Otonomi daerah di Indonesia. docx

Otonomi daerah di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik.

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak
akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar

1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian

kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar
pertimbangan[3]:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga
risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah
yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di
daerah;

2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju

Daftar isi



1 Aturan Perundang-undangan



2 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru



3 Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru



4 Referensi



5 Pranala luar


Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang
kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan

ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima,
digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara

perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah
dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam
kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada
UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4]
Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang
dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusatdaerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat

atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala

Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan


pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak,
wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan
keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya
sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota;
meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan
PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garisgaris Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati


segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan
Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan
peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d)
memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada
program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun
1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi
(baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini
adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari
rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah
setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas
nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi
peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;

2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru
untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang
mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara
lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.

3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran
dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini
otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan
masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang
dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal
serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan
menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama
ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan
kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah
kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan
kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan

wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas
tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada
daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis

pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.[15]
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang
DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran
dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD.
Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.

10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.

Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan
undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara
membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain
DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan

dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan
lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur,
Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua)
kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Referensi
1. ^ UUD 1945 pasal 18 ayat 2
2. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Kedua, Pasal 11
3. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi

dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga

4. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1,

huruf c
5. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1,

huruf e
6. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1,

huruf b
7. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1,

huruf f
8. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1,

huruf d
9. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
10. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
11. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
12. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
13. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian

Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
14. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi

dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
15. ^ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)

Pranala luar


Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah



Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Artikel bertopik Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
Wikipedia dengan mengembangkannya.

Otonomi daerah Presentation Transcript


1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Khoirunnisah (08121003061) Jamilah (08121003059) Lilis Suganda
(08121003063) Bayu Pratama (08121003060) Kiki Octaviani D (08121003058) Ihsan
rihsansah (08121003062)



2. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti Undang-undang atau aturan. Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia



3. Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti
bahwa daerah harus mampu: Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan
melaksanakan kebijaksanaan sendiri Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta
peraturan pelaksanaannya Menggali sumber-sumber keuangan sendiri Memiliki alat
pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya



4. Asas dalam mengelola daerah yang meliputi : 1.Desentralisasi Pelayanan
Publik/Rakyat kebijakan desentralisasi mempunyai tujuan politis dan administrasi, tetapi
tujuan utamanya adalah pelayanan kepada rakyat. 2. Dekonsentrasi Diselenggarakan
karena tidak semua tugastugas teknis pelayanan kepada rakyat dapat diselengarakan
dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota)



5. VISI OTONOMI DAERAH 1. Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara
demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang
responsife; 2. Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan
kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi; 3. Sosial:
Menciptkan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.



6. KONSEP DASAR OTONOMI DAERAH 1. Penyerahan sebanyak mungkin
kewenangan pemerintahan 2. 3. 4. 5. 6. 7. dalam hubungan domestik kepada daerah;

Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan
Kepala Daerah; Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas
tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula; Peningkatan efektifitas fungsifungsi pelayanan eksekutif; Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah; Pemberian keleluasaan kepala
daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.


7. SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI 1. PENDAPATAN
ASLI DAERAH: 2. PAJAK DAERAH; 3. RETRIBUSI DAERAH; 4. HASIL
PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH; 5. LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI
DAERAH YANG SAH.



8. Dana Pertimbangan Daerah, terdiri atas: 1. DANA BAGI HASIL DARI PAJAK DAN
SUMBER DAYA ALAM; 2. DANA ALOKASI UMUM; DAN 3. DANA ALOKASI
KHUSUS. 4. PINJAMAN DAERAH: DAERAH DPAT MEMINJAM DARI DALAM
NEGERI DAN LUAR NEGERI (MELALUI PEMERINTAH PUSAT) DENGAN
PERSETUJUAN DPRD. 5. LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH TERMASUK
DANA DARURAT, BERASAL DARI PINJAMAN APBN.



9. 1) Daerah otonom Daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom,
atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut 2) Otonomi Daerah Hak,
wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat



10. 3) Desentralisasi Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri 4) Dekonsentrasi Pemerintah
pusat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada aparat pemerintah pusat yang ada di
daerah 5) Sentralisasi Memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang
menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat 6) Medebewind Pemberian tugas oleh
pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya tentang urusan yang menjadi kewenangannya
kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah disertai anggarannya



11. 1) Otonomi Daerah Menurut UU 22 Tahun 1999 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999 menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah,
dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
Daerah. 2) Otonomi Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004 Berdasarkan UU No 32
Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.



12. 5. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
1) Pelaksanaan INDONESIA Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil
membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas
politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia 2)

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru Upaya serius untuk melakukan
desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengahtengah krisis yang
melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke
rezim yang lebih demokratis).


13. 6. DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF OTONOMI DAERAH A. Dampak Positif
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal
yang ada di masyarakat Dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan
melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat kebijakan-kebijakan pemerintah akan
lebih tepat sasaran



14. B. Dampak Negatif Adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah
untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme. Ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi
Negara 