BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Besarnya jumlah penduduk Indonesia tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja yang luas. Hal itu menyebabkan munculnya banyak pengangguran.

  Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan Februari 2012 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,32% atau sekitar 7,6 juta jiwa (http://www.bps.go.id/?news=928 ). Pada akhirnya, untuk terlepas dari pengangguran dan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat mencari peluang kerja dengan mendirikan berbagai jenis usaha dengan skala yang tidak terlalu besar misalnya industri kecil, perdagangan, jasa, konstruksi, transportasi, dan lain sebagainya. Usaha-usaha seperti inilah yang dinamakan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Kemunculan UMKM tidak dapat dilepaskan dari kegagalan sektor formal dalam menyerap pertumbuhan angkatan kerja. (Purwanto, 2005: 105).

  Menurut Kementrian Keuangan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM) adalah kegiatan usaha perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai omzet per tahun setinggi-tingginya Rp 600 juta atau aset setinggi-tingginya Rp 600 juta (di luar tanah dan bangunan yang ditempati). Contohnya Firma, CV, PT, dan Koperasi yakni dalam bentuk badan usaha. Sedangkan contoh dalam bentuk perorangan antara lain pengrajin, industri rumah tangga, peternak, nelayan, petani, pedagang barang dan jasa lainnya (Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK 016/1994).

  Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penopang utama perekonomian Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Berbagai kajian maupun hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menggeluti bidang ini (Tambunan, 2009 dan Purwanto, 2005) menyebutkan bahwa lokomotif utama perekonomian Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UMKM. Ketika kita menyebut UMKM sebagai pilar perekonomian Indonesia, paling tidak ada tiga fungsi utama yang wajib untuk disebutkan, yaitu: (1) sektor UMKM sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal, (2) sektor UMKM sebagai penyedia bahan baku murah bagi perusahaan-perusahaan besar, (3) sektor UMKM sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan oleh sektor ini (Purwanto, 2005: 99).

  Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menjadi bukti yang cukup kuat terhadap berbagai temuan para ahli tersebut. Ketika berbagai usaha besar terpuruk karena imbas krisis ekonomi, UMKM ternyata justru dapat bertahan dan bahkan menjadi katup penyelamat bagi jutaan rakyat yang membutuhkan kehadirannya (http://kompasiana.com/post/bisnis/2011/02/08/ ).

  Tidak hanya sebagai katup pengaman untuk mencegah terjadinya pergolakan sosial, keberadaan UMKM dalam kenyataannya juga mampu menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi bagi kedua golongan masyarakat miskin di perkotaan maupun pedesaan. Dalam konteks ini UMKM dapat berperan sebagai instrumen mobilitas vertikal bagi rumah tangga dan kelompok yang kurang beruntung tadi (Purwanto, 2005: 106).

  Pada level yang lebih luas lagi, keberadaan UMKM juga sedikit banyak memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional maupun membantu pemerintah untuk meningkatkan cadangan devisa melalui ekspor. Kontribusi UMKM terhadap pembangunan ekonomi nasional di Indonesia, baik dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan PDB, maupun peningkatan cadangan devisa terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah UMKM di Indonesia (Purwanto, 2005: 107).

  Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perkembangannya cukup baik di Indonesia, namun ada satu kendala yang sampai saat ini masih mereka hadapi, yaitu masalah pemenuhan modal. Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kesulitan untuk mengembangkan usahanya karena keterbatasan modal dan begitu pula masyarakat yang ingin membuka usaha kecil- kecilan. Tidak semua masyarakat, terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan usaha dan produktivitasnya, sehingga dalam hal ini masyarakat tersebut membutuhkan bantuan berupa pinjaman atau kredit yang biasanya dapat diperoleh di suatu lembaga perbankan. (http://archive.bisnis.com/articles/akses-modal-ukm- terhambat-biaya-transaksi-perbankan ).

  Untuk mengatasi masalah permodalan bagi UMKM, pemerintah memiliki suatu kebijakan mengenai pemberdayaan UMKM, khususnya dalam akses permodalan, yaitu melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui KUR, pelaku UMKM dapat memperoleh akses kredit yang dapat digunakan sebagai modal untuk memulai dan membuka usaha baru atau mengembangkan usaha sehingga semakin produktif.

  KUR lahir sebagai respons dari Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah khususnya di bidang Reformasi Sektor Keuangan. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah, Lembaga Penjaminan, dan Perbankan pada tanggal 09 Oktober 2007 sebagaimana kemudian diubah dengan

  addendum pada tanggal 14 Mei 2008 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan

  kepada UMKM dan Koperasi atau yang lebih populer dengan istilah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui KUR, pemerintah mengharapkan adanya percepatan pengembangan kegiatan perekonomian terutama di sektor riil, dalam rangka penanggulangan atau pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja (Retnadi, 2008).

  Pada dasarnya KUR merupakan kredit pembiayaan usaha tanpa agunan karena yang menjadi agunan pokok KUR adalah kelayakan usaha dan usaha itu sendiri, namun beberapa bank memiliki aturan mengenai agunan tambahan. Dalam pelaksanaan KUR, perbankan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai penerima jaminan yang berfungsi menyalurkan kredit kepada UMKM dan Koperasi dengan menggunakan dana internal masing-masing. Bank menjadi pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan kredit permodalan. KUR merupakan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang dibiayai sepenuhnya dari dana perbankan (http://komite-kur.com/category-2- ketentuan-dan-peraturan.asp ).

  Bank pelaksana KUR adalah bank yang ikut menandatangani Nota Kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang terdiri dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Bukopin, Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah) dan seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang tersebar di seluruh Indonesia. Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan bank yang terdepan dalam penyaluran KUR. Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafon mencapai Rp 65,3 triliun (http://komite-kur.com/article-75- sebaran-penyaluran-kredit-usaha-rakyat-periode-november-2007-maret-2013.asp ).

  Jumlah dana Kredit Usaha Rakyat yang telah dikeluarkan untuk sektor UMKM sampai saat ini sudah sangat banyak, namun KUR juga mencatatkan banyak tunggakan. Muhammad Hasyim, Kepala Bidang Restrukturisasi Pendanaan Kementrian Koperasi dan UKM seperti yang dikutip oleh Harian Tribunnews.com mengatakan bahwa sampai dengan Juli 2012 rasio kredit macet KUR mencapai 3,4% dari outstanding kredit Rp 36,72 triliun dan plafon Rp 82,46 triliun. ( http://www.tribunnews.com/2012 /08 /31 /kredit - macet - kur – makin - menumpuk )

  Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu Account Officer di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat, diketahui bahwa jalannya KUR di BRI Cabang Stabat sangat baik, hal itu dapat dilihat dari jumlah Non Performing

  Loan (NPL) atau kredit bermasalah yang mencapai 0% atau dengan kata lain tidak

  ada sama sekali untuk jenis kredit KUR jika dibandingkan dengan dua belas Unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) lainnya yang ada di Stabat yang masih memiliki masalah kredit macet atau bermasalah dalam pelaksanaan KUR-nya. Begitu juga yang penulis ketahui bahwa BRI Cabang Stabat adalah BRI yang terbaik dalam penyaluran KUR di Provinsi Sumatera Utara.

  (Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Turkis Utama selaku

  Account Officer Program KUR dan Bapak Gatot Cahyo Purwodi selaku Pimpinan Cabang pada BRI Cabang Stabat ).

  Sektor UMKM yang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional ini sangat membutuhkan akses permodalan. Dengan adanya KUR para pelaku UMKM menjadi mudah untuk memperoleh modal sehingga pada akhirnya dapat membantu mereka dalam menumbuhkembangkan usaha. Karena pentingnya KUR bagi UMKM, maka pelaksanaannya pun harus dilakukan sebaik mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan

  

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia

(Persero) Tbk. Cabang Stabat”

1.2. Fokus Masalah Dalam penelitian kualitatif ada yang disebut dengan batasan masalah.

  Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang bersifat umum. Fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Pada penelitian kualitatif, penemuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi, dan disarankan oleh orang yang dipandang ahli. Fokus dalam penelitian kualitatif juga masih bersifat sementara dan akan berkembang di lapangan (Sugiyono, 2008: 290). Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat. Penulis memfokuskan penelitian ini pada implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Berjalannya implementasi KUR dengan baik akan membantu sektor UMKM dalam hal akses permodalan, yang mana modal merupakan komponen yang sangat penting untuk memulai dan mengembangkan usaha.

  1.3. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis adalah: “Bagaimana Implementasi Kredit Usaha

  Rakyat dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat?”

  1.4. Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau menjadi tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Untuk mengetahui implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat; 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam proses implementasi

  Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat.

  1.5. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

  1. Manfaat subjektif. Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah kognitif.

  2. Manfaat praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi instansi terkait sebagai masukan/sumbangan pemikiran demi peningkatan pelaksanaan program dan kebijakan.

  3. Manfaat akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta dapat dijadikan bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

  1.6. Kerangka Teori

  Menurut Hoy dan Miskel (Sugiyono, 2008: 25) teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Sugiyono (2008) lebih lanjut menambahkan bahwa teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam.

  Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub- variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2007: 92).

  Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

1.6.1. Kebijakan Publik

1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

  Definisi publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki masyarakat, serta berhubungan dengan, atau mempengaruhi suatu bangsa, negara, atau komunitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Publik). Kata “publik” secara terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Istilah publik merupakan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik. Sejak periode pasca Perang Dunia II, kata policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian penuh pertimbangan. Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Parsons, 2008: 14).

  Pengertian kebijakan publik itu sendiri memiliki makna yang luas, masing- masing definisi memberi pendekatan yang berbeda-beda, karenanya diperlukan batasan-batasan ataupun konsep kebijakan publik. Usaha pemerintah untuk merespons kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik.

  Robert Eyestone mengatakan secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang begitu luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal (Winarno, 2008: 17).

  Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini mencakup dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh kelompok ataupun individu. James Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah ataupun persoalan (Winarno, 2008: 17-19).

  Menurut Woll (Tangkilisan, 2003), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, Woll menyatakan bahwa pengaruh dari tindakan atau aktivitas pemerintah tersebut ialah: (1) adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya dengan menggunakan kekuatan publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat; (2) ada output kebijakan, yakni dengan dibuatnya kebijakan, pemerintah dituntut membuat aturan, anggaran, personil, dan regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3) adanya dampak kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

  Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”, dan “praktek”. Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Lubis, 2007: 6-9).

  Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kebijakan publik secara sederhana merupakan aktivitas-aktivitas pemerintah yang memiliki tujuan dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat banyak atau publik, aktivitas yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Semua negara menghadapi masalah yang relatif sama, yang berbeda adalah bagaimana respons terhadap masalah tersebut. Respons ini yang disebut sebagai kebijakan publik.

  Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk aplikasi dari kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat.

1.6.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik

  Proses kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji kebijakan publik (Winarno, 2008: 32).

  Ada beberapa tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Winarno, 2008: 32-34): 1.

  Tahap Penyusunan Agenda. Dalam tahap ini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah- masalah berkompetisi dulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke dalam agenda kebijakan para perumus kebijakan.

  2. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berdasarkan alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

  3. Tahap Adopsi Kebijakan. Melakukan adopsi salah satu alternatif kebijakan dari setiap alternatif yang terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  4. Tahap Implementasi Kebijakan. Keputusan kebijakan yang telah diambil dalam adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik dalam pemecahan suatu masalah harus diimplementasikan. Implementasi kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi negara maupun agen-agen pemerintahan di tingkat bawah yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

  5. Tahap Evaluasi Kebijakan. Tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria- kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah diimplementasikan.

  Dalam pandangan Ripley (Subarsono, 2005: 11), tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik

  Penyusunan Agenda Agenda Pemerintah

  Hasil Diikuti Formulasi &

  Kebijakan

  Legitimasi Kebijakan Hasil Diperlukan

  Implementasi Tindakan Kebijakan

  Kebijakan

  Hasil Mengarah ke Diperlukan Evaluasi terhadap Kinerja dan implementasi, kinerja,

  Dampak Kebijakan dan dampak kebijakan

  Kebijakan Baru

  

Sumber: Subarsono, 2005: 11

1.6.2. Implementasi

1.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

  Studi implementasi adalah studi perubahan yang terjadi dan perubahan bisa dimunculkan, juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik yaitu organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain dan motivasi yang membuat bertindak secara berbeda (Parsons, 2008: 463).

  Dalam setiap perumusan suatu tindakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena suatu kebijaksanaan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

  Implementasi merupakan tahapan yang penting karena menentukan apakah kebijakan yang ditempuh telah benar-benar applicable di lapangan dan berhasil untuk menghasilkan output dan outcome seperti yang telah direncanakan.

  Seperti yang dikemukakan oleh Grindle (Wahab, 1990: 59), implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan, dalam arti, walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna, namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek dan begitu pula sebaliknya.

  Sesuai dengan hal tersebut, Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008: 146) mengemukakan: “Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya”.

  Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Mengidentifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar selama dasawarsa yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Faktor-faktor implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mempunyai efek mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

  Sedangkan menurut Edward (2003: 1) Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.

  Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu dapat mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik, dapat mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

  Selanjutnya Jones (1994) mengemukakan: “Implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi dan pelaksanaan”.

  Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006), menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagai berikut: “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.” Drucker (Eriza, 2006) merumuskan bahwa implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah digariskan terlebih dahulu.

  Sedangkan Wibawa (Tangkilisan, 2003: 20) berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

1.6.2.2. Model-model Implementasi

  Untuk mempermudah dalam memahami dan mengimplementasikan suatu kebijakan, terdapat beberapa model, antara lain:

A. Model Meter dan Horn

  Meter dan Horn (Wibawa, 1994: 19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Kinerja yang tinggi berlangsung dalam antar hubungan berbagai faktor sebagaimana terlihat pada bagan.

Gambar 1.2. Bagan Model Implementasi Kebijakan Menurut Meter dan Horn

  Komunikasi antar organisasi dan pengukuran

  Standar dan aktivitas sasaran kebijakan

  Karakteristik Kinerja organisasi Sikap pelaksana

  Kebijakan komunikasi antar organisasi Sumber daya Kondisi sosial ekonomi dan politik

  Sumber: Wibawa, 1994: 19 Model ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan antara variabel- variabel bebas. Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008: 145) sebagai berikut:

  1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

  Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut Van Meter dan Horn, identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan direalisasikan. Ukuran- ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, maka ukuran-ukuran dan tujuan- tujuan dirumuskan secara spesifik dan konkret.

  2. Sumber-sumber kebijakan

  Sumber-sumber layak mendapatkan perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

  3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana

  Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Dengan begitu sangat pentingnya untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasi badannya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu dinyatakan dengan cukup jelas, sehingga para pelaksana dapat mengetahui apa yang diharapkan dari ukuran-ukuran tersebut.

  4. Karakteristik badan pelaksana

  Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, tidak bisa dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari modal ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka.

  5. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik

  Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

  6. Kecenderungan pelaksanaan

  Arah kecenderungan pelaksanaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting. Penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong keberhasilan bagi implementasi kebijakan.

  7. Kaitan antara komponen-komponen model

  Komponen yang dimaksud di sini adalah ukuran-ukuran dasar dan tujuan, komunikasi antar organisasi, dan kegiatan-kegiatan pelaksanaannya, karakteristik dari badan pelaksana dan kecenderungan para pelaksana yang semuanya saling berkaitan dalam mengimplementasikan kebijakan.

8. Masalah kapasitas

  Kapasitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi implementasi kebijakan. Hal ini menyangkut staf yang terlatih dan banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, sumber-sumber keuangan dan hambatan-hambatan yang bisa menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik.

B. Model Mazmanian dan Sabatier

  Model yang kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Nugroho, 2006: 629) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier ini disebut “Model Kerangka Analisis Implementasi” (a frame work for implementation analysis).

  Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel (Nugroho, 2006: 629), yaitu:

  1. Variabel Independen

  Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

  2. Variabel Intervening

  Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel Dependen

  Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari: (1) pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana (2) kepatuhan objek (3) hasil nyata (4) penerimaan atas hasil nyata (5) tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

C. Model George C. Edwards III

  Menurut Edwards (Winarno, 2008: 174), studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi- konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

  Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan- hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.

  Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasan- penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut diperhatikan di sini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

1. Komunikasi

  Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, pra-syarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Komunikasi juga menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi yang efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dana sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu: a.

  Transmisi Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, sering kali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2) Informasi melewati berlapis- lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

  b.

  Kejelasan Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

  c.

  Konsistensi Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah- perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan. Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan.

2. Sumber Daya

  Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber daya dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya yang penting meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

  a.

  Staf Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukup hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilan- keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Sering kali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka sering kali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator- administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi

pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

  b.

  Informasi Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan.

  Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini menaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau organisasi- organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

  c.

  Wewenang Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat.

  Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di atas kertas, sering kali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindblom, sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

  d.

  Fasilitas-fasilitas Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber daya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.

  3. Disposisi

  Disposisi menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokrasi. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan di antara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline program.

  4. Struktur Organisasi

  Struktur organisasi menjadi sangat penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini mencakup dua hal penting, pertama adalah mekanisme dan kedua yaitu struktur organisasi pelaksana itu sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standard

Operational Procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program.

  SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapa pun, karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara tepat.

  Model implementasi George C. Edwards III inilah yang akan digunakan penulis di lapangan untuk menganalisis proses implementasi Kredit Usaha Rakyat pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Alasan penulis menggunakan model ini adalah karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh George C. Edwards III merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja implementasi dan dapat lebih konkret dalam menjelaskan proses implementasi yang sebenarnya.

1.6.3. Kredit Usaha Rakyat

1.6.3.1. Latar Belakang Kredit Usaha Rakyat

  Ketersediaan lapangan pekerjaan pada sektor formal yang terbatas serta krisis ekonomi yang kerap melanda Indonesia membuat masyarakat harus berjuang lebih keras lagi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini mendorong masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi dirinya dan orang lain dengan mendirikan usaha sendiri di luar sektor formal.

  Usaha-usaha dengan skala tidak terlalu besar inilah yang kemudian disebut Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Usaha ini dapat bergerak dalam bidang perdagangan, jasa, konstruksi, transportasi, dan industri, serta jenis usaha lainnya. UMKM ini telah terbukti dapat bertahan dalam krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan memiliki kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

  Namun, di tengah pertumbuhannya, sektor UMKM yang diharapkan tersebut tidak bertumbuh secepat dan seluas yang diharapkan. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat mampu mendirikan dan mengembangkan UMKM. Faktor utama ketidakmampuan masyarakat untuk mendirikan atau mengembangkan UMKM adalah keterbatasan modal. Di sinilah peran pemerintah kembali diharapkan untuk mengatasi masalah permodalan tersebut. Dan pada akhirnya, Pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjawab masalah tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan, yaitu yang sampai saat ini populer dengan sebutan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

  Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di bidang usaha yang produktif dan layak namun belum bankable (yang belum dapat memenuhi persyaratan perkreditan/pembiayaan dari bank) yang sebagian dijamin oleh Perusahaan Penjamin (http://www.ekon.go.id/media/filemanager/...pdf ).

  KUR merupakan bagian integral dari pelaksanaan kebijakan INPRES 6/2007 tentang Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. KUR sendiri pertama kali diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 05 November 2007. Implementasinya berpangkal pada Nota Kesepahaman Bersama antara Instansi/departemen teknis, perbankan, dan perusahaan penjaminan. KUR merupakan aktualisasi dari siasat inovatif untuk menciptakan hubungan yang saling melengkapi dan saling mengisi antara sektor finansial dan sektor riil.

Dokumen yang terkait

Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat

9 138 130

Implementasi Kredit Usaha Rakyat Dalam Mengembangkan Usaha Kecil (Studi Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Unit Pekan Tolan, Kecamatan Kampung Rakyat, Kabupaten Labuhan Batu Selatan).

8 80 116

Efektivitas Penyaluran Kredit Usaha Rakyat KUR) Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Unit Bangkatan Binjai

30 200 67

Peran Hukum Perbankan Dalam Pemberdayaan Kredit Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (Umkm) (Studi Pada Pt Bank Rakyat Indonesia Cabang Lubuk Pakam)

1 62 141

Efektivitas Kredit Usaha Rakyat PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero),Tbk Unit Kampus Cabang Jember Dalam Menigkatkan Volume Penjualan Usaha Mikro

0 14 9

Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi Melalui Program Kredit Usaha Rakyat di PT. Bank Bukopin Cabang Kota Bekasi

2 12 139

Tinjauan Atas Prosedur Pelayanan Dan Pengelolaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Unit Dipatiukur Cabang Naripan Bandung

1 17 59

Pengaruh Implementasi Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (Studi pada Bank BRI Unit Bambu Kuning tahun 2011)”.

1 19 143

Dinamika dalam Membangun Merek Kolektif pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan

0 0 15