BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Upaya Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengelola Sampah Anorganik Melalui Bank Sampah(Studi Kasus : Di Bank Sampah Simpan Jadi Emas Lingkungan V Blok B Lorong II Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belaw

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Permasalahan sampah dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjadi persoalan serius, khususnya di beberapa kota besar di Indonesia. Persoalan sampah di perkotaan ini kemudian sering dikaitkan dengan persoalan bertambahnya jumlah penduduk kota dan juga tingkat konsumsi masyarakat perkotaan yang terus melonjak yang berakibat pada meningkatnya produksi sampah dari tahun ke tahun.

  Secara alamiah, sebenarnya tidak ada namanya konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses tersebut berlangsung. Namun biasanya, sampah sering dikatakan sebagai sisa dari satu materi barang yang tidak diinginkan lagi oleh manusia. Baik dalam skala individu atau rumah tangga. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia atau masyarakat sebagai penghasil (produsen) sampah.

  Sampa-sampah hasil produksi manusia biasanya bersifat organik (teruraikan) dan bersifat anorganik (tidak terurai). Sampah-sampah ini kemudian selalu berakhir pada tempat-tempat sampah. Baik di setiap rumah tangga, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, industri, rumah sakit dan lain sebagainya. Sampah-sampah itu, kemudian diangkut oleh para pekerja Dinas Kebersihan untuk dipindahkan ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).

  Namun tidak semua sampah tersebut dapat terangkut dengan baik oleh para pekerja Dinas Kebersihan ke TPA yang disediakan. Biasanya sampah- sampah yang tidak terangkut selalu saja terlihat berserakan atau tertumpuk di

  1 pinggir-pingir jalan, sudut-sudut gang, di lahan kosong, di pinggiran sungai atau bahkan di sungai itu sendiri. Selain dikarenakan tidak terangkut oleh pekerja Dinas Kebersihan Kota, biasanya sampah-sampah yang bertebaran di sudut-sudut jalan dan dipingir sungai juga dikarenakan faktor kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah yang mereka timbulkan sendiri.

  Dapat dilihat bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Kebersihan dan juga masyarakat secara langsung belum dapat berjalan secara optimal. Jika pengelolaan sampah tidak dapat dilakukan secara optimal tentu akan berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat itu sendiri. Pada tatanan kesehatan misalnya, dampak yang dihasilkan dari pengelolaan sampah yang tidak baik akan memunculkan banyak penyakit seperti diare, tifus dan DBD. Sedangkan pada tatatan lingkungan, khususnya bagi sampah yang masuk ke drainase atau sungai akan mencemari ekosistem air yang beradampak pada berubahnya ekosistem perairan secara biologi dan juga menyebabkan terjadinya banjir.

  Jika dilihat dari sudut pandang sosial-ekonomi, pengelolaan sampah yang kurang baik dapat membentuk lingkungan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat seperti munculnya bau yang tidak sedap dan padangan yang kurang menyenangkan. Selain itu juga dapat berpengaruh pada kunjungan pariwisata, dan turunnya tingkat kesehatan masyarakat yang berdampak langsung pada peningkatan biaya kesehatan untuk mengobati masyarakat yang sakit. Hal ini pernah dialami langsung oleh pemerintahan Kota Bandung pada awal tahun 2005 yang pada waktu itu disebabkan oleh “Tragedi Leuwigajah”.

  Tragedi ini terjadi tepat pada pukul 02.00 Wib. Di mana pada pagi itu, tumpukan sampah berupa plastik, gabus, kayu, hingga sampah organik menghantam dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Pemukiman yang penuh kehidupan itu langsung luluh lantak tertimbun sampah meski berjarak satu kilometer lebih dari puncak tumpukan sampah. Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu goyah karena diguyur hujan deras semalam suntuk dan terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah. Akibat kejadian tersebut, tercatat 157 orang meninggal dunia, belum termasuk harta benda yang lain. Inilah musibah yang barangkali tercatat pertama kali dalam sejarah peradaban manusia, ratusan nyawa melayang gara- gara tertimbun sampah.

  .

  Oleh karennya, jika persoalan sampah yang ada di beberapa kota besar di Indonesia tidak dapat dikelola dan diatasi dengan baik, serta terkesan diabaikan maka secara tidak langsung akan memunculkan masalah sosial baru. Parrillo dalam Soetomo (2008) menyatakan, bahwa pengertian masalah sosial mengandung empat komponen, dengan demikian suatu atau kondisi sosial dapat disebut sebagai masalah sosial apabila terlihat keberadaan empat unsur tadi. Keempat komponen tersebut adalah: 1.

  Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk satu priode waktu tertentu. Kondisi yang dianggap sebagai masalah, tetapi dalam waktu singat kemudian sudah hilang dengan sendirinya tidak termasuk masalah sosial.

  2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau nonfisik, baik pada individu maupun masyarakat.

  3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari salah satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

  4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.

  Sementara itu, Raab dan Selznick sebagaimana dikutip oleh Soetomo (2008) menyatakan bahwa tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan diantara warga masyarakat. Sebagai ilustrasi misalnya, masalah kekeringan pada dasarnya bukan merupakan masalah sosial, kondisi itu dapat menjadi masalah sosial apabila kemudian dapat mempengaruhi proses relasi sosial.

  Selain tragedi longsornya sampah di TPA Leuwigajah Bandung, Jawa Barat pada tahun 2005. Persoalan lain dari permasalahan sampah yang menyebabkan masalah sosial dan terganggunya proses relasi sosial antar masyarakat adalah kasus penolakan masyarakat lokal atas pengoperasiaan TPST (Teknologi Penggelolaan Sampah Terpadu) oleh PT. Wira Guna Sejahtera di Desa Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor pada akhir 2004. Di mana pada kasus Bojong ini, terjadi kerusuhan besar-besaran diantara masyarakat dengan aparat keamanan.

  Tercatat sekitar 2000 massa dari tujuh desa mengamuk, merusak serta membakar semua bangunan di areal TPST. Aparat kepolisian datang dan menembaki warga, tujuh orang jadi korban penembakan serta sebanyak 19 orang warga dijadikan tersangka yang memprovokasi kerusuhan. Kejadian ini juga membuat Pengelola TPST Bojong, PT. Wira Guna Sejahtera menderita kerugian materi sekitar Rp. 30 miliar.

  .

  Untuk itu, belajar dari dua kasus permasalahan sampah yang terjadi di Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Bandung dan Kota Bandung, setidaknya setiap kota yang ada di Indonesia harus dapat mengatasi permasalahan sampah sedini dan seefektif mungkin dengan mengintegrasikan seluruh komponen sosial yang ada seperti warga masyarakat, aparat pemerintahan (khususnya: Dinas Kebersihan) dan steakholder yang berkecimpung pada urusan persampahan.

  Di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan sebagai ibu kota provinsi yang masuk ke dalam katagori kota metropolitan ini juga mengalami persoalan dalam hal mengatasi sampah masyarakatnya. Meski belum berujung pada terjadinya bias konflik dan juga bencana sosial, namun setidaknya persoalan sampah yang ada di Kota Medan perlu mendapatkan perhatian. Hal ini mengingat volume sampah di Kota Medan sudah cukup besar, dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

  Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan, terlihat volume sampah yang di hasilkan masyarakat kota medan dari tahun ke tahun semakin meningkat (Lihat Tabel 1).

Tabel 1.1. Jumlah sampah di Kota Medan 2008-2012

  Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-rata produksi 587,25 615,1 1 292,99 1 270,3344 1 540 665 sampah perhari (ton)

  Sumber Data : Medan Dalam Angka 2009, 2010, 2011, 2012 (BPS Kota Medan)

  Dari data di atas tampak frekwensi peningkatan sampah dari tahun- ketahun di mana dari tahun 2008 ke 2009 terjadi peningkatan produksi sampah sebesar 33,85 ton. Sedangkan dari tahun 2009 ke tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 677,89 ton. Namun, antara tahun 2010 ke 2011 terjadi penurunan produksi sampah sebesar 22,6556 ton. Sedangkan pada tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi peningkatan produksi sampah kembali sebesar 270,3306 ton.

  1 700

  270,3306

  1 500

  • 22,6556

  1 300

  677,89

  1 000 800

  33,85

  600 500 Tahun : 2008 2009 2010 2011 2012

  Grafik 1.1. Pertumbuhan Sampah dalam Hitungan Ton Sedangkan, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (KUPTD) Kebersihan Kota Medan, mengatakan, Pada tahun 2013 ini setiap harinya volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Medan berkisar 1700 ton/hari. Jika ditotal setiap bulanya masyarakat Kota Medan dapat memproduksi sampah sekitar 44.000 ton/bulan. Begitupun dari total 44.000 ton tersebut hanya sekitar 85 persen yang mampu diserap oleh Dinas Kebersihan Kota Medan untuk diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun Medan. Sedangkan 15 persennya lagi diserap oleh Bank Sampah, Pemulung dan lain sebagainya.

Tabel 1.2. Jumlah sampah perbulan di Kota Medan Sepanjang Tahun 2013

  Bulan Jumlah Sampah / Ton Januari

  42.850,94 Ton

  Pebruari

  44.708,54 Ton

  Maret

  43.744,06 Ton

  April

  44.952,42 Ton

  Mei

  47.469,40 Ton

  Juni

  44.693,23 Ton

  Juli

  47.205,38 Ton

  Agustus

  46.691,65 Ton

  September 45.542,38 Ton Sumber Data: KUPTD Kebersihan Kota Medan, Oktober 2013

  Selain itu, KUPTD Kebersihan Kota Medan juga memprediksi volume sampah pada tahun 2014 nantinya akan meningkat menjadi 2.000 ton perhari.

  Jika persoalan pertumbuhan sampah ini tidak segera diatasi dengan baik maka akan berdampak pada munculnya banyak persoalan baru. Apalagi sampai saat ini, Pemerintahan Kota Medan (PEMKO) masih menggunakan sistem open dumping (pembuangan terbuka) dalam penanganan sampah di Kota Medan.

  Bentuk pembuangan akhir sampah dengan sistem open dumping dapat dikatagorikan sebagai jenis pembuangan akhir sampah yang paling sederhana dan murah. Sinulingga (2005) mencatat pembuangan dengan jenis (open dumping) ini hanya cocok untuk sampah hasil sapuan jalan, abu dan benda-benda yang dapat terbakar. Tetapi apabila bercampur dengan sampah lain seperti sampah organik, maka tempat sampah ini akan menjadi sumber pencemaran lingkungan seperti bau tidak sedap, kebakaran, berkumpulnya lalat, nyamuk dan tikus serta dapat menjadi sumber penyakit menular. Di samping itu sebagai akibat pembusukan sampah ini akan timbul cairan-limbah (leachate) yang dapat mengalir ke tempat lain yang menimbulkan polusi.

  Sinulingga (2005) kemudian menyarankan lokasi pembuangan terbuka ini hendaknya dipilih pada tempat yang agak rendah, agar debu-debu maupun sampah-sampah di jalan dapat dipadatkan. Selain itu juga perlu diperhatikan agar tanahnya kedap air, untuk menjaga cairan limbah yang timbul tidak merambat jauh ke tempat lain, dibawa aliran tanah. Oleh karena tidak terkendalinya jenis sampah yang akan dibuang maka jenis pembuangan akhir seperti ini tidak disarankan lagi, karena sering sekali menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan apalagi kalau lokasinya dekat dengan pemukiman.

  Berdasarkan profil Kota Medan pada tahun 2002 Di Medan, terdapat dua lokasi TPA yang melayani pembuangan sampah untuk penduduk Kota Medan, yaitu di TPA Kampung Terjun dan TPA Namo Bintang. Luas area kedua TPA tersebut adalah 25 Ha. Meskipun disain awal kedua TPA tersebut adalah model

  sanitary Land Fill , namun karena keterbatasan dana, pengoprasiaan kedua TPA tersebut menggunakan sistem open dumping. Padahal TPA dengan sistem open dumping sudah tidak diperbolehkan lagi.

  Harus diketahui, sampah-sampah yang menumpuk di TPS atau TPA secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi kenaikan temperatur bumi di beberapa tempat. Permadi (2011) mencatat, pemanasan global terjadi akibat adanya peningkatan gas-gas rumah kaca seperti uap air, karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitrooksida (N2O). Dari tumpukan sampah ini akan dihasilkan berton-ton gas karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas metana (CH4) dapat dirubah menjadi sumber energi yang akhirnya bisa bermanfaat bagi manusia. Sedangkan untuk gas karbondioksida (CO2), sampai saat ini belum ada pemanfaatan yang signifikan. (Permadi, 2011).

  Tidak hanya Permadi, kenaikan temperature bumi yang diakibatkan oleh penumpukan sampah juga diutarakan oleh Utami (2013), menurutnya timbunan sampah di tempat pembuangan akhir yang terbuka bisa menimbulkan masalah yang lebih besar daripada yang dibanyangkan. Sampah organik mengalami proses dekomposisi secara anaerobik dan menghasilkan gas metan yang berkonstribusi pada pemanasan global. Jika gas metan berada di atmosfer dalam waktu 7-10 tahun dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3 C pertahun.

  Dampak penumpukan sampah yang menghasilkan CO2 dan CH4 yang rata-rata terjadi di setiap TPS atau TPA inilah yang harus diperhatikan oleh setiap perencana pembangunan. Apalagi mengingat Indonesia menjadi satu di antara 189 negara yang ikut menyetujui delapan butir rencana aksi pembangunan yang tertera pada Millenium Development Golls (MDGs). Pada poin ketujuh di antara delapan butir yang ada dalam MDGs mengharuskan setiap negara untuk dapat menjaga kesinambungan lingkungan. Dalam menjaga kesinambungan lingkungan tersebut, terdapat empat target yang harus dipenuhi, di antaranya:

  1. Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang; 2. Mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati dan mencapai pengurangan yang signifikan pada tahun 2010;

  3. Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015; 4. Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.

  Untuk memenuhi empat target tersebut terdapat sembilan indikator yang juga harus dipenuhi, di antaranya adalah pengurangan jumlah emisi karbondioksida (CO2)e. Di Sumatera Utara sendiri, berdasarkan data Rancangan Aksi Daerah (RAD) MDGs, angka penurunan CO2 masih membutuhkan perhatian khusus untuk dapat memenuhi target MDGs pada tahun 2015.

  Pada laporan yang dituliskan dalam Rancangan Aksi Daerah (RAD) MDGs untuk Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011-2015 dijelaskan: Emisi CO

  2

  (e) berdasarkan penghitungan konsumsi energi yang dilakukan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah emisi CO

  2 (e) di Sumatera Utara sebesar

  344.106.222,99 ton. Perhitungan tersebut dilakukan dari 2 sektor penyumbang emisi CO

  2 terbesar, diantaranya sektor energi (Transportasi, Industri besar,

  Industri menengah,Industri kecil, Rumah Tangga) dan Pertanian. Sumber emisi

  CO

  

2 (e) paling besar bersumber dari Energi subsektor rumah tangga yang

  mencapai 66.3 persen. Di Sumatera Utara emisi CO (e) ditargetkan berkurang

  2

  sebesar 10 persen, jauh lebih rendah dari target nasional (menurun sebesar 26 persen dari BAU).

Tabel 1.3. Emisi CO

  2 di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 No. Sektor Pengguna Energi Emisi CO (Ton/Tahun) 2

  

1 Pertanian 22.818,08

  

2 Transportasi 114.024.210,30

  

3 Industri (Besar, menengah, 2.149.441,31

k il)

  

4 Rumah Tangga 227.909.713,30

344.106.222,99 Total Sumber : SLHD Provsu 2010

  Grafik 1. 2. Emisi CO2 (Ton/Tahun) Terlihat jelas, sektor rumah tangga menjadi sektor yang mendominasi dalam menyumbang emisi gas buang CO2. Meski sampai saat ini (penulis) belum menemukan satu fakta yang mengaitkan hubungan antara sumbangan emisi CO2 dengan tingkat produksi sampah dalam rumah tangga dalam sehari, tetapi setidaknya dari uraian di atas dapat ditarik satu asumsi dasar yang mungkin dapat mengaitkan antara emisi CO2(e) dengan sampah sebagai satu produksi yang dihasilkan oleh manusia dalam skala rumah tangga.

  Oleh karenanya, dalam upaya mengurai permasalahan yang dihasilkan dari sampah, setidaknya dapat dilakukan dengan merubah cara pandangan masyarakat terhadap sampah agar tidak lagi takut, benci dan jijik. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Dijelaskan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Sampah sebagai sumber daya dapat dipahami sebagai upaya pemanfaatan sampah kembali agar dapat menjadi satu materi (barang) yang berguna.

  Dalam banyak hasil penelitian misalnya, ditemukan banyak manfaat yang bisa dihasilkan dari sampah sebagai satu sumber daya yang dapat diolah dan dimanfaatkan kembali. Misalnya saja; sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga dapat dijadikan sebagai pupuk kompos, sedangkan sampah anorganik biasanya diolah kembali untuk dijadikan aksesoris, dan bahkan terdapat satu hasil penelitian menyatakan bahwa sampah organik layak dijadikan sebagai bahan baku produk obat anti-nyamuk.

  Meski hasil penelitian dan penemuan tentang manfaat sampah telah banyak diungkapkan, namun dalam kenyataan sehari-hari, masih banyak sampah yang terabaikan dan dilihat sebagai satu materi yang sudah tidak memiliki kegunaan lagi. Pada proses inilah peran serta pemerintah sangat dibutuhkan untuk dapat mendorong dan mendukung segala bentuk partisipasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan dan daur ulang sampah sebagai wujud menjaga kesinambungan lingkungan.

  Hal tersebut tertera pada pasal 5 UU No. 18 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Lebih lanjut dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, diuraikan dengan jelas tugas pemerintah dan pemerintah daerah yang dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas: a.

  Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah; b.

  Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah; c.

  Mempasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan dan pemanfaatan sampah; d.

  Melaksanakan pengelolaan sampah dan mempasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah e.

  Mendorong dan memfasilitasi pemanfaatan hasil pengeloaan sampah f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan g. Melakukan kordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

  Satu dari beberapa program pemanfaatan sampah berbasis pada partisipasi masyarakat adalah mendukung dan mendorongnya pembentukan bank sampah pada skala lingkungan atau kelurahan. Bank sampah merupakan tepat di mana masyarakat menabung sampah yang telah mereka pilah. Sampah-sampah yang mempunyai nilai tersebut kemudia diinvestasikan dalam bentuk tabungan sampah yang nantinya dapat dikonversi dalam nilai satuan Rupiah.

  Di Bank Sampah Simpan Jadi Mas (SJM) yang berada di Lingkungan V blok B Pulau Canang, Kelurahan belawan sicanang, Kecamatan Medan Belawan ini, sudah berhasil mengaet masyarakat sekitar lingkungan untuk dapat menjadi nasabah mereka. Hingga bulan November 2013, tercatat Bank Sampah SJM telah memiliki 35 nasabah. Dalam sehari Bank Sampah SJM dapat mengumpulkan berbagai jenis sampah anorganik sebesar ± 25 Kg (Lihat tabel 4)

Tabel 1.4. Jenis sampah yang berhasil dikumpulkan Bank Sampah SJE dalam

  Sehari

  Jumlah Harga per 1 Kg pengumpulan dalam Rupiah Jenis Sampah perhari (Kg)

  Pelastik Asoy Kotor

  5 Kg/hari Rp. 300,-/Kg Cong (sampah campur: ember, botol plastic

  15 Kg/hari Rp. 2.500,-/Kg dll) Seng

  10Kg/Hari* Rp. 1.000,-/Kg Besi

  2-3Kg/Hari Rp. 3.000,-/Kg Pelastik Bersih

  1Kg/Hari Rp. 500,-/Kg

  Ket: * tidak setiap hari, hanya di saat ada rehap/perbaikan rumah masyarakat

  Dalam prosesnya, sampah-sampah yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dipilah kembali sebelum dijual ke pihak pengepul. Pemilahan sampah dilakukan agar beberapa sampah yang dapat didaur ulang untuk dijadikan aksesoris, dipisahkan sebelum dijual ke pengepul. Biasanya setiap sepuluh hari sekali Bank Sampah SJM melakukan penjual kepihak pengepul dan dalam sekali jual bisa terkumpul ± 100 Kg sampah anorganik.

  Munculnya partisipasi masyarakat untuk bergabung menjadi nasabah Bank Sampah dan melakukan kegiatan pemilahan, pengelolaan dan pemanfaatan sampah skla rumah tangga setidaknya dapat dilihat sebagai sebuah proses perubahan nilai-nilai dan sikap masyarakat dalam memandang sampah yang mereka hasilkan. Di mana pada posisi – pengelolaan sampah – ini masyarakat telah mampu untuk berpikir, bersikap dan bertindak dalam mengambil keputusan yang berorientasi jangka panjang untuk kehidupan mereka.

  Tahapan-tahapan tersebut menjadi gambaran bahwa masyarakat telah masuk pada tahapan pemberdayaan. Hal ini dikarenakan dalam pengelolaan sampah selama ini masyarkat hanya terpaku dan tergantung pada aturan pemerintahan yang bersifat top down melalui restribusi bulanan dan jadwal pengambilan sampah yang terkadang juga tidak tepat waktu. Sehingga dalam pengelolaan sampah, masyarkat hanya dianggap sebagai objek dari sistem penanganan sampah perkotaan dan dianggap tidak mempunyai kekuatan (powerless).

  Bank Sampah yang dibentuk berdasarkan swadaya dan partisipasi masyarkat kemudian hadir untuk melakukan pendidikan pengelolaan sampah dan pemanfaatan sampah rumah tangga menjadi lebih bernilai. Sehingga masyarakat yang selama ini dipandang tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam mengelola sampah kini telah mendapatkan kekuatan (transfer of power) dari pelatihan dan pendidikan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengurus Bank Sampah.

  Oleh karenanya setelah melihat uraian yang terdapat pada latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang: “Upaya

  Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Anorganik Melalui Bank Sampah. Studi Kasus di Bank Sampah Simpan Jadi Mas (SJM) Lingkungan V blok B Pulau Canang, Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan.”

1.2. Penelitian Terdahulu

  Penelitian yang bertemakan persoalan sampah tentulah sudah banyak dilakukan beberapa peneliti terdahulu. Baik itu menyangkut daur ulang sampah, partisipasi dalam pengelolaan sampah dan pengelolaan sampah sebagai satu produk yang terbaharukan. Dalam penelitian cabang Ilmu-ilmu sosial, biasanya penelitian bertemakan sampah selalu berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah atau menyangkut tingkat kesehatan masyarakat yang diakibatkan pengelolaan sampah yang buruk.

  Selian itu juga, penelitian mengenai persoalan sampah juga sering dikaitkan dengan bagaimana perilaku individu atau masyarakat dalam melihat dan mengelola sampah. Begitupun, persoalan sampah menurut beberapa hasil penelitian sangat erat kaitannya dengan pembangunan (industrialisasi), pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan) dan jumlah penduduk.

  Lepas dari itu, hasil penelitian terdahulu dianggap penting untuk dijadikan unit analisis dan pembeda antara penelitian yang dilakukan penulis saat ini dengan penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti terdahulu. Beberapa hasil penelitian yang berhasil ditemukan penulis dalam bentuk skripsi, tesis, desertasi ataupun jurnal adalah sebagai berikut: Fikarwin Zuska misalnya, dalam penelitiannya tentang Relasi Kuasa

  Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari (studi kasus di kancah pengelolaan sampah kota –dalam hal ini kota depok) menyimpulkan; masalah persampahan tidak begitu mudah dapat diharapkan menemukan solusi tanpa memperhatikan relasi-relasi kuasa yang terbentuk di dalamnya. Pemecahan secara yuridis dan teknis juga tidak terlalu menolong, terlebih apabila pengelolaan sampah sampah yang di maksud bukan semata-mata untuk membersihkan sampah. Pengaitan pengelolaan sampah dengan program peningkatan retribusi guna menaikkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya akan melahirkan idiologi atau rezim restribusi (pengumpulan uang) sehingga mudah menyampingkan kebersihan. Para pihak yang terlibat akan lebih menekankan pengumpulan retrebusi dengan cara-cara yang seringkali kurang mendukung tujuan mewujudkan kebersihan. (Zuska, 2008).

  Selanjutnya, Fikarwin menyarankan perlu dilakukan perubahan orientasi pengelolaan sampah (idiologi) dari mengedepankan retribusi menjadi mengedepankan kebersihan. Di mana retribusi mestinya hanya sebagai penunjang oprasional kegiatan-kegiatan pembersihan sampah dan sama sekali bukan untuk sarana mendatangkan PAD. Pengelolaan sampah multi instansi, apalagi hanya karena alasan pembagian kavling untuk pemungutan retribusi, sebaliknya dihapuskan dan sebagai gantinya mungkin ada gunanya dipikirkan pola penanganan sampah di bawa satu manajemen.

  Pelaku-penangan-sampah-perorangan terang Zuska (2008), sebaiknya dirangkul dan tidak dimatikan usahanya, karena bagaimanapun ‘usaha’ tersebut pasti akan dipertahankan dengan alasan ‘menyambung hidup’. Meragkul meraka dapat diartikan menemani, mendampingi, dan membantunya untuk memaksimalkan pemanfaatan sampah yang dikelolanya sehingga berubah menjadi rupiah. Atau, kalau memungkinkan, melakukan kerjasama dalam arti mengintergrasikan kegiatannya ke dalam jaringan atau rantai penanganan sampah yang lebih mapan tanpa atau dengan membebankan biaya yang selayak-layaknya.

  Selain itu, Helminawaty –alumnus MSP USU –juga melakukan penelitian terkait sampah dengan judul penelitian; Partisipasi Masyarakat Dalam pengelolaan Sampah Domestik Sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan Di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Hasil penelitiannya menunjukkan; pola pengelolaan sampah di Kelurahan Binjai bervariasi yaitu sampah dari tiap warga dikumpulkan kemudian petugas yang ditunjuk oleh RT mengumpulkan dan mengangkut sampah dengan menggunakan gerobak sampah sampai ke TPS, kemudian diangkut dan dibuang ke TPA oleh petugas dari Dinas Kebersihan dengan menggunakan truk. (Helminawaty, 2011).

  Selanjutnya, dalam Tesisnya ini, Helminawaty menjelaskan, sampah dikumpulkan oleh masyarakat dengan memilah sampah, sampah organik dipisahkan dengan anorganik. Sampah dapur diberikan untuk pakan ternak dan dibuat menjadi kompos sedangkan sampah botol kaca dan botol plastik dijual kepada tukang butut. Sampah yang dikumpulkan dengan menggunakan plastik langsung dibuang ke sungai, dipinggir jalan atau tanah kosong. Sampah yang terkumpulkan langsung dibakar di depan atau dibelakang rumah dan sampah yang dikumpulkan masyarakat dengan menggunakan plastik atau karung plastik dibuang langsung ke TPS.

  Helminawaty juga menerangkan, ada dua bentuk partisipasi yang telah dilakukan masyarakat di Kelurahan Binjai. Yaitu partisapasi nyata dan partisipasi tidak nyata. Partisipasi yang nyata seperti partisipasi uang, harta benda, dan tenaga. Sedangkan partisipasi tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi pengambilan keputusan dan partisipasi refresentatif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah domestik di Kelurahan Binjai, jelas Helminawaty adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan, lamanya tinggal, serta status kepemilikan rumah. Sedangkan usia dan tingkat penghasilan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi. (Helminawaty, 2011).

  Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Ibrahim Candra dari Universitas Tanjungpura Pontianak dengan judul: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (study kasus di Kelurahan Siantan Tengah Kecamatan Pontianak Utara). Hasil penelitiannya menunjukkan tingkat partisipasi dalam pengelolaan sampah ditentukan oleh tingkat kemampuan, kemauan dan kesempatan, yang dibagi ke dalam enam indikator; (1) sikap terhadap lingkungan dan program, (2) motivasi untuk terlibat ke dalam program, (3) tingkat pengetahuan dalam pengelolaan sampah, (4) tingkat keterampilan dalam pengelolaan sampah sebelum adanya program, (5) tingkat pengalaman dalam pengelolaan sampah sebelum adanya program, (6) manajemen program pengelolaan sampah. (Candra, 2012).

  Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan, sikap terhadap lingkungan dan program, motivasi untuk terlibat dalam program dan tingkat pengetahuan dalam pengelolaan sampah memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi. Sedangkan keterampilan dalam pengelolaan sampah dan pengalaman dalam pengelolaan sampah dan manajemen program pengelolaan sampah tidak memiliki hubungan signifikan dengan tingkat partisipasi. Secara kesimpulan, tegas Ibrahim, terdapat dua faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi, yaitu tingkat kemauan dan tingkat kemampuan. Sedangkan tingkat kesempatan tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi.

  Ibrahim menegaskan kembali, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pisikologi lebih menentukan partisipasinya dalam pengelolaan sampah.

  Sikap yang positif dan motivasi yang kuat akan menimbulkan keinginan warga untuk berpartisipasi, begitu pula dengan tingkat pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap keterlibatan warga dalam program pengelolaan sampah. Tingkat kesempatan tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi, hal tersebut di karenakan sebagian besar warga terlibat dalam setiap pelaksanaan program dan menikmati hasil, namun dalam perencaan program hanya perwakilan dari warga saja yang dilibatkan. Namun hal tersebut tidak menjadi keberatan bagi warga, mereka sudah merasa terwakili dengan beberapa perwakilan warga dalam proses perencanaan.

  Hampir senada dengan Helminawaty dan Ibrahim, penelitian yang dilakukan oleh Simanungsong (2003) dengan judul Analisis Partisipasi Masyarakat Terhadap Program Kebersihan Sampah Di Kota Pematang Siantar. Menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam program kebersihan sampah di Siantar di pengaruhi oleh pendidikan, pendapatan dan umur.

  Simanungsong menjelaskan, partisipasi masyarakat di kelurahan Suka Maju lebih besar dari pada kelurahan Suka Dame dan Dwi Kora, karena tingkat pendapatan dan pendidikan responden di kelurahan Suka Maju lebih tinggi.

  Sedangkan jumlah anggota keluarga dan lama bertempat tinggal tidak mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam program kebersihan sampah di Kota Pematang Siantar.

  Selain itu, penelitian tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Di Kecamatan Daha Selatan, yang dilakukan oleh Riswan, Henna Rya Sunoko, dan Agus Hadiyanto yang diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Program Studi Ilmu Lingkungan dalam Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 9 No. 1, April 2011, menunjukkan hasil, di mana didapatkan rata-rata sampah rumah tangga yang menghasilkan sebanyak 1,46 liter/orang/hari atau 0,38 kg/orang/hari. Yang terdiri dari 47% sampah organik, 15% kertas, 22% plastik serta 16% logam dan sebagainya.

  Selain itu, ketiga peneliti ini juga menunjukkan pengelolaan sampah rumah tangga di Kecamatan Daha Selatan belum dilaksanakan secara optimal.

  Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku terhadap lingkungan, pengetahuan tentang perda sampah, serta ketersediaan membayar retribusi sampah berkolesasi positif dengan cara pengelolaan sampah rumah tangga. (Riswan, 2012).

  Penelitian tentang pengelolaan sampah rumah tangga juga dilakukan oleh Ni Komang Ayu Artiningsih dengan judul; Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus; di Sampang dan Jombang, Kota Semarang). Dari hasil penelitian Tesisinya ini, Artiningsih menyimpulkan bahwa; pengelolaan sampah rumah tangga yang berbasis masyarakat di Sampang dan Jombang dapat mereduksi timbulan sampah yang dibuang ke TPA. Namun belum optimal dilaksanakan baik dalam pemilahan dan atau dalam pengomposan karena keterbatasan sarana dan prasarana. Komposisi timbulan sampah di Jombang terdiri dari; sampah organik 50.75%, plastik 17.14%, kertas 19.42%, kaca/logam 12.70%. Sedangkan di Sampang terdiri dari sampah organik 49.52%, plastik 18.06%, kertas 19.29%, kaca/logam 12,52%. Sampah organik yang dimanfaatkan menjadi kompos akan mengurangi timbulan sampah maupun mengurangi beban lingkungan, sendangkan hasil pemilahan selain dapat mengurangi timbulan sampah juga dapat dijual atau dikelola sehingga dapat menambah pendapatan. (Artiningsih, 2008).

  Secara lebih spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Emi Susilowati dengan judul; Perilaku Ibu Rumah Tangga Dalam Mengelola Sampah di Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur, menyimpulkan bahwa sebagian besar ibu rumah tangga di Kelurahan Kemijen memiliki pengetahuan kurang dalam pengelolaan sampah yang meliputi pengertian sampah, sumber sampah, pengaruh sampah terhadap kesehatan, cara pengelolaan sampah, dan dampak yang ditimbulkan oleh sampah. Pengetahuan tentang cara pengelolaan sampah organik maupun anorganik merupakan indikator yang paling tidak dipahami oleh ibu rumah tangga. Indikator paling baik pada ibu rumah tangga di Kelurahan Kemijen yaitu menyebutkan contoh sampah organik dan anorganik. (Susilowati, 2012).

  Lebih lanjut, Susilowati menjelaskan, Sikap ibu rumah tangga terhadap pengelolaan sampah di Kelurahan Keminjen, di mana Narasumber menunjukkan sikap baik terhadap pentingnya pengelolaan sampah, dibangunnya TPS dan Pembentukan pengelolaan sampah secara berkelompok. Tetapi dalam pemilahan sampah narasumber penelitian memiliki sikap ragu tentang pelaksanaan pemilahan sampah. sikap ini menunjukan bahwa masyarakat mempunyai harapan memiliki lingkungan yang bersih dan tambak yang terbebas dari sampah atau limbah pencemaran apapun. Sedangkan dalam praktiknya ibu rumah tangga tidak melakukan pengelolaan sampah anorganik maupun organik. Hal ini dipengaruhi oleh kesadaran ibu rumah tangga yang masih sangat kurang dalam pengelolaan sampah. (Susilowati, 2012).

  Berbeda dengan yang lainnya, Wulan Tri Eka Sasmita memilih untuk melakukan penelitian evaluasi program pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan Studi Kasus: Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan. Dalam hasil penelitian Skripnya ini, Wulan menyimpulkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. Faktor pendukung partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah GPL antara lain fasilitas yang memadai dari pihak GPL, penyuluhan intens dari GPL kepada warga Kompleks PPI, monitoring dari kader dan fasilitator GPL, dan keterlibatan semua steakholders, baik warga, pemerintah, maupun mitra kerja GPL. Sedangkan faktor penghambat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah GPL yaitu faktor waktu, gaya hidup atau kebiasaan, fasilitas yang memadai dari pihak GPL dan perilaku pemulung. (Sasmita, 2009).

  Sedangkan untuk program-program GPL yang sudah dilaksanakan selama enam tahun, menurut Sasmita, dapat dievaluasi berdasarkan visi GPL yaitu menciptakan Kompleks Perumahan Pondok Pekayon Indah menjadi lingkungan yang bersih, sehat, asri, harmoni, dan lestari serta memberdayakan masyarakat dalam bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Dalam pelaksanaan program GPL tersebut, visi dari GPL sudah tercapai karen adanya perubahan di Kompleks PPI. Akan tetapi, lanjut Sasmita, belum semua warga Kompleks Perumahan PPI sudah ikut berpartisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada ketercapaian tujuan visi GPL dengan hasil yang diperoleh. Begitupun, Sasmita mengatakan, manfaat yang sudah dirasakan oleh warga Kompleks Perumahan PPI yang menjadi sasaran program GPL yaitu RW 8,9,10 dan 11 sudah dapat terlihat jelas. Manfaat tersebut, tegas Sasmita, dapat dilihat dari adanya kesesuaian antara misi GPL dengan pelaksanaan program GPL. (Sasmita, 2009).

  Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu ini, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penelitian hanya melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan faktor yang menghambatnya dalam mengelola sampah. Di mana pada beberapa penelitian di atas menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain;

1. Tingkat pendidikan, 2.

  Tingkat pendapatan, 3. Jenis kelamin,

4. Pengetahuan terhadap sampah, 5.

  Kepedulian terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut sangat bersifat

  

internalistik meskipun beberapa penelitian di atas juga mensyarakatkan

  pentingnya faktor sosialisasi, sarana dan prasarana dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah.

  Namun di antara banyak penelitian di atas belum tampak adanya penelitian yang melihat bagaimana upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah anorganik melalui Bank Sampah. Oleh kerenanya, dengan adanya peluang ini, maka penulis kemudian memilih untuk melakukan penelitian dengan topik; Upaya Pemberdayaan Masayarakat Dalam Mengelola Sampah Anorganik Melalui Bank Sampah. Studi Kasus Di Bank Sampah Simpan Jadi Mas (SJM)

  Selanjutnya, yang menjadi pembeda mendasar dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah; penelitian ini akan menggunakan konsep dan teori- teori pembangunan yang dalam hal ini adalah teori pemberdayaan masyarakat. Teori pemberdayaan masyarakat dipilih karena erat kaitannya dengan upaya perubahan sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalan sampah sebagai dampak dari pembangunan dapat dilihat dan dianalisis untuk kemudian dijadikan sebagai modal dan sumber daya bagi pembangunan.

1.3. Rumusan Masalah

  Penelitian ini akan menfokuskan pada kecenderungan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Bank Sampah SJE. Maka untuk melihat upaya-upaya tersebut akan diajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

  1. Bagaimana upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah anorganik di Bank Sampah SJM?

  2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah anorganik di Bank Sampah SJM?

  1.4. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian merupakan sasaran utama yang ingin dicapai seorang peneliti melalui kegiatan penelitian. Sebab tanpa tujuan, kegiatan yang ingin dilaksanakan tidak akan mempunyai arah yang jelas. Maka berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

  1. Mengetahui tentang bagaimana upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah anorganik di Bank Sampah SJM? dan

  2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah anorganik di Bank Sampah SJM?

  1.5. Manfaat Penelitian

  Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah: a.

  Secara Akademis Hasil penelitian dapat memberikan masukan bagi pengembangan ke- ilmuan dan menambah khasanah penelitian di Sekolah Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. b.

  Secara Praktis Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait seperti; Pemerintahan Kota Medan, Dinas Kebersihan, NGO/LSM Pemerhati Lingkungan, serta Masyarakat luas. Sehingga sampah dapat dijadikan asset berharga bagi masyarakat banyak.

  c.

  Secara Pribadi Penelitian ini merupakan bagian penerapan ilmu yang diperoleh sebagai mahasiswa Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (MSP FISIP USU). Penelitian ini diharapkan juga dapat menambah wawasan ke-ilmuan dan pengalaman penelitian dalam menekuni bidang studi pembangunan.

Dokumen yang terkait

Upaya Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengelola Sampah Anorganik Melalui Bank Sampah(Studi Kasus : Di Bank Sampah Simpan Jadi Emas Lingkungan V Blok B Lorong II Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan)

6 151 199

Dampak Program Bank Sampah Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan

24 217 112

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Domestik Sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai

2 67 174

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Program Bank Sampah Di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan Tahun 2013

8 123 143

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kegiatan Daur Ulang Sampah Plastik (Studi Kasus Pada Komunitas Bank Sampah Poklili Perumahan Griya Lembah Depok Kecamatan Sukmajaya Kota Depok)

5 33 95

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Sampah Menjadi Nilai Ekonomis dan Pembentukan Bank Sampah di Kelurahan Tanjung Barat

1 5 5

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Fenomena Anak Putus Sekolah Pada Masyarakat Nelayan Di Kelurahan Pasar II Natal, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Penerapan Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Meningkatkan Sosial Ekonomi Anggota CU Karya Murni Di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kelurahan Setianegara Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar

0 1 11

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Uraian Teoritis - Upaya Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengelola Sampah Anorganik Melalui Bank Sampah(Studi Kasus : Di Bank Sampah Simpan Jadi Emas Lingkungan V Blok B Lorong II Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belaw

1 0 49