BUDAYA NASIONAL SUKU bangsa LAMPUNG

BUDAYA NASIONAL
“SUKU LAMPUNG”

Oleh:
Nama

:

Alfino Fauzan Deba R.

Kelas

:

XI IIS 4

No. Absen

:

03


SMA Negeri 1 Sukoharjo
2016/2017

BAB I
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Budaya
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian,
kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Kata
kebudayaan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah culture dan dalam
bahasa Belanda disebut cultuur. Kedua kata ini berasal dari bahasa Latin colere, yang
berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani).
Dengan demikian, culture atau cultuur diartikan sebagai segala daya dan kegiatan
manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Melville J. Herkovits memandang
kebudayaan sebagai suatu yang superorganik karena kebudayaan yang turun-temurun
dari generasi ke generasi tetap hidup terus walaupun orang-orang yang menjadi anggota
masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Edward B.
Taylor melihat kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta

kebiasaan-kebiasaan tang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
B. Pengertian Suku
Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang mengidentifikasikan dirinya
dengan sesamanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama dengan merujuk
kepada ciri khas seperti budaya, Bahasa, agama dan perilaku. Suku bangsa terikat akan
identitas dan kesatuan kebudayaan serta hal-hal mendasar seperti asal-usul dan yang
lainnya. Menurut Koentjaraningrat, suku bangsa berarti sekelompok manusia yang
memiliki kesatuan budaya dan terikat oleh kesadaran dan identitas tersebut. Kesadaran
dan identitas biasanya dikuatkan oleh kesatuan bahasa.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Asal Usul Suku Lampung
Asal-usul ulun Lampung (orang Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung
sendiri. Pada abad ke VII orang di negeri Cina sudah membicarakan suatu wilayah
didaerah Selatan (Namphang) dimana terdapat kerajaan yang disebut Tolang Pohwang,
To berarti orang dan Lang Pohwang adalah Lampung. nama Tolang, Po’hwang berarti
“orang Lampung” atau “utusan dari Lampung” yang datang dari negeri Cina sampai
abad ke 7. Terdapat bukti kuat bahwa Lampung merupakan bagian dari Kerajaan

Sriwijaya yang berpusat di Jambi dan menguasai sebagian wilayah Asia Tenggara
termasuk Lampung dan berjaya hingga abad ke-11.
Dalam kronik Tai-ping-huan-yu-chi dari abad kelima Masehi, disebutkan namanama negeri di kawasan Nan-hai (“Laut Selatan”), antara lain dua buah negeri yang
disebutkan berurutan: To-lang dan Po-hwang. Negeri To-lang hanya disebut satu kali,
tetapi negeri Po-hwang cukup banyak disebut, sebab negeri ini mengirimkan utusan ke
negeri Cina tahun 442, 449, 451, 459, 464 dan 466. Prof. Gabriel Ferrand, pada
tulisannya dalam majalah ilmiah Journal Asiatique, Paris, 1918, hal. 477, berpendapat
bahwa kedua nama itu mungkin hanya satu nama To-lang-po-hwang, lalu negeri itu
dilokasikan Ferrand di daerah Tulangbawang, Lampung. Prof. Purbatjaraka, dalam
bukunya Riwajat Indonesia I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, hal. 25,
menyetujui kemungkinan adanya kerajaan Tulangbawang, meskipun diingatkannya
bahwa anggapan itu semata-mata karena menyatukan dua toponimi dalam kronik Cina.
B. Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan di Lampung merupakan cabang Sundik yakni
berasal dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat. Bahasa ini digunakan tidak hanya
di propinsi Lampung saja namun bagian Selatan Palembang dan Pantai Barat Banten
juga menggunakan bahasa tersebut. Adapun aksara lampung yang disebut Had
Lampung (KaGaNga). Aksara ini ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf
Induk berjumlah 20 buah. Had Lampung ini dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu Aksara
Pallawa (India Selatan) berupa suku kata yang merupakan huruf hidup dan huruf Arab

menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah
tetapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda
di belakang dan masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Berdasarkan peta bahasa, bahasa Lampung memiliki dua subdialek.
1. Dialek Belalau (Dialek Api)

a. Bahasa Lampung Logat Belalau, dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang
berdomisili di Kabupaten Lampung Barat yaitu Kecamatan Balik Bukit, Batu
Brak, Belalau, Suoh, Sukau, Ranau, Sekincau, Gedung Surian, Way Tenong
dan Sumber Jaya. Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Kalianda,
Penengahan, Palas, Pedada, Katibung, Way Lima, Padangcermin, Kedondong
dan Gedongtataan. Kabupaten Tanggamus di Kecamatan Kotaagung, Semaka,
Talangpadang, Pagelaran, Pardasuka, Hulu Semuong, Cukuhbalak dan Pulau
Panggung. Kota Bandar Lampung di Teluk Betung Barat, Teluk Betung
Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa. Banten di di
Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan Tegal dalam Kecamatan Anyer, Serang.
b. Bahasa Lampung Logat Krui, dipertuturkan oleh Etnis Lampung di Pesisir
Barat Lampung Barat yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir
Selatan, Karya Penggawa, Lemong, Bengkunat dan Ngaras.
c. Bahasa Lampung Logat Melinting, dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung

yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur di Kecamatan Labuhan
Maringgai, Kecamatan Jabung, Kecamatan Pugung dan Kecamatan Way
Jepara.
d. Bahasa Lampung Logat Way Kanan, dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung
yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan yakni di Kecamatan
Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakuan Ratu.
e. Bahasa Lampung Logat Pubian, dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang
berdomosili di Kabupaten Lampung Selatan yaitu di Natar, Gedung Tataan dan
Tegineneng. Lampung Tengah di Kecamatan Pubian dan Kecamatan
Padangratu. Kota Bandar Lampung Kecamatan Kedaton, Sukarame dan
Tanjung Karang Barat.
f. Bahasa Lampung Logat Sungkay, dipertuturkan Etnis Lampung yang
Berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Sungkay
Selatan, Sungkai Utara dan Sungkay Jaya.
g. Bahasa Lampung Logat Jelema Daya atau Logat Komring, dipertuturkan oleh
Masyarakat Etnis Lampung yang berada di Muara Dua, Martapura, Komring,
Tanjung Raja dan Kayuagung di Propinsi Sumatera Selatan.
2. Dialek Abung (Dialek Nyow)
a. Bahasa Lampung Logat Abung Dipertuturkan Etnis Lampung yang yang
berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Kotabumi,

Abung Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. Lampung Tengah di
Kecamatan Gunung Sugih, Punggur, Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih

Banyak, Seputih Mataram dan Rumbia. Lampung Timur di Kecamatan
Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung dan Way Jepara. Kota Metro
di Kecamatan Metro Raya dan Bantul. Kota Bandar Lampung di
Gedongmeneng dan Labuhan Ratu.
b. Bahasa Lampung Logat Menggala Dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung
yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang meliputi Kecamatan
Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang Tengah, Gunung Terang dan
Gedung Aji.
C. Peralatan dan Perlengkapan Hidup
1. Tapis
Tapis adalah kain khas Lampung yang terbuat dari tenunan benang kapas
dengan hiasan motif, sulaman benang emas atau perak. Kerajinan ini dibuat oleh
wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya
untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat
istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan
ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi.

Tapis dapat dibedakan menurut pemakaiannya, seperti contohnya:
a. Tapis Jung Sarat, dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.
Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang
menghadiri upacara mengambil gelar, serta muli cangget (gadis penari) pada
upacara adat.
b. Tapis Bidak Cukkil, dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacaraupacara adat.
c. Tapis Silung, dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat
pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan
lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin
d. Tapis Tuho, dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar
sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang
mengambil gelar sutan serta oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara
pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
2. Jangat
Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari
bahan besi lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan batang
kayu. Mata pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara pemakaiannya adalah:
belahan-belahan rotan yang panjang dimasukkan di antara kedua pisau besi itu,
kemudian silih berganti ditarik.


D. Sistem Mata Pencaharian
Aktifitas produksi di Lampung yang utama adalah pertanian, termasuk
perkebunan, kehutanan dan budidaya perikanan. Propinsi Lampung adalah penghasil
utama kopi Robusta; dimana Lampung adalah salah satu yang terluas daerah
perkebunan kopinya. Penghasil utama di bidang pertanian adalah padi, minyak kelapa,
kopi, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya, peternakan dan perikanan. Produksi kopi,
minyak kelapa, dan makanan dalam kemasan, minyak, kayu lapis dan produksi kayu
lainnya. Selain itu, Lampung juga penghasil buah-buahan tropis seperti : mangga,
rambutan, durian, pisang, nanas, dan jeruk. Hasil panen utama yang lain adalah kelapa,
karet mentah, minyak kelapa, coklat, lada dan sejenisnya.
E. Sistem Kekerabatan
Masyarakat Lampung merupakan masyarakat dengan sistem menurut garis ayah
(Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut
Poyang asalnya masing-masing yang disebut “buay”. Setiap kebuayan itu terdiri dari
berbagai “jurai” dari kebuwaian, yang terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang
terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha).
Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat (nuwou
balak, lamban gedung). Ada kalanya buay-buay itu bergabung dalam satu kesatuan
yang disebut “paksi”. Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai
pemimpin yang disebut “penyimbang” yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang

mewarisi kekuasaan ayah secara turun temurun.
Hubungan kekerabatan adat lampung terdiri dari lima unsur yang merupakan lima
kelompok. Pertama, kelompok wari atau adik wari, yang terdiri dari semua saudara
laki-laki yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk saudara angkat yang bertali
darah. Kedua, kelompok lebuklama yang terdiri dari saudara laki-laki dari nenek (ibu
dari ayah) dan keturunannya dan saudara laki-laki dari ibu dan keturunannya. Ketiga,
kelompok baimenulung yang terdiri dari saudara-saudara wanita dari ayah dan
keturunannya. Keempat, kelompok kenubi yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu
bersaudara dan keturunannya. Kelima, kelompok lakau-maru, yaitu para ipar pria dan
wanita serta kerabatnya dan para saudara karena istri bersaudara dan kerabatnya. Bentuk
perkawinan yang berlaku adalah partrilokal dengan pembayaran jujur (ngakuk mulei),
dimana setelah kawin mempelai wanita mengikuti dan menetap dipihak kerabat suami,
atau juga dalam bentuk marilokal (semanda) dimana setelah kawin suami ikut pada
kerabat istri dan menetap di tempat istri.

Untuk mewujudkan jenjang perkawinan dapat ditempuh dalam dua cara, yaitu
cara kawin lari (sebambangan) yang dilakukan bujang-gadis sendiri dan cara pelamaran
orang tua (cakak sai tuha) yang dilakukan oleh kerabat pihak pria kepada kerabat pihak
wanita. Perkawinan yang ideal dikalangan orang lampung adalah pria kawin dengan
wanita anak saudara wanita ayah (bibik, keminan) yang disebut “ngakuk menulung”

atau dengan anak saudara wanita ibu (ngakuk kenubi)/ perkawinan yang tidak disukai
adalah pria dan wnaita anak saudara laki-laki ibu (ngakuk kelana) atau dengan anak
wanita saudara laki-lakinya (ngakuk bai/wari) atau juga dengan anak dari saudara pria
nenek dari ayah (ngakuk lebu). Lebih-lebih tidak disukai kawin dengan suku lain (ulun
lowah) atau orang asing. Apalagi berlainan agama (sumang agamou).
Jika dari suatu ikatan perkawinan tidak mendapatkan keturunan sama sekali, maka
untuk menjadi penerus keturunan ayah, dapat diangkat anak tertua dari adik laki-laki
atau anak kedua dari kakak laki-laki untuk menegakkan (tegak tegi) keturunan yang
putus (maupus). Jika tidak ada anak-anak saudara yang bersedia diangkat dapat
mengangkat orang lain yang bukan anggota kerabat, asal saja disahkan dihadapan
kerabat dan prowitan adat. Tetapi jika hanya mempunyai anak wanita, maka anak itu
dikawinkan dengan saudara misalnya yang laki-laki/ anak wanita itu dijadikan
kedudukan laki-laki dan melakukan perkawinan semanda ambil suami (ngakuk ragah).
Dengan begitu maka anak laki-laki dari perkawinan mereka kelak akan menggatikan
kedudukan kakeknya sebagai waris mayorat sehingga keturunan keluarga tersebut tidak
putus (mak mupus).

F. Seni dan Sastra
Setiap daerah selalu memiliki system kesenian sendiri, daerah Lampung dalam hal
ini Suku Lampung memiliki kesenian sendiri. Antara lain ialah tarian daerah Lampung.

Tarian daerah lampung ada bermacam-macam, ada Tari Sembah atau Tari Sigegh
Penguten yang digunakan untuk menyambut tamu kehormatan pada acara resmi-resmi
atau pada acara perkawinan. Selain tari, adapula lagu adat Suku Lampung, seperti
Lipang Lipangdang, Adi-Adi Daun Lambar, Sang Bumi Ruwa Jurai, Cagget Ageng dan
lainnya.
Sastra juga memgang peran penting dalam berkembangnya kebudayaan Suku
Lampung. Sastra lisan merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Lampung. Ada
berbagai jenis syair yang dikenal masyarakat Lampung, diantaranya pattun (pantun),

pepatcur, pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan, hahiwang,dan wayak.
Sifat-sifat orang Lampung juga diungkapkan dalam sebuah adi-adi (pantun):
Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.
Sifat yang tergambar dalam pantun di atas antara lain: piil-pusanggiri (malu
melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok
(mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-nyimah
(saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), nengah-nyampur
(aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai-sambaian
(gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Seni sastra
dapat dijumpai di berbagai aspek budaya masyarakat Lampung. Misalnya, di upacara
perkawinan, seperti petikan syair di bawah ini:
jak ipa niku kuya
jak pedom lungkop-lungkop
badan mak rasa buya
ngena kebayan sikop
Petikan tulisan ini adalah wayak, sebuah puisi lama dari khasanah sastra lisan
Lampung dan dikenal di Pesisir Lampung. Wayak Jak Ipa Niku Kuya ini seperti terpatri
dalam ingatan seorang anak Lampung karena sering dilafalkan saat mengiringi prosesi
perkawinan adat Lampung. Isinya, sebuah sindirin bagi seseorang (diibaratkan kuya)
yang pemalas, tetapi (seperti mimpi) tiba-tiba mendapatkan gadis cantik. Sindirmenyindir dalam bahasa yang penuh petatah-petitih, tradisi ini masih kuat dalam
masyarakat tradisional Lampung di umbul-umbul (sejenis desa).
Sastra lisan Lampung juga mengenal warahan, semacam kisah rakyat yang
dituturkan seorang pewarah (semacam pengisah atau pendongeng) kepada seseorang atau
khalayak. Dalam perkembangannya, warahan dapat berbentuk puisi, puisi lirik, atau
prosa, tergantung dari kemampuan di pewarah dalam bertutur. Kalau kemudian ada
kreativitas yang berupaya memasukkan warahan dalam seni olah peran, teater modern, itu

karena memang dalam tradisi warahan, terdapat unsur-unsur olah vokal dan sesekali
pewarah menirukan gerak tokoh yang ia ceritakan, meskipun dalam bentuk yang sangat
sederhana.
G. Sistem Keagamaan dan Adat Istiadat
Menurut salah satu teori asal-usul terbentuknya masyarakat Lampung, penduduk
Lampung yang berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat
disebut Tumi (Buay Tumi) menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran
Hindu Bairawa.Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang
pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana.
Masyarakat Lampung didominasi oleh agama Islam, namun terdapat juga agama
Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
Untuk Lampung, persatuan adat, kekerabatan, kerajaan, (ke)marga(an), dan
semacamnya memang lebih kental dalam bentukan identitas kolektif. Aspek agama
Islam, ternyata memberikan warna dan pencitraan tersendiri dalam kaidah kelembagaan
maupun kebudayaan. Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal misalnya pranata
sosial masyarakat dengan mentalitas Islam, religiositas tradisi, kebajikan-kebajikan
sosial, kecenderungan untuk hidup bersama, kehalusan budi, dan conformism
merupakan ciri-ciri peradaban Islam yang melekat dalam adat Lampung. Aplikasi nilainilai agama juga ternyata berpengaruh menimbulkan transformasi manusia dan
kebudayaan di Lampung.
Masyarakat Lampung mengenal berbagai tradisi atau upacara yang tidak trerlepas
dari unsur keagamaan. Dalam masyarakat Lampung ada beberapa bagian siklus
kehidupan seseorang yang dianggap penting sehingga perlu diadakan upacara-upacara
adat yang bercampur dengan unsur agama Islam. Di antaranya adalah:
1. Upacara kuruk liman, disaat bayi dalam kandungan umur 7 bulan
2. Upacara saleh darah yaitu upacara kelahiran
3. Upacara mahan manik yaitu upacara turun tanah, bayi berumur 40 hari
4. Upacara khitanan bila bayi berumur 5 tahun
5. Upacara serah sepi bila anak berumur 17 tahun dan sebagainya
6. Juga upacara perkawinan, kematian dan upacara adat lainnya seperti cokok
pepadun yaitu pelantikan pengimbang baru sebagai kepala adat.
H. Rumah Adat (Nuwou Sesat)

Nuwou berasal dari bahasa Lampung yang berarti tempat ibadah seperti masjid,
musholla, surau, Rang Ngaji atai Pok Ngajei. Persamaan kata Nuwou adalah Lamban,
Lambahana yang berarti tempat tinggal. Sedangkan Sesat atau juga disebut Bantaian
adalah bangunan tempat bermusyawarah dan penyimpanan bahan makanan.
Dengan demikian Nuwou Sesat dapat diartikan sebagai tempat berkumpul untuk
bermusyawarah. Dalam perkembangan selanjutnya, Nuwou Sesat disebut juga Sesat
Balai Agung, yang juga digunakan sebagai tempat pertemuan adat sekaligus tempat
pelaksanaan upacara-upacara adat. Namun saat ini, lebih banyak digunakan sebagai
tempat tinggal seperti pada umumnya.
1. Pondasi dan Tiang Penyangga
Pondasi rumah adalah umpak batu yang berbentuk persegi. Di setiap umpak batu
ditaruh tihang duduk (tiang penyangga) yang berjumlah kurang lebih 35 tiang dan
tihang induk (tiang utama) berjumlah 20 tiang.
2. Atap
Ujung bubungan atap Rumah Adat Lampung memusat ke titik tengah bagian paling
atas yang terbuat dari kayu bulat (disebut dengan button). Di atas kayu bulat
tersebut diletakkan satu kayu bulat lagi yang berlapis tembaga kemudian di atasnya
ada 2 tingkat dari tembaga atau kuningan. Dan bagian paling atasnya diletakkan
perhiasan dari batu sesuai selera pemilik rumah.
3. Lantai
Nuwou Sesat berlantaikan bamboo atau bisa disebut khesi atau papan yang berasal
dari kayu klutum, bekhatteh dan belasa.
4. Dinding
Dindign rumah merupakan susunan papan-papan kayu yang dipasang berjajar di
setiap rangka rumah dalam posisi berdiri.
5. Pintu dan jendela
Pintu berbentuk setangkup ganda berbentuk persegi panjang. Sedangkan jendela
berbentuk sama namun dengan ukuran yang lebih pendek. Setiap jendela dilengkapi
dengan teralis dari kayu. Terdapat 4 jendela pada bagian depan rumah, sedangkan
bagian lainnya jumlah jendela tergantung dari panjangnya badan rumah.
Dalam rumah adat Lampung (Nuwou Sesat) terdiri dari beberapa ruangan. Setiap
ruangan tersebut memiliki fungsi dan kegunaan tersendiri. Berikut penjelasan mengenai
ruangan-ruangan dalam rumah adat Lampung.

1. Panggakh, yaitu loteng rumah yang digunakan sebagai tempatpenyimpanan barangbarang adat, senjata atau benda pusaka.
2. Lepau/Bekhanda, yaitu ruangan terbuka luas di depan rumah seperti serambi yang
digunakan sebagai ruang tamu atau tempat Himpun (bermusyawarah adat).
3. Lapang Lom, yaitu ruang keluarga. Digunakan sebagai temapt berkumpulnya
keluarga atau acara-acara adat seperti Himpun atau Bedua
4. Bilik kebik, merupakan kamar tidur utama untuk kepala keluarga
5. Tebelayakh, merupakankamar tidur kedua
6. Sekhudu, yaitu ruangan terletak di bagian belakang yang digunakan oleh ibu-ibu
7. Dapokh yaitu dapur yang terletak di bagian paling belakang rumah, terdiri dari
beberapa ruangan lagi, yaitu: gakhang atau tempat mencuci peralatan dapur dan bah
lamban atau tempat penyimpanan hasil panen
I. Pakaian Adat
Pakaian adat Lampung adalah peninggalan budaya Lampung yang sangat khas
dan memiliki nilai seni yang tinggi. Pakaian adat ini sering digunakan para pengantin
sebagai simbol kebesaran budaya Lampung. Pakaian ini juga kadang digunakan dalam
pertunjukan seni tari daerah Lampung, seperti tari sembah, tari bedana, dan lain
sebagainya.
1. Pakaian Adat Laki-Laki
Pakaian adat laki-laki suku Lampung umumnya cukup sederhana, yakni
berupa baju lengan panjang berwarna putih, celana panjang hitam, sarung tumpal,
sesapuran dan khikat akhir. Sarung tumpal adalah kain sarung khas Lampung yang
ditenun menggunakan benang emas. Sarung ini digunakan di luar celana, mulai
lutut hingga pinggang. Setelah sarung, sesapuran atau sehelai kain putih dengan
rumbai ringgit diikatkan di luar sarung, sementara khikat akhir atau selendang bujur
sangkar dilingkarkan ke pundak menutupi bahu.
Baju adat pengantin laki-laki suku Lampung dilengkapi dengan beragam
pernik perhiasan. Sedikitnya ada 8 perhiasan yang biasanya dikenakan oleh lakilaki, di antaranya kopiah emas beruji, perhiasan leher berupa kalung, perhiasan
dada, perhiasan pinggang, dan perhiasan lengan. Berikut ini adalah penjelasan dari
beberapa perhiasan tersebut:
a.

Kalung papan jajar adalah kalung dengan gantungan berupa 3 lempengan siger
kecil atau perahu yang tersusun dengan ukuran berbeda. Filosofi dari kalung ini

adalah simbol kehidupan baru yang akan mereka arungi dan dilanjutkan secara
turun temurun.
b.

Kalung buah jukum adalah kalung dengan gantungan berupa rangkaian
miniatur buah jukum sebagai perlambang doa agar mereka segera mendapatkan
keturunan.

c.

Selempeng pinang adalah kalung panjang berupa gantungan menyerupai buah
atau bunga.

d.

Ikat pinggang yang bernama bulu serti dilengkapi dengan sebuah terapang
(keris) yang menjadi senjata tradisional khas Lampung.

e.

Gelang burung adalah gelang pipih dengan aksesoris bentuk burung garuda
terbang. Gelang yang dikenakan di lengan tangan kanan dan kiri ini
melambangkan kehidupan panjang dan kekerabatan yang terjalin setelah
menikah.

f.

Gelang kano adalah gelang menyerupai bentuk ban. Gelang yang dikenakan
pada lengan kiri dan kanan di bawah gelang burung ini melambangkan
pembatasan atas semua perbuatan buruk setelah menikah.

g.

Gelang bibit adalah gelang yang dikenakan di bawah gelang kano. Gelang ini
melambangkan doa agar segera mendapatkan keturunan.

2. Pakaian Adat Wanita
Pakaian pengantin wanita adat Lampung tidak begitu berbeda dengan pakaian
laki-lakinya. Sesapuran, khikat akhir, sarung rumpai (tapis) juga terdapat pada
pakaian pengantin wanita ini. Akan tetapi, pada wanita terdapat perlengkapanperlengkapan lain yang menambah nilai filosofis dan estetis di antaranya selappai,
bebe, katu tapis dewa sano.
Selappai adalah baju tanpa lengan dengan tepi bagian bawah berhias rumbai
ringgit, bebe adalah sulaman benang satin berbentuk bunga teratai yang
mengambang, sedangkan katu tapis dewa sano adalah rumpai ringit dari kain tapis
jung jarat.
Meski pakaian adat Lampung untuk wanita terkesan sederhana, akan tetapi ada
cukup banyak aksesoris yang harus dikenakan. Di antaranya siger, seraja bulan,

peneken, selapai siger, subang, kembang rambut, serta berbagai perhiasan leher dan
dada..
a. Siger
Siger adalah mahkota emas khas yang dikenakan di kepala pengantin wanita.
Mahkota ini melambangkan keagungan adat budaya Lampung. Siger memiliki 9
ruji, menandakan bahwa ada 9 sungai besar yang terdapat di Lampung, yaitu
Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, Way Sunkai, Way Abung
Pareng, Way Tulang Bawang, Way Kanan, dan Way Mesuji.
b. Seraja Bulan
Seraja bulan adalah mahkota kecil beruji 3 yang terletak di atas siger dengan
jumlah sebanyak 5 buah. Aksesoris pakaian adat Lampung ini memiliki filosofi
sebagai pengingat bahwa dahulu ada 5 kerajaan yang sempat berkuasa di
Lampung, yaitu kerajaan ratu dibelalau, ratu dipuncak, ratu dipunggung, ratu
dipemangilan, dan ratu darah putih. Selain itu, seraja bulan juga bisa
melambangkan 5 falsafah hidup masyarakat adat Lampung, di antaranya piil
pesengiri (rasa harga diri), nemui nyimah (terbuka tangan), nengah nyappur
(hidup bermasyarakat), juluk adek (bernama bergelar), dan sakai sembayan
(gotong royong)
c. Subang
Subang adalah perhiasan yang digantungkan di ujung daun telinga. Subang
biasanya berbentuk menyerupai buah kenari dan terbuat dari bahan emas. Pada
subang terdapat beberapa kawat kuning bulat lonjong yang berfungsi sebagai
sangkuatan umbai-umbai.
d. Perhiasan Leher dan Dada
Beberapa perhiasan leher dan dada yang terdapat dalam pakaian adat Lampung
antara lain kalung buah jukum, kalung ringit, dan kalung papanjajar. Kalung
papanjajar adalah kalung dengan gantungan 3 lempengan siger kecil atau perahu
yang menjadi simbol kehidupan baru bagi para pengantin, kalung ringit adalah
kalung dengan aksesoris sembilan buah uang ringit, sedangkan kalung buah
jukum adalah kalung berbentuk menyerupai buah jukum yang dirangkai sebagai
simbolis agar mereka segera mendapat keturunan.

e. Perhiasan Pinggang dan Lengan
Perhiasan pinggang berupa selempang pinang yang digantungkan melintang dari
bahu ke pinggang menyerupai bunga serta bulu serti sebuah ikat pinggang yang
terbuat dari kain beludru berwarna merah berhias kelopak bunga dari kuningan.
Perhiasan lengan berupa beragam jenis gelang, seperti gelang burung, gelang
kano, gelang bibit, dan gelang duri. Makna filosofis dari gelang-gelang yang
dikenakan wanita sama dengan gelang yang dikenakan pria.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung . Diakses pada tanggal 18 Februari 2017.
http://daisymuutz.blogspot.co.id/2012/12/pakaian-adat-tradisional-daerah-lampung.html
Diakses pada tanggal 18 Februari 2017.
http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/05/pakaian-adat-lampung-gambar-dan.html
Diakses pada tanggal 18 Februari 2017.

LAMPIRAN

Peta wilayah Suku Lampung

Rumah adat Suku Lampung (Nuwou Sesat)

Pakaian adat Suku Lampung

Tari Sembah, salah satu tari daerah Lampung