Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat

(1)

Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam

Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang

Stabat

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Departemen Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

OLEH

090903024

Seruan Kasih

DEPATEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Seruan Kasih

NIM : 090903024

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat

Medan, Juli 2013

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Dra. Februati Trimurni, M.Si

NIP. 196602121990092001 NIP. 196401081991021001

Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat”. Adapun penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi ini.

Selama penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, semangat, dan dorongan, baik itu secara moral maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini saya dedikasikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yaitu:

1. Untuk kedua orang tua saya Bapak M. Sinaga dan Ibu I. Sihombing. Terima

kasih sebesar-besarnya untuk semua doa dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan, usia yang panjang, dan kebahagiaan kepada Bapak dan Mamak. Juga buat adikku Dian Kasih kuucapkan terima kasih, selalu sehat, panjang umur, dan rajin-rajin belajar ya.


(4)

2. Kepada Ibu Dra. Februati Trimurni, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu dan memberikan masukan dan bimbingan yang sangat membangun dan berharga mulai dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

3. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si.

4. Kepada Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Administrasi Negara FISIP USU.

5. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.

6. Kepada Bapak Drs. Robinson Sembiring, M.Si selaku dosen penguji ketika

seminar proposal dan sidang meja hijau, terima kasih atas saran dan masukannya.

7. Kepada seluruh dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU

yang telah memberikan banyak ilmu selama perkuliahan.

8. Seluruh staf administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP

USU khususnya untuk Kak Dian dan Kak Mega yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

9. Kepada Bapak Gatot Cahyo Purwodi selaku Pimpinan Cabang BRI Cabang

Stabat, Bapak Muhammad Nasir beserta Ibu, Bapak Turkis Utama selaku

Account Officer KUR, Ibu Rahima Kumala, Bapak Agusran Sikumbang, Ibu


(5)

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan atas izin dan kesediaan untuk memberikan informasi yang penulis butuhkan.

10. Kepada para debitur KUR pada BRI Cabang Stabat yang telah membantu

penulis memperoleh informasi.

11. Buat para sahabat terbaikku Asri Maulina, Riris Karlina, Agustina Samosir, dan Eva Ferasiska. Terima kasih buat kebersamaan dan hari-hari yang telah kita lalui bersama. Terima kasih buat semuanya. Friends Forever! Sukses bagi kita semua!

12. Buat teman-teman ku kelompok magang Desa Karang Anyar Kec. Pegajahan,

Darwin Sidauruk, Revelino, Sony, Riris, Tina, Eva, Sifra, Mona, Bora, Fatma, dan Dian. Terima kasih buat kebersamaan dan kerja sama kita selama magang. Sukses buat kita semua!

13. Buat teman-teman konsentrasi kebijakan, Auli, Bontor, Renaldi, Amel, Izal, Dolly, Mianhot, Benny Sianturi, Benny Sihombing, Ana, Rintin, Fitri, Rio. Terima kasih buat kebersamaannya selama kuliah. Suskes bagi kita semua!

14. Dan buat semua teman-teman Administrasi Negara 2009 yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk kebersamaan kita selama kurang lebih empat tahun ini. Terima kasih untuk semuanya! Sukse buat kita semua! AN Satu- AN Jaya!

Seruan Kasih Medan, Juli 2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Fokus Masalah ... 6

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

1.6. Kerangka Teori ... 8

1.6.1. Kebijakan Publik ... 9

1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik ... 9

1.6.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik ... 12

1.6.2. Implementasi ... 14

1.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan ... 14

1.6.2.2. Model-model Implementasi ... 17


(7)

1.6.3.1. Latar Belakang Kredit Usaha Rakyat ... 30

1.6.3.2. Kebijakan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat ... 33

1.6.3.3. Tahap-tahap Pengajuan dan Pemberian Kredit Usaha Rakyat ... 37

1.6.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ... 44

1.6.4.1. Pengertian UMKM ... 44

1.6.4.2. Kelemahan UMKM di Indonesia ... 46

1.7. Definisi Konsep ... 48

1.8. Sistematika Penulisan ... 49

BAB II. METODE PENELITIAN ... 51

2.1. Bentuk Penelitian ... 51

2.2. Lokasi Penelitian ... 52

2.3. Informan Penelitian ... 52

2.4. Teknik Pengumpulan Data ... 53

2.5. Teknik Analisis Data ... 54

BAB III. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 56

3.1. Sejarah Umum PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. ... 56

3.2. Slogan, Visi dan Misi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. ... 58

3.3. Jenis-jenis Kredit yang Disediakan BRI Cabang Stabat ... 59

3.4. Jumlah Pegawai dan Struktur Organisasi ... 60

3.5. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai ... 62

BAB IV. PENYAJIAN DATA ... 69


(8)

4.1.1. Komunikasi ... 70

4.1.2. Sumber Daya ... 79

4.1.3. Disposisi ... 84

4.1.4. Struktur Organisasi ... 86

BAB V. ANALISIS DATA ... 93

5.1. Analisis Masing-masing Variabel ... 93

5.1.1. Komunikasi ... 94

5.1.2. Sumber Daya ... 98

5.1.3. Disposisi ... 101

5.1.4. Struktur Organisasi ... 102

5.2. Analisis Hubungan Semua Variabel ... 104

BAB VI. PENUTUP ... 107

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam KUR serta Fungsinya ... 34

Tabel 5.1. Tabel Persyaratan KUR Ritel yang Dilayani oleh


(10)

GAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik ... 13

Gambar 1.2. Bagan Model Implementasi Kebijakan Menurut Meter dan Horn .. 17

Gambar 3.1. Struktur Organisasi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat ... 61

Gambar 4.1.Customer Service BRI Cabang Stabat ... 71

Gambar 4.2. Brosur KUR yang Dipajang oleh BRI Cabang Stabat ... 73

Gambar 4.3. Suasana Ruang Kerja Pegawai BRI Cabang Stabat ... 82

Gambar 4.4. Suasana Ruang Tunggu Nasabah BRI Cabang Stabat ... 82

Gambar 4.5. Rumah Makan Salah Satu Debitur KUR BRI Cabang Stabat ... 89


(11)

ABSTRAK

Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

Cabang Stabat Skripsi ini disusun oleh:

Nama : Seruan Kasih

NIM : 090903024

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dra. Februati Trimurni, M.Si

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi penopang perekonomian Indonesia dengan peranannya sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal. UMKM juga berperan sebagai penyedia bahan baku murah bagi perusahaan-perusahaan besar dan sebagai penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkannya. Namun demikian, selama ini UMKM masih mengalami beberapa kendala terutama di dalam hal permodalan. Melihat pentingnya sektor UMKM bagi perekonomian Indonesia, maka pemerintah mencoba menjawab permasalahan modal yang dialami UMKM tersebut melalui penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah kredit pembiayaan modal yang disediakan bagi UMKM yang produktif namun belum memenuhi persyaratan perkreditan dari bank. Dalam prosesnya, KUR disalurkan melalui berbagai bank, namun Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah merupakan penyalur KUR terbesar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan implementasi KUR dalam mengembangkan UMKM pada BRI Cabang Stabat. Model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Implementasi dari George C. Edwards III yang menilai keberhasilan suatu implementasi dilihat dari faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur organisasi. Teknik penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan subjek penelitian secara

purposive sampling. Dari teknik ini diperoleh informan yang terdiri dari Pimpinan Cabang dan para pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR serta beberapa debitur KUR pada BRI Cabang Stabat.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa implementasi KUR pada BRI Cabang Stabat berjalan dengan baik dengan tidak ditemukan adanya kredit macet pada KUR BRI Cabang Stabat. Ketiadaan kredit macet tersebut dikarenakan faktor struktur organisasi melalui penerapan analisis kredit yang cermat dan faktor komunikasi melalui pengomunikasian KUR yang baik kepada debitur dan masyarakat. Namun demikian, BRI Cabang Stabat perlu menyediakan fasilitas kutipan harian atau mingguan untuk mempermudah transaksi pembayaran seperti yang diingini banyak masyarakat.

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Kredit Usaha Rakyat, Bank Rakyat Indonesia (BRI).


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Besarnya jumlah penduduk Indonesia tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja yang luas. Hal itu menyebabkan munculnya banyak pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan Februari 2012 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,32% atau sekitar 7,6 juta jiwa (http://www.bps.go.id/?news=928

Menurut Kementrian Keuangan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM) adalah kegiatan usaha perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai omzet per tahun setinggi-tingginya Rp 600 juta atau aset setinggi-tingginya Rp 600 juta (di luar tanah dan bangunan yang ditempati). Contohnya Firma, CV, PT, dan Koperasi yakni dalam bentuk badan usaha. Sedangkan contoh dalam bentuk perorangan antara lain pengrajin, industri rumah tangga, peternak, nelayan, petani, pedagang barang dan jasa lainnya (Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK 016/1994).

). Pada akhirnya, untuk terlepas dari pengangguran dan untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat mencari peluang kerja dengan mendirikan berbagai jenis usaha dengan skala yang tidak terlalu besar misalnya industri kecil, perdagangan, jasa, konstruksi, transportasi, dan lain sebagainya. Usaha-usaha seperti inilah yang dinamakan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Kemunculan UMKM tidak dapat dilepaskan dari kegagalan sektor formal dalam menyerap pertumbuhan angkatan kerja. (Purwanto, 2005: 105).


(13)

Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penopang utama perekonomian Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Berbagai kajian maupun hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menggeluti bidang ini (Tambunan, 2009 dan Purwanto, 2005) menyebutkan bahwa lokomotif utama perekonomian Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UMKM. Ketika kita menyebut UMKM sebagai pilar perekonomian Indonesia, paling tidak ada tiga fungsi utama yang wajib untuk disebutkan, yaitu: (1) sektor UMKM sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal, (2) sektor UMKM sebagai penyedia bahan baku murah bagi perusahaan-perusahaan besar, (3) sektor UMKM sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan oleh sektor ini (Purwanto, 2005: 99).

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menjadi bukti yang cukup kuat terhadap berbagai temuan para ahli tersebut. Ketika berbagai usaha besar terpuruk karena imbas krisis ekonomi, UMKM ternyata justru dapat bertahan dan bahkan menjadi katup penyelamat bagi jutaan rakyat yang membutuhkan kehadirannya (http://kompasiana.com/post/bisnis/2011/02/08/

Tidak hanya sebagai katup pengaman untuk mencegah terjadinya pergolakan sosial, keberadaan UMKM dalam kenyataannya juga mampu menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi bagi kedua golongan masyarakat miskin di perkotaan maupun pedesaan. Dalam konteks ini UMKM dapat berperan sebagai instrumen mobilitas vertikal bagi rumah tangga dan kelompok yang kurang beruntung tadi (Purwanto, 2005: 106).


(14)

Pada level yang lebih luas lagi, keberadaan UMKM juga sedikit banyak memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional maupun membantu pemerintah untuk meningkatkan cadangan devisa melalui ekspor. Kontribusi UMKM terhadap pembangunan ekonomi nasional di Indonesia, baik dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan PDB, maupun peningkatan cadangan devisa terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah UMKM di Indonesia (Purwanto, 2005: 107).

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perkembangannya cukup baik di Indonesia, namun ada satu kendala yang sampai saat ini masih mereka hadapi, yaitu masalah pemenuhan modal. Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kesulitan untuk mengembangkan usahanya karena keterbatasan modal dan begitu pula masyarakat yang ingin membuka usaha kecil-kecilan. Tidak semua masyarakat, terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah memiliki modal yang cukup untuk membuka atau mengembangkan usaha dan produktivitasnya, sehingga dalam hal ini masyarakat tersebut membutuhkan bantuan berupa pinjaman atau kredit yang biasanya dapat diperoleh di suatu lembaga perbankan. (http://archive.bisnis.com/articles/akses-modal-ukm-terhambat-biaya-transaksi-perbankan

Untuk mengatasi masalah permodalan bagi UMKM, pemerintah memiliki suatu kebijakan mengenai pemberdayaan UMKM, khususnya dalam akses permodalan, yaitu melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui KUR, pelaku UMKM dapat memperoleh akses kredit yang dapat digunakan sebagai modal untuk memulai dan membuka usaha baru atau mengembangkan usaha sehingga semakin produktif.


(15)

KUR lahir sebagai respons dari Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah khususnya di bidang Reformasi Sektor Keuangan. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah, Lembaga Penjaminan, dan Perbankan pada tanggal 09 Oktober 2007 sebagaimana kemudian diubah dengan

addendum pada tanggal 14 Mei 2008 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan

kepada UMKM dan Koperasi atau yang lebih populer dengan istilah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui KUR, pemerintah mengharapkan adanya percepatan pengembangan kegiatan perekonomian terutama di sektor riil, dalam rangka penanggulangan atau pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja (Retnadi, 2008).

Pada dasarnya KUR merupakan kredit pembiayaan usaha tanpa agunan karena yang menjadi agunan pokok KUR adalah kelayakan usaha dan usaha itu sendiri, namun beberapa bank memiliki aturan mengenai agunan tambahan. Dalam pelaksanaan KUR, perbankan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai penerima jaminan yang berfungsi menyalurkan kredit kepada UMKM dan Koperasi dengan menggunakan dana internal masing-masing. Bank menjadi pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan kredit permodalan. KUR merupakan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi yang dibiayai sepenuhnya dari dana perbankan (http://komite-kur.com/category-2-ketentuan-dan-peraturan.asp

Bank pelaksana KUR adalah bank yang ikut menandatangani Nota Kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha


(16)

Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) yang terdiri dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Bukopin, Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah) dan seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang tersebar di seluruh Indonesia. Bank Rakyat Indonesia (BRI) merupakan bank yang terdepan dalam penyaluran KUR. Bank BRI adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafon mencapai Rp 65,3 triliun (http://komite-kur.com/article-75-sebaran-penyaluran-kredit-usaha-rakyat-periode-november-2007-maret-2013.asp

Jumlah dana Kredit Usaha Rakyat yang telah dikeluarkan untuk sektor UMKM sampai saat ini sudah sangat banyak, namun KUR juga mencatatkan banyak tunggakan. Muhammad Hasyim, Kepala Bidang Restrukturisasi Pendanaan Kementrian Koperasi dan UKM seperti yang dikutip oleh Harian Tribunnews.com mengatakan bahwa sampai dengan Juli 2012 rasio kredit macet KUR mencapai 3,4% dari outstanding kredit Rp 36,72 triliun dan plafon Rp 82,46

triliun. (

).

http://www.tribunnews.com/2012 /08 /31 /kredit - macet - kur – makin - menumpuk

Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu Account Officer di

Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat, diketahui bahwa jalannya KUR di BRI Cabang Stabat sangat baik, hal itu dapat dilihat dari jumlah Non Performing

Loan (NPL) atau kredit bermasalah yang mencapai 0% atau dengan kata lain tidak

ada sama sekali untuk jenis kredit KUR jika dibandingkan dengan dua belas Unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) lainnya yang ada di Stabat yang masih memiliki masalah kredit macet atau bermasalah dalam pelaksanaan KUR-nya. Begitu juga


(17)

yang penulis ketahui bahwa BRI Cabang Stabat adalah BRI yang terbaik dalam penyaluran KUR di Provinsi Sumatera Utara.

(Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Turkis Utama selaku

Account Officer Program KUR dan Bapak Gatot Cahyo Purwodi selaku Pimpinan

Cabang pada BRI Cabang Stabat).

Sektor UMKM yang menjadi salah satu penggerak ekonomi nasional ini sangat membutuhkan akses permodalan. Dengan adanya KUR para pelaku UMKM menjadi mudah untuk memperoleh modal sehingga pada akhirnya dapat membantu mereka dalam menumbuhkembangkan usaha. Karena pentingnya KUR bagi UMKM, maka pelaksanaannya pun harus dilakukan sebaik mungkin. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul: “Implementasi Kredit Usaha Rakyat dalam Mengembangkan

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Stabat”

1.2. Fokus Masalah

Dalam penelitian kualitatif ada yang disebut dengan batasan masalah. Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang bersifat umum. Fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa domain yang terkait dari situasi sosial. Pada penelitian kualitatif, penemuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi, dan disarankan oleh orang yang dipandang ahli. Fokus dalam penelitian kualitatif juga masih bersifat sementara dan akan berkembang di lapangan (Sugiyono, 2008: 290). Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat. Penulis


(18)

memfokuskan penelitian ini pada implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Berjalannya implementasi KUR dengan baik akan membantu sektor UMKM dalam hal akses permodalan, yang mana modal merupakan komponen yang sangat penting untuk memulai dan mengembangkan usaha.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang

menjadi perhatian penulis adalah: “Bagaimana Implementasi Kredit Usaha

Rakyat dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat?”

1.4. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau menjadi tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam

mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat;

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam proses implementasi

Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Stabat.


(19)

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat subjektif. Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan

kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah kognitif.

2. Manfaat praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi instansi terkait sebagai masukan/sumbangan pemikiran demi peningkatan pelaksanaan program dan kebijakan.

3. Manfaat akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta dapat dijadikan bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

1.6. Kerangka Teori

Menurut Hoy dan Miskel (Sugiyono, 2008: 25) teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Sugiyono (2008) lebih lanjut menambahkan bahwa teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam.


(20)

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2007: 92).

Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

1.6.1. Kebijakan Publik

1.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

Definisi publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki masyarakat, serta berhubungan dengan, atau mempengaruhi suatu bangsa, negara, atau komunitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Publik). Kata “publik” secara terminologi mengandung arti sekelompok orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Istilah publik merupakan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik. Sejak periode pasca Perang Dunia II, kata policy mengandung

makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian

penuh pertimbangan. Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Parsons, 2008: 14).


(21)

Pengertian kebijakan publik itu sendiri memiliki makna yang luas, masing-masing definisi memberi pendekatan yang berbeda-beda, karenanya diperlukan batasan-batasan ataupun konsep kebijakan publik. Usaha pemerintah untuk merespons kepentingan publik ini adalah yang disebut dengan kebijakan publik. Robert Eyestone mengatakan secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang begitu luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal (Winarno, 2008: 17).

Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini mencakup dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh kelompok ataupun individu. James Anderson mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah ataupun persoalan (Winarno, 2008: 17-19).

Menurut Woll (Tangkilisan, 2003), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, Woll menyatakan bahwa pengaruh dari tindakan atau aktivitas pemerintah tersebut ialah: (1) adanya pilihan kebijakan yang dibuat


(22)

oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya dengan menggunakan kekuatan publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat; (2) ada output kebijakan, yakni dengan dibuatnya kebijakan, pemerintah dituntut

membuat aturan, anggaran, personil, dan regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3) adanya dampak kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”, dan “praktek”. Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Lubis, 2007: 6-9).

Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kebijakan publik secara sederhana merupakan aktivitas-aktivitas pemerintah yang memiliki tujuan dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat banyak atau publik, aktivitas yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Semua negara menghadapi masalah yang relatif sama, yang berbeda adalah bagaimana respons terhadap masalah tersebut. Respons ini yang disebut sebagai kebijakan publik.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat adalah sebuah program yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk aplikasi dari kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat.


(23)

1.6.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik

Proses kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji kebijakan publik (Winarno, 2008: 32).

Ada beberapa tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Winarno, 2008: 32-34):

1. Tahap Penyusunan Agenda. Dalam tahap ini para pejabat yang dipilih dan

diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah berkompetisi dulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke dalam agenda kebijakan para perumus kebijakan.

2. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan

kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berdasarkan alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

3. Tahap Adopsi Kebijakan. Melakukan adopsi salah satu alternatif kebijakan dari setiap alternatif yang terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.


(24)

4. Tahap Implementasi Kebijakan. Keputusan kebijakan yang telah diambil dalam adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik dalam pemecahan suatu masalah harus diimplementasikan. Implementasi kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi negara maupun agen-agen pemerintahan di tingkat bawah yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

5. Tahap Evaluasi Kebijakan. Tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana

sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah diimplementasikan.

Dalam pandangan Ripley (Subarsono, 2005: 11), tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut:

Penyusunan Agenda Formulasi & Legitimasi Kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan

Kebijakan Baru Agenda Pemerintah Kebijakan Tindakan Kebijakan Kinerja dan Dampak Kebijakan Hasil Hasil Hasil Diikuti Diperlukan Diperlukan Mengarah ke


(25)

1.6.2. Implementasi

1.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Studi implementasi adalah studi perubahan yang terjadi dan perubahan bisa dimunculkan, juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik yaitu organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain dan motivasi yang membuat bertindak secara berbeda (Parsons, 2008: 463).

Dalam setiap perumusan suatu tindakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi, karena suatu kebijaksanaan tanpa diimplementasikan maka tidak akan banyak berarti.

Implementasi merupakan tahapan yang penting karena menentukan apakah kebijakan yang ditempuh telah benar-benar applicable di lapangan dan berhasil

untuk menghasilkan output dan outcome seperti yang telah direncanakan.

Seperti yang dikemukakan oleh Grindle (Wahab, 1990: 59), implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan, dalam arti, walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna, namun apabila proses


(26)

implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek dan begitu pula sebaliknya.

Sesuai dengan hal tersebut, Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008: 146) mengemukakan: “Implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya”.

Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Mengidentifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik pada kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar selama dasawarsa yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Faktor-faktor implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mempunyai efek mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

Sedangkan menurut Edward (2003: 1) Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.

Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu dapat mengalami


(27)

kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik, dapat mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Selanjutnya Jones (1994) mengemukakan: “Implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya, dengan kata lain implementasi merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dengan pilar-pilar organisasi, interpretasi dan pelaksanaan”.

Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006), menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagai berikut:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.”

Drucker (Eriza, 2006) merumuskan bahwa implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah digariskan terlebih dahulu.

Sedangkan Wibawa (Tangkilisan, 2003: 20) berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.


(28)

1.6.2.2. Model-model Implementasi

Untuk mempermudah dalam memahami dan mengimplementasikan suatu kebijakan, terdapat beberapa model, antara lain:

A.Model Meter dan Horn

Meter dan Horn (Wibawa, 1994: 19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Kinerja yang tinggi berlangsung dalam antar hubungan berbagai faktor sebagaimana terlihat pada bagan.

Standar dan sasaran kebijakan

Komunikasi antar organisasi dan

pengukuran aktivitas

Karakteristik organisasi komunikasi antar

organisasi Sumber

daya

Kondisi sosial ekonomi dan

politik

Sikap pelaksana Kinerja

Kebijakan

Gambar 1.2. Bagan Model Implementasi Kebijakan Menurut Meter dan Horn


(29)

Model ini menjelaskan tentang hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas. Variabel-variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2008: 145) sebagai berikut:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut Van Meter dan Horn, identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, maka ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dirumuskan secara spesifik dan konkret.

2. Sumber-sumber kebijakan

Sumber-sumber layak mendapatkan perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud

mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan

memperlancar implementasi yang efektif.

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana

Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Dengan begitu sangat pentingnya untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasi badannya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan


(30)

dengan berbagai sumber informasi. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu dinyatakan dengan cukup jelas, sehingga para pelaksana dapat mengetahui apa yang diharapkan dari ukuran-ukuran tersebut.

4. Karakteristik badan pelaksana

Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, tidak bisa dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari modal ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka.

5. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik

Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

6. Kecenderungan pelaksanaan

Arah kecenderungan pelaksanaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting. Penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong keberhasilan bagi implementasi kebijakan.

7. Kaitan antara komponen-komponen model

Komponen yang dimaksud di sini adalah ukuran-ukuran dasar dan tujuan, komunikasi antar organisasi, dan kegiatan-kegiatan pelaksanaannya,


(31)

karakteristik dari badan pelaksana dan kecenderungan para pelaksana yang semuanya saling berkaitan dalam mengimplementasikan kebijakan.

8. Masalah kapasitas

Kapasitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi implementasi kebijakan. Hal ini menyangkut staf yang terlatih dan banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, sumber-sumber keuangan dan hambatan-hambatan yang bisa menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik.

B.Model Mazmanian dan Sabatier

Model yang kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Nugroho, 2006: 629) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model

Mazmanian dan Sabatier ini disebut “Model Kerangka Analisis Implementasi

(a frame work for implementation analysis).

Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel (Nugroho, 2006: 629), yaitu:

1. Variabel Independen

Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2. Variabel Intervening

Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanaan dari lembaga


(32)

pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3. Variabel Dependen

Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari: (1) pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana (2) kepatuhan objek (3) hasil nyata (4) penerimaan atas hasil nyata (5) tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

C.Model George C. Edwards III

Menurut Edwards (Winarno, 2008: 174), studi implementasi kebijakan

adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Implementasi

kebijakan adalah tahap antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.


(33)

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.

Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut diperhatikan di sini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

1. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, pra-syarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah


(34)

bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Komunikasi juga menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi yang efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dana sasaran dari program/kebijakan dapat

disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu:

a. Transmisi

Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, sering kali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan


(35)

perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2) Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

b. Kejelasan

Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

c. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil


(36)

tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan.

Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan.

2. Sumber Daya

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber daya dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya yang penting meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

a. Staf

Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat


(37)

digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efisien. Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukup hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Sering kali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka sering kali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini

sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan

administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan

kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi


(38)

pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

b. Informasi

Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan.

Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana

melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini menaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

c. Wewenang

Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat.


(39)

Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di atas kertas, sering kali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindblom, sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

d. Fasilitas-fasilitas

Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber daya penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor


(40)

untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Disposisi menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokrasi. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan di antara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk

tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline

program.

4. Struktur Organisasi

Struktur organisasi menjadi sangat penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini mencakup dua hal penting, pertama adalah mekanisme dan kedua yaitu struktur organisasi pelaksana itu sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standard

Operational Procedure (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program.

SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapa pun, karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara tepat.

Model implementasi George C. Edwards III inilah yang akan digunakan penulis di lapangan untuk menganalisis proses implementasi Kredit Usaha Rakyat


(41)

pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Stabat dalam mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Alasan penulis menggunakan model ini adalah karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh George C. Edwards III merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja implementasi dan dapat lebih konkret dalam menjelaskan proses implementasi yang sebenarnya.

1.6.3. Kredit Usaha Rakyat

1.6.3.1. Latar Belakang Kredit Usaha Rakyat

Ketersediaan lapangan pekerjaan pada sektor formal yang terbatas serta krisis ekonomi yang kerap melanda Indonesia membuat masyarakat harus berjuang lebih keras lagi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini mendorong masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi dirinya dan orang lain dengan mendirikan usaha sendiri di luar sektor formal.

Usaha-usaha dengan skala tidak terlalu besar inilah yang kemudian disebut Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Usaha ini dapat bergerak dalam bidang perdagangan, jasa, konstruksi, transportasi, dan industri, serta jenis usaha lainnya. UMKM ini telah terbukti dapat bertahan dalam krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan memiliki kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, di tengah pertumbuhannya, sektor UMKM yang diharapkan tersebut tidak bertumbuh secepat dan seluas yang diharapkan. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat mampu mendirikan dan mengembangkan UMKM. Faktor utama ketidakmampuan masyarakat untuk mendirikan atau mengembangkan UMKM adalah keterbatasan modal. Di sinilah peran pemerintah kembali


(42)

diharapkan untuk mengatasi masalah permodalan tersebut. Dan pada akhirnya, Pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjawab masalah tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan, yaitu yang sampai saat ini populer dengan sebutan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di bidang

usaha yang produktif dan layak namun belum bankable (yang belum dapat

memenuhi persyaratan perkreditan/pembiayaan dari bank) yang sebagian dijamin oleh Perusahaan Penjamin (http://www.ekon.go.id/media/filemanager/...pdf

KUR merupakan bagian integral dari pelaksanaan kebijakan INPRES 6/2007 tentang Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. KUR sendiri pertama kali diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 05 November 2007. Implementasinya berpangkal pada Nota Kesepahaman Bersama antara Instansi/departemen teknis, perbankan, dan perusahaan penjaminan. KUR merupakan aktualisasi dari siasat inovatif untuk menciptakan hubungan yang saling melengkapi dan saling mengisi antara sektor finansial dan sektor riil. Terstruktur sebagai sindikasi pembiayaan nasional yang bersifat lintas fungsional, lintas sektoral, dan lintas regional; bersentuhan langsung dengan aspek makro dan mikro ekonomi; dan berorientasi pada keselarasan antara segi pertumbuhan dan pemerataan. KUR dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan permodalan UMKM melalui penerapan skim penjaminan kredit. Penyaluran KUR dilaksanakan secara serempak oleh BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, dan BUKOPIN; dan terhadap penyaluran KUR itu, pemerintah memberikan jaminan sebesar 70% melalui Perum Jaminan Kredit Indonesia


(43)

(JAMKRINDO) dan PT. Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO). KUR bersumber dari dana perbankan, disediakan untuk keperluan modal kerja dan investasi; dan disalurkan kepada pelaku UMKM perorangan dan atau kelompok usaha dalam wadah koperasi, yang memiliki usaha feasible tetapi belum bankable

(http://www.smecda.com/...pdf

Perkembangan pelaksanaan KUR, sangat ditentukan oleh terselenggaranya koordinasi yang melibatkan tiga unsur berikut: (

).

http://www.smecda.com/...pdf

a. Unsur instansi/departemen pembina meliputi Menko Perekonomian,

Kementrian Koperasi dan UKM, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, dan instansi/departemen terkait lainnya, di tingkat pusat dan daerah.

).

b. Unsur perbankan terdiri dari: Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN,

Bank BUKOPIN, dan Bank Syariah Mandiri.

c. Unsur lembaga penjaminan terdiri dari: JAMKRINDO dan ASKRINDO.

Kegiatan yang dikoordinasikan meliputi: (i) penyiapan UMKM sesuai dengan kewenangan instansi pembina; (ii) penetapan kebijakan dan prioritas bidang usaha UMKM; (iii) pelaksanaan penyaluran KUR dengan pihak perbankan dan lembaga penjaminan; dan (iv) penetapan kebijakan penjaminan. Dalam siklus koordinasi itu, Komite Kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dibentuk oleh Menko Perekonomian, merupakan penyedia stimulus fiskal (dalam bentuk penjaminan yang bersumber dari APBN). Komite kebijakan ini amat menentukan kelancaran penyaluran KUR kepada UMKM serta menentukan keberhasilan bank pelaksana dan lembaga penjaminan dalam mencapai target yang telah ditetapkan


(44)

(http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/3_Bab_2.p df

1.6.3.2. Kebijakan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat

).

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No. 6 tanggal 08 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 09 Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM. Pada tanggal 05 November 2007, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peluncuran tersebut merupakan tindak lanjut dari ditandatanganinya Nota Kesepahaman Bersama (MoU) pada tanggal 09 Oktober 2007 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah (Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan Penjamin (Perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT Asuransi Kredit Indonesia) dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh Kementrian Negara BUMN, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia (http://www.smecda.com/kajian/files/...pdf

Landasan Operasional KUR (Retnadi, 2008) adalah Inpres No. 6 tanggal 08 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dan Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen


(45)

Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 09 Oktober 2007. Pihak yang terkait terdiri atas: Unsur Pemerintah (6 Menteri), Unsur Perbankan (6 Bank), dan Perusahaan Penjamin Kredit dengan fungsinya masing-masing. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam KUR serta Fungsinya

Para Pihak Fungsi

Pemerintah (6 Menteri)

Departemen Keuangan a. Membantu dan mendukung pelaksanaan

pemberian kredit/pembiayaan berikut penjaminan kredit/pembiayaannya kepada UMKM dan Koperasi.

b. Mempersiapkan UMKM dan Koperasi yang

melakukan usaha produktif yang bersifat individu, kelompok, kemitraan dan/atau cluster

untuk dapat dibiayai dengan kredit/pembiayaan. c. Menetapkan kebijakan dan prioritas bidang usaha

yang akan menerima kredit/pembiayaan.

d. Melakukan pembinaan dan pendampingan

selama masa kredit/pembiayaan.

e. Memfasilitasi hubungan antara UMKM dan

Koperasi dengan pihak lainnya seperti perusahaan inti/off taker yang memberikan kontribusi dan dukungan kelancaran usaha. Departemen Pertanian

Departemen Kehutanan Departemen Kelautan dan Perikanan

Departemen Perindustrian

Kementrian Negara KUKM

Perbankan (6 Bank)

Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bank BTN, Bukopin, Bank Syariah Mandiri

Melakukan penilaian kelayakan usaha dan

memutuskan pemberian kredit/pembiayaan sesuai ketentuan yang berlaku.

Perusahaan Penjamin Kredit


(46)

PT Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha

Memberikan persetujuan penjaminan atas

kredit/pembiayaan yang diberikan perbankan sesuai ketentuan asuransi.

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan

hukum Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu:

(http://komite-kur.com/landasan_hukum.asp

a. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan, ).

b. Inpres No. 6 tahun 2007 tanggal 08 Maret 2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia,

c. MoU antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang

ditandatangani pada tanggal 09 Oktober 2007,

d. Addendum I MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan

Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 14 Februari 2008,

e. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 5 tahun 2008

tentang Komite kebijakan Penjaminan Kredit/Pembiayaan bagi UMKM,

f. Perjanjian Kerja Sama antara Bank Pelaksana dengan Lembaga Penjaminan,

g. Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan KUR,

h. Addendum II MoU Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan

Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2010,

i. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor:

KEP-07/M.EKON/01/2010 Tentang Penambahan Bank Pelaksana Kredit Usaha Rakyat,


(47)

j. Keputusan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor: KEP-01/D.I.M.EKON/01/2010 tentang Standar Operasional dan Prosedur Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.

Selain itu, di dalam implementasi KUR, perbankan dan pihak perusahaan penjaminan mendasarkan pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang mereka sepakati. Skim Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah Kredit Modal Kerja (KMK) dan/atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit sampai dengan Rp 500 juta yang diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang akan mendapat penjaminan dari Perusahaan Penjamin. UMKM harus merupakan usaha produktif yang layak (feasible), namun belum bankable. KUR mensyaratkan bahwa agunan pokok

kredit adalah proyek yang dibiayai. Namun karena agunan tambahan yang

dimiliki oleh UMKM pada umumnya kurang, maka sebagian di-cover dengan

program penjaminan. Besarnya coverage penjaminan maksimal 70% dari plafon

kredit. Sumber dana KUR sepenuhnya berasal dari dana komersial Bank (http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/3_Bab_2.p df).


(48)

1.6.3.3. Tahap-tahap Pengajuan dan Pemberian Kredit Usaha Rakyat

Adapun tahap-tahap dalam mengajukan permohonan KUR terhadap Bank Rakyat Indonesia (BRI) antara lain adalah:

1. Calon Debitur Mengajukan Permohonan secara Tertulis kepada Pihak BRI

Calon debitur KUR datang ke kantor BRI terdekat, kemudian dengan dibantu oleh Customer Service calon debitur KUR mengisi formulir pendaftaran

atau formulir pengajuan permohonan KUR yang sudah disediakan pihak bank, kemudian ditandatangani oleh pemohon. Calon debitur KUR diharuskan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam hal pengajuan permohonan KUR. KUR diperkenalkan sebagai kredit yang mudah didapat, maka syarat-syarat yang ditetapkan pun sangat sederhana. Syarat-syarat yang perlu disertakan adalah bukti identitas diri berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi Kartu Keluarga (KK), dan Surat Keterangan Usaha.

2. Tahap Analisis Kredit/Tahap Pemeriksaan

Berdasarkan arahan Bank Indonesia sebagaimana termuat dalam SK Direksi bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995, setiap permohonan kredit yang telah memenuhi syarat harus dianalisis secara tertulis dengan prinsip sebagai berikut:

a. Bentuk, format, dan kedalaman analisis kredit ditetapkan oleh bank yang

disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit;

b. Analisis kredit harus menggambarkan konsep hubungan total permohonan

kredit. Ini berarti bahwa persetujuan pemberian kredit tidak boleh berdasarkan semata-mata atas pertimbangan permohonan untuk satu transaksi atau satu


(49)

rekening kredit dari pemohon, namun harus didasarkan atas dasar penilaian seluruh kredit dari pemohon kredit yang telah diberikan dan/atau akan diberikan secara bersama-sama oleh bank;

c. Analisis kredit harus dibuat secara lengkap, akurat, dan objektif yang sekurang-kurangnya meliputi menggambarkan semua informasi yang berkaitan dengan usaha dan data pemohon termasuk hasil penelitian pada daftar kredit macet; penilaian kelayakan jumlah permohonan kredit dengan kegiatan usaha yang akan dibiayai, dengan sasaran menghindari kemungkinan terjadinya praktek

mark up yang dapat merugikan bank; menyajikan penilaian yang objektif dan

tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan permohonan kredit.

d. Analisis kredit sekurang-kurangnya harus mencakup penilaian tentang prinsip 5C dan penilaian terhadap sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada hasil usaha yang dilakukan pemohon serta menyediakan aspek yuridis perkreditan dengan tujuan untuk melindungi bank atas risiko yang mungkin timbul;

e. Dalam penilaian kredit sindikasi harus dinilai pula bank yang bertindak sebagai bank induk.

Bagaimanapun arahan di atas, tetap terbuka peluang bagi bank-bank untuk mengatur kebijakan kreditnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bank itu sendiri namun tetap berpedoman pada arahan Bank Indonesia.

3. Tahap Pemberian Putusan Kredit

Tahap ini, calon debitur akan memperoleh keputusan kredit yang berisi persetujuan akan adanya pemberian Kredit Usaha Rakyat sesuai permohonan


(50)

yang diajukannya. Keputusan persetujuan permohonan kredit berupa mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur. Pihak bank akan memberitahukan kepada calon debitur untuk mengonfirmasi kembali beberapa hari menurut beberapa hari yang telah ditentukan oleh pihak bank setelah pengajuan permohonan kredit.

Kemudian kepala bank wajib meneliti dan memastikan bahwa dokumen-dokumen yang berkaitan atau yang mendukung pemberian keputusan kredit masih lengkap, sah, dan berkekuatan hukum. Setiap pejabat yang terlibat dalam kebijakan persetujuan kredit harus mampu memastikan hal-hal berikut (Firdaus, 2003: 51):

a. Setiap kredit yang diberikan telah sesuai dengan prinsip perkreditan yang sehat dan ketentuan perbankan lainnya.

b. Pemberian kredit telah sesuai dan didasarkan pada analisis kredit yang jujur, objektif, cermat, dan seksama, serta independen.

c. Adanya keyakinan bahwa kredit akan mampu dilunasi.

4. Tahap Pencairan Kredit/Akad Kredit

Setiap proses pencairan kredit harus terjamin asas aman, terarah, dan produktif dan dilaksanakan apabila syarat yang ditetapkan dalam perjanjian kredit telah dipenuhi oleh pemohon kredit (Firdaus, 2003: 52). Setelah semua persyaratan terpenuhi dan pemberian kredit diikat oleh perjanjian kredit maka debitur dapat mengambil dana pinjaman yang telah dimohonkan.

Tahap akad kredit pencairan meliputi beberapa tahap yaitu tahap persiapan pencairan, penandatanganan perjanjian pencairan kredit, fiat bayar dan


(51)

pembayaran pencairan kredit. Adapun penjelasan mengenai langkah-langkah pada tahap akad kredit adalah:

1) Persiapan Pencairan

Setelah Surat Keterangan Permohonan Pinjam (SKPP) diputus, Customer

Service mencatatnya pada register dan segera mempersiapkan pencairan sebagai

berikut:

a. Memberitahukan pada calon debitur bahwa permohonan KUR telah mendapat

persetujuan atau putusan dan kepastian tanggal pencairannya.

b. Menyiapkan Surat Pengakuan Hutang

c. Mengisi kuitansi pencairan KUR

2) Penandatanganan Perjanjian KUR

Berkas atau kelengkapan pencairan di sini adalah Surat Pengakuan Hutang, sebelum penandatanganan berkas pencairan Kredit Usaha Rakyat,

Customer Service harus memastikan bahwa dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan pencairan kredit Usaha Rakyat telah ditandatangani oleh debitur sebagai bukti persetujuan debitur. Setelah itu, Customer Service meminta

debitur untuk membaca dan memahami Surat Pengakuan Hutang (SPH) dan menandatangani SPH tersebut selanjutnya diserahkan pada kepala bank untuk diperiksa. Untuk menjaga keamanan dan melaksanakan prinsip kehati-hatian, maka Customer Service mencocokkan tanda tangan dengan tanda tangan debitur

pada waktu pendaftaran, kemudian menyerahkan semua berkas kepada kepala bank untuk difiat bayar.


(52)

3) Fiat Bayar

Kepala bank akan memeriksa berkas tentang kebenaran dan kelengkapan pengisian berkas Kredit Usaha Rakyat untuk dicocokkan dengan syarat yang disebutkan dalam putusan kredit, setelah yakin maka kepala bank akan membubuhkan tanda tangan sebagai persetujuan fiat bayar. Setelah selesai, kuitansi diserahkan pada teller dan berkas diserahkan pada Customer Service.

4) Pembayaran Pencairan KUR tanpa Jaminan

Pembayaran pencairan Kredit Usaha Rakyat kepada debitur dilakukan oleh teller berdasarkan kuitansi yang diterima dari kepala bank dengan terlebih dahulu meneliti keabsahan kuitansi.

Apabila terjadi keterlambatan pencairan dana Kredit Usaha Rakyat, disebabkan oleh banyaknya peminat yang hendak menjadi calon debitur Kredit Usaha Rakyat, mengingat jumlah tenaga yang menangani Kredit Usaha Rakyat tidak sebanding dengan jumlah peminat Kredit Usaha Rakyat. Lamanya proses pencairan dana disebabkan pula oleh penerapan asas kehati-hatian dalam menyalurkan dana dan tetap berpegang teguh pada lima prinsip dalam penilaian

kondisi nasabah atau sering disebut dengan “The Five of Credit Analysis

(Supramono, 1995: 33-34). Lima prinsip penilaian tersebut antara lain:

1. Character adalah keadaan watak atau sifat dari debitur, baik dalam

kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap aspek character ini adalah untuk mengetahui sejauh

mana kemauan dan itikad baik debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Character ini merupakan


(53)

hutangnya, namun kalau tidak mempunyai itikad baik tentu akan menimbulkan kesulitan pada bank di kemudian hari (Triandaru dan Budisantoso, 2006: 114-115). Alat untuk memperoleh gambaran tentang

character dari calon nasabah dapat diperoleh melalui upaya:

a. Meneliti riwayat hidup nasabah,

b. Meneliti reputasi calon debitur tersebut di lingkungan usahanya,

c. Melakukan bank to bank information, mencari informasi dari bank ke

bank lain tentang calon debitur,

d. Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha di mana calon debitur berada,

e. Mencari informasi apakah calon debitur suka berjudi, f. Mencari informasi apakah calon debitur suka berfoya-foya.

2. Capacity adalah kemampuan calon debitur dalam menjalankan usahanya

guna memperoleh laba yang diharapkan. Penilaian ini berfungsi untuk mengukur kemampuan calon debitur dalam mengembalikan hutangnya

secara tepat waktu, dari usaha yang diperolehnya. Pengukuran capacity

dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan historis, yaitu menilai kemampuan yang telah lampau,

apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.

b. Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para

pengurus. Hal ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan yang menghendaki keahlian teknologi tinggi dan yang memerlukan profesionalisme tinggi.


(54)

c. Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon debitur mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.

d. Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan

keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin usaha.

e. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon

nasabah dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, mesin-mesin, administrasi dan keuangan, hubungan industri dan kemampuan merebut pasar.

3. Capital adalah jumlah modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.

Kemampuan modal sendiri diperlukan bank sebagai alat indikator kesungguhan dan tanggung jawab debitur dalam menjalankan usahanya karena ikut menanggung risiko dalam kegagalan usaha. “Biasanya jika jumlah modal sendiri (modal netto) cukup besar, usaha tersebut akan kuat dalam menghadapi persaingan dari usaha-usaha sejenis” (Firdaus, 2003: 85).

4. Collateral adalah barang-barang yang diserahkan debitur sebagai agunan

terhadap kredit yang diterimanya. Penilaian terhadap agunan ini meliputi jenis jaminan, lokasi, bukti kepemilikan dan status hukumnya, untuk menghindari terjadinya pemalsuan bukti kepemilikan, maka sebelum dilakukan pengikatan harus diteliti mengenai status yuridisnya bukti

pemilikan dan orang yang menjaminkan. Hakikatnya, bentuk collateral


(55)

non-material seperti jaminan pribadi, letter of Guarantee, rekomendasi.

Penilaian ini dapat dilihat dari dua segi berikut:

a. Segi ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan

diagunkan.

b. Segi yuridis, yaitu apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat

yuridis untuk dipakai sebagai agunan.

5. Condition of economy yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi,

budaya yang mempengaruhi usaha calon debitur di kemudian hari. Penelitian mengenai hal-hal seperti peraturan-peraturan pemerintah, situasi politik, dan perekonomian politik perlu diadakan untuk mendapat gambaran mengenai hal-hal tersebut.

Kelima prinsip di atas yang paling perlu mendapatkan perhatian account

officer adalah character, karena apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya

tidak berarti, atau dengan kata lain permohonannya harus ditolak.

1.6.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

1.6.4.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Ada beberapa pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menurut para ahli atau pihak yang langsung berhubungan dengan UMKM, antara lain:

A.Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

UMKM memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Usaha Mikro, yaitu usaha produktif milik orang perorangan atau badan


(56)

a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Usaha Kecil, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria yakni:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

3. Usaha Menengah, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria:

a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau


(57)

b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

B.Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UMKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja lima orang sampai sembilan belas orang, sedangkan usaha menengah merupakan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja dua puluh orang sampai 99 orang.

C.Menurut Kementrian Keuangan

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK 016/1994 Tanggal 27 Juni 1994 bahwa Usaha Kecil sebagai perorangan/badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omzet per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000,00 atau aset setinggi-tingginya Rp 600.000.000,00 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati). Contohnya Firma, CV, PT, dan Koperasi yakni dalam bentuk badan usaha. Sedangkan contoh dalam bentuk perorangan antara lain pengrajin, industri rumah tangga, peternak, nelayan, pedagang barang dan jasa yang lainnya.

1.6.4.2. Kelemahan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) walaupun dalam pelaksanaannya sangat dibutuhkan karena akan menciptakan dunia usaha baru, tetapi pada kenyataannya, UMKM masih memiliki banyak kelemahan, seperti (Tohar, 2009: 29):


(58)

1. Tidak mengetahui secara tepat kebutuhan modal kerja karena tidak memiliki perencanaan kas yang baik.

2. Sering terjadi kesalahan manajemen dan ketidakpedulian pengelolaan terhadap prinsip-prinsip manajerial.

3. Sumber modal yang terbatas pada kemampuan pemilik.

4. Tidak memiliki program pengendalian dalam memulai usaha.

5. Tidak pernah memiliki studi kelayakan, penelitian pasar dan analisis

perputaran uang.

Berdasarkan dari kelemahan di atas, maka strategi pengembangan atau pemberdayaan yang diupayakan selama ini dapat diklasifikasikan dalam (Kuncoro, 2000):

1. Aspek manajerial, yang meliputi peningkatan produktivitas, meningkatkan

kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumber daya manusia.

2. Aspek permodalan yang meliputi bantuan modal dan kemudahan kredit.

3. Mengembangkan program kemitraan dengan besar usaha baik lewat sistem

Bapak-Anak Angkat, PIR, Keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan

hilir-hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun sub-kontrak.

4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan apakah berbentuk

PIK (Pemukiman Industri Kecil), LIK(Lingkungan Industri Kecil), SUIK (Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).

5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok


(1)

9. Bagaimana respons masyarakat terhadap KUR sejauh yang Anda tahu? 10. Apakah KUR merupakan hibah? Apakah debitur mengetahuinya?

B. Sumber Daya

11. Bagaimanakah kualitas pelayanan yang diberikan oleh pegawai BRI Cabang Stabat dalam pelaksanaan KUR?

12. Pegawai apa saja yang terlibat dalam pelaksanaan KUR?

13. Bagaimana tentang jumlah pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR dan apakah telah memadai?

14. Bagaimana tentang fasilitas yang diberikan BRI Cabang Stabat terkait pelaksanaan KUR bagi debitur KUR?

15. Bagaimana tentang fasilitas (gedung, peralatan, dana, dll) yang disediakan bagi pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR?

16. Apakah ada pelatihan pegawai mengenai KUR?

17. Bagaimana wewenang Anda dalam pelaksanaan KUR ini?

C. Disposisi

18. Bagaimana sikap pegawai BRI Cabang Stabat dalam proses pelaksanaan KUR?

19. Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat terhadap debitur KUR?

20. Bagaimana proses administrasi yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat dalam pelaksanaan KUR terhadap debitur?

D. Struktur Organisasi

21. Apa saja tahapan yang harus dilalui oleh calon debitur KUR ketika mengajukan permohonan kredit?


(2)

22. Bagaimana kebijakan analisis kredit yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat dalam KUR?

23. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang bermasalah atau kredit macet? 24. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang kreditnya lancar?


(3)

II.Pedoman Wawancara dengan Informan Utama (Bapak Account Officer

KUR dan Ibu Petugas Administrasi Kredit BRI Cabang Stabat) Identitas Informan

1. Nama :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan :

5. Jabatan :

6. Masa Kerja :

Pertanyaan A. Komunikasi

1. Bagaimana komunikasi antara pihak BRI Cabang Stabat dengan para debitur KUR?

2. Bagaimana tentang penyuluhan atau promosi dari pihak BRI Cabang Stabat kepada masyarakat, khususnya pelaku UMKM mengenai KUR?

3. Bagaimana komunikasi antar pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR? 4. Apa sebenarnya Kredit Usaha Rakyat itu?

5. Apa tujuan dari pemberian KUR? 6. Apa manfaat KUR bagi UMKM?

7. Bagaimana dengan jangka waktu KUR yang disediakan? 8. Apa saja persyaratan untuk memperoleh KUR?

9. Bagaimana respons masyarakat terhadap KUR sejauh yang Anda tahu? 10. Apakah KUR merupakan hibah? Apakah debitur mengetahuinya?


(4)

B. Sumber Daya

11. Pegawai apa saja yang terlibat dalam pelaksanaan KUR?

12. Bagaimana tentang jumlah pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR dan apakah telah memadai?

13. Bagaimana tentang fasilitas yang diberikan BRI Cabang Stabat terkait pelaksanaan KUR bagi debitur KUR?

14. Bagaimana tentang fasilitas (gedung, peralatan, dana, dll) yang disediakan bagi pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan KUR?

15. Apakah ada pelatihan pegawai mengenai KUR?

16. Bagaimana wewenang Anda dalam pelaksanaan KUR ini?

C. Disposisi

17. Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat terhadap debitur KUR?

18. Bagaimana proses administrasi yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat dalam pelaksanaan KUR terhadap debitur?

D. Struktur Organisasi

19. Apa saja tahapan yang harus dilalui oleh calon debitur KUR ketika mengajukan permohonan kredit?

20. Bagaimana kebijakan analisis kredit yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat dalam KUR?

21. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang bermasalah atau kredit macet? 22. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang kreditnya lancar?


(5)

III. Pedoman Wawancara dengan Informan Tambahan (Para Debitur KUR BRI Cabang Stabat)

Identitas Informan

1. Nama :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan : 5. Jenis Usaha :

Pertanyaan A. Komunikasi

1. Bagaimana komunikasi antara pihak BRI Cabang Stabat dengan para debiturnya?

2. Bagaimana tentang penyuluhan atau promosi dari pihak BRI Cabang Stabat kepada Anda dan/atau pelaku UMKM lainnya mengenai KUR?

3. Apa sebenarnya Kredit Usaha Rakyat? 4. Apa tujuan dari pemberian KUR? 5. Apa manfaat KUR bagi UMKM?

6. Bagaimana dengan jangka waktu KUR yang disediakan? 7. Apa saja persyaratan untuk memperoleh KUR?

8. Bagaimana respons Anda mengenai KUR?

9. Apakah KUR merupakan hibah? Apakah Anda mengetahuinya?

B. Sumber Daya

10. Bagaimanakah kualitas pelayanan yang diberikan oleh pegawai BRI Cabang Stabat?


(6)

C. Disposisi

11. Bagaimana sikap pegawai BRI Cabang Stabat dalam proses pelaksanaan KUR?

12. Bagaimanakah pengawasan yang dilakukan BRI Cabang Stabat terhadap debitur KUR?

13. Bagaimana proses administrasi yang dilakukan oleh BRI Cabang Stabat dalam pelaksanaan KUR terhadap debitur?

D. Struktur Organisasi

14. Apa saja tahapan yang harus dilalui oleh calon debitur KUR ketika mengajukan permohonan kredit?

15. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang bermasalah atau kredit macet? 16. Bagaimana kebijakan terhadap debitur yang kreditnya lancar?