Pengaruh Pelatihan Manajemen Diri Terhad

PENGARUH PELATIHAN MANAJEMEN DIRI
UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES KERJA KARYAWAN
PRAMUNIAGA

Naskah Publikasi
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad
Magister Profesi Psikologi

Program Studi Psikologi
Minat Utama Profesi Psikologi Industri dan Organisasi

Diajukan oleh:

Lupi Yudhaningrum
18521/PS/MPP/06

Kepada:
PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009


Self-Management Training for Decreasing Work stress Level of Salespeople

Lupi Yudhaningrum 1 dan Fathul Himam

2

Proffesional Master of Psychology Program
Gadjah Mada University

Abstract
This research aimed if is there influence work stress level of salespersons base
on self management training. Training can be effective if work stress level of
salespeople decrease. Participants are salespersons at one of department store
in Yogyakarta. Measurement of work stress level using Stress Diagnostic Survey
(SDS) before and after the training. A mixed analysis of variance (mixed ANOVA)
revealed that there is difference of work stress level between the training group
(N = 20) and control group (N = 20). Work stress level in training group is
decrease, compared with control group (F = 12.81; p < 0.01), thus can be
concluded that the decrease of work stress level in training group as a result of

self management training.

Keyword: work stress, self management training, salespeople

1
2

Faculty of Psychology, Gadjah Mada University,Yogyakarta
Faculty of Psychology, Gadjah Mada University,Yogyakarta

1

Pengaruh Pelatihan Manajemen Diri Terhadap Penurunan Tingkat Stres
Kerja Karyawan Pramuniaga

Lupi Yudhaningrum 1 dan Fathul Himam

2

Program Studi Magister Profesi Psikologi

Universitas Gadjah Mada

Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh pelatihan
manajemen diri terhadap penurunan tingkat stres kerja pada karyawan.
Pelatihan dikatakan efektif jika terjadi penurunan tingkat stres kerja pada
karyawan. Subjek pada penelitian ini adalah karyawan pramuniaga pada salah
satu department store di Yogyakarta. Pengukuran tingkat stres kerja pramuniaga
menggunakan Stress Diagnostic Survey (SDS) pada sebelum dan sesudah
pelatihan dilakukan. Berdasarkan hasil analisis data mengunakan anava
campuran diketahui bahwa terdapat perbedaan tingkat stres kerja pada
kelompok eksperimen (N=20) dan kelompok kontrol (N=20), dimana pada
kelompok eksperimen tingkat stres kerja lebih rendah pasca pelatihan
manajemen diri (F = 12,81 ; p < 0,01), sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi
penurunan tingkat stres kerja pada kelompok eksperimen sebagai hasil dari
pelatihan manajemen diri.

Kata kunci: stres kerja, pelatihan manajemen diri, pramuniaga

1

2

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

2

3

Pengantar
Seorang pramuniaga perlu memiliki kemampuan untuk mengontrol tingkah
laku, ekspresi, dan menyesuaikan pendekatan maupun cara pelayanan yang
diharapkan oleh pelanggan. Dengan demikian, maka peranan pramuniaga
sebagai sumber daya manusia sangatlah penting dalam peningkatan penjualan
perusahaan. Dalam menjalankan pekerjaannya, tekanan-tekanan di tempat kerja
merupakan realitas kerja yang harus dihadapi oleh setiap pramuniaga. Jika
seorang pramuniaga tidak mampu mengendalikan tekanan-tekanan tersebut
akan dapat menimbulkan stres kerja, yang berdampak pada penurunan kinerja.
Beehr, et al., (2003) menyatakan bahwa stres kerja dapat dipahami sebagai
keadaan dimana individu menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak dapat

atau belum dapat dijangkau oleh kemampuannya. Artinya, Jika kemampuan
seseorang baru sampai angka lima tetapi menghadapi pekerjaan yang menuntut
kemampuan dengan angka sembilan, maka sangat mungkin sekali orang itu
akan terkena stres kerja. Stres kerja dapat dikenali dari gejala-gejala fisiologis,
psikologis, dan perilaku individu, antara lain: menurunnya produktivitas kerja
karyawan, kurang motivasi (Ganster dan Schaubroeck, 1991), gangguan tidur,
merasa bosan, meningkatnya absensi pada karyawan (Cooper dan Bramwell,
1992; Manning dan Osland, 1989).
Stres kerja dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, kondisi kerja (the work
condition) dimana manajemen, organisasi, atau pimpinan memberikan tugas
melebihi kemampuan riil yang dimiliki karyawan. Stres kerja dapat menimbulkan
efek positif, tapi sekaligus negatif bagi individu. Jika stres kerja dikelola dengan
baik, stres kerja justru bisa menjadi proses belajar dalam kehidupan. Itu berarti
juga membantu mematangkan kedewasaan seseorang. Sebaliknya, Individu
yang terkena stres kerja (dengan catatan, tidak bisa menanggulanginya)
cenderung menjadi tidak produktif (Ng dan Jeffery, 2003), tidak tertantang untuk
mengaktualisasi diri, malas-malasan, tidak efektif dan efisien (Cohen, et al.,
1991), ingin pindah tetapi tidak pindah-pindah, dan seterusnya. Secara kalkulasi
manajemen, tentu saja ini merugikan kinerja organisasi (Barnett, et al., 1993).
Diperkirakan bahwa stres kerja dapat menambah biaya yang dapat merugikan

perusahaan untuk mengatasi permasalahan SDM, yakni sekitar
setiap

tahunnya yang berkaitan

dengan masalah

200 milyar

ketidakhadiran

kerja,

4

keterlambatan, kejenuhan kerja, produktivitas yang menurun, perpindahan
tempat kerja, kompensasi pekerja, dan biaya asuransi kesehatan karyawan
(Barrios-Choplin, et al., 1999).
Menurut hasil wawancara dengan pihak manajemen salah satu
departmen store di Yogyakarta, beberapa karyawan mereka pada bagian Front

Area (FA) mengalami penurunan kinerja, yang ditunjukkan dengan pelayanan
yang kurang memuaskan terhadap pelanggan, sering terlambat dan absen
dengan alasan yang kurang jelas, serta target penjualan yang sering tidak
tercapai. Hal tersebut tentu saja dapat berdampak buruk bagi efektivitas dan
efisiensi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pada perusahaan retail,
karyawan bagian FA adalah kunci dari kepuasan pelanggan. Sistem kerja pada
karyawan FA adalah sistem kerja shift, dimana karyawan harus berdiri di area
display penjualan dalam waktu cukup lama. Setiap karyawan haruslah memiliki
target penjualan individu, dan dapat melayani pelanggan dengan baik, meski
terkadang harus berhadapan dengan pelanggan yang berperilaku tidak
menyenangkan. Berdasarkan data wawancara yang diperoleh, dapat disimpulkan
bahwa beberapa karyawan mereka merasa mengalami tekanan-tekanan dalam
bekerja yang mengakibatkan penurunan motivasi dalam bekerja. Meskipun
demikian,

pihak

manajemen

telah


melakukan

upaya

berupa

kegiatan

pengembangan, yang sebagian besar bersifat teknis, seperti salesmanship
training, beauty class training, dan product knowledge training. Pengembangan
yang bersifat soft skill belum pernah diberikan sehingga menurut mereka para
karyawan kurang memiliki wawasan berpikir yang lebih luas, terutama dalam
mengantisipasi tekanan maupun permasalahan yang ada. Hal ini menjadi penting
untuk menjadi perhatian, sebab dengan memiliki wawasan berpikir yang luas
akan mampu melihat suatu permasalahan dengan lebih objektif dan positif.
Ivancevich dan Matteson (1980) menyatakan bahwa tekanan-tekanan
yang biasa dirasakan karyawan di tempat kerja berkaitan dengan enam dimensi,
yakni: role ambiguity (peran ambigu), role conflict (konflik peran), quantitative role
overload (kuantitas beban kerja), qualitative role overload (kualitas beban kerja),

concern about career development (perhatian terhadap perkembangan karir),
dan reponsibility for people (tanggung jawab terhadap orang lain). Jika tekanantekanan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka tidak dapat dipungkiri
akan menimbulkan stres kerja yang dapat mengganggu karyawan dalam bekerja.

5

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres
kerja dapat menimbulkan dampak negatif bila tidak dikelola dengan baik.
Dampak tersebut dapat dirasakan dari segi individu maupun perusahaan.
Mengatasi stres kerja, harus dilakukan dengan kembali ke inti permasalahan
atau sumber stres kerja. Kemudian dibandingkan dengan karakter pribadi,
menggali apa yang sebenarnya diharapkan, bagaimana masalah tersebut
mempengaruhi, dan jalan keluar apa yang paling tepat untuk mengatasi sumber
masalah itu.
Oleh karena itu, diperlukan penanganan secara kognitif untuk membuat
individu mengenali, mengatur, dan mengendalikan reaksi diri (Emery, et al.,
2003). Artinya, jika keinginan untuk mengatasi permasalahan dan upaya untuk
mengendalikan masalah datang dari diri individu yang bersangkutan, maka
proses perubahan tersebut lebih dapat diterima oleh individu tersebut daripada
jika dikendalikan oleh orang lain. Proses ini erat kaitannya dengan teori

manajemen diri.
Manajemen diri merupakan seperangkat strategi kognitif perilakuan yang
membantu individu dalam membentuk lingkungannya, membangun motivasi diri,
dan memfasilitasi perilaku yang tepat untuk mendapatkan standar penampilan
yang dikehendaki (Manz, 1986). Manajemen diri merupakan suatu mekanisme
untuk dapat mengendalikan resiko dari dampak stres kerja tersebut, sehingga
individu

dapat

menghadapi

dan

mengendalikan

realita

kehidupan


dan

keberadaan diri yang terdiri atas tubuh fisik, emosi, mental, maupun pikirannya
(Prijosaksono dan Mardiyanto, 2003).
Manajemen diri adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk
mengendalikan hal-hal yang berlebihan dalam pengambilan keputusan maupun
perilakunya, yang dapat digambarkan sebagai seperangkat strategi kognitif dan
perilaku yang membantu individu dalam menstruktur lingkungannya, membentuk
motivasi diri, dan memfasilitasi perilaku yang tepat
mengantisipasi

tekanan-tekanan

yang

dihadapi

di

khususnya
tempat

kerja

dalam
dan

mengelolanya dengan baik.
Pelatihan manajemen diri merupakan suatu langkah untuk mengelola diri,
mengatur kehidupan pribadi, sosial, dan emosional untuk menampilkan performa
diri yang optimal. Setiap orang dapat melakukan manajemen diri, akan tetapi
tidak setiap orang dapat efektif mengelola/memanajemen dirinya sendiri. Oleh

6
karena itu, perlu diberikan sistematika pengelolaan diri yang terangkum dalam
suatu program pelatihan agar pengelolaan diri menjadi lebih efektif dan terarah
sesuai dengan tujuan. Gintner & Poret (2001) dalam penelitiannya juga
menyimpulkan bahwa setelah mengikuti pelatihan manajemen diri, dan dilakukan
follow up setelah sepuluh minggu diadakan post-test, subjek mengalami
peningkatan keyakinan diri, dan mampu mengantisipasi tekanan atas suatu
resiko dalam kerja dibandingkan dengan subjek yang tidak diberikan program
pelatihan manajemen diri. Gintner dan Poret (2001) mengungkapkan prinsipprinsip penerapan dalam pelatihan manajemen diri, yakni:
1) Mendefinisikan permasalahan secara konkrit.
2) Pengawasan diri.
3) Menetapkan tujuan dengan menuliskan tujuan tersebut
4) Menyiapkan diri untuk melakukan perubahan
Pelatihan

manajemen

diri

mengajarkan

kepada

individu

untuk

mengasesemen masalah-masalah yang dihadapinya, menetapkan suatu tujuan
khusus dalam penyelesaian masalah tersebut, memonitor bagaimana keadaan
lingkungannya dalam

mendukung

individu menetapkan tujuannya, serta

menetapkan dukungan bila tujuan tercapai dan hukuman atas tujuan yang tidak
tercapai (Frayne dan Geringer, 2000). Selanjutnya, Frayne dan Geringer (2000)
menyimpulkan bahwa setelah melalui pelatihan manajemen diri, karyawan
mengalami peningkatan performansi kerja yang berpengaruh pada tercapainya
tujuan organisasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pelatihan manajemen diri pada
subjek pegawai negeri sipil, terbukti efektif meningkatkan keyakinan diri,
menurunkan tingkat absensi kerja dan meningkatkan hubungan interpersonal
pada karyawan (Frayne dan Latham, 1987; Latham dan Frayne, 1989).
Penelitian yang

dilakukan oleh Barrios-Choplin, et al. (1999) pada karyawan

sales asuransi menunjukkan bahwa setelah tiga minggu mengikuti pelatihan
manajemen diri, terbukti mengalami penurunan tingkat stres kerja.
Berdasarkan

uraian

tersebut

di

atas,

maka

pengertian

pelatihan

manajemen diri dalam penelitian ini adalah suatu prosedur yang menggunakan
seperangkat strategi kognitif perilakuan yang mengarahkan manusia untuk dapat
menafsirkan permasalahan yang dihadapinya, mengenali diri dan potensi yang
dimiliki, memonitor diri dan perilakunya, serta mampu bertindak secara tepat

7
khususnya dalam menghadapi suatu permasalahan atau tekanan—dalam hal ini
adalah stres kerja yang dialami karyawan—dan memecahkannya, sehingga
dapat mengurangi dampak negatif dari stres kerja dengan merubah pola pikir dan
perilaku positif yang ditimbulkan dari permasalahan yang dihadapi. Materi
pelatihan disusun dengan memodifikasi beberapa kerangka manajemen diri yang
dikemukakan oleh (Prijosaksono dan Mardianto, 2003; Frayne dan Geringer,
2000; Gintner dan Poret, 2001; Barrios-Choplin, et al., 1999). Materi pelatihan
manajemen diri dapat dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Materi pelatihan manajemen diri (modifikasi dari konsep
manajemen diri dari Prijosaksono dan Mardianto, 2003; Frayne dan
Geringer, 2000; Gintner dan Poret, 2001; Barrios-Choplin, et al., 1999)
Dimensi

Fokus dari aktivitas yang

manajemen

dilakukan

Implikasi dari aktivitas yang dilakukan

diri
Menafsirkan

Mengenali sumber tekanan

Memberikan data mengenai inti

keadaan

khususnya di lingkungan

permasalahan yang dihadapi, apa yang

tertekan/stres

kerja, apa yang diharapkan

diinginkan dan apa yang akan dilakukan.

kerja

oleh subjek, serta
pemecahan masalah.

Pengenalan

Mendapatkan data diri,

Mengembangkan peserta untuk

diri (Self

termasuk sikap dan perilaku

memahami hubungan antara karakter

asessment)

subjek yang ingin

yang dimiliki dan tekanan di tempat kerja

dimodifikasi.

untuk menigkatkan kemampuan
pengawasan diri.

Pengawasan

Proses dimana subjek

Memberikan data mengenai kemajuan

diri (Self

diarahkan untuk mengingat

sikap dan perilaku subjek yang

Monitoring)

dan mempertahankan

dimodifikasi.

perubahan perilaku.
Relaksasi

Teknik pelepasan emosi

Memfasilitasi subjek dalam ketenangan

negatif dengan cara

berpikir akan permasalahan yang

penenangan diri dan

dihadapi, mengenal diri dan mengawasi

penciptaan emosi positif

diri, serta membawa pada pemecahan
positif

8

Berdasarkan keterangan diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah bahwa pelatihan manajemen diri berpengaruh terhadap penurunan
tingkat stres kerja pada karyawan. Karyawan yang dikenai pelatihan manajemen
diri (kelompok eksperimen) akan menurun tingkat stres kerjanya dibandingkan
dengan karyawan yang tidak dikenai pelatihan manajemen diri (kelompok
kontrol). Penurunan tingkat stres kerja pada kelompok eksperimen sebagai hasil
dari pelatihan manajemen diri.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan pretestposttest control group. Pretest-posttest adalah pengukuran yang dilakukan
secara berulang, pada pra dan pasca diberikannya manipulasi(Cook dan
Campbell, 1979).
Partisipan adalah karyawan pramuniaga toko di sebuah department store
terbesar di Yogyakarta. Partisipan terdiri dari 18 orang pria dan 22 orang wanita
dengan rentang usia antara 19 tahun sampai 33 tahun dan latar belakang
pendidikan SLTA.Pada masing-masing kelompok terdiri dari 20 orang karyawan
pramuniaga dengan masa kerja minimal 1 tahun.
Alat ukur menggunakan

SDS

(Stress

Diagnostic

Survey), yang

menggambarkan frekuensi subjek mempersepsikan keadaan tertekan pada
kondisi/lingkungan pekerjaan (Ivancevich dan Matteson, dalam Fields, 2002).
SDS telah diujicobakan kembali oleh penulis kepada subjek mahasiswa profesi
psikologi. Hasil uji coba menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,939 (N=40)
dengan item terpakai sebanyak 29 item.

Pengukuran awal (pre-test)

menggunakan SDS didapat sebanyak 56 kuesioner terkumpul. Berdasarkan hasil
pengukuran SDS, peneliti menetapkan hasil skor stres kerja tertinggi sebanyak
40 subjek.
Manipulasi diberikan dalam bentuk Pelatihan Manajemen Diri, yang
dikenakan pada kelompok eksperimen. Materi pelatihan disusun dengan
memodifikasi beberapa kerangka manajemen diri yang dikemukakan oleh
(Prijosaksono dan Mardianto, 2003; Frayne dan Geringer, 2000; Gintner dan
Poret, 2001; Barrios-Choplin, et al., 1999). Materi pelatihan manajemen diri terdiri
dari empat sesi, yakni: a) sesi I—menafsirkan keadaan tertekan/stres kerja, b)

9
sesi II—mengenali dan menemukan potensi diri, sesi III--pengawasan diri, dan
sesi IV—relaksasi.
Modul Pelatihan disusun dengan menggabungkan beberapa konsep hasilhasil penelitian terdahulu yang disesuaikan dengan variabel dependen, yakni
stres kerja. Sebelum modul pelatihan diberikan kepada kelompok eksperimen,
terlebih dahulu modul akan diujicobakan dan dilakukan professional judgement.
Pelatihan diberikan dalam bentuk ceramah, permainan, menonton cuplikan
film, dan diskusi yang diikuti dengan pengerjaan lembar kerja kegiatan yang
disesuaikan dengan materi pelatihan agar peserta pelatihan menjadi lebih
memahami pengetahuan yang diberikan dengan pengalaman langsung,
menuliskan perasaan dan pengalaman langsung pada lembar kegiatan yang
diberikan, sehingga peserta akan lebih memahami teknik-teknik manajemen diri
dengan baik. Setelah itu, dilakukan forum diskusi dalam bentuk FGD (Focus
group Discussion) sebagai cek manipulasi. Pelatihan juga melibatkan 2 orang
observer untuk mengamati jalannya pelatihan, terutama untuk mengobservasi
perilaku peserta selama pelatihan berlangsung. Observer berlatar belakang
sebagai mahasiswa profesi psikologi.
Prosedur pelaksanaan penelitian ini diawali dengan permintaan ijin untuk
melakukan

penelitian

kepada

manajer

HRD

sebuah

perusahaan

retail

(department store di Yogyakarta), dilanjutkan dengan wawancara awal mengenai
topik penelitian dan kaitannya terhadap perusahaan. Pada acara briefing pagi
peneliti menyampaikan perkenalan dan sambutan, menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian serta meminta kesediaan karyawan untuk menjadi partisipan
penelitian, yang sebelumnya juga telah disampaikan oleh pihak perusahaan.
Pengukuran awal menggunakan kuesioner SDS (Stress Diagnostic
Survey). Berdasarkan hasil jawaban kuesioner, ditetapkan 40 subjek penelitian
berdasarkan skor SDS tertinggi. Pemilihan subjek yang akan dijadikan partisipan
dalam penelitian didasarkan pada jam kerja shift. Karyawan pada kelompok
eksperimen akan diberikan pelatihan manajemen diri selama dua hari, yakni
pada tanggal 23 & 24 Februari 2009 dengan alokasi waktu kurang lebih 4 jam per
hari, mulai dari pukul 08.00 – 12.00 WIB.
Pelatihan manajemen diri dapat dikatakan efektif apabila karyawan
mengalami penurunan pada stres kerja dan dapat mengimplementasikan teknikteknik manajemen diri untuk meminimalisir gangguan stres kerja yang dimilikinya.

10
Pengukuran ulang SDS dilakukan tiga minggu setelah diberikan pelatihan, yakni
pada tanggal 17 sampai 21 Maret 2009.

Hasil
Pengukuran dengan anava campuran dilakukan untuk mengukur tingkat
stres kerja pra dan pasca pelatihan manajemen diri, serta melihat perubahan
atau penurunan stres kerja pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Pada hasil interaksi antara kedua kelompok dengan kedua pengukuran
diperoleh nilai F = 12,81 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan stres kerja antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada
saat pra dan pasca pelatihan manajemen diri. Sumbangan efektif yang diberikan
kedua kelompok dan kedua amatan ulang terhadap stres kerja adalah sebesar
0,252. Artinya, kedua kelompok dan kedua pengukuran membawa akibat
terhadap penurunan stres kerja yang dimiliki karyawan sebesar 25,2 %.
Pada analisis data stres kerja berdasarkan kelompok didapatkan nilai F =
9,769 dan p < 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
stres kerja antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan
tingkat stres kerja antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol juga dapat
dilihat pada hasil rerata kedua kelompok pasca pelatihan manajemen diri. Hasil
rerata menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki tingkat stres kerja
yang lebih rendah dengan rerata sebesar 70,35 dibandingkan dengan kelompok
kontrol dengan nilai rerata sebesar 99,35. Sumbangan efektif yang diberikan
kelompok terhadap stres kerja karyawan adalah sebesar 0,204 atau 20,4 %.
Pada analisis data stres kerja berdasarkan amatan ulang diperoleh nilai F =
3,23 (p > 0,05). Artinya, tidak terdapat perbedaan tingkat stres kerja yang
signifikan antara pra dan pasca pelatihan manajemen diri. Namun, perbedaan
tingkat stres kerja pra dan pasca pelatihan dapat juga dilihat pada hasil rerata
kedua kelompok. Pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa stres kerja
yang dimiliki karyawan pasca pelatihan manajemen diri lebih rendah (70,35)
dibandingkan saat pra pelatihan (90,7). Sedangkan pada kelompok kontrol
meskipun menunjukkan bahwa rerata stres kerja karyawan pasca pelatihan
manajemen diri lebih tinggi (99,35) dibandingkan pada pra pelatihan (92,6),

11

namun setelah dilakukan analisis menggunakan uji t tidak terdapat yang
signifikan.
Hasil cek manipulasi terhadap kemampuan manajemen diri peserta
pelatihan pada 9 item pertanyaan yang kemudian dilakukan FGD menunjukkan
bahwa peserta pelatihan merasakan manfaat materi pelatihan manajemen diri,
khususnya untuk meminimalisir gangguan stres kerja yang dialami. Dari hasil
diskusi dapat disimpulkan bahwa peserta pelatihan cukup aktif dalam mengikuti
setiap sesi pelatihan dan memahami materi manajemen diri yang diberikan.
Peserta pelatihan menilai bahwa pelatihan yang diberikan merupakan wawasan
dan ilmu baru yang sangat bermanfaat dalam mengelola diri dengan lebih baik
khususnya ketika mengalami perasaan tertekan dalam bekerja, serta akan
berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi
Pada uji hipotesis diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan stres kerja
antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada pra dan pasca pelatihan
manajemen diri. Penurunan stres kerja pada kelompok eksperimen pra dan
pasca pelatihan manajemen diri merupakan hasil dari pelatihan yang telah
diberikan. Pelatihan manajemen diri sebagai bentuk manipulasi mengacu pada
teori psikologi belajar gestalt yang menekankan pada cara belajar berdasar
tingkah laku dan pengalaman, dimana persepsi positif ditekankan dalam proses
belajar melalui pengalaman dan menambah wawasan (insight) sehingga
menghasilkan tingkah laku yang efektif. Pada prosesnya, pelatihan manajemen
diri yang berpengaruh terhadap penurunan stres kerja ini menekankan pada
bentuk experiential learning, yakni suatu cara belajar melalui pengalaman sendiri
dan kemudian memodifikasinya untuk meningkatkan keefektivitasan dalam
berperilaku positif. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi individu dalam tiga
hal, yakni: merubah struktur kognitif peserta, memodifikasi sifat peserta, dan
mengembangkan behavioral skill peserta (Johnson dan Johnson, 2001). Perilaku
positif yang dikembangkan oleh individu dapat mempengaruhi sistem, keluarga,
dan dirinya sendiri dalam mengatasi permasalahan (Fagan, et al., 2007). Selain
itu, pelatihan juga membawa individu pada persepsi yang sesuai dengan
pandangan/wawasan yang lebih luas sehingga dapat memahami organisasi
dengan lebih baik.

12
Penyajian materi yang diberikan pada pelatihan manajemen diri dapat
dikatakan telah sesuai dengan manfaat yang dirasakan karyawan pramuniaga.
Hal ini sesuai dengan pendapat Schleicher, et al. (2002) yang menyatakan
bahwa dalam pelatihan meliputi langkah-langkah seperti: mengajarkan dimensidimensi penting terkait dengan indikasi perilaku dan kerja, mendiskusikan
indikasi perilaku yang efektif terkait dengan kehidupan kerja, menyediakan
evaluasi pelatihan sesuai dengan sasaran/target pelatihan yang diberikan, serta
memberikan umpan balik dalam penilaian yang tepat. Dalam pelatihan
manajemen diri peserta diminta mendiskusikan manfaat yang dirasakan setelah
pelatihan berakhir sebagai cek manipulasi dalam bentuk FGD (Focus Group
Discussion).
Pemahaman tentang manajemen diri diberikan dalam bentuk ceramah,
permainan, menonton film, mengerjakan lembar kerja kegiatan, dimana peserta
diajak untuk terlibat aktif dalam pelatihan sehingga pemahaman konsep dasar
manajemen diri tercerna dengan baik. Hal tersebut tampak pada sesi FGD
dimana peserta terlihat memahami materi yang diberikan dan merasakan
manfaatnya, serta berusaha akan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penurunan stres kerja pramuniaga didukung dengan wawancara informal
(wawancara mengacu pada pertanyaan dalam FGD) yang dilakukan peneliti
kepada subyek penelitian ketika melakukan pengukuran ulang. Sebanyak 8 dari
20 subjek penelitian berhasil peneliti tanyai mengenai tanggapan dan perasaan
mereka

terhadap

materi

pelatihan

yang

telah

mereka

dapatkan,

dan

pengaruhnya terhadap tugas atau pekerjaan yang mereka lakukan. Secara
umum 8 subjek penelitian tersebut menyatakan bahwa pelatihan manajemen diri
yang diberikan sangat bermanfaat bagi mereka dan sangat mendukung dalam
memahami diri dan pekerjaan mereka, serta menjadi tahu bagaimana
menyelesaikan permasalahan, khususnya di tempat kerja sehingga ketegangan
berkurang dan semakin baik dalam berperilaku kerja. Mereka juga mengatakan
bahwa lebih bagus jika dapat diadakan konseling agar lebih dapat mengutarakan
permasalahan yang dialami secara terbuka.
Partisipasi peserta pelatihan terlihat pada keaktifan peserta dalam
memberikan

komentar

terhadap

materi

pelatihan

memalui

pertanyaan-

pertanyaan pelatih dan menanggapi pernyataan peserta lain dan/atau pelatih.
Peserta juga memberikan penilaian terhadap proses pelatihan yang berlangsung

13

pada akhir pelatihan. Evaluasi pelatihan terdiri dari evaluasi terhadap materi
pelatihan, trainer atau pelatih, serta sarana yang mendukung jalannya pelatihan.
Evaluasi terhadap materi pelatihan dan pelatih memperlihatkan variabilitas skor
yang bergerak pada skor 3 sampai dengan 5 atau pada kategori cukup baik
sampai dengan baik sekali. Hal ini menunjukkan bahwa menurut peserta
pelatihan materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen diri guna menunjang pengurangan tingkat stres kerja.
Demikian juga dengan pelatih yang menyampaikan materi pelatihan, peserta
merasa puas dan senang dengan cara yang digunakan pelatih dalam
menyampaikan

materi pelatihan

sehingga

peserta

bisa

menyerap

dan

memahami informasi yang disampaikan dengan baik, sehingga secara
keseluruhan peserta merasa cukup puas dengan proses belajar yang
berlangsung. Hasil evaluasi pada sarana pendukung pelatihan bergerak pada
skor 2 sampai dengan 5 atau pada kategori kurang sampai dengan baik sekali.
Seorang peserta pelatihan menilai bahwa sarana pendukung pelatihan dirasa
kurang, sebagian besar peserta memberikan evaluasi pada skor 4 atau baik.
Beberapa peserta memberikan evaluasi pada skor 5 atau baik sekali. Artinya,
sebagian besar peserta merasa sudah cukup nyaman dengan sarana pendukung
pelatihan.
Penurunan stres kerja sebagai hasil pelatihan manajemen diri semakin
memperkuat penelitian Barrios-Choplin, et al. (1999) dan Munz, et al. (2001)
mengenai efektivitas pelatihan manajemen diri terhadap penurunan tingkat stres
kerja yang dialami karyawan. Materi pelatihan manajemen diri pada penelitian ini
menggabungkan dan mengadaptasi kerangka manajemen diri yang dikemukakan
oleh (Prijosaksono dan Mardianto, 2003; Frayne dan Geringer, 2000; Gintner dan
Poret, 2001; Barrios-Choplin, et al., 1999) yang meliputi empat dimensi yang
dapat digunakan sebagai teknik manajemen diri untuk meminimalisir gangguan
stres kerja yaitu menafsirkan keadaan tertekan, pengenalan diri, pengawasan
diri, dan relaksasi. Empat dimensi manajemen diri tersebut dapat termanifestasi
khususnya ketika individu mengalami tekanan atau stres yang mengganggu di
lingkungan kerja. Mengatasi stres kerja, harus dilakukan dengan kembali ke inti
permasalahan atau sumber stres kerja. Kemudian dibandingkan dengan karakter
pribadi, menggali apa yang sebenarnya diharapkan, bagaimana masalah

14

tersebut mempengaruhi, dan jalan keluar apa yang paling tepat untuk sumber
masalah itu.
Pada penelitian ini, peneliti telah mengontrol beberapa variabel yang dapat
mempengaruhi validitas internal penelitian, diantaranya penetapan dua kelompok
subjek penelitian berdasarkan shift kerja. Tujuannya untuk menghindari frekuensi
interaksi yang dapat menyebabkan adanya bias antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol, mengingat rotasi pembagian shift kerja pada karyawan
adalah setiap hari kerja. Peneliti juga telah memberikan perlakuan prosedur yang
sama pada kedua kelompok, kecuali pada pemberian manipulasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Myers dan Hansen (2001) yang menyatakan bahwa pada
kelompok kontrol, peneliti seharusnya menerapkan prosedur yang sama dengan
kelompok

eksperimen,

kecuali

pemberian

manipulasi

pada

kelompok

eksperimen. Selain itu, iklim kerja dan dan latar belakang geografis (usia,
pendidikan, dan lama bekerja) juga memiliki variasi yang relatif sama/homogen.
Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan ini memiliki beberapa
kelemahan atau keterbatasan yang akibatkan oleh kekurangan peneliti maupun
situasi eksternal yang tidak dapat dikontrol sehingga dapat mempengaruhi hasil
penelitian. Pertama, adanya faktor eksternal yang mempengaruhi subjek
penelitian dan tidak dapat dikontrol oleh peneliti sehingga mempengaruhi hasil
penelitian. Faktor eksternal tersebut dapat meliputi faktor-faktor internal dan
eksternal yang ada disekitar subjek penelitian, misalnya tipe kepribadian, kondisi
fisik (kesehatan), kondisi lingkungan sosial (pengaruh keluarga, teman, atau
masyarakat sekitar), kondisi lingkungan fisik (kondisi geografis, gangguan, resiko
atau bahaya). Kedua, persyaratan generalisasi kurang maksimal dikarenakan
persyaratan tahap sampling (prinsip probabilitas) tidak dipenuhi. Pemilihan
subjek penelitian yang non-random mengakibatkan hasil penelitian kurang dapat
digeneralisasikan secara maksimal. Hal tersebut diakibatkan karena kondisi
lapangan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemilihan subjek penelitian
secara acak (random). Ketiga, kurangnya validitas empiris untuk uji coba modul
pelatihan sehingga kurang maksimal kesahihan modul pelatihan. Namun, modul
pelatihan telah dilakukan professional judgement sehingga saat digunakan untuk
penelitian yang dikenakan pada kelompok eksperimen telah sesuai dengan
subjek sasaran penelitian.

15

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pelatihan
manajemen diri mampu menurunkan tingkat stres karyawan pramuniaga.
Penurunan stres ke
rja pada kelompok eksperimen pasca pelatihan manajemen diri merupakan
hasil dari pelatihan yang telah diberikan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
kemampuan manajemen diri pada karyawan pramuniaga dapat digunakan
sebagai cara pengatasan stres kerja.
Saran
1. Bagi Perusahaan
a. Pelatihan

manajemen

diri,

atau

pelatihan

serupa

yang

bersifat

pengembangan pribadi dapat dilakukan secara berkala untuk menunjang
bertambahnya wawasan baru sehingga dapat menambah pola pikir yang
luas pada karyawan.
b. Pihak manajemen dapat mengubah desain kerja dengan menggabungkan
pelatihan manajemen diri pada saat on the job training pada karyawan
baru sehingga karyawan baru akan lebih memahami realita di tempat
kerja dan bagaimana cara menghadapi dengan teknik manajemen diri
yang baik. Hal tersebut dirasa sangat positif pengaruhnya karena dengan
menanamkan prinsip manajemen diri sejak awal pada karyawan baru,
mereka akan siap dengan kemungkinan yang tidak diharapkan dan
mengatasinya dengan baik. Dengan demikian, pihak manajemen atau
supervisor terkait akan lebih ringan dalam membimbing dan mengawasi
karyawan/bawahannya.
2. Bagi penelitian selanjutnya
a. Berdasarkan keterbatasan penelitian, maka saran yang dapat diberikan
bagi penelitian selanjutnya adalah usahakan untuk mengadakan pelatihan
di luar lingkungan kerja supaya peserta dapat lebih fokus terhadap
jalannya pelatihan.
b. Pemilihan subjek pada penelitian ini adalah non-random sampling—
berdasarkan

shift

kerja—disesuaikan

dengan

kondisi

lapangan—

sehingga kurang dapat digeneralisasi dengan baik. Penelitian selanjutnya

16

diharapkan menggunakan teknik pemilihan subjek dengan random
sampling sehingga prinsip probabilitas dalam penelitian dapat terpenuhi.
c. Perlu dilakukan prates pada saat uji coba modul pelatihan untuk
mengetahui perubahan secara empiris pengetahuan tentang manajemen
diri peserta pelatihan, sehingga dapat maksimal kesahihannya untuk
digunakan pada penelitian.

17

Daftar Pustaka

Barrios-Choplin, B., McCraty, R., Sundram, J., & Atkinson, M. (1999). The Effect
of Employee Self-Management Training on Personal and Organizational
Quality. Boulder Creek, CA: HeartMath Research Center, Institute of
HeartMath, Publication No. 99-083.
Barnett, R. C., Marshall, N. L., Raudenbush, S. W., & Brennan, R. T. (1993).
Gender and the relationship between job experiences and psychological
distress: A study of dual-earner couples. Journal of Personality and Social
Psychology, 64, 794–806.
Beehr, T. A., Farmer, S. J., & Glazer, S. (2003). The Enigma of Social Support
and Occupational Stress: Source Congruence and Gender Role Effects.
Journal of Occupational Health Psychology, 8(3), 220–231.
Cohen, S., Tyrrell, D. A., & Smith, A. P. (1991). Psychological stress and
susceptibility to the common cold. New England Journal of Medicine, 325,
606–612.
Cook, T. D. & Campbell, D. T. (1979). Quasi-experimentation: Design & analysis
issues for field settings. Boston: Houghton-Mifflin
Cooper, C. L., & Bramwell, R. S. (1992). A comparative analysis of occupational
stress in managerial and shopfloor workers in the brewing industry: Mental
health, job satisfaction, and sickness. Work and Stress, 6, 127-138.
Emery, C. F., Shermer, R. L., Hauck, E. R., Hsiao, E. T., & MacIntyre, N. R.
(2003). Cognitive and psychological outcomes of exercise in a 1-year
follow-up study of patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Health Psychology, 22, 598–604.
Fagan, T. J., Ax, R. K., Liss, M., Resnick, R. J., & Moody, S. (2007). Professional
Education and Training: How Satisfied Are We? An Exploratory Study.
Training and Education in Professional Psychology, 1(1), 13 – 25.
Fields, D. L. (2002). Taking the Measure of Work: A Guide to Validated Scales for
Organizational Research and Diagnosis. SAGE Publication.
Frayne, C. A. & Geringer, J. M. (2000). Self-Management Training for Improving
Job Performance: A Field Experiment Involving Salespeople. Journal of
Applied Psychology, 85(3), 361-372

18

Frayne, C. A., & Latham, G. P. (1987). The application of social learning theory to
employee self-management of attendance. Journal of Applied Psychology,
72,387-392.
Ganster, D. C., & Schaubroeck, J. (1991). Work Stress And Employee Health.
Journal of Management, 17, 235-271.
Gintner, G. G. & Poret, M. K. (2001). Factors Associates with Maintenance and
Relaps Following Self Management Training. The Journal of Psychology,
122 (1), 79-87.
Ivancevich, J. & Matteson, M. (1980). Stress and Work: A Managerial
Perspective. Glenview, IL: Scott, Foresman.
Johnson, D.W. & Johnson, F.P. (2001). Joining together: group theory and group
skills. New York: Prentice Hill.
Latham, G. P., & Frayne, C. A. (1989). Self-management training for increasing
job attendance: A follow-up and replication. Journal of Applied Psychology,
72, 411-416.
Manning, M. R., & Osland, J. S. (1989). The Relationship Between Absenteeism
And Stress. Work and Stress, 3, 223-235.
Manz, C. C. (1986). Self-leadership: Toward an expanded theory of self influence
processes in organizations. Academy of Management Review, 11, 585-600.
Munz, D. C., Kohler, J. R., Greenberg, C. I. (2001). Effectiveness of
Comprehensive
Workstress
Management
Program:
Combining
Organizational and Individual Intervention. International Journal of Stress
Management, 8(1), 49-62.
Myers, A. & Hansen, C. H. (2001). Experimental Psychology. (Fifth Edition). USA:
WADSWORTH.
Ng, D. M., & Jeffery, R. W. (2003). Relationships between perceived stress and
health behaviors in a sample of working adults. Health Psychology, 22,
638–642.
Prijosaksono, A. & Mardiyanto, M. (2003). Self Manajemen Guru Terbaik
Sekaligus Musuh Tebesar Manusia. Jakarta: PT Elex Media Computindo.

19

Schleicher, D. J., Day, D. D., Mayes, B. T., & Riggio, R. E. (2002). A New Frame
for Frame-of-Reference Training: Enhancing the Construct Validity of
Assessment Centers. Journal of Applied Psychology, 87(4), 735-746.