Suara Suara Perempuan yang Terbungkam da

SUARA‐SUARA PEREMPUAN YANG TERBUNGKAM DALAM SIHIR PEREMPUAN

Bramantio

Prolog

Sihir Perempuan adalah buku kumpulan cerpen karya Intan Paramaditha yang secara keseluruhan bercerita tentang perempuan. Tema keperempuanan yang diangkat oleh kesebelas cerpen di dalam kumpulan ini tidak serta‐merta menjadikannya terjebak di dalam lingkaran yang dibangun oleh karya‐karya pengarang perempuan Indonesia mutakhir yang begitu gegap‐gempita merayakan tubuh dan seksualitas perempuan. Cerpen‐cerpen Intan bercerita tentang perempuan dari sisi yang lain, yaitu sisi kelam

dunia perempuan.

Pada dasarnya, setiap karya sastra bukan hanya berlaku sebagai artefak, tetapi sekaligus sebagai objek estetis. Artefak merupakan dasar material objek estetis, sedangkan objek estetis merupakan representasi artefak di dalam pikiran pembaca. 1

Pembentukan objek estetis yang berdasarkan pada artefak terjadi dengan sarana peran aktif pembaca—pembacalah yang menciptakan objek estetis. Pembentukan

objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut konkretisasi. 2 Sebuah artefak tunggal bisa saja menimbulkan beberapa objek estetis dan hal tersebut bergantung

sepenuhnya pada pembacanya dan cara pembacaannya.

Sebagai sebuah karya sastra, sebuah objek estetis, Sihir Perempuan memuat tanda‐ tanda yang perlu dimaknai melalui proses konkretisasi untuk mengungkap makna teks secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap tanda‐tanda tersebut bersifat relatif, tidak ada sebuah kebenaran mutlak. Maksudnya, makna yang dihasilkan sepenuhnya bergantung pada horison harapan pembaca, yang di dalamnya termasuk kompetensi

kesastraan, 3 yang terbentuk oleh pengalaman pembacaan masing‐masing pembaca. Dengan kata lain, sebuah karya sastra dibaca dan dimaknai pembacanya dengan cara

yang berbeda‐beda. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa makna yang pada akhirnya diperoleh tidak objektif. 4

Berkaitan dengan uraian tersebut, saya menganggap cerpen‐cerpen di dalam Sihir Perempuan menarik untuk dibaca melalui perspektif feminisme. Perspektif feminis dibutuhkan untuk mengentalkan pengalaman‐pengalaman spesifik yang dialami manusia dan mengemukakan persoalan‐persoalan kelompok marjinal, pembongkaran relasi kuasa dalam struktur pengetahuan maupun masyarakat, dan dekonstruksi teks

yang falogosentris. 5 Dalam makalah ini saya hanya menyajikan analisis atas empat cerpen di dalam Sihir Perempuan, yaitu “Pemintal Kegelapan,” “Perempuan Buta

Tanpa Ibu Jari,” “Misteri Polaroid,” dan “Sang Ratu” karena saya menganggap keempat cerpen tersebut selain bercerita tentang perempuan juga memiliki sesuatu yang tersembunyi berkaitan dengan realitas keperempuanan.

Perempuan yang Mencipta Cerita sebagai Katarsis dalam Cerpen “Pemintal Kegelapan”

Cerpen “Pemintal Kegelapan” mengisahkan seorang ibu yang bercerita kepada anaknya tentang hantu perempuan penghuni loteng rumah mereka. Cerpen ini dibuka

dengan kalimat, “Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng kami” (hlm. 9). Melalui kalimat tersebut dapat diketahui bahwa sosok narator (“Aku”) kini telah dewasa. Ia bercerita tidak hanya semata‐mata untuk bercerita, tapi sekaligus mengungkap sesuatu yang sebenarnya telah diketahuinya sejak ia mengawali ceritanya kepada pembaca. Ia menceritakan cerita tentang hantu perempuan yang diceritakan ibunya ketika ia masih kecil. Cerita kemudian beralih ke dunia nyata, tentang kehidupan keluarganya, orangtuanya yang bercerai, ibunya yang digosipkan sebagai janda penggoda yang materialis, hingga kenyataan pahit seputar rahasia terkelam ibunya yang pada akhirnya terungkap.

Kata “selalu” pada kalimat pembuka “Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng kami” secara tidak langsung telah memberikan semacam penanda tentang latar belakang keseluruhan cerita. Mengapa Ibu selalu bercerita tentang hal yang sama? Mengapa pula Ibu memilih cerita yang suram dan seram sebagai cerita pengantar tidur anaknya, dan bukan cerita yang lebih “cerah” dan sesuai untuk anak‐anak? Padahal “Aku” juga menyatakan, “Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba” (hlm.

9). Mengapa Ibu tetap selalu bercerita tentang hantu perempuan? Tidakkah Ibu mengetahui anaknya begitu ketakutan setelah mendengar ceritanya? Ataukah Ibu mengetahui hal tersebut, tapi memilih tidak peduli karena ia memiliki kepentingan di balik itu semua? Berikut ini adalah kutipan ringkas cerita hantu perempuan tersebut,

Ia, rahasia terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut panjang terurai yang selalu duduk di depan alat pemintal. Wajahnya penuh guratan merah kecokelatan, seperti luka yang mengering setelah dicakar habis‐habisan oleh macan. Bola matanya berwarna merah seperti kobaran api. Bila ia membuka mulutnya, kau akan melihat taring‐taring yang panjang. Ia begitu khusyuk di depan pemintal itu karena ia tengah membuat selimut untuk kekasihnya. Ia telah jatuh cinta pada seorang laki‐laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan. ... Suatu hari, lelaki itu pamit untuk pergi beberapa lama. Ia ingin menjelajahi hutan di seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu emas. Singa itu, konon, merupakan harta tak ternilai yang menjadikan pemiliknya kaya raya. ... Laki‐laki itu sekonyong‐konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata‐kata yang bisa menggambarkan rasa takut laki‐laki itu. Ia lari terbirit‐birit meninggalkan hantu perempuan itu sendirian. ... Kata ibuku, hantu perempuan itu terpukul sekali. Sebelum ia sempat mengungkapkan siapa dirinya, kekasihnya sudah lari menjauh. Sungguh‐ sungguh ia murka. Ia terbang dari rumah ke rumah, membuat gaduh, mengganggu ketenangan manusia. Bayi menangis kala merasakan kehadirannya dan para pemuka agama sibuk berkomat‐kamit mengusirnya. Tetapi suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia tetap tidak mampu mematikan rasa cintanya. Ia ingat, kekasihnya tidak punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut tebal yang akan melindunginya jika ia kedinginan di hutan. Hantu perempuan itu pun memilih sebuah tempat persembunyian yang gelap untuk membuat selimut bagi kekasihnya. Ya, di loteng rumah kamilah ia bekerja dengan alat pemintal selama beribu‐ribu malam. ... Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan (hlm 11—13).

Cerpen ini tidak secara eksplisit memberi uraian masa lalu Ibu, tapi berdasarkan pembacaan atas cerita hantu perempuan tersebut dan merangkainya dengan keseluruhan isi cerpen, dapat diketahui bahwa kehidupan masa lalu Ibu tidak jauh Cerpen ini tidak secara eksplisit memberi uraian masa lalu Ibu, tapi berdasarkan pembacaan atas cerita hantu perempuan tersebut dan merangkainya dengan keseluruhan isi cerpen, dapat diketahui bahwa kehidupan masa lalu Ibu tidak jauh

Ibu yang bercerita kepada “Aku” memiliki analogi dengan seorang pasien yang bercerita kepada ahli psikoanalisanya. Ibu tidak membatasi “gerak” ceritanya pada hal‐ hal yang nyata, tapi membebaskannya dengan melakukan displacement di sana‐sana, menyisipkan simbol di sana‐sini, dan membiarkan cerita berakhir terbuka dengan “Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan” (hlm.13). Ibu mengganti sosoknya menjadi hantu perempuan, dan tetap membuatnya samar sehingga “Aku” tidak bisa mengidentifikasikan hantu perempuan itu sebagai ibunya. Ibu juga tidak memberi nama untuk laki‐laki itu sehingga “Aku” tidak bisa melacak kebenaran atau keberadaannya ketika kelak ia dewasa. Adanya singa berbulu emas di dalam cerita Ibu juga mengundang tanda tanya. Mengapa singa? Mengapa bukan binatang lain yang secara umum lebih banyak diburu? Secara eksplisit, di dalam cerpen dinyatakan bahwa singa emas dapat membuat pemiliknya kaya raya. Tapi, sebenarnya bukan hanya itu. Singa adalah simbol kekuatan keilahian dan matahari, kewenangan,

keberanian, kebijaksanaan, dan perlindungan. 6 Hal‐hal tersebut merupakan sebagian hasrat terbesar manusia. Di sisi lain, singa juga simbol kekejaman, kebuasaan dan

kematian. 7 Dua hal yang bertolak belakang tersebut memiliki kaitan yang erat dengan Ibu. Ibu menginginkan kebahagiaan hidup bersama laki‐laki itu. Tapi, sepeninggal laki‐

laki itu, Ibu juga menyimpan kekecewaan yang pada akhirnya menjelma kemarahan dan kebencian. Emas adalah simbol kesempurnaan, daya tahan, kemurnian, perbaikan, laki itu, Ibu juga menyimpan kekecewaan yang pada akhirnya menjelma kemarahan dan kebencian. Emas adalah simbol kesempurnaan, daya tahan, kemurnian, perbaikan,

melalui perlakuan Ibu kepada “Aku”— menjadi Ibu yang baik bagi “Aku.” Pemakaian “selimut” dan “kegelapan” juga dapat dimaknai sebagai usaha Ibu untuk menutupi kebenaran. Dikisahkan hantu perempuan memintal selimut, bukan yang lain, baju hangat misalnya. Hal ini tentu saja berkaitan dengan fungsi utama selimut yang memberikan kehangatan dan kenyamanan pada seluruh tubuh; baju hangat hanya bisa memberi kehangatan sebagian tubuh. Dengan “selimut” inilah Ibu berusaha menutupi keseluruhan kisah masa lalunya sekaligus masa kini yang baru terungkap di akhir cerpen. “Kegelapan” di sini tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai masa lalu Ibu yang kelam. Kegelapan bukan hanya menyimbolkan misteri, menyembunyikan sesuatu, atau yang tidak diketahu, tapi juga menyimbolkan cahaya potensial; kegelapan mengawali

cahaya, kematian mengawali kelahiran kembali. 9 Berkaitan dengan hal tersebut, cerita hantu perempuan pemintal kegelapan adalah semacam objek potensial yang akan

membawa Ibu mengungkap kebenaran. Lebih lanjut, singa juga simbol pemandu ke underworld. 10 Jika underworld di sini dapat ditafsirkan sebagai taksadar atau segala

bentuk ingatan atau kenyataan yang direpresi, dengan memasukkan singa ke dalam ceritanya, Ibu secara tak sadar telah “menyediakan” kunci untuk mengungkap kebenaran, Ibu secara tak sadar mencoba menyatakan bahwa ceritanya adalah usahanya untuk menerima dan berdamai dengan masa lalunya yang pahit. Hanya saja, selama bertahun‐tahun bercerita, Ibu tidak pernah mengungkap kebenarannya. Hal ini dikarenakan Ibu mengalami resistensi—Ibu melakukan penolakan atas kebenaran bahwa ia bercerita untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan dan jerat masa lalu, Ibu menyangkal bahwa dirinya adalah hantu perempuan di dalam cerita yang selama

ini ia ceritakan kepada “Aku.” 11

Resistensi Ibu lambat‐laun memudar ketika ia mengalami pengalaman kedua berkaitan dengan ditinggalkan laki‐laki,

Aku berhenti memikirkan Si Pemintal Kegelapan ketika Ibu bercerai dengan Ayah. Sejak usiaku 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. Ia masih bercerita, namun entah mengapa, ceritanya mulai terasa hambar. Perkiraanku, ibuku mulai bosan mendongeng. Matanya kosong. Ceritanya tidak berenergi (hlm. 13).

Perceraian tersebut adalah semacam abreaksi, yaitu pengalaman kembali peristiwa traumatis dengan rinci. 12 Melalui abreaksi ini, emosi yang selama ini ditekan oleh Ibu

sedikit demi sedikit menemukan jalan keluar. Ibu tidak lagi berusaha sekuat tenaga menyimpan masalah‐masalahnya untuk dirinya sendiri. Meskipun tidak—atau belum— menceritakannya secara langsung kepada “Aku” dan berusaha meredam rasa ingin tahu “Aku” dengan pengalihan‐pengalihan, Ibu menjadi lebih “terbuka” dengan perasaan‐perasaanya,

Di hari Minggu, aku pernah mendengar Ibu memecahkan piring sambil berteriak di dapur. Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu licin sehingga piring itu terlepas dari genggamannya. Menurutku tidak. Aku yakin ia sengaja memecahkannya. Tapi setelah itu Ibu langsung menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop.

Sesekali aku juga mendengar suara ganjil dari kamarnya. Suatu ketika, malam yang lengang dikejutkan oleh teriakan bercampur tangis penuh amarah. Aku keluar dari kamarku dan bergegas menghampiri kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama menunggu, barulah ia membuka pintu. Katanya aku telah mengganggu tidur lelapnya. Ia menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang (hlm. 15—16).

Keadaan keluarga yang berangsur membaik seiring berjalannya waktu dan terbebasnya Ibu dari rutinitas yang berkaitan dengan pekerjaannya juga mendukung proses katarsisnya. Ibu mengungkapkan masalahnya dan kebenaran satu per satu kepada “Aku,”

Ibuku akhirnya pensiun dan giliranku membiayai hidup kami karena aku sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu ada misteri dalam dirinya yang tidak pernah dapat kubongkar. Ia selalu menyimpan sesuatu, termasuk tentang penyakitnya yang ternyata sudah lama menggerogoti tubuhnya. Ia mengidap kanker leher rahim (hlm. 16).

“Aku” tidak bersikap ekstrem atas kenyataan yang selama ini disembunyikan Ibu darinya. “Aku” hanya berusaha menemani Ibu hingga pada akhirnya Ibu mengungkap

rahasia besar—sebuah kebenaran—yang selama ini disembunyikannya, Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Kucoba menghabiskan waktu

lebih banyak dengannya. Aku ingin membuatnya bahagia. ...

Suatu hari ia berkata waktunya tak akan lama lagi. Tanpa mendengar protesku, ia menggandeng tanganku, “Aku ingin menunjukkanmu sesuatu.”

Ia mengajakku ke loteng. Ya, loteng yang dulu luar biasa menarik. Aku sudah melupakannya, seperti aku telah lupa wajah Ibu semasa ia menjadi tukang cerita nomor satu. ...

Tanpa menghiraukan wajahku yang penuh keengganan, Ibu menuntunku menuju sebuah cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, lalu menunjuk bayangan di dalamnya. Ia berujar pasti,

“Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.” ... Kutajamkan penglihatanku. Kubawa ingatanku pada masa‐masa

ketika kami masih menikmati misteri loteng itu, mengucapkan selamat datang pada imajinasi liar tanpa batas dan malam‐malam meringkuk di balik selimut. Tiba‐tiba kusadari aku tengah merinding. Aku memang melihat Ibu. Ya, perempuan itu. Rambutnya terurai, wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari‐nari melumatkan siapa pun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu, sakit, nafsu, amarah—memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai.

Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka‐teki. Ibuku. Pemintal Kegelapan (hlm. 16—18).

Dalam “posisinya” sebagai “ahli psikoanalisa,” “Aku” tidak pernah bertanya kepada Ibu tentang masalah yang dihadapinya, apalagi mendesaknya untuk berterus terang; “Aku” pernah menyatakan, “Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal pun yang berani kutanyakan pada Ibu.” Terlepas dari perasaan takutnya untuk

bertanya kepada Ibu, “Aku” telah “menggunakan” metode asosiasi bebas; 13 “Aku” hanya menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik. Pada akhirnya, Ibu pun

mengungkap kebenaran dengan kemauannya sendiri.

Apabila dilihat dari awal penciptaannya, ada kemungkinan pengarang cerpen ini— secara sadar atau tidak—mendapat pengaruh dari esei “The Mad Woman in the Attic” karya Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar. Kemungkinan tersebut bukannya tanpa alasan. Sebelum menerbitkan buku kumpulan cerpen Sihir Perempuan, Intan Paramaditha lebih dulu dikenal melalui tulisan‐tulisan ilmiahnya yang mengangkat tema feminisme, gender, dan pascakolonialisme. Esei “The Mad Woman in the Attic” menguraikan realitas dan sejarah sastra (Barat) yang berada di dalam wilayah “kekuasaan” laki‐laki (patriarkal), dan mempertanyakan kedudukan pengarang perempuan di dalamnya,

Lalu apakah artinya menjadi pengarang perempuan dalam suatu kebudayaan yang definisi otoritas sastranya yang paling mendasar, seperti kita lihat, adalah patriarkal, baik secara tersirat maupun tersurat? Jika menjadi polaritas yang dipertentangkan dan mempertentangkan antara malaikat dan monster, Putri Salju yang manis dan bodoh dan Ratu galak dan gila, adalah citra utama sastra tradisional yang ditawarkan kepada kaum perempuan, bagaimana penggambaran semacam itu mempengaruhi cara perempuan menggunakan pena? Jika cermin sihir Ratu bercakap‐cakap dengan suara sang Raja, bagaimana petuah‐petuah Raja yang abadi berdampak pada suara Ratu? Karena suara Raja adalah suara utama yang ia dengar, apakah kemudian Ratu mencoba untuk bersuara seperti Raja, meniru nadanya, lagu dan irama suaranya, pemakaian kata‐kata dan sudut pandangnya? Atau apakah ia ‘melawan’ dengan kosa katanya sendiri, getaran suaranya sendiri, mempertahankan

sudut pandangnya sendiri? 14

Lebih lanjut juga dinyatakan, Namun, dibandingkan dengan pertempuran perkasa antara ayah dan

anak dalam tradisi laki‐laki, kekhawatiran kepengarangan ini bagi perempuan bisa benar‐benar melumpuhkan. Diwariskan bukan hanya dari satu perempuan ke perempuan yang lain, tetapi juga dari bapak‐ bapak sastra patriarkal yang keras kepada pewaris perempuannya yang telah diinferiorisasi, dan hal itu menjadi benih suatu penyakit, atau, suatu kekurangan, suatu gangguan, suatu kecurigaan, yang meluas bagai noda melalui gaya dan struktur karya sejumlah perempuan, terutama yang menulis sebelum abad ke‐20. Karena jika perempuan masa kini menggoreskan pena dengan sepenuh daya otoritas, mereka hanya dapat melakukan itu karena nenek moyang perempuannya di abad ke‐18 dan ke‐19 telah berjuang dalam ketersendirian yang terasa sebagai kegilaan, dalam keadaan gelap‐tidak‐dikenal yang terasa sebagai kelumpuhan dalam mengatasi kekhawatiran‐kepengarangan yang endemis bagi

subkultur sastra. 15

Sosok Ibu di dalam cerpen “Pemintal Kegelapan” layaknya sosok Ratu di dalam esei “The Madwoman in the Attic.” Ratu (perempuan) meskipun memiliki kuasa, tetap tidak dapat membebaskan diri—sebagian bahkan sepenuhnya—dari kuasa Raja (laki‐laki). Begitu pula dengan Ibu yang tidak dapat membebaskan dirinya dari “kuasa” laki‐laki— mantan kekasihnya dan mantan suaminya—dalam bentuk ingatan yang terus‐menerus menghantui hidupnya dan membuatnya menderita hingga menjelang ajalnya. “Warisan” patriarkal berupa stigma negatif atas janda—penggoda dan berbahaya bagi laki‐laki—juga menjadi salah satu hal yang menghantui kehidupan Ibu. Cermin sihir di dalam esei tersebut juga kembali muncul dalam bentuknya yang lain di dalam cerpen.

Ia menjadi alat untuk mengenali diri sendiri bagi sang Ratu. Seperti telah diketahui, di dalam kisah Snow White, Ratu sering bertanya kepada cermin sihirnya tentang perempuan tercantik di dunia. Hal senada juga dilakukan Ibu di akhir cerpen untuk menegaskan kepada dirinya sendiri dan “Aku” bahwa ia adalah Pemintal Kegelapan— hantu perempuan penghuni loteng gelap yang selama ini diceritakannya kepada “Aku.” Dalam skala luas, dengan melihat unsur‐unsur intrinsiknya sekaligus dalam kaitannya dengan tulisan‐tulisan lain yang senada, cerpen “Pemintal Kegelapan” adalah suara perempuan (pengarangnya?) yang ingin menyuarakan realitas dan problematika perempuan yang selama ini berada di bawah bayang‐bayang kuasa patriarkal. Perempuan memiliki kehidupannya sendiri, perempuan bisa saja mengambil pilihan‐ pilihan yang mungkin dapat mengantarnya mencapai kebahagiaan, tapi bagaimana pun ia tetap tidak dapat—atau sulit—memisahkan dirinya teror berkepanjangan yang dibisikkan oleh budaya patriarkhi.

Perempuan yang Membongkar Dongeng Cinderella dalam Cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”

Cerpen “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” mengisahkan perjalanan pahit hidup perempuan buta yang dinarasikan oleh perempuan buta itu sendiri. Cerpen ini pada dasarnya adalah sebuah re‐creating atas dongeng Cinderella. Di sini berlaku prinsip

intertekstualitas. 16 Interpretasi secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan pembaca melalui interteks. Karya sastra mengandung arti hanya

dengan mengacu kepada teks‐teks lain, 17 baik teks secara harafiah maupun teks dalam pengertian universal. Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada

intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca. 18 Di dalam dongeng aslinya, secara garis besar diceritakan bahwa Cinderella

adalah gadis cantik baik hati yang hidupnya begitu menderita sepeninggal ayahnya karena ia harus tinggal serumah dengan ibu tiri dan dua saudara tiri perempuan yang jahat. Dengan bantuan ibu peri, Cinderella berhasil menghadiri pesta di istana. Ia berjumpa pangeran impiannya, tapi terpisah oleh batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh ibu peri. Ketika tergesa‐gesa meninggalkan istana, sebelah sepatunya tertinggal. Dengan sepatu inilah sang pangeran berusaha mencari dan pada akhirnya menemukan kembali pemiliknya. Di akhir cerita, Cinderalla hidup bahagia selama‐ adalah gadis cantik baik hati yang hidupnya begitu menderita sepeninggal ayahnya karena ia harus tinggal serumah dengan ibu tiri dan dua saudara tiri perempuan yang jahat. Dengan bantuan ibu peri, Cinderella berhasil menghadiri pesta di istana. Ia berjumpa pangeran impiannya, tapi terpisah oleh batas waktu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh ibu peri. Ketika tergesa‐gesa meninggalkan istana, sebelah sepatunya tertinggal. Dengan sepatu inilah sang pangeran berusaha mencari dan pada akhirnya menemukan kembali pemiliknya. Di akhir cerita, Cinderalla hidup bahagia selama‐

Ibuku menyodori pisau, “Potong jari kakimu. Kelak jika kau jadi ratu, kau tak akan terlalu banyak berjalan. Jadi kau tak membutuhkannya.” Maka kuambil pisau itu dan kugigit bibirku saat aku berusaha memutuskan ibu jari kakiku. Kubuang bagian kecil tubuhku itu ke tempat sampah untuk menjadi santapan anjing. Kini kusadari, Nak, dunia ini memang penuh dengan sepatu kekecilan yang hanya menerima orang‐orang termutilasi (hlm. 33).

Pada kutipan tersebut terlihat bahwa penyebab perempuan menderita bukan hanya laki‐laki, tapi juga sesama perempuan. Meskipun didasari oleh kasih sayang kepada anaknya, bagaimana pun si ibu telah membuat anaknya menderita dengan memaksakan pemikirannya. Kalimat terakhir di situ juga menarik dalam kaitannya dengan realitas (norma) yang seolah‐olah begitu mengekang kebebasan perempuan— dan manusia pada umumnya—untuk menjadi dirinya sendiri dan menentukan pilihan dan menyebabkannya mau tidak mau harus “memutilasi” dirinya supaya dianggap “sesuai” dengan norma yang berlaku. Lebih lanjut diceritakan pula oleh perempuan buta bahwa Sindelarat tidak “berbahagia selama‐lamanya,”

Oh, ya, Larat tidak hidup berbahagia selama‐lamanya seperti yang dikira banyak orang. Ia meninggal saat melahirkan putrinya yang keenam. Hampir setiap tahun ia hamil karena kerajaan membutuhkan putra mahkota. Ia tak lagi cantik—pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu. Ia mati karena pendarahan berkepanjangan, sebagai penutup cantik kisah yang banjir darah ini (hlm. 36).

Melalui kutipan tersebut tampak adanya perubahan atas konvensi dongeng Cinderella yang ditutup dengan “And they live happily ever after.” Tidak ada lagi “hidup berbahagia selama‐lamanya” bagi Sindelarat. Berdasarkan hal tersebut dan cerita Melalui kutipan tersebut tampak adanya perubahan atas konvensi dongeng Cinderella yang ditutup dengan “And they live happily ever after.” Tidak ada lagi “hidup berbahagia selama‐lamanya” bagi Sindelarat. Berdasarkan hal tersebut dan cerita

untuk melayani suaminya, menghasilkan keturunan, dan sebagainya. 19

Tidak hanya sebatas pembongkaran atas dongeng Cinderella, cerpen ini juga menyajikan hal‐hal yang berkaitan dengan realitas keperempuanan,

Tahun demi tahun berlalu dan kami menjadi bunga yang siap dipetik. Tapi sial, siapa yang dilirik para pemuda di pasar ataupun alun‐alun? Larat. Kendati ia tak lagi bergaun indah, wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya kuning bercahaya. Rambutnya hitam bak mayang. Tubuhnya semampai, pinggangnya kecil, kakinya apalagi. Tutur katanya lembut merayu. Sedangkan kami—yang lebih mewarisi rupa Ayah daripada kecantikan Ibu—bertubuh besar dan berkulit gelap. Kami saudara Larat hanya bisa gigit jari saat tetangga mengomentari kesempurnaannya setiap waktu. Dan betapa was‐wasnya kami kala mengetahui para laki‐laki mengantre di depan pintu hanya untuk melamar Larat! (hlm. 31—32)

Perempuan dinilai yang pertama dan utama adalah fisiknya—perempuan sebagai keindahan fisikal. Yang memberi nilai tentu saja laki‐laki, dan pada akhirnya

perempuan pun (adakalanya) terbawa pada konstruksi tersebut dan ikut menganggap bahwa yang dianggap sebagai perempuan cantik adalah perempuan yang cantik di mata laki‐laki. Sosok perempuan buta di dalam cerpen ini dapat dianggap sebagai

sosok yang terpinggirkan, Liyan (the other), 20 karena ia “tidak seindah” Sindelarat yang memegang “pusat kuasa,” “konvensi patriarkhi.” Sebagai Liyan, perempuan buta pun sosok yang terpinggirkan, Liyan (the other), 20 karena ia “tidak seindah” Sindelarat yang memegang “pusat kuasa,” “konvensi patriarkhi.” Sebagai Liyan, perempuan buta pun

siapa yang akan mendengarkan seorang perempuan buta yang dimutilasi?” 21 (hlm. 36) Demikiankah realitas para Liyan? Meskipun ada kebenaran di dalam suaranya, akankah

seorang Liyan tetap menjadi Liyan dan tidak pernah mendapat pengakuan?

Perempuan Fragmentatif, Komoditas, dan “Tak Terlihat” dalam Cerpen “Misteri Polaroid”

Cerpen “Misteri Polaroid” mengisahkan seserpih kehidupan laki‐laki fotografer mode, Jose, yang dinarasikan oleh asistennya, Andri, yang juga laki‐laki. Cerpen ini menarik karena mengangkat realitas keperempuanan yang dilihat melalui sudut pandang laki‐ laki. Sebagai fotografer mode, Jose memiliki kuasa untuk memberikan penilaian atas perempuan‐perempuan model yang dipotretnya,

Matanya yang tajam tanpa ampun bisa membedakan calon supermodel dengan calon pecundang, atau menarik garis batas antara wajah eksklusif dan wajah murahan. Ia bisa mengukur dengan pasti hidung yang terlalu panjang, terlalu pesek, dagu yang terlalu condong ke depan, pipi yang terlalu lebar, garis‐garis muka yang terlalu maskulin, wajah yang tidak simetris (hlm. 77).

Obyeknya adalah model Indo favorit Jose, Sofia, yang sedang naik daun sebagai presenter acara televisi. Jose mengagumi mata cokelatnya yang mirip kacang almon, batang hidungnya yang tinggi, tulang pipi Audrey Hepburn‐nya yang aristokrat, dan bibirnya yang penuh. Wajah Eropa yang sudut‐sudutnya tak bercacat, sempurna untuk difoto dari jarak dekat. Dan foto ini memang hanya tentang wajah. Tak ada tubuh, tangan, ataupun kaki. ... “Lihat, wajahnya mahal,” komentar Jose. “Tapi kalau salah angle dia bisa mirip kuda” (hlm. 87—88).

Penilaian Jose bertolak pada hal‐hal yang fisikal sekaligus fragmentatif. Perempuan tidak dilihat sebagai keutuhan dan diterima apa adanya, tapi sebagai semacam bangunan yang keindahannya ditentukan oleh bentuk atapnya saja, pintunya saja, jendelanya saja, pagarnya saja. Lebih jauh, penilaian Jose ternyata memiliki dampak berskala besar, “Pendapat Jose tidak hanya berpengaruh di media, tetapi juga dalam acara‐acara seperti pemilihan model” (hlm. 77). Ini semacam “penindasan” terhadap Penilaian Jose bertolak pada hal‐hal yang fisikal sekaligus fragmentatif. Perempuan tidak dilihat sebagai keutuhan dan diterima apa adanya, tapi sebagai semacam bangunan yang keindahannya ditentukan oleh bentuk atapnya saja, pintunya saja, jendelanya saja, pagarnya saja. Lebih jauh, penilaian Jose ternyata memiliki dampak berskala besar, “Pendapat Jose tidak hanya berpengaruh di media, tetapi juga dalam acara‐acara seperti pemilihan model” (hlm. 77). Ini semacam “penindasan” terhadap

Penilaian atas perempuan sebagai sesuatu yang fisikal dan fragmentatif ternyata tidak hanya dilakukan oleh laki‐laki (Jose) saja, tapi juga oleh sesama perempuan,

“Vin, Vin...” Jose mengeluh setelah membalas ciuman persahabatan itu. “Kenapa pakai si Susi?” “Susan?” “Susan, whatever. Wajahnya flat.” “Ya, aku tahu. Tapi tidak ada pengambilan gambar close up. Fokus kita kaki dan sepatu” (hlm. 78).

Kini Vina datang dengan wajah yang berbeda: Aileen, model berwajah oriental. ... “Ia tidak terlalu tinggi,” Jose meneliti. “Ya, ya, kakinya memang agak pendek. Torsonya yang panjang,” timpal Vina. “Dadanya tidak rata, itu yang penting untuk konsep ini” (hlm. 83—84).

Dengan mengatakan “Tapi tidak ada pengambilan gambar close up” (untuk Susan) dan “Torsonya yang panjang” (untuk Aileen), Vina seolah‐olah memberikan pembelaan kepada keduanya. Hanya saja, tidak demikian kenyataannya. Bukannya mengatakan “Ah, wajahnya tidak flat, bahkan dia sebenarnya manis” (untuk Susan) dan “Ia tinggi untuk ukuran standar model” (untuk Aileen), Vina justru membenarkan pendapat Jose dan menonjolkan kelebihan lain yang dimiliki fisik Susan dan Aileen. Dengan begitu, perempuan (Vina) juga telah memberikan penilaian yang fragmentatif kepada perempuan (Susan dan Vina). Suara yang lebih “bersahabat” kepada perempuan justru datang dari laki‐laki (Andri), “Kasihan Susan. Di balik penampilan glamornya, aku tahu pasti ia berusaha keluar dari predikat “biasa‐biasa saja” atau “terlalu memaksakan diri.” Padahal kupikir ia manis dan senyumnya hangat” (hlm. 79). Hanya saja, mengingat posisi Andri yang hanya sebagai “asisten,” suaranya pun tidak mendapatkan tempat; ia kalah suara dari Vina dan Jose. Di sini sosok Andri dapat dibaca sebagai sosok laki‐laki yang tidak memiliki kuasa sehingga meskipun ada kebenaran di dalam Dengan mengatakan “Tapi tidak ada pengambilan gambar close up” (untuk Susan) dan “Torsonya yang panjang” (untuk Aileen), Vina seolah‐olah memberikan pembelaan kepada keduanya. Hanya saja, tidak demikian kenyataannya. Bukannya mengatakan “Ah, wajahnya tidak flat, bahkan dia sebenarnya manis” (untuk Susan) dan “Ia tinggi untuk ukuran standar model” (untuk Aileen), Vina justru membenarkan pendapat Jose dan menonjolkan kelebihan lain yang dimiliki fisik Susan dan Aileen. Dengan begitu, perempuan (Vina) juga telah memberikan penilaian yang fragmentatif kepada perempuan (Susan dan Vina). Suara yang lebih “bersahabat” kepada perempuan justru datang dari laki‐laki (Andri), “Kasihan Susan. Di balik penampilan glamornya, aku tahu pasti ia berusaha keluar dari predikat “biasa‐biasa saja” atau “terlalu memaksakan diri.” Padahal kupikir ia manis dan senyumnya hangat” (hlm. 79). Hanya saja, mengingat posisi Andri yang hanya sebagai “asisten,” suaranya pun tidak mendapatkan tempat; ia kalah suara dari Vina dan Jose. Di sini sosok Andri dapat dibaca sebagai sosok laki‐laki yang tidak memiliki kuasa sehingga meskipun ada kebenaran di dalam

Di dalam cerpen ini, perempuan juga digambarkan sebagai komoditas. Perempuan sebagai komoditas diperkuat dengan kisah tentang masa lalu hantu perempuan yang “mengganggu” sesi pemotretan di studio Jose,

Konon di rumah ini, tak lama sesudah kemerdekaan, memang ada gadis yang bunuh diri. Ayahnya terbelit hutang. Karena di keluarga itu ia yang tercantik, keluarganya memaksanya menjadi istri muda seorang pedagang kaya. Si gadis, yang sebetulnya tidak dekat dengan lelaki mana pun, menolak keputusan sepihak itu. Tapi di rumah itu ia tak memiliki suara (hlm. 86).

Semakin lengkaplah “keterpurukan” perempuan‐perempuan di dalam cerpen ini. Selain sebagai keindahan fragmentatif dan komoditas, perempuan ternyata juga “tidak memiliki suara.” Sekali lagi, seperti halnya Jose yang memiliki peran “menyuarakan” suara perempuan untuk menjadi model papan atas atau pecundang, di sini sosok bapaklah yang memiliki peran “menyuarakan” suara anak perempuannya, tentu saja bukan dalam artian positif bagi anak perempuannya. Sosok bapak yang begitu dominan memiliki kuasa untuk menentukan jalan hidup anak perempuannya dan memaksanya menjadi istri muda (bukan istri pertama) pedagang kaya, yang semata‐ mata untuk membebaskan dirinya dari hutang; ketika perempuan memiliki kuasa untuk memilih, justru pilihan itu adalah kematian. Saya membaca hantu perempuan di dalam cerpen ini bukan hanya sebagai hantu perempuan, tapi sebagai sesuatu yang ingin didengar, sesuatu yang ingin bersuara. Hal tersebut terlihat melalui kemunculannya pada beberapa sesi pemotretan. Ia tidak berniat membuat keonaran atau mendatangkan bencana bagi orang‐orang, ia hanya ingin eksistensinya diakui. Saya pikir ini adalah sebuah ironi karena (hantu) perempuan ternyata baru mendapat perhatian sekaligus pengakuan ketika ia telah mati.

Lebih lanjut, sosok hantu perempuan tersebut ternyata adalah seorang lesbian. Hal tersebut tampak secara implisit pada bagian “Si gadis, yang sebetulnya tidak dekat dengan lelaki mana pun...” (hlm. 86) dan diperkuat pada bagian yang mengisahkan ketika sosok hantu perempuan tersebut hadir di dalam foto‐foto hasil jepretan Jose,

Kulihat Susan berbaring miring di sofa, berpose seperti Cleopatra di singgasananya. Ia mengenakan jaket bulu berwarna ungu tua dan rok mini korduroy berwarna ungu muda. Rok itu adalah alasan mengapa ia dipilih: pahanya kecil dan kaki‐kakinya langsing. Tapi ada sesuatu yang menutupi kaki itu. Seberkas cahaya kemerahan memanjang. ... Itu adalah siluet kaki (hlm. 81).

Kuperhatikan lagi foto Aileen. Seandainya ia arwah penasaran, mengapa Aileen hendak dicekiknya? Tunggu. Itu bukan gerakan mencekik. Tangan‐tangan yang seolah tak bermula itu begitu lemas, tidak memaksakan apa‐apa. Jari‐jarinya tidak hanya menempel di leher, tapi juga tulang selangka. Ia tidak mencekik, tetapi ingin memeluk. ... Sang Arwah ingin mendekap dan memagut, mungkin bermain‐main, seperti ketika ditindihnya kaki Susan dengan kakinya (hlm. 87).

Konsep Liyan (the other) berlaku di sini. Sebagai perempuan, hantu perempuan itu telah menjadi Liyan dalam ruang patriarkhi, ia tidak memiliki kuasa untuk bersuara, lebih‐lebih memilih; satu‐satunya pilihan yang bisa diambilnya adalah bunuh diri, “Dua minggu sebelum perkawinannya, ketika tak ada orang di rumah kecuali dirinya, ia mengurung diri di kamar. Tetangga berdatangan karena mencium bau asap dari rumah itu. Sang putri mengamini kebisuan. Ia membakar diri.” (hlm. 86) Ke‐Liyan‐an hantu perempuan tersebut semakin “parah” karena selain perempuan, ia juga perempuan lesbian, dan pada akhirnya ia adalah hantu.

Kalimat pembuka cerpen ini, “Sebuah foto mampu menangkap realitas bahkan lebih banyak dari yang kau yakini,” dapat dibaca sebagai semacam afirmasi atas realitas yang lebih menitikberatkan penilaian pada penampakan luar, hal‐hal fisikal, dan tentu saja tidak dari semua sisi; layaknya foto yang meskipun bisa saja memperlihatkan sesuatu yang lebih indah daripada aslinya, tetap saja hanya mampu menangkap bentuk luar dari sesuatu dan hanya dari satu sisi. Judul “Misteri Polaroid” yang sejak awal telah menjadi penanda atas hadirnya sesuatu yang misterius, tersembunyi, dan hal‐hal yang mungkin dekat dengan “dunia lain” juga dapat dibaca sebagai representasi atas realitas keperempuanan (di dunia foto model) itu sendiri, khususnya Kalimat pembuka cerpen ini, “Sebuah foto mampu menangkap realitas bahkan lebih banyak dari yang kau yakini,” dapat dibaca sebagai semacam afirmasi atas realitas yang lebih menitikberatkan penilaian pada penampakan luar, hal‐hal fisikal, dan tentu saja tidak dari semua sisi; layaknya foto yang meskipun bisa saja memperlihatkan sesuatu yang lebih indah daripada aslinya, tetap saja hanya mampu menangkap bentuk luar dari sesuatu dan hanya dari satu sisi. Judul “Misteri Polaroid” yang sejak awal telah menjadi penanda atas hadirnya sesuatu yang misterius, tersembunyi, dan hal‐hal yang mungkin dekat dengan “dunia lain” juga dapat dibaca sebagai representasi atas realitas keperempuanan (di dunia foto model) itu sendiri, khususnya

“Seniman memanfaatkan resolusi polaroid yang berbeda dengan film,” tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. “Warna polaroid terlalu intens, terlalu dramatis. Terkesan tak nyata. Lucas Samara mempercayai fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji‐imaji fantastis.” “Maksudmu?” “Intinya, Andri,” Jose menepuk bahuku. “Polaroid kerap menipu. Berlebihan. Artifisial.” “Lalu Warhol dengan kelamin‐kelaminnya?” “Murahan” (hlm. 84—85).

Kehidupan perempuan‐perempuan model bisa saja tidak seindah penampilannya di iklan‐iklan atau sampul majalah. Mereka menjadi sesuatu yang artifisial. Adakalanya, seperti Aileen, mereka harus membangun imej baru untuk menutupi masa lalunya yang mungkin “kelam” untuk ukuran dunia hiburan meskipun di dalam “kekelaman” itu mungkin ada keindahan yang sesungguhnya,

Di dunia hiburan semua orang diharapkan lahir dengan jubah perak, seperti kertas alumunium berkilap‐kilap; tak akan terlepas meski ditanggalkan. Jubah orang‐orang rupawan ini menjadikan mereka bagian dari hidup yang selalu dibicarakan sekaligus mengisolasi mereka di langit. Mereka harus disalib di tengah taburan bintang agar tidak kehilangan kemilau (hlm. 83).

Dalam skala yang lebih luas, cerpen ini tidak sakadar menyajikan realitas keperempuanan, khususnya di dunia hiburan, tapi sekaligus kritik. Di satu sisi ia memperlihatkan ketertindasan perempuan; perempuan sebagai objek dan komoditas. Di sisi lain ia juga menyajikan keberterimaan perempuan yang tanpa perlawanan atas ketertindasan tersebut; segala kepalsuan di dalam dunia hiburan seolah‐olah diterima begitu saja oleh perempuan karena hanya dengan begitulah perempuan dapat bertahan hidup.

Perempuan “Terselubung,” Diabaikan, dan Bertindak dalam Cerpen “Sang Ratu”

Cerpen “Sang Ratu” mengisahkan kehiduapan seorang laki‐laki bernama Herjuno. Seperti halnya cerpen “Misteri Polaroid,” cerpen ini dinarasikan oleh tokoh lain— “Aku,” bernama Gus—yang menjadi sahabat Herjuno. Herjuno adalah tipikal laki‐laki Cerpen “Sang Ratu” mengisahkan kehiduapan seorang laki‐laki bernama Herjuno. Seperti halnya cerpen “Misteri Polaroid,” cerpen ini dinarasikan oleh tokoh lain— “Aku,” bernama Gus—yang menjadi sahabat Herjuno. Herjuno adalah tipikal laki‐laki

Sebelum terpenjara dalam jeruji perkawinannya, Herjuno adalah petualang cinta. Sebagai laki‐laki masa lalu, ia masih mengagungkan nilai‐ nilai lelaki feodal sejati. Menurutnya atribut ksatria modern adalah uang orang tua (sebagai ganti tanah warisan) yang bisa digunakan untuk memulai perusahaan kecil, mobil terbaru (sebagai ganti kuda gagah), dan perempuan‐perempuan langsing berkorset (sebagai ganti dara‐dara berstagen) (hlm. 132).

Bagi Herjuno yang womanizer, perkawinan adalah semacam belenggu atas kebebasannya “berpetualang.” Perkawinannya terasa sebagai penjara karena Herjuno terpaksa menikahi perempuan yang dihamilinya di luar nikah, dan perempuan yang demikian sebenarnya tidak sesuai dengan perempuan ideal menurut Herjuno,

Seumur hidupnya Herjuno mengenal dua jenis perempuan yang senantiasa dipacarinya pada saat yang bersamaan: yang perawan dan yang tidak. Baginya sudah jelas, perempuan non‐perawan adalah untuk bermain‐main. Sementara itu ia menghabiskan waktunya untuk menguji para perawan. Jika dalam masa pacaran mereka “menyerahkan kesucian untuknnya” (ini istilah favorit Herjuno—kuno sekali untuk abad 21, bukan?), itu berarti mereka tidak lulus ujian, tidak tahan godaan, dan tidak layak dijadikan istri. (hlm. 132).

“Jangan main‐main dengan (ke)perawan(an),” mungkin hal itulah yang tersirat dari bagian ini. Herjuno telah bermain‐main dengan perempuan (tidak perawan maupun perawan), ia pun harus menikahi perempuan yang dihamilinya. Di satu sisi hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi Herjuno, tapi di sisi lain mendatangkan berkah karena perempuan yang dihamilinya lalu dinikahinya—bernama Dewi—adalah putri seorang pengusaha besar yang bergerak di bidang pertambangan. Dalam kaitannya dengan feminisme, bagian ini dapat dibaca dari dua sisi. Pertama, perempuan adalah objek permainan bagi laki‐laki. Konsep perawan dan tidak perawan yang sejak lama menguasai pola pikir dan budaya menjadi tolok ukur pertama dan utama dalam menilai perempuan. Laki‐laki (Herjuno) pun menganggap bahwa hanya perempuan perawan yang layak dijadikan istri; di sini keperawanan seolah harga mati, tanpa peduli sisi‐sisi lain dari perempuan. Kedua, perempuan adalah rekan atau pendukung laki‐laki dalam meraih keberhasilan; tanpa perempuan, laki‐laki bisa saja hanya biasa‐biasa saja dalam karier dan hidupnya. Kedudukan Dewi yang berayahkan pengusaha besar “Jangan main‐main dengan (ke)perawan(an),” mungkin hal itulah yang tersirat dari bagian ini. Herjuno telah bermain‐main dengan perempuan (tidak perawan maupun perawan), ia pun harus menikahi perempuan yang dihamilinya. Di satu sisi hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi Herjuno, tapi di sisi lain mendatangkan berkah karena perempuan yang dihamilinya lalu dinikahinya—bernama Dewi—adalah putri seorang pengusaha besar yang bergerak di bidang pertambangan. Dalam kaitannya dengan feminisme, bagian ini dapat dibaca dari dua sisi. Pertama, perempuan adalah objek permainan bagi laki‐laki. Konsep perawan dan tidak perawan yang sejak lama menguasai pola pikir dan budaya menjadi tolok ukur pertama dan utama dalam menilai perempuan. Laki‐laki (Herjuno) pun menganggap bahwa hanya perempuan perawan yang layak dijadikan istri; di sini keperawanan seolah harga mati, tanpa peduli sisi‐sisi lain dari perempuan. Kedua, perempuan adalah rekan atau pendukung laki‐laki dalam meraih keberhasilan; tanpa perempuan, laki‐laki bisa saja hanya biasa‐biasa saja dalam karier dan hidupnya. Kedudukan Dewi yang berayahkan pengusaha besar

Perempuan itu bercelana panjang hitam dan berjaket kulit hitam ketat. Tubuhnya langsing namun kokoh. Ia mirip seekor kalajengking. Mewah, berkilat‐kilat, menakutkan. Pelupuk matanya disapu warna kelabu kehitaman, membuat sepasang mata indahnya seperti mata kucing yang menyala‐nyala di kegelapan. Ketika ia bicara, suaranya sekental Bloody Mary (hlm. 14).

Herjuno terbuai oleh keindahan fisik perempuan itu. Hal ini membawanya ke jalan pengkhianatan atas istrinya. Ia tidak menyadari bahwa ia sedang bermain‐main dengan api yang sesungguhnya karena ia hanya melihat penampakan luar. Herjuno tidak menyadari bahwa titisan Ratu Kidul yang dicarinya selama ini sebenarnya tidak jauh darinya—Dewi. Dewi adalah ibu rumah tangga yang baik dan bukan tipe perempuan yang bertingkah macam‐macam: “Anak mereka lahir tujuh bulan sesudah perkawinan meriah itu. Sejak saat itu, Dewi Wulandari, S.E. menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Mengurus bayi, menyusuinya sampai dua tahun” (hlm. 133). Lebih lanjut,

Istri Herjuno tidak akan curiga. Dia tipe perempuan yang benar‐benar lurus, kalau tidak bisa dibilang membosankan. Hanya anak yang dipikirkannya. Sebagai ibu rumah tangga yang kaya raya, tak pernah sekali pun ia ingin ikut arisan bersama para istri konglomerat dengan menenteng tas tangan seharga sepuluh juta. Ia hanya ke luar rumah saat mengantar anaknya ke preschool atau berbelanja ke supermarket. Ia menonton orkes simfoni, sendratari, atau teater sebulan sekali. Ia tak Istri Herjuno tidak akan curiga. Dia tipe perempuan yang benar‐benar lurus, kalau tidak bisa dibilang membosankan. Hanya anak yang dipikirkannya. Sebagai ibu rumah tangga yang kaya raya, tak pernah sekali pun ia ingin ikut arisan bersama para istri konglomerat dengan menenteng tas tangan seharga sepuluh juta. Ia hanya ke luar rumah saat mengantar anaknya ke preschool atau berbelanja ke supermarket. Ia menonton orkes simfoni, sendratari, atau teater sebulan sekali. Ia tak

Pada bagian ini lagi‐lagi berlaku falogosentrisme. Seorang ibu rumah tangga yang baik yang begitu mementingkan anaknya dan tidak suka neko‐neko dianggap membosankan oleh laki‐laki. Sebagai perempuan, Dewi tidak terlalu menggembar‐gemborkan eksistensinya dengan melibatkan diri dalam kegiatan publik. Ia lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik. Pilihan yang seperti ini pun medapatkan penilaian negatif dari laki‐laki; pilihan perempuan meskipun tidak mendatangkan kerugian dan bahkan menguntungkan laki‐laki ternyata tidak sepenuhnya bebas nilai (patriarkhi). Di sini pun lagi‐lagi penampakan luar mendapat porsi pertama dan utama dan menetapkan penilaian. Herjuno dan Gus tidak melihat sesuatu di balik sosok Dewi. Hal ini terungkap pada bagian akhir cerpen,

Ia menutupi tangan kanannya dengan tangan kiri. Kulihat darah menyembul dari genggaman tangannya dan mengalir cair ke bawah, membasahi karpet. Herjuno pingsan. Ketika tangannya terkulai, aku melihat jari tengahnya hilang. Saat itu juga, aku menyadari kehadiran orang lain di kamar itu. Perempuan itu. Ia memotong jari Herjuno. ... Dia perempuan biasa yang pernah kujumpai saat makan malam di meja. Dia Dewi, istri Herjuno. Perempuan itu sempat mematung menatapku. Tiba‐tiba kusadari ia tengah membawa rantai yang diikatkan pada seekor makhluk besar menakutkan. Kalajengking raksasa. Perempuan itu, ya. Mereka dedemit yang bahu‐membahu. Persaudaraan perempuan‐ perempuan halus yang tak terpecahkan. Sang Ratu dan kalajengkingnya lantas terbang melalui jendela, menghilang (hlm. 148—149).

Sebagai cerpen terakhir di dalam Sihir Perempuan, cerpen ini menutup rangkaian cerpen tentang perempuan dengan sesuatu yang mengejutkan: perempuan yang tampak biasa‐biasa saja ternyata menyimpan kekuatan yang tidak terkiran dan mampu melakukan tindakan ekstrem. Pemotongan jari tengah Herjuno merupakan

simbol kastrasi. 22 Pengkastrasian tentu menimbulkan dampak yang tidak kecil pada laki‐laki yang mengalaminya; dengan sendirinya ia menjadi Liyan di antara sesama laki‐

laki, bahkan ia menjadi Liyan karena ia bukan laki‐laki dan lebih menyerupai perempuan. Sebuah ironi kembali hadir di sini: nama Herjuno memiliki kaitan dengan

Arjuna dalam dunia pewayangan. Arjuna adalah sosok yang dikenal sebagai lanangane jagad, lelakinya dunia, karena ia memiliki begitu banyak istri dan dicintai banyak perempuan. Hanya saja, Arjuna di dalam cerpen ini kehilangan kelaki‐lakiannya karena dikastrasi oleh perempuan. Oleh karena itu, predikat lanangane jagad pun secara otomatis runtuh dan menjadikan dirinya tidak berarti bagi perempuan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gus, “Aku sempat bertanya‐tanya mengapa Herjuno masih dibiarkan hidup sampai sekarang. Mengapa hanya jari tengah dan bukannya nyawa ... Tapi kemudian kusadari bahwa Herjuno tidak cukup berarti bagi Ratu Kidul untuk mendapatkan anugerah itu: hidup sebagai bayang‐bayang tanpa akhir” (hlm. 150). Pada bagian tersebut semakin terasa kuat adanya “perempuan yang bertindak.” Tindakan ini berupa usaha untuk meruntuhkan dominasi patriarkhi dengan “cara perempuan.” Maksudnya, perempuan (Dewi/Ratu Kidul) tidak menggunakan “cara laki‐laki” dan membunuh Herjuno, tapi hanya mengambil simbol kelaki‐lakian Herjuno. Ada semacam penegasan bahwa perempuan tampak lemah bukan berarti dia memang lemah—dihadirkan melalui sosok Ratu Kidul yang terselubung oleh Dewi. Hal ini senada dengan pernyataan Ki Joko Kuncoro: perempuan mampu mendatangkan