Kelanjutan dari Sudut Pandang Hubungan I

Reza Pusparani Pertiwi | 071411231017 | Kelas A | Week 11

Kelanjutan dari Sudut Pandang Hubungan Internasional

Dalam Hubungan Internasional terdapat empat Great Debates. Perdebatan pertama oleh kaum
Liberalisme dengan Realisme yang terjadi pada masa setelah Perang Dunia I. Perdebatan kedua
adalah perdebatan antara kaum Behavioralisme dengan tradisionalisme. Perdebatan kedua inilah
yang memunculkan teori Neorealisme dan Neoliberalisme. Sehingga pada perdebatan ketiga
terjadi antara kaum Neorealisme atau Neoliberalisme dengan kaum Neo-Marxisme. Sedangkan,
perdebatan yang keempat adalah perdebatan antara Positivisme dengan Pospositivisme.

Pada perdebatan ketiga adalah perdebatan yang dimulai dari serangan antara kaum NeoMarxisme terhadap Neoliberalisme atau Neorealisme. Neo-realis fokus pada keamanan dan isu
militer–area isu high politics (Baylis& Smith, 2001: 193). Neo-liberal internasionalis fokus pada
politik ekonomi, isu lingkungan, dan belakangan, isu-isu hak manusia (Baylis& Smith, 2001:
193). Marxisme sendiri adalah teori yang berbicara tentang masyarakat yang menganggap bahwa
kesenjangan–kesenjangan antar kelas harusnya dihapuskan, setelah itu menjalaninya secara sama
rata sehingga kecil kemungkinan untuk terjadinya konflik. Dengan kata lain, teori ini
menjelaskan tentang bagaimana seharusnya tatanan dunia yang baik adalah tanpa kelas ataupun
kesenjangan sosial (Goldstein, 2005). Sedangkan, Neo-Marxisme sendiri tidak jauh beda dari
paham Marxisme. Neomarxisme tidak hanya memegang kendali atas sistem produksi suatu
negara, seperti asumsi Marxisme sebelumnya. Neomarxisme lebih cenderung kea rah yang lebih

luas, yaitu sistem internasional.

Perdebatan ketiga atau dengan nama lain “Debat Antarparadigma” adalah perdebatan yang hanya
pengembangan dari pemikiran–pemikiran teori yang ada sebelumnya. Perdebatan ketiga sendiri
terjadi karena adanya pertentangan dengan prinsip dari realis sendiri. Khususnya dibidang
ekonomi, bahkan hingga menyangkut pada masalah perdamaian dan keamanan (Carlsnaes, Risse
& Simmons, 2004). Seperti menurut Waever, debat ketiga ini dilihat sebagai debat tanpa
pemenang, tetapi pluralisme diyakini tetap ada (Waever, 1996). Dengan kata lain, klaim tentang

1

Reza Pusparani Pertiwi | 071411231017 | Kelas A | Week 11

keunggulan Neorealisme tidak berarti bahwa penganut pendekatan liberal (pluralis) atau Marxis
(globalis) tidak lagi memberi sumbangan bagi wacana Hubungan Internasional, dan sebagian
dari mereka bahkan mempertanyakan apakah tiga ‘paradigma’ itu bersaing satu sama lain
(Carlsnaes, Risse & Simmons, 2004:21).

Neorealisme sering kali disamakan dengan positivisme di dalam Hubungan Internasional. Tetapi
sesungguhnya positivisme cakupannya jauh lebih luas dari Neorealisme. Menurut Nicholson

(1996), pada dasarnya ada dua program positivism kontemporer dalam HI: (1) program
penelitian kuantitatif, salah satu aliran penting yang berkaitan dengan perdamaian; (2) program
analisis rational choice, seperti game theory (Jackson & Sorensen, 1999:296). Sedangkan,
Pospositivisme sendiri adalah paham yang mencakup pandangan–pandangan metodologis yang
berbeda dan terdiri pula dari beberapa teori di dalamnya, yaitu: rasionalisme, konstruktivisme,
teori kritis, posmodernisme, dan feminisme (Jackson & Sorensen, 1999).

Rasionalitas dapat dimasukan dalam kelompok metode yang dapat di analogikan seperti resep
makanan, yang memiliki cara–cara dalam tiap langkahnya untuk membuat makanan.
Sebagaimana digunakan dalam konteks Hubungan Internasional, ‘rasionalisme’ tampaknya
merujuk pada berbagai aplikasi formal dan informa teori pilihan rasional untuk pertanyaan–
pertanyaan Hubungan Internasional,

pada setiap karya yang menggambarkan tradisi teori

mikro–ekonomi dari Alfred Marshall sampai perkembangan terbaru dalam teori permainan
evolusi atau paling luas sampai pengujian ‘postivis’ dalam menjelaskan kebijakan negeri dengan
mengacu pada pelaku mengejar tujuan (goal-seeking behavior) (Carlsnaes, Risse & Simmons,
2004:106).


Konstruktivisme hampir sama dengan rasionalisme. Kaum konstruktivisme juga sejalan dengan
kaum posmodernisme. Tidak seperti yang ditemukan oleh kaum behavior dan positivis,
konstruktivisme memiliki pemahamannya sendiri bahwa dunia sosial bukan sesuatu yang given;
dunia sosial bukan sesuatu “di luar sana” yang hukum–hukumnya dapat dicari dengan metode

2

Reza Pusparani Pertiwi | 071411231017 | Kelas A | Week 11

atau melalui penelitian ilmiah dan setelah itu dapat dijelaskan melalui teori ilmiah, tetapi dunia
sosial adalah inter–subjektif yang berarti dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang
membuatnya hidup di dalamnya dan yang memahaminya dan dunia sosial dibentuk oleh
masyarakat pada waktu tertentu saja (Jackson & Sorensen, 1999). Konstruktivisme sebenarnya
adalah pemahaman yang berlapis tiga yang mengenai realitas ilmu sosial dan ilmu sosial juga
termasuk dampak dari keduanya, yaitu: (1) mencakup metafisika; (2) teori sosial dan teori
Hubungan Internasional; (3) merupakan strategi penelitian (Carlsnaes, Risse & Simmons, 2004).

Pendekatan teori kritis adalah merupakan pendekatan metodologis yang berkembang dari kaum
Marxis. Teori kritis dikembangkan oleh sekelompok kecil ilmuwan Jerman yang kebanyakan
dari mereka tinggal dalam pengasingan di Amerika Serikat, dikenal secara kolektif sebagai:

“Madzhab Frankurt” (Jackson & Sorensen, 1999:299). Teori kritis melangkah lebih jauh
mengatakan bahwa ilmu–ilmu sosial juga berbeda dari ilmu alam karena subyek penelitian
dipengaruhi oleh pengetahuan tentang diri mereka yang dibuat oleh para sarjana (Carlsnaes,
Risse & Simmons, 2004:261). Dalam pendekatan teori kritis, tidak ada pendekatan yang benar–
benar bebas–nilai, meskipun ketika hal ini dipermasalahkan pasti akan ada perbedaan antara
yang murni politik atau hanya sekedar menjadi upaya memberikan pemahaman dan penjelasan
dalam Hubungan Internasional (Jackson & Sorensen, 1999).

Pendekatan posmodernisme adalah pendekatan yang berawal mula dari pertentangan filsof
Perancis yang berani menentang eksitensialisme yang cenderung dominan pada saat itu (Jackson
& Sorensen, 1999). Lyotard menjelaskan (1984), bahwa posmodernisme dapat dijelaskan sebagai
“ketidak–percayaan menuju metnaratif”, metanaratif sendiri adalah merupakan suatu pemikiran
–– seperti neorealisme dan neoliberalisme –– yang telah menyatakan menemukan kebenaran
tentang dunia sosial (Jackson & Sorensen, 1999). Bagi kaum posmodernisme hal itu tidak masuk
akal. Kaum posmodernisme percaya bahwa ada pengetahuan yang meluas terus tentang manusia,
itu sebabnya mengapa kaum posmodernisme menolak anggapan tentang realitas.

3

Reza Pusparani Pertiwi | 071411231017 | Kelas A | Week 11


Feminis terhitung terlambat dalam memasuki disiplin ilmu Hubungan Internasional. Sandra
Whitworth (1994:2) menyatakan, teori feminis kontemporer berakar dalam gerakan-gerakan
sosial yang diarahkan untuk mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan
dan laki-laki (Carlsnaes, Risse & Simmons, 2004:570). Teori pendekatan feminis sendiri
memiliki tujuan untuk mengubah tatanan sosial yang ada lalu mengubahnya dengan teori
tersebut agar tidak ada lagi diskriminasi ataupun penindasan antara perempuan dan laki-laki.
Pertanyaannya, mengapa muncul pendekatan lain terhadap perspektif yang sudah mapan? Hal ini
terjadi karena dua hal: (1) adanya berbagai perspektif yang berbeda yang telah ditimbulkan oleh
munculnya teori-teori dalam Hubungan Internasional; dan (2) perspektif yang sudah ada dalam
Hubungan Internasional akan mapan pada waktu tertentu. Jadi singkatnya, perspektif dalam
Hubungan Internasional memiliki kepentingan dalam kepentingan tertentu dan dengan waktu
yang berbeda, tergantung pada tiap isu yang ada.

Kesimpulannya, Hubungan Internasional memiliki berbagai perspektif yang melahirkan teoriteori baru. Teori-teori ini berkembang seiring dengan waktu dalam perkembangan Hubungan
Internasional. Banyaknya teori-teori yang muncul ini mengakibatkan terjadinya Great Debates.
Tetapi yang penulis lihat, dari beberapa perdebatan tidak ada dari salah satu teori-teori ini yang
menang. Masing-masing teori memiliki nilai dalam perspektif dan waktu yang berbeda. Teoriteori yang ada dalam Hubungan Internasional akan semakin berkembang seiring dengan isu-isu
yang ada.


Referensi :

Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University
Pres.
Goldstein, Joshua S. (2005) International Relations, Pearson/Longman. Chap.3 ,pp.101-111.

4

Reza Pusparani Pertiwi | 071411231017 | Kelas A | Week 11

Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globalization of World Politics, 2nd edition,
Oxford University Press. Part 2 Chap 7-11
Carlsnaes, Walter, Thomas Risse & Beth A, Simmons. (2004) Handbook of Internasional
Relations, London: SAGE Publication

5