2.1.Sanitasi Dasar - Hubungan Perilaku Masyarakat dengan Pengelolaan Sanitasi Dasar di Desa Seuneubok Benteng Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur

TINJAUAN PUSTAKA

  Dalam bab ini menjelaskan mengenai sanitasi, sarana sanitasi, kesehatan lingkungan dan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) serta karakteristik masyarakat dalam pengelolaan sanitasi dasar.

2.1.Sanitasi Dasar

  Pernyataan Mahatma Gandhi mewakili akan arti pentingnya sanitasi, yaitu:

  “Sanitation is more importance than independence”. Kesadaran pentingnya

  sanitasi di masyarakat modern dimulai dengan revolusi sanitasi pada abad 19 di London, tepatnya tahun 1852, ketika Metropolitan Water Act mensyaratkan penyediaan air minum melalui proses penyaringan (filterisasi). Setelah itu, John Snow membuktikan bahwa dengan menghentikan penggunaan pompa air sungai Thames di Broad Street, maka epidemik kolera di London tahun 1855 akan reda (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

  Menurut Kusnoputranto (1986), sanitasi lingkungan (Environmental

  

sanitary ) sebagai usaha pengendalian dari semua factor-faktor lingkungan fisik

  manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

  Kesadaran pentingnya sanitasi baru bermula pada pertengahan abad 19. Walaupun kesadaran tersebut tidak langsung disertai dengan langkah nyata. Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, pemerintah federal baru menyediakan dana pendamping bagi kegiatan sanitasi setelah era tahun 1950-an. Namun kegiatan baru berkembang setelah dibentuknya institusi Environmental Protection

  1970-an.

  Pada awal tahun 1980-an PBB menetapkan tahun 1981-1990 sebagai Dekade Air yang menunjukkan bahwa urusan air minum dan sanitasi telah diakui penting oleh dunia. Mulai saat itu air minum dan sanitasi bukan lagi hanya urusan negara saja, melainkan sudah menjadi tanggung jawab individu. Walaupun Dekade Air telah lama berlalu, tetapi ternyata sanitasi tidak mendapat perhatian oleh para pengambil keputusan di tingkat dunia. Dalam penetapan awal target

  

Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, sanitasi belum

  menjadi target yang eksplisit tetapi hanya menjadi bagian dari target penanganan permukiman kumuh. Melalui kampanye yang intensif dari berbagai aktivis air dan sanitasi, diantara Water Sanitation, and Hygiene (WASH) Campaign, maka baru pada Pertemuan Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002 sanitasi menjadi salah satu target utama bersama dengan air minum (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

2.1.1. Pentingnya Sanitasi

  Peran sanitasi terhadap peningkatan kualitas kesehatan masyarakat telah di sepakati oleh semua pihak. Tingkat kematian bayi baru lahir sebagian terbesar disebabkan oleh kualitas air dan sanitasi yang kurang memadai. Demikian pula dengan tingginya kejadian diare di suatu lokasi banyak disebabkan oleh kurang diperhatikannya kondisi sanitasi, demikian halnya yang terjadi di Desa Seuneubok Benteng Kecamatan Banda Alam.

  Secara global, WHO memperkirakan 1,8 juta penduduk meninggal setiap tahun disebabkan diare. Sementara sekitar 5.500 anak meninggal setiap hari kumuh di Indonesia mencapai 121 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001. Diperkirakan kerugian secara ekonomi baik langsung maupun tidak langsung dari kondisi sanitasi yang kurang memadai di Indonesia mencapai 2,4 persen dari total Produk Domestik Bruto tahun 2001 (sekitar Rp. 65 Triliun) atau sekitar ngka ini cukup besar jika dibandingkan misalnya dengan dana yang disediakan untuk pendidikan yang hanya Rp. 15,34 Triliun per tahun (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

  Suatu studi dampak sanitasi terhadap perekonomian dengan kasus Kota Yogya dan Medan tahun 2000 menunjukkan angka yang relatif kecil. Besaran kerugian mencapai Rp. 100 ribu/kapita/tahun di Yogya, dan Rp. 90 ribu/ kapita/tahun di Medan. Jika sanitasi dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, maka tentu saja ini juga berarti pertumbuhan ekonomi dapat terpengaruh. Secara empiris beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sanitasi yang memadai merupakan salah satu persyaratan pertumbuhan ekonomi.

  Mungkin yang kurang disadari adalah bahwa penyediaan air minum dan sanitasi dapat meningkatkan pendapatan secara langsung melalui pengurangan pengeluaran untuk air minum dan sanitasi. Kondisi air minum dan sanitasi yang memadai juga dapat mengurangi pengeluaran untuk penanganan kesehatan dan obat-obatan akibat penyakit. Selain itu produktivitas juga meningkat dengan berkurangnya jumlah hari sakit.

  Secara umum Program Penyehatan Air bertujuan untuk meningkatkan kualitas air untuk berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia untuk seluruh penduduk baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan dan meningkatkan khusus program penyehatan air bertujuan meningkatkan cakupan air bersih pada masyarakat dan meningkatkan kualitas air yang aman untuk konsumsi masyarakat (Arsyad, 2007).

  Sederhananya, peningkatan kondisi pelayanan sanitasi diharapkan akan me- ngurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan, meningkatkan produktivitas, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan pada tahun 2015 akan terdapat 7 miliar penduduk dunia, dan sebagian besar pertambahan tersebut berada di negara berkembang. Peningkatan tersebut akan menambah jumlah penduduk yang belum mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai menjadi 3,4 miliar pada tahun 2015. Untuk memenuhi target Millenium Development Goal (MDGs), WHO memperkirakan setiap tahun sebanyak 150 juta tambahan penduduk yang harus mendapatkan akses terhadap sanitasi. Memperhatikan kemampuan bangsa Indonesia, maka target Millenium Development Goal (MDGs) baru akan tercapai pada tahun 2025.

  Pencantuman sanitasi dalam MDGs merupakan langkah besar namun ini tantangan berat bagi pemerintah dan institusi internasional untuk mencapai target tersebut. Bahkan disadari juga bahwa target tersebut sebenarnya merupakan target yang paling ambisius di antara target Millenium Development Goal (MDGs) lainnya. Hanya 16 persen dari negara berkembang (bandingkan dengan target air minum yang mencapai 37 persen) yang pada saat ini dianggap dapat mencapai target tersebut. Dengan tingkat investasi sekarang, target MDGs di Afrika baru tercapai pada tahun 2050, Asia tahun 2025, dan Amerika Latin tahun 2040 tanpa Tantangan bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana agar keberhasilan mempromosikan target air minum dan sanitasi di tingkat internasional dapat juga menjangkau dan menyebar di seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

  Pada saat ini 80 persen penduduk dunia (1,9 miliar) yang tidak mempunyai akses terhadap sanitasi berada di pedesaan. Namun disadari bahwa pertambahan penduduk terbesar akan berada diperkotaan khususnya di daerah permukiman kumuh, maka perhatian terhadap daerah kumuh perkotaan sama pentingnya dengan daerah pedesaan.

  Sanitasi yang memadai diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu, telah disepakati dalam Johannesburg Summit 2002 untuk mengurangi setengah, pada tahun 2015, proporsi penduduk yang tidak mempunyai akses ke sanitasi dasar, yang akan mencakup kegiatan pada setiap tingkatan untuk: 1.

  Membangun dan melaksanakan sistem sanitasi rumah tangga yang efisien.

  2. Meningkatkan sanitasi di institusi publik, khususnya sekolah.

  3. Mempromosikan praktek higinitas yang aman.

  4. Mempromosikan pendidikan pada kanak-kanak sebagai agen perubahan.

  5. Mempromosikan praktek dan teknologi yang dapat diterima secara sosial budaya dan terjangkau.

  6. Menyatukan sanitasi ke dalam strategi pengelolaan sumber daya air (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

  Adapun yang menjadi fakta penting dari air minum dan sanitasi adalah sebagai berikut:

  1. Tahun 2000: 2,4 miliar penduduk dunia kekurangan akses terhadap sanitasi yang memadai, dan 81 % berada di pedesaan. Selain itu, 1,1 miliar penduduk dunia kekurangan akses terhadap air minum, dan 86 % berada di pedesaan.

  2. Lebih dari 2,2 juta penduduk meninggal setiap tahun di negara berkembang, yang sebagian besar kanak-kanak disebabkan oleh penyakit terkait dengan kekurangan akses terhadap air minum, sanitasi yang tidak layak dan higienitas buruk.

  3. Setiap harinya 6.000 anak meninggal karena sanitasi buruk. Angka ini sama dengan jumlah korban kecelakaan 20 pesawat Boeing setiap hari.

  4. Penyediaan air dan sanitasi yang layak mengurangi kejadian berjangkitnya wabah kolera sebesar 26 %.

  5. Sanitasi buruk di sekolah mempengaruhi tingkat kehadiran khususnya anak perempuan.

  Kondisi ekonomi negara diperburuk oleh perlunya penyediaan alokasi dana untuk penanganan kesehatan dan obat-obatan, dan hilangnya hari kerja diakibatkan penyakit dari air minum dan sanitasi yang tidak layak (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

2.1.3. Sarana Sanitasi

  Di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, masalah kesehatan lingkungan, khususnya lingkungan rumah adalah berkisar pada air limbah (air kotor), serta pembuangan sampah (Entjang, 2000).

2.1.4. Penyediaan Air Minum

  Sesuai dengan ketentuan badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan R.I serta ketentuan peraturan lain yang berlaku seperti APHA (American Public Health Association) atau Asosiasi Kesehatan Publik Amerika Serikat, layak tidaknya air untuk kehidupan manusia ditentukan berdasarkan persyaratan kualitas secara fisik, secara kimia dan secara biologis.

  Menurut perhitungan WHO, di negara-negara maju tiap orang memerlukan air antara 60-120 liter perhari. Untuk negara-negara berkembang termasuk Indonesia tiap orang hanya memerlukan air 30-60 liter perhari (Notoatmodjo, 2003b). Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.

  Agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan-persyaratan kesehatan sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 407 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, yaitu: 1.

  Syarat fisik, artinya air minum yang sehat adalah bening (tak berwarna), tidak berasa dan tidak berbau.

2. Syarat bakteriologis, artinya air yang sehat harus bebas dari bakteri, terutama bakteri pathogen.

  Syarat kimia, artinya air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu seperti sulfat, fluoride dan zat organik.

  Sesuai dengan teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum yang berasal dari mata air dan sumur adalah dapat diterima sebagai air yang sehat dan memenuhi ketiga persyaratan di atas, asalkan tidak tercemar oleh kotoran-kotoran manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau sumur air yang ada di pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan agar tidak tercemar dan dapat digunakan oleh penduduk (Permenkes RI, 2002).

2.1.5. Pembuangan Kotoran Manusia

  Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO sebagai 2 hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003).

  Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok untuk sedini mungkin diatasi. Hal ini karena kotoran manusia (faeces) adalah sumber penyebaran penyakit yang kompleks.

  Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah: 1. Tidak boleh mengotori tanah permukaan.

  2. Tidak boleh mengotori air permukaan.

  3. Tidak boleh mengotori air dalam tanah.

  Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembangan vector penyakit lainnya.

5. Jamban (WC) harus terlindung dari penglihatan orang lain, dan 6.

  Pembuatannya mudah dan murah (Entjang, 2000).

  Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah atau sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di tempat tertentu atau jamban yang sehat. Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah barang tentu berbeda dengan teknologi jamban di daerah perkotaan, di daerah pedesaan disamping harus memenuhi persyaratan jamban sehat juga harus didasarkan pada sosiobudaya dan ekonomi masyarakat pedesaan (Notoatmodjo, 1997).

2.1.6. Pembuangan Air Limbah

  Menurut Entjang (2000), air limbah (sewage) adalah excreta manusia, air kotor dari dapur, kamar mandi dan WC, dari perusahaan-perusahaan termasuk pula air kotor dari permukaan tanah dan air hujan. Sewage dapat dibedakan menjadi: domestic sewage, yaitu air limbah yang berasal dari rumah-rumah, dan

  

industrial sewage yaitu air limbah yang berasal dari sisa-sisa proses industri.

  Sebelumnya Kusnoputranto (1986), menjelaskan bahwa air limbah atau air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik yang berasal dari rumah tangga, maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan, dan sebagainya. Maksud pengaturan pembuangan air limbah rumah tangga adalah untuk mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, serta menghilangkan bau-bauan dan pemandangan yang tidak sedap. dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1.

  Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic waste water), yaitu air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah ini terdiri dari exscreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.

  2. Air buangan industri (industrial waste water), yang berasal dari berbagai jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang ada di dalamnya sangat bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing industri, antara lain nitrogen, sulfide, amoniak, lemak, garam-garam, zat pewarna, mineral, logam berat, zat pelarut dan sebagainya.

  3. Air buangan Kota Praja (munipical waste water), yaitu air buangan yang berasal dari daerah: perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.

  Proses pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a. Penyaringan (screening), yaitu penyaringan dengan mempergunakan jalinan kawat atau lempeng logam yang berlubang-lubang untuk menangkap benda- benda yang terapung di atas permukaan air misalnya: kayu-kayu, kertas, ataupun kain-kain rombeng.

  b.

  Pengendapan (sedimentation), yaitu air limbah dialirkan ke dalam bak yang besar (sandtraf) sehingga alirannya menjadi lambat yang menyebabkan lumpur ataupun pasirnya mengendap.

  Proses biologis, dalam hal ini dipergunakan mikroba-mikroba untuk memusnahkan zat-zat organik yang terdapat di dalam air limbah baik secara aerob maupun an-aerob.

  d.

  Disaring dengan saringan pasir (sand filter), kemudian sewage ini dalam alirannya dialirkan ke dalam saringan pasir.

  e.

  Desinfeksi yaitu untuk membunuh mikroba-mikroba pathogen yang terdapat dalam air limbah, dilakukan desinfeksi dengan kaporit (10 kg/1 juta liter

  sewage ).

  f.

  Pengenceran (pembuangan), dimana pada akhirnya air limbah dibuang ke laut, ke sungai, atau danau sehingga mengalami pengenceran (Notoatmodjo, 2003).

  Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, pengolahan air limbah dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup terhadap pencemaran air limbah, karena secara ilmiah lingkungan mempunyai daya dukung yang cukup besar terhadap gangguan yang timbul terhadap pencemaran air limbah.

2.1.7. Pembuangan Sampah

  Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia (Notoatmodjo, 2003).

  Sampah mengandung prinsip-prinsip, yaitu adanya sesuatu benda atau bahan padat, adanya hubungan langsung atau tak langsung dengan kegiatan manusia, benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi. Sampah yang berasal dari sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti sisa- sisa makanan, baik yang sudah dimasak maupun belum, bekas pembungkus maupun kertas, plastik, daun dan sebagainya.

  Entjang (2000), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sampah adalah semua zat/benda yang sudah tidak terpakai lagi baik berasal dari rumah-rumah maupun sisa-sisa proses industri. Lebih lanjut dikatakan bahwa sampah dapat dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:

  1. Garbage, adalah sisa-sisa pengolahan ataupun sisa makanan yang mudah membusuk.

  2. Rubbish, adalah bahan-bahan sisa pengolahan yang tidak membusuk.

  Rubbish ini ada yang mudah terbakar, misalnya kayu, kertas, dan ada yang tidak bisa terbakar misalnya, kaleng, kawat dan sebagainya.

2.1.8. Kesehatan Lingkungan

  Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya (Notoatmodjo, 2004). keadaan dan makhluk hidup dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya. Batasan ini menunjukkan bahwa lingkungan hidup itu merupakan suatu sistem lingkungan yang meliputi aspek lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Hardjosumantri, 2005).

  Lingkungan di sekitar manusia dikategorikan dalam lingkungan fisik termasuk di dalamnya tanah, air dan udara, lingkungan biologi termasuk semua organisme baik binatang, timbuh-tumbuhan maupun mikroorganisme dan lingkungan sosial termasuk interaksi antara manusia dari makhluk sesamanya yang meliputi factor-faktor sosial, ekonomi, kebudayaan psiko-sosial dan lain-lain (Kusnoputranto, 1986).

  Sedangkan WHO dalam Akademi Kesehatan Lingkungan (1992), mendefinisikan Ilmu Kesehatan Lingkungan sebagai ilmu dan ketrampilan yang memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha pengendalian semua faktor yang ada dalam lingkungan fisik manusia yang diperkirakan akan menimbulkan hal-hal yang merugikan fisik manusia, kesehatan manusia serta kelangsungan hidupnya. Pernyataan WHO tersebut di atas juga menegaskan tentang pentingnya peranan gatra lingkungan dalam mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan oleh masyarakat sangat berhubungan dengan kondisi masyarakat itu sendiri yang antara lain ialah faktor predisposisi yang terdiri dari unsur pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai tradisi, pendidikan dan pendapatan/status ekonomi.

  Gordon dan Le Riche yang merintis Medical Ecology menuliskan bahwa dasar-dasar kesehatan lingkungan adalah sebagai berikut: a. Penyakit itu merupakan hasil dari keadaan yang tidak seimbang antara penyebab penyakit dan manusia.

  b. Keadaan alami dan kelanjutan dari ketidakseimbangan tersebut di atas tergantung kepada karakteristik dan sifat alami dari host dan agent.

  c. Karakteristik dan sifat-sifat alami dari host dan agent secara langsung akan saling berhubungan dan tergantung kepada sifat-sifat lingkungan fisik, biologi, sosial dan ekonomi (Moeljohardjo, 1995). Ryadi (1984), mengatakan bahwa kesehatan lingkungan itu merupakan bagian dari dasar-dasar kesehatan masyarakat modern yang meliputi semua aspek manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, yang terikat dalam bermacam- macam ekosistem dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai- nilai kesehatan manusia (atau semua organisme) pada tingkat yang setinggi- tingginya dengan jalan memodifikasi tidak hanya faktor sosial dan lingkungan fisiknya saja namun juga terhadap semua sifat-sifat dan kelakuan-kelakuan lingkungan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenangan, kesehatan dan keselamatan organisme hidup atau umat manusia.

2.1.10. Upaya Dalam Menjaga Kesehatan Lingkungan

  Secara umum, lingkungan atau environment adalah tempat pemukiman dengan segala sesuatunya di mana organisme-organisme hidup. Seringkali lingkungan didefinisikan sebagai kumpulan dari kondisi eksternal dan pengaruhnya terhadap kehidupan serta perkembangan suatu organisme, perilaku wilayah eksternal jasmani manusia, di antaranya adalah keadaan fisik, biologis, sosial, budaya, dan semua hal yang dapat mempengaruhi status kesehatan dalam suatu populasi. Sedangkan sanitasi lingkungan (enviromental sanitation) adalah bagian dari

  

general public health /kesehatan masyarakat secara umum (Sutomo, 1995) yang

  meliputi prinsip-prinsip usaha untuk meniadakan atau menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit melalui kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk: (1) Sanitasi air (Water sanitation). (2) Sanitasi makanan (Food

  

sanitation) , (3) Pembuangan sampah (Sewage and excrets disposal), (4) Sanitasi

  udara (Air sanitation), dan (5) Pengendalian vector dan binatang mengerat (Vector and rodent controle).

  Secara umum dalam bidang kesehatan telah dikenal konsep hygiene dan sanitasi. Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut dan membuat kondisi kesehatan lingkungan sedemikian rupa sehingga pemeliharaan kesehatan menjadi terjamin. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia, jadi sanitasi itu lebih mengutamakan upaya pencegahan. Sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan cara mengeliminasi atau mengontrol faktor-faktor lingkungan (Entjang, 2000).

  Bertolak dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa mungkin beberapa gatra lingkungan akan mempengaruhi

  (lingkungan) tidak diterapkan secara tepat. Oleh karena itu, maka Martopo et.al, (1992) menyatakan bahwa yang terpenting adalah mengutamakan sanitasi lingkungan sebagai jawaban alternatif terhadap dampak lingkungan pada kesehatan. Tindakan-tindakan itu antara lain berupa upaya-upaya preventif terhadap berbagai macam faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

  Keadaan kesehatan lingkungan dewasa ini masih belum mencapai kondisi yang diharapkan, karena belum terpenuhinya kebutuhan sanitasi dasar, yaitu sanitasi yang minimal diperlukan untuk menyehatkan lingkungan pemukiman, misalnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan kotoran manusia dan lain- lain. Kemajuan teknologi sering kali mengakibatkan penurunan dari kualitas lingkungan hidup manusia (Kusnoputranto, 1986).

2.2. Perilaku Masyarakat

  Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri. Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan lain-lain. Gejala-gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, fasilitas dan faktor-faktor sosial budaya yang ada di lingkungannya (Notoatmodjo, 2003).

  Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo, (2000) merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Secara lebih operasional, perilaku dapat diartikan sebagai respon organisme atau seseorang terhadap adanya respon pasif ataupun respon aktif. Menurut Blum (1994) dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni knowledge (pengetahuan), attitude (sikap),

  

practice (tindakan). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk dapat

  berpengaruh terhadap suatu kejadian penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sikap adalah suatu keadaan mental atau kecenderungan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu tindakan atau lingkungannya, sikap yang muncul antara individu terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman serta latar belakang pendidikan, perilaku dalam bentuk practice berupa respons terhadap segala bentuk kegiatan yang pernah diberikan. Pengetahuan dalam bentuk practice (tindakan) atau dapat disebut dengan istilah matra psikomotor yang biasanya berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik.

  Menurut Kwik (1974) dalam Notoatmodjo (1993), mengatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan dipelajari. Pada dasarnya bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja, namun demikian tidak berarti bahwa perilaku tersebut hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Sedangkan perilaku manusia adalah hasil pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat diamati secara langsung maupun dengan menggunakan alat.

  Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2003), dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya di alam ini perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tidak bersyarat atau pembawaan, dan perilaku bersyarat yang diperoleh dari pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses pendidikan. Perilaku tidak bersyarat pada umumnya berlatarbelakang genetik/keturunan. Menurut Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap kesehatan antara lain faktor pendukung, yaitu karakteristik individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan dan pendapatan, pengetahuan dan sikap, faktor pemungkin yaitu ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, sarana kesehatan lingkungan, dan faktor penguat yaitu kebijakan, pengawasan dan pemantauan.

  Perilaku masyarakat merupakan respons masyarakat terhadap stimulus yang berupa materi atau objek dan selanjutnya setelah objek diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respons yang lebih jauh lagi, yang berupa tindakan (action) terhadap objek tadi. Namun di dalam kenyataannya stimulus yang diterima oleh objek dapat langsung menimbulkan tindakan Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap makna stimulus yang diterimanya. Jadi perilaku masyarakat pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada masyarakat itu sendiri.

  Di dalam berperilaku, masyarakat diperlukan proses belajar sehingga akan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu atau mayarakat. Sanitasi mempunyai aspek sosial ekonomi dan budaya yang sangat kompleks dalam untuk menyehatkan lingkungan pemukiman seperti penyediaan air bersih, sarana pembuangan kotoran manusia dan lain-lain.

  Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 (tiga) tahap :

2.2.1 Pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). Beberapa pengalaman dan penelitian menyatakan perilaku tidak didasari pengetahuan dan kesadaran seseorang tidak akan berlangsung lama. Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai kumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh dari proses belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktu- waktu sebagai alat penyesuaian diri, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungannya (Supriyadi, 1993).

  Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orang tua, teman, buku dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002).

  Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas informasi tentang objek tersebut di lingkungannya. Pengetahuan adalaatau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya.

  Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) dan pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang di dalamnya mencakup 6 (enam) tingkatan, yaitu:

  1. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  2. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.

  3. Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

  4. Analisis (Analysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek terhadap komponen-komponennya.

  5. Sintesis (Syntesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003). Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).

2.2.2 Sikap

  Brigham dalam Wachidanijah, (2002) memberikan gambaran bahwa terbentuknya sikap melalui adanya proses belajar mengajar dengan cara mengamati orang lain, melalui pengamatan, hubungan yang terkondisi, pengalaman langsung dan mengamati perilaku diri sendiri. Sikap yang terbentuk dengan mengamati orang lain dapat menimbulkan sikap yang positif apabila menyenangkan atau dapat sebaliknya.

  Menurut Notoatmodjo (2003) sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bertindak sebagai objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

  Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak yaitu: a.

  Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek.

  b.

  Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

  c.

  Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden.

2.2.3 Tindakan

  Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

  Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.

  Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari tindakan juga terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1.

  Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

  2. Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang benar sesuai dengan contoh.

  3. Mekanisme (mechanism) diartikan apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

  4. Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu juga sudah dimodifikasi tanpa mengurangi keberadaan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Karakteristik Masyarakat

2.3.1. Pendidikan

  Pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat maju, adil dan makmur, serta memungkinkan masyarakat mengembangkan diri baik dari aspek jasmaniah dan rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (UUD, 1945). Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan dating. ( pasal 1 ayat 1 UU No. 2 1989 ). Pendidikan harus dapat menyentuh aspek setiap warga Negara guna terselenggaranya pendidikan nasional secara adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 ( pasal 1 ayat 2 ).

  Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional (pasal 1 ayat 3 ). Hal ini perlu diikuti dengan jenis pendidikan yang dikelompokkan sesuai dan kekhususan baik informal maupun formal. Pendidikan formal adalah suatu proses penyampaian bahan/materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran didik guna mencapai perubahan tingkah laku (Notoatmodjo, 1993). Tingkat pendidikan formal merupakan dasar pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuan untuk menyerap dan menerima infomasi, sehingga pengetahuan dan wawasannya lebih luas. Selain itu tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang melatarbelakangi pengetahuan, yang selanjutnya akan mempengaruhi prilaku seseorang.

  Pendidikan secara umum adalah sama, yang membedakan batasan pendidikan menjadi spesifik adalah materi pendidikannya. Tingkat pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan memiliki peranan penting dalam proses penyehatan lingkungan serta proses perubahan sikap, menuju hidup berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan hidup yang sehat. Seseorang yang ingin hidup maju dan berkembang dalam usahanya haruslah memiliki pengetahuan, ketrampilan serta sikap rasional yang diperolah melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, seseorang akan sulit untuk maju dan bersaing perubahan dan tidak mempu memantau lebih jauh kedepan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin rasional orang itu dalam memberikan tanggapan terhadap tantangan yang ada. Hal ini dikatakan Husin (1993) bahwa dengan pendidikan formal yang terbatas orang kurang mampu berfikir kritis, tidak mempunyai tujuan dan masa depan yang baik, memiliki daya abstraksi yang terbatas, serta sikap mental yang terikat oleh sikap kesederhanaan. Selanjutnya menambahkan bahwa secara rasional ada kecendrungan bahwa orang yang memiliki pendidikan yang memadai lebih cepat menerima ide baru melalui berbagai media yang ada serta dapat beradaptasi dengan perkembangan yang timbul di tengah masyarakat. Orang yang berpendidikan juga tidak akan tertinggal oleh perkembangan informasi yang semakin melaju dengan perkembangan zaman.

2.3.2 Pendapatan.

  Pendapatan yang dimaksud disini adalah jumlah penghasilan bersih dari kepala keluarga yang merupakan penerimaan kotor rumah tangga dari berbagai incame per bulan dikurangi dengan biaya-biaya riil. Bagi kepala keluarga yang berstatus pegawai, disamping gaji yang diperoleh setiap bulan, juga termasuk pendapatan yang diperoleh melalui usaha-usaha lainnya.

  Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan masyarakat diperlukan adanya dana, yang tentunya dapat bersumber dari pemerintah dan masyarakat. Tingginya biaya kesehatan akan menjadi beban berat bagi pemerintah, sehingga perlu adanya bantuan dan partisipasi masyarakat, terutama sendiri. Pada dasarnya, sasaran utama pembangunan bidang kesehatan ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah baik masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan. Masyarakat yang tergolong dalam kelompok berpenghasilan rendah adalah penduduk yang kurang memperoleh kebutuhan pokok dalam jumlah yang cukup yaitu; pakaian, air minum, pendidikan, angkutan dan fasilitas kesejahteraan lainnya. Kemiskinan atau rendahnya penghasilan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rata-rata per jiwa penduduk dalam ruang lingkup sosial budaya masyarakat.

  Bila ditinjau dari factor sosial ekonomi, maka pendapatan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai sanitasi dasar. Faaktor lain yang mempengaruhi yaitu : jenis pekerjaan, pendidikan formal kepala keluarga.

2.3.3 Budaya

  Manusia sebagai makhluk hidup, dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari selalu melakukan hubungan satu dengan lainnya, sehingga kepribadian, kecakapan dan ciri-ciri kegiatannya menjadi kepribadian individu yang sebenarnya. Dengan demikian kehidupan manusia dalam masyarakat memiliki 2 fungsi yaitu berfungsi sebagai obyek dan subjek. Berkaitan dengan proses hubungan antara satu individu dengan individu yang lain, biasanya tidak terlepas dari sosial budaya masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1996) bahwa budaya masyarakat mempunyai wujud yaitu tata kelakuan, komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan sebagai benda hasil karya manusia. dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Bentuk-bentuk aktivitas sosial yang dilakukan oleh individu, dapat berupa organisasi formal, organisasi non formal maupun tanpa suatu organisasi apa pun. Namun semua bentuk aktivitas sosial tersebut, merupakan suatu gambaran dari interaksi sosial individu dengan lingkungan sekitarnya.

  Aktivitas sosial individu dipengaruhi oleh aspek sosial budaya yang dapat mempengaruhi status kesehatan antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi. Selanjutnya Notoatmodjo (2005), mengatakan “model-model aktivitas sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat desa adalah aktivitas sosial tanpa organisasi antara lain dapat berupa, perkumpulan desa, acara keagamaan, arisan perkumpulan suku, pesta adat perkawinan, berjualan, bersawah, berkebun”, sedangkan aktivitas sosial yang organisasi non formal adalah seperti PKK dan karang taruna.

  Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon- pohon atau gua-gua. Hidupnya bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI - Analisis Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Padang Lawas

0 1 19

BAB 1 PENDAHULUAN - Analisis Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Padang Lawas

0 0 8

2. Untuk soal nomor 1 istilah titi –titik yang telah tersedia. 3. Untuk soal selain nomor 1 berilah tanda checklist ( √ ) pada kotak yang telah disediakan dan isilah titik – titik jika ada pertanyaan yang harus di jawab 4. Setiap pertanyaan dijawab hanya

0 19 24

Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Ibu Melaksanakan Imunisasi Dasar Pada Anak Di Desa Tigabolon Kecamatan Sidamanik Tahun 2014

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga 2.1.1 Pengertian Keluarga - Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Ibu Melaksanakan Imunisasi Dasar Pada Anak Di Desa Tigabolon Kecamatan Sidamanik Tahun 2014

0 1 30

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Antara Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Ibu Melaksanakan Imunisasi Dasar Pada Anak Di Desa Tigabolon Kecamatan Sidamanik Tahun 2014

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode Beda Hingga - Aplikasi Metode Beda Hingga Pada Persamaan Schrödinger Menggunakan Matlab

1 1 15

BAB II SATE NAULI KHAS TEBING TINGGI A. Profil Perusahaan - Perencanaan Bisnis Sate Nauli Khas Tebing Tinggi

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan - Pengetahuan Dan Perilaku Penggunaan Dosis Anestesi Lokal Oleh Mahasiswa Kepaniteraan Di Klinik Departemen Bedah Mulut FKG USU Tahun 2013

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mioma uteri - Perbedaan Ekspresi Reseptor Estrogen Dan Reseptor Progesteron Pada Jaringan Mioma Dan Miometrium Normal

0 0 24