PEMILIHAN UMUM PRESDEN 2014 studi

PEMILIHAN UMUM PRESDEN 2014
Isu Utama dan Kajian Kritis

Di tahun 2014 ini, perhelatan besar bangsa indonesia yang diadakan tiap lima tahunan di
gelar dengan segala hiruk-pikuk khas pesta demokrasi. Di tahun ini pula lah era kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tutup buku. Pesta demokrasi yang kita kenal dengan nama
Pemilu ini menjadi ajang masyarakat menyalurkan partisipasinya serta memilih kepada siapa
amanah mereka akan dititipkan. Sebagaimana yang tertulis dalam undang- undang Pemilu nomor 22
tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dijelaskan Pemilihan umum (Pemilu), secara singkat
merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menjamin tersalurkannya suara rakyat secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan berbagai penerapan perencanaan strategis,
sistematika, akumulasi, alokasi dana kampanye dan lain sebagainya merupakan teknis yang
diharapkan dapat membantu melaksanakan Pemilihan umum yang optimal sesuai pendewasaan
demokrasi di negeri ini.
Menyoroti momentum pergantian sosok RI 1 sebagai suksesor SBY, muncul dua kandidat
yang secara resmi menyatakan diri siap untuk bertarung demi mengemban amanah rakyat tersebut.
Sosok pertama adalah Prabowo Subianto. Prabowo adalah seorang purnawirawan TNI berpangkat
Jenderal yang pada pemilu 2010 maju sebagai pendamping Megawati Soekarno Putri yang kala itu
mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden, kini maju sebagai Capres setelah pecah
kongsi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Prabowo Subianto melaju mulus
setelah partai yang didirikannya, Gerindra menempati peringkat ketiga dalam pemilu legislatif.

Dengan koalisinya yang bernama Koalisi Merah Putih (KMP) yang beranggotakan Partai Gerindra,
PAN, PKS, PPP, PBB, Partai Golkar dan Partai Demokrat, Prabowo pun maju dengan menggandeng
ketua umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa untuk bertarung di arena Pemilihan Presiden
2014.
Sosok kedua adalah sosok yang fenomenal dalam hal karir politiknya. Dalam kurun waktu
kurang dari satu dekade, Ia sudah merasakan bagaimana memimpin sebuah Kota besar yang
berlanjut memimpin DKI Jakarta. Dia adalah Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Jokowi
hampir satu setengah periode kepemimpinan sebagai Walikota Solo yang kemudian menjadi
Gubernur DKI Jakarta setelah mengalahkan Gubernur incumbent Fauzi Bowo dalam Pilkada. Sosok
1

yang sangat cepat melejit sebagai sosok yang diperhatikan oleh masyarakat dengan gaya blusukan
ini di dapuk partai pengusungnya dalam pilkada Solo dan pilkada DKI Jakarta yakni PDIP untuk
menjadi Capres menggantikan ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. PDIP yang dinyatakan
memenangkan pemilu legislatif dengan mantab membentuk Koalisi Indonesia Hebat yang
beranggotakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai NasDem, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jokowi disandingkan
dengan mantan wakil presiden periode 2004/2010, Jusuf Kalla untuk maju sebagai capres dan
cawapres periode 2014-2019.
Pertarungan kedua pasang capres dan cawapres ini dalam arena kampanye berlangusng

sengit. Kedua kubu sama-sama melancarkan berbagai pesan persuasi guna membujuk atensi
masyarakat dengan tujuan memenangkan pilpres. Tak jarang pertarungan ideologi, visi, misi hingga
rencana pembangunan jika terpilih nanti menjadi isu publik yang ramai diperbincangkan
masyarakat. Meskipun sudah disediakan arena debat oleh Komisi Pemilihan Umum, pertarungan
kedua kandidat serta para pendukungnya belum merasa cukup untuk saling beradu strategi dan
taktik dalam memenangkan hati para pemilih. Isu-isu propaganda pun dilontarkan oleh pendukung
kedua kubu demi mengangkat citra kandidat yang disokong hingga isu-isu yang berusaha
menjatuhkan kandidat lawan.
Propaganda dalam belantara kampanye politik sudah bukan barang baru mengingat hampir
pasti ada propaganda di setiap kampanye politik di negara-negara berazas demokrasi di seluruh
dunia. Propaganda sejatinya digunakan untuk menarik simpati khalyak pemilih supaya mau memilih
kandidat yang dicalonkan. Dalam kampanye politik, propaganda sering digunakan untuk menjamin
agar doktrin politik dari aktor politik dapat diterima masyarakat, memperbanyak pengikut dan yang
paling utama memenangkan pemilu (Paul Kecskemeti). Dari banyaknya isu-isu yang diperdebatkan,
dari mulai isu guna mengangkat citra kandidat hingga isu-isu yang dimunculkan untuk menjatuhkan
kandidat lawan atau yang sering disebut black campaign. Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pasal 41 UU tersebut disebutkan
beberapa hal yang dilarang dalam kampanye. Dan, larangan yang berkaitan dengan black campaign
adalah, (1) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Pasangan Calon yang
lain; serta (2) menghasut dan mengadu-domba perseorangan atau masyarakat.


2

Dari serangkaian isu-isu yang mencuat pada saat masa kampanye maupun setelah masa
kampanye pada pilpres 2014 ini, berikut adalah beberapa isu –isu utama yang banyak menyita
perhatian publik serta sedikit telaah kritisnya.
1. Capres Boneka

Isu pertama yang ramai diperbincangkan oleh khalayak adalah adanya anggapan bahwa
majunya Joko Widodo sebagai Capres menggantikan sosok Megawati Soekarno Putri
sebagai sebuah siasat. Jokowi dianggap sebagai boneka atau wayang yang kepemimpinannya
dikendalikan oleh ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut. Isu yang
mencuat ini didasari oleh hasil survei suatu lembaga survei terkemuka di Indonesia yang
menyatakan bahwa elektabilitas Megawati menurun tajam sehingga memunculkan anggapan
bahwa masyarakat telah bosan dengan capres yang 4L (lu lagi lu lagi). Sosok Megawati
dinilai sangat ambisius jika pada pilpres kali ini kembali mencalonkan diri sehingga sebagai
jalan keluarnya, Megawati menunjuk salah satu kader partainya yang tengah bersinar
karirnya sebagai capres menggantikan dirinya. Terpilihlah sosok Jokowi yang notabene baru
menjabat 2 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta.


3

Penunjukkan Jokowi pun sebenarnya memunculkan tanda tanya di benak publik. Publik
menilai sosok Puan Maharani lebih difavoritkan untuk menjadi Capres dari PDIP sedangkan
Jokowi sendiri baru saja terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Keputusan yang penuh
tanda tanya dan terkesan memaksa ini memicu munculnya isu capres boneka. Kepopuleran
Jokowi dalam beberapa tahun terakhir ditengarai menjadi alasan penunjukan dirinya oleh
ketua umum PDIP tersebut. Seolah mendapatkan momentum yang tepat untuk memajukan
seorang Jokowi sebagai Capres di tengah popularitasnya yang kian menanjak. Dengan
katalain, Jokowi tidak ubahnya seorang capres yang hanya dimanfaatkan popularitasnya saja
tetapi dalam pelaksanaan pemerintahannya kelak dicampur tangani oleh orang lain di luar
dirinya pribadi. Jokowi disebut sebagai seorang capres yang tidak mandiri.
Isu ini semakin kuat ketika isu ini diperkuat dengan anggapan bahwa Jokowi juga
merupakan capres yang dikendalikan oleh Amerika Serikat. Jokowi dicap sebagai capres
yang nantinya akan membuat tangan Amerika Serikat lebih leluasa dalam ikut campur
urusan dalam negeri Indonesia.
Isu capres boneka merupakan salah satu bentuk name calling yang dalam kajian propaganda
diartikan sebagai pemberian julukan atau label buruk pada seseorang, gagasan, orang,
lembaga supaya audiens tidak menyukai atau menolaknya. Teknik ini biasanya dilakukan
dalam kancah politik atau arena wacana public secara umum dan relatif tidak banyak

dipakai dalam praktek advertensi, karena ada semacam keengganan untuk menyebutkan
produk lawan meskipun dilakukan dengan label yang miring sekalipun (Lee,1939 :26). Oleh
karenanya, isu capres boneka dikategorikan sebagai salah satu bentuk black campaign atau
kampanye hitam.

2. Isu SARA
Isu SARA memang bukanlah hal baru dalam kancah kampanye politik di tanah air. Mulai
dari pemilihan Kepala desa, Walikota hingga Presiden tak lepas dari isu SARA. Pada pilpres
kali ini pun, isu sara sangat kencang mendera para kandidat, khususnya kandidat nomor urut
dua. Kulltur masyarakat kita yang sangat plural merupakan sebuah keunggulan sekaligus
4

sebuah kelemahan ketika didera isu SARA. Meskipun sudah hampir 70 tahun merdeka dan
hidup bersama antar berbagai golongan, isu SARA masih merupakan ancaman yang
mengakhawatirkan. Entah mengapa, bangsa kita yang kita agungkan kebhinekaannya ini
masih sangat rapuh jika menghadapi isu SARA. Masyarakat kita masih sangat sensitif jika
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menyangkut SARA terlebih lagi isu soal agama.
Seperti sebuah isu yang mengatakan bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa yang secara
terang-terangan mendiskreditkan etnis
Tionghoa. Kemudian isu yang menyatakan

bahwa Jokowi akan menghapuskan
Kementrian Agama jika kelak nanti
menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia. Ada lagi yang mengatakan
bahwa jika Jokowi hendak melakukan
Kristenisasi terhadap masyarakat
Indonesia yang lagi-lagi mendiskreditkan
pemeluk Nasrani. Semua isu-isu tersebut
selain berdampak pada pembunuhan
karakter Jokowi juga secara tidak langsung mencela kaum atau golongan masyarakat
tertentu. sebuah hal yang seharusnya tidak terjadi.
Kubu Prabowo bukan bersih dari isu SARA. Prabowo yang dicap punya kemiripan dengan
pak Harto (Soeharto) yang mana pada masa kepemimpinannya yakni Orde Baru sangat
membatasi ruang gerak etnis Tionghoa. Kekhawatiran itu kembali dimunculkan dengan
munculnya sebuah isu yang mengatakan bahwa jika Prabowo terpilih menjadi Preiden maka
masyarakat Indonesia yang berasal dari etnis Tionghoa akan kembali merasakan belenggu
dalam kehidupannya sehari-hari seperti apa yang pernah dialami sewaktu rezim Orde Baru.
Cara semacam ini dikenal dalam istilah fear-arousing, yakni menyinggung aspek emosional
masyarakat dengan memunculkan kekhawatiran atau ketakutan akan suatu hal.
Isu agama yang cenderung menjatuhkan kandidat lain memang santer dibicangkan

dikhalayak. Isu ini merupakan suatu bentuk black propaganda (Covert Propaganda) yang
memang sesuai sifatnya yang tidak menunjukkan sumbernya, sering menuduh sumber lain

5

yang melakukan, licik, penuh kepalsuan, tidak jujur, tidak beretika, berpikir sepihak dan
cenderung fitnah. Para pelaku propaganda tidak menyebutkan asal yang jelas dan fakta yang
ada di dalam pesan-pesan yang disampaikan juga tidak selalu tepat dan akurat. Oleh karena
itulah para penyebar propaganda ini tidak menampakan sumber yang jelas.
Meskipun kebanyakan bersifat fitnah, tetapi ada isu agama ini pun pada awalnya
memunculkan sebuah fakta. Namun fakta yang dimunculkan tidak secara obyektif
diperlihatkan. Ada bumbu-bumbu lain yang turut bermain dalam memunculkan kesan
tertentu dalam benak khalayak. Dalam pembentukan propaganda, teknik semacam itu disebut
dengan Card stacking. Card stacking adalah suatu teknik pemilihan dan pemanfaatan fakta
atau kebohongan , ilustrasi atau penyimpangan, serta pernyataan logis atau tidak logis untuk
memberikan kasus terbaik atau terburuk pada suatu gagasan, program, orang, atau produk.
Teknik ini memilih argumen atau bukti yang mendukung suatu posisi dan mengabaikan hal
lain yang tidak mendukung posisi itu. Benar atau salah argumen yang dipilih, yang
terpenting khalayak bisa menerima (Lee, 1939:95).


3. Pelanggaran HAM tahun 1998
Di antara banyak isu-isu yang mencuat dalam masa kampanye ini, isu yang diprediksi akan
muncul adalah isu yang mengingatkan kembali tentang kasus pelanggaran hak azasi manusia
yang terjadi hampir 16 tahun yang lalu.

6

Mencuatnya isu mengenai kasus
pelanggaran hak azasi manusia tak lepas
dari majunya sosok Prabowo Subianto
yang mencalonkan diri sebagai Presiden.
Sosok Prabowo dinilai tak hanya turut
terlibat tetapi juga ikut bertanggung
jawab atas terjadinya kasus pelanggaran
hak azasi manusia yang menimpa
beberapa aktivis mahasiswa pada tahun
1998 tersebut. Kasus ini kembali
menghangat seiring tuntutan masyarakat
agar Prabowo Subianto diadili menyangkut kasus tersebut yang sampai saat ini dinilai belum
tuntas sehingga memicu rasa tidak puas masyarakat.

Isu tersebut tak pelak membuat citra dan elektabilitas Prabowo mengalami guncangan hebat.
Bagaimana tidak, status sebagai pelanggar HAM oleh sebagian masyarakat turut memicu
meluasnya aksi penolakan terhadap pencapresan Prabowo di berbagai daerah.
Isu ini sebenarnya sudah lama diprediksikan oleh para pengamat politik akan muncul dan
menjadi topik utama apabila Prabowo Subianto resmi mencapreskan diri. Para pengamat
politik amat sangat menyayangkan jika akhirnya isu pelanggaran HAM ini muncul karena
dkhawatirkan akan menjadi sebuah black campaign yang merugikan tidak hanya satu
pasangan calon melainkan kedua pasangan calon. Pasangan Prabowo-Hatta akan mengalami
guncangan dalam hal kepercayaan publik dan di sisi lain pihak Jokowi-JK juga akan
dianggap menjadi kambing hitam yang menyebarkan isu tersebut.
Menghangatnya isu pelangggaran tak lepas dari strategi propaganda oknum-oknum tertentu
yang memanfaatkan card-stacking. Dengan memunculkan kembali citra maupun trek record
yang buruk dari seseorang atau suatu lembaga yang kemudian menjadikannya alat untuk
melancarkan agitasi terhadap khalayak. Agitasi sendiri Menurut kamus Oxford, mengagitasi
atau mendorong (stir it up) adalah membangkitkan perhatian (to excite) atau membuat kacau
pikiran, sedangkan propaganda adalah sebuah rencana sistematis atau gerakan bersama untuk
penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin disini dapat diartikan sebagai hasutan kepada
7

orang banyak untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan dan lain sebagainya. Dalam

praktek, dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung “menghasut” maka seringkali disebut
sebagai kegiatan “provokasi” atau sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan.
Bentuk agitasi sebetulnya bisa dilakukan secara individual maupun dalam basis kelompok
(massa) yang menggunakan isu yang potensial untuk membangkitkan publik.
4. Isu Kesejahteraan Masyarakat
Isu kesejahteraan masyarakat bukan milik salah satu kandidat Capres-Cawapres saja tetapi
menjadi isu yang sangat menyita perhatian
masyarakat dan juga kandidat itu sendiri.
Masalah kesejahteraan masyarakat yang
meyangkut berbagai kebijakan yang
berlandaskan ekonomi sangat dinanti-nantikan
oleh masyarakat Indonesia. Momentum
pergantian pemimpin negeri juga memunculkan
harapan baru akan perubahan taraf hidup agar
bisa dikatakan sejahtera.

Kandidat nomor urut 1, Prabowo-Hatta mencanangkan sistem ekonomi kerakyatan dan
menolak mentah sistem kapitalis jika pada nantinya terpilih menjadi Presiden dan Wakil
Presiden. Anggaran pembangunan desa yang mencapai angka 1 milyar Rupiah pun
dijanjikan demi mengangkat kesejahteraan dan sekaligus pemerataan pembangunan di tanah

air. Sementara dalam bidang ketenagakerjaan, Prabowo berjanji untuk menolak praktek
outsoucrhing yang dinilai merugikan para tenaga kerja. Dalam hal pendidikan, Prabowo
mencanangkan pendidikan gratis untuk pendidikan 12 tahun bagi seluruh elemen masyarakat
Indonesia. Dan yang paling menghebohkan adalah adanya janji Prabowo untuk
menasionalkan perusahaan-perusahaan asing yang bermarkas di Indonesia.
Di lain pihak, kubu Jokowi-JK berjanji akan terus membenahi perekonomian masyarakat
sehingga daya beli masyarakat meningkat. Seperti yang sudah diterapkan sebelumnya pada
era kepemimpinannya di DKI Jakarta, Jokowi berencana akan menerbitkan “Kartu Sakti”
8

yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Kartu Indonesia
Pintar (KIP). Jokowi punya alasan tersendiri untuk menerbitkan ketiga kartu sakti tersebut.
Menurutnya, ketiga aspek yang coba ditanggulangi dengan adanya kartu sakti tersebut
adalah aspek fundamental kokohnya pembangunan perekonomian bangsa.
5. Blusukan
Kata blusukan menjadi sangat akrab di telinga kita ketika sosok Jokowi muncul sebagai figur
pemimpin yang dikenal suka mengunjungi
rakyatnya dalam situasi apapun. Saat Jokowi
menjadi Walikota Solo, Ia sudah mulai
melakukan kebiasaasn nyelenehnya itu bahkan
setelah menjabat menjadi Gubernur DKI
Jakarta, kebiasaan mengunjungi rakyatnya ini
malah makin menjadi-jadi. Sejatinya kebiasaan
blusukan ini adalah ciri khas yang membuatnya
menjadi media darling atau sosok yang sangat
didambakan oleh media untuk mengisi halaman
beritanya. Namun entah mengapa banyak pihak yang masih pro-kontra dengan kebiasaan
Capres nomor urut 2 ini.
Banyak kalanga masyarakat yang menilai bahwa gaya blusukan Jokowi inilah yang menjadi
ciri khas dan membuatnya populer. Secara tidak langsung mereka menganggap bahwa gaya
blusukan ini sebuah bentuk propaganda kepada masyarakat dengan pendekatan Plain-folk.
Plain-folk adalah cara membangun sebuah propaganda dengan menggunakan pendekatan
untuk menunjukkan bahwa propagandis rendah hati dan mempunyai empati dengan
penduduk pada umumnya. Teknik ini mengenalkan motif tulus seseorang yang
berkecimpung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan atau sosial politik (Lee, 1939 : 92).
Dengan teknik ini propagandis berusaha meyakinkan khalayak bahwa gagasan mereka
mereka berkaitan dengan keseharian rakyat biasa atau orang awam.
Blusukan Jokowi entah itu murni sebuah kebiasaan yang merujuk pada gaya
kepemimpinannya ataukah hanya sebuah bentuk pencitraan semata yang jelas gaya blusukan
ini mendapat atensi dari masyarakat luas sehingga banyak diperbincangkan oleh khalayak.

9

Isu ini bisa menjadi sebuah nilai plus bagi kubu Jokowi, tetapi juga bisa jadi minus manakala
tidak dapat mengelola opini publik yang sangat cepat berubah.
Hampir semua isu utama yang muncul pada saat masa kampanye Pilpres tidak lepas dari
peran serta media massa yang sesuai kompetensinya sebagai pembentuk opini publik. Peran serta
media mencakup kekuatan media untuk memengaruhi dan mengarahkan perhatian masyarakt
manakala membahas tentang kedua pasangan Capres dan Cawapres Pilpres 2014 tersebut. Meskipun
keadaan khalayak pada saat ini dapat dikatakan aktif dan cerdas dalam memilih dan memfilter
informasi yang masuk, tetapi tetap saja kekuatan media dalam mengarahkan perhatian kita kepada
suatu isu tertentu masih sangat digdaya.
Sebagaimana dikatakan dalam asumsi teori Agenda Setting milik McCombs dan Shaw
(1972) yakni media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut
yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih
penting dibandingkan dengan isu lainnya. sedikit banyaknya media memberikan pengaruh kepada
publik mengenai isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Dalam hal
penekanan isu-isu yang terjadi ketika masa kampanye ini, peran serta media sebagai agenda setter
masih sangat kentara.

Daftar Referensi
 Lee, A.M. dan E.B.Lee . 1939.The Fine Art of Propaganda: A Study of Father
Coughlin’s Speeches. New York : Harcourt, Brace and Company.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
 McQuail, Denis, Mass Communication Theory, 4th edition, Thousand Oakes: Sage, 2000
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum.
https://www.mahkamahagung.go.id/images/pdp/UUNo.22-2007.pdf
 Bahan Ajar mata kuliah Komunikasi Politik, J.N. Gono. 2014. Semarang.

10

Daftar Referensi Berita dan Gambar

 Pro Kontra Tiga Kartu Sakti Ala Presiden Jokowi
Jumat, 14 November 2014
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5465ef9669c1f/pro-kontra-tiga-kartu-sakti-alapresiden-jokowi

 Megawati: Alangkah Naifnya Sebut Jokowi Capres Boneka,
Jumat, 27 Juni 2014 | 17:18 WIB
http://nasional.kompas.com/read/2014/06/27/1718045/Megawati.Alangkah.Naifnya.Sebut.Jokow
i.Capres.Boneka

 Jokowi di Gang Sempit, Anak-anak Berteriak 'Jokowi Jokowi'
Minggu, 3 Februari 2013 11:16 WIB
www.tribunnews.com/metropolitan/2013/02/03/jokowi-di-gang-sempit-anak-anak-berteriakjokowi-jokowi

 Disebut Wiranto Pelanggar HAM, Prabowo Tidak Takut Elektabilitasnya Turun
Kamis, 19 Juni 2014 15:57 WIB
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/19/disebut-wiranto-pelanggar-ham-prabowotidak-takut-elektabilitasnya-turun

 Muhaimin: Isu Jokowi Hapus Kementerian Agama Amat Sesat
Rabu, 17 September 2014 15:58 WIB
http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2106527/muhaimin-isu-jokowi-hapus-kementerianagama-amat-sesat

11