntah.

  h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.

  Istilah kecerdasan emosional muncul secara luas pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelumnya Gardner (Goleman, 2009) mengemukakan 8 kecerdasan pada manusia (kecerdasan majemuk).Menurut Goleman (2009) menyatakan bahwa kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner adalah manisfestasi dari penolakan akan pandangan intelektual quotient (IQ). Salovey (Goleman, 2009), menempatkan kecerdasan pribadi dari Gardner sebagai definisi dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan emosi dapat menempatkan emosi individu pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik.

  Goleman (2009) menyatakan: “Kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang l ain”

  Menurut Cooper dan Sawaf (1999), kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koreksi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan untuk membangun produktif dan meraih keberhasilan (Setyawan, 2005).

  Dari beberapa pendapat ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan dalam memahami diri dan mengontrol emosi yang ada di dalam diri disertai dengan kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan mampu membina hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

2.2.2 Macam-macam Kecerdasan Emosi

  Steven J. Stein, dan Howard E. Book, dalam bukunya Ledakan EQ berpendapat bahwa ada aneka macam kecerdasan emosi, yaitu :

  1. Kesadaran diri emosional, yaitu kemampuan diri dalam mengenali, memanage dan menata perasaan agar kita mampu menampilkan sikap dan tindakan yang memberi nilai positif bagi diri sendiri dan orang lain.

  2. Sikap asertif yaitu kemampuan diri dalam menyatakan pendapat dengan keberanian dan ketegasan yang tinggi.

  3. Kemandirian adalah kemampuan diri untuk dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

  4. Penghargaan diri yaitu kemampuan diri untuk menghargai dan menghormati diri sendiri dan perbuatannya.

  5. Aktualisasi diri adalah kemampuan diri untuk mewujudkan kemampuan kita yang potensial.

  6. Empati adalah kemampuan diri yang membuat diri seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain.

  7. Tanggung jawab sosial adalah kemampuan diri untuk terlibat demi kesejahteraan sosial masyarakat dan berusaha melakukan aktivitas sosial agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan keluar dari masalah yang dihadapi.

  8. Hubungan antar pribadi adalah kemampuan diri untuk memelihara hubungan yang penuh dengan keakraban, saling menolong, saling memberi kasih sayang serta saling memberi dan menerima.

  9. Pemecahan masalah adalah kemampuan diri untuk mengidentifikasikan masalah, mncari sumber masalah dan teknik solusi masalah secara jitu dan mampu keluar dari masalah dengan sukses.

  10. Uji realitas adalah kemampuan diri untuk menilai situasi di depan kita secara obyektif.

  11. Sikap fleksibel adalah kemampuan diri untuk selalu siap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, cara baru dan kebiasaan-kebiasaan baru.

  12. Ketahanan menanggung stress adalah kemampuan diri untuk tetap tenang dan sabar dalam menghadapi kesulitan hidup dan mampu mengatasinya dengan kepala dingin tanpa emosi dan stres.

  13. Pengendalian impuls (dorongan hati) adalah kemampuan diri untuk menolak atau menunda impuls (dorongan hati/gerak hati yang timbul secara tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan), dorongan atau godaan untuk bertindak agar dapat melangkah dengan bijaksana dan logis.

  14. Kebahagiaan adalah kemampaun diri untuk mencapai kesenangan dan ketenteraman hidup baik secara lahir dan batin dan memperoleh kepuasan hidup sehingga mampu menghadapi berbagai masalah dan kesulitan ataupun pekerjaan yang berat.

  15. Optimisme adalah kemampuan diri untuk memiliki keyakinan melihat sisi keberhasilan dengan berfikir positif meskipun dalam kesulitan sehingga mampu mengerjakan berbagai tugas berat dan mampu mengatasi masalah sesulit apapun.

  Berdasarkan pendapat kecerdasan emosi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap individu memiliki macam emosi yang berbeda dan ketika individu tersebut memiliki kecerdasan emosi yang baik maka perilaku yang akan ditampilkan juga baik tetapi jika individu mempunyai kecerdasan emosi yang kurang baik maka perilaku yang ditampilkan akan sebaliknya.

2.2.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

  Sampai sekarang belum terdapat alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa ciri-ciri yang mengindikasi seseorang memiliki kecerdasan emosional. Menurut Goleman, (2006) terdapat lima aspek kecerdasan emosi, antara lain: a. Mencermati perasaan yang sesungguhnya menandakan bahwa orang berada dalam kekuasaan emosi. Kemampuan mengenali diri sendiri meliputi kesadaran diri.

  b. Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena kegagalan keterampilan emosi dasar. Orang yang buruk kemampuan dalam keterampilan ini akan terus menerus bernaung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat. Kemampuan mengelola emosi meliputi kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan kembali.

  c. Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri.

  Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam upaya apapun yang dikerjakannya. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan emosi, yaitu menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, kekuatan berfikir positif dan optimis.

  d. Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu kemampuan yang bergantung pada kesadaran emosional, kemampuan ini merupakan keterampilan dasar dalam bersosial. Orang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau dikehendaki orang lain.

  e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi keterampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan komunikasi antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.

  Menurut Goleman (2005) ada tujuh unsur kemampuan anak yang berkaitan erat dengan kecerdasan emosi adalah : a. Keyakinan

  Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia; perasaan anak bahwa ia lebih cenderung berhasil daripada tidak dalam apa yang dikerjakannya,dan bahwa orang-orang dewasa akan bersedia menolong. b. Rasa ingin tahu Perasaan bahwa menyelidiki sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.

  c. Niat Hasrat dan kemapuan untuk berhasil, dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun, ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.

  d. Kendali diri Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai denganusia; suatu rasa kendali batiniah.

  e. Keterkaitan Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami.

  f. Kecakapan berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Ini ada kaitannya dengan rasa percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain, termasuk orang dewasa.

  g. Koperatif Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain, termasuk orang dewasa.

  Berdasarkan unsur kemampuan anak yang berkaitan erat dengan kecerdasan emosi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa anak memiliki keyakinan untuk cenderung berhasil dengan rasa ingin tahunya anak akan menyelidiki sesuatu yang bersifat positif, niat/hasrat kemampuan untuk berhasil dan dengan niat anak akan bertekun namun anak juga akan mengendalikan dirinya sesuai dengan usia dan kecakapan berkomunikasi dalam bertukar gagasan perasaan dan konsep dengan orang lain,dan kemampuan untuk meyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain.

2.2.4 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

  Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting penunjangnya. Menurut Goleman (Casmini, 2007) ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain :

  a. Faktor Internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan otak emosional. Otak emosional meliputi keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontaldan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak emosional. b. Faktor eksternal adalahfaktor pengaruh yang berasal dari luar diri seseorang.

  Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan mempengaruhi kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih memicu pada lingkungan.

  Berdasarkan faktor kecerdasan emosi maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi dapat melalui faktor internal yang dimana dari dalam diri seseorang akan mempengaruhi dirinya sendiri ketika tidak mampu dalam mengatur emosinya, kemudian faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sekitar yang juga dapat mempengaruhi pikiran seseorang dalam mengelola kecerdasan emosinya.

  Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Ada yang rendah, sedang maupun tinggi. Dapsari (Casmini, 2007) megemukakan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lain :

  a. Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidup. Seperti menagani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan- tekanan masalah pribadi yang dihadapi.

  b. Terampil dalam membina emosi Terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi terhadap orang lain.

  c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi : intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidakpuasan konstruktif d. Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan, daya pribadi, dan integritas.

  e. Optimal pada kesehatan secara umumkualitas hidup dan kinerja yang optimal.

  Berdasarkan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi dapat membuat seseorang optimal dan selalu berpikir positif dalam menangani persoalan dalam hidupnya kemudian akan terampil dalam mengelola emosi didalam dirinya akan membuat seseorang optimal dalam kecapakan emosinya berupa kreativitas dan hubungan antar pribadi dengan orang lain dan akan menimbulkan rasa belas kasihan atau empati pada diri orang lain, dan mengoptimalkan kesehatan demi kinerja yang optimal.

2.2.5 Kategori Kecerdasan Emosi

  Kecerdasan emosi seseorang dapat pula dikategorikan seperti halnya kecerdasan inteligensi.Tetapi kategori tersebut hanya dapat diketahui setelah seseorang melakukan tes kecerdasan emosi. Dalam penelitian ini juga akan diketahui anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi, rendah maupun sedang. Hal tersebut dapat dilihat setelah anak melakukan tes kecerdasan emosi. Kategorisasi kecerdasan emosi akan diketahui pada skor tertentu, tergantung pada jenis kecerdasan emosinya. Pada bab selanjutnya akan dijabarkan skor-skor yang menjadi kategori kecerdasan emosi tinggi, rendah dan sedang terhadap hasil belajar matematika pada materi pecahan yang diberikan.

  Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka. Tidak mudah takutatau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Memiliki kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki pandangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar, memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain serta lingkungannya (Goleman, 2005).

  Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila seseorang tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi pada kepentingan sendiri. Tidak dapat menyesuaian diri dengan beban yang sedang dihadapi, selalu gelisah.Keegoisan menyebabkan seseorang kurang mampu bergaul dengan orang- orang disekitarnya. Tidak memiliki penguasaan diri, cenderung menjadi budak nafsu dan amarah. Mudah putus asa dan tengelam dalam kemurungan (Goleman, 2005).

  Pada masa remaja tentu setiap orang akan mengalami suatu perubahan dimulai dari perubahan fisik, kognitif, dan emosional. Salah satu tugas-tugas perkembangan remaja ini lebih memfokuskan kemampuan individu untuk mencapai kemandirian secara emosional serta lebih bertanggung jawab dengan perilakunya dalam bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungannya (Hurlock, 2006).

  Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosinya apabila tidak meledakkan emosinya yang tidak pada tempatnya. Untuk mencapai kematangan emosi, setiap orang harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang menimbulkan reaksi emosi, serta harus dapat menggunakan katarsis emosi. Katarsis emosi yang dapat dilakukan adalah latihan fisik, bekerja dengan giat, belajar dengan rajin, serta menjalankan agamanya dengan baik (Hurlock, 1993).

2.2.6 Perkembangan Emosi

  Hurlock (1996) mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi emosi remaja, yaitu: a. Kondisi fisik

  Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan, maka remaja akan mengalami emosional yang meninggi. Biasanya orang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi cepat tersinggung atau mudah marah apabila ada yang mengusiknya. Orang yang berada dalam keadaan sakit, mungkin akan menjadi frustasi dan cepat marah karena perasaan ketidakberdayaan. Sedangkanperubahan yang berasal dari perlambangan yang terjadi pada masa remaja, misalnya perubahan bentuk tubuh karena kelenjar dan hormon, membutuhkan kesiapan emosi remaja untuk memahami menerima perubahan itu.

  b. Kondisi psikologis Pengaruh psikologis yang penting antara lain tingkat inteligensi dan tingkat aspirasi dan kecemasan. Tingkat inteligensi seorang remaja yang tingkat intelektualnya kurang atau rendah, rata-ratamempunyai pengendalian emosi yang kurang dibandingkan denganremaja yang pandai pada tingkat usia yang sama, kegagalanmencapai tingkat aspirasi yang timbul berulang dapat membuatkeadaan cemas dan tidak berdaya.

  c. Kondisi lingkungan Kondisi yang dapat mempengaruhi emosi keadaan remaja, misalnya: ketegangan yang terus menerus, jadwal yang terlalu ketat, terlalu banyak yang menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan .

  Hurlock (1996) menyatakan remaja laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Selain itu, individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang atau orang yang tidak matang. Jadi, remaja yang memiliki kematangan emosi memberikan emosi memberi rekasi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

  Dari beberapa perkembangan emosi ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa remaja akan mengalami emosi yang tidak stabil disebabkan oleh kondisi fisik yang tidak seimbang kemudian kondisi psikologis antara lain, remaja yang memiliki tingkat intelektualnya kurang atau rendah akan membuat remaja sulit mengendalikan emosi dan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi emosi pada keadaan remaja dan menyebabkan kegelisahan yang merangsang anak secara berlebihan.

2.3 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying

  Goleman (2009) menyatakan “Kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain.

  ” Menurut Triatna (2008) Taraf inteligensi seseorang bukan merupakan satu- satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Emosional dalam hal ini sangat dibutuhkan, emosional menentukan apakah seseorang dapat atau tidak mengendalikan perilakunya, khususnya perilaku bullying .

  Hasil penelitian Anisa Rizka Rahmawati (2013) dengan judul Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada siswa

  • –siswi SMK Negeri 7 Yogyakarta kelas XI Jurusan administrasi perkantoran (AP) yang berjumlah 38 siswa, menunjukkan bahwa, terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan perilaku bullying pada siswa-siswi kelas XI jurusan administrasi perkantoran (AP) SMK Negeri 7 Yogyakarta,ditunjukkan dengan Koefisien korelasi Rxy= -0,717 dan p = 0.000, dengan demikian hipotesis diterima. dari hasil tersebut menunjukan bahwa adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan perilaku bullying pada siswa-siswi kelas XI jurusan administrasi pemasaran(AP) SMK Negeri 7 Yogyakarta artinya bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional maka semakin rendah pula perilaku bullying pada siswa SMK begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula tingkat perilaku bullying pada siswa SMK.

  Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki siswa akan mempengaruhi tinggi rendahnya sikap bullying siswa. Sesuai dengan paparan teori yang telah di jelaskan, semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional siswa, maka siswa dengan mudah akan dapat mengontrol emosi dan perasaannya dalam bentuk perilaku mana yang pantas ditunjukkan di depan umum dan mana yang tidak pantas ditunjukkan didepan umum.

  Dari teori yang sudah dipaparkan, penulis dapat menympulkan bahwa keberhasilan siswa tidak hanya ditandai dengan prestasi akademisnya disekolah tetapi juga melalui perilakunya sehari-hari dan juga dilihat dari pengendalian perilakunya dalam membina etikanya di lingkungan sekolah. Dalam hal ini kecerdasan emosi seseorang dapat berpengaruh perilaku bullying seseorang. Jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang baik maka dapat mengontrol tindakannya, sehingga terdindar dari perilaku bullying yang akan merugikan orang lain dan juga dirinya sendiri.

  Selain itu, hasil penelitian Faturochman dkk. (1995) menyebutkan beberapa peristiwa seperti perkelahian, bahkan penganiayaan berat antar siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran berlangsung pun akhir-akhir ini semakin sering. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu penyebab utama dari perilaku negatifantisosial itu adalah kemampuan siswa yang terbatas dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Mereka melakukan itu karena tidak tahu cara mengatasi konflik tersebut.( Iqbal Marisali,2010).

2.4 Hasil-hasil penelitian yang relevan

  Hasil penelitian Khairani (2009) yang berjudul ”Modul program pendidikan: Pencegahan Perilaku Bullyingdi Sekolah” melaporkan bahwa dari hasil olah data lapangan analisa kebutuhan menunjukkan bahwa sebesar 31.8 % siswa pernah mengalami bullying. Sedangkan, jenis bullying yang paling banyak terjadi adalah Bullying non-verbal sebesar 77.3%. Selanjutnya sebesar 40.1% siswa pernah mengalami Bullying verbal dan 36.1% siswa pernah mengalami bullying fisik.

  Selain itu, hasil penelitian Faturochman dkk. (1995) menyebutkan beberapa peristiwa seperti perkelahian, bahkan penganiayaan berat antar siswa di dalam kelas pada waktu pelajaran berlangsung pun akhir-akhir ini semakin sering. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu penyebab utama dari perilaku negatifantisosial itu adalah kemampuan siswa yang terbatas dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Mereka melakukan itu karena tidak tahu cara mengatasi konflik tersebut.( Iqbal Marisali,2010).

  Hasil penelitian Anisa Rizka Rahmawati (2013) dengan judul Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada siswa

  • –siswi SMK Negeri 7
Yogyakarta kelas XI Jurusan administrasi perkantoran (AP) yang berjumlah 38 siswa, menunjukkan bahwa, terdapat hubungan negative yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan perilaku bullying pada siswa-siswi kelas XI jurusan administrasi perkantoran (AP) SMK Negeri 7 Yogyakarta, ditunjukkan dengan Koefisien korelasi Rxy= -0,717dan p = 0.000, dengan demikian hipotesis diterima. dari hasil tersebut menunjukan bahwa adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dan perilaku bullying pada siswa-siswi kelas XI jurusan administrasi pemasaran(AP) SMK Negeri 7 Yogyakarta artinya bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional maka semakin rendah pula perilaku bullying pada siswa SMK begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula tingkat perilaku bullying pada siswa SMK

2.5 Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini diru muskan sebagai berikut: “Ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan perilaku bullying siswa Kelas IX di SMP Pangudi Luhur S alatiga Tahun Ajaran 2017/2018”

Dokumen yang terkait

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Karyawan Bagian Fashion dan Depstore di City Walk Ada Baru Salatiga

1 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi Karyawan Bagian Fashion dan Depstore di City Walk Ada Baru Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Intensitas Bermain Game Online dengan Kemandirian Belajar Siswa Kelas VIII SMP Pangudi Luhur Salatiga

0 0 14

BAB II LANDASAN TEORI - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pola Asuh Permisif terhadap Disiplin Belajar Mahasiswa BK UKSW 2014

0 2 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pola Asuh Permisif terhadap Disiplin Belajar Mahasiswa BK UKSW 2014

0 2 13

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Pola Asuh Permisif terhadap Disiplin Belajar Mahasiswa BK UKSW 2014

0 2 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Bullying pada Peserta Didik Kelas IX SMP Pangudi Luhur Salatiga

0 1 8